• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses ngabur (membuat gradasi warna) dengan tinta hitam dan gambar proses ngewarna (memberi warna di setiap objek)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Proses ngabur (membuat gradasi warna) dengan tinta hitam dan gambar proses ngewarna (memberi warna di setiap objek)"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Lam. 3

Proses ngabur (membuat gradasi warna) dengan tinta

hitam dan gambar proses ngewarna (memberi warna di

setiap objek)... 319

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Kesenian dan kebudayaan Bali terbentuk melalui proses yang panjang. Proses tersebut terjadi dari berbagai interaksi dan pergesekan dengan budaya luar, seperti kebudayaan India, Cina, beberapa negara di Asia Tenggara, sehingga dapat dikatakan bahwa budaya Bali yang ada saat ini merupakan hasil akulturasi budaya lokal dan kebudayaan yang datang dari luar Bali. Kebudayaan Bali juga terbentuk dari adanya kontak dengan kerajaan Hindu di Jawa, terutama setelah invasi Majapahit pada

(2)

tahun 1343. R.M. Soedarsono mengungkapkan, bahwa masyarakat Bali sangat dikenal sebagai masyarakat yang sangat terbuka, namun juga kreatif. Pengaruh dari luar seperti apapun

setelah jatuh ke tangan seniman Bali selalu berciri Bali.1

Kesenian sering dinyatakan sebagai simbol suatu masyarakat, karena di dalam kesenian itulah tersimpan berbagai nilai budaya yang hidup di masyarakat, apapun bentuknya akan mengandung aspek-aspek ide (gagasan), wujud (bentuk), dan

perilaku.2 Bali sebagai bagian dari Indonesia, merupakan pulau

yang kecil namun sangat dikenal dunia berkat seni budayanya yang khas. Seni telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Bali, yang sering difungsikan untuk sarana ritual baik di pura maupun tempat suci keluarga. Seni tersebut diwujudkan

dalam bentuk canangsari, penjor, kober, langse, ider-ider, atau

bade, dimana dalam pembuatannya dihias sedemikian rupa

sehingga tampak indah.

Masyarakat Bali juga selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan Tuhan, lingkungan, dan antar sesama makhluk di alam semesta ini. Konsep tersebut dalam agama Hindu disebut

dengan Tri Hita Karana, yang juga merupakan dasar dari

1 R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukkan Indonesia Di Era Globalisasi, edisi

ketiga yang diperluas (Yogyakarta: Gadjah Mada Universiti Press, 2002), 23.

2 I Made Bandem, “Jati Diri Orang Bali Dalam Perspektif Kesenian”,

dalam Bali di Persimpangan Jalan, ed. Usadi Wiryatnata dan Jean Couteau (Denpasar: Nusa Data Indo Budaya,1995), 99.

(3)

terbentuknya sebuah desa adat di Bali. Desa adat merupakan komunitas sosial budaya dalam kehidupan masyarakat Bali, yang

terdiri atas Khayangan Tiga, Desa Pekraman, dan Sima Krama.

Khayangan Tiga merupakan jiwa dari sebuah desa di Bali, yang terdiri atas tiga unit tempat suci untuk pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terdiri atas Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura

Dalem. Desa Pekraman merupakan batas teritorial, yakni wujud

fisik wilayah desa, sedangkan Sima Krama adalah warga desa yang

berfungsi sebagai tenaga sebuah desa. Ketiga unsur pokok di atas, yaitu jiwa, fisik, dan tenaga, menyempurnakan satu kehidupan

manusia atau warga desa.3 Pengosekan merupakan salah satu

desa adat di wilayah kecamatan Ubud, yang juga menerapkan

ajaran Tri Hita Karana dalam kehidupan bermasyarakatnya.

Desa adat Pengosekan berada dalam wilayah desa dinas Mas, kecamatan Ubud, kabupaten Gianyar, Bali, yang sampai saat ini beberapa penduduknya masih menekuni profesi sebagai pelukis tradisional. Komunitas pelukis di Pengosekan mulai mengalami perkembangan pada tahun 1930-an, bersamaan dengan derasnya kunjungan wisatawan ke Bali, dan di antara wisatawan yang berkunjung terdapat beberapa pelukis asing yang sangat tertarik dengan seni budaya Bali. Para pelukis asing itu

3 IGN, Arinton Puja, Arsitektur Tradisional Bali (Denpasar: Proyek

Inventarisasi dan Dokumentasi Bali, 1985), 15.

(4)

antara lain Walter Spies, Rudolf Bonnet, Le Mayeur, Antonio Maria Blanco, dan Arie Smith. Banyak usaha yang dilakukan demi perkembangan karya pelukis, salah satunya adalah mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Pita Maha pada tahun 1936. Adapun tujuannya adalah untuk memajukan serta mempertinggi

mutu seni dari para pelukis Bali.4 Usaha yang lain adalah

membangun sebuah museum yang saat ini bernama Museum Puri Lukisan, yang berlokasi di Ubud. Masa ini merupakan tonggak awal pertumbuhan seni lukis tradisional Pengosekan. Para pelukis mulai mempergunakan bahan-bahan yang didatangkan dari negeri Belanda, seperti cat tempera dan cat air. Teknik melukis Barat seperti anatomi, proporsi, pencahayaan, persepektif, mulai masuk dalam lukisan-lukisan mereka.

Pada tahun 1942 Pita Maha dibubarkan, bersamaan dengan pecahnya Perang Dunia II. Belanda juga menyerah kepada Jepang pada tahun itu, sehingga jalannya pemerintahan diambil alih oleh Jepang. Selama masa penjajahan Jepang kegiatan berkesenian menjadi terabaikan, keamanan yang tidak stabil juga berdampak pada kurangnya kunjungan wisatawan ke Bali.

Kegiatan berkesenian kembali mendapat perhatian setelah kemerdekaan Republik Indonesia. Pada tahun 1956 bersama

4 I Wayan Widia dan Made Seraya, Mengenal Seorang Tokoh Idealis

Pendiri Museum Puri Lukisan Ratna Wartha Ubud: Tjokorda Gde Agung Sukawati (Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983/1984), 21.

(5)

dengan para pelukis dari Ubud, Rudolf Bonnet mulai mengorganisasi asosiasi Golongan Pelukis Ubud. Para pelukis di wilayah Ubud pun kembali bersemangat untuk berkarya. Pada tahun 1980-an seni lukis tradisional Pengosekan semakin mengalamai banyak perubahan, terutama setelah Rudolf Bonnet wafat pada tahun 1978.

Perubahan terjadi setelah Rudolf Bonnet wafat pada tahun 1978, Tuan Bonnet (demikian masyarakat Bali memanggil) yang hampir setengan abad selalu mendampingi, mendukung, dan memengaruhi secara langsung kegiatan melukis di kawasan kabupaten Gianyar, terutama di Ubud. Para komunitas pelukis dibeberapa desa, di wilayah Ubud kemudian mulai mencari “guru” baru dalam dunia penciptaannya. Selanjutnya para komunitas pelukis tersebut memunculkan berbagai kecenderungan gaya lukisan, termasuk di Pengosekan. Eksplorasi tema kehidupan sehari-hari bergeser jauh lebih maju. Secara teknik juga mengalami sedikit perubahan. Karakter subjek gambar juga mulai mengarah pada gaya indvidu pelukis.

Khususnya di desa Pengosekan muncul lukisan tradisional dengan bentuk dekoratif, bertema flora dan fauna yang melukiskan objek binatang, burung, pepohonan, daun, dan bunga berwarna-warni. Lukisan bertema kehidupan sehari-hari dan

(6)

mitologi juga tetap bertahan dan berkembang dengan para pelukis setianya.

Lukisan-lukisan yang dihasilkan kemudian banyak dijual

diberbagai galeri dan art shop di daerah Pengosekan, juga di

wilayah Ubud dan sekitarnya. Beberapa pelukis juga aktif mengikut sertakan lukisannya dalam berbagi pameran, dampak yang diperoleh adalah mulai dikenalnya seni lukis tradisional Pengosekan oleh para wisatawan baik domestik maupun luar negeri. Lukisan-lukisan tersebut kemudian banyak dipesan dan dibeli para wisatawan sebagai cenderamata. Banyak juga dimanfaatkan sebagai elemen estetis interior, baik rumah tinggal, hotel, atau di lobo-lobi penginapan, yang dibuat dalam berbagai ukuran.

Kegiatan melukis di Pengosekan sempat surut sejak terjadi Bom Bali I dan II. Peristiwa Bom Bali I terjadi pada tanggal 12 Oktober 2002 di jalan Legian, Kuta, disusul kemudian Bom Bali II pada tanggal 1 Oktober 2005 di Jimbaran, Kuta. Peristiwa ini memberikan dampak yang sangat besar, dalam waktu cukup lama dan berkelanjutan pada kehidupan ekonomi masyarakat Bali. Turis asing yang datang ke Bali juga turun peringkat

ekonominya.5 Hal ini menyebabkan para pelukis tidak

5 Dermawan T., Bali Bravo: Lexicon of 200 Years Balinese Traditional

Painters (Jakarta: Panitia Bali Bangkit, 2007), 12.

(7)

bersemangat untuk berkarya, kreatifitas menurun, begitu pula dengan penghasilan mereka. Banyak pelukis yang kemudian bekerja pada bidang jasa wisata yang dianggap lebih menjanjikan dan memberikan peluang kerja yang lebih baik. Profesi pelukis semakin kurang diminati oleh kaum muda. Terkadang hanya dijadikan sebagai pekerjaan sampingan, namun beberapa penduduk Pengosekan tetap menggantungkan hidup dari hasil melukis.

Beberapa persoalan mengenai perkembangan seni lukis tradisional Pengosekan, sebagaimana telah dipaparkan di atas cukup menarik untuk diteliti. Seni lukis tradisional Pengosekan merupakan seni tradisi dan kebudayaan lokal yang telah mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Ditinjau dari segi visual, banyak perkembangan serta perubahan yang terjadi sejak awal berkembangnya hingga saat ini, terutama sejak memasuki tahun 1980-an. Pada masa tersebut seni lukis tradisional Pengosekan banyak mengalami perkembangan dari segi tema, teknik, maupun karakter subjek gambar yang mulai mengarah pada gaya pribadi pelukis. Keberadaannya juga masih menjadi perhatian, di tengah semarak perkembangan seni lukis modern di Ubud. Kemampuan para pelukis dalam bertahan dan berinovasi, serta berbagai faktor yang memengaruhi cukup menarik untuk dilakukan pengkajian lebih lanjut.

(8)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana kontinuitas seni lukis tradisional Pengosekan

dan perubahan pada visualisasi karyanya dari tahun 1980 sampai tahun 2013?

2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya

kontinuitas dan perubahan pada seni lukis tradisional Pengosekan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh penjelasan secara detail mengenai kontinuitas dan perubahan seni lukis tradisional Pengosekan, serta faktor-faktor yang memengaruhi, yang ditinjau dari aspek visual karya lukisan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis, dapat juga digunakan sebagai kajian awal mengenai munculnya pembaharuan-pembaharuan seni lukis di Bali. Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat sebagai media informasi pembelajaran, dalam lingkungan akademik dan dunia ilmu pengetahuan mengenai seni lukis tradisional Bali, khususnya seni lukis tradisional yang berkembang di Pengosekan.

(9)

Salah satu fungsi dari perlunya tinjauan pustaka adalah menghimpun informasi-informasi mengenai penelitian terdahulu, yang berhubungan dengan penelitian yang akan diteliti. Hal ini untuk menghindari pengulangan yang tidak disengaja dari penelitian-penelitian yang terdahulu. Pembahasan mengenai seni rupa Bali sudah banyak dilakukan, namun sumber tulisan yang membahas secara khusus tentang seni lukis tradisional Pengosekan masih terbatas. Referensi yang ada pada umumnya merupakan karya tulis dalam bentuk uraian singkat, dan hanya membahas secara garis besarnya saja.

Skripsi milik I Dewa Kompyang Setiawan yang berjudul “Studi Pendahuluan Tentang Gejala Munculnya Seni Lukis Gaya

Baru Pengosekan” (1996),6 membahas mengenai sejarah

munculnya lukisan tradisional Pengosekan bertema flora dan fauna di Pengosekan pada awal tahun 1980. Dalam karya tulis ini, penulis hanya mengidentifikasi lukisan tradisional Pengosekan bertema flora dan fauna dari tahun 1980-an sampai tahun 1990-an.

Sebuah karya tulis (tesis) yang berjudul “Lukisan Young Artist di Penestanan Ubud Transformasi Lukisan Anak-anak ke

6 I Dewa Kompyang Setiawan, “Studi Pendahuluan Tentang Gejala

Munculnya Seni Lukis Gaya Baru Pengosekan” (skripsi sebagai syarat untuk mencapai drajat Sarjana S-1 Program Studi Seni Murni, Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 1996), 45-50.

(10)

Seni Wisata” (2010),7 memaparkan mengenai proses transformasi

seni lukis Young Artist yang berkembang di Penestanan, Ubud,

dari tahun 1960-an sampai 2009. Dijelaskan bahwa setelah Belanda berkuasa di Bali, Ubud menjadi tempat yang banyak dihuni oleh pelukis asing. Kehadiran para pelukis tersebut menciptakan suasana berkesenian yang dinamis. Ubud menjadi wahana interaksi antara pelukis Barat dengan pelukis Bali. Hingga akhirnya banyak terjadi inovasi dalam visualisasi seni lukis tradisional. Ubud mulai berkembang dan dikenal sebagai pusat

kampung seniman. Lukisan Young Artist yang pada awalnya hanya

merupakan hasil karya lukis anak-anak petani di desa Penestanan, mulai digemari dan berkembang menjadi seni wisata yang banyak diproduksi secara masal. Pada tulisan dibahas mengenai lukisan tradisional gaya Ubud, namun tidak menjelaskan secara khusus mengenai lukisan tradisional Pengosekan.

Bali Bravo-Leksikon Pelukis Bali 200 Tahun (2007) sebuah buku karya Agus Dermawan T., merupakan sebuah buku yang memuat dokumentasi mengenai 300 riwayat singkat pelukis tradisional Bali, beserta karyanya. Dalam buku ini Dermawan T., membahas mengenai sejarah perkembangan seni lukis tradisional

7 I Wayan Agus Eka Cahyadi, “ Lukisan Young Artist di Penestanan Ubud

Transformasi Lukisan Anak-anak ke Seni Wisata” (tesis sebagai syarat untuk mencapai drajat Sarjana S-2 Program Pascasarjana, Universitas Udayana, Denpasar, 2010), 53-149.

(11)

Bali, berikut gaya-gaya lukisan tradisional yang berkembang di Bali seperti gaya Kamasan, gaya Ubud, gaya Batuan, gaya Keliki,

gaya Young Artist, gaya Singaraja, dan gaya Tanah Lot.8 Dalam

buku ini sedikit dibahas mengenai seni lukis tradisional Pengosekan, yang merupakan pengembangan dari seni lukis gaya Ubud.

Dalam buku Museum Puri Lukisan Ratna Wartha (1999),9

membahas mengenai sejarah perkembangan seni lukis Bali dari jaman pra kolonial, Pita Maha, dan setelah kemerdekaan

Indonesia. Pada bagian yang menguraikan The Pengosekan School,

dijelaskan mengenai sejarah perkembangan lukisan tradisional Pengosekan hingga muncul lukisan bertema flora dan fauna yang menjadi ciri khas lukisan Pengosekan. Terdapat juga pembahasan mengenai perbedaan teknik melukis tradisional gaya Kamasan, gaya Batuan, dan gaya Ubud.

Christoper Hill dalam buku Survival and Change Three

Generations of Balinese Painters (2006),10 secara khusus mengulas

mengenai karya I Gusti Ketut Kobot, I Ketut Liyer, I Gusti Putu Sana, dan I Dewa Putu Mokoh. Keempat pelukis tersebut merupakan pelukis Pengosekan yang banyak memberikan

8 Dermawan T., 2007, 5-32.

9 Jean Couteau, Museum Puri Lukisan Ratna Wartha (Ubud: Ratna

Wartha Foundation, 1999), 143-149.

10 Christoper Hill, Survival and Change: three generation of balinese

painters ( The Australian National University: Pandanus Books, 2006), 55-107.

(12)

kontribusi dalam perkembangan seni lukis tradisional Pengosekan. Kobot merupakan pelukis senior di Pengosekan yang mapan dengan tema mitologinya. Liyer juga merupakan pelukis senior di Pengosekan yang gemar melukiskan tema kehidupan sehari-hari. Kedua pelukis tersebut pernah tergabung dalam anggota Pita Maha, sedangkan Mokoh dan Sana sama-sama pernah belajar melukis dari Kobot, namun lukisan mereka memiliki ciri khas masing-masing yang membedakan satu dengan yang lainnya.

Claire Holt dalam buku Melacak Jejak Perkembangan Seni di

Indonesia, terj. R.M. Soedarsono (2000)11, khususnya pada “Seni

Plastis Bali: Tradisi Dalam Perubahan”, menguraikan proses perkembangan kebudayaan di Bali, yang dipengaruhi oleh berbagai kebudayaan luar seperti kebudayaan India, Cina, beberapa negara di Asia Tenggara, juga tercampur lewat kontak-kontak dengan kerajaan Hindu dari Jawa, serta dengan kebudayaan Barat. Di dalamnya juga banyak informasi mengenai sejarah perkembangan seni rupa di Bali, yang terjadi setelah berinteraksi dengan hadirnya beberapa seniman asing seperti Walter Spies dan Rudolf Bonnet, pada sekitar tahun 1930-an.

11 Claire Holt (1967), Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia,

terj. R.M. Soedarsono (Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukkan Indonesia, 2000), 241-267.

(13)

I Wayan Seriyoga Parta dalam sebuah artikel yang berjudul “Modernisasi dan Transformasi Seni Lukis Bali pada Karya I Gusti

Nyoman Lempad”,12 menulis mengenai hal yang serupa, bahwa

tidak dapat dipungkiri masuknya arus modernisasi yang dibawa oleh kolonialis Belanda bersama kaum orientalis-antropologis, sekaligus seniman, telah membawa perubahan yang sangat besar bagi seni lukis Bali. Hal ini didukung kesadaran raja Ubud dalam

menanggapi perkembangan jaman, dengan mengadopsi

modernisasi. Dalam artikel ini penulis lebih spesifik mengulas karya I Gusti Nyoman Lempad.

Dari ulasan di atas belum ada yang meneliti secara mendalam mengenai kontinuitas dan perubahan pada visualisasi seni lukis tradisional Pengosekan, dan faktor-faktor yang memengaruhi, maka penelitian ini layak untuk dilakukan.

E. Landasan Teori

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yang berusaha untuk mengungkap mengenai kelangsungan dan perubahan seni lukis tradisional Pengosekan yang terjadi dari tahun 1980 sampai tahun 2013, ditinjau dari segi visual karya. Penelitian ini menggunakan pendekatan multidisiplin, dengan teori estetika sebagai pendekatan utama, dan didukung oleh beberapa teori

12 I Wayan Seriyoga Parta, “Modernisasi dan Transformasi Seni Lukis

Bali Pada Karya I Gusti Nyoman Lempad” dalam ARS Jurnal Seni Rupa dan Desain, nomor: XI/ September-Desember 2010 (Yogyakarta: FSR ISI Yogyakarta, 2010), 35-48.

(14)

yang meminjam dari disiplin ilmu lain. Pendekatan yang digunakan antaralain, sejarah yang dipakai untuk mengungkap sejarah desa Pengosekan dan latar belakang perkembangan seni lukis tradisionalnya, dan teori perubahan budaya yang digunakan untuk mengetahui proses perubahan pada visualisasi seni lukis tradisional Pengosekan.

Dalam hal pokok-pokok kajian tersebut dipandang perlu menjelaskan beberapa konsep yang termuat di dalamnya. Konsep yang dimaksud adalah suatu ide atau pengertian yang terkandung pada sejumlah istilah yang digunakan, dan berhubungan langsung dengan pokok-pokok kajian. Seperti diketahui ada konsep atau definisi yang berbeda terhadap suatu istilah atau disiplin di kalangan ahli, maka dari itu beberapa konsep atau pengertian yang dimaksud dalam karya ini adalah sebagai berikut.

Dalam pengertian kebudayaan, istilah tradisi atau tradition

sering ditafsirkan sebagai hal yang terkait dengan unsur-unsur kepercayaan, keyakinan, dan nilai-nilai yang diwariskan dari

generasi ke generasi melalui proses pembudayaan (enculturation),

atau yang dalam istilah sosiologi adalah sosialisasi.13 Apabila

pengertian tradisi tersebut dikaitkan dengan kata seni, yaitu seni tradisi maka dapat diartikan sebagai seni yang di dalamnya

13 Charlotte Seymour Smith, Macmillan Dictionary of Anthropology

(London and Basingtoke: the Macmillan Press Ltd., 1998), 279.

(15)

terkandung nilai kepercayaan atau keyakinan yang dalam hal bentuk, fungsi, dan proses perwujudannya bersifat kolektif,

berulang-ulang, dan secara turun-temurun.14

Dari pengertian di atas, secara sepintas seni tradisi dipahami sebagai bentuk kebudayaan yang telah baku, atau sudah mencapai kesempurnaan, sehingga sudah tidak lagi disempurnakan. Apabila dicermati lebih jauh, sesungguhnya seni tradisi bukanlah seni yang purna atau seni yang sama sekali tidak

berubah. Seperti diungkapkan Mardimin dalam buku Jangan

Tangisi Tradisi, seni tradisi pada dasarnya adalah seni yang tidak statis, karena keberadaannya dari generasi ke generasi selalu mengalami tahapan penyempurnaan. Semestinya seni tradisi

dimaknai sebagai seni yang dinamis (dynamic art), dalam

pengertian seni yang senantiasa membuka diri terhadap

kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan (adaptive art).15

Berkaitan dengan seni lukis tradisional Bali, Agus Demawan

T. dalam buku Bali Bravo menyatakan batasan-batasan atas kata

tradisional yang melingkupi wilayah pengertian: 1) seni lukis yang dikerjakan dengan teknik tradisional, 2) seni lukis yang dikerjakan dengan teknik modern, namun dengan pola pikir dan pola

14 Slamet Subiyantoro, “Perubahan Fungsi Seni Tradisi: Upaya

Rasionalisasi Terhadap Pengembangan dan Pelestarian Kebudayaan”, dalam

SENI Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni, VI/04-Mei (Yogyakarta: BP ISI

Yogyakarta,1999), 345.

15 Mardimin, Jangan Tangisi Tradisi (Yogyakarta: Kanisius, 1994),

144-148.

(16)

penciptaan khas pelukis tradisional Bali.16 Kaitannya dengan

lukisan tradisional Pengosekan, untuk pasal yang pertama dapat diambil contoh lukisan milik I Gusti Ketut Kobot, yang masih murni tradisional baik dari segi teknik pengerjaan, alat, maupun bentuk visual secara keseluruhan, jelas dapat dimasukkan dalam wilayah seni lukis tradisional Bali. Saat ini juga banyak pelukis Pengosekan yang menggabungkan teknik melukis tradisional dengan modern, dengan pertimbangan efisiensi waktu pengerjaan. Jika diamati dari pengaturan komposisi, ruang gambar, dan bentuk secara keseluruhan, lukisan yang dihasilkan masih mencerminkan seni lukis tradisional Bali. Para pelukis juga masih menggunakan kuas dan pena dari bambu, yang dibuat sendiri secara tradisional.

Mike Susanto dalam buku Diksi Rupa menyatakan bahwa

seni lukis tradisional Pengosekan adalah seni lukis yang tumbuh di desa Pengosekan, Ubud. Objek lukisannya menggambarkan dunia burung dan tumbuhan, dengan bentuk dekoratif dan warna yang mencolok. Gaya lukisan ini semarak pada tahun 1980-1990-an, beriringan dengan minat turis domestik dan internasional

untuk mengoleksinya.17 Hal ini sependapat dengan Agus

Dermawan T. yang menyatakan bahwa sekitar tahun 1980-an, di

16 Dermawan T., 2007, 23.

17 Mike Susanto, Diksi Rupa: Kumpulan Istilah Seni Rupa (Yogyakarta:

Penerbit Kanisius, 2002), 301.

(17)

desa Pengosekan berkembang seni lukis dengan tema flora dan fauna, yang merupakan perkembangan dari seni lukis tradisional gaya Ubud.

Jadi dapat disebutkan bahwa lukisan tradisional Pengosekan adalah salah satu gaya seni lukis tradisional Bali yang muncul pada tahun 1980-an, dan merupakan pengembangan dari seni lukis tradisional gaya Ubud. Gaya lukisan ini bercirikan warna-warna yang cerah, dan bentuk-bentuk dekoratif, yang menggambarkan flora dan fauna. Selain lukisan bertema flora dan fauna, di Pengosekan juga tetap berkembang lukisan mitologi dan kehidupan sehari-hari yang telah ada sebelumnya.

Dalam buku yang berjudul Art as Image and Idea (1967),

Feldman menjelaskan bahwa suatu karya seni dapat ditinjau dari beberapa aspek, yaitu: 1) Fungsi Seni, 2) Gaya Seni, 3) Struktur Seni, 4) Interaksi Media dan Makna, 5) Kritik Seni. Dari kelima aspek di atas, yang akan digunakan untuk mengungkap gaya dan ciri khas lukisan tradisional Pengosekan adalah teori mengenai gaya dan struktur seni. Teori ini juga akan didukung oleh teori

lainnya milik Terry Barret dalam buku Criticizing Art

Understanding the Contemporary (1994).

Feldman menyebutkan bahwa gaya seni merupakan pengelompokan atau klasifikasi karya-karya seni melalui waktu,

(18)

pada umumnya berdasarkan sifat dan kualitas, seperti bentuk dan unsur yang mengandung kesamaan tertentu dan sekaligus juga

memperlihatkan sifat dan kualitas berbeda.18

Mengkaji struktur sebuah karya seni adalah mempelajari unsur-unsur atau elemen visual dari suatu karya seni, serta bagaimana unsur-unsur tersebut disusun dan diorganisasi menjadi suatu karya. Elemen dalam seni rupa meliputi bentuk, warna, garis, dan tekstur. Prinsip pengorganisasian unsur visual atau prinsip desain meliputi kesatuan, keseimbangan, ritme, dan

proporsi.19

Berkaitan dengan teori di atas Terry Barret menjelaskan, bahwa manakala kritikus mendiskusikan bentuk suatu karya seni, kritikus itu memberikan berbagai informasi yang menerangkan bagaimana seorang seniman menyampaikan materi subjek karyanya melalui medium yang dipilih, membicarakan komposisinya, mendiskusikan aransemennya, dan konstruksi visualnya. Kaitannya dengan elemen visual karya seni, menurut Barret elemen-elemen formal suatu karya seni meliputi titik, garis, shape, cahaya, tekstur, massa, ruang, dan isi, sedangkan pengorganisasian elemen-elemen formal tersebut dapat dikatakan sebagai prinsip-prinsip desain yang meliputi skala, proporsi,

18 Edmund Burke Feldman, Art As Image And Idea (Englewood Cliffs,

New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1967).

19 Edmund Burke Feldman, 1967, 219.

(19)

unity/kesatuan/kepaduan dalam keragaman, repetisi, ritme, keseimbangan, kekuatan arah, kontras, penekanan, dominasi, dan

subordinasi.20

Terkait dengan perubahan pada budaya tradisi, dijelaskan bahwa perubahan tersebut dapat terjadi karena faktor dari dalam maupun dari luar. Perubahan yang berasal dari dalam disebut

sebagai endogenous changes, yaitu segala perubahan yang timbul

dari dalam budaya tradisi dan dilakukan oleh pelaku-pelaku kebudayaan itu sendiri. Perubahan yang berasal dari luar disebut exogenous changes, yang mendapatkan pengaruh dan dilakukan oleh orang-orang dari luar lingkup budaya tersebut. Perubahan

yang terjadi secara endogenous, juga tidak menutup kemungkinan

merupakan akibat pengaruh faktor-faktor exogenous dari luar.21

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa perubahan yang terjadi pada budaya tradisi dapat terjadi karena adanya aspek yang mengkait antara dua faktor tersebut di atas.

Perubahan yang muncul dari dalam bukan merupakan pemaksaan dari luar, namun merupakan pertumbuhan dari dalam budaya dan lingkungan tradisi. Hal ini merupakan pengkayaan terhadap apa yang sudah ada, meskipun setiap unsur yang berubah tidak selalu dapat diterima oleh masyarakatnya maupun

20 Terry Barret, Criticizing Art Understanding the Contemporary second

edition (Mountain View: Mayfield Publishing Company, 2000), 66.

21 Edward Shils, Tradition (Chicago: The University of Chicago Press,

1983), 213.

(20)

oleh generasi penerusnya. Perubahan yang terjadi juga kerap muncul seiring dengan perkembangan lingkungan masyarakat, yang mencoba menjawab tantangan dan memecahkan segala masalah yang timbul dalam budaya tradisinya. Daya kreatif yang muncul sebagai implementasi dari setiap pemecahan masalah, selalu diikuti oleh solusi yang dapat membuka pemikiran baru yang dituangkan dalam bentuk pengkayaan tersebut. Selain adanya pengkayaan, tidak tertutup kemungkinan adanya pengurangan unsur-unsur yang sudah usang atau tidak seiring dengan perkembangan jaman. Hal ini tentu akan menjadikan suatu perubahan, yang dapat dikatakan sebagai faktor yang muncul dari dalam.

Faktor exogenous adalah semua faktor yang berasal dari luar

lingkungan budaya tradisi, yang karena keberadaannya mampu memengaruhi budaya tradisi menuju pada perubahan. Adapun hasilnya merupakan bentuk akulturasi, yang menjadi awal suatu perubahan signifikan terhadap keberadaan budaya tradisi yang ada.

Akulturasi akan terjadi apabila terdapat dua kebudayaan atau lebih yang berbeda sama sekali (asing dan asli), yang berpadu hingga terjadi proses-proses, ataupun penebaran unsur-unsur kebudayaan asing yang secara lambat laun akan diolah

(21)

sedemikian rupa kedalam kebudayaan asli, dengan tidak

menghilangkan identitas maupun keasliannya.22

Teori dan konsep-konsep di atas dalam penerapan, pembahasan, maupun analisisnya dapat digunakan secara bersamaan untuk saling melengkapi, agar terjawab permasalahan dalam penelitian ini.

F. Metode Penelitian dan Analisis Data 1. Batas-batas Objek dan Subjek

Penelitian ini mengambil objek lukisan tradisional Pengosekan, baik lukisan bertema flora dan fauna, mitologi, maupun kehidupan sehari-hari. Perkembangan hasil karya ketiga tema lukisan tersebut dipandang mampu menunjukkan adanya kelangsungan dan perubahan, akibat adanya pengaruh lingkungan, pendidikan, dan teknologi.

Adapun subjek kajian ini ialah tokoh penting yang diduga dapat memberikan kontribusi, antara lain: a) para pelukis tradisional yang ada di Pengosekan, b) seniman, budayawan, dan pengamat seni yang paham terhadap perkembangan seni lukis tradisional di Bali, c) para pengusaha, pemilik galeri, dan museum yang terlibat dalam pemasaran dan pendistribusian lukisan tradisional Pengosekan. Kontinuitas dan perubahan yang terjadi

22 Kodiran, “Akulturasi Sebagai Mekanisme Perubahan Kebudayaan”

dalam Jurnal Humaniora no. 8 Juni-Agustus 1998, 87.

(22)

pada seni lukis tradisional Pengosekan, dapat diamati dengan melakukan pengkajian terhadap faktor-faktor yang mungkin memengaruhi, seperti lingkungan, pendidikan, dan pariwisata, serta melalui tinjauan data tertulis, pengamatan pada karya-karya lukisan tradisional Pengosekan, serta pandangan para pakar, ahli, dan pelukis yang saat ini masih aktif di bidang profesinya.

2. Batas Spasial dan Temporal

Batasan waktu yang ditetapkan dalam kajian ini dimulai pada tahun 1980 sampai tahun 2013, dan terbagi atas tiga periode. Periode pertama dimulai dari tahun 1980 sampai tahun 1990, periode kedua dari tahun 1990 sampai tahun 2000, dan periode ketiga dari tahun 2000 sampai tahun 2013. Selama tiga periode tersebut banyak hal terjadi, yang dapat menunjukkan adanya kelangsungan dan perubahan pada visualisasi seni lukis tradisional Pengosekan.

Pada masa tersebut seni lukis tradisional Pengosekan banyak mengalami perubahan dari segi tema, warna, bentuk, pengaturan komposisi, ruang, dan teknik hingga menunjukkan ciri khas lukisan tradisional Pengosekan, dan tidak lagi meniru pada gaya lukisan tradisional Ubud.

Desa Pengosekan adalah daerah yang menjadi tempat penelitian. Penelitian ini juga menjangkau daerah-daerah sekitar Pengosekan yang memiliki kaitan langsung dengan perkembangan

(23)

lukisan ini, terutama daerah Ubud sebagai sentra pariwisata dan tempat penjualan lukisan ini.

3. Sumber Data dan Referensi

Metode pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dan arsip, dimaksudkan untuk menggali data tertulis dan dokumen visual tentang lukisan tradisional Pengosekan. Melalui pelacakan sumber tertulis dan arsip itu ditemukan penjelasan mengenai sejarah kelahiran dan perkembangan lukisan tradisional Pengosekan, berikut perubahan yang dipengaruhi oleh lingkungan, pendidikan, seni lukis modern, media informasi dan teknologi, dan pariwisata.

Metode Observasi lapangan digunakan untuk menggali data visual dari lukisan-lukisan tradisional Pengosekan, bertema flora dan fauna, mitologi, dan kehidupan sehari-hari, baik yang dikoleksi di museum, galeri, maupun koleksi pribadi pemiliknya. Hasil karya terbaru lukisan tradisional Pengosekan yang ditemui di studio-studio pelukis, atau di galeri-galeri seni juga dapat menjadi bahan pengamatan. Data visual ini dimaksudkan untuk menganalisis keberlanjutan dan perubahan pada visualisasi lukisan tradisional Pengosekan selama kurun waktu yang telah ditetapkan.

Metode Wawancara digunakan untuk mendapatkan data berupa informasi-informasi secara lisan mengenai seni lukis

(24)

tradisional Pengosekan dari tokoh pelukis, tokoh masyarakat, maupun budayawan sebagai pelengkap analisis yang dikembangkan. Adapun para informan tersebut adalah: Bapak Anak Agung Ngurah Muning selaku Kurator Museum Puri Lukisan Ratna Wartha Ubud, bapak Anak Agung Gde Rai selaku pemimpin Museum Seni Agung Rai (ARMA), Jero Dalang Wayan Tunjung sebagai tokoh masyarakat desa Pengosekan, serta I Dewa Kompyang Setiawan, I Dewa Putu Sena, I Gusti Putu Sana, I Dewa Nyoman Laba, I Gusti Kompyang Wardhana, I Dewa Sumarthana, I Ketut Narayana, dan I Dewa Made Bawa selaku tokoh masyarakat dan pelukis di desa Pengosekan.

4. Analisis Data

Sebagai penelitian kualitatif, analisis kajian juga menggunakan analisis kualitatif dengan rincian: pertama, data yang berhasil dihimpun, baik data pustaka, visual, maupun lisan, dikelompokkan dan diklasifikasikan sesuai jenis, sifat, karakter data. Pengelompokan dan pengklasifikasian itu menyangkut pengaruh internal dan eksternal sebagai pendorong terjadinya kelangsungan dan perubahan pada seni lukis tradisional Pengosekan.

Kedua, hasil pengolahan data tekstual yang telah dikonfirmasikan dengan data visual, data lapangan, dan hasil wawancara, dilanjutkan dengan pengujian dan interpretasi data

(25)

dilandasi sikap kritis dan selektif. Dengan demikian data yang diperoleh layak diangkat sebagai fakta dalam pembahasan. Hasil pengolahan data ini akan menjadi bahan penjelas mengenai terjadinya proses perubahan pada visualisasi lukisan tradisional Pengosekan.

G. Sistematika Penulisan

Agar dapat memahami secara keseluruhan isi dalam penulisan ini, secara garis besar dijabarkan dalam lima bab sebagai berikut:

Bab I. Berupa pengantar, latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II. Berupa Penjelasan mengenai keadaan geografis, sejarah desa Pengosekan, dan kehidupan sosial kemasyarakatannya.

Bab III. Berupa hasil penelitian terhadap seni lukis tradisional Pengosekan mengenai sejarah perkembangannya dari masa kerajaan sampai sekarang tahun 2013, dan ciri khas lukisan

Referensi

Dokumen terkait

Implementasi zakat fitrah antara lembaga pendidikan Islam dan lembaga pendidikan umum seperti halnya MI al-Ihsan dan SDN Bandar II seperti yang disebutkan di paragraf

Terkait teori yang digunakan dalam penelitian ini ada dua yakni teori Struktural Fungsional Talcott Parsonsdan teori Free Discovery Learning dari BrunerPada

Tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui keanekaragaman jenis phytotelmata dan serangga yang menempati genangan air phytotelmata di Sukaharum Kelurahan Batu Putuk Kecamatan

hlm.25.. 4 يبتكملا قيقحتلا .د يملعلا ثحبلا دجوي لم ،ثحابلا دنع يملعلا ثحبلا داك نكلو. ايواسم ،ثحبلا اذبه بتك نوثحابلا لوح ىليل نونمج ةصق اهنم :

Adalah alat pengamanan yang digunakan untuk memisahkan peralatan yang ada di gardu dari arus dan tegangan yang ada pada jaringan listrik, sehingga dapat dilakukan pemeriksaan

Kekuatan dalam Game Pemukul Serangga Berbasis Android ini adalah Game mempunyai sistem permainan yang mudah dimengerti, game tidak terlalu berat ketika

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa individu dengan sifat cuping melekat pada 100 sampel probandus pada masyarakat Desa Subaya, Kecamatan Kintamani,

Selain hal tersebut, pos piutang dalam neraca biasanya merupakan bagian yang cukup besar dari aktiva lancar dan oleh karena itu perusahaan perlu