• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri

Nyeri terutama adalah mekanisme protektif untuk menimbulkan kesadaran akan kenyataan bahwa sedang atau akan terjadi kerusakan jaringan. Selain itu, simpanan pengalaman yang menimbulkan nyeri dalam ingatan membantu kita menghindari kejadian-kejadian yang berpotensi membahayakan di masa depan (Lauralee Sherwood Fisiologi Manusia, 2007). Kerusakan jaringan yang nyata misalnya terjadi pada nyeri akibat operasi (adi, 2002). Berpotensi rusak misalnya pada nyeri dada karena penyakit jantung (Angina Pectoris) dimana timbul nyeri sebagai pertanda akan terjadinya kerusakan atau berpotensi rusak pada otot-otot jantung bila tidak ditangani secara benar (Price and Wilson, 2005). Nyeri – simtom yang paling sering membuat pasien berkunjung ke pekerja medis – hampir selalu bermanifestasi ke proses patologis. Semua rencana pengobatan harus sesuai dengan proses untuk penanganan nyeri( Morgan’s Clinical anesthesiology, 2006).

Menurut International Association for study of Pain (IASP) (1979) nyeri merupakan pengalaman sensoris subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan adanya kerusakan jaringan yang nyata, berpotensi rusak, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Nyeri terutama adalah mekanisme protektif untuk menimbulkan kesadaran akan kenyataan bahwa sedang atau akan terjadi kerusakan jaringan. Selain itu, simpanan pengalaman yang menimbulkan nyeri dalam ingatan membantu kita menghindari kejadian-kejadian yang berpotensi membahayakan di masa depan (Lauralee Sherwood Fisiologi Manusia, 2007). Nyeri nosiseptif adalah inisiasi dari cedera jaringan; bisa karena adanya perobekan, peradangan, atau penyakit (McGraw-Hill Pain Medicine and Management, 2005).

(2)

16

Rasa sakit adalah mekanisme pertahanan tubuh. Rasa sakit terjadi setiap kali jaringan sedang rusak, dan itu menyebabkan individu bereaksi untuk menghapus stimulus rasa sakit.Bahkan kegiatan seperti sederhana duduk untuk waktu yang lama, tulang ischia dapat menyebabkan kerusakan jaringan karena kurangnya aliran darah ke kulit dimana dikompresi dengan berat badan (Guyton, 2008). Nyeri telah diklasifikasikan ke dalam dua jenis utama: Fast pain dan Slow pain. Fast pain dirasakan dalam sekitar 0.1 detik setelah stimulus nyeri dihantarkan, sedangkan slow pain dimulai hanya setelah 1 detik atau lebih dan kemudian perlahan-lahan meningkat hingga beberapa detik dan kadang-kadang bahkan menit( Guyton, 2008). Fast pain juga digambarkan oleh beberapa nama alternatif, seperti sharp pain,pricking pain, acute pain, and electric pain. Jenis nyeri yang dirasakan ketika jarum tertusuk ke dalam kulit, ketika kulit dipotong dengan pisau, atau ketika kulit dibakar secara akut. Nyeri juga dirasakan ketika kulit terkena sengatan listrik. Nyeri cepat-tajam kebanyakan tidak terasa pada jaringan tubuh yang lebih dalam. Slow pain juga memiliki banyak istilah, slow burning pain, aching pain, throbbing pain, nauseous pain, dan chronic pain. Jenis nyeri ini biasanya berhubungan dengan kerusakan jaringan. Dapat menyebabkan nyeri yang berkepanjangan, dan tidak tertahankan. Hal ini dapat terjadi baik di kulit dan hampir di setiap jaringan atau organ (Guyton, 2008).

Nyeri disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis (kalor, listrik) dan menimbulkan kerusakan pada jaringan. Nyeri merupakan salah satu reaksi dari radang, dimana gejala reaksi radang dapat berupa kemerahan (rubor), pembengkakan (tumor), panas meningkat (calor), dan nyeri (dolor). Rangsangan tersebut memacu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri. Mediator yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung-ujung saraf bebas di kulit, mukosa dan jaringan lain. Lalu rangsangan tersebut disalurkan ke otak. Dari thalamus (opticus) impuls kemudian diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri (Tjay dan Rahardja, 2007).

(3)

Table 1–1. Terminologi yang sering digunakan pada manajemen nyeri. Terminologi Deskripsi

Allodinia Persepsi nyeri dari stimulus yang biasanya tidak mengancam Analgesia Hilangnya persepsi akan adanya nyeri

Anesthesia Hilangnya semua sensasi

Anesthesia Nyeri di area yang kurang adanya sensasi

Disesthesia Sensasi tidak menyenangkan atau abnormal dengan ada atau tidaknya stimulus

Hipalgesia (hipoalgesia)

Hilangnya respons terhadap stimulasi yang mengancam (cth, tusukan peniti)

Hiperalgesia Meningkatnya respons terhadap stimulasi yang mengancam Hiperesthesia Meningkatnya respons terhadap stimulasi sedang

Hiperpathia Adanya hiperesthesia, allodinia, dan hiperalgesia yang sering diasosiasikan dengan reaksi berlebihan, dan adanya sensasi yang persisten setelah stimulus

Hypesthesia (hypoesthesia)

Penurunan sensasi di kutaneus (cth, sentuhan cahaya, tekanan, atau suhu)

Neuralgia Nyeri yang dirasakan dari distribusi saraf atau beberapa kelompok dari saraf-saraf

Paresthesia Sensasi abnormal yang dirasakan tanpa adanya stimulus yang nyata

Radikulopati Abnormalitas yang fungsional dari satu atau beberapa cabang saraf

Tabel 1-1. Terminologi yang Sering Digunakan untuk Menggambarkan Nyeri Sumber : Morgan’s clinical Anesthesiology, 4th edition.

(4)

18

Gambar 2.1 mediator kimiawi yang dilepaskan pada respons terhadap kerusakanjaringan dan bisa mensintesis atau langsung

mengaktifkan nosiseptor. Sumber : Ganong 24th edition.

(5)

Gambar 2.2.Ilustrasi skematis dari teori proyeksi konvergen untuk nyeri menjalar dan jalur desendens dalam pengontrolan nyeri. Sumber : Ganong 24th edition.

(6)

20

Gambar 2.3 Proses perjalanan nyeri dari stimulus, mediator, reseptor dan modulator.

Sumber : Color atlas of Pathophysiology, 2000. 2.2 Klasifikasi nyeri

2.2.1 Nyeri Akut

Nyeri akut bisa didefinisikan sebagai nyeri yang disebabkan oleh stimulasi yang mengancam selama cedera terjadi, proses penyakit, atau fungsi abnormal dari otot atau visera. Seringnya nosiseptif. Nyeri nosiseptif dapat dideteksi, lokalisasi, dan batas kerusakan jaringan(Morgan’s Clinical Anasthesiology, 2006). Fungsi nyeri akut ialah memberi peringatan akan cedera atau penyakit yang akan datang. Nyeri akut akhirnya menghilang dengan atau tanpa pengobatan setelah keadaan pulih pada area yang rusak (Potter and perry, 2005). Nyeri akut memliki durasi yang pendek yaitu kurang dari 6 bulan. Nyeri ini dapat diidentifikasi penyebabnya, mula terjadinya, serta memiliki batas dan durasi yang dapat diprediksi, misalnya nyeri setelah pembedahan (Sorensen’s, 1997)

2.2.1.1 Nyeri Somatik

Nyeri somatik bisa diklasifikasikan lebih lanjut dengan superfisial atau dalam. Nyeri somatik superfisial adalah ketika input nosiseptif meningkat dari

(7)

kulit, jaringan subkutan, dan membran mukosa. Dan secara karakteristik terlokalisasi dengan baik dan menggambarkan adanya sensasi sayatan, cucukan, denyutan, atau terbakar.

Nyeri somatik dalam muncul dari otot-otot, tendon-tendon, sendi-sendi, dan tulang-tulang. Perbedaan dengan nyeri somatik superfisial, sering adanya sensasi tumpul, kualitas sakit, dan kurang terlokalisasi dengan baik(Morgan’s Clinical Anesthesiology, 2006)

2.2.1.2 Nyeri Viseral

Nyeri viseral adalah nyeri yang akut dan merupakan proses dari penyakit atau fungsi yang abnormal dari organ internal atau pelapisnya (cth, pleura parietal, pericardium, peeritoneum)(Morgan’s Clinical Anasthesiology, 2006).

Tabel 1–2. Pola dari nyeri menjalar.

Lokasi Dermatoma kutaneus

Diafragma sentralis C4

Paru-paru T2–T6

Jantung T1–T4

Aorta T1–L2

Esofagus T3–T8

Pankreas dan limfa T5–T10

Perut, Hati, dan kantong empedu T6–T9

Adrenal T8–L1

Usus kecil T9–T11

Kolon T10–L1

Ginjal , ovarium, dan testis T10–L1

Ureter T10–T12

Uterus T11–L2

Kandung kemih dan prostat S2–S4

Uretra and rektum S2–S4

Tabel 1-2 Pola dari nyeri menjalar.

(8)

22

Gambar 2.4Proses penjalaran dan modulasi persepsi sumber nyeri dari nyeri menjalar.

Sumber : Color atlas of Pathophysiology, 2000. 2.2.2 Nyeri kronik

Nyeri kronik dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respons terhadap pengobatan terhadap sumber penyebabnya (Brunner and Suddarth, 2001). Nyeri kronik dibagi dua yaitu, nyeri kronik malignan dan nyeri kronik nonmalignan (Potter and Perry, 2005). Nyeri kronik didefinisikan sebagai nyeri yang persisten melampaui jalur dari penyakit akut atau setelah waktu yang cukup untuk pemulihan; periode ini bisa bermacam-macam dari 1 sampai 6 bulan. Nyeri

(9)

kronik bisa merupakan nosiseptif, neuropatik, atau keduanya (Morgan’s Clinical Anasthesiology, 2006).

Nyeri kronik adalah nyeri yang konstan atau intermitten yang menetap sepanjang suatu periode waktu, biasanya lebih dari 6 bulan (McCaffery, 1986 dalam Potter and Perry, 2005).

2.3 Fisiologi Nyeri

Ada empat proses yang akan terjadi pada suatu perjalanan nyeri yaitu transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.

1. Transduksi: adalah suatu proses perubahan rangsangan nyeri menjadi suatu hantaran listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf. Rangsang ini dapat berupa stimulasi fisik, kimia, ataupun panas. Dan dapat terjadi di seluruh jalur serabut nyeri.

2. Transmisi: adalah proses perambatan impuls listrik yang tercipta oleh proses transduksi sepanjang serabut saraf reseptor nyeri, dimana molekul-molekulnya di celah sinaptik mentransmisi informasi dari suatu neuron ke neuron berikutnya.

3. Modulasi: merupakan proses memodifikasi terhadap suatu rangsangan. Modifikasi tersebut dapat terjadi pada sepanjang titik mulai dari transmisi pertama sampai ke korteks serebri. Modifikasi ini dapat berupa eksitasi (peningkatan) ataupun inhibisi (penghambatan).

4. Persepsi: merupakan proses akhir saat stimulus tersebut sudah mencapai korteks serebri sehingga mencapai tingkat kesadaran, selanjutnya diterjemahkan dan dipersepsikan berupa tanggapan terhadap nyeri tersebut.

Reseptor nyeri merupakan salah satu organ tubuh yang berfungsi untuk menerima stimulus nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang merespon apabila ketika ada stimulus kuat yang secara potensial merusak (Brunner & Suddarth, 2001). Reseptor nyeri disebut juga nosiseptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosiseptor) ada yang

(10)

24

bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari saraf perifer (Ganong, 2002). Sistem nosiseptor terbagi dalam dua komponen yaitu :

secara potensial merusak (Brunner & Suddarth, 2001). Reseptor nyeri disebut juga nosiseptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosiseptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer (Ganong, 2002). Sistem nosiseptor terbagi dalam dua komponen yaitu :

a. Reseptor A delta adalah serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30 m/s) yang memungkinkan terasanya nyeri tajam yang akan cepat tidak kembali terasa jika penyebab nyeri dihilangkan (Ganong, 2002).

b. Serabut C Merupakan serabut transmisi lambat (kecepatan transmisi 0,5 m/s) yang dapat ditemukan pada daerah yang lebih dalam lagi, nyeri umumnya bersifat tumpul dan akan sulit dideteksi (Guyton, 2008). Berdasarkan letaknya, nosiseptor dapat diklasifikasikan dalam beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang variatif inilah, nyeri yang terasa juga memiliki sensasi yang berbeda (Sorensen’s, 1997).

Nosiseptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dilokalisasi dan didefinisikan (Sorensen.s, 1997). Nyeri somatik dalam merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi (Devita & koleganya, 1985). Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang berasal dari visera tidak dapat ditentukan lokasinya dengan baik, tidak enak, disertai mual dan gejala-gejala otonom lainnya. Nyeri ini sering menyebar atau dialihkan ke daerah lain (Ganong, 2002). Sebagai contoh, nyeri yang dialihkan yaitu nyeri pada lengan kiri atau rahang yang berkaitan dengan iskemia jantung atau serangan jantung (infark miokard) (Brunner & Suddarth, 2001).

(11)
(12)

26

Gambar 2.6Proses asendens dari stimulus nyeri berawal dari nosiseptor dan berakhir pada korteks serebri untuk dipersepsikan dan

dilokalisasi.

Sumber : Ganong, 24th edition

First order neuron : mayoritas dari first-order neurons dimodulasikan ke ujung proksimal dari akson-akson mereka ke korda spinalis via dorsal (sensori) cabang spinal pada setiap servikal, torakal, lumbal, dan sakral. Beberapa aferen tidak bermielinisasi serabut C ditemukan dapat memasuki korda spinalis via cabang saraf ventral motorik, berdasarkan observasi-observasi terhadap beberapa pasien-pasien terus merasakan nyeri meskipun setelah transeksi dari cabang saraf dorsalis (rhizotomi) dan melaporkan adanya nyeri sepanjang stimulasi cabang ventralis. Sekali pada dorsal horn, dengan maksud mensinapskan dengan second-order neurons, akson–akson pada first-second-order neurons bisa bersinaps pada interneuron, neuron simpatetik, dan ventral horn neuron-neuron motorik.

Serat nyeri bermula dari ujung yang membawa dari trigeminal (V), fasial (VII), glossofaringeal (IX), dan saraf-saraf vagal (X). The trigeminal ganglion

(13)

mempunyai badan-badan sel dari serat sensoris di oftalmika, maksilaris, dan mandibular bagian dari nervus trigeminal. Badan sel dari first-order afferent neurons dari nervus fasialis berada di ganglion genikulatum, nervus glossofaringeal berada di dalam ganglia superior dan petrosalnya sendiri; dan nervus vagal berada di dalam ganglion jugular (somatik) dan ganglion nodosum (viseral). Prosesus aksonal proksimal dari first-order neurons di dalam ganglia-ganglia ini mencapai nukleus dari batang otak via nervus respektif otak mereka sendiri, dimana mereka bersinap di second-order neurons di dalam nukleus batang otak.

Second order neurons: ketika serat aferen memasuki korda spinalis, mereka memisahkannya menurut ukuran, yang besar, serat-serat termielinisasi berada di medial, yang kecil, serat-serat tidak termielinisasi berada di lateral. Serat-serat nyeri bisa asensus atau desensus satu sampai tiga serat di segmen-segmen korda spinalis di traktus Lissauer sebelum bersinaps dengan second-order neurons di dalam area abu-abu pada ipsilateral dorsal horn. Dalam beberapa contoh mereka berkomunikasi dengan second-order neurons melalui interneuron-interneuron.

Gray matter korda spinalis dibagi menjadi beberapa regio menjadi 10 lamina. Enam lamina pertama, yang langsung membentuk hornu dorsalis, menerima segala impuls aferen dari aktifitas neuron-neuron, dan menghantarkan melalui modulasi nyeri dengan asensus dan desensus jalur saraf. Second-order neurons bisa saja merupakan reseptor nosiseptif yang spesifik atau neuron yang menyebarluaskan hantaran. Nociceptive-specific neurons hanya menghantarkan stimulus yang menyakitkan, tapi WDR neurons juga menerima hantaran dari impuls tidak membahayakan Aβ, Aδ, dan serat-serat C. Nociceptive-specific neurons diatur secara somatotopik di dalam lamina I dan telah mempunyai ciri khasnya sendiri, area resptif somatik; normalnya mereka tenang dan hanya merespon terhadap stimulus high-threshold noxious, sangat buruk untuk mengkode intensitas stimulus. WDR neurons adalah tipe sel yang prevalensinya paling banyak di dalam hornu dorsalis. Meskipun mereka ditemukan melewati hornu dorsalis, WDR neurons paling berlimpah di lamina ke lima. Selama

(14)

28

stimulasi berulang, WDR neurons secara karakteristik meningkatkan rasio tingkat treshold secara eoksponensial secara bertingkat ("wind-up"), meskipun dengan intensitas stimulus yang sama. Mereka juga memiliki area resptif yang luas dibandingkan dengan nociceptive-specific neurons (Morgan’s Clinical Anasthesiology, 2006)

2.4 Pengukuran Derajat Nyeri

Visual Analogue Scale (VAS) adalah suatu cara pengukuran yang mengukur suatu karakteristik atau sikap yang dipercaya sebagai suatu ukuran yang sedang berlangsung dan tidak bisa langsung diukur secara objektif. Sebagai contoh, keparahan nyeriyang seorang pasien rasakan berjarak dan secara berangsur-angsur meningkat berawal dari tidak adamneuju ke keparahan nyeri yang ekstrim. Dari prespektif pasien spektrum ini muncul secara kontiniu ± nyeri tersebut tidak akan melompati satu dengan yang lain, tetapi akan bertahapdan dikategorikan dari tidak ada, ringan, sedang dan parah seperti yang tertera di bagan VAS. Ini bertujuan untuk dapat menggambarkan perasaan yang berangsur-angsur meningkat seperti VAS yang sudah dibagankan.Secara operasional VAS biasanya dalam bentuk garis horizontal, dengan panjang 100mm, diterakan dengan kata-kata yang mendiskripsikan di setiap ujung-ujungnya. Penandaan oleh pasien pada sepanjang garis yang mereka tunjuk menggambarkan perasaan mereka dan persepsi mereka pada saat itu.Ukuran VAS diberi ukuran dalam millimeter dari arah tangan kiri dan berakhir pada titik dimana pasien tersebut menunjukkan jarinya (D, Gould et al., 2001)

Visual Analogue Scale (VAS) adalah pengukuran subjektif dari suatu perasaan nyeri. Terdiri dari 1 garis lurus sepanjang 10 sentimeter dengan kedua ujungnya dimana satu ‘tidak ada nyeri’ dan ‘nyeri yang paling parah’. Pasien-pasien biasanya diminta untuk memperkirakan nyeri yang dirasakan dengan meletakkan tandadi salah satu titik sepanjang garis berdasarkan perasaan nyeri yang mereka rasakan pada saat itu. Jarak sepanjanggarisdari tanda ‘tidak ada nyeri’ yang diukur dengan menggunakan penggaris memberikan gambaran nyeri sampai 10.

(15)

Skor dapat digunakan sebagai dasar pemberian terapi terhadap nyeri dengan selalu mengukur secara kontiniu dengan melihat apakah nyeri berkurang atau tidak. Dimana nyeri belum berkurang secara signifikan biasanya selama minggu pertama sampai minggu kelima, para praktisi bisa berharap untuk mempertimbangkan meminta bantuan dari praktisi kesehatan lainnya. Skor tersebut juga dapat digunakan sebagai bahan evaluasi untuk menilai seberapa efektif penanganan nyeri tersebut (Huskisson EC. Measurement of pain,2000).

Tipe-tipe cara pengukuran nyeri : 1. VAS ( Visual Analogue Scale )

2. NRS ( Numerical Rating Scale )

(16)

30

4. Behavioural Rating scale

Wajah 0 Otot-otot wajah relaksasi 1 Otot wajah menegang, mengkerut, meringis 2 Mengkerut yang berulang, rahang mengeram Skor wajah: Kegelisahan 0 Diam, penampakan tenang, pergerakan normal 1 Sekali-sekali bergerak dengan gelisah, berubah-ubah posisi 2 Gelisah terus menerus dengan pergerakan ekstremitas dan kepala Skor kegelisah an: Tonus otot 0 Pergerakan tonus otot normal 1 Peningkatan tonus, fleksi dari jari-jari dan kaki 2

Tonus otot kaku

Skor tonus otot:

Suara 0

Tidak ada suara abnormal 1 Merintih, menangis, merengekda n menggerutu secara tiba-tiba 2 Merintih, menangis, merengekdan menggerutu secara terus menerus dan berulang Skor suara: Perasaan 0 Nyaman, rileks 1 Merasa terganggu akibat sentuhan, mudah terganggu 2 Sulit merasakan kenyamanan dengan sentuhan ataupun pembicaraan Skor perasaan:

Behavioural pain assessment scale total (0–10) /10

2.5 Manajemen Nyeri

Nyeri adalah kejadian-kejadian yang memberi tekanan atau stres dan dapat merubah gaya hidup dan juga kesejahteraan psikologis individual (Potter and Perry, 2005). Manajemen terhadap nyeri merupakan masalah yang begitu kompleks. Sebelum pemberian obat-obatan untuk penanganan nyeri yang dialami pasien, maka terlebih dahulu menilai dan mencari sumber, letak nyeri, dan

(17)

faktor-faktor yang meningkatkan intensitas nyeri tersebut, seperti kegelisahan dan keletihan (Brunner and Suddarth, 2001). Ada ribuan jenis obat-obatan analgesik yang tersedia, tetapi secara umum dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu, opiat dan analgesik non-narkotik (Tiur, 2010 dalam Branner & Feist, 2007). Obat-obatan merupakan strategi penanganan utama pada nyeri akut tetapi untuk nyeri kronik, obat-obatan memberikan risiko yang buruk (Brennan dan Feist, 2007). Nyeri kronik pada umumnya tidak memberikan respon terhadap pengobatan(Brunner & Suddarth, 2001).

Saat ini, untuk tujuan terapi, nyeri dibagi atas nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri akut dikategorikan lagi sebagai berikut. Pertama, nyeri yang muncul pada pasien, di mana sebelumnya tidak ada nyeri kronik. Untuk pasien dengan nyeri akut tipe ini, pengobatan ditujukan terhadap nyeri dan penyebabnya. Kedua, nyeri yang datang tiba-tiba pada pasien yang sebelumnya sudah menderita nyeri kronik akan tetapi nyeri akut tidak berhubungan dengan nyeri kronik, misalnya pasien dengan nyeri kanker yang diderita selama ini kemudian menderita patah tulang tanpa berhubungan dengan kankernya, dan mengalami nyeri. Pengobatan untuk keadaan seperti ini selain analgetik yang sesuai untuk patah tulangnya, perlu ditambahkan obat untuk nyeri yang lama. Ketiga, nyeri akut yang merupakan eksaserbasi nyeri kronik yang selama ini diderita oleh pasien misalnya seorang pasien dengan nyeri kanker kronik dan mengalami nyeri patah tulang oleh karena metastase. Nyeri akut yang muncul disini menimbulkan kekhawatiran akan memberatnya penyakit. Oleh karena itu kecemasan sangat mempengaruhi intensitas nyeri. Untuk kasus seperti, perlu ditambahkan terapi yang ditujukan untuk menurunkan kecemasan yang dapat berupa dukungan emosional dan obat-obatan. ( Meliala, 2004 dalam levine, 2004 )

Prinsip pengobatan nyeri akut dan berat (nilai Visual Analogue Scale = VAS 7-10) yaitu pemberian obat yang efek analgetiknya kuat dan cepat dengan dosis optimal. Istilah yang selalu saya populerkan “pukul dulu, risiko belakang”, yang artinya hilangkan dlul nyerinya dan seakan-akan tidak perlu dipikirkan efek samping obat. Pola pikir tersebut sesungguhnya didasari oleh paradigma yang sangat rasional bahwa pasien dengan nyeri akut dan berat lebih toleran terhadap

(18)

32

efek samping yang sementara daripada menderita nyeri yang hebat. Berbagai macam obat untuk tujuan terapi nyeri akut dan berat saat ini telah tersedia, mulai dari obat non steroid antiinflamsi konvensional, OAINS jenis koksib, sampai opioid. Pasien dengan nyeri kronik tidak membutuhkan efek obat yang cepat, dan umumnya tidak mentoleransi efek samping obat. Dokter dalam memilih terapi farmaka untuk nyeri kronik perlu memeriksa dan menegakkan diagnosis nyeri lebih spesifik pada setiap pasien. Apakah nyeri kronik yang diderita adalah nyeri inflamasi atau nyeri neuropatik, apakah nyeri karena keganasan atau bukan. Diagnosis tersebut sangat penting dalam pemilihan obat. Untuk nyeri inflamasi, misalnya osteoarthritis dapat dipergunakan berbagai analgesik, OAINS, maupun opioid, tergantung dari berat ringannya intensitas nyeri. Dalam memilih analgetika, sebagai dokter sebaiknya menyesuaikan berat ringannya nyeri dengan efektivitas obat. Akhir-akhir ini untuk menilai efektivitas obat dipergunakan istilah Number Needed to Treat (NNT) yang menggambarkan jumlah pasien yang diterapi dengan obat tertentu untuk mendapatkan hasil satu orang diantaranya mengalami pengurangan nyeri minimal 50% selama 4-6 jam, yang bukan karena efek plasebo (Meliala et all, 2004 dalam McQuay and Moore, 1999).

Untuk penggunaan opioid, Depkes RI (2002) telah menerbitkan buku Pedoman Penggunaan Obat Opioid Dalam Penatalaksanaan Nyeri. Dinyatakan dalam buku pedoman tersebut, para dokter yang menangani nyeri tanpa terkecuali, khususnya nyeri akut dan berat, nyeri persisten, nyeri kanker, tidak perlu takut untuk menulis resep opioid bila diperlukan. Depkes RI (2002) didalam buku Pedoman Penggunaan Obat Opioid Dalam Penatalaksanaan Nyeri menuliskan berbagai adjuvan analgetik yaitu kortikosteroid, antikonvulsan, antidepresan, neuroleptik, anastesi lokal, hidroksizin, psikostimulan.

(19)

Gambar 2.7 Tahapan-tahapan pemberian terapi menurut WHO. Sumber : WHO, 2009.

Gambar

Tabel  1-1.  Terminologi  yang  Sering  Digunakan  untuk  Menggambarkan  Nyeri Sumber : Morgan’s clinical Anesthesiology, 4th edition
Gambar 2.1 mediator kimiawi yang dilepaskan pada respons terhadap   kerusakanjaringan dan bisa mensintesis atau langsung
Gambar 2.2.Ilustrasi skematis dari teori proyeksi konvergen untuk nyeri   menjalar  dan  jalur  desendens  dalam  pengontrolan  nyeri
Gambar 2.3 Proses perjalanan nyeri dari stimulus, mediator, reseptor dan   modulator.
+6

Referensi

Dokumen terkait

Intokkasi atau keracunan eru"akan asuknya zat atau senyaa kiia Intokkasi atau keracunan eru"akan asuknya zat atau senyaa kiia dala tubuh anusia

Pekerja mendirikan rumah juga harus memperhatikan nyaman dan ketidak nyamanan lingkungan tempat tinggal.Kenyamanan merupakan komponen yang dapat merefleksikan secara

3. Adanya jaminan hak asasi manusia. Sebelum perubahan, dalam UUD 1945 dikenal lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara. Lembaga Tertinggi Negara yaitu MPR, dan

Pengujian yang dilakukan untuk mengetahui bahwa alat dapat berkerja sesuai dengan yang diinginkan maka dilakukan beberapa pengujian dari komponen yang digunakan

Jumlah partisipan dalam penelitian ini berjumlah 312 siswa (laki-laki=100, perempuan= 212), seluruhnya adalah siswa Sekolah Menengah Atas di Sulawesi Selatan

Kendala yang ditemukan pada birama 197 atau bagian poco piu mosso dapat diatasi dengan menggunakan latihan stretching vertical dan horizontal secara rutin untuk mendapatkan

Angka 1 Undang-Undang nomor 25 tahun 2003 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian uang adalah perbuatan

Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan