• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN MODEL MEANS ENDS ANALYSIS (MEA) TERHADAP KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA KELAS VIII SMPN 3 BATUSANGKAR SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENERAPAN MODEL MEANS ENDS ANALYSIS (MEA) TERHADAP KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA KELAS VIII SMPN 3 BATUSANGKAR SKRIPSI"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN MODEL MEANS ENDS ANALYSIS (MEA)

TERHADAP KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS

SISWA KELAS VIII SMPN 3 BATUSANGKAR

SKRIPSI

Ditulis sebagai Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana (S-1)

Jurusan Tadris Matematika

Oleh:

MERIZA

NIM. 14 105 039

JURUSAN TADRIS MATEMATIKA

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

BATUSANGKAR

2019

(2)
(3)
(4)
(5)

i

ABSTRAK

MERIZA, NIM: 14 105 039, judul skripsi ”Penerapan Model Means

Ends Analysis (MEA) Terhadap Kemampuan Penalaran Matematis Siswa

Kelas VIII SMPN 3 Batusangkar”. Jurusan Tadris Matematika Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Batusangkar.

Penelitian ini didasarkan pada permasalahan yang peneliti temukan di SMPN 3 Batusangkar, yaitu siswa seringkali mengalami kesulitan dalam menyelesaikan permasalahan matematika, karena ketidakmampuan siswa dalam menyajikan pernyataan matematika baik secara lisan, tertulis dan gambar meskipun siswa sudah menguasai konsep materi dengan baik. Selain itu siswa juga tidak terbiasa dalam menggunakan pola atau sifat dari gejala matematika di dalam pembelajaran, yang mengakibatkan ketika menemukan pola matematika yang baru siswa sedikit kebingungan. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan penalaran matematis siswa masih rendah. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan kemampuan penalaran matematis siswa dengan menerapkan model MEA lebih baik dari kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional pada kelas VIII di SMPN 3 Batusangkar.

Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu atau quasi eksperimen. Populasi pada penelitian ini adalah semua siswa kelas VIII SMPN 3 Batusangkar tahun pelajaran 2018/2019 yang terdiri dari lima kelas. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik Simple Random Sampling dengan cara lotting, yang terambil pertama yaitu kelas VIII.4 sebagai kelas eksperimen dan yang terambil kedua kelas VIII.5 sebagai kelas kontrol. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes kemampuan penalaran matematis. Uji hipotesis yang digunakan adalah uji-t.

Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh rata-rata kemampuan penalaran matematis pada kelas eksperimen adalah 77,967 dan rata-rata kelas kontrol adalah 67,467. Dari uji hipotesis diperoleh dengan

diperoleh sehingga hipotesis penelitian diterima. Jadi dapat disimpulkan bahwa kemampuan penalaran matematis siswa menggunakan model MEA lebih baik daripada kemampuan penalaran matematis siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.

(6)

ii

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI PERSETUJUAN PEMBIMBING PENGESAHAN TIM PENGUJI

ABSTRAK ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Identifikasi Masalah ... 11 C.Batasan Masalah ... 12 D.Rumusan Masalah ... 12 E. Tujuan Penelitian ... 12 F. Manfaat Penelitian ... 12 G.Definisi Operasional ... 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA A.Landasan Teori 1. Pembelajaran Matematika ... 14

2. Model Means Ends Analysis (MEA) ... 16

3. Kemampuan Penalaran Matematis ... 22

4. Pembelajaran Konvensional ... 29

5. Hubungan Kemampuan Penalaran Matematis dengan Model Means Ends Analysis (MEA) ... 30

B.Kajian Penelitian yang Relevan ... 32

C.Kerangka Berpikir ... 34

D.Hipotesis Penelitian ... 36

BAB III Metode Penelitian A.Jenis Penelitian ... 37

B.Tempat dan Waktu Penelitian ... 38

(7)

iii

D.Variable Penelitian ... 43

E. Prosedur Penelitian ... 44

F. Pengembangan Instrumen ... 48

G.Teknik Pengumpulan Data ... 56

H.Teknik Analisis Data ... 56

BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Deskripsi Data ...60

B. Analisis Data Kemampuan Penalaran Matematis Secara Statistik ...62

C. Pembahasan ...63

D. Kendala dan Solusi ...84

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...86

B. Saran ...86

DAFTAR KEPUSTAKAAN LAMPIRAN

(8)

1

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Pendidikan menyediakan lingkungan yang memungkinkan siswa untuk mengembangkan kemampuannya secara optimal, sehingga ia dapat berguna bagi kebutuhan dirinya serta kebutuhan masyarakat di sekitarnya. Pendidikan memiliki sumber daya yang handal dan mampu berkompetisi secara global, yaitu sumber daya yang memiliki kemampuan dan keterampilan tinggi yang melibatkan pemikiran kritis, kreatif, sistematis, logis dan kemampuan bekerjasama yang efektif. Sikap dan cara ini dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran matematika, karena matematika memiliki sruktur dan keterkaitan yang kuat dan jelas antara konsepnya sehingga siapapun yang mempelajarinya terampil berpikir rasional.

Beberapa hal yang dapat kita simpulkan dari konsep pendidikan tersebut, bahwa pendidikan bukanlah suatu proses yang dilaksanakan secara cuma- cuma, tetapi merupakan suatu proses yang mempunyai tujuan yang mulia. Maka untuk mewujudkan tujuan tersebut, komponen lain dari pendidikan yang perlu diperhatikan adalah proses pembelajaran. Pentingnya proses pembelajaran dalam kehidupan manusia, karena pembelajaran merupakan proses perkembangan dalam memperoleh pengalaman dan pengetahuan baru yang menghasilkan perubahan individu yang belajar. Perubahan ini tidak hanya mengenai jumlah pengetahuan, melainkan juga dalam bentuk tingkah laku, sikap, pemahaman, keterampilan, kebiasaan, minat, dan penyesuaian diri. Begitupun dalam proses pembelajaran matematika.

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan pada setiap jenjang pendidikan. Dengan mempelajari matematika, dipersiapkan peserta didik agar dapat bersaing dengan menggunakan pola pikir yang kreatif, inovatif dan imajinatif. Pentingnya belajar matematika tidak terlepas dari peranannya dalam berbagai kehidupan, berbagai informasi dan gagasan yang

(9)

banyak disampaikan dengan bahasa matematik. Oleh karena itu dari beberapa pelajaran yang disajikan di sekolah, matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan dengan jam pelajaran yang paling banyak dibanding dengan mata pelajaran lainnya.

Depdiknas (2002) menyatakan bahwa materi matematika dan penalaran matematika merupakan dua hal yang terkait dan tidak dapat dipisahkan, karena materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran dapat dipahami dan dilatih melalui belajar materi matematika. Dengan belajar matematika keterampilan berpikir siswa akan meningkat, karena pola berpikir yang dikembangkan matematika membutuhkan dan melibatkan pemikiran kritis, sistematik, logis dan kreatif. Senada dengan itu, menurut Suherman (2003:16), secara etimologis matematika berarti ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar. Dalam hal ini bukan berarti ilmu lain tidak diperoleh melalui penalaran, akan tetapi dalam matematika lebih menekankan aktivitas dalam dunia rasio (penalaran), sedangkan dalam ilmu lain lebih menekankan pada hasil observasi atau eksperimen di samping penalaran.

Permendiknas RI No. 22 tahun 2006 (tentang standar isi) menyatakan bahwa tujuan dari mata pelajaran matematika di sekolah adalah agar siswa mampu:

1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah,

2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika,

3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh,

4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah,

5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

(10)

Kemampuan penalaran merupakan salah satu hal yang harus dimiliki siswa dalam belajar matematika. Selain karena matematika merupakan ilmu yang diperoleh dengan bernalar, tetapi juga karena salah satu tujuan dari pembelajaran matematika adalah agar siswa mampu menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. Untuk itu diperlukan berbagai terobosan baru dalam pembelajaran matematika melalui berbagai pendekatan, agar dapat meningkatkan kemampuan penalaran siswa.

Menurut Bergqvist. T, Lithner. J & Shumter. L (dalam Nurhadi:2017) menyatakan bahwa penalaran adalah pusat komponen dalam matematika terutama dalam pemecahan masalah. Jika kemampuan penalaran tidak dikembangkan oleh para siswa, maka matematika hanya menjadi masalah mengikuti serangkaian prosedur dan meniru contoh tanpa berpikir mengapa matematika itu berarti. Shadiq (2009) juga menyatakan bahwa penalaran adalah proses berpikir yang berusaha menghubung-hubungkan fakta atau evidensi-evidensi yang diketahui menuju kesimpulan. Intinya penalaran diartikan suatu proses pemikiran untuk memperoleh kesimpulan logis berdasarkan fakta yang relevan.

Penalaran merupakan proses berpikir dalam menarik kesimpulan yang berupa pengetahuan untuk memperoleh kebenaran (Marsigit, 2012:2). Jadi penalaran diartikan sebagai penarikan kesimpulan dalam sebuah argumen, dan cara berpikir yang merupakan penjelasan dalam upaya memperlihatkan hubungan antara dua hal atau lebih berdasarkan sifat-sifat atau hukum-hukum tertentu, yang diakui kebenarannya dengan menggunakan langkah-langkah tertentu yang berakhir dengan sebuah kesimpulan. Dari uraian tersebut diketahui bahwa penalaran sangat penting dalam pelajaran metematika.

Penalaran matematis menjadi hal sangat penting dalam proses pembelajaran matematika, karena menurut Ruseffendi (2006:98) matematika terbentuk sebagai hasil pemikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses dan penalaran. Sedangkan menurut Herawati (2012:20) mengatakan

(11)

bahwa kemampuan penalaran dalam matematikan adalah suatu kemampuan menggunakan aturan-aturan, sifat-sifat atau logika matematika untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang benar. Penalaran tidak terlepas dari realitas, sebab yang difikirkan adalah realitas, yaitu hukum realitas yang sejalan dengan aturan berfikir dan dengan dasar realitas yang jelas serta menggunakan hukum-hukum berfikir.

Oleh sebab itu kemampuan penalaran penting untuk mengetahui dan mengerjakan permasalahan matematika. Kemampuan untuk bernalar menjadikan siswa dapat memecahkan masalah dalam kehidupannya baik di dalam maupun di luar sekolah. Kapanpun siswa menggunakan penalaran untuk memvalidasi pemikirannya, maka siswa dapat berpikir secara matematik.

Pentingnya kemampuan penalaran matematis dalam pembelajaran matematika, terutama bagi siswa untuk menalarkan suatu permasalahan yang diberikan oleh guru, maka dari hal itu peneliti melakukan observasi pada tanggal 23 Juli 2018 di SMP N 3 Batusangkar. Berdasarkan dari hasil ulangan harian siswa kelas VIII SMP N 3 Batusangkar, yang peneliti dapatkan dari salah seorang guru matematika menunjukkan bahwa hasil belajar siswa masih tergolong rendah atau belum maksimal, yang dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

Tabel 1.1. Ketuntasan Siswa pada Nilai Ulangan Harian

No Kelas Jumlah Siswa Tuntas Tidak Tuntas

1 VIII1 31 2 29

2 VIII 2 31 3 28

3 VIII 3 30 3 27

4 VIII 4 30 3 27

5 VIII 5 30 1 29

(12)

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa hasil belajar matematika siswa masih belum maksimal sesuai dengan yang diharapkan. Masih banyak siswa yang belum mencapai KKM yang telah ditetapkan oleh sekolah. Menyikapi permasalahan ini, maka perlu diterapkan pembelajaran yang melibatkan siswa berperan aktif sehingga siswa mampu untuk menemukan sendiri konsep dan mampu memecahkan masalah sehingga dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematisnya. Apabila kemampuan penalaran matematisnya meningkatkan maka juga dapat meningkatkan hasil belajar.

Berdasarkan pengamatan langsung yang peneliti lakukan di kelas, strategi yang digunakan guru masih belum bervariasi, dimana di SMPN 3 Batusangkar sudah menggunakan kurikulum 2013, pada kurikulum 2013 ini dalam proses pembelajarannya siswa yang berperan aktif atau bersifat student center. Namun pada saat pembelajaran tersebut guru masih menggunakan langkah-langkah pembelajaran yang konvensional dan belum berpusat kepada siswa seutuhnya. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru cenderung berawal dari membuka pelajaran, kemudian menjelaskan materi dan setelah guru menjelaskan semua materi, guru menyuruh siswa untuk mencatat apa yang telah dijelaskanya, namun guru tidak peduli dengan sebahagian siswa yang tidak mencatat. Guru lebih senang menerangkan materi sendiri daripada mengikutsertakan siswa dalam proses tanya jawab, sehingga kebanyakan dari siswa tidak dapat menemukan hal-hal yang baru dari pelajaran yang diberikan. Kemudian ketika diberi latihan oleh guru, siswa tidak mengerti apa yang harus dikerjakan karena masih kurang memahami materi pelajaran. Dengan gaya guru mengajar monoton, siswa tidak dapat mengembangkan ide dan kemampuan penalaran matematis yang dimilikinya sehingga kemampuan penalaran matematika siswa masih rendah.

Ketika peneliti melakukan wawancara dengan salah seorang guru matematika kelas VIII, guru mengungkapkan bahwa siswa masih lemah dalam hal kemampuan penalaran matematis. Ketika guru mengajukan soal yang berkaitan dengan pemahaman konsep siswa mampu menyelesaikannya

(13)

dengan menggunakan konsep yang telah ada. Akan tetapi siswa masih membutuhkan banyak arahan untuk menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan penalaran. Hal ini terlihat ketika siswa mengerjakan soal yang menuntut nalar, siswa masih bingung bagaimana cara memodelkan dan menyajikan pernyataan matematika yang telah ada di soal dan kurang mengerti dalam memahami maksud soal tersebut. Kemudian siswa belum mampu melakukan manipulasi matematika serta menarik kesimpulan dari solusi yang mereka buat secara benar. Dari uraian di atas terlihat bahwa kemampuan penalaran siswa masih rendah. Hal ini juga dibuktikan saat siswa kurang mampu dalam menyelesaikan soal kemampuan penalaran sebagai berikut: Diketahui suku ke-4 dari suatu deret aritmatika adalah 24 dan suku ke-9 adalah 44. Tentukanlah suku ke-21 dari deret tersebut!

Pada gambar di bawah ini terlihat dua buah cuplikan jawaban siswa mengenai soal kemampuan penalaran di atas:

Gambar 1.1. Hasil Kerja Siswa A Gambar 1.2. Hasil Kerja Siswa B

Berdasarkan jawaban siswa di atas, terlihat siswa A belum mampu dalam menemukan pola dari bilangan untuk suku selanjutnya, terlihat jawaban siswa A hanya menyalin hal yang diketahui saja dari soal, rumus yang akan digunakan sudah ada tetapi dalam menyajikan kedalam model atau bahasa matematikanya siswa masih belum mampu, serta dalam melakukan manipulasi atau membuat pemisalan terhadap soal yang telah diketahui juga belum ada.

(14)

Seharusnya dalam menjawab soal tersebut, siswa melakukan manipulasi matematika atau membuatkan pemisalan terlebih dahulu, agar pola suku ke-n yang ditanya dapat diperoleh, seperti pada suku ke-4 dan ke-9 yang telah diketahui, kita bisa membuat 2 buah persamaaan menggunakan rumus: Un = a + (n-1)b maka dimisalkan U4 = a + (4-1)b menjadi 24 = a + 3b untuk

persamaaan pertama, dan selanjutnya dimisalkan U9 = a + (9-1)b menjadi 44 =

a + 8 untuk persamaan kedua. Kemudian di eliminasi kedua persamaan tersebut untuk mencari nilai a dan b, setelah nilai a dan b ditemukan dan dimasukkan kedalam rumus, maka kita akan memperoleh pola untuk suku ke-n yake-ng ditake-nyakake-n.

Dibandingkan dengan jawaban siswa A, jawaban dari siswa B juga masih belum tepat dalam menyelesaikan soal, namun disini siswa B sudah mulai bisa dalam melakukan manipulasi matematika atau membuat pemisalan dari suku ke-n untuk membuat persamaan, namun dalam melakukan perhitungannya masih salah ketika akan mencari nilai a dan b. Selanjutnya siswa juga belum mampu dalam memeriksa kesahihan jawaban mereka serta dalam menarik kesimpulan dari jawabannya. Selain itu juga terlihat siswa belum mampu dalam menemukan pola sistematis dari permasalahan tersebut, yang seharusnya dibuatkan terlebih dahulu yang diketahui, ditanya dan dijawab dari soal serta siswa juga belum mampu memberikan kesimpulan dari jawabannya atau memberikan alasan yang tepat terhadap kebenaran solusi yang mereka buat.

Berdasarkan jawaban siswa di atas dapat disimpulkan bahwa siswa belum mampu dalam menyajikan pernyataan matematika secara lisan, tertulis, gambar, sketsa atau diagram, melakukan manipulasi matematika, menarik kesimpulan dari suatu pernyataan, memberikan alasan atau bukti terhadap beberapa solusi, menemukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat generalisasi dan memeriksa kebenaran jawaban. Berdasarkan hal tersebut maka indikator kemampuan penalaran matematis belum terpenuhi

(15)

oleh siswa yang menyebabkan penalaran matematis siswa masih tergolong rendah.

Namun pada kenyataan yang terjadi di sekolah, kemampuan penalaran dan pemecahan masalah sama sekali tidak diperhatikan dan masih tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengerjaaan soal matematika siswa di atas, terutama yang menggunakan nalar. Kebanyakan siswa belum bisa menyelesaikan permasalahan, mulai dari memahami masalah, merencanakan penyelesaiannya dan yang lainnya. Untuk itu dalam pembelajaran matematika perlu dipertimbangakan tugas matematika dan suasana belajar yang mendukung untuk mendorong munculnya kemampuan tersebut. Pertimbangan ini menyangkut keputusan pembelajaran yang digunakan di kelas yang perlu ditempuh oleh guru.

Salah satu upaya yang dapat ditempuh guru untuk mengatasi permasalahan penalaran siswa tersebut adalah guru harus mampu menemukan cara atau strategi yang tepat agar mampu merencanakan dan melaksanakan pembelajaran dengan baik. Hal ini senada dengan pendapat Wahyudin (2003:90) bahwa salah satu cara untuk mencapai hasil belajar yang optimal dalam mata pelajaran matematika adalah jika para guru menguasai materi yang akan diajarkan dengan baik dan mampu memilih strategi atau model pembelajaran dengan tepat dalam setiap proses pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan dalam pembelajaran matematika yang berkaitan dengan kemampuan penalaran matematis adalah model pembelajaran Means Ends Analysis (MEA).

Pemilihan model MEA didasari alasan bahwa model MEA pada awalnya memang khusus untuk pelajaran matematika lebih khususnya tentang pemecahan masalah, karena melalui penyusunan sub-sub masalah, siswa dapat mengerjakan soal matematika yang diajarkan dengan benar dan bermakna. Harto dkk (2014) mengemukakan bahwa dengan menerapkan pembelajaran MEA siswa mampu mendesain dengan benar perencanaaan pemecahan

(16)

masalah matematika yang terdiri dari tiga komponen pemecahan masalah yaitu, menentukan hal yang diketahui dan yang ditanyakan, mencari hubungan yang diketahui dengan yang ditanya dan menyelesaikan masalah tersebut dengan rumus matematika.

Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran MEA dapat membuat siswa berpikir kritis dan lebih aktif, karena model pembelajaran MEA merupakan pengembangan dari metode pemecahan masalah (problem solving) hanya saja pada model pembelajaran MEA, setiap masalah yang dihadapi dipecah menjadi sub-sub masalah yang lebih sederhana kemudian dikoneksikan kembali menjadi sebuah tujuan utama. Model pembelajaran MEA mengharuskan siswa menganalisis dan berpikir kritis guna menyederhanakan masalah saat proses pembelajaran. Dengan menerapkan model pembelajaran MEA saat proses pembelajaran, maka dapat memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan kemampuannya dalam memahami suatu masalah secara kreatif, sehingga pembelajaran akan lebih lama melekat pada ingatan siswa mengenai materi yang disampaikan oleh guru.

Untuk meningkatkan kemampuan siswa dan dapat bersaing dengan masyarakat global, indonesia kemudian menerapkan kurikulum baru yang diharapkan mampu meningkatkan kemampuan siswa secara lebih baik. Kurikulum 2013 menganut pandangan dasar bahwa pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari guru ke siswa. Pembelajaran dalam kurikulum 2013 harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk untuk mencari, mengolah, mengkonstruksi dan menggunakan pengetahuan dalam proses kognitifnya. Kurikulum 2013 juga menuntut agar dalam pembelajaran terjadi aktivitas aktif dan berpusat pada siswa. Hal ini sesuai dengan salah satu paradigma kurikulum 2013 yaitu “peserta didik pasif” menuju ke “peserta didik aktif“ mengkontruksi pengetahuannya sendiri. Yaitu paradigma yang menjelaskan bahwa peserta didiklah yang belajar, sehingga dialah yang akan melakukan sesuatu sampai apa yang ingin diketahuinya dan dibisakannya

(17)

tercapai. Bukan belajar dengan hanya mendengarkan penjelasan tenaga pendidik dan berikutnya menjawab soal (Musfiqon dan Nurdyansyah, 2015:23).

Proses pembelajaran pada kurikulum 2013 untuk semua jenjang dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan saintifik. Pendekatan saintifik dimaksudkan untuk memberikan pemahaman kepada peserta didik dalam mengenal, memahami berbagai materi menggunakan pendekatan ilmiah. Untuk dapat disebut ilmiah, model pencarian (method of inquiry) harus berbasis pada bukti-bukti objek yang dapat diobservasi, empiris dan terukur dengan prinsip-prinsip penalaran yang spesifik. Karena itu model ilmiah umumnya memuat serangkaian aktivitas pengumpulan data melalui observasi atau eksperimen, mengolah informasi atau data, menganalisis, kemudian memformulasi dan menguji hipotesis. Oleh karena itu kondisi pembelajaran yang diharapkan dapat mendorong peserta didik dalam mencari berbagai informasi keilmuan dari berbagai sumber melalui proses-proses penemuan secara ilmiah melalui observasi.

Model pembelajaran Means Ends Analysis (MEA) ini dapat dengan baik dikolaborasikan dengan pendekatan saintifik, yang merupakan pendekatan khusus sebagai salah satu ciri khas dalam implementasi kurikulum 2013. Karena seperti hal yang dikatakan oleh Juanda, Johar dan Ikhsan (2014:106) bahwa model MEA, merupakan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa belajar dengan aktif mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dan dapat membantu secara sistematis untuk menyelesaikan masalah matematis. Sedangkan Bruner (dalam Ruseffendi, 2006) mengemukakan bahwa agar siswa lebih berhasil dalam belajar matematika, siswa harus lebih banyak diberi kesempatan untuk melihat kaitan-kaitan baik antara dalil dan dalil, antara teori dan teori, antara topik dan topik, maupun antara cabang matematika. Kegiatan tersebut terdapat pada pembelajaran menggunakan model Means Ends Analysis. Masalah yang diberikan dalam pembelajaran ini disusun menjadi beberapa submasalah yang diselesaikan secara bertahap. Hal

(18)

ini dapat membantu dan memudahkan siswa untuk melatih kemampuan penalaran matematis.

Model Means Ends Analysis (MEA) dikembangkan pertama kali oleh Newel dan Simon pada 1972 yang digunakan sebagai model untuk menganalisis permasalahan melalui berbagai cara untuk mencapai tujuan akhir yang diinginkan (Huda, 2013:294). MEA dapat membantu siswa untuk berpikir secara kritis, hal itu akan mengasah kemampuan siswa dalam belajar. Maka dengan menggunakan model pembelajaran MEA akan membantu siswa untuk mudah memahami materi dengan caranya sendiri, karena model MEA menuntut siswa untuk mengumpulkan masalah yang ada di sederhanakan kemudian disimpulkan. Berikut langkah-langkah model pembelajaran MEA: 1) mengidentifikasi perbedaan kondisi awal dan tujuan akhir 2) menyusun

subgoals 3) pemilihan operator atau solusi.

Selain itu menurut Shoimin (2016:103) model MEA ini sangat efektif sekali dilakukan bagi siswa yang masih kurang aktif dan kesulitan dalam memecahkan masalah, karena dalam proses pembelajaran MEA ini siswa dapat dilatih dalam menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah, lebih aktif mengekspresikan idenya serta memiliki kesempatan lebih banyak untuk menemukan sesuatu dan menjawab pertanyaan melalui diskusi kelompok dengan cara mereka sendiri. Berdasarkan uraian di atas dan fenomena di lapangan yang peneliti temui, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Penerapan Model Means Ends Analysis (MEA) Terhadap Kemampuan Penalaran Matematis Siswa Kelas VIII SMPN 3 Batusangkar”.

B.Identifikasi Masalah

Dari uraian di atas diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut: 1. Kemampuan siswa dalam memahami soal-soal penalaran masih rendah. 2. Siswa belum mampu menafsirkan maksud soal.

(19)

4. Hasil belajar siswa masih banyak yang tidak tuntas atau dibawah KKM. 5. Guru kurang memvariasikan strategi dalam pembelajaran sehingga siswa

sulit mengerti dan mudah bosan.

C.Batasan Masalah

Dari masalah-masalah yang telah diidentifikasi, maka permasalahan dibatasi pada penerapan model Means Ends Analysis (MEA) terhadap kemampuan penalaran matematis siswa kelas VIII SMP.

D.Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah, “apakah kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model Means Ends Analysis (MEA) lebih baik dari kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaraan konvensional di Kelas VIII SMPN 3 Batusangkar?”

E.Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model Means Ends Analysis (MEA) dengan siswa yang memperoleh pembelajaraan konvensional di Kelas VIII SMPN 3 Batusangkar.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan berguna:

1. Bagi siswa

Manfaat penelitian ini bagi siswa adalah untuk dapat meningkatkan serta mengembangkan kemampuan penalaran matematis siswa dalam pembelajaran matematika.

2. Bagi guru

Manfaat penelitian ini bagi guru adalah sebagai masukan bagi guru untuk menerapkan model Means Ends Analysis (MEA) dalam pembelajaran metematika di sekolah dalam meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa.

(20)

3. Bagi peneliti

Manfaat penelitian ini bagi peneliti adalah untuk menambah wawasan dan pengetahuan sebagai calon guru matematika nantinya, agar bisa nantinya menggunakan model Means Ends Analysis (MEA) dalam meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa.

G.Definisi Operasional

1. Model Means Ends Analysis (MEA) merupakan pengembangan suatu jenis pemecahan masalah, berdasarkan suatu strategi yang membantu siswa dalam menemukan cara penyelesaian masalah, dengan penyederhanaan masalah yang berfungsi sebagai petunjuk dalam menetapkan cara yang paling efektif dan efisien untuk memcahkan masalah yang dihadapi dalam pelajaran matematika. Langkah-langkah penerapan model pembelajaran MEA antara lain: identifikasi perbedaan antara kondisi awal dan tujuan akhir, menyusun subgoals, pemilihan operator atau solusi.

2. Kemampuan penalaran matematis adalah suatu kemampuan menggunakan aturan-aturan, sifat-sifat atau logika matematika untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang benar. Indikator-indikator dari kemampuan penalaran matematis adalah:

a. Menyajikan pernyataan matematika secara lisan, tertulis, gambar, sketsa atau diagram,

b. Mengajukan dugaan (conjeqtures), c. Melakukan manipulasi matematika,

d. Menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan alasan atau bukti terhadap beberapa solusi,

e. Menarik kesimpulan dari pernyataan, f. Memeriksa kesahihan suatu argumen,

g. Menemukan pola atau sifat gejala matematis untuk membuat generalisasi.

(21)

14

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Pembelajaran Matematika

Belajar menurut Fontana (dalam Suherman, 2003) merupakan proses perubahan tingkah laku individu yang relatif tetap sebagai hasil pengalaman, sedangkan pembelajaran merupakan upaya penataan lingkungan yang memberi nuansa agar program belajar tumbuh dan berkembang secara optimal. Dengan demikian proses belajar bersifat internal dan unik dalam diri individu siswa, sedangkan proses pembelajaran bersifat eksternal yaitu yang sengaja direncanakan dan bersifat rekayasa perilaku.

Dari sejumlah mata pelajaran yang diajarkan, matematika merupakan masalah tersendiri bagi siswa. Pada hakikatnya matematika merupakan alat yang dapat memperjelas dan menyederhanakan suatu keadaan atau situasi melalui abstraksi idealis, idealis, atau generalisasi untuk suatu studi atau pemecahan masalah. Matematika juga merupakan suatu gagasan-gagasan, aturan-aturan, hubungan-hubungan yang diatur secara logis sehingga matematika berkaitan dengan konsep-konsep abstrak.

Menurut Sumarmo (2002) mengatakan bahwa pendidikan matematika pada hakikatnya memiliki dua arah pengembangan yaitu memenuhi kebutuhan masa kini dan masa datang. Untuk memenuhi kebutuhan masa kini, pembelajaran matematika mengarah kepada pemahaman matematika dan ilmu pengetahuan lainnya. Sedangkan untuk kebutuhan di masa datang mempunyai arti lebih luas, yaitu memberikan kemampuan nalar yang logis, sistematis, kritis dan cermat serta berpikir objektif dan terbuka yang sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari serta menghadapi masa depan yang selalu berubah. Dengan demikian pembelajaran matematika hendaknya mengembangkan proses dan keterampilan berpikir siswa.

(22)

Jhonson dan Rising (dalam Suherman, 2003:17) mengatakan bahwa matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan, pembuktian yang logis, karena matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas dan akurat serta representasinya dengan simbol dan padat lebih berupa bahasa simbol mengenai ide daripada mengenai bunyi.

Tujuan pembelajaran matematika adalah pembentukan sifat, yaitu pola berpikir kritis dan kreatif. Untuk pembinaan hal tersebut, perlu diperhatikan daya imajinasi dan rasa ingin tahu dari peserta didik. Peserta didik harus dibiasakan untuk diberi kesempatan bertanya dan berpendapat, sehingga diharapkan pembelajaran matematika tercipta lebih bermakna. Hal tersebut dapat tercapai apabila guru dapat memilih dan menggunakan model, strategi, pendekatan, metode, dan teknik yang banyak melibatkan peserta didik aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik maupun sosial.

Setiap tujuan yang ingin dicapai dalam proses pembelajaran matematika, pada dasarnya merupakan sasaran yang ingin dicapai sebagai hasil dari proses pembelajaran matematika tersebut. Karena sasaran tujuan pembelajaran matematika tersebut, dianggap tercapai bila siswanya telah memiliki sejumlah pengetahuan dan kemampuan di bidang matematika yang dipelajarinya. Proses pembelajaran matematika dalam penelitian ini diharapkan dapat berjalan lancar dan dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa dengan menggunakan model pembelajaran

Means Ends Anslysis (MEA).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika adalah suatu proses belajar pada mata pelajaran matematika yang melibatkan guru, siswa dan komponen lainnya dalam proses pembelajaran yang saling mempengaruhi satu sama lain dalam rangka tercapainya tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan.

(23)

2. Model Means Ends Analysis (MEA)

a. Pengertian Model Pembelajaran Means Ends Analysis (MEA)

Model Means Ends Analysis (MEA) terdiri dari tiga unsur kata yaitu means, ends dan analysis. Means berarti banyaknya cara, sedangkan ends adalah akhir atau tujuan, dan analysis berarti analisa atau penyelidikan secara sistematis. Jadi model pembelajaran Means Ends Analysis adalah model pembelajaran yang menganalisis suatu masalah dengan bermacam cara sehingga diperoleh hasil atau tujuan akhir. Model pembelajaran Means Ends Analysis (MEA) merupakan model pembelajaran dalam penerapannya merencanakan tujuan secara keseluruhan, dimana tujuan tersebut dijadikan kedalam beberapa tujuan yang pada akhirnya menjadi beberapa langkah atau tindakan berdasarkan konsep yang berlaku.

Model Means Ends Analysis dikembangkan pertama kali oleh Newell dan Simon pada tahun 1972 (Huda, 2013:294) yang menyatakan bahwa model Means End Analysis merupakan salah satu cara untuk mengklarifikasi gagasan seseorang ketika melakukan pembuktian matematis, dalam halnya kemampuan penalaran matematis. Pembelajaran dengan menggunakan model MEA dapat membuat siswa berpikir kritis dan lebih aktif karena pembelajaran MEA merupakan pengembangan dari metode pemecahan masalah, hanya saja dalam model pembelajaran MEA permasalahannya dipecah dan disusun agar memperoleh solusi dan tujuan utamanya.

Menurut Juanda (2014:106) model pembelajaran Means Ends Analysis (MEA) yaitu model pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa belajar dengan aktif mengkontruksi pengetahuannya sendiri, dan dapat membantu siswa untuk menyelesaikan masalah matematis. Sedangkan menurut Rahmawati (2013:5) mengatakan bahwa Means Ends Analysis (MEA) merupakan pembelajaran yang pelaksanaanya diawali dengan pemberian suatu masalah. Melalui masalah yang diberikan, siswa mengidentifikasi

(24)

masalah dan menyusun sub-sub masalah, selanjutnya secara bertahap siswa mencari penyelesaiannya sampai diperoleh solusi akhir dari masalah tersebut.

Suherman (2008:6) juga menyatakan bahwa model pembelajaran

Means Ends Analysis (MEA) merupakan model pembelajaran yang menyajikan materi dengan pendekatan pemecahan masalah berbasis heuristik, dimana siswa tidak hanya akan dinilai berdasarkan hasil saja, namun berdasarkan proses pengerjaan. Selain itu, siswa dituntut untuk mengetahui apa tujuan yang hendak dicapai atau masalah apa yang hendak diselesaikan dan memecahkan suatu masalah dan kemudian dikerjakan berturut-turut.

Model ini juga lebih memusatkan pada perbedaan antara pernyataan sekarang dengan tujuan yang hendak dicapai, yang senada dengan pendapat Sahrudin (2016:21), bahwa pembelajaran MEA strategi yang memisahkan permasalahan yang diketahui dan tujuan yang akan dicapai/ditanya yang kemudian melakukan berbagai cara untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Dengan karakteristik pembelajaran tersebut, maka model pembelajaran MEA dapat mengembangkan kemampuan berpikir logis, kritis, sistematis dan kreatif yang akan meningkatkan kemampuan siswa dalam bernalar untuk memecahkan masalah.

Model pembelajaran MEA mengaharuskan siswa menganalisis dan berpikir kritis guna menyederhanakan masalah saat proses pembelajaran. Dengan menerapkan model pembelajaran MEA saat proses pembelajaran, maka dapat memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan kemampuannya dalam memahami masalah secara kreatif, sehingga pembelajaran akan lebih lama melekat pada ingatan siswa mengenai materi yang disampaikan oleh guru.

(25)

Dari uraian di atas jelas bahwa model Means Ends Analysis

merupakan suatu jenis modifikasi dari model problem solving atau pengembangan suatu jenis pemecahan masalah, berdasarkan suatu strategi yang membantu siswa dalam menemukan cara penyelesaian masalah dengan penyederhanaan masalah yang berfungsi sebagai petunjuk dalam menetapkan cara yang paling efektif dan efisien untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam pembelajaran matematika.

b. Langkah-langkah Model Means Ends Analysis (MEA)

Menurut Huda (2014) menyatakan bahwa model pembelajaran

Means Ends Analysis (MEA) dalam pembelajaran matematika dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1) Identifikasi perbedaan antara Current State dan Goal State. Pada tahap ini siswa dituntut untuk memahami dan mengetahui konsep-konsep dasar matematika, yang terkandung dalam permasalahan matematika yang diberikan dan dibimbimg langsung oleh guru. Bermodalkan pemahaman konsep, siswa dapat melihat sekecil apa perbedaan yang terdapat pada kondisi awal dan kondisi akhir dari suatu masalah serta mengumpulkan informasi yang ditemukan.

2) Organisasi Subgoals

Pada tahap ini, siswa diharuskan untuk menyusun subgoals dalam menyelesaikan sebuah masalah dalam bentuk pertanyaan. Penyusunan ini dimaksudkan agar siswa secara berkelompok lebih fokus dalam memecahkan masalahnya secara bertahap dan terus berlanjut sampai akhirnya goal state atau tujuan akhirnya dapat tercapai.

3) Pemilihan operator atau Solusi

Pada tahap ini, setelah subgoals terbentuk, siswa dituntut untuk memikirkan bagaimana konsep dan operator yang efektif dan efisien untuk menyelesaikan subgoals tersebut, sehingga siswa dapat menemukan solusi atau jawabannya.

Sedangkan sintaks model pembelajaran Means Ends Analysis

(MEA) menurut Huda adalah:

1) Siswa dijelaskan tujuan pembelajaran. Memotivasi siswa terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih, dan siswa dibantu dalam

(26)

mendefenisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan topik pembelajaran.

2) Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok (kelompok yang dibentuk harus heterogen), dan guru menyajikan tugas belajar pada masing-masing kelompok dengan menyajikan materi dengan pendekatan berbasis heuristik.

3) Siswa menyusun submasalah-submasalah lebih sederhana sehingga terjadi konektivitas.

4) Siswa menganalisis cara-cara yang dibutuhkan untuk mencapai hasil yang diinginkan.

5) Siswa memilih strategi solutif yang paling mungkin untuk memecahkan masalah.

6) Siswa dibantu guru untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka.

7) Siswa dibimbing dalam menyimpulkan materi yang telah dipelajari.

Berdasarkan langkah dan sintaks model pembelajaran MEA di atas, maka dapat peneliti simpulkan sintaks MEA yang telah dimodifikasi, yang peneliti laksanakan dalam penelitian yaitu:

1) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran, yang diawali dengan memotivasi siswa untuk terlibat dalam aktivitas pembelajaran serta guru menyampaikan gambaran umum materi dan memberikan apersepsi kepada siswa berkaitan dengan materi.

2) Guru mengorganisasikan siswa untuk belajar dengan cara, siswa dibagi menjadi beberapa kelompok (kelompok yang dibentuk harus heterogen), dan guru memberikan Lembar Kerja Kelompok (LKK) kepada setiap kelompok dan guru menyajikan materi dengan pendekatan masalah berbasis heuristik (rangkaian kegiatan yang merupakan petunjuk untuk membantu siswa dalam memecahkan masalah dalam bentuk langkah kerja) yang tersaji dalam Lembar Kerja Kelompok (LKK).

3) Identifikasi perbedaan antara Current State (kondisi awal) dan

Goal State (tujuan akhir), yaitu siswa berkelompok memahami dan mengetahui konsep dasar pembelajaran matematika, dengan cara mengidentifikasi/mengumpulkan informasi yang ditemukan pada kondisi awal dari masalah untuk mencapai tujuan akhir. Jenis

(27)

penalaran yang termasuk pada tahap ini adalah penalaran induktif, karena pada tahap ini nalar siswa terlatih dalam menemukan informasi dari peryataan/kasus dan paham dalam memodelkannya ke dalam bahasa matematika. Hal ini sesuai dengan indikator kemampuan penalaran yaitu kemampuan menyajikan pernyataan matematika baik secara lisan, tertulis dan gambar dan kemampuan dalam menemukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat generalisasi.

4) Guru membimbing dan mengarahkan siswa dalam menyelesaikan permasalahan dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan.

5) Organisasi Subgoals, yaitu siswa diharuskan untuk menyusun

subgoals berupa pertanyaan-pertanyaan dalam menyelesaikan sebuah masalah. Pertanyaan tersebut berhubungan dengan kondisi awal dari masalah yang di buat dengan cara mereka sendiri. Jenis penalaran yang termasuk pada tahap ini adalah penalaran induktif, karena pada tahap ini siswa dilatih dalam menyusun pertanyaan-pertanyaan yang mereka duga dari kasus/pernyaataan yang telah diketahui. Hal ini sesuai dengan indikator kemampuan penalaran yaitu kemampuan dalam menyajikan dugaan.

6) Pemilihan operator atau solusi, yaitu setelah subgoals terbentuk, maka siswa dituntut memilih strategi solutif yang paling mungkin untuk memecahkan masalah, dengan cara menganalisis (analyze)

cara-cara (means) yang dibutuhkan untuk mencapai hasil yang diinginkan atau tujuan akhir (ends) dari pertanyaaan yang telah disusun untuk memperoleh solusi/jawaban. Jenis penalaran yang termasuk pada tahap ini adalah penalaran deduktif, karena pada tahap ini siswa dituntut untuk membuktikan, menghitung dan memeriksa kebenaran jawaban yang telah ditemukan serta siswa juga duiharuskan menyimpulkan dan memberikan alasan terhadap solusi atas hasil kerja kelompokmya. Hal ini sesuai dengan

(28)

indikator kemampuan penalaran yaitu kemampuan melakukan manipulasi matematika, memeriksa kesahihan argument, dan menarik kesimpulan dari suatu pernyataan dan memberikan solusi terhadap beberapa solusi.

7) Siswa dibantu guru untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.

8) Siswa dibimbing guru untuk menyimpulkan materi yang telah dipelajari.

c. Kelebihan dan kelemahan Model Means Ends Analysis (MEA) Menurut Shoimin (2016:103) dari model pembelajaran Means Ends Analysis terdapat kelebihannya yaitu:

1)Siswa dapat terbiasa memecahkan/menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah yang dapat melatih nalar siswa.

2)Siswa berpartisipasi lebih aktif dalam pembelajaran dan sering dalam mengekspresikan idenya.

3)Siswa memilki kesempatan lebih banyak dalam memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya.

4)Siswa dengan kemampuan rendah dapat merespons permasalahan dengan cara mereka sendiri.

5)Siswa memilki pengalaman banyak untuk menemukan sesuatu dalam menjawab pertanyaan melalui diskusi kelompok.

6)Pembelajaran MEA lebih memudahkan siswa dalam memecahkan masalah.

Sedangkan kelemahan model pembelajaran Means Ends Analysis

(MEA) diantaranya:

1)Sebelum memecahkan suatu masalah siswa harus memecahnya menjadi submasalah terlebih dahulu sehingga membutuhkan waktu relatif lama dalam proses pembelajaran.

2)Membuat soal yang bermakna bagi siswa bukan hal yang mudah. Kelemahan model pembelajaran MEA tersebut bisa diatasi dengan cara sebagai berikut:

1)Siswa dibantu guru dalam memcahkan masalah menjadi sub masalah sehingga tidak membutuhkan waktu relatife lama dalam proses pembelajaran.

(29)

Jadi dapat disimpulkan bahwa setiap strategi atau model pembelajaran memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga ketepatan guru dalam memilih strategi atau model pembelajaran sangat diperlukan agar tidak menjadi kendala yang dapat menghambat pelaksanaan pembelajaran guna mencapai tujuan pembelajaran.

3. Kemampuan Penalaran Matematis

a. Pengertian Kemampuan Penalaran Matematis

Penalaran berasal dari kata nalar yang mempunyai arti pertimbangan tentang baik buruk, kekuatan pikir atau aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir logis. Sedangkan penalaran yaitu cara menggunakan nalar. Menurut Lithner (2008), penalaran adalah pemikiran yang diadopsi untuk menghasilkan pernyataan dan mencapai kesimpulan pada pemecahan masalah yang tidak selalu didasarkan pada logika formal sehingga tidak terbatas pada bukti. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa penalaran merupakan suatu kegiatan, suatu proses, suatu aktivitas berpikir untuk menarik kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru yang benar dan berdasarkan pada pernyataan yang kebenarannya sudah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya.

Menurut Shadiq (2009:8) penalaran merupakan suatu kegiatan, suatu proses, atau suatu aktivitas berpikir untuk menarik kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru yang benar berdasar pada beberapa pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya. Penalaran juga merupakan pola berfikir yang tinggi yang mencakup kemampuan berfikir secara logis dan sistematis. Sejalan dengan itu penalaran merupakan suatu cara berfikir untuk menarik kesimpulan, baik kesimpulan yang bersifat umum yang ditarik dari hal-hal yang bersifat khusus maupun hal-hal yang bersifat umum dapat menjadi kesimpulan yang bersifat khusus.

Jadi kemampuan penalaran matematis yang dimaksud adalah kemampuan berpikir menurut alur kerangka berpikir tertentu

(30)

berdasarkan konsep atau pemahaman yang telah didapat sebelumnya. Kemudian konsep atau pemahaman tersebut saling berhubungan satu sama lain dan diterapkan dalam permasalahan baru sehingga didapatkan keputusan baru yang logis dan dapat dipertanggung jawabkan atau dibuktikan kebenarannya.

Kemampuan penalaran dalam matematika adalah suatu kemampuan menggunakan aturan-aturan, sifat-sifat atau logika matematika untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang benar. Penalaran tidak terlepas dari realitas, yaitu hukum realitas yang sejalan dengan dasar realitas yang jelas serta menggunakan hukum-hukum berfikir (Herawati, 2012:20).

Mengacu pada pengertian kemampuan penalaran matematis di atas, maka mengajarkan matematika tidak hanya sekedar sebagai sebuah pelajaran tentang fakta-fakta dan konsep saja, tetapi juga mampu mengembangkan kemampuan siswa dalam menganalisa. Jika matematika diajarkan hanya sekedar sebagai sebuah pelajaran tentang fakta-fakta, maka hanya akan membuat sekelompok orang menjadi penghafal yang baik, tidak cerdas melihat hubungan sebab akibat, dan tidak pandai memecahkan masalah. Sedangkan dalam menghadapi perubahan masa depan yang cepat, bukan pengetahuan saja yang diperlukan, tetapi juga menuntut kemampuan mengkaji dan berfikir (bernalar) secara logis, kritis, dan sistematis.

Menurut Nurhairiyah (2013) memaparkan instrumen tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan penalaran adalah instrumen tes yang meliputi aspek penalaran yang memiliki tingkatan soal ranah kognitif analisis (C4), sintesis (C5) dan evaluasi (C6). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, kemampuan penalaran matematis termasuk dalam kemampuan berpikir tinggi yaitu dalam menarik kesimpulan melalui langkah-langkah formal yang didukung oleh argumen matematis berdasarkan pernyataan yang diketahui benar atau yang telah diasumsikan kebenarannya.

(31)

Dalam proses pembelajaran tertumpu pada dua macam penalaran, yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif (Fauzan, 2010:38). 1) Penalaran induktif

Penalaran induktif yaitu suatu aktivitas berpikir untuk menarik suatu kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru yang bersifat umum (general) berdasarkan pada beberapa pernyataan khusus yang diketahui benar. Pembelajaran diawali dengan memberikan contoh-contoh atau kasus khusus menuju konsep atau generalisasi.

2) Penalaran deduktif

Penalaran deduktif yaitu kebenaran suatu konsep atau pernyataan diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya. Penalaran deduktif adalah suatu cara penarikan kesimpulan dari pernyataan atau fakta-fakta yang dianggap benar dengan menggunakan logika. Jadi proses pembuktian secara deduktif akan melibatkan teori atau rumus matematika lainnya yang sebelumnya sudah dibuktikan kebenarannya secara deduktif juga. Peserta didik sering mengalami kesulitan memahami makna matematika dalam pembelajaran dengan pendekatan deduktif. Hal ini disebabkan peserta didik baru memahami konsep atau generalisasi setelah disajikan berbagai contoh.

Contoh Soal Penalaran:

Perhatikan gambar di bawah ini (Fauzan, 2010:41)

Persegi panjang di atas berukuran 9 cm x 5 cm. Daerah yang diarsir adalah satu -satunya bangun dalam persegi panjang tersebut. Berapakah luas daerah yang diarsir?

Penyelesaian :

Karena ukuran bangun di samping 9 cm x 5 cm maka panjang = 9 cm dan lebar = 5 cm, karena daerah yang diarsir adalah satu-satunya persegi panjang maka bangun yang lain merupakan persegi

a) Perhatikan persegi EBCF

(32)

Sisi EB = BC = CF = FE = 5 cm b) Perhatikan persegi AEIJ

Karena AB = 9 cm dan EB = 5 cm maka AE = AB – EB = 9 cm - 5 cm = 4 cm

Sehingga AE = EI = IJ = JA = 4 cm c) Perhatikan persegi GFIH

Karena EF = 5 cm dan EI = 4 cm maka FI = EF – EI = 5 cm – 4 cm = 1 cm

d) Perhatikan persegi panjang DGHJ

Karena JI = AE = 4 cm maka JH = JI – HI = 4 cm – 1 cm = 3 cm

Karena DJ = FI = 1 cm sehingga diperoleh ukuran persegi panjang DGHJdengan panjang = JH = 3 cm dan lebar = FI = 1 cm sehingga luas persegi panjang yang diarsir Luas = p x l = JH x FI = 3 cm x 1 cm = 3

b. Indikator-indikator Kemampuan Penalaran Matematis

Menurut Fauzan (2010:37) indikator-indikator yang menunjukkan kemampuan penalaran matematis antara lain:

1) Menyajikan pernyataan matematika secara lisan, tertulis, gambar, sketsa atau diagram,

2) Mengajukan dugaan (conjeqtures), 3) Melakukan manipulasi matematika,

4) Menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan alasan atau bukti terhadap beberapa solusi

5) Menarik kesimpulan dari suatu pernyataan, 6) Memeriksa kesahihan suatu argumen,

7) Menemukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat generalisasi.

Sedangkan dalam Sumarmo (2012:34) dijelaskan juga beberapa indikator dalam penalaran matematis yaitu:

1) Membuat analogi dan generalisasi

2) Memberikan penjelasan dengan menggunakan model

3) Menggunakan pola dan hubungan untuk menganalalisis situasi matematika

4) Menyusun dan menguji konjektur 5) Memeriksa validitas argument 6) Menyusun pembuktian langsung 7) Menyusun pembuktian tidak langsung 8) Memberikan contoh penyangkal 9) Mengikuti aturan inferensi.

(33)

Berdasarkan hal di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini, yang peneliti gunakan menjadi indikator kemampuan penalaran matematis adalah sesuai dengan pendapat Ahmad Fauzan.

Tabel 2.1. Rubrik Skala PenilaianTingkat Kemampuan Penalaran

Respon Siswa Skor

Jawaban benar, melakukan perhitungan yang benar, menarik kesimpulan logis, menggunakan pola hubungan dan memberikan penjelasan terhadap model dan pola hubungan yang ada

4

Jawaban benar, sesuai dengan kriteria tetapi ada sedikit jawaban yang salah

3 Jawaban benar, tetapi tidak sesuai dengan sebagian

besar kriteria

2 Jawaban ada tetapi sama sekali tidak sesuai dengan

kriteria

1

Jawaban tidak ada 0

( Fauzan, 2010:45)

Berdasarkan rubrik skala penilaian di atas, disusunlah rubrik skala penilaian kemampuan penalaran yang telah dimodifikasi mengacu pada indikator yang telah ditetapkan untuk penelitian ini, berikut rubrik skala penilaian yang dimaksud:

Tabel 2.2. Kriteria Penilaian Kemampuan Penalaran Matematis yang dimodifikasi

Indikator

yang dinilai Reaksi terhadap masalah Skor

Kemampuan menyajikan pernyataan matematika melalui lisan, tulisan, gambar, sketsa, atau diagram

Jawaban benar dan mengandung seluruh

konsep ilmiah 4

Jawaban benar dan mengandung paling sedikit satu konsep ilmiah serta tidak mengandung suatu kesalahan konsep

3 Jawaban memberikan sebagian informasi yang benar tetapi juga menunjukkan adanya kesalahan konsep dalam menjelaskannya

2 Jawaban menunjukkan kesalahan pemahaman yang mendasar tentang konsep yang dipelajari

1 Jawaban tidak relevan atau jawaban hanya mengulang pertanyaan serta jawaban kosong

0

(34)

Kemampuan mengajukan dugaan

Jawaban benar dan mengandung seluruh

konsep ilmiah 4

Jawaban benar dan mengandung paling sedikit satu konsep ilmiah serta tidak mengandung suatu kesalahan konsep

3 Jawaban memberikan sebagian informasi yang benar tetapi juga menunjukkan adanya kesalahan konsep dalam menjelaskannya

2 Jawaban menunjukkan kesalahan pemahaman yang mendasar tentang konsep yang dipelajari

1 Jawaban tidak relevan atau jawaban hanya mengulang pertanyaan serta jawaban kosong

0

Skor maksimal indikator 2 4

Kemampuan melakukan manipulasi matematika

Jawaban benar dan mengandung seluruh

konsep ilmiah 4

Jawaban benar dan mengandung paling sedikit satu konsep ilmiah serta tidak mengandung suatu kesalahan konsep

3 Jawaban memberikan sebagian informasi yang benar tetapi juga menunjukkan adanya kesalahan konsep dalam menjelaskannya

2 Jawaban menunjukkan kesalahan pemahaman yang mendasar tentang konsep yang dipelajari

1 Jawaban tidak relevan atau jawaban hanya mengulang pertanyaan serta jawaban kosong

0

Skor maksimal indikator 3 4

Kemampuan menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan alasan atau bukti terhadap beberapa solusi

Jawaban benar dan mengandung seluruh

konsep ilmiah 4

Jawaban benar dan mengandung paling sedikit satu konsep ilmiah serta tidak mengandung suatu kesalahan konsep

3 Jawaban memberikan sebagian informasi yang benar tetapi juga menunjukkan adanya kesalahan konsep dalam menjelaskannya

2 Jawaban menunjukkan kesalahan pemahaman yang mendasar tentang konsep yang dipelajari

1 Jawaban tidak relevan atau jawaban hanya mengulang pertanyaan serta jawaban kosong

0

(35)

Kemampuan menarik kesimpulan dari

pernyataan

Jawaban benar dan mengandung seluruh

konsep ilmiah 4

Jawaban benar dan mengandung paling sedikit satu konsep ilmiah serta tidak mengandung suatu kesalahan konsep

3 Jawaban memberikan sebagian informasi yang benar tetapi juga menunjukkan adanya kesalahan konsep dalam menjelaskannya

2 Jawaban menunjukkan kesalahan pemahaman yang mendasar tentang konsep yang dipelajari

1 Jawaban tidak relevan atau jawaban hanya mengulang pertanyaan serta jawaban kosong

0

Skor maksimal indikator 5 4

Kemampuan memeriksa kesahihan suatu argumen

Jawaban benar dan mengandung seluruh

konsep ilmiah 4

Jawaban benar dan mengandung paling sedikit satu konsep ilmiah serta tidak mengandung suatu kesalahan konsep

3 Jawaban memberikan sebagian informasi yang benar tetapi juga menunjukkan adanya kesalahan konsep dalam menjelaskannya

2 Jawaban menunjukkan kesalahan pemahaman yang mendasar tentang konsep yang dipelajari

1 Jawaban tidak relevan atau jawaban hanya mengulang pertanyaan serta jawaban kosong

0

Skor maksimal indikator 6 4

Kemampun menemukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat generalisasi

Jawaban benar dan mengandung seluruh

konsep ilmiah 4

Jawaban benar dan mengandung paling sedikit satu konsep ilmiah serta tidak mengandung suatu kesalahan konsep

3 Jawaban memberikan sebagian informasi yang benar tetapi juga menunjukkan adanya kesalahan konsep dalam menjelaskannya

2 Jawaban menunjukkan kesalahan pemahaman yang mendasar tentang konsep yang dipelajari

1 Jawaban tidak relevan atau jawaban hanya mengulang pertanyaan serta jawaban kosong

0

(36)

4. Pembelajaran Konvensional

Berdasarkan kamus besar bahasa indonesia, konvensional berarti tradisional, jadi pembelajaran konvensional juga disebut dengan pembelajaran yang dilaksanakan secara tradisional. Pembelajaran konvensional merupakan bentuk dari pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada guru (teacher centered approach). Dikatakan demikian, sebab dalam strategi ini guru memegang peran yang sangat dominan. Melalui strategi ini guru menyampaikan materi pembelajaran secara terstruktur dengan harapan materi pelajaran yang disampaikan itu dapat dikuasai oleh siswa dengan baik. Siswa tidak dituntut untuk menemukan materi itu. Materi pelajaran seakan-akan sudah jadi. Oleh karena itu pembelajaran ini lebih menekankan kepada proses bertutur, maka sering juga disebut dengan istilah “chalk and talk” (Sanjaya,

2009:177).

Menurut Sanjaya (2009:177) pembelajaran konvensional memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Guru menyampaikan materi pelajaran secara verbal, artinya bertutur secara lisan merupakan alat utama dalam melakukan strategi ini, oleh karena itu sering orang mengidentifikasi dengan ceramah.

2. Biasanya materi pelajaran yang disampaikan adalah materi pelajaran yang sudah jadi, seperti data atau fakta, konsep-konsep tertentu yang harus dihafal sehingga tidak menuntut siswa untuk berpikir ulang. 3. Tujuan utama pembelajaran adalah penguasaan materi pelajaran itu

sendiri, artinya setelah proses pembelajaran berakhir siswa diharapkan memahaminya dengan benar.

Berdasarkan ciri-ciri tersebut terlihat bahwa pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang menjadikan guru sebagai satu-satunya sumber belajar. Dimana pada pembelajaran ini guru mengajar di depan kelas dengan ceramah, menuliskan materi dipapan tulis, atau mendikte dan siswa mencatat di buku catatan masing-masing. Guru biasanya mengajar dengan berpedoman pada buku teks, dengan mengutamakan metode ekspositori dan kadang-kadang tanya jawab. Tes atau evaluasi yang bersifat sumatif dengan maksud untuk mengetahui

(37)

perkembangan siswa jarang dilakukan. Siswa harus mengikuti cara belajar yang dipilih oleh guru, dengan patuh mempelajari urutan yang ditetapkan guru, dan kurang sekali mendapat kesempatan untuk menyatakan pendapat. Hal ini dapat mengakibatkan dalam pembelajaran siswa bergantung pada guru.

Jadi pembelajaran konvensional yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pembelajaran diberikan dengan menggunakan metode ceramah, guru menerangkan di depan kelas, dilanjutkan dengan tanya jawab mengenai materi yang dipelajari, membahas soal serta diakhiri dengan memberikan pekerjaan rumah (PR) , sedangkan siswa hanya menerima saja (pasif) tampa melibatkan pengalaman siswa dalam belajar.

5. Hubungan Kemampuan Penalaran Matematis dengan Model Means

Ends Analysis (MEA)

Pembelajaran MEA memungkinkan siswa untuk saling berinteraksi satu sama lain, bertanya, menyampaikan pendapat, dan menanggapi pendapat siswa lain. Ketika siswa mengalami kebuntuan dalam menyelesaikan permasalahan yang diberikan, siswa dibimbing untuk melakukan kegiatan bernalar. Mereka diarahkan untuk bertanya dan mendiskusikan permasalahan tersebut kepada teman sekelasnya atau teman pada teman kelompoknya. Jika siswa masih mengalami kebuntuan, maka guru mengarahkan siswa melalui pertanyaan-pertanyaan bimbingan. Guru tidak menjawab langsung pertanyaan siswa dan lebih berperan sebagai fasilitator dalam belajar.

Model pembelajaran Means Ends Analysis (MEA) merupakan model untuk menganalisis permasalahan melalui berbagai cara untuk mencapai tujuan akhir yang diinginkan. Langkah-langkah dalam model MEA antara lain: identifikasi perbedaan antara kondisi awal dan tujuan akhir, menyusun subgoals, pemilihan operator atau solusi (Huda, 2014). Dengan menerapkan model pembelajaran MEA saat proses pembelajaran, maka dapat memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan kemampuannya dalam memahami suatu masalah secara

(38)

kreatif, sehingga pembelajaran akan lebih lama melekat pada ingatan siswa mengenai materi yang disampaikan guru, karena model MEA menuntut siswa mengumpulkan masalah yang ada disederhanakan kemudian disimpulkan.

Menurut Rahmawati (2013) bahwa Means Ends Analysis (MEA) merupakan pembelajaran yang pelaksanaannya diawali dengan pemberian suatu masalah. Melalui masalah yang diberikan, siswa mengidentifikasi dan menyusun subgoals, selanjutnya secara bertahap siswa mencari penyelesaiannya sampai diperoleh solusi akhir dari masalah tersebut. Dengan karakteristik pembelajran tersebut, menurut Shoimin (2016) model pembelajaran MEA ini dapat membantu siswa dalam mengembangkan ide-idenya dan merespon permasalahan dengan cara mereka sendiri, sehingga memudahkan siswa menalarkan masalah sesuai cara mereka sendiri dimulai dari memahami, menyusun pertanyaan dan mencari solusi dari masalah tersebut.

Hal ini sejalan dengan pendapat Vygotsky (dalam Trianto, 2009), yang mengatakan bahwa siswa membentuk pengetahuan sebagai hasil dari pemikiran dan kegiatan siswa melalui bahasa. Siswa dapat membentuk ide baru melalui proses interaksi antar individu, yakni kegiatan bekerjasama guru atau siswa lain yang memiliki kemampuan lebih. Kaitannya dengan model pembelajaran Means Ends Analysis adalah dalam proses pembelajarannya. Siswa dibentuk menjadi beberapa kelompok kecil, kemudian diminta untuk mendiskusikan penyelesaian dari masalah yang diberikan. Hal lainnya adalah karena siswa pada pembelajaran MEA dituntut untuk melakukan kegiatan presentasi. Pada kegiatan presentasi ini, siswa dituntut untuk mempresentasikan hasil kerja dan pemikiran mereka yang dalam hal ini siswa dapat berpikir secara logis/bernalar.

Melalui diskusi yang terjadi di kelompok-kelompok kecil pada pembelajaran MEA, pemikiran atau nalar matematika peserta didik dapat tersampaikan. Pemikiran matematika yang dilakukan peserta didik pada setiap kali pelajaran matematika, secara bertahap tentu akan dapat

(39)

meningkatkan kualitas kemampuan penalaran, dalam arti bahwa penalaran matematika peserta didik tersebut semakin cermat, tepat, sistematis dan efisien.

B.Kajian Penelitian yang Relevan

Penelitian yang peneliti lakukan, relevan dengan penelitian yang telah dilakukan dan lebih jelasnya perbedaan dari masing-masing penelitian tersebut dapat diihat pada Tabel 2.3:

Tabel 2.3. Penelitian Relevan

No Nama Peneliti Elisa Susanti (2017)

1. Judul Penelitian Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran

Means Ends Analysis (MEA) terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas VIII SMPN 2 Lubuklinggau

Strategi/model Model Pembelajaran Means Ends Analysis (MEA)

Kemampuan Kemampuan pemecahan masalah matematis Hasil Penelitian Penelitian ini menggunakan model means

ends analysis (MEA) untuk melihat kemampuan pemecahan masalah matematis siswa

Perbedaan Peneliti melihat pengaruh penerapan model

means ends analysis (MEA) terhadap kemampuan penalaran matematis kelas VIII 2. Nama Peneliti Nita Putri Utami (2014)

Judul Penelitian Kemampuan Penalaran Matematis Siswa Kelas XI IPA SMAN 2 Painan Melalui Penerapan Model Pembelajaran Think Pair Square (TPSq)

Strategi/model Model Pembelajaran Think Pair Square

(TPSq)

Kemampuan Kemampuan Penalaran Matematis

Hasil Penelitian 1. Kemampuan penalaran siswa mengalami peningkatan dengan menerapkan Model Pembelajaran Think Pair Square (TPSq) dalam pembelajaran matematika

2. Penalaran matematis siswa dengan menerapkan Model Pembelajaran Think Pair Square (TPSq) lebih baik daripada penalaran matematis siswa dengan menerapkan pembelajaran konvensional di SMAN 2

(40)

Perbedaan Peneliti melihat pengaruh penerapan model

means ends analysis (MEA) terhadap kemampuan peenalaran matematis kelas VIII 3. Nama Peneliti Tina Sri Sumartini

Judul Penelitian Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis Siswa melalui Pembelajaran Berbasis Masalah

Strategi/model Pembelajaran Berbasis Masalah (2015) Kemampuan Kemampuan Penalaran Matematis

Hasil Penelitian Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis antara siswa yang mendapat pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang yang mendapat pembelajaran konvensional pada sekolah level tinggi, sedang dan rendah

Perbedaan Peneliti melihat pengaruh penerapan model

means ends analysis (MEA) terhadap kemampuan peenalaran matematis kelas VIII 4. Nama Peneliti Yelfi Utami (2018)

Judul Penelitian Pengaruh Penerapan Pendekatan Kontekstual dengan Metode Penemuan Terbimbing terhadap Kemampuan Penalaran Matematis Siswa Kelas VIII SMP Negeri 2 Sungayang Strategi/model Pendekatan Kontekstual dengan Metode

Penemuan Terbimbing

Kemampuan Kemampuan Penalaran Matematis

Hasil Penelitian Kemampuan penalaran siswa mengalami peningkatan dengan menerapkan Pendekatan Kontekstual dengan Metode Penemuan Terbimbing dalam pembelajaran matematika Perbedaan Peneliti melihat pengaruh penerapan model

means ends analysis (MEA) terhadap kemampuan peenalaran matematis kelas VIII

(41)

C.Kerangka Berpikir

Lemahnya kemampuan penalaran matematis siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah realita pembelajaran matematika cenderung abstrak dengan metode ceramah sehingga konsep-konsep matematika sulit dipahami. Siswa hanya menghapal rumus dan langkah-langkah pengerjaan soal tanpa melibatkan daya nalar yang optimal. Dampak lebih lanjut adalah banyak siswa mampu menyajikan tingkat hapalan yang baik terhadap suatu materi ajar yang diterimanya, tetapi pada kenyataannnya mereka tidak memahami bagaimana pengetahuan tersebut akan bermanfaat dalam kehidupannya. Ketika dalam proses belajar mengajar siswa pasif dan hanya menerima apa-apa yang guru berikan, itu akan membuat pembelajaran menjadi cepat membosankan dan siswa cenderung akan dengan mudah melupakan apa yang ia pelajari.

Hal ini tentu berimbas pada kemampuan penalaran matematis siswa. Kondisi ini memerlukan adanya sebuah perubahan metode pembelajaran yang dapat membuat siswa lebih aktif dan banyak berperan dalam proses pembelajara sehingga lebih mendominasi aktivitas pembelajaran dan meningkatan kemampuan penalaran matematisnya. Oleh sebab itu, diperlukan pendekatan yang sesuai untuk mengembangkan kemampuan penalaran matematis dan siswa sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.

Pembelajaran MEA merupakan suatu model pembelajaran bervariasi antara metode pemecahan masalah dengan sintaks dalam penyajian materinya menggunakan pendekatan pemecahan masalah berbasis heuristik, yaitu memecahkan suatu masalah ke dalam dua atau lebih subtujuan. Pembelajaran MEA menuntut siswa untuk dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan belajar mengajar sehingga siswa dominan berperan dalm proses pembelajaran. Berdasarkan uraian di atas, diharapkan dengan menggunakan model Means Ends Analysis (MEA) dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa.

(42)

Gambar 2.1. Skema Kerangka Konseptual Penelitian

Siswa

Penentuan Kelompok Penelitian

Proses Belajar Mengajar dengan Menggunakan Model Means

Ends Analisys (MEA)

Proses Belajar Mengajar dengan Pembelajaran Konvensional

Tes Kemampuan Penalaran Matematis

Hasil Tes Kemampuan Penalaran Matematis

Tes Kemampuan Penalaran Matematis

Hasil Tes Kemampuan Penalaran Matematis Lakukan Perbandingan Hasil Tes

Kemampuan Penalaran Matematis

(43)

D.Hipotesis Penelitian

Adapun Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Kemampuan penalaran matematis siswa dengan model Means Ends Analysis (MEA) sama dengan kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional pada kelas VIII di SMPN 3 Batusangkar.

Kemampuan penalaran matematis siswa dengan model Means Ends Analysis (MEA) lebih baik daripada kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional pada kelas VIII di SMPN 3 Batusangkar.

Gambar

Tabel 2.1. Rubrik Skala PenilaianTingkat Kemampuan Penalaran
Tabel 2.3. Penelitian Relevan
Gambar 2.1. Skema Kerangka Konseptual Penelitian Siswa
Tabel  3.2.  Jumlah  Siswa  Kelas  VIII  SMPN  3  Batusangkar  Tahun  Pelajaran 2018/2019
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui : (1) seberapa besar kemampuan penalaran matematis siswa yang mengikuti pembelajaran matematika dengan menggunakan model

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Departemen Program S2/S3

Ari Kusumayanti, dkk, Pengaruh Model Pembelajaran Means-Ends Analysis (MEA) dengan Setting Belajar Kelompok Terhadap Hasil Belajar Matematika Pada Siswa Kelas IV SD,

Salah satu teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan soal tes yaitu untuk mengumpulkan data mengenai kemampuan berpikir kritis peserta didik

Implementasi Model Pembelajaran Means-Ends Analysis Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Mahasiswa.. Jurnal

Tugas Akhir ini berjudul: “ Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Menggunakan Model Means Ends Analysis (MEA) Bagi.. Siswa Kelas 5 SD Negeri Sumogawe