• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengantar Kajian Postkolonial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengantar Kajian Postkolonial"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Contents

Pengantar Kajian Postkolonial ... 2

Dekolonisasi Ilmu Pengetahuan ... 2

Orientalisme ... 3

Orientalisme dan Sistem Pengetahuan di Indonesia ... 4

Subaltern Studies: Agensi & Bias Representasi Kelompok Subaltern ... 5

Subaltern Studies: Negara & Dominasi Atas Kelompok Subaltern ... 6

Dekonstruksi Esensialisme Budaya ... 7

Psikoanalisa dan Inferior Kompleks ... 8

(2)

Dana Hasibuan MA, Dosen Sosiologi, FISIPOL UGM, Peneliti PSKP-UGM, 2017

Pengantar Kajian Postkolonial

Dekolonisasi Ilmu Pengetahuan

Formasi ilmu pengetahuan selalu dinamis dan mengalami pergeseran dari satu periode ke periode berikutnya. Hipotesa sederhana namun radikal yang dikemukakan oleh Wallerstein tersebut memiliki dampak yang signifikan bagi institusi pendidikan dan produksi pengetahuan sebab; a) menempatkan pengetahuan sebagai suatu perangkat ide dan praktek yang memproduksi kebenaran; b) dan memposisikan kebenaran tersebut sebagai suatu entitas yang dapat diperdebatkan,

dipertanyakan dan bahkan diabaikan. Menelusuri sejarah sistem pemikiran, Wallerstein

menunjukkan bahwa pembagian ilmu pengetahuan yang dikenal hari ini yakni: natural science, social science dan humaniora terkait erat dengan konteks global di abad ke 19. Pada saat itu rumpun ilmu sosial dibagi ke dalam 3 bidang yakni: Sosiologi, Ekonomi dan Politik untuk merespon transformasi sistem ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang terjadi di Barat, sedangkan rumpun Humaniora dikategorikan ke dalam Antropologi dan Oriental Studies untuk mempelajari masyarakat di luar Eropa (Barat).

Menurut Wallerstein meski ada pemisahan antara Antropologi dan Oriental Studies namun dalam konteks makro tujuan yang melekat di dalam pendirian disiplin Antropologi dan Oriental Studies adalah mempelajari secara keseluruhan seluruh dimensi kehidupan masyarakat yang di luar Eropa. Dan dorongan yang melatarbelakangi keinginan untuk memahami ‘the rest of the world’ menurut Wallerstein jauh dari nilai objektif, netral, dan bebas kepentingan. Sejak awal terdapat asumsi-asumsi implisit yang menempatkan masyarakat di luar Eropa sebagai masyarakat yang terputus dari peradaban, eksotis, dan bahkan berbahaya sehingga pengetahuan yang diproduksi secara halus mereproduksi ketimpangan dan hierarki kekuasaan. Dalam perkembangannya, seiring dengan bergesernya pusat kekuasaan dari Eropa ke Amerika Serikat, Oriental Studies dan Antropologi mengalami perubahan bentuk di dalam pengelolaan sumberdaya dan mode pengetahuan menjadi Area Studies (kajian wilayah). Di dalam Kajian Wilayah, nilai-nilai yang mendasari Oriental Studies dan Antropologi awal diintegrasikan ke dalam 3 bidang rumpun ilmu sosial: Sosiologi, Ekonomi & Politik dengan tujuan memproduksi ilmu sosial yang memiliki spesialisasi pengetahuan atas suatu wilayah. Sejak kebangkitan dunia intelektual Amerika mulai berkembang ilmu politik, sosiologi, dan ekonomi Amerika Latin, Asia Timur, Afrika, dan seterusnya.

Dalam sistem pengetahuan dimana nilai Orientalisme tidak hilang tetapi menjadi bertumpuk dan tumpang tindih dengan rumpun ilmu sosial telah membuat batas antara rumpun ilmu sosial dan humaniora menjadi semakin kabur. Hal ini menurut Wallerstein membuat upaya untuk mendeteksi dan membongkar praktek-praktek diskriminasi, bias, dan marjinalisasi di dalam proses produksi pengetahuan menjadi semakin menantang. Implikasinya, otoritas, sumberdaya, hipotesa, ontologi, dan epistemologi yang mengontrol proses produksi pengetahuan menjadi semakin terkait dengan reproduksi hierarki kekuasaan. Di tengah-tengah situasi dimana rumpun ilmu sosial semakin jenuh dengan bias orientalis yang menyebar ke berbagai disiplin mulai muncul gerakan-gerakan yang mulai menuntut adanya dekolonisasi di dalam produksi pengetahuan khususnya sejak 1968. Gerakan ini yang kemudian mengilhami studi perempuan (women’s studies), studi ras kulit hitam (black’s studies), dan termasuk kajian post-kolonial.

(3)

Orientalisme

Apa yang dimaksud dengan budaya Barat-Timur? Siapa yang mendeskripsikan budaya Barat-Timur? Otoritas apa yang dimiliki oleh pihak yang mendeskripsikan Barat-Timur? Dan bagaimana otoritas itu diperoleh? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan dasar yang menginspirasi Edward Said untuk menulis buku Orientalism. Melalui Orientalism, Edward Said membongkar sistem pengetahuan yang selama ini beroperasi di dalam proses konstruksi dan representasi kebudayaan. Bagi Said, sistem pengetahuan tidak dapat dilihat sebagai entitas yang netral dan bebas kepentingan. Sebaliknya, ada relasi kekuasaan yang membentuk atau mengkondisikan kerangka berpikir atas kebudayaan.

Tantangannya adalah seringkali operasi kekuasaan ini bekerja dengan sangat halus dan menyebar sehingga sulit bagi pandangan umum untuk mempertanyakan bias, diskriminasi, eksklusi, dan dominasi yang bekerja melalui kebudayaan. Di level makro, kekuasaan yang bekerja melalui relasi sosial dan tidak terpusat pada satu posisi menciptakan apa yang Foucault sebut dengan rezim Normalitas (1978).

Menggunakan pendekatan kritik ideologi, Edward Said membongkar rezim pengetahuan yang selama ini dominan di dalam mendeskripsikan dan merepresentasikan budaya Barat-Timur. Said berpendapat bahwa ilustrasi dan cerita yang kita temukan di literatur-literatur Barat mengenai kebudayaan Timur kontras dengan pengalaman dia yang tumbuh besar di Palestina dan Mesir. Deskripsi literatur Barat tentang kebudayaan Timur yang diwarnai kemalasan, kebodohan, irasional, mistis, dan despotik mendorong kritik Said bahwa di dalam praktek berbahasa, proses deskripsi tidak pernah berhenti sebatas menjelaskan atau menceritakan suatu kondisi sosial politik. Lebih jauh, ada rekayasa sosial yang memproduksi identitas objek pengetahuan. Dan metode rekayasa identitas Timur melalui sistem pengetahuan dilakukan oleh budayawan, ilmuwan, birokrasi dan militer kolonial melalui puisi, novel, buku, lukisan, dokumen, diari dan seterusnya.

Orientalisme adalah nama yang digunakan oleh Edward Said untuk mengkategorikan jalinan proses, ide, kepentingan dan aktor yang melakukan kolonisasi melalui sistem pengetahuan. Orientalisme adalah politik perbedaan yang membuat birokrasi, ilmuwan, budayawan, dan militer menganggap bahwa ada satu ras/kebudayaan yang lebih superior dibandingkan ras/kebudayaan lainnya. Politik perbedaan ini merupakan teknik dan metode untuk melanggengkan kekuasaan. Sebagai teknik kekuasaan, satu ciri yang menonjol di dalam paradigma orientalisme adalah praktek esensialisasi budaya yang melayani kekuasaan imperialisme. Esensialisasi budaya yang dimaksud disini adalah suatu proses yang melekatkan unsur-unsur kebudayaan kepada suatu kelompok masyarakat dan menempatkan pengetahuan atau informasi tersebut sebagai kebenaran absolut. Di sisi lain, Said

(4)

juga mencatat bahwa Orientalisme juga perlu dibedakan berdasarkan wilayah kemunculannya yakni Orientalisme yang berkembang di era kolonial diwakili oleh Eropa dan era pasca kolonialisme (neo-kolonialisme) diwakili oleh Amerika. Perbedaan antara keduanya cukup menonjol di wilayah kajian dimana Eropa cenderung fokus mempelajari teks-teks klasik Timur tengah sedangkan Amerika fokus mempelajari karakteristik masyarakat Timur Tengah. Perbedaan ini akan menjadi tema pembahasan di sesi berikutnya.

Orientalisme dan Sistem Pengetahuan di Indonesia

Jika sesi sebelumnya membahas mengenai hubungan antara Imperialisme dengan sistem

pengetahuan Orientalisme, cara beroperasi paradigma Orientalisme di dalam membingkai kerangka berpikir, dan premis-premis dasar yang dihasilkan oleh Orientalisme, maka sesi ini akan

mengeksplorasi lebih mendalam aplikasi pemikiran Orientalisme Eropa dan Amerika Serikat dengan menggunakan buku yang ditulis oleh Samual Hanneman yang berjudul Genealogi Kekuasaan Ilmu Sosial di Indonesia. Dengan menggunakan Indonesia sebagai ilustrasi, Samuel Hanneman bercerita bagaimana Orientalisme Eropa dan Orientalisme Amerika Serikat berkembang, diadopsi, dan

mempengaruhi institusi pendidikan dan ilmu pengetahuan sosial di Indonesia. Seperti apa pengaruh Orientalisme Eropa dan Amerika di Indonesia? Bagaimana paradigma Orientalisme berhubungan dengan sistem kekuasaan di Indonesia? Seperti apa keterputusan dan transisi dari Orientalisme Eropa ke Orientalisme Amerika? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan fundamental yang diajukan oleh Samuel Hanneman untuk mengkaji paradigma Orientalisme yang membentuk ilmu sosial di

Indonesia.

Di dalam buku Hanneman, kita menemukan bahwa di satu sisi Orientalisme di Indonesia secara konsisten bersandar pada tradisi Weberian yang memandang bahwa Modernitas merupakan suatu perkembangan sosial yang ‘natural’ dan ‘netral’ dan dapat diidentifikasi dari terbentuknya integrasi sosial diantara relasi sosial kompleks untuk mencapai suatu tujuan bersama. Di sisi lain,

Orientalisme perlu dibedakan antara perspektif Orientalisme yang berkembang di periode kolonial dan pasca kolonial. Meski sama-sama bertolak dari tradisi Weberian, masing-masing perspektif memiliki rumusan, teknik dan metode yang berbeda dalam membayangkan dan merealisasikan masyarakat ‘Modern’. Pada periode kolonial, paradigma Orientalisme beroperasi melalui disiplin ilmu yang disebut Indologi yang menghasilkan tiga tesis utama yang berfungsi sebagai landasan untuk menjustifikasi praktek kolonisasi; (a) penggolongan sistem ekonomi masyarakat Hindia Belanda sebagai sistem yang tradisional dan terbelakang; (b) asumsi mengenai keberagaman dan kemajemukan masyarakat Hindia Belanda yang selalu menghasilkan hubungan yang konfliktual dan kekerasan; (c) dan keterbatasan kemampuan masyarakat Hindia Belanda untuk mengembangkan sistem ekonomi, sosial, budaya dan politik sehingga membutuhkan peran negara yang kuat. Melalui tiga tesis utama diatas, Indologi menciptakan ilusi bahwa masyarakat Hindia Belanda tidak akan mampu bertahan tanpa kehadiran pemerintah kolonial dan oleh karena itu Indologi perlu

direproduksi secara terus menerus melalui institusi pendidikan untuk mempertahankan relasi kekuasan kolonial.

Pasca perang dunia kedua, secara perlahan peran Indologi mulai tergerus dan digantikan oleh kajian wilayah (Area Studies). Momen ini sekaligus mencerminkan pergeseran dari Orientalisme Eropa ke Orientalisme Amerika. Untuk membedakan diri dengan Indologi yang fokus antara hubungan rezim kolonial dan masyarakat Hindia belanda, kajian wilayah tampil sebagai disiplin yang hendak

mempelajari ‘keaslian’ Indonesia sekaligus mengeksplorasi bagaimana rezim kolonial dan Indologi telah mensubordinasi ‘keaslian’ Indonesia. Meski terkesan berpihak dengan posisi Indonesia, dalam prakteknya Kajian Wilayah menggunakan paradigma struktural fungsionalisme Parsonian yang merupakan turunan langsung pendekatan Weberian. Oleh karena itu disiplin Kajian Wilayah turut mereproduksi meski implisit bias Modernitas yang menganggap bahwa setiap masyarakat akan

(5)

berkembang dari tipe tradisional ke modern. Perbedaan antara Indologi dengan Kajian Wilayah terletak pada premis-premis dasar yang dihasilkan mengenai Indonesia. Apabila Indologi

menggunakan tiga tesis klasik untuk mendeskripsikan keterbatasan masyarakat Hindia Belanda, sebaliknya Kajian Wilayah memproduksi 4 hipotesa yang diadopsi dari sistem Adaptation-Goal Attainment-Integration-Latency (disingkat AGIL) untuk menggambarkan ketertinggalan masyarakat Indonesia. 4 hipotesa mengenai masyarakat Indonesia tersebut adalah; Adaptation dimana secara ekonomi, masyarakat Indonesia masih tergantung pada pola ekonomi subsisten; Goal Attainment atau orientasi politik yang diwarnai instabilitas dan kekacauan akibat tidak mampu

mengartikulasikan prinsip demokrasi; Integration yang diterjemahkan sebagai corak kebudayaan yang masih tergantung pada identitas primodial dan absennya kewarganegaraan. Dan Latent yang mengasumsikan bahwa konteks sosial masyarakat Indonesia secara keseluruhan masih tradisional.

Dominasi konsep AGIL tidak berhenti di level mendeskripsikan dan merepresentasikan keterbelakangan masyarakat Indonesia tetapi juga memiliki pengaruh yang signifikan dalam merumuskan solusi atas problem-problem AGIL diatas. Berturut-turut, Teori Need for achievement sebagai karakter ekonomi yang baru; Pengukuhan model negara yang sentralistik untuk mengatasi instabilitas; struktur kebudayaan yang berorientasi pembangunan dan; Paradigma Lepas Landas untuk membawa masyarakat Indonesia keluar dari pandangan tradisional menjadi teknik yang melegitimasi kekuasaan Orde Baru selama 30 tahun. Situasi ini menunjukkan bahwa operasi

paradigma Orientalisme melalui sistem pengetahuan selalu mengalami modifikasi dan mutasi bentuk yang seringkali terkesan natural dan bebas kepentingan namun dalam prakteknya melayani status quo. Seperti apa kemudian harapan yang dimiliki oleh masyarakat pasca kolonial jika berkaca pada situasi dimana Orientalisme telah mengakar kuat dalam institusi pemerintah, masyarakat sipil, dan pendidikan? Pertanyaan ini akan menjadi topok untuk pertemuan berikutnya.

Subaltern Studies: Agensi & Bias Representasi Kelompok

Subaltern

Siapa yang dimaksud dengan kelompok subaltern? Bagaimana studi mengenai kelompok subaltern berkembang dan menjadi episentrum di dalam kajian postkonial? Meski istilah subaltern merupakan konsep politik yang terus dikontestasikan, secara garis besar subaltern dapat dipahami sebagai suatu kelompok yang mengalami marjinalisasi namun disaat yang bersamaan memiliki agensi untuk melawan meski dalam skala kecil (Chakrabarty, 2000). Penempatan subaltern sebagai episentrum studi postkolonial diinisasi oleh Spivak yang memandang bahwa melalui konsep subaltern, metode dan strategi kekuasaan bekerja di India dapat dikaji, dibongkar, dan dilawan untuk membangun masyarakat yang lebih adil (Spivak, 1988; Karatani, 2010). Salah satu karya Spivak yang paling berpengaruh di dalam menganalisa kekuasaan adalah studinya yang membahas hubungan antara subaltern dan praktek representasi yang berjudul ‘Can The Subaltern Speak?’ (Spivak, 1988). Dengan menggunakan cerita mengenai Sati tradisi di India dimana perempuan yang berasal dari kasta rendah dituntut oleh untuk membakar diri jika pasangannya meninggal, Spivak mencermati bahwa konstruksi pengetahuan mengenai praktek bunuh diri selalu direpresentasikan oleh dua mode pengetahuan yang saling bersaing untuk menjadi pengetahuan yang dominan.

Di dalam kajian mengenai sejarah India, dua mode pengetahuan yang saling berkontestasi adalah pengetahuan Barat & Timur. Wacana Barat melihat bahwa praktek bunuh diri menggambarkan perempuan India sebagai subyek yang tertindas, tidak memiliki agensi dan korban dari budaya lokal. Di sisi lain, wacana Timur atau lokal berusaha memberikan agensi kepada perempuan dengan berpendapat bahwa praktek bunuh diri oleh perempuan justru menunjukkan bahwa perempuan justru aktif berpartisipasi di dalam mempertahankan tradisi. Di tengah-tengah ketegangan dua wacana tersebut akhirnya yang terjadi adalah penindasan terhadap kelompok subaltern (Spivak,

(6)

1996, hlm 13). Spivak mempertanyakan bagaimana mungkin ‘suara’ kelompok marjinal dapat diartikulasikan dan diadvokasi tanpa memproblematisasi ketimpangan struktural yang selama ini mendominasi posisi kelompok subaltern.

Kondisi ini membuat Spivak berpendapat bahwa di balik praktek representasi terjadi suatu

kekerasan simbolik sebab agensi dan suara kelompok subaltern diasumsikan seolah-olah nyata dan terbuka, yang kemudian dapat diakses dan diklaim oleh kelompok-kelompok representatif (kelompok masyarakat sipil, parlemen, eksekutif akademisi). Identitas seperti kelas, gender, usia, agama, etnis, ras, yang selama ini digunakan untuk mendeskripsikan karakter suatu kelompok sosial (Derstallen) tidak dengan serta merta akan menghasilkan kesadaran ideologis di dalam pemikiran subyek (Verstallen). Hanya karena seseorang menunjukkan ciri-ciri miskin, tidak berarti orang tersebut merasa miskin atau bahkan memiliki pengetahuan mengenai konsep miskin. Oleh sebab itu, Spivak menyimpulkan bahwa pada akhirnya proses representasi merupakan rekayasa sosial untuk

mengamankan posisi kelas dominan.

Argumen lain yang membongkar ilusi representasi dilacak oleh Spivak di dalam karya Marx (1988, hlm 68). Bagi Marx, tindakan dan wacana kelompok yang merepresentasikan seringkali independen atau otonom dari kelompok yang direpresentasikan (Karatani, 2010, hlm 161). Namun, hal ini disebabkan bukan karena ada pembajakan oleh para elite, tetapi lebih disebabkan ada misrekognisi di dalam memahami identitas. Konsep kelas atau golongan yang selama ini digunakan untuk

mendeskripsikan kondisi sosial ekonomi suatu kelompok sosial atau Darstellung (to depict)

seringkali diasumsikan telah memiliki kesadaran atau agensi kolektif dan dapat direpresentasikan atau Vertretung (to represent) (Karatani, 2010, hlm 145). Akibatnya, ada ilusi yang selama ini

diproduksi yang meyakini bahwa persamaan posisi sosial, seperti kelas, dengan sendirinya akan menghasilkan agensi, kesadaran dan kepentingan kolektif (Spivak, hlm 72, 1988). Padahal dalam

kondisi nyatanya, kelas lebih merupakan kelas yang tidak sadar akan keberadaan dirinya (class

unconsciousness). Ini artinya, kesadaran kolektif hanya dapat menjadi eksis ketika terdapat gerakan

yang berusaha membangun dan mendidik identitas bersama.

Analisa Spivak ini memiliki daya kritik yang kuat atas klaim representasi yang dilakukan oleh politisi, kelompok masyarakat sipil, akademisi, dan elite-elite lainnya sebab meski di permukaan berbagai aktor tersebut terlihat sedang merepresentasikan pandangan yang berseberangan antara satu dengan yang lain. Di saat yang bersamaan elite-elite tersebut berbagi kerangka berpikir yang sama yakni menganggap ada kesadaran atau ideologi yang dapat mereka klaim dan representasikan tanpa pernah mempertanyakan bias ideologi di balik representasi tersebut (who votes who for whom). Lebih lanjut, tidak dipertanyakan juga ada tidaknya resistensi kelompok yang diwakili terhadap model representasi dominan (Konjin, 2005, hlm 145). Hal ini kemudian menimbulkan kecurigaan bahwa ada kepentingan untuk mendominasi atau menjaga status quo di balik setiap klaim representasi. Hal ini diperkuat dari substansi representasi yang selama ini dipromosikan cenderung menempatkan negara dan pasar sebagai pelaku perubahan, producer of welfare/agent of

change. Sedangkan, masyarakat adalah penerima sasaran/obyek perubahan yang pasif, consumers

of welfare/object of intervention (Harris, 2011 Caroll, 2010, Fergusson, 1994).

Subaltern Studies: Negara & Dominasi Atas Kelompok

Subaltern

Melanjutkan sesi minggu lalu mengenai hubungan antara sistem pengetahuan dengan bias representasi yang kemudian mereproduksi marjinalisasi atas kelompok subaltern, sesi ini akan membahas secara lebih mendalam politik kelompok subaltern dengan fokus membahas konsep-konsep pemikiran Ranajit Guha. Ranajit Guha sendiri bersama-sama dengan Spivak dikenal karena membentuk mahzab pemikiran yang disebut Subaltern Studies. Keberadaan mahzab Subaltern

(7)

Studies menjadi penting sebab ia merupakan salah satu gerakan intelektual pertama yang cukup sistematis dan konsisten dalam mempromosikan pandangan bahwa perspektif dan konseptualisasi dari institusi pendidikan Barat tidak selalu relevan di dalam menganalisa fenomena sosial di negara-negara Dunia Ketiga oleh karena perbedaan sejarah dan formasi sosial di wilayah non-Eropa.

Apabila Spivak mengasosiasikan kelompok subaltern dengan perempuan-perempuan kasta rendah oleh sebab tema utamanya adalah sejarah sistem pengetahuan di India, maka Guha memposisikan masyarakat rural sebagai kelompok subaltern karena area fokusnya adalah nasionalisme di India.

Ranajit Guha mencermati bahwa politik kelompok subaltern di India sangat berbeda dengan konsep politik yang selama ini dibayangkan dari kacamata politik formal. Praktek politik seperti rasional, konstituen, pemilih, dan warga negara (citizen) yang selama ini digunakan untuk merepresentasi kelompok subaltern, menurut Guha, merupakan manifestasi dari konsep masyarakat sipil yang tumbuh di dalam sistem demokrasi. Di India, berbeda dengan di Barat, hanya sekelompok elite kecil yang memiliki persamaan karakteristik dengan konsep masyarakat sipil di Barat. Mayoritas

masyarakat di India yang merupakan masyarakat rural dapat dikategorikan sebagai political society memiliki logika politik yang sepenuhnya berbeda dari logika masyarakat sipil. Mengapa political

society lebih popular dibandingkan civil society? Guha memandang bahwa kondisi ini disebabkan

oleh sejarah dimana hubungan antara masyarakat dengan negara diawali oleh penindasan dan perlawanan. Mayoritas masyarakat yang notabenenya merupakan komunitas pribumi mengenal negara sebagai rezim kolonial yang menindas dan mengeksploitasi kelompok masyarakat yang berada di luar pusat kekuasaan. Kondisi ini berseberangan dengan konteks di Eropa dimana negara muncul seiring dengan lahirnya masyarakat sipil. Implikasinya, wacana-wacana seperti

modern/tradisional, politik/prapolitik, terdidik/terbelakang, dan seterusnya tidak akan pernah mampu menjangkau dan mencerminkan kepentingan kelompok subaltern.

Dekonstruksi Esensialisme Budaya

Fenomena globalisasi hari ini menghadirkan tantangan baru bagi keberagaman dan perbedaan. Proses pertukaran kebudayaan dan identitas yang dahulu memiliki keterbatasan daya jangkau saat ini mampu melintasi batas negara, komunitas, dan keluarga dalam kecepatan tinggi. Dan dua faktor yang khususnya mempengaruhi perubahan di dalam relasi kebudayaan adalah perkembangan teknologi informasi yang pesat dan arus migrasi yang difasilitasi oleh perkembangan transportasi. Secara bersamaan kedua inovasi tersebut mempengaruhi; pertama, cara kita berinteraksi antara satu dengan yang lain; dan kedua, kemampuan dalam memahami dan mempraktekkan perbedaan dan keberagaman. Pergeseran fundamental ini membuat topik mengenai multikulturalisme menjadi salah satu isu yang paling sentral di dalam masyarakat hari ini. Dan Homi Bhabha melalui bukunya yang berjudul The Location of Culture berupaya merespon pertanyaan-pertanyaan terkait

multikulturalisme, perbedaan, keberagaman, dan kebudayaan.

Bhabha bertolak dari pertanyaan radikal bagaimana kita dapat memahami kebudayaan melalui relasi sosial yang kompleks dan terus berubah-ubah? Apakah ada materi yang disebut dengan esensi atau inti kebudayaan? Seperti apa bentuknya? Dan apa yang menyebabkan pergeseran suatu

kebudayaan? Menggunakan pendekatan kritik ideologi, Bhabha memandang bahwa kebudayaan, termasuk kebudayaan Barat yang selama ini dipandang superior, selalu dibayang-bayangi oleh nuansa ketidakpastian dan kekhawatiran atau yang disebut Ambivalensi. Nuansa Ambivalensi ini bagi Bhabha merupakan sesuatu yang internal dan inheren di dalam setiap kebudayaan dan

identitas dan tidak dipicu oleh ancaman eksternal. Ambivalensi merupakan jejak dan narasi identitas yang ditekan, direpresi, dan dihilangkan untuk membuka ruang bagi identitas lain untuk

berkembang. Di dalam relasi kekuasaan, ambivalensi ini terlihat dari ambiguitas kelompok dominan. Di satu sisi, kelompok dominan terus menampilkan kesan yang otoritatif, superior, dan rasional di

(8)

hadapan kelompok yang didominasi. Citra ini namun disisi lain menyembunyikan ketakutan, kecurigaan dan insekuritas terhadap kelompok yang didominasi.

Ambivalensi yang cenderung dipandang negatif di dalam teori-teori sosial justru oleh Bhabha

disambut positif sebab melalui pendekatan ini Bhabha melihat bahwa setiap relasi kekuasaan, relasi dominasi-didominasi, pada dasarnya merupakan hubungan yang hibrid. Ini artinya bahwa tidak ada pihak yang dapat mendominasi secara absolut dan tidak ada pihak yang tertindas secara permanen. Dengan kata lain, hubungan dominasi-didominasi merupakan relasi yang mempertahankan nilai ketidakadilan melalui wujud dan teknik kekuasaan yang terus menerus berubah dan mengalami modifikasi. Mimikri merupakan salah konsep penting yang mencerminkan relasi kekuasaan yang hibrid. Mimikri yang diartikan sebagai proses dimana perilaku kelompok subaltern meniru kelompok dominan dipandang oleh Bhabha sebagai simbol agensi dan hingga derajat tertentu resistensi dan bukan lambang kekalahan. Agensi dan resistensi di dalam praktek mimikri dibuktikan melalui statemen “Meniru tetapi tidak seutuhnya Sama”. Kata-kata “tidak seutuhnya Sama” merefleksikan agensi dan resistensi kelompok subaltern sebab ada upaya untuk terus membedakan diri dari kelompok status quo.

Darimana agensi dan pada momen tertentu resistensi muncul? Dengan konsisten Bhabha

memandang bahwa agensi kelompok subaltern tidak datang dari luar fenomena sosial sama seperti kasus ambivalensi diatas. Dalam sistem kekuasaan, agensi kelompok subaltern dikonstruksi dengan memanfaatkan ambivalensi identitas kelompok superior. Ambivalensi kelompok superior dimana di satu sisi terus berusaha menjaga jarak dengan memisahkan diri dari kelompok subaltern dan di sisi lain berupaya ‘mendidik’ kelompok subaltern agar menjadi seperti kelompok dominan adalah celah yang dieksploitasi oleh praktek mimikri.

Psikoanalisa dan Inferior Kompleks

Jika sesi terdahulu yakni sesi ‘Orientalisme’ mempelajari hubungan antara kekuasaan dan

pengetahuan, dan sesi ‘Dekonstruksi Esensialisme Budaya’ mengeksplorasi konsep kebudayaan dari sudut pandang ambivalensi, maka sesi ini akan mencermati fenomena masyarakat pasca kolonial dari perspektif psikoanalisa. Dan salah satu pemikir yang paling berpengaruh di dalam aliran pemikiran psikoanalsa postkolonial adalah Frantz Fanon yang berjudul ‘Black Skin White Mask’. Psikoanalisa sendiri merupakan cabang di dalam ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai alam bawah sadar dan merupakan salah satu metode pengobatan di dalam bidang kejiwaan. Frantz Fanon sendiri yang merupakan seorang psikiater dengan latar belakang pendidikan Eropa namun datang dari ras minoritas (kulit hitam) menggunakan pengalaman pribadinya dan data-data kesehatan ketika bekerja di sebuah rumah sakit di Aljazair (yang pada saat itu merupakan jajahan Prancis) untuk menganalisa ketidakadilan yang terjadi di wilayah kolonial.

Sebagai seorang intelektual, aktivis, dan dokter di bidang kejiwaan, Fanon menekankan pengaruh negatif kolonialisme di dalam membentuk hasrat, keinginan, mentalitas, dan identitas individu. Pandangan ini yang membuat Fanon berbeda dan sekaligus melengkapi pemikir-pemikiran Post-Kolonial lainnya. Apabila sesi-sesi terdahulu membahas kaitan kolonialisme dengan kebudayaan seperti Bhabha atau aspek agensi dan perlawanan kelompok Subaltern Spivak. Maka, Fanon

memandang bahwa kolonialisme menciptakan trauma yang dapat dikatakan negatif baik bagi pihak yang menjajah dan terutama kelompok yang dijajah. Terutama untuk kelompok yang dijajah, Fanon memandang bahwa trauma yang dialami oleh kelompok Subaltern cukup mendalam sebab kelompok tersebut mengalami dehistorisasi total hingga ke level dimana dirinya tidak lagi mengenali asal usul dan sejarah keberadaan dirinya. Momen ini kata Fanon merupakan situasi dimana masyarakat yang dijajah telah kehilangan identitasnya hingga tidak lagi memiliki latar belakang masa lalu maupun rencana akan masa depan.

(9)

Di dalam situasi yang hampa akan pengetahuan mengenai dirinya dan dunia yang ditempatinya, satu-satunya pilihan yang tersedia bagi kelompok Subaltern untuk memiliki jati diri atau identitas adalah dengan menjadi hamba atau pelayan bagi kelompok yang menjajah dan status quo yang lebih luas. Formasi ini yang mendorong Fanon untuk menghasilkan analisanya yang terkenal mengenai disorientasi yang dimiliki oleh kelompok yang dijajah; ras hitam namun dalam pikirannya satu-satunya hal yang dibayangkan adalah bagaimana menjadi orang kulit putih. Kritik ini kemudian menjadi terkenal sebagai konsep Black Skin White Mask. Usaha ras hitam untuk menjadi ras lain yang dianggap lebih baik menurut Fanon akan membuat ras hitam selalu memposisikan dan merasa dirinya inferior di dalam struktur sosial yang lebih luas. Nilai inferior yang diinternalisasi inilah yang mereproduksi inferior kompleks dan bahkan kegilaan di antara kelompok Subaltern.

Aktivisme & Kajian Post kolonial

Rangkuman atas tema-tema yang telah dibahas dapat dirumuskan ke dalam poin-poin sebagai berikut: a). Kajian Post Kolonial merupakan bagian dari tradisi kritis yang berupaya membongkar premis-premis, epistemologi dan ontologi yang dipandang melayani kekuasaan dan sistem status quo. b) Fokus mengangkat formasi sosial-politik negara atau wilayah yang pernah mengalami penjajahan dan berada di luar episentrum kekuasaan, kekuasaan disini seringkali diasosiasikan dengan Eropa dan Amerika Serikat. c) Kajian Post Kolonial berupaya mereinterpretrasi temuan dan pertanyaan yang selama ini membingkai studi-studi sosial, politik, budaya dan politik untuk

menghasilkan problematisasi dan pengetahuan baru mengenai masyarakat pasca kolonial.

Untuk dua pertemuan berikut, pembahasan akan fokus pada salah satu pilar fundamental di dalam kajian post-kolonial selain kajian teoritik yakni aktivisme atau praksis politik. Di dalam kajian postkolonial, pembahasan mengenai aktivisme tidak dapat diabaikan sebab kajian post kolonial sedari awal memiliki misi untuk mempertanyakan dan mengkritisi bangunan pengetahuan dominan sebagai bentuk keberpihakan terhadap kelompok marjinal. Ini artinya, aktivisme merupakan sesuatu yang inheren di dalam kajian post-kolonial. Dan meski tidak ada definisi tunggal aktivisme dapat dipahami sebagai seperangkat praktek dan ide alternatif yang berupaya; 1. Melakukan kritik

ideologi; 2. membangkitkan agensi politik yang saat ini tengah digerus oleh arus depolitisasi. Hal ini mencerminkan bahwa pilihan untuk melakukan advokasi di dalam kajian postkolonial merupakan konsekuensi dari kerangka intelektual yang menunjukkan keengganan untuk berdiam diri melihat ketidakadilan.

Oleh karena penindasan bekerja melalui hegemoni dan dominasi di level ide & pengetahuan maka menurut penstudi postkolonial pembebasan pun harus dimulai dari transformasi kesadaran politik yang sebelumnya menaturalisasi proses penindasan dan pemarjinalan menjadi kritik atas

ketidakadilan sistem. Namun seperti apa model kritik ideologi yang dapat ditempuh? Strategi dan taktik apa saja tersedia untuk melakukan advokasi menggunakan perspektif post kolonial? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan utama yang diajukan oleh para penstudi post kolonial. Dan sesi pertama tentang aktivisme akan fokus membahas peta model aktivisme dan resistensi yang populer di bidang kajian post-kolonial.

Aktivisme di dalam kajian post kolonial merupakan aplikasi dan pengembangan lebih lanjut konsep, analisa serta temuan-temuan masing-masing pemikir post kolonial. Dengan kata lain, artikulasi dan substansi aktivisme berkaitan erat dengan kerangka konseptual yang digunakan untuk menganalisa suatu fenomena sosial. Secara garis besar, model aktivisme dan resistensi di dalam masyarakat post kolonial dapat dibedakan ke dalam tiga kategori. Kategori pertama adalah aktivisme pragmatis yang menggunakan identitas marjinalitas secara strategis sebagai metode resistensi (strategis

esensialisme). Istilah strategis yang dimaksud disini adalah pengakuan bahwa di satu sisi identitas merupakan wacana yang paling efektif untuk merepresentasikan kepentingan kelompok marjinal.

(10)

Namun di sisi yang lain, terdapat potensi esensialisme dan eksklusivitas ketika menggunakan identitas sebagai instrumen perlawanan sehingga apropriasi identitas untuk kepentingan politik harus strategis. Kategori kedua adalah model aktivisme yang memanfaatkan dan mengeksploitasi kerentanan yang berada di dalam suatu relasi kekuasaan. Kerentanan yang dimaksud disini adalah momen destabilisasi atau ambivalensi yang melekat di dalam setiap identitas dan relasi sosial. Ekstrapolasi celah kerentanan sebagai elemen aktivisme dipandang akan membuka ruang untuk negosiasi antar pihak yang berkuasa dengan kelompok marjinal. Dan kategori ketiga adalah praktek aktivisme yang melegitimasi kekerasan. Pandangan ini yang banyak menyerap pemikiran

psikoanalisa memandang bahwa kekerasan dapat diterima keberadaannya sebab rezim kolonial hanya mengenal bahasa kekerasan. Jika kekerasan digunakan oleh penguasa untuk menindas maka kekerasan yang digunakan oleh kelompok terjajah adalah kekerasan yang membebaskan.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Wong (2008), seseorang yang mememiliki tingkat religiusitas tinggi dalam mengikuti aktivitas keagamaan serta memiliki sikap etis lebih baik dalam kehidupan

Kolej RISDA Kelantan Sijil Kemahiran Malaysia Kursus Pembuat Pakaian Wanita Tahap 2 12 Bulan 0 57 0. Kolej RISDA Semporna Sijil Kemahiran Malaysia Kursus Kejuruteraan Sistem

Ini tidaklah sejalan dengan amanat 77 SJSN dan 77 PJS yang telah memposisikan 2ementerian 2esehatan sebagai regulator dan  bukan lagi sebagai penyelenggaran pelayanan jaminan

Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kabupaten Sorong Tahun 2014 II - 9 - Jumlah penduduk yang besar dapat menjadi potensi dan mendatangkan manfaat.. yang besar bila

Menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (No.20/POJK.03/2014) pasal 1, “Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut BPR yaitu bank yang melaksanakan kegiatan

penelitian yang dilakukan terbukti bahwa model discovery learning mampu membantu meningkatkan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran dengan siswa menemukan

Tabela 7: Število samozaposlitev po občinah v obdobju 2001 – 2004 Oddelek za prestrukturiranje RTH, 2006 Tabela 8: Število prezaposlitev in samozaposlitev skupaj po občinah v

Salah satu metode yang dapat digunakan dalam penjadwalan mata pelajaran adalah dengan menggunakan hibridisasi algoritme genetika dan simulated annealing (GA-SA)