1
UJI KINERJA MODEL PERAMALAN MUKA AIR BANJIR
BENGAWAN SOLO DI STASIUN PENCATATAN BOJONEGORO
Umboro Lasminto*, Listiya Hery Mularto**
* Dosen Jurusan Teknik Sipil – Institut Teknologi Sepuluh Nopember - Kampus ITS Sukolilo - Surabaya 60111, Telp. +6281330691933, email: umboro@ce.its.ac.id
** Mahasiswa Pascasarjana S2 Jurusan Teknik Sipil – Institut Teknologi Sepuluh Nopember - Kampus ITS Sukolilo – Surabaya 60111, Telp. +6281357767776, email: el_herry69@yahoo.com
ABSTRACT
This paper applied the M5 Model Trees technique for forecasting river water levels. A water level forecasting model was built using hourly water level data at stations of Wonogiri, Colo Dam, Jurug, Karangnongko, Sekayu, Ahmad Yani, and Bojonegoro. The models designed to forecast the river water level in the Solo River at station of Bojonegoro at 1, 2, 3, 4, 5, 6, 12, 18 and 24 hours ahead. The original model with zero of pruning factor has very good accuracy, but the numbers of linear equations are too many. The model can be simplified so that the number of linear equations remain small by increasing pruning factors, but result in decreased accuracy. A simple model with the number of equations is not so many but still have an acceptable accuracy can be considered for use as a forecasting model.
Key words:M5 Model Trees, pruning factor, water level, Bengawan Solo
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sungai Bengawan Solo merupakan sungai terpanjang di Pulau Jawa dengan panjang sungai sekitar 600 km, mengalir melewati Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Jawa Timur, dengan luas daerah aliran sungai (DAS) sebesar 16.100 km2. Sepanjang musim
kemarau, sekitar hampir setengah juta meter kubik air sungai Bengawan Solo mengairi ribuan hektar sawah. Sebaliknya ketika musim hujan, ribuan meter kubik per detik airnya tidak dapat dialirkan oleh Sungai Bengawan Solo sehingga meluap dan mengakibatkan banjir.
Banjir Sungai Bengawan Solo terjadi pada tanggal 26 Desember 2007 sampai dengan bulan Januari 2008. Pada banjir ini, dengan data muka air sungai yang tercatat di stasiun pencatatan elevasi muka air Jurug (Surakarta) dapat diperkirakan telah mengalir debit banjir mencapai 1.986 m3/s atau setara dengan debit
kala ulang 30 tahunan. Sedangkan debit di
stasiun pencatat A. Yani (Kali Madiun) diperkirakan mencapai 1.421 m3/s atau setara
dengan kala ulang 40 tahunan dan di stasiun pencatat Bojonegoro diperkirakan sebesar 2.431 m3/s atau setara dengan debit kala ulang
50 tahun dan lebih besar dari debit banjir yang terjadi pada tahun 1966.
Banjir yang berlangsung pada akhir tahun 2007 terjadi akibat curah hujan pada tanggal 25 Desember 2007 di Sub DAS Kali Madiun dan Sub DAS Bengawan Solo hulu yang terjadi dalam waktu hampir bersamaan. Dari hasil analisa data yang diperoleh dari beberapa stasiun pencatat hujan diperoleh bahwa tinggi hujan harian rata-rata daerah aliran untuk Sub DAS Kali Madiun adalah 141 mm dan pada Sub DAS Bengawan Solo Hulu sebesar 124 mm.
Luapan banjir pada DAS Bengawan Solo di mulai dari Kota Solo dan sekitarnya, kemudian Kota Madiun dan Kabupaten Madiun, kemudian ke Kota dan Kabupaten Ngawi, Kota dan Kabupaten Bojonegoro, Kota Babat, Kabupaten Tuban dan Lamongan dan terakhir
2
di Wilayah Kabupaten Gresik. Perubahan debit banjir pada setiap lokasi pencatatan muka air dapat dilihat pada Tabel 1. Banjir yang terparah terjadi di Kota Bojonegoro sebagai akibat meluapnya air Bengawan Solo melalui tanggul-tanggul yang jebol dan pintu-pintu Door-lat yang tidak ditutup.
Banjir di Kota Bojonegoro dan sekitarnya menelan banyak kerugian baik harta maupun jiwa. Kerugian tersebut sebenarnya dapat dikurangi apabila banjir dapat diperkirakan sebelumnya sehingga masyarakat menerima informasi untuk bersiaga dan menyelamatkan jiwa dan hartanya dari banjir yang akan terjadi. Untuk dapat memperkirakan waktu kejadian banjir di Kota Bojonegoro
sebelum waktu kedatangannya, maka
diperlukan suatu model peramalan banjir atau muka air pada lokasi pencatatan muka air di Kota Bojonegoro. Model peramalan elevasi
muka air sungai di stasiun Bojonegoro dapat dibuat dengan input dari data-data pencatatan muka air sungai di hulu stasiun Bojonegoro yaitu stasiun Karangnongko, Sekayu, A. Yani, Jurug, Dam Colo dan Wonogiri yang lokasinya terlihat pada Gambar 1.
Tabel 1 Debit banjir pada masing-masing stasiun Pencatatan Muka air
Gambar 1 Lokasi stasiun AWLR Bengawan Solo
Permasalahan
Permasalahan yang berkaitan dengan pembuatan model peramalan banjir Bengawan Solo di stasiun Bojonegoro dalam makalah ini adalah:
1) Bagaimana hubungan data elevasi muka air sungai pada masing-masing stasiun pencatat di sepanjang sungai Bengawan Solo
2) Bagaimana bentuk model peramalan muka air banjir di stasiun Bojonegoro
3) Bagaimana akurasi model peramalan banjir di stasiun Bojonegoro.
3
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan di atas mengenai:
1) Korelasi antara data pencatatan muka air sungai di masing-masing stasiun pencatatan di sungai Bengawan Solo dengan stasiun Bojonegoro.
2) Bentuk model peramalan muka air di stasiun Bojonegoro untuk beberapa jam ke depan
3) Akurasi model peramalan muka air dikaitkan dengan jumlah persamaan linier yang digunakan.
Tujuan utama melakukan peramalan banjir adalah untuk mendapatkan perkiraan paling akurat dari debit atau elevasi muka air yang tidak diketahui pada masa datang guna dapat memberikan peringatan dengan waktu yang cukup sebelum kejadiannya. Selain itu peramalan banjir di sungai juga dibutuhkan untuk menyediakan informasi dasar berkaitan
dengan permasalahan yang berhubungan
dengan desain dan operasional sebuah sistem sungai secara luas.
Kegunaan dari hasil penelitian ini adalah sebagai sarana penunjang dalam memberikan peringatan dini (early warning system) bencana banjir. Peringatan dini dapat diberikan jika mampu memperkirakan besar dan waktu terjadinya banjir.
TINJAUAN PUSTAKA
Untuk membangun model matematik peramalan banjir terdapat kendala berkaitan dengan ketersediaan data. Curah hujan di DAS umumnya diukur oleh penakar hujan manual yang mengukur hujan harian, sehingga tidak dapat digunakan untuk meramalkan banjir yang perambatannya kurang dari satu hari. Selain itu tidak semua sungai memiliki data pengukuran penampang sungai yang cukup baik dan lengkap dari hulu sampai di hilir. Oleh sebab itu cukup sulit untuk mengaplikasikan model matematik konseptual atau physically based model untuk peramalan banjir.
Di sepanjang sungai Bengawan Solo dari hulu sampai hilir telah dilakukan pencatatan elevasi muka air secara real time dan
simultan. Data-data elevasi muka air ini dapat memberikan informasi perambatan banjir yang terjadi di sungai. Dengan tersedianya data-data elevasi muka air secara real time maka di lokasi tertentu dapat dibangun model peramalan “black box” atau model korelasi sederhana berdasarkan hubungan input-output antara elevasi muka air hulu dan hilir.
Untuk membangun model ”black box” peramalan banjir ada beberapa teknik yang dapat digunakan, salah satunya adalah M5 Model Trees (M5MT). Teknik ini memiliki struktur matematik yang fleksibel yang mampu
mengidentifikasi hubungan non linier
kompleks antara data input dan data output tanpa harus melibatkan fenomena alam yang terjadi, sehingga model M5MT dapat digunakan untuk berbagai hubungan data input-output.
Pendekatan M5MT didasarkan pada prinsip teori informasi yang memungkinkan untuk memisahkan parameter ruang multi dimensi dan secara otomatis membangun model berdasarkan kriteria kualitas. Pemisahan pada model tree mengikuti ide dari decision tree, namun perbedaannya model tree memiliki fungsi regresi linier pada daun-daun modelnya, sedangkan decision tree pada daun-daun modelnya terdiri dari class label. Perhitungan yang diperlukan pada model tree meningkat secara cepat dengan bertambahnya dimensi.
Model Trees (MT) menggunakan ide yaitu membagi parameter ruang menjadi sub-sub parameter ruang dan membuat setiap sub-sub parameter ruang tersebut satu model regresi linier seperti terlihat pada Gambar 2, sehingga model yang dihasilkan terlihat seperti sebuah model modular atau seperti sebuah Committee Machine dengan sejumlah model linier yang dipilih sesuai dengan kriterianya. Dengan menggunakan konsep sebuah diagram pohon, maka setiap daun dari model pohon tersebut berisi satu persamaan linier atau Linier Model (LM).
Algoritma yang dikenal sebagai M5 digunakan untuk membangun MT (Quinlan, 1992). Tujuannya adalah menyusun sebuah model yang menghubungkan sebuah nilai target
4
dari kasus pembelajaran pada variabel inputnya. Kualitas dari model akan diukur dengan akurasi dalam memprediksi nilai target. Kriteria pemisahan dalam algoritma M5MT didasarkan pada perlakuan standar deviasi dari nilai class yang menjangkau sebuah node sebagai sebuah ukuran error pada node itu, dan menghitung pengurangan error yang diharapkan sebagai hasil evaluasi pada setiap variabel pada node tersebut. Persamaan untuk menghitung standard deviation reduction (SDR) adalah:
T menggambarkan kumpulan data yang menjangkau node; Ti merepresentasikan sub
kumpulan data yang memiliki hasil ke-i dan sd adalah standar deviasi. Setelah mengevaluasi
semua kemungkinan pemisahan, M5
memisahkan dan memilih satu yang maksimum dalam mereduksi error yang diharapkan. Pemisahan di M5 berhenti, manakala nilai class dari semua data kejadian yang menjangkau
sebuah node hanya mengalami sedikit
perubahan atau hanya sedikit data kejadian yang tertinggal. Pemisahan tersebut terkadang menghasilkan jumlah model linier berlebihan sehingga harus dipotong (prune). Pemotongan
ini berarti kembali menggabungkan beberapa model linier menjadi satu model linier baru. Banyaknya penggabungan model tergantung dari besarnya angka pruning factor yang diberikan. Pada langkah akhir, dilakukan proses memperlancar, sebagai kompensasi pada diskontinuitas yang tajam, yang terjadi di antara model-model linier yang bersebelahan pada daun model yang dipangkas, terutama untuk model yang dibangun dari data yang jumlahnya sedikit. Persamaan linier yang bersebelahan kemudian diperbaharui sedemikian rupa, sehingga output hasil prediksi untuk vektor input yang bertetangga bersesuaian dan dengan
menggunakan persamaan yang berbeda
menghasilkan nilai yang berdekatan. Proses yang lebih detail dapat ditemui dalam Quinlan (1992) dan dijelaskan pula oleh Witten & Frank (2000).
MT melakukan pembelajaran lebih efisien dan dapat menyelesaikan masalah dengan dimensi sangat banyak. Kelebihan utamanya adalah bentuk MT lebih kecil dari decision tree, keputusannya jelas dan fungsi regresinya tidak melibatkan banyak variabel. Struktur model yang dibangun dengan teknik M5MT seperti pada Gambar 2.
Gambar 2 Konsep M5 Model Tree
Struktur model pada Gambar 2 dapat dijelaskan sebagai berikut. Sebagai contoh, persamaan model mana yang akan digunakan untuk menghitung y apabila nilai input x1 = 3
dan x2 = 4 ? Untuk mendapatkan model yang
akan digunakan maka dilakukan penelusuran dengan diagram pohon Gambar 2 mulai dari atas ke bawah. Pertanyaan pertama apakah x2
≥ 2 ? Karena pertanyaan tersebut jawabannya benar (yes) dimana x2(= 4) ≥ 2, maka menuju
5
cabang sisi kiri. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah x1 ≥ 2.5? Bila jawabannya benar (yes)
maka berlanjut ke cabang kiri namun bila tidak, menuju ke cabang sisi kanan dan langsung mendapatkan Model 3. Dalam hal ini karena nilai x1 ≥ 2.5 dan jawaban benar (yes) maka
kemudian langkah selanjutnya adalah ke pertanyaan apakah x2 ≤ 3.5? Bila pertanyaan
diatas menghasilkan jawaban benar (yes) maka digunakan Model 1 dan bila salah (no) digunakan Model 2. Karena pertanyaan x2 ≤ 3.5
menghasilkan jawaban salah (no), maka yang dipilih adalah model 2. Sehingga untuk mendapatkan nilai y dengan input x1 = 3 dan x2
= 4 maka nilai x1 dan x2 dimasukkan ke dalam
persamaan linier Model 2.
M5MT telah banyak digunakan oleh peneliti untuk memprediksi data series. Lasminto (2004) menggunakan teknik M5MT untuk meramalkan debit banjir Kali Surabaya dan memprediksi elevasi muka air Sungai Musi.
Solomatine (2004) meneliti kemampuan
aplikasi dan performa M5MT untuk
penyelesaian permasalahan peramalan banjir di Sungai Huai China. M5MT yang terdiri dari rangkaian model linier memiliki keunggulan lebih transparan, mudah diterima oleh pengambil keputusan dan waktu untuk training lebih pendek. Performa dari M5MT sendiri mendekati model Artificial Neural Networks (ANN). Pada penelitian tersebut juga dilakukan teknik peningkatan akurasi model dalam meramalkan puncak banjir dengan membangun
model dalam bentuk modular. Dengan
menggabungkan M5MT dan ANN diperoleh hasil prediksi terbaik. Stravs et.al (2009) menggunakan M5MT untuk membangun model peramalan banjir 6 jam ke depan Sungai Krka dengan dan tanpa menggunakan data hujan hasil peramalan.
Bhattacharya (2003) malakukan
penelitian hubungan debit dan elevasi muka air (rating curve) pada Sungai Indian. Hasil prediksi dengan menggunakan M5MT memiliki akurasi sangat tinggi dan hampir sama dengan hasil yang diperoleh dengan menggunakan model ANN. Solomatine (2004) melakukan
penelitian tentang fleksibilitas dan optimalisasi M5MT dengan memasukan algoritma baru yaitu M5flex dan M5opt. Penelitian ini menggunakan data dari Sieve Catchment (Italia), Sungai Bagmati (Nepal) dan lima data yang digunakan sebagai Bench Mark yaitu Autompg, Bodyfat, CPU, Friedman and Housing, Blake & Mertz. Hasil penelitian menunjukan bahwa M5flex memiliki akurasi tertinggi disusul oleh M5opt, M5MT dan ANN. Preis (2008) melakukan penelitian permodelan untuk aliran dan kualitas air dengan menggabungkan skema M5MT dan Genetic Algoritma. M5MT digunakan untuk memprediksi aliran dan kualitas air sedangkan Genetic Algoritma digunakan untuk kalibrasi parameter model. Dengan metode ini diperoleh hasil yang mendekati data lapangan namun demikian masih memiliki kelemahan dalam memprediksi debit puncak dan beban kualitas air.
METODOLOGI
Pembangunan model peramalan ini menggunakan data pencatatan muka air sungai pada beberapa stasiun pencatatan muka air di Bengawan Solo yaitu di Waduk Wonogiri, Dam Colo, Jurug, Sekayu, Ahmad Yani, Karangnongko dan Bojonegoro dalam kurun waktu 4 Desember 2007 sampai dengan 9 Januari 2008. Analisa awal yang harus dilakukan untuk membuat model peramalan adalah menghitung korelasi antara data muka air stasiun Bojonegoro sebagai lokasi yang diramalkan dengan stasiun di hulunya sebagai data masukan. Analisa korelasi selain untuk mengetahui seberapa besar hubungan antara data di lokasi yang akan diramalkan dengan data di lokasi yang menjadi input model peramalan, juga untuk mengetahui selisih waktu perambatan banjir dari lokasi pencatatan dengan lokasi yang diramalkan (lag-time). Asumsi dalam analisis korelasi ini adalah curah hujan lokal yang terjadi dan anak sungai diantara pos-pos yang dikorelasikan serta faktor kebasahan tanah akibat terjadiya hujan
beberapa jam/hari sebelumnya tidak
6
Karena itu mengapa tidak semua data pencatatan muka air dapat dijadikan variabel input, hanya data input yang memiliki korelasi dengan data output tinggi yang akan dijadikan variabel input. Hal ini dilakukan agar jumlah variabel input tidak terlalu banyak, sehingga model tidak terlalu komplek. Mengingat bahwa lag time antara data input dan output cukup besar maka bila tidak dilakukan seleksi jumlah variabel input akan sangat banyak.
Sebelum melakukan simulasi untuk membangun model peramalan perlu dibuat skematisasi untuk menentukan data-data yang akan menjadi variabel input dan variabel output, tipe klasifikasi yang akan digunakan dan besarnya angka pruning factor. Kemudian setiap model peramalan disimulasi dengan cara melakukan pembelajaran (training) terhadap hubungan data-data input terhadap data output. Proses ini sama dengan kalibrasi sehingga hasil simulasi model diharapkan sedekat mungkin dengan data hasil pencatatan di lapangan.
Simulasi pembangunan model akan
menggunakan program komputer WEKA Knowledge Explorer dari Waikato University. Model yang dibangun kemudian dievaluasi akurasinya dengan menghitung beberapa error yang terjadi antara hasil model dan data pencatatan lapangan, diantaranya yaitu : Mean Absolut Error (MAE), Root Mean Square Error (RMSE), Relative Absolut Error (RAE) dan Root Relative Square Error (RRSE).
HASIL, ANALISIS DAN PEMBAHASAN Korelasi data
Analisa korelasi data dilakukan untuk mengetahui hubungan antara data variabel input dengan data variabel output serta lag time antara data variabel input dan variabel output.
Pada Gambar 3. dapat dilihat bahwa korelasi maksimum antara data pencatatan muka air di stasiun Bojonegoro dengan muka air di stasiun pencatat Waduk Wonogiri terjadi pada 18 jam sebelumnya sebesar 0,84. Dengan demikian terdapat korelasi yang baik antara stasiun Wonogiri dan stasiun Bojonegoro dengan selisih waktu 18 jam.
Gambar 3 Korelasi antara data muka air di Waduk Wonogiri dan muka air Bojonegoro
Gambar 4 Korelasi antara data muka air Dam Colo dan muka air Bojonegoro Korelasi data antara stasiun Bojonegoro
dan stasiun Dam Colo lebih rendah
dibandingkan dengan stasiun Wonogiri. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh muka air di Dam Colo sangat dipengaruhi oleh debit dari anak-anak sungai diantara Dam Colo dan Waduk Wonogiri dimana pengaruh ini tidak sampai ke stasiun Bojonegoro. Korelasi maksimum antara data pencatatan muka air di stasiun Bojonegoro dengan muka air di stasiun Dam Colo terjadi pada 16 jam sebelumnya hanya sebesar 0,63.
Gambar 5 Korelasi data antara muka air stasiun Jurug dan muka air Bojonegoro 0.822 0.824 0.826 0.828 0.83 0.832 0.834 0.836 0.838 0.84 0.842 Ko e fi s ie n Ko re la s i Atribut input 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 C L M 2 8 C L M 2 6 C L M 2 4 C L M 2 2 C L M 2 0 C L M 1 8 C L M 1 6 C L M 1 4 C L M 1 2 C L M 1 0 C L M 8 C L M 6 C L M 4 C L M 2 CL Ko e fi s ie n Ko re la s i Atribut Input 0.64 0.65 0.66 0.67 0.68 0.690.7 0.71 0.72 0.73 0.74 0.75 K o e fi s ie n K o re la s i Atrbut input
7
Data pencatatan muka air di stasiun Jurug memiliki korelasi cukup baik dengan data di stasiun Bononegoro. Korelasi terbesar yang dihasilkan adalah 0,84 dengan selisih waktu 15 jam, seperti pada Gambar 5.
Gambar 6 Korelasi data antara muka air Sekayu dan muka air Bojonegoro. Data muka air Kali Madiun yang diamati di stasiun Sekayu dan A Yani menghasilkan korelasi yang sangat kecil dengan stasiun Bojonegoro seperti pada Gambar 6 dan 7. Koefisien korelasi terbesar di stasiun Sekayu hanya 0,38 dan di stasiun Ahmad Yani lebih kecil lagi yaitu 0,27. Aliran debit banjir Kali Madiun mengalami kesulitan untuk mengalir ke Sungai Bengawan Solo karena elevasi muka air di Sungai Bengawan Solo cukup tinggi yang disebabkan oleh mengalirnya debit dari sub DAS Bengawan Solo hulu. Sehingga elevasi muka air Kali Madiun tidak hanya di pengaruhi oleh debit dari hulu tetapi juga aliran balik.
Gambar 7 Korelasi data antara muka air A. Yani dan muka air Bojonegoro
Stasiun Karangnongko berada tepat di hulu stasiun Bojonegoro, sehingga koefisien korelasi yang dihasilkan dari kedua stasiun mencapai 0,89.
Gambar 8 Korelasi data antara muka air
Karangnongko dan muka air
Bojonegoro.
Model peramalan muka air banjir 1 sampai 24 jam ke depan dibangun dengan
menggunakan program bantu WEKA
Knowledge Explorer dengan skema clasifier M5MT dan masing-masing model memiliki jumlah data, jumlah variabel input dan pruning factor seperti pada Tabel 2 dibawah ini.
Tabel 2. Jumlah variabel input, jumlah data dan pruning factor
Contoh akurasi model peramalan banjir 1 dan 12 jam ke depan di tampilkan pada Gambar 9 dan Gambar 10. Gambar 9 menampilkan perbandingan elevasi muka air di stasiun Bojonegoro antara hasil simulasi model peramalan 1 jam kedepan dan data pencatatan lapangan. Untuk peramalan muka air 1 jam ke depan, hasil model sangat mendekati dengan data pengukuran lapangan. Hanya pada beberapa kondisi dimana muka air berubah secara drastis dalam waktu pendek sehingga hasil model tidak mampu mendekatinya. 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 K o e fi si e n K o re la si Atribut input 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 K o e fi s ie n K o re la s i Atribut input 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 K o e fi s ie n K o re la s i Atribut Input 1 2 3 4 5 6 12 18 24 Jumlah Variabel Input 86 85 72 65 58 51 47 47 39 Jumlah Data (Jam) 843 843 846 846 846 846 832 844 844 Pruning Factor
Peramalan (jam ke depan)
8
Gambar 9 Visualisasi hasil performa model peramalan 1 jam ke depan
Sedangkan Gambar 10 menampilkan perbandingan elevasi muka air di stasiun Bojonegoro antara hasil simulasi model peramalan 12 jam ke depan dan data pencatatan lapangan. Secara visual hasil model masih dapat dengan baik mengikuti tren perubahan muka air hasil pengukuran lapangan. Model juga dapat meramalkan dengan baik muka air sungai baik pada kondisi muka air rendah maupun tinggi. Namun bila dibandingkan dengan model peramalan 1 jam kedepan, model ini mengalami penurunan akurasi dengan selisih antara hasil model dan data pengukuran lapangan lebih besar.
Gambar 10 Visualisasi hasil performa model peramalan 12 jam ke depan
Untuk model peramalan 1 jam ke depan hanya disimulasi sampai dengan pruning factor 1 saja karena telah menghasilkan satu persamaan linier, sedangkan untuk model peramalan 2 jam ke depan hanya disimulasi sampai pruning factor 3. Hasil simulasi model menunjukan bahwa koefisien korelasi dari model peramalan banjir 1, 2, 3, 4, 5,6, 12, 18 dan 24 jam semakin kecil dengan semakin besar rentang waktu peramalannya. Demikian juga
dengan kenaikan angka pruning factor menyebabkan terjadi penurunan koefisien korelasi seperti pada Gambar 11. Contoh bentuk model peramalan muka air sungai Bengawan Solo di stasiun Bojonegoro 12 jam ke depan dapat dilihat pada lampiran A dan B.
Gambar 12. memperlihatkan nilai MAE yang dihasilkan oleh model peramalan 1 sampai 24 jam ke depan dengan berbagai pruning factor. Semakin jauh rentang waktu peramalan kedepan maka semakin besar nilai MAE yang dihasilkan. Demikian juga dengan memperbesar nilai pruning factor maka nilai MAE menjadi semakin besar dan model semakin tidak akurat.
Gambar 11 Grafik Perbandingan koefisien korelasi masing-masing model
Gambar 12 Grafik perbandingan MAE masing-masing model
Gambar 13, 14 dan 15 berturut-turut menampilkan nilai RMSE, RAE dan RRSE yang dihasilkan oleh model peramalan 1 sampai 24 jam ke depan dengan berbagai pruning factor. Sama seperti MAE, maka semakin jauh rentang waktu peramalan kedepan maka semakin besar nilai RMSE, RAE dan RRSE 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 1 76 151 226 301 376 451 526 601 676 751 826 E le v a si m u ka a ir ( m e te r) Waktu (jam)
Observasi Model Peramalan 1 jam kedepan
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 1 76 151 226 301 376 451 526 601 676 751 826 E le v a si mu ka a ir ( me te r) Waktu (jam)
Observasi Model Peramalan 12 jam kedepan
0.85 0.9 0.95 1 1 2 3 4 5 6 12 18 24 C o ef fi ci en t C o rr el a ti o n
Jam Peramalan ke depan Grafik Coefficient Correlation model dengan berbagai
pruning factor
Pruning = 0 Pruning=1 pruning=2 Pruning=3
Pruning=5 Pruning=10 Pruning=30
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 2 3 4 5 6 12 18 24 MA E ( m et er )
Jam Peramalan ke depan
Grafik Mean Absolut Error model dengan berbagai pruning factor
Pruning=0 Pruning=1 pruning=2 Pruning=3
9
yang dihasilkan. Demikian juga dengan memperbesar nilai pruning factor maka nilai RMSE, RAE dan RRSE menjadi semakin besar dan model semakin tidak akurat.
Gambar 13 Grafik perbandingan RMSE masing-masing model
Gambar 14 Grafik perbandingan RAE masing-masing model
Gambar 15 Grafik perbandingan RRSE masing-masing model
Pada Gambar 12 sampai dengan Gambar 15 terjadi peningkatan nilai MAE, RMSE, RAE dan RRSE yang cukup besar pada model peramalan banjir 24 jam kedepan dengan pruning factor 30. Model ini hanya terdiri dari satu persamaan linier. Untuk model peramalan
dengan jangka waktu cukup panjang seperti 24 jam kedepan, data input dari titik-titik pencatatan di hulu yang letaknya jauh dari titik yang diramalkan memiliki korelasi yang cukup besar dan biasanya hubungannya non linier. Oleh sebab itu jika dipaksakan menggunakan model dengan satu persamaan linier saja maka nilai error yang dihasilkan besar. Sedangkan untuk model peramalan banjir jangka pendek yaitu 1 atau 2 jam kedepan, karena korelasi dengan titik pencatatan terdekat sangat besar maka masih memungkinkan terjadi hubungan linier dari dua titik pencatatan yang berurutan. Oleh sebab itu peramalan jangka pendek dengan hanya satu persamaan linier masih memiliki akurasi yang cukup baik.
Gambar 16 Grafik perbandingan Jumlah persamaan linier masing-masing model
Gambar 17 Grafik perbandingan Jumlah persamaan linier dengan RMSE masing-masing model
Dari Gambar 17 dapat dilihat bahwa dengan jumlah persamaan linier kurang dari 10 maka nilai RMSE meningkat tajam atau dengan kata lain akurasi menurun dengan tajam. 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1 2 3 4 5 6 12 18 24 R MS E ( m et er )
Jam Peramalan ke depan
Grafik RMSE model dengan berbagai pruning factor
Pruning=0 Pruning=1 pruning=2 Pruning=3
Pruning=5 Pruning=10 Pruning=30
0 5 10 15 20 25 30 35 1 2 3 4 5 6 12 18 24 R A E (% )
Jam Peramalan ke depan
Grafik RAE model dengan berbagai pruning factor
Pruning=0 Pruning=1 pruning=2 Pruning=3
Pruning=5 Pruning=10 Pruning=30
0 10 20 30 40 50 1 2 3 4 5 6 12 18 24 R R SE ( % )
Jam Peramalan ke depan
Grafik RRSE model dengan berbagai pruning factor
Pruning=0 Pruning=1 pruning=2 Pruning=3
Pruning=5 Pruning=10 Pruning=30
0 10 20 30 40 50 60 1 2 3 4 5 6 12 18 24 Ju m la h Mo d e l Li n ie r
Jam Peramalan ke depan
Grafik Jumlah Model Linier berbagai pruning factor
Pruning=0 Pruning=1 pruning=2 Pruning=3
Pruning=5 Pruning=10 Pruning=30
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 0 10 20 30 40 50 60 R M S E ( m e te r)
Jumlah Model Linier
1 jam 2 jam 3 jam 4 jam 5 jam
10
Sedangkan untuk jumlah persamaan lebih dari 30, nilai RMSE tidak menunjukkan banyak perbedaan. Oleh sebab itu model dengan 10 sampai dengan 30 persamaan linier dapat dianggap cukup sederhana dan masih memiliki akurasi yang cukup dapat diterima.
Hasil dari analisis dan pembahasan
dapat disarikan sebagai berikut.
1 Korelasi antara data pencatatan muka air di stasiun Bojonegoro dengan stasiun Dam Wonogiri, Jurug dan Karangongko cukup baik. Sedangkan dengan stasiun Dam Colo korelasinya sedang dan korelasinya rendah dengan stasiun Sekayu dan A. Yani.
2 Banyaknya persamaan linier dan data yang digunakan pada model peramalan muka air Sungai Bengawan Solo 1 sampai 24 jam ke depan berbeda-beda tergantung dari jangka waktu peramalan dan pruning factor. 3 Model Peramalan muka air Bengawan Solo
1 sampai dengan 24 jam ke depan memiliki akurasi cukup baik. Akurasi model menurun dengan semakin besarnya jangka waktu peramalan. Akurasi model juga menurun dengan semakin besarnya angka pruning factor.
4 Model peramalan dengan jumlah persamaan
linier kurang dari 10 mengalami
peningkatan error cukup tajam. Sedangkan Model dengan jumlah persamaan lebih dari 30 menghasilkan perubahan nilai error tidak terlalu signifikan.
Hal-hal yang harus diperhatikan
antara lain :
1 Model peramalan ini hendaknya uji lagi dengan data dari kejadian banjir yang lain. 2 Akurasi model dapat ditingkatkan dengan
menambah jumlah lokasi pencatatan muka air dan bila memungkinkan menambahkan data pencatatan curah hujan sebagai input. KESIMPULAN
Dari uraian tersebut di atas bisa disimpulkan bahwa:
1) Kinerja dari model M5MT sangat
mendekati model ANN (Artificial Neural
Network) dari penelitian lain, dan dalam
model aplikasinya, keduanya dapat
digabungkan dengan akurasi yang
memadai.
2) Model aplikasi ini sebaiknya dipakai sebagai pemandu utama sistem peringatan
dini yang dapat diterapkan untuk
mengantisipasi kejadian banjir di
Bojonegoro. Namun perlu diingatkan bahwa penerapan model ini untuk tempat-tempat lain memerlukan penyesuaian dan sampel bergantung dari data yang tersedia
untuk lokasi yang bersangkutan.
Kekurangan informasi akan mengurangi tingkat keakuratannya.
DAFTAR PUSTAKA
1) Bhattacharya, Solomatine D.P,(2003) , Neural Networks and M5 Model Trees in modeling water level-discharge relationship
for an Indian river, ESANN'2003
proceedings - European Symposium on
Artificial Neural Networks Bruges
(Belgium), d-side publi., ISBN 2-930307-03-X, pp. 407-412
2) Lasminto U. (2004), Model Peramalan Banjir di Kali Surabaya, Seminar Nasional Penanganan Banjir Dies Natalis ke 44 ITS Surabaya
3) Lasminto U. (2004), Aplikasi Model Non Linier M5 Model Tree untuk peramalan debit Banjir Kali Surabaya, Seminar Nasional Penanganan Banjir Dies Natalis ke 44 ITS Surabaya, 2004
4) Lasminto, U. (2007), Model Peramalan permukaan air sungai 24 jam kedepan di Muara Sungai Musi, Seminar Nasional Pasca Sarjana VII ITS
5) Preis A,, Ostfeld A, (2008) A coupled model tree–genetic algorithm scheme for flow and water quality predictions in watersheds, Journal of Hydrology 349, 364– 375
6) Quinlan, J.R., (1992), Learning with
continuous classes. Website:
http://citeseer.nj.nec.com/quinlan92learning .html
11
7) Siek, M.B., (2003) Flexibility and Optimality in Model Trees Learning with Application to Water-related Problem, M.Sc. Thesis, HH 472, IHE, Delft, The Netherlands.
8) Solomatine, D. P. and Dulal, K. N. (2002) Model Tree as an Alternative to Neural Network in Rainfall Runoff Modelling, Hydrological Sciences Journal, Vol. 48, No. 3, Pages 399-411.
9) Solomatine DP, Xue Y, (2004), M5 Model Trees and Neural Networks: Application to Flood Forecasting in the Upper Reach of the Huai River in China, Journal of Hydrologic Engineering, Vol. 9, No. 6, November/December 2004, pp. 491-501,
10) Solomatine, D. P. (2001) Data Driven Modelling: Machine learning, Data Mining and Knowledge Discovery, IHE lecture notes, HH482/02/1
11) Solomatine,D.P, Siek, M.B, (2004), Flexible and optimal M5 Model Trees with applications to flow predictions, 6th
International Conference on
Hydroinformatics - Liong, Phoon &
Babovic (eds) © World Scientific
Publishing Company, ISBN 981-238-787-0 12) Waikato ML Group (1997) User Manual-Weka the Waikato for Knowledge Analysis.
Departement of Computer Science,
12
Lampiran A
Contoh bentuk model peramalan muka air sungai Bengawan Solo di stasiun Bojonegoro 12 jam kedepan. WNt-5 ≤ 136 WNt-4 ≤ 132 LM6 Yes No CLt-1 ≤ 108 LM1 Yes No WNt-2 ≤ 133 LM5 Yes No WNt-5 ≤ 133 LM4 Yes No LM3 LM2 Yes No
13
Lampiran B
Persamaan-persamaan linier adalah sebagai berikut; LM1:
BNt+12 = -16.7 + 0.00839WNt-5 + 0.00264WNt-4 + 0.0242WNt-3 + 0.0043WNt-2 + 0.00219WNt-1 +
0.102WNt0 + 0.00725CLt-3 + 0.00496CLt-2 - 0.00113CLt-1 - 0.0128CLt0 - 0.0023JRt-4 - 9.24e-4JRt-3 +
0.00461JRt-2 + 9.18e-4JRt - 0.00843SKt-12 + 0.00694SKt-11 - 0.00106SKt-9 - 0.00205SKt-8 +
0.00628SKt-4 - 0.0038YNt-12 - 7.69e-4YNt-11 + 0.00389YNt-7 + 0.00771YNt-6 - 0.0128YNt-3 +
0.00514KNt-5 - 0.0305KNt-3 - 0.0428KNt-1 + 0.0842KNt0 - 0.932BNt-5 + 1.7BNt0
LM2:
BNt+12 = -211 - 0.19WNt-5 - 1.13WNt-4 + 0.275WNt-3 + 3.08WNt-2 + 0.00219WNt-1 - 0.0107WNt0 +
0.00725CLt-3 + 0.00496CLt-2 - 0.00113CLt-1 - 0.582CLt - 0.356JRt-4 - 9.24e-4JRt-3 + 0.267JRt-2 +
9.18e-4JRt - 0.00843SKt-12 + 0.00694SKt-11 + 0.241SKt-9 - 0.00205SKt-8 + 0.00628SKt-4 -0.0038YNt-12
- 7.69e-4YNt-11 + 0.00389YNt-7 + 0.00771YNt-6 - 0.0128YNt-3 + 0.00514KNt-5 - 0.128KNt-3 -
0.0428KNt-1 + 0.248KNt0 - 0.0557BNt-5 + 0.0143BNt0
LM3:
BNt+12 = 34.4 - 0.19WNt-5 - 1.13WNt-4 + 0.275WNt-3 + 1.36WNt-2 + 0.00219WNt-1 - 0.0107WNt +
0.00725CLt-3 + 0.00496CLt-2 - 0.00113CLt-1 - 0.582CLt0 - 0.561JRt-4 - 9.24e-4JRt-3 + 0.267JRt-2 +
9.18e-4JRt0 - 0.00843SKt-12 + 0.00694SKt-11 + 0.241SKt-9 - 0.00205SKt-8 + 0.00628SKt-4 - 0.0038YN t-12 - 7.69e-4YNt-11+ 0.00389YNt-7 + 0.00771YNt-6 - 0.0128YNt-3 + 0.00514KNt-5 - 0.128KNt-3 -
0.0428KNt-1 + 0.248KNt0 - 0.0557BNt-5 + 0.0143BNt0
LM4:
BNt+12 = -3160 + 12.6WNt-5 - 0.89WNt-4 + 0.275WNt-3 + 16.9WNt-2 + 0.00219WNt-1 - 5.56WNt +
0.00725CLt-3 + 0.00496CLt-2 - 0.00113CLt-1 - 3.83CLt - 0.282JRt-4 - 9.24e-4JRt-3 + 5.48JRt-2 -
1.36JRt0 - 0.00843SKt-12 + 0.00694SKt-11 + 1.55SKt-9 - 3.04SKt-8 + 0.00628SKt-4 - 0.697YNt-12 -
7.69e-4YNt-11 + 0.00389YNt-7 + 0.00771YNt-6 + 6.12YNt-3 - 0.65KNt-5 - 0.11KNt-3 - 0.0428KNt-1 +
0.226KNt - 0.0557BNt-5 + 0.0143BNt0
LM5:
BNt+12 = 21.2 - 0.314WNt-5 + 0.647WNt-4 + 0.644WNt-3 + 0.0043WNt-2 - 1.2WNt-1 - 0.0107WNt +
0.00725CLt-3 + 0.00496CLt-2 - 0.00113CLt-1 - 0.0128CLt - 0.0023JRt-4 - 9.24e-4JRt-3 + 0.00461JRt-2 +
0.0859JRt0 - 0.00843SKt-12 + 0.00694SKt-11 - 0.00106SKt-9 - 0.00205SKt-8 + 0.00628SKt-4 -
0.0038YNt-12 - 7.69e-4YNt-11 + 0.00389YNt-7 + 0.00771YNt-6 - 0.0128YNt-3 + 0.00514KNt-5 -
0.0405KNt-3 - 0.0428KNt-1 + 0.37KNt0 + 0.583BNt-5 + 0.0143BNt0
LM6:
BNt+12 = -55.1 + 0.018WNt-5 + 0.00567WNt-4 + 0.559WNt-3 + 0.00922WNt-2 + 0.00471WNt-1 -
0.0229WNt0 + 0.0155CLt-3 + 0.0107CLt-2 - 0.00243CLt-1 - 0.0275CLt0 - 0.00494JRt-4 - 0.00198JRt-3 +
0.00989JRt-2 + 0.00197JRt0 - 0.219SKt-12 + 0.0149SKt-11 - 0.00227SKt-9 - 0.0044SKt-8 + 0.0135SKt-4 -
0.00816YNt-12 - 0.00165YNt-11 + 0.00835YNt-7 + 0.0165YNt-6 - 0.0275YNt-3 + 0.011KNt-5 -
14
Keterangan:
WN , elevasi muka air stasiun Wonogiri CL , elevasi muka air stasiun Dam Colo JR , elevasi muka air stasiun Jurug SK , elevasi muka air stasiun Sekayu YN , elevasi muka air stasiun Ahmad Yani KN , elevasi muka air stasiun Karangnongko BN , elevasi muka air stasiun Bojonegoro
t , waktu (jam)
-i , waktu i jam sebelumnya dari saat dilakukan perhitungan peramalan +i , waktu i jam ke depan dari saat dilakukan perhitungan peramalaan