BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hasil Sensus Penduduk tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia mencapai 237.556.363 jiwa, yang terdiri dari 119.507.580 laki-laki dan 118.048.783 perempuan. Hal ini di luar prediksi awal Badan Pusat Statistik (BPS), yaitu 234 juta jiwa. Membengkaknya angka kelahiran di berbagai daerah karena adanya pertambahan penduduk alamiah. Hal ini bisa terjadi karena kualitas pelayanan kesehatan yang lebih baik dan memacu meningkatnya usia harapan hidup. Disisi lain jumlah penduduk yang semakin besar memberikan tantangan bagi bangsa kita untuk bekerja lebih keras dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, menciptakan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, meningkatkan pendidikan dan kesehatan, infrastruktur dan memberikan pelayanan publik yang terbaik (Sensus Penduduk, 2010).
Berdasarkan Undang-Undang No.10 tahun 1992, Program KB merupakan program sosial dasar yang menangani paling tidak empat aspek penggarapan sebagaimana tercermin dalam Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Keempat aspek yang dimaksud adalah: (1) pendewasaan usia perkawinan, (2) pengaturan kelahiran, (3) pembinaan ketahanan keluarga, dan (4) peningkatan kesejahteraan keluarga. Ini berarti program KB tidak sekedar berupaya mengendalikan laju pertumbuhan penduduk, tetapi juga berupaya meningkatkan kualitas penduduk (Rohadi, H., 1995). Semuanya itu harus dimulai
dari keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat, namun memiliki posisi strategis sebagai titik sentral pembangunan.
Tujuan Keluarga Berencana adalah untuk mewujudkan keluarga yang kecil bahagia dan sejahtera, sumber daya manusia yang berkualitas dengan mengendalikan kelahiran dalam rangka menjamin terkendalinya pertumbuhan penduduk Indonesia. Sasaran dari Keluarga Berencana Nasional ada dua yaitu
sasaran langsung dan sasaran tidak langsung. Sasaran langsung adalah Pasangan Usia Subur (PUS), secara bertahap PUS diarahkan menjadi peserta Keluarga Berencana yang aktif lestari sehingga memberi efek langsung penurunan fertilitas. Sedangkan sasaran tidak langsung adalah organisasi-organisasi/lembaga-lembaga kemasyarakatan, instansi-instansi pemerintah maupun swasta, tokoh-tokoh masyarakat yang dapat mendukung terhadap proses pembentukan sistem nilai di kalangan masyarakat yang dapat mendukung usaha pelembagaan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS).
Salah satu ukuran dalam keberhasilan KB adalah prevalensi kontrasepsi, yaitu proporsi wanita yang berstatus menikah dalam usia 15-49 tahun yang pada waktu survei memakai salah satu alat kontrasepsi. Diharapkan keikutsertaan akseptor KB dari tahun ke tahun semakin meningkat sesuai dengan target yang telah direncanakan pemerintah. Keberhasilan KB tidak hanya terlihat dari bertambahnya jumlah akseptor baru tetapi juga akseptor lama pasangan usia subur yang masih tetap menggunakan alat kontrasepsi.
Pelaksanaan keluarga berencana di Indonesia telah mencapai keberhasilan. Banyak indikator yang menjadi ukuran keberhasilan program Keluarga Berencana. Salah satu faktor yang paling menonjol adalah penurunan TFR (Total Fertility Rate) atau angka kelahiran total. Dengan turunnya angka kelahiran, maka tingkat pertumbuhan penduduk menjadi turun. Penurunan pertumbuhan penduduk menjadi semakin berarti karena adanya penurunan angka kematian bayi. Penurunan TFR tersebut didukung oleh pencapaian indikator-indikator teknis pelaksanaan program KB yang mendukung keberhasilan program KB di Indonesia. Indikator yang dimaksud antara lain meningkatnya usia kawin pertama, akseptor KB, meningkatnya jumlah petugas (PLKB), bertambahnya jumlah klinik KB, penyediaan alat kontrasepsi/program KB mandiri.
Program Keluarga Berencana (KB) yang digalakkan oleh pemerintah menjadi sangat penting sebagai pengendalian peledakan penduduk. Pencapaian peserta KB aktif semua metode kontrasepsi yang diperoleh dari data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Jawa Tengah pada bulan April 2012, jumlah akseptor KB aktif sebanyak 5.287.343
peserta. Dengan rincian pengguna kontrasepsi Suntik 3.007.555 peserta (56,88%), Pil 824.037 peserta (15,59%), Intra Uterine Devices (IUD) 460.128 peserta (8,70%), Implant 537.850 peserta (10,16%) dan Medis Operatif Wanita (MOW) 289.549 peserta (5,48%), Medis Operatif Pria (MOP) 57.387 peserta (1,09%), Kondom 110.837 peserta (2,10%).
Keberhasilan program Keluarga Berencana, secara langsung maupun tidak langsung juga dapat dibaca dari besarnya partisipasi masyarakat dan keluarga dalam ikut mensukseskan program KB. Besarnya partisipasi masyarakat dapat terbaca dari besarnya dukungan tokoh masyarakat dan tokoh agama terhadap program KB. Ini belum termasuk dukungan dari LSM, Organisasi Profesi, pemuda dan alim ulama.
Dua inti pokok mengapa BKKBN diadakan di Indonesia adalah untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia dengan jalan KB. Kualitas manusia dipengaruhi oleh pendidikan, kesehatan dan sosial ekonomi. Sejak memasuki era otonomi daerah yang ditandai dengan meleburnya BKKBN dalam wadah Dinas Kependudukan Catatan Sipil KB dan Pemberdayaan Masyarakat.
Program KB tidak bisa dilepaskan dari elemen keluarga. Karena tujuan program KB yang utama adalah untuk mewujudkan keluarga sejahtera. Program KB yang dimulai sejak era 1970-an merupakan program untuk memperkecil keluarga, sehingga merupakan program pemerintah yang perlu dipertahankan karena memiliki makna mendalam dalam upaya meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Sebuah realita yang tidak dapat dibantah oleh siapapun, Indonesia pernah tercatat sebagai negara paling berhasil dalam pengendalian pertumbuhan penduduk melalui program KB. Jika diawal tahun tujuh puluhan pada saat KB baru digalakkan angka fertilitas total di Indonesia berkisar 5,6 per perempuan, saat ini menurut Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) Tahun 2007 telah turun menjadi 2,3 anak. Artinya, bila diawal program setiap perempuan melahirkan rata-rata 5,6 anak selama masa suburnya, sekarang ini tinggal 2,3 anak. Sejalan dengan meningkatnya pemakaian alat kontrasepsi dan menurunnya angka fertilitas, laju pertumbuhan penduduk telah dapat ditekan dari 2,34 % per
tahun pada kurun 1970–1980 menjadi 1,49% per tahun kurun 2000–2010 (Sensus Penduduk 2010). Berkat keberhasilan itu Indonesia memperoleh Population Award dari PBB dan menjadi kiblat dunia internasional dalam program KB.
Sejak tahun 1998 Indonesia mengalami transisi sistem pemerintahan dari sentralistrik ke desentralistik dengan keluarnya Undang-Undang No.22 dan No.25 tahun 1999. Undang-undang ini telah menyebabkan pemerintah Kabupaten/Kota memiliki kekuasaan ekonomi dan politik yang sangat besar. Dalam waktu yang bersamaan, kekuasaan pemerintah (pusat) dikurangi secara signifikan.
Dalam konteks kebijakan kependudukan, pelaksanaan otonomi daerah telah menimbulkan beberapa persoalan. Pertama, adanya kesalahan dalam memahami otonomi daerah telah menyebabkan seolah-olah setiap Kabupaten/Kota tidak lagi memiliki tanggung jawab terhadap kebijakan nasional. Pemerintah pusat kehilangan kontrol terhadap pemerintah lokal. Kedua, karena otonomi daerah dipahami sebagai usaha untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), setiap kebijakan harus diukur dengan berapa besar uang yang dapat dihasilkan. Karena kebijakan kependudukan pada dasarnya tidak menguntungkan secara materi, kebijakan tersebut dianggap bukan prioritas. Ketiga, di berbagai daerah otonomi daerah telah melahirkan sikap antipluralisme yang cenderung anti pendatang.
Kebijakan yang menyangkut kesehatan reproduksi pada mulanya berada di bawah BKKBN yang posisinya masih berada di tingkat pusat. Namun, sejak Juni 2003 BKKBN diserahkan kepada pemerintah Kabupaten/Kota. Keadaan ini ternyata menimbulkan beberapa persoalan. Pertama, pemerintah Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk yang tidak besar mempunyai anggapan bahwa BKKBN tidak diperlukan kehadirannya karena BKKBN dengan KB sebagai program utamanya sangat identik dengan upaya pengendalian dan pembatasan kelahiran (birth control). Padahal, pengendalian kelahiran hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan program KB yang juga menyentuh aspek-aspek sosial ekonomi.
Kedua, beralihnya BKKBN kepada pemerintah Kabupaten/Kota akan membawa beban apabila harus berbentuk menjadi dinas atau badan. Setelah otonomi daerah banyak dinas atau badan yang digabung dengan alasan efisiensi,
hal ini menyebabkan pembentukan dinas atau badan baru selain membuat struktur organisasi menjadi lebih besar, juga memberatkan APBD karena harus mengalokasikan sejumlah dana tertentu untuk pembentukan dinas baru tersebut.
Alternatif kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah Kabupaten/Kota agar tetap memiliki fungsi dari BKKBN tersebut antara lain melalui beberapa hal. Pertama, memasukkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh BKKBN sebagai bagian dari kegiatan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Dinas Kesehatan dapat memanfaatkan tenaga-tenaga BKKBN yang biasanya sudah memiliki kompetensi tertentu untuk melakukan pembinaan mengenai kesehatan reproduksi perempuan yang tidak hanya sebatas teknis medis namun juga dari aspek sosial budaya.
Kedua, peran pemerintah pusat tetap diperlukan untuk menangani masalah-masalah yang krusial. Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah, maka daerah memiliki kewenangan yang luas untuk mengatur daerahnya sendiri. Pemerintah daerah yang belum memiliki komitmen tinggi akan pentingnya masalah ini sehingga cenderung meniadakannya. Untuk itu, peran pemerintah pusat masih amat diperlukan untuk mengambil alih fungsi tersebut.
Ketiga, pemerintah Kabupaten/Kota harus melakukan koordinasi dengan dinas lainnya misal dinas kependudukan supaya terjadi kesesuaian program dan kegiatan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi perempuan. Keempat, kepala dearah harus memiliki komitmen yang tinggi untuk menempatkan hak-hak perempuan dalam kesehatan reproduksi dengan tepat.
Kelima, membuat standar operasional yang jelas mengenai kesehatan reproduksi perempuan. Tujuannya untuk pencapaian fungsi reproduksi yang sehat demi terbentuknya keluarga berkulitas di masa mendatang. Keenam, harus adanya tekanan dari civil society akan pentingnya kesehatan reproduksi perempuan. Melalui tekanan-tekanan dari civil society diharapkan pemerintah Kabupaten/Kota menjadi peduli dengan mengeluarkan kebijakan berorientasi pada kesehatan reproduksi perempuan.
Menurut Mardiya dan Endar Sunarsih (2008), seiring dengan pemberlakuan otonomi daerah, Program Keluarga Berencana (KB) Nasional yang
sebelumnya begitu populer di masyarakat, telah menjadi redup bahkan cenderung mati suri. Dunia internasionalpun seakan berpaling ke negara lain yang dianggap lebih berhasil menangani program KB. Bila kita cermati penyebabnya paling tidak mencakup dua hal. Pertama, komitmen yang lemah pada sebagian besar Kepala Daerah (Bupati/Walikota) terhadap program KB. Terbukti dari 440 Kabupaten/Kota se-Indonesia, hanya 31 Kabupaten/Kota yang membentuk Dinas BKKBN secara utuh. Akibat dari kondisi itu, selain menjatuhkan “mental” personil eks BKKBN Kabupaten/Kota, anggaran yang diterima untuk mempertahankan/mengembangkan pelaksanaan program KB menjadi tersendat. Di satu sisi, pemerintah pusat sudah mengurangi porsi untuk Kabupaten/Kota, sementara Pemkab/Pemkot hanya mengucurkan sedikit sekali anggaran untuk program KB. Sekedar sebagai bentuk “pengakuan” bahwa program KB masih ada di wilayahnya, tanpa mempertimbangkan efek lebih jauh akibat melemahnya program KB di daerah.
Kedua, dengan alasan pemberdayaan potensi, peningkatan karir atau menempatkan PNS sesuai latar belakang pendidikan dan lain-lain, tidak sedikit Penyuluh Keluarga Berencana (PKB) potensial yang dipindah/dialihtugaskan ke dinas/instansi/SKPD lain tanpa ada penggantian tenaga penyuluh yang layak dengan kemampuan sebanding dengan sebelumnya. Akibat pergeseran tugas/alih fungsi PKB ditambah yang pensiun atau meninggal, petugas lapangan yang memiliki tugas pokok mensosialisasikan program KB tersebut berkurang hingga 35%, dari sekitar 36 ribu pada tahun 2003 menjadi hanya 17 ribuan pada tahun 2008.
Dampak langsung yang dapat dilihat dari kedua faktor penyebab tersebut, selain intensitas pembinaan program KB di lapangan oleh PKB menjadi jauh menurun, kreativitas untuk mengembangkan program KB agar semakin dinamis dan diterima masyarakat pun seakan terhenti. Sementara kreativitas dan inovasi kegiatan serta cara-cara KIE Konseling yang efektif dan mengena di awal tahun 1980 hingga 1990-an menjadi semacam “ikon” BKKBN yang banyak ditiru oleh instansi lain karena terbukti efektif untuk menggugah kepedulian dan peran serta masyarakat terhadap program KB. Akibatnya sekarang ini sudah cukup terasa.
Selain seperti kehilangan roh, program KB tidak lagi banyak bergema di masyarakat atau nyaris tak terdengar. Sehingga bila kondisi ini tetap dibiarkan tanpa ada upaya penanganan serius dari pemerintah kabupaten atau kota mulai saat ini, Program KB Nasional lambat laun akan “ambruk” dan menjadi bahan cemoohan lebih dari 40 negara di dunia yang pernah belajar KB di Indonesia melalui paket International Trainning Programme (ITP). Bukan hanya itu, akibat yang lebih besar dan membahayakan telah menunggu, yakni ancaman ledakan bayi (baby boom) kedua (Mardiya, 2011).
Revitalisasi yang dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) XIV di Ambon Maluku pada 29 Juni 2007 antara lain ditempuh dengan melakukan penguatan kembali komitmen dengan para stakeholder dan mitra kerja BKKBN. Komitmen itu ditandai dengan pembaharuan MoU dengan mitra kerja paling strategis, yakni para kepala daerah dalam hal ini bupati dan walikota. Hasilnya pun cukup menggembirakan. Para bupati dan walikota dalam dua tahun ini saling berlomba menunjukkan komitmennya menjadikan program KB sebagai urusan wajib pemerintahan yang harus dilaksanakan. Secara perlahan tapi pasti, Program Kependudukan dan KB kini menggeliat bergaung kembali seperti di era tahun 1980-an hingga 1990-an. Tidak lagi ‘nyaris tak terdengar lagi’ setelah selama hampir satu dasa warsa menjadi terlupakan sama sekali di era reformasi (Soeparno S Adhy, 2011).
Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, serta PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (OPD), maka jelas bahwa Keluarga Berencana (KB) dan Keluarga Sejahtera (KS) merupakan urusan wajib, dengan hal ini bahwa Keluarga Berencana (KB) dan Keluarga Sejahtera (KS) merupakan salah satu kebutuhan dasar masyarakat sehingga Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib menyelenggarakannya.
Jawa Tengah secara nasional termasuk salah satu provinsi dengan penduduk terbesar ketiga di Indonesia setelah Jawa Barat (40,33 juta jiwa) dan Jawa Timur (36,90 juta jiwa) yaitu sebesar 32,38 juta jiwa (Proyeksi SUPAS
tahun 2007). Sejalan dengan bertambahnya penduduk Jawa Tengah, kepadatan penduduk juga semakin tinggi. Kepadatan penduduk merupakan indikator untuk melihat keseimbangan persebaran penduduk dengan luas wilayah. Wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi umumnya dihadapkan pada berbagai masalah lingkungan, perumahan, kesehatan dan masalah sosial lainnya. Pada tahun 2007 tercatat kepadatan penduduk Jawa Tengah 995 jiwa per kilometer persegi.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Magelang No.5 Tahun 2008 tentang Susunan, Kedudukan dan Tugas Pokok Organisasi Lembaga Teknis Daerah, Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dan Satuan Polisi Pamong Praja BKKBN kemudian bermerger dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Dinas Ketahanan Pangan kemudian berganti nama menjadi Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPKB). Namun setelah bermerger BKKBN merasakan kinerja menjadi tidak maksimal karena menjadi tidak fokus pada Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi saja. Kendala lainnya adalah mutasi pegawai yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan anggaran biaya tahunan yang dulu langsung dari BKKBN pusat tetapi sekarang anggaran dari Pemerintah Daerah.
Kinerja yang tidak fokus pada Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi menyebabkan target yang dicapai tidak maksimal. Data Umpan Balik Program KB bulan Desember 2011 persentase Peserta Aktif (PA) terhadap Pasangan Usia Subur (PUS) Kota Magelang 75,96%, angka tersebut masih lebih rendah dibandingkan angka rata-rata Jawa Tengah yaitu 79,32%. Pencapaian tersebut dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lain, Kota Magelang termasuk diurutan 5 terbawah. Sebuah pekerjaan rumah tersendiri bagi BPMP-KB untuk lebih fokus lagi dalam menangani Program Keluarga Berencana di Kota Magelang.
Jenis alat kontrasepsi yang diminati, berdasar data umpan balik Program KB Desember 2011 di Jawa Tengah terbesar adalah Suntik 3.017.353 peserta. Dari semua Kabupaten/Kota yang ada di Jawa Tengah alat kontrasepsi suntik
memang menjadi Primadona dan menempati urutan teratas yang dipakai peserta KB.
1.2. Perumusan Masalah
Keluarga Berencana bertujuan untuk mewujudkan keluarga yang kecil bahagia dan sejahtera, sumber daya manusia yang berkualitas dengan mengendalikan kelahiran dalam rangka menjamin terkendalinya pertumbuhan penduduk Indonesia. Adanya otonomi daerah kebijakan Keluarga Berencana sangat tergantung pada kebijakan masing-masing Kabupaten/Kota. Fenomena yang terjadi adalah lemahnya komitmen sebagian besar Kepala Daerah (Bupati/Walikota) terhadap program KB akibatnya pelaksanaannya menjadi tersendat, dengan diketahui keadaan yang terjadi setelah diberlakukannya otonomi daerah, dapat dijadikan studi untuk mengkaji lebih dalam lagi permasalahan kependudukan yang terjadi.
Dalam penelitian ini permasalahan yang dikaji dalam rangka identifikasi penggunaan alat kontrasepsi melalui data KB dan KS tahun 2012 meliputi : 1. Untuk mengetahui penggunaan alat kontrasepsi dan ketersediaannya setelah
adanya otonomi daerah terutama pada pelayanan pemerintah.
2. Apakah jenis dan tempat pelayanan yang diminati peserta KB aktif di Kota Magelang tahun 2012.
3. Peran BKKBN Kota Magelang dalam hal ini petugas PLKB agar PUS mau ber-KB terutama PUS muda.
1.3. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas dapat disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui penggunaan alat kontrasepsi dan ketersediaannya setelah adanya otonomi daerah terutama pada pelayanan pemerintah.
2. Apakah jenis dan tempat pelayanan yang diminati peserta KB aktif di Kota Magelang tahun 2012.
3. Untuk mengetahui peran BKKBN Kota Magelang dalam hal ini petugas PLKB agar PUS mau ber-KB terutama PUS muda.
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian Tingkat Partisipasi Keluarga Berencana pasca Otonomi daerah di Kota Magelang Provinsi Jawa Tengah, antara lain :
1. Untuk mengetahui penggunaan alat kontrasepsi dan ketersediaannya setelah adanya otonomi daerah terutama pada pelayanan pemerintah.
2. Untuk mengetahui jenis dan tempat pelayanan yang diminati peserta KB aktif di Kota Magelang tahun 2000 dan 2012.
3. Untuk mengetahui peran BKKBN Kota Magelang dalam hal ini petugas PLKB agar PUS mau ber-KB terutama PUS muda.
1.5. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk melengkapi syarat akhir dalam ujian tingkat sarjana pada fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.
2. Dapat memberikan sumbangan bagi pengambilan kebijakan khususnya BKKBN dengan suatu permasalahan terutama mengenai keluarga berencana. 3. Melalui penelitian ini, peneliti mendapatkan gambaran tentang partisipasi
Keluarga Berencana pasca otonomi daerah, dan hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi titik tolak atau acuan bagi penelitian-penelitian di masa yang akan datang.
1.6. Tinjauan Pustaka
Pengertian KB adalah suatu program yang dicanangkan pemerintah dalam upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan (PUP), pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Tujuan utama program Keluarga Berencana nasional adalah untuk memenuhi perintah masyarakat akan pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi yang berkualitas, menurunkan tingkat atau angka kematian ibu dan bayi serta penanggulangan masalah kesehatan reproduksi dalam rangka membangun keluarga kecil yang berkualitas (Rohadi, H., 1995).
Menurut Dwi Pambudi (2009), upaya dari gerakan KB adalah dengan cara mengatur kelahiran anak, maka dianjurkan kepada suami istri yang hendak melaksanakan KB untuk mampu memberi keputusan berkenaan dengan Reproduksi Sehat. Berikut ini mengenai reproduksi sehat yang dimaksud :
a. Kurun Reproduksi Sehat
Kurun reproduksi sehat adalah kurun waktu dimana seorang ibu sehat untuk melahirkan yaitu antara 20 sampai 30 tahun. Masa hamil dapat berlangsung sejak haid pertama sampai menopause. Seorang wanita hamil pada usia kurang dari 20 tahun atau di atas 30 tahun memiliki resiko kegagalan yang lebih besar. Untuk yang di atas 30 tahun disebabkan melemahnya kemampuan fisik, sedangkan usia di bawah 20 tahun, wanita secara fisik dan mental biasanya belum matang, padahal kehamilan menutut kematangan fisik dan mental. Untuk memperoleh ketepatan waktu hamil, seorang suami istri disarankan untuk menikah setelah usia 20 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria. Jika kedua suami istri sudah terlanjur menikah di bawah umur yang telah ditentukan, maka disarankan untuk menunda kelahiran anak pertama. Kemudian hendaknya setiap suami istri dapat mengatur jarak kelahiran anak pertama dan kedua sekurang-kurangnya 3 sampai dengan 5 tahun.
b. Jumlah Anak Ideal
Jumlah anak ideal adalah kondisi suatu keluarga dengan memiliki 2 atau 3 anak, tanpa membedakan jenis kelamin. Dengan jumlah keluarga yang kecil akan lebih mudah meningkatkan kualitas keluarga.
c. Macam-macam alat kontrasepsi
Kontrasepsi merupakan pencegahan pembuahan atau mencegah terjadinya pertemuan antara sel telur (ovum) dari wanita dengan sel sperma dari pria waktu campur, sehingga tidak terjadi kehamilan. Penggunaan alat kontrasepsi bagi akseptor merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan program KB. Adapun jenis alat kontrasepsi modern yang biasa digunakan dan dianjurkan pemerintah antara lain : pil, suntik, implant atau susuk, IUD atau AKDR, sterilisasi atau vasektomi dan tubektomi serta kondom.
Memperkenalkan alat kontrasepsi tersebut tidak mudah, karena menyangkut pengambilan keputusan oleh masyarakat untuk dapat menerima cara kontrasepsi. Menurut Roger (1973), ada empat tahapan dalam pengambilan keputusan oleh masyarakat untuk menerima inovasi yaitu : tahap pengetahuan; tahap persuasi; tahap pengambilan keputusan; dan tahap konfirmasi. Jadi pengambilan keputusan untuk menerima inovasi adalah proses mental dengan bertolak dari pengetahuan awal tentang suatu inovasi, meyakini, kemudian mengambil keputusan (menerima atau menolak) dan pada akhirnya menetapkan.
Menurut Azwini Kartoyo (1981), untuk mengukur pelaksanaan kegiatan KB dapat dilakukan dengan beberapa cara : (1) angka kelangsungan (Continuation Rate), (2) Peserta KB aktif (Current User), (3) bulan pasangan perlindungan (couple months of protection), tahun pasangan perlindungan (couple years of protection), (4) perkiraan penurunan fertilitas akibat pelaksanaan KB. Ukuran-ukuran ini bukan merupakan Ukuran-ukuran yang mutlak terpisah antara satu dengan lainnya, tetapi ada kaitannya dan saling berhubungan satu dan lainnya (ukuran yang satu diperlukan untuk perhitungan ukuran lainnya).
Pasangan Usia Subur didasarkan pada pencatatan di lapangan oleh petugas KB yang ada di daerah tersebut. Dalam pelaksanaan pencatatannya akan terjadi : 1. Pengurangan PUS, yang disebabkan meninggal, cerai, lewat umur dan
2. Penambahan PUS yang disebabkan terjadi kawin ulang, selesai melahirkan atau wanita yang baru masuk usia subur, maka harus segera dilakukan perubahan datanya.
PUS terutama PUS usia muda diharapkan menjadi peserta KB, sedangkan untuk PUS yang sudah menjadi peserta aktif agar tetap menjadi peserta KB dan tidak berhenti memakai salah satu alat kontrasepsi. Peserta KB adalah pasangan usia subur yang pada ini memakai salah satu alat kontrasepsi modern, jadi yang bukan alat kontrasepsi modern tidak termasuk ke dalam peserta KB. Jenis-jenis alat kontrasepsi modern antara lain : IUD, MOW, MOP, Implant, Suntik, Kondom dan Pil. Sedangkan yang termasuk alat kontrasepsi tradisional meliputi pantang berkala/sistem kalender, senggama terputus, tidak campur (puasa), jamu dan urut.
Untuk mendapatkan alat kontrasepsi, peserta KB bisa mendapatkan dari beberapa sumber pelayanan. Berdasarkan BPS (1997), sumber pelayanan KB ada 2 sumber pelayanan yaitu sumber pelayanan pemerintah dan sumber pelayaanan swasta. Sumber pelayanan pemerintah meliputi : Rumah Sakit Pemerintah, Puskesmas, Pustu, PLKB, Pos KB dan PPKBD, sedangkan sumber pelayanan swasta meliputi : Rumah Sakit Swasta, Bidan praktik, Dokter praktik, Apotik dan Toko obat.
Banyak faktor yang menjadi indikator keberhasilan Keluarga Berencana. Salah satu faktor yang paling menonjol adalah TFR (Total Fertility Rate) atau angka kelahiran total dengan menurunnya angka kelahiran maka pertumbuhan pendudukpun juga menurun. Penurunan TFR (Total Fertility Rate) tersebut ditopang oleh pencapaian indikator-indikator teknis pelaksanaan program Keluarga Berencana seperti meningkatnya jumlah akseptor Keluarga Berencana, meningkatnya usia kawin pertama, meningkatnya jumlah PLKB (Petugas Lapangan Keluarga Berencana), meningkatnya jumlah klinik Keluarga Berencana, meningkatnya jumlah alat kontrasepsi, meningkatnya daya beli masyarakat terhadap alat kontrasepsi (program Keluarga Berencana Mandiri) dan sebagainya (Romanus Beni, 1998).
Pengetahuan tentang pengendalian kelahiran dan keluarga berencana merupakan salah satu aspek penting ke arah pemahaman tentang berbagai
alat/cara kontrasepsi, selanjutnya berpengaruh terhadap pemakaian alat/cara KB yang tepat dan efektif. Untuk mengetahui berbagai variabel yang erat berkaitan dengan pengetahuan, maka pengetahuan KB perlu dirinci berdasarkan variabel latar belakang. Variabel latar belakang yang diamati adalah umur wanita, tempat tinggal desa-kota, dan pendidikan.
Menurut Mardiyo, BKKBN sebagai institusi yang selama ini mengemban tugas mensuskeskan program KB di Indonesia telah merevitalisi visi dan misinya. Revitalisasi visi dan misi BKKBN ini setidaknya mempertimbangkan dua hal. Pertama, pasca disahkannya Undang-undang No.52 tahun 2009 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga, BKKBN tidak lagi diamanatkan sebagai lembaga yang menangani masalah KB semata, tetapi juga menangani masalah kependudukan. Dengan demikian, menurut undang-undang tersebut BKKBN bukan lagi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional tetapi juga menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional yang mengemban dua tugas sekaligus.
Kedua, tahun 2010 merupakan tahun pertama untuk menjabarkan dan melaksanakan berbagai rencana strategis, rencana aksi dan program-program pemerintah yang telah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan telah pula dijabarkan dalam Rencana Strategis (Renstra) BKKBN tahun 2010-2014. Di era ini, BKKBN mendapat amanah untuk ikut mendukung keberhasilan program prioritas nasional, yaitu dengan memberikan dukungan terhadap penguatan supply berupa penyediaan sarana dan prasarana pelayanan KB bagi 23.500 klinik KB swasta dan pemerintah agar siap melayani KB. Di samping itu, juga mendukung peningkatan kapasitas penyelenggara pelayanan KB melalui pelatihan teknis medis pelayanan KB dan KIE konseling bagi dokter dan bidan agar dapat melayani KB sesuai standar operasional pelayanan yang telah ditetapkan.
Upaya Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai pengampu program KB di Indonesia untuk terus melakukan langkah-langkah yang lebih baik demi dapat diraihnya kembali kesuksesan pelaksanaan program KB sebagaimana pernah dicapai beberapa waktu yang lalu, dalam bentuk rebranding
program KB. Rebranding program KB yang dimaknai sebagai upaya pencitraan kembali program KB, menurut Kepala BKKBN Pusat Dr. Sugiri Syarief, MPA diarahkan untuk merevitalisasi program KB melalui pencitraan kelembagaan, pencitraan produk, pencitraan pengelola program dan kesinambungan serta keberadaan program KB di seluruh wilayah.
Melalui rebranding program KB, diharapkan akan mampu menumbuhkan budaya kerja pada para pengelola program KB di tingkat pusat hingga daerah termasuk para Penyuluh KB. Dalam satu dasa warsa terakhir, program KB di Indonesia terkesan loyo dan kurang bergairah, bahkan nyaris tak terdengar. Kelesuan pengelolaan program KB ini terjadi seiring dengan diserahkannya BKKBN Kabupaten/Kota ke daerah. Persoalan muncul karena dalam kenyataannya sebagian besar Bupati/Walikota sebagai pimpinan tertinggi di daerah, tidak mendukung sepenuhnya pelaksanaan program KB dengan membentuk Dinas Keluarga Berencana secara utuh. Namun hanya menjadi bagian dari instansi atau lembaga teknis. Akibatnya, mekanisme program KB di lini lapangan semakin melemah. Bila kondisi ini terus dibiarkan, jelas akan sangat berbahaya, karena pertumbuhan penduduk menjadi tidak terkendali. Apalagi indikasinya mulai nampak, yakni dengan ditemukannya sebagian PUS yang memiliki 6 atau 7 anak (Drs. Mardiya, 2009).
Seperti yang terjadi di Kota Magelang, setelah otonomi daerah BKKBN tidak lagi menjadi badan yang berdiri sendiri tetapi sudah bergabung dengan Dinas Ketahanan Pangan dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat kemudian berganti nama menjadi Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMP-KB). Visi yang diemban badan ini adalah terwujudnya kemandirian keluarga dan masyarakat yang berkeadilan gender melalui Keluarga Berencana dan didukung ketahanan pangan (BKKBN Magelang).
STRUKTUR ORGANISASI
BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT, PEREMPUAN DAN KELUARGA BERENCANA
KOTA MAGELANG
Gambar 1.1. Struktur Organisasi Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Magelang
KEPALA Dr. Nurul Safariah, M.Kes
NIP. 195609291983122001
SEKRETARIS Dra. Suyati NIP. 196104201992032004
KASUBAG UMUM & KEPEG Ir. Siti Pratiwi Witari NIP. 195903311990032001 KASUBAG KEUANGAN
Aziz Agus Susianto, S.H. NIP. 196110011990091001
KASUBAG PROGRAM Drs. Jaenal Abidin NIP. 196105011988031007
KABID PM Dra. Muji Rahayu NIP. 195812251986032009
KASUBID KELEMBAGAAN MASY
Lucia Sumiyah, B.A. NIP. 196609291988032008
KASUBID PENGEMB TTG & EM Edy Wibowo, S.Sos., M.M. NIP. 196204091986031017
KABID KSPP &PA Dra. Taat Sutjiati, M.Si. NIP. 196609291988032008 KASUBAG PEMBERDAYAAN PEREMPUAN & PERLINDUNGAN ANAK Yulikah, S.Sos. NIP. 195908251982032008 KASUBAG KETAHANAN PANGAN DAN PEMBERDAYAAN KELUARGA Yuliani, S.H. NIP. 195712151986032002 KABID KB
Drs. Wahyu Prsetyo Hutomo NIP. 196412021982032007 KASUBAG OPERASIONAL Bundari, S.Sos NIP. 196206031982032007 KASUBAG KESEHATAN REPRODUKSI Bakri, S.K.M. NIP. 196606111989031019 KEL. JA B. FUNGSIONAL KEPALA UPT B KETAHANAN PANGAN Muhammad Makfud, S.P. NIP. 196807071998031005 KA SU BAG TU Siti Munawaroh, S.ST. NIP. 196412011990032005
Pengaruh dari penggabungan ini ada banyak hal, antara lain : secara kelembagaan meskipun antar badan yang bergabung mempunyai kedudukan yang sejajar namun untuk kinerja menjadi tidak fokus karena kepentingan antara tiga badan tersebut semua menjadi prioritas, anggaran tahunan dahulu dari BKKBN pusat langsung difokuskan untuk Keluarga Berencana dan Kesehatan reproduksi kini anggaran yang ada harus dibagi ke badan yang bernaung dibawah BPMP-KB.
Gambar 1.2. Gedung Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Magelang
Disamping dari segi anggaran yang memang tidak sebesar sebelum penggabungan dari segi petugas yang ada meskipun secara jumlah tidak dikurangi tetapi adanya mutasi pegawai utamanya petugas PLKB sehingga kinerja menjadi
tidak maksimal. Banyak pegawai yang tidak ahli dibidang Keluarga Berencana dan kesehatan reproduksi masuk dalam BKKBN sehingga ini juga menghambat kinerja BKKBN.
Gambar 1.3. Kendaraan Operasional Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Magelang
Program Keluarga Berencana (KB) salah satunya KB suntik. Keluarga berencana suntik merupakan metode kontrasepsi yang diberikan melalui suntikan. Metode suntikan telah menjadi bagian gerakan keluarga berencana nasional serta peminatnya makin bertambah. Tingginya peminat suntikan oleh karena aman, sederhana, efektif, tidak menimbulkan gangguan dan dapat dipakai pasca persalinan (Manuaba, 2002).
Keluarga berencana suntik merupakan metode kontrasepsi efektif, metode yang dalam penggunaannya mempunyai efektifitas atau tingkat kelangsungan pemakaian relatif lebih tinggi serta angka kegagalan relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan alat kontrasepsi sederhana (BKKBN, 2002). Alat kontrasepsi suntik berupa cairan, yang hanya berisi hormon progesteron disuntikkan ke dalam tubuh wanita secara periodik, disuntikan ke dalam tubuh dalam jangka waktu tertentu, kemudian masuk ke dalam pembuluh darah diserap
sedikit demi sedikit oleh tubuh yang berguna untuk mencegah timbulnya kehamilan.
Keuntungan metode suntik antara lain : sangat efektif , karena mudah digunakan tidak memerlukan aksi sehari-hari, dalam penggunaan kontrasepsi suntik ini tidak banyak dipengaruhi kelalaian atau faktor lupa dan sangat praktis, pencegahan kehamilan jangka panjang, tidak berpengaruh pada hubungan suami istri, tidak mengandung estrogen sehingga tidak berdampak serius terhadap penyakit jantung, dan gangguan pembekuan darah, tidak memiliki pengaruh pada ASI, hormon progesteron dapat meningkatkan kualitas air susu ibu (ASI) sehingga kontrasepsi suntik sangat cocok pada ibu menyusui. Konsentrasi hormon di dalam air susu ibu sangat kecil dan tidak ditemukan adanya efek hormon pada pertumbuhan serta perkembangan bayi, sedikit efek samping, klien tidak perlu menyimpan obat suntik, dapat digunakan oleh perempuan usia > 35 tahun sampai perimenopause, membantu mencegah kehamilan ektopik dan kanker endometrium, menurunkan kejadian penyakit jinak payudara, mencegah beberapa penyebab penyakit radang panggul, menurunkan krisis anemia bulan sabit (sickle cell ).
Kekurangan metode suntik menurut Wiknjosastro (2006), yaitu : sering menimbulkan perdarahan yang tidak teratur (spotting breakthrough bleeding), dapat menimbulkan amenorhoe, berat badan yang bertambah 2,3 kilogram pada tahun pertama dan meningkat 7,5 kilogram selama enam tahun, sakit kepala, pada sistem kardiovaskuler efeknya sangat sedikit, mungkin ada sedikit peninggian dari kadar insulin dan penurunan HDL kolesterol.
Pendataan keluarga meliputi tiga jenis data yaitu Demografi, KB dan tahapan Keluarga Sejahtera (KS) (Mardiya dan Endar S, 2008). Data Demografi mencakup kepala keluarga menurut jenis kelamin, status pekerjaan dan status perkawinan. Kemudian kepala keluarga menurut tingkat pendidikan, keluarga yang mendapatkan kredit mikro/bantuan modal, jumlah jiwa dalam keluarga, Wanita Usia Subur (WUS), serta jumlah jiwa dalam keluarga menurut kelompok umur.
Sementara, data KB mencakup kelompok umur isteri, peserta KB dan bukan peserta KB. Bagi peserta KB akan dilihat tempat pelayanannya (pemerintah atau swasta), serta peserta KB yang implantnya perlu dicabut tahun depan. Bagi mereka yang bukan peserta KB, akan ditelusuri sebabnya. Apakah sedang hamil, ingin anak segera, ingin anak ditunda atau tidak ingin anak lagi.
Sedangkan data KS, mencakup fase-fase yang harus dicapai setiap keluarga di dalam pembangunan keluarga sejahtera berdasarkan berbagai tingkat kebutuhannya. Baik yang menyangkut kebutuhan dasar, sosial psikologis maupun kebutuhan perkembangannya. Dari ketiga kelompok data tersebut, dapat disusun program untuk membangun KB, keluarga maupun pembangunan penduduk sebagai sumber daya insani yang handal dan tangguh.
Berdasarkan fase-fase tersebut di atas, keluarga dikelompokkan menjadi lima tahapan, yaitu Keluarga Pra Sejahtera, Keluarga Sejahtera I, Keluarga Sejahtera II, Keluarga Sejahtera III dan Keluarga Sejahtera III Plus. Keluarga Pra Sejahtera yaitu keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya (basic needs) secara minimal, seperti kebutuhan akan pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan.
Keluarga Sejahtera Tahap I, yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan sosial psikologisnya (socio psychological needs), seperti kebutuhan ibadah, makan protein hewani, pakaian, ruang untuk interaksi keluarga, dalam keadaan sehat, mempunyai penghasilan, bisa baca tulis latin dan keluarga berencana.
Keluarga Sejahtera Tahap II, yaitu keluarga-keluarga yang disamping telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, juga telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan sosial psikologisnya, akan tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan pengembangannya (developmental needs), seperti kebutuhan untuk peningkatan agama, menabung, berinteraksi dalam keluarga, ikut melaksanakan kegiatan dalam masyarakat dan mampu memperoleh informasi.
Keluarga Sejahtera Tahap III, yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan dasar, kebutuhan sosial psikologis dan kebutuhan
pengembangannya, namun belum dapat memberikan sumbangan (kontribusi) yang maksimal terhadap masyarakat, seperti secara teratur (waktu tertentu) memberikan sumbangan dalam bentuk material dan keuangan untuk kepentingan sosial kemasyarakatan serta berperan serta secara aktif dengan menjadi pengurus lembaga kemasyarakatan atau yayasan-yayasan sosial, keagamaan, kesenian, olah raga, pendidikan dan sebagainya.
Keluarga Sejahtera Tahap III Plus, yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhannya, baik yang bersifat dasar, sosial psikologis maupun yang bersifat pengembangan serta telah dapat pula memberikan sumbangan yang nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat. Penjelasan indikator masing-masing tahapan sebagai berikut :
1. Tahapan Keluarga Sejahtera I
(1) Pada umumnya anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih.
(2) Anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian.
(3) Rumah yang ditempati keluarga mempunyai atap, lantai dan dinding yang baik.
(4) Bila ada anggota keluarga sakit dibawa ke sarana kesehatan.
(5) Bila pasangan usia subur ingin ber-KB pergi ke sarana pelayanan kontrasepsi.
(6) Semua anak umur 7-15 tahun dalam keluarga bersekolah.
2. Tahapan Keluarga Sejahtera II
(1) Pada umumnya anggota keluarga melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
(2) Paling kurang sekali seminggu seluruh anggota keluarga makan daging/ikan/telur.
(3) Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru dalam setahun.
(5) Tiga bulan terakhir keluarga dalam keadaan sehat sehingga dapat melaksanakan tugas/fungsi masing-masing.
(6) Ada seorang atau lebih anggota keluarga yang bekerja untuk memperoleh penghasilan.
(7) Seluruh anggota keluarga umur 10-60 tahun bisa baca tulisan latin.
(8) Pasangan usia subur dengan anak dua atau lebih menggunakan alat/obat kontrasepsi.
3. Tahapan Keluarga Sejahtera III
(1) Keluarga berupaya meningkatkan pengetahuan agama.
(2) Sebagian penghasilan keluarga ditabung dalam bentuk uang atau barang. (3) Kebiasaan keluarga makan bersama paling kurang seminggu sekali
dimanfaatkan untuk berkomunikasi.
(4) Keluarga ikut dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggal. (5) Keluarga memperoleh informasi dari surat kabar/majalah/radio/tv.
4. Tahapan Keluarga Sejahtera III Plus
(1) Keluarga secara teratur dengan suka rela memberikan sumbangan materiil untuk kegiatan sosial.
(2) Ada anggota keluarga yang aktif sebagai pengurus perkumpulan sosial, yayasan, atau di institusi masyarakat.
1.7. Kerangka Pemikiran
Tingkat partisipasi keluarga pasca otonomi daerah dapat dilihat dari dua aspek, pertama dengan melihat bagaimana tingkat partisipasi kontrasepsi di tiap Kabupaten/Kota setelah otonomi daerah karena kebijakan Keluarga Berencana sangat tergantung pada kebijakan pemerintah tingkat II (Kabupaten/Kota). Kedua, kendala apa saja yang dijumpai oleh para pelaksana KB di tiap Kabupaten/Kota dalam pencapaian akseptor KB, dan bagaimana Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) di tiap Kabupaten/Kota merger ke dinas-dinas lain tergantung masing-masing wilayah.
Berdasarkan hasil SDKI 2012 ada wacana Total Fertility Rate (TFR) meningkat. Tentu saja hal ini sangat meresahkan, bila dibiarkan terus menerus bukan tidak mungkin akan terjadi peningkatan angka kelahiran. Angka kelahiran yang tinggi akan mempercepat terjadinya peningkatan jumlah penduduk. Perlu upaya yang keras dan komitmen dari masing-masing Kabupaten/Kota untuk mensukseskan program Keluarga Berencana seperti era tahun 1980-1990an.
Secara diagramatis kerangka penelitian tersebut dapat digambarkan dalam gambar 1.3. berikut ini:
Gambar 1.4. Diagram Alir Kerangka Penelitian PUS
Bukan Akseptor Akseptor
Lama Baru Sumber Pelayanan Jenis Alat Kontrasepsi
Alat Kontrasepsi lain
Suntik Petugas PLKB
1.8. Hipotesis
1. Peran aktif petugas PLKB sangat mempengaruhi peningkatan jumlah akseptor agar PUS terutama PUS muda mau ber-KB.
2. Alat kontasepsi suntik lebih banyak diminati oleh akseptor KB di Kota Magelang dibanding dengan alat kontrasepsi lain.
3. Pelayanan pemerintah lebih diminati masyarakat Kota Magelang dibandingkan pelayanan swasta.