• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN. A. Gambaran Umum Masyarakat Kabupaten Garut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN. A. Gambaran Umum Masyarakat Kabupaten Garut"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Masyarakat Kabupaten Garut

1. Keadaan Wilayah Kabupaten Garut

Kabupaten Garut dilihat dari situasi geografisnya memiliki luas daerah yang mencapai 309.687.090 Ha atau 3.066.88 Km, yang terdiri atas sawah dan daratan. Sebagian besar dari luas daerah tersebut merupakan hutan dan daerah perkampungan.

Secara spesifik situasi geografis tersebut dapat digambarkan dalam tabel data sebagai berikut:

No Bentang Lahan Luas (Ha)

1 Sawah tadah hujan 11.180

2 Sawah irigasi 38.033

3 Hutan 97.854

4 Perkebunan 26.908

5 Tegal/Tanah/Kampung 46.871

(2)

7 Waduk/Situ 1.910 8 Padang Rumput/Semak 7.005 9 Kebun Campuran 62.348 10 Perikanan/Kolam 1.103 11 Tanah Galian 78 12 Sungai, Jalan dll 2.600 13 Tanah Rusak 266

Sumber :Profil Kabupaten Garut Th.2008

Daerah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian selatan dengan batas sebagai berikut:

a. Sebelah Barat dengan Kabupaten Bandung dan Cianjur

b. Sebelah Utara dengan Kabupaten Sumedang c. Sebelah Selatan Samudera Indonesia

(3)

2. Keadaan Penduduk Kabupaten Garut

Dengan melihat situasi demografinya, jumlah penduduk di wilayah Hukum Kepolisian Resor Garut secara keseluruhan berjumlah 2.139.167 orang Warga Negara Indonesia dan 42 orang Warga Negara Asing.

Secara lebih jelas tinjauan demografi jumlah penduduk di wilayah hukum Polres Garut adalah sebagai berikut:

No Keterangan Jumlah (Orang)

1

2

3

Warga Negara Indonesia Laki-laki

Warga Negara Indonesia Perempuan

Warga Negara Asing

1.088.276

1.050.891

42

Jumlah 2.139.209

Sumber: Situasi Demografi Kabupaten Garut Th.2008

Sebagian besar penduduk Kabupaten Garut bermata pencaharian pada sector pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan yang tercatat sekitar 278.858 Orang dan yang lainnya bermata pencaharian sebagai wiraswasta, PNS, peternak, serta pensiunan BUMN/BUMD. Mayoritas penduduk kabupaten Garut memeluk Agama Islam sebanyak 2.442.568 Orang, yang diperoleh dari data Pengembangan Sistem Informasi Profil Daerah.

(4)

B. Gambaran Umum Polisi Binamitra Kepolisian Resor Garut

1. Profil Binamitra Kepolisian Resor Garut

Sebelum konsep Community Policing diluncurkan, terutama di negara-negara maju, penyelenggaraan tugas-tugas kepolisian baik dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban maupun penegakan hukum, dilakukan secara konvensional. Polisi cenderung melihat dirinya semata-mata sebagai pemegang otoritas, dan institusi kepolisian dipandang semata-mata sebagai alat negara, sehingga pendekatan kekuasaan bahkan tindakan represif seringkali mewarnai pelaksanaan tugas dan wewenang kepolisian. Walaupun prinsip-prinsip “melayani dan melindungi” (to serve and to protect) ditekankan pendekatan-pendekatan yang birokratis, sentralistik serba sama, atau seragam mewarnai penyajian layanan kepolisian.

Gaya perpolisian tersebut mendorong polisi untuk mendahulukan mandat dari pemerintah pusat dan mengabaikan “persetujuan” masyarakat lokal yang dilayani. Selain itu, polisi cenderung menumbuhkan sikap yang menampilkan dirinya sebagai sosok yang formal, dan ekslusif dari anggota masyarakat lainnya. Pada akhirnya, semua itu berakibat pada memudarnya legitimasi kepolisian di mata publik pada satu sisi, serta semakin berkurangnya dukungan publik bagi pelaksanaan tugas kepolisian, maupun buruknya citra polisi pada sisi lain.

Sejalan dengan pergeseran peradaban umat manusia secara universal, terutama di negara-negara maju, masyarakat cenderung semakin jenuh

(5)

dengan cara-cara lembaga pemerintah yang birokratis, resmi, formal atau kaku, general/seragam dan lain-lain dalam menyajikan layanan publik. Terdapat kecenderungan bahwa masyarakat lebih menginginkan pendekatan-pendekatan yang personal dan menekankan pemecahan masalah dari pada sekadar terpaku pada formalitas hukum yang kaku. Dalam bidang penegakan hukum terutama yang menyangkut pertikaian antar warga, penyelesaian dengan mekanisme informal dipandang lebih efektif dari pada proses sistem peradilan pidana formal yang acap kali kurang memberikan peranan yang berarti bagi korban dalam pengambilan keputusan penyelesaian masalah yang dideritanya.

Kondisi sebagaimana diutarakan di atas mendorong diluncurkannya program-program baru dalam penyelenggaraan tugas kepolisian terutama yang disebut Community Policing. Lambat laun, Community Policing tidak lagi hanya merupakan suatu program dan atau strategi, melainkan suatu falsafah yang menggeser paradigma konvensional menjadi suatu model perpolisian baru dalam masyarakat madani. Model ini pada hakekatnya menempatkan masyarakat bukan semata-mata sebagai objek tetapi mitra kepolisian, dan pemecahan masalah lebih merupakan kepentingan dari pada sekedar proses penanganan yang formal atau prosedural.

Bagian Binamitra Polres Garut adalah unsur pembantu pimpinan dan pelaksana staf Polres yang berada di bawah Kapolres. Bagian Binamitra ini bertugas mengatur, menyelenggarakan dan mengawasi atau mengarahkan pelaksanaan penyuluhan masyarakat dan pembinaan bentuk-bentuk

(6)

pengamanan swakarsa oleh suatu fungsi yang berkompeten membina hubungan kerjasama dengan organisasi/lembaga/tokoh sosial/kemasyarakatan dan instansi pemerintah, khususnya instansi Polsus/PPNS dan Pemda dalam kerangka otonomi daerah, dalam rangka peningkatan kesadaran dan ketaatan warga masyarakat pada hukum dan perundang-undangan, pengembangan pengamanan swakarsa dan pembinaan hubungan Polri-masyarakat yang kondusif bagi pelaksanaan tugas Polri.

Untuk memperoleh kesamaan persepsi dan tindakan di lapangan terhadap pelaksanaan program dan prioritas kegiatan fungsi Binamitra, sehingga tercapai optimalisasi kinerja kegiatan secara efektif dan efisien, Bagian Binamitra Kepolisian Resor Garut menyusun suatu program kerja dan rencana kegiatan setiap tahun yang disusun sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Pokok, Fungsi dan Peran Bagian Binamitra Polres Garut.

Ada pun beberapa kegiatan yang telah dan sedang dilakukan oleh pihak Kepolisian Resor Garut yang pada khususnya dipegang oleh Bagian Binamitra Polres Garut di antaranya adalah kegiatan pemberdayaan potensi keamanan, kegiatan kerjasama keamanan, kegiatan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Bagian Binamitra Polres Garut juga memiliki rencana dalam bidang program penyelenggaraan pimpinan kenegaraan dan pemerintahan dengan sasaran terwujudnya kepanitiaan dan kesejahteraan anggota, guna tidak terjadi keterlambatan dalam menyelesaikan tugas-tugas dinas yang akan dilakukan pada tahun 2009 ini. Uraian secara lengkap dan terperinci dapat dilihat pada lampiran.

(7)

2. Model Perpolisian/Pemolisian Masyarakat (Polmas) Kepolisian Resor Garut Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, bahwa yang dimaksud dengan Polmas (Pemolisian/Perpolisian Masyarakat) adalah penyelenggaraan tugas kepolisian yang mendasari kepada pemahaman bahwa untuk menciptakan kondisi aman dan tertib tidak mungkin dilakukan oleh Polri sepihak sebagai subjek dan masyarakat dengan cara memberdayakan masyarakat melalui kemitraan Polisi dan warga masyarakat, sehingga secara bersama-sama mampu mendeteksi gejala yang dapat menimbulkan permasalahan di masyarakat, mampu mendapatkan solusi untuk mengantisipasi permasalahannya dan mampu memelihara keamanan serta ketertiban di lingkungannya.

Sejalan dengan pemaparan di atas, Perpolisian atau pemolisian masyarakat yang dijalankan oleh pihak Kepolisian Resor Garut merupakan suatu bentuk implementasi dari Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri tersebut yang tercantum pada pasal 14, bahwa bentuk-bentuk kegiatan dalam penerapan Polmas antara lain adalah :

a. Kegiatan pelayanan dan perlindungan warga masyarakat. b. Komunikasi intensif petugas Polri dengan warga masyarakat.

(8)

c. Pemanfaatan Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM) untuk pemecahan masalah, eliminasi akar permasalahan dan pengendalian masalah sosial.

d. Pendekatan dan komunikasi intensif dengan tokoh-tokoh formal dan informal (adat, agama, pemuda, tokoh perempuan/ibu, pengusaha, profesi, dsb) dalam rangka mengeliminasi akar permasalahan dan pemecahan masalah keamanan/ketertiban.

e. Pemberdayaan pranata sosial untuk pengendalian sosial, eliminasi akar masalah dan pemecahan masalah sosial.

Secara umum bentuk penerapan Polmas ini lebih menitikberatkan pada kegiatan pembinaan dan penyuluhan kepada seluruh aspek warga masyarakat, guna menciptakan jalinan kemitraan yang dinamis antara pihak kepolisian dengan warga masyarakatnya dalam upaya memelihara stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat. Kegiatan Polmas pada Kepolisian Resor Garut ini lebih khusus ditangani oleh Bagian Binamitra Polres yang dalam pelaksanaan kegiatannya tersebut bertujuan untuk mewujudkan kesadaran dan ketaatan hukum masyarakat dan kesadaran tentang keamanan dan ketertiban masyarakat serta menekan pengaruh faktor-faktor kriminogen terhadap munculnya kejahatan dan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat.

(9)

C. Analisis Hasil Penelitian

Analisis data yang dimaksudkan dalam penelitian ini, adalah upaya mencari dan menata secara sistematis, catatan hasil observasi, hasil wawancara dan lainnya, untuk meningkatkan pemahaman penelitian tentang masalah yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain.

Sesuai dengan metode yang digunakan dalam penelitian ini, maka data yang dianalisis adalah data yang bersifat kualitatif. Oleh karena sifatnya data kualitatif, maka dengan sendirinya data akan diuraikan secara deskriptif. Artinya, data yang dianalisis berikut hasil analisisnya adalah dalam bentuk deskripsi fenomena, tidak berupa angka-angka atau statistik, melainkan lebih banyak secara verbal, kata-kata, gambar atau berupa foto. Dengan demikian, apabila dalam laporan hasil penelitian ini, ada data berupa angka-angka atau statistik, tidak lain hanyalah sebagai data pendukung (pelengkap).

Selanjutnya, karena sifat dari penelitian ini adalah naturalistik kualitatif, maka penilaian atau pun penafsiran terhadap data, serta informasi, didasarkan atas prinsip human instrument dalam hal ini, penulis sendiri sebagai instrumen utama penelitian.

Setelah melakukan serangkaian wawancara, observasi, dan pengamatan lainnya maka dapat dibahas mengenai hasil-hasil temuan dalam penelitian tersebut dalam analisis hasil penelitian ini. Ada pun analisis dan pembahasannya bertolak dari sub pokok permasalahan, yaitu sebagai berikut:

(10)

1. Polri dan masyarakat memaknai arti kemitraan

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, pihak Kepolisian memandang bahwa kemitraan merupakan jalinan yang wajib tercipta antara polisi dan masyarakat. Polri sebagai manusia biasa jelas tidak akan mampu secara mandiri melaksanakan pekerjaan yang diemban secara sempurna. Manusia sebagai mahkluk individu juga sosial selalu membutuhkan rekan atau individu lain dalam setiap kehidupannya. Dengan demikian, dapat dikatakan Polri mau pun masyarakat biasa merupakan dua hal yang sama. Oleh karena itu, keduanya harus mampu berjalan secara beriringan dalam kehidupan guna menciptakan hubungan atau komunikasi yang baik.

Polri juga memandang bahwa adanya rasio perbandingan yang sangat tinggi antara komunitas masyarakat dengan anggota Polri mengakibatkan berjalannya tugas pokok dan fungsi Polri dalam memelihara Kamtibmas jelas kurang optimal jika harus dilakukan secara tunggal oleh pihak Kepolisian. Oleh karena itu, di sinilah makna kemitraan itu diperlukan guna menciptakan Kamtibmas yang baik. Secara keseluruhan dari hasil wawancara kepada pihak Kepolisian setempat, dapat dikatakan bahwa pihak kepolisian memaknai kemitraan sebagai suatu bentuk kerjasama antara polisi dan masyarakat sebagai mitra untuk mengidentifikasi, menentukan skala prioritas dan memecahkan masalah-masalah yang sedang dihadapi, seperti tindak kejahatan, Narkoba, ketakutan akan tindak kejahatan, ketidaktertiban sosial, ketidaktertiban fisik, dan kekurangan atau persoalan masyarakat secara keseluruhan, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup di masyarakat.

(11)

Mengenai pandangan memaknai jalinan kemitraan ini, pihak masyarakat juga mengemukakan pendapatnya secara beragam. Namun, secara garis besar masyarakat memaknai kemitraan sebagai suatu upaya menjalin kebersamaan antara pihak satu dengan pihak lainnya untuk menghasilkan suatu komitmen hubungan atau jalinan kerjasama yang saling memahami program dan saling menguntungkan. Pendapat lain juga mengungkapkan bahwa secara sederhana kemitraan dapat dimaknai sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas kinerja seseorang atau kelompok agar hasilnya lebih meningkat. Namun, dari hasil observasi dapat di lihat bahwa masyarakat tidak semua dapat menjalin kemitraan dengan pihak Kepolisian. Hal ini penulis pelajari dari masih adanya sikap masyarakat yang tidak peduli atau memiliki tingkat partisipasi yang rendah. Setelah peneliti amati dan mewawancarai, ternyata masih ada dalam komunitas atau individu tertentu yang memiliki pandangan bahwa antara masyarakat dan polisi bagai ‘minyak dan air’ yang sulit untuk disatukan karena selalu terikat dengan perbedaan-perbedaan, kurangnya kepedulian, rendahnya rasa saling memiliki, serta rendahnya kesadaran, dan keterbukaan antara keduanya.

Tetapi, secara garis besar masyarakat memiliki pandangan yang senada dengan pihak Kepolisian dalam memaknai arti kemitraan ini, yakni merupakan upaya menciptakan hubungan dan komunikasi yang sinergis dalam menjalin suatu kerjasama guna tercapainya tujuan bersama. Dalam hal ini, di titikberatkan pada jalinan kerjasama guna menciptakan dan memelihara stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat. Adanya garis lurus atau pandangan yang

(12)

serupa antara pihak kepolisian dengan pihak masyarakat mengenai makna dari kemitraan memungkinkan upaya menciptakan jalinan yang tidak sekedar bekerjasama, dalam artian terjalinnya hubungan dan komunikasi yang searah serta harmonis. Hal ini tergantung kepada pendekatan atau upaya penciptaan kemitraan yang dilaksanakan antara kedua belah pihak serta respon yang ditampilkannya.

Sejalan mengenai hal di atas berkenaan dengan makna kemitraan, terdapat beberapa pendapat pula yang di kemukakan oleh para ahli, diantaranya adalah:

Sulistiyani dalam “Model-model Pemberdayaan Masyarakat” (2004:48) memaparkan bahwa: Secara etimologis, kemitraan diadaptasi dari kata Partnership dengan akar kata Partner (pasangan, jodoh, sekutu, kempanyon). Sedangkan secara terminologis berarti suatu bentuk persekutuan atau perkongsian antara dua pihak atau lebih yang membentuk suatu ikatan kerja sama atas dasar kesepakatan dan rasa saling membutuhkan dalam rangka meningkatkan kapasitas dan kapabilitas di suatu bidang usaha tertentu atau tujuan tertentu untuk memperoleh hasil yang baik. Dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri disebutkan pula bahwa “Kemitraan (partnership and networking) adalah segala upaya membangun sinergi dengan potensi masyarakat yang meliputi komunikasi berbasis kepedulian, konsultasi, pemberian informasi dan berbagai kegiatan lainnya demi tercapainya tujuan masyarakat yang aman, tertib dan tenteram”. Sedangkan dalam Ketentuan Umum Peraturan Pemerintah Nomor. 44 Tahun1997

(13)

terutama dalam Pasal 1 menyatakan bahwa Kemitraan adalah kerjasama usaha antara Usaha Kecil denganUsaha Menengah dan atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah dan atau Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.

Beberapa pandangan di atas menggambarkan bahwa adanya kesamaan makna dalam menilai pentingnya suatu kemitraan dalam kehidupan. Tidak di pungkiri bahwa bagaimana pun masyarakat merupakan individu yang saling memerlukan individu lain dalam kehidupan bermasyarakatnya. Dari hasil wawancara dan observasi dapat di peroleh hasil analisa bahwa kemitraan memiliki makna yang sangat penting, baik bagi masyarakat mau pun bagi pihak Kepolisian. Selaras dengan pandangan para ahli di atas, dapat di tarik kesamaan bahwa kemitraan yang dijalin harus berdasarkan atas adanya rasa saling membutuhkan, saling percaya, saling melengkapi, yang tumbuh dari kedua belah pihak untuk mewujudkan tujuan yang menjadi harapan bersama. Secara pribadi penulis juga menambahkan pandangannya mengenai kemitraan yang dimaksud, bahwa makna dari kemitraan adalah suatu jalinan kerjasama yang disepakati atas dasar tumbuh dan berkembangnya kesadaran atau kepedulian dari kedua belah pihak untuk secara bersama memiliki komitmen penuh dalam meminimalisasi gejala-gejala permasalahan, memcahkan masalah secara sehat, dan memelihara keadaan aman, tertib dan tentram dalam lingkungan masyarakat bersama.

Di lihat dari paparan di atas, menggambarkan bahwa makna kemitraan baik bagi pihak Kepolisian maupun masyarakat secara garis besar berpandangan

(14)

serupa, yakni merupakan upaya menciptakan hubungan dan komunikasi yang sinergis dalam menjalin suatu kerjasama guna tercapainya tujuan bersama. Dalam hal ini di titik beratkan pada jalinan kerjasama guna menciptakan dan memelihara stabilitas Keamanan dan ketertiban masyarakat atau Kamtibmas.

Adanya Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Peraturan Kapolri) Nomor 7 Tahun 2008 merupakan pedoman dasar strategi dan implementasi pemolisian/perpolisian masyarakat dalam penyelenggaraan tugas Polri yang di dalamnya secara garis besar mengatur cara, prinsip, konsepsi, strategi serta operasionalisasi Polmas yang bertujuan membangun dan memelihara kemitraan antara pihak Kepolisian sendiri dengan seluruh lapisan masyarakat guna menciptakan dan memelihara Keamanan dan ketertiban masyarakat.

Dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Peraturan Kapolri) Nomor 7 Tahun 2008 disebutkan bahwa kemitraan (partnership and networking) adalah segala upaya membangun sinergi dengan potensi masyarakat yang meliputi komunikasi berbasis kepedulian, konsultasi, pemberian informasi dan berbagai kegiatan lainnya demi tercapainya tujuan masyarakat yang aman, tertib dan tenteram.

Adanya garis lurus atau pandangan yang serupa antara pihak Kepolisian dengan pihak masyarakat mengenai makna dari kemitraan memungkinkan upaya menciptakan jalinan yang tidak sekedar bekerjasama dalam arti juga terjalinnya hubungan dan komunikasi yang searah serta harmonis. Hal ini tergantung kepada pendekatan atau upaya penciptaan kemitraan yang di laksanakan antara kedua belah pihak serta respon yang ditampilkannya.

(15)

Dengan adanya Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Peraturan Kapolri) Nomor 7 Tahun 2008 diharapkan benar – benar dijadikan pedoman dasar strategi dan implementasi menciptakan kemitraan oleh pihak Polri dan diterima dengan baik oleh pihak masyarakat sehingga pada akhirnya kemitraan tidak hanya sekedar dipahami sebagai pemahaman teoritis semata baik oleh pihak Kepolisian itu sendiri maupun oleh pihak masyarakat.

2. Cara untuk meningkatkan pemahaman masyarakat berkenaan dengan peranan kemitraan polisi dengan masyarakat

Membahas mengenai pemahaman masyarakat, secara tidak langsung berkaitan dengan pembangunan manusia dan pembangunan masyarakat. Kedua pembangunan tersebut merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan, karena manusia secara kodrati mempunyai kecenderungan untuk hidup bermasyarakat sesuai dengan kedudukannya, manusia sebagai makhluk individu, Tuhan Yang Maha Esa, dan sosial. Masyarakat terdiri dari individu, kelompok dan komunitas yang saling berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain, baik secara terorganisasi mau pun tidak terorganisasi dalam berbagai kehidupan manusia.

Masyarakat dalam konteks pembangunan adalah masyarakat dalam arti keseluruhan sebagai satu komunitas. Artinya, masyarakat yang memiliki sistem budaya, sistem sosial dan sejarah tertentu dalam pemukiman terkecil. Menurut pendekatan antropologi komunitas merupakan suatu pemukiman kecil dari sejumlah penduduk yang bersifat mandiri, mempunyai perbedaan satu sama lain,

(16)

bercirikan tingginya kesadaran kelompok, saling mengenal sesama anggota secara pribadi, bersifat homogen dan hidup mandiri.

Mengenai pembangunan masyarakat, Tjahya Supriatna (1997:62) mengemukakan bahwa pembangunan masyarakat dalam pengertian sosial, adalah upaya untuk mewujudkan cita-cita negara sejahtera (welfare state). Kemudian, pembangunan masyarakat sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dan pembangunan lainnya yang dilaksanakan oleh negara. Sedangkan Soerjono Soekanto (2003:407) berpendapat pembangunan merupakan suatu proses perubahan di segala bidang kehidupan yang dilakukan secara sengaja berdasarkan suatu rencana tertentu. Proses pembangunan terutama bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik secara spiritual maupun material. Dari pemaparan di atas, penulis menyimpulkan bahwa yang di maksud dengan pembangunan masyarakat merupakan upaya atau proses yang di lakukan secara sengaja, berdasarkan rencana, memiliki tujuan yang luas untuk taraf hidup masyarakat, dan dikelola serta di jalankan oleh pemerintah yang bersama-sama dengan masyarakat untuk mencapai tujuan bersama yang di cita-cita kan.

Sebagai alat negara, Polri mengeluarkan Peraturan yang dapat di gunakan sebagai pedoman atau langkah awal dalam mewujudkan pembangunan masyarakat, yakni Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Peraturan Kapolri) Nomor 7 Tahun 2008 yang memungkinkan pembangunan masyarakat dapat lebih terarah dan berlangsung secara berkelanjutan. Hal ini disebabkan, bahwa Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2008, merupakan salah satu pedoman dasar mengimplementasikan cara atau upaya yang strategis untuk

(17)

meningkatkan pemahaman masyarakat berkenaan dengan peranan kemitraan polisi dengan masyarakat yang memiliki tujuan untuk menciptakan dan memelihara stabilitas keamanan dan ketertiban dalam lingkungan masyarakat.

Cara atau upaya yang dimaksud telah banyak dijabarkan dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Peraturan Kapolri) Nomor 7 Tahun 2008, yang secara garis besar adalah beberapa prinsip-prinsip penyelenggaraan Polmas, dengan tujuan meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai peranan kemitraan Polri beserta masyarakat untuk memungkinkan deteksi dini permasalahan. Karena, demikian polisi dapat lebih cepat dan akurat memperoleh informasi tentang keamanan dan ketertiban masyarakat, sehingga memungkinkan tindakan dan penanganan yang tanggap, cepat dan tepat oleh polisi. Bahkan, dalam keadaan mendesak masyarakat dapat mengambil tindakan yang pertama secara cepat dan tepat sebelum polisi datang.

Selanjutnya, untuk menjadikan upaya tersebut sebagai wahana yang strategis dalam peningkatan pemahaman masyarakat berkenaan dengan peranan kemitraan Polri dengan masyarakat, Dadang Juliantara (2003:85) menjelaskan, bahwa dibutuhkan kesiapan-kesiapan yang datang dari masyarakat di antaranya kesiapan sosial politik masyarakat, kesiapan Polri untuk mengembangkan tugas dan fungsinya sebagai pelayan, pengayom masyarakat, dan penegak hukum.

Dengan terbentuknya kesiapan-kesiapan tersebut, Polri dapat bekerjasama dengan pihak lain atau masyarakat baik yang terorganisasi mau pun tidak terorganisasi. Selanjutnya, Polri diharapkan mampu membuat suatu terobosan-terobosan yang baru, efektif, dan efisien guna meningkatkan pemahaman

(18)

masyarakat berkenaan dengan hal ini, yakni peranan kemitraan Polri dengan masyarakat guna menciptakan dan memelihara stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas).

Di tinjau dari jawaban responden ketika penulis melakukan wawancara, pihak Kepolisian mengutarakan bahwa terdapat beberapa langkah atau cara-cara yang dapat dilakukan Polri, adalah diawali dengan pemahaman Polri itu sendiri akan pentingnya menjalin hubungan yang solid dengan masyarakat, yang tentu juga harus mampu mengenal dan memahami masyarakat yang dihadapinya. Sehingga Polri dapat meyakinkan masyarakat untuk dapat menyadari bahwa kebersamaan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan bersama, sehingga masyarakat mampu menjadi Polisi bagi dirinya sendiri. Namun, pembentukan kesadaran juga tentu tidak dengan mudah dapat diterapkan secara instan terhadap semua orang. Di sinilah Polri dituntut mampu berperan aktif melakukan serangkaian pembinaan dan penyuluhan yang tepat pada semua lapisan masyarakat untuk membuka komunikasi dua arah yang sehat antara pihak Kepolisian dengan masyarakat, sehingga dibentuk suatu wadah komunikasi antara Polisi dengan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan warga masyarakat (mengidentifikasi masalah) maupun untuk mencari solusi atau pemecahan masalah yang terjadi. Wadah tersebut adalah Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM). Forum ini dibentuk pada tingkat desa/kelurahan, Polsek dan tingkat organisasi Polri lainnya sesuai kebutuhan.

Tujuan dibentuk FKPM ini adalah untuk mendekatkan dan memperbaiki hubungan Polisi dengan masyarakat, sehingga Polisi dapat

(19)

mengidentifikasi masalah di tingkat bawah, dan untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial yang terjadi di lingkungannya. Dan hasil dari forum dapat digunakan sebagai masukan atau bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan dalam menciptakan dan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.

Sedangkan dari pihak masyarakat mengutarakan bahwa program Polri dalam upaya meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat untuk menjalin kemitraan masih sangat minim, dalam arti belum menyentuh kepada semua lapisan masyarakat. Sehingga, masyarakat memandang cara atau upaya yang dapat dilakukan guna meningkatkan pemahaman masyarakat berkenaan dengan peranan kemitraan polisi dengan masyarakat adalah dengan meningkatkan pemahaman, kebersamaan, dan rasa saling memiliki yang diawali dengan pendekatan-pendekatan yang tepat serta tetap mengindahkan adat-istiadat masyarakat setempat, menciptakan kesepahaman yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Hasil analisa penulis setelah melakukan observasi mengenai hal ini, penulis melihat bahwa sejauh ini langkah atau cara-cara yang dilakukan di atas dapat dirasakan cukup optimal dalam menjalin hubungan atau kemitraan yang solid antara pihak Kepolisian dengan masyarakat setempat, walau pun tidak berarti segala macam hambatan dan tantangan tidak ada. Manusia sebagai insan biasa yang beragam tidak terlepas dari sikap dan cara berpikiran yang berbeda pula, sehingga tentu saja dalam setiap kehidupan itu selalu ada Pro dan Kontra. Begitu pun dengan segala upaya dan kegiatan ini, tidak selalu mencapai titik sempurna dalam menjalankannya. Namun, setidaknya cara tersebut

(20)

dapat terlaksana dan diterima masyarakat walau pun masih saja ada segelintir orang yang enggan berpartisipasi.

Selanjutnya untuk menjadikan upaya tersebut sebagai wahana yang strategis untuk meningkatkan pemahaman masyarakat berkenaan dengan peranan kemitraan Polri dengan masyarakat, Dadang Juliantara (2003:85) menjelaskan bahwa dibutuhkan kesiapan-kesiapan yang datang dari masyarakat diantaranya kesiapan sosial politik masyarakat, kesiapan Polri untuk mengembangkan tugas dan fungsinya sebagai pelayan, pengayom masyarakat dan penegak hukum.

Hal di atas senada dengan pendapat dari Soerjono Soekanto (2003:409) bahwa pada dasarnya di kenal cara-cara dalam melangsungkan pembangunan, yakni yang mencakup perencanaan, pembentukan, dan evaluasi terhadap lembaga-lembaga sosial, prosedurnya serta pembangunan secara material atau yang di kenal sebagai cara struktural. Cara berikutnya adalah spiritual, yang mencakup watak dan pendidikan dalam penggunaan cara-cara berpikir secara ilmiah. Sedangkan, cara yang ideal adalah cara struktural dan spiritual, yakni yang memadukan ke dua cara di atas menjadi serangkaian langkah yang sempurna dalam suatu pembangunan masyarakat. Cara-cara tersebut di atas dapat ditempuh, oleh karena secara analitis masyarakat terdiri dari struktur sosial yang mencakup ekonomi, teknologi, dan sistem kedudukan serta peranan. Kecuali itu juga terdapat sistem pemerintahan yang mengatur distribusi kekuasaan dan wewenang, serta adanya kebudayaan yang mencakup sistem nilai.

Dengan terbentuknya kesiapan-kesiapan tersebut, Polri dapat bekerjasama dengan pihak lain atau masyarakat baik yang terorganisasi maupun tidak

(21)

terorganisasi. Selanjutnya Polri diharapkan mampu membuat suatu terobosan-terobosan yang baru, efektif dan efisien guna meningkatkan pemahaman masyarakat berkenaan dengan hal ini yakni peranan kemitraan Polri dengan masyarakat guna menciptakan dan memelihara stabilitas Keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas).

3. Metode yang dilakukan oleh pihak kepolisian dalam meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat berkenaan dengan peranan kemitraannya dengan masyarakat

Banyak upaya yang dilakukan oleh pihak kepolisian untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat berkenaan dengan peranan kemitraannya dengan masyarakat, atau peningkatan partisipasi masyarakat. Salah satu upaya nyata yang dilakukan oleh pemerintah dan pihak kepolisian adalah dengan dikeluarkannya Undang-undang Republik Indonesia nomor 2 Tahun 2002, Surat Keputusan Kapolri No.737/X/2005, Peraturan Kapolri No.7 Th.2008, dan peraturan lain. Dengan Undang-undang, Skep, dan Perkapolri ini diharapkan Polri dapat meningkatkan partisipasi masyarakat berkenaan dengan tujuannya untuk menciptakan kemitraan yang solid antara pihak kepolisian dengan masyarakat.

Dadang Juliantara (2003:81) mengungkapkan, bahwa suatu peningkatan partisipasi rakyat membutuhkan dua langkah sekaligus. Pertama, penguatan kapasitas kritis masyarakat dan keterampilan politik. Dan yang kedua, Memperkuat kelembagaan.

(22)

Penguatan kapasitas masyarakat merupakan upaya yang melandaskan diri pada suatu keyakinan dan kepercayaan, bahwa masyarakat pada dasarnya sudah memiliki suatu kesadaran yang kuat mengenai pentingnya partisipasi atau pentingnya keterlibatan masyarakat. Pengalaman masa lalu membuktikan bahwa partisipasi pada dasarnya bukan tidak ada, melainkan sangat minim. Oleh sebab itulah, dibutuhkan langkah-langkah yang memungkinkan masyarakat untuk kembali memperkuat pemahaman, pengetahuan, dan teknik-teknik yang dimiliki, khususnya untuk bisa ambil bagian secara produktif dan demokratis dalam proses penciptaan dan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat dalam suatu metode kemitraan.

Metode yang dilakukan adalah pembentukan lembaga atau forum yang dikenal dengan istilah FKPM, yaitu Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat, adalah organisasi kemasyarakatan yang bersifat independen, terdiri dari unsur masyarakat dan unsur Polri yang bertugas mendorong berfungsinya pranata sosial dalam rangka menyelesaikan permasalahan gangguan keamanan dan ketertiban yang terjadi, atau bersumber dari masyarakat setempat.

Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat dibentuk atas kesepakatan bersama antara Polri dan masyarakat guna meningkatkan partisipasi aktif masyarakat akan pentingnya keamanan dan ketertiban masyarakat di lingkungannya, serta menumbuhkan kesadaran semua pihak bahwa Kamtibmas merupakan tanggung jawab bersama.

Metode atau langkah-langkah strategi lain yang telah dilakukan pihak Kepolisian dalam meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat

(23)

berkenaan dengan peranan kemitraannya dengan masyarakat, di antaranya adalah sosialisasi eksternal tingkat kabupaten/kota, loka karya implementasi Polmas dan latihan petugas Polmas, giat operasional (pembinaan dan penyuluhan) kepada seluruh lapisan masyarakat. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Skep Kapolri Tahun 2005, Pasal 3 Polres yang tentu saja dibantu oleh seluruh Polsek yang berada di wilayah-wilayah hukumnya menyelenggarakan fungsi yang di antaranya sebagai berikut:

a. Pemberian pelayanan kepolisian kepada warga masyarakat yang membutuhkan dalam bentuk penerimaan dan penanganan laporan/pengaduan dan permintaan bantuan/pertolongan, pelayanan pengaduan atas tindakan anggota Polri dan pelayanan surat-surat izin/keterangan, sesuai ketentuan hukum dan peraturan kebijakan yang berlaku dalam organisasi

b. Bimbingan masyarakat yang meliputi penyuluhan masyarakat dan pembinaan/pengembangan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa dalam rangka peningkatan kesadaran dan ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan perundang-undangan dan terjalinnya hubungan Polri-masyarakat yang kondusif bagi pelaksanaan tugas kepolisian

c. Pembinaan hubungan kerja sama yang meliputi kerja sama dengan organisasi/lembaga/tokoh sosial kemasyarakatan dan instansi pemerintah khususnya pemerintah daerah dalam konteks otonomi daerah dan pembinaan teknis, koordinasi dan pengawasan kepolisian khusus dan penyidik pegawai negeri sipil.

(24)

Untuk menumbuhkan partisipasi dalam masyarakat pada awalnya memang bukan pekerjaan yang mudah. Karena ia menyangkut perubahan sikap mental dan budaya yang mungkin sudah melembaga dalam masyarakat yang bersangkutan. Oleh sebab itu, untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat menurut Khaerudin (1992:128) perlu ditekankan bahwa tidak ada perbedaan antara elit desa dengan masyarakat kecil dalam ikut berpartisipasi. Partisipasi masyarakat secara keseluruhan sangat menentukan keberhasilan pembangunan masyarakat desa itu sendiri. Oleh karenanya para elit desa tidak perlu mengklaim bahwa keberhasilan pembangunan adalah karena diri mereka. Seharusnya mereka memberi tahu kepada masyarakat bahwa tanpa masyarakat, para elit tersebut tidak dapat berbuat apa-apa. Dengan demikian masyarakat merasa “diorangkan” dalam proses pembangunan tersebut.

Dengan beberapa hal di atas, maka masyarakat dengan sendirinya akan ambil bagian dan turut serta dalam setiap kegiatan kemitraan. Karena dengan penekanan tersebut, partisipasi masyarakat akan tumbuh dan berkembang serta pelaksanaannya dilakukan dengan penuh kesadaran. Masyarakat akan memahami bahwa setiap program kemitraan tersebut merupakan kegiatan, milik serta hasil dari kerja keras bersama. Dengan tumbuhnya kesadaran ini, masyarakat merasa bertanggung jawab untuk memetik hasil dari jalinan kemitraan yang berkontribusi terhadap pemeliharaan stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat.

Bentuk partisipasi yang terjadi dalam masyarakat sekarang ini sudah banyak macamnya. Hal ini dapat disadari karena adanya beberapa faktor yang

(25)

mungkin menyebabkan masyarakat berpartisipasi. Jika dilihat dari segi motivasinya, Khaerudin (1992:126) menyebutkan bahwa, partisipasi anggota masyarakat terjadi karena takut/terpaksa, ikut-ikutan, dan karena kesadaran yang timbul dari masyarakat itu sendiri.

Partisipasi yang dilakukan dengan terpaksa atau takut, biasanya akibat dari adanya perintah yang kaku dari pemerintah atau atasan, sehingga masyarakat seakan-akan terpaksa untuk melaksanakan rencana yang telah ditentukan. Sedangkan partisipasi yang ikut-ikutan hanya didorong oleh rasa solidaritas yang tinggi di antara sesama anggota masyarakat. Apalagi yang memulai adalah pimpinan mereka, sehingga keikutsertaan mereka bukan karena dorongan hati sendiri, tetapi merupakan perwujudan kebersamaan saja, yang sudah merupakan sosial kebudayaan masyarakat.

Motivasi yang ke tiga adalah kesadaran, yaitu partisipasi yang timbul karena kehendak dari pribadi anggota masyarakat. Hal ini dilandasi oleh dorongan yang timbul dari hati nurani sendiri. Karena itu apa yang mereka lakukan bukan karena terpaksa atau ikut-ikutan, tetapi karena kesadaran mereka sendiri. Partisipasi bentuk inilah yang sesungguhnya sangat diharapkan dapat berkembang dalam masyarakat. Dengan adanya partisipasi yang didasari dengan kesadaran, maka masyarakat dapat diajak untuk menjalin kemitraan yang solid dalam rangka memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.

Sementara itu Keith Davis (sastropoetro, 1988:55) menyebutkan adanya beberapa jenis dari partisipasi masyarakat, yaitu selain dalam bentuk kerja atau dengan menggunakan tenaga dapat juga berupa konsultasi dalam bentuk jasa.

(26)

Senada dengan hal yang di atas, Sastropoetro (1988:56) menegaskan bahwa partisipasi masyarakat itu dapat digolongkan menjadi partisipasi buah pikiran, partisipasi tenaga, partisipasi harta benda, partisipasi keterampilan dan partisipasi sosial.

Partisipasi buah pikiran, merupakan bentuk partisipasi masyarakat melalui penyampaian ide atau gagasan mengenai sebuah rencana. Partisipasi ini biasanya berlangsung dalam sebuah rapat, pembinaan, penyuluhan, atau musyawarah seperti dalam Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat mengenai suatu rencana atau program kemitraan. Partisipasi tenaga, yaitu bentuk partisipasi dengan cara menyumbangkan tenaga dari masyarakat pada pelaksanaan program kerja atau kegiatan kemitraan. Jadi dalam partisipasi ini tidak menuntut adanya sumbangan ide atau gagasan, masyarakat cukup ikut serta dalam pelaksanaan pembangunan. Dan biasanya masyarakat yang melakukan partisipasi dalam bentuk tenaga adalah masyarakat tingkat bawah atau masyarakat kecil yang hanya menunggu perintah dari pemerintah (partisipasi pasif).

Partisipasi harta benda dalam hal ini merupakan bentuk partisipasi dengan menyumbangkan sebagian harta yang dimiliki untuk memperlancar jalannya kegiatan kemitraan. Partisipasi ini biasanya dilakukan oleh golongan masyarakat tingkat menengah ke atas yang keadaan ekonominya sudah mencukupi dan mereka tidak ikut campur dalam pelaksanaan program kerja atau kegiatan kemitraan yang dibangun. Partisipasi keterampilan dilakukan oleh golongan masyarakat yang mempunyai keahlian dalam suatu bidang. Mereka ikut serta

(27)

dalam kegiatan kemitraan dengan cara menyumbangkan keahliannya yang mendukung kegiatan kemitraan.

Yang terakhir partisipasi sosial merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam berbagai hal kehidupan sosial. Partisipasi ini biasanya dalam bentuk partisipasi penyampaian tujuan atau penyuluhan kepada masyarakat untuk ikut serta dalam kegiatan kemitraan. Bentuk partisipasi ini mencakup berbagai bidang kehidupan masyarakat, tidak hanya dalam bentuk pikiran, tenaga, atau harta benda tetapi dalam semua hal. Dari lima bentuk partisipasi ini terlihat bahwa partisipasi masyarakat tidak hanya datang dari pemerintah tetapi juga datang dari diri masyarakat itu sendiri, sehingga memungkinkan adanya motivasi untuk berpartisipasi dalam menjalin kemitraan, menciptakan dan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.

Dari uraian di atas terlihat bahwa partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat dan dibina oleh pihak Kepolisian setempat adalah partisipasi:

1) Dalam bentuk ide atau gagasan:

a) Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan.

b) Partisipasi masyarakat dalam perencanaan kegiatan penciptaan dan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat.

c) Partisipasi masyarakat dalam penyelesaian masalah.

d) Partisipasi masyarakat dalam membantu tugas kepolisian setempat dengan cara melaporkan setiap bentuk gejala permasalahan Kamtibmas.

(28)

2) Dalam bentuk tenaga atau fisik:

a) Partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan. b) Partisipasi masyarakat dalam mengikuti forum.

c) Partisipasi masyarakat dalam penciptaan dan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat.

d) Partisipasi masyarakat dalam pencegahan dan penindaklanjutan gangguan Kamtibmas.

Kegiatan partisipasi masyarakat mutlak diperlukan dalam pembangunan. Untuk itu perlu ditumbuhkan partisipasi aktif masyarakat yang dilaksanakan dengan menumbuhkan rasa kesadaran dan tangggungjawab masyarakat yang tercermin dengan adanya perubahan sikap mental, pandangan hidup, cara berpikir, dan cara bekerja. Tetapi pada kenyataannya, tidak semua anggota masyarakat mau berpartisipasi, dengan alasan yang bermacam-macam pula. Hal ini dapat disadari karena adanya beberapa faktor yang mungkin membuat mereka terdorong untuk berpartisipasi. Dorongan yang boleh dikatakan sangat bersifat umum adalah apabila hasil partisipasi tersebut dapat dinikmati langsung oleh mereka sendiri dan memberi keuntungan kepada mereka seperti tercipta dan terpeliharanya rasa aman, tertib, tenteram dan sejahtera di lingkungannya. Namun, hal terpenting adalah dengan melakukan pendekatan-pendekatan yang dapat meningkatkan pemahaman atau mengubah cara pandang masyarakat yang sempit dengan pendekatan yang tetap menjungjung tinggi nilai-nilai yang berkembang dalam budaya masyarakat tersebut.

(29)

4. Faktor pendukung dan penghambat dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menjalin kemitraan dengan polri

Pada umumnya berbagai hubungan Polisi-Masyarakat dibentuk untuk mendorong masyarakat lebih memahami peran dan permasalahan kepolisian. Salah satu tujuan spesifik adalah mengurangi tekanan melalui komunikasi antara Polisi dan Masyarakat. Hal ini bertujuan untuk menciptakan atau memelihara stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.2 Tahun 2002 Pasal 1 Ayat 5, bahwa “Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketentraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat”.

Sebagai organ Negara yang mengemban fungsi kepolisian yang bersifat universal, sikap dan pandangan masyarakat Indonesia terhadap Polri pada dasarnya sama; “Benci Tapi Rindu” atau “Acuh Tapi Butuh”. Hanya mungkin dalam rentangan spektrumnya, Polri berada pada titik yang lebih dekat dengan titik antipati dibanding dengan titik simpati. Kondisi inilah yang sebenarnya berjalan sudah cukup lama.

(30)

Walter C.Recless (Kunarto, 1995: 24) mengemukakan bahwa “situasi Kamtibmas di suatu Negara sangat dipengaruhi oleh partisipasi masyarakatnya”. Sehingga, jika partisipasi masyarakat itu mulai rendah maka gejala atau inti timbulnya permasalahan besar dalam memelihara stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat akan muncul dan berkembang.

Faktor yang memengaruhi upaya peningkatan partisipasi masyarakat salah satunya adalah rendahnya partisipasi masyarakat, yang menurut beberapa ahli juga disebabkan oleh karena keterbatasan kemampuan yang mereka miliki, seperti pendidikan dan kesempatan untuk mendapatkan informasi. Demikian pula sering terjadi kesenjangan partisipasi antara elit penguasa dengan masyarakat yang kurang mampu pada umumnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Maroleak Sihombing (Khaerudin:127), pengertian partisipasi dalam konteks pembangunan yang memerdekakan, bukan semata-mata berdasarkan kebaikan hati para elit pengambil keputusan. Akan tetapi partisipasi adalah hak dasar yang sah dari umat manusia untuk turut serta merencanakan, melaksanakan, dan mengendalikan pembangunan yang menyajikan harapan pemerdekaan dirinya.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ukuran sukses bagi suatu kemitraan pun yang bertujuan menciptakan pembangunan di negeri ini adalah dengan besar dan luasnya partisipasi rakyat, bukan hanya sekitar para elit, untuk merencanakan dan mengendalikan perubahan dirinya sendiri.

(31)

Selanjutnya, mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat, Sastropoetro (1988:22) menegaskan bahwa sedikitnya ada lima faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat yaitu, antara lain:

a. Pendidikan, kemiskinan, kedudukan sosial dan percaya terhadap diri sendiri

b. Penafsiran yang dangkal terhadap agama

c. Kecenderungan untuk menyalahgunakan motivasi, tujuan dan kepentingan organisasi penduduk yang biasanya mengarah kepada timbulnya persepsi yang salah

d. Tersedianya kesempatan yang lebih baik di luar pedesaan

e. Tidak adanya kesempatan untuk berpartisipasi dalam berbagai program pembangunan

Senada dengan hal tersebut di atas, Khaerudin (1992:123) menyebutkan bahwa rendahnya partisipasi masyarakat disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya yaitu keterbatasan pendidikan dan kesempatan untuk mendapatkan informasi, kesenjangan partisipasi antara elit desa dan masyarakat yang kurang mampu pada umumnya, keterbatasan lahan yang dimiliki oleh masyarakat, keadaan sosial budaya masyarakat yang masih kuat mempertahankan adat dan istiadatnya, serta faktor ekonomi masyarakat desa yang rendah seringkali menjadi kendala peningkatan partisipasi masyarakat desa.

(32)

Rendahnya partisipasi seperti yang telah diuraikan di atas menjadi salah satu hambatan dalam upaya meningkatkan kesadaran untuk menjalin kemitraan dengan pihak kepolisian. Masih adanya masyarakat yang memiliki tingkat kesadaran untuk bermitra menjadi penghalang utama terwujudnya jalinan kemitraan yang harmonis itu terwujud. Akan tetapi perlu diketahui, bahwa partisipasi masyarakat tidak dapat diharapkan tumbuh dengan sendirinya tanpa pembinaan atau rangsangan yang tepat dan wajar. Partisipasi juga tidak akan dapat ditumbuhkan hanya lewat perincian tugas-tugas kepolisian serta slogan-slogan abstrak yang tidak dapat dirasakan oleh masyarakat. Partisipasi hanya mungkin dapat lahir dari suasana yang dialogis, hubungan yang akrab dan harmonis antara kepolisian dengan masyarakat.

Antara Polri dan masyarakat harus harmonis seperti ikan dengan air. Tidak harus bersifat dilematis, dikotomis atau bahkan antagonistis. Hingga siapa pun baik itu pihak kepolisian mau pun masyarakat, tidak perlu terjebak dalam pembahasan yang berkonotasi mencela, memaki, menjelek-jelekan, atau mengurangi arti dari peran masing-masing. Dalam pembenahan tidak dapat diprioritaskan antara Polri atau masyarakat dulu, secara serentak keduanya harus melakukan perbaikan.

Senada dengan hal di atas, maka Pemolisian/Perpolisian masyarakat atau Polmas yang unsur utamanya menjalin kemitraan yang setara antara masyarakat dan polisi, serta pemecahan masalah demi tegaknya hukum mau pun demi tercipta dan terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat yang berada di wilayah hukum Polres Garut, di antaranya adalah Polsek Garut Kota dan Polsek Cikajang

(33)

telah membentuk Forum Komunikasi Polisi dan Masyarakat, atau yang lebih dikenal dengan sebutan FKPM yang merupakan wadah komunikasi secara kekeluargaan antara pihak kepolisian dan masyarakat.

Selain kurangnya partisipasi masyarakat dalam menjalin kemitraan, seperti tidak dipenuhinya undangan (tidak hadir atau mewakilkan), tidak tepat waktu menghadiri undangan, masih adanya oknum yang menjadi backing kejahatan, kurangnya transparansi antara masyarakat dan pihak Kepolisian setempat dan lainnya, hambatan intern juga dirasakan oleh pihak kepolisian yang di antaranya adalah tidak seimbangnya personil kepolisian dengan jumlah masyarakat yang dibina, kurangnya sarana dan prasarana, sehingga jika mengadakan penyuluhan keluar daerah Garut memerlukan kendaraan roda empat, sedangkan Binamitra sampai saat ini tidak memilikinya. Kemudian dalam pelaksanaan penyuluhan-penyuluhan masih menggunakan sarana yang manual, belum menggunakan alat-alat yang modern.

Namun, di antara serangkaian hambatan tersebut di atas, terdapat juga beberapa faktor pendukung yang datang dari pihak masyarakat mau pun pihak kepolisian. Dari hasil observasi yang dilakukan penulis, menilai adanya peningkatan partisipasi masyarakat dalam hal menjalin kemitraan dengan pihak kepolisian. Hal ini terlihat secara langsung oleh penulis ketika menghadiri pembinaan dan penyuluhan yang dilakukan polisi Binamitra Polres Garut, serta beberapa penyuluhan dan pembinaan yang diselenggarakan Polsek Garut Kota dan Cikajang dalam FKPM. Masyarakat nampak antusias mengikuti acara

(34)

komunikasi ini yang terlihat dengan banyaknya warga yang menghadiri dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam forum.

Hal ini dijadikan faktor pendukung juga karena dengan semakin banyaknya warga yang berpartisipasi dalam forum dan menjalin kemitraan dengan pihak Kepolisian setempat berdampak terhadap banyaknya pula warga masyarakat yang semakin sadar dan peduli terhadap lingkungannya. Sehingga, warga secara bersama ikut bergerak dalam menciptakan serta memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Warga masyarakat telah banyak ikut membantu meringankan tugas Polri baik dalam menegakkan hukum mau pun memelihara Kamtibmas. Hal ini terlihat dari data yang diperoleh, bahwa dari bulan ke bulan gangguan Kamtibmas mengalami penurunan yang cukup signifikan.

5. Peranan kemitraan Polri dengan masyarakat dalam memelihara stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat

Peranan kemitraan Polri dengan masyarakat jelas memberikan kontribusi yang tidak sedikit bagi tercipta dan terpeliharanya stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat. Kemitraan yang dijalin dengan sungguh-sungguh atas dasar kesadaran yang penuh, bahwa antara pihak kepolisian dengan masyarakat merupakan faktor pendukung utama terpeliharanya keadaan yang aman, tertib, tentram dan sejahtera dalam lingkungan. Polisi dan masyarakat adalah dua variabel yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini pula yang sejalan dengan pemikiran M.Khoidin (Kunarto, 1995: 85), yang menuliskan bahwa sulit rasanya

(35)

memisahkan keeratan hubungan antara masyarakat dengan polisi. Polisi dan masyarakat bagaikan air dan ikannya. Tidak ada masyarakat tanpa polisi. Sebaliknya, keberadaan polisi tidak dapat dilepaskan dari masyarakat. Dimana ada masyarakat, disitulah terdapat institusi yang namanya polisi (ubi societas ubi politic).

Senada dengan hal tersebut, dari data yang diperoleh serta observasi yang telah dilakukan bahwa sangat jelas terlihat kemitraan yang dibangun antara pihak kepolisian dengan masyarakat berperan besar dalam memelihara stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat. Hal ini terlihat bahwa semakin bagusnya kemitraan yang telah dibina, tingkat gangguan Kamtibmas berkurang karena pihak kepolisian dan masyarakat saling membantu, saling terbuka, saling bekerja sama dan berkomunikasi dengan baik dalam upaya memelihara keamanan dan ketertiban lingkungannya.

Masyarakat tidak ragu untuk melaporkan segala kejadian, keadaan serta hal-hal yang dianggap sebagai penghambat Kamtibmas atau gejala kriminalitas mau pun non kriminalitas kepada pihak Kepolisian secara arif. Sehingga pihak kepolisian yang dianggap sebagai pihak berwenang dalam hal ini dapat turun langsung ke lapangan untuk menanggapi laporan, bertindak dan memecahkan masalah secara profesional dalam arti tidak menambah permasalahan baru. Melihat fungsi Polri sebagai pelayan masyarakat, pengayom masyarakat serta penegak hukum jelas tidak dapat dilakukan secara sendirian oleh pihak kepolisian, mengingat jumlah personil yang terbatas dan kemampuan yang beragam. Maka, Polri dituntut untuk dapat menciptakan jalinan yang harmonis dengan pihak

(36)

masyarakat, guna terpeliharanya stabilitas Keamanan dan ketertiban masyarakat sehingga secara tidak langsung tugas Polri menjadi tugas bersama yang hasil dan manfaatnya pun dapat dirasakan bersama.

Seperti yang terlihat dalam data, hasil wawancara, dan observasi studi lapangan yang telah dilakukan penulis, bahwa peranan kemitraan yang telah dibangun menghasilkan tingginya tingkat pemahaman, dan kesadaran masyarakat terhadap kepeduliannya dalam memelihara stabilitas keamanan, ketertiban, dan ketentraman dalam lingkungan bermasyarakat. Hal ini terlihat dari kesadaran dan kepedulian masyarakat yang ditunjukan dengan respon yang baik dari setiap himbauan atau pun peringatan dari pihak kepolisian, terutama mengenai keamanan dan ketertiban masyarakat. Seperti terlihat dari antusias masyarakat mengikuti setiap kegiatan pembinaan atau penyuluhan, masyarakat aktif dalam Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat, berkurangnya gangguan Kamtibmas sebagai cerminan masyarakat yang sadar dan peduli terhadap keamanan dan ketertiban bersama, adanya komunikasi yang sehat dan seimbang antara pihak masyarakat dan polisi ketika menyelesaikan masalah Kamtibmas, sehingga beberapa masalah dalam masyarakat dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan atau musyawarah. Hal ini mengurangi resiko terjadinya bentrok atau konflik antar masyarakat yang memiliki masalah.

Sehingga, secara garis besar dapat di katakan bahwa peranan kemitraan antara Polri dengan masyarakat memiliki kontribusi yang sangat besar serta penting bagi terciptanya stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat yang terpelihara. Hal ini tergambar bahwa semakin berkurangnya gangguan Keamanan

(37)

dan ketertiban masyarakat atau Kamtibmas, berkontribusi secara langsung terhadap taraf keamanan, ketertiban, ketentraman serta kesejahteraan masyarakat. Berkenaan hal di atas, dari hasil wawancara dan observasi dapat di katakan bahwa baik pihak Kepolisian mau pun masyarakat memiliki pandangan yang senada bahwa jalinan kemitraan yang telah dibina sangat bermanfaat, penting, dan menentukan kualitas keamanan, ketertiban, dan ketentraman dalam lingkungan bersama.

Referensi

Dokumen terkait

Tren suhu dari dalam ruangan kulkas dan dari termoelektrik untuk (a) rangkaian seri, (b) rangkaian paralel, pada beban air minum 1500 ml.. diserap oleh heat sink dalam

Pajak tangguhan diakui atas perbedaan temporer antara nilai tercatat aset dan liabilitas untuk tujuan pelaporan keuangan, dan nilai yang digunakan untuk tujuan

Hasil penelitian dibeberapa tempat menunjukkan hasil yang seragam, yaitu masih terdapat air minum dari depot air minum yang tidak memenuhi persyaratan

bahwa sehubungan dengan hal sebagaimana dimaksud pada huruf a diatas, dan sesuai dengan pasal 64 Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun 1999 tentang Pedoman Umum Pengaturan

Sehingga dengan pelatihan dan pembinaan teknik pencangkokan ini diharapkan para peteni mampu menghasilkan produk salak gula pasir yang berkualitas tinggi agar mampu bersaing

Jadi, menurut Kloosterman struktur Kubah Sangiran yang begitu sempurna, adalah hasil dari diapir bahan Tersier yang mendorong ke atas, sehingga lapisan di atas terbentuk sebagai

2. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental atau sekret darah, kelemahan, upaya batuk buruk, edema trakeal/faringeal. Gangguan pertukaran

Gambar 4.8 Diagram perbandingan luas zona hamabat senyawa bioaktif kapang endofit benalu teh dalam menekan pertumbuhan kapang Fusarium oxysporum dan Colletrotichum