A. Pendahuluan
Agama Hindu adalah agama yang pluralis. Hindu memberikan kebebasan jalan apa yang di tempuh oleh umatnya, karena ke pleksibelan ajaran hindu maka ajaran hindu dilaksanakan sesuai dengan budaya setempat. Akan tetapi simbul-simbul tradisi bali berkembang hampir ke seluruh Indonesia, misalnya bentuk tembok Pura, Banten, nama-nama Dewa, berpakaian adat ke Pura, begitu juga Ngaben. Dalam hal
ngaben, tidak bisa lepas dengan kewajiban
masyarakat Hindu Bali atau sering disebut Hutang kepada Orang Tua.Hidup sebagai manusia terikat oleh kewajiban, antara lain Tri
Rnam. Salah satu dari Rnam yang wajib kita
lakukan adalah Pitra Rnam. Pitra Rnam adalah persembahan suci kepada leluhur .Leluhur yang dimaksud adalah ibu, bapak,
GLOKALISASI SIMBUL-SIMBUL AJARAN HINDU BALI
DI INDONESIA
Oleh
I Made Dharmawan
Abstrak
Agama Hindu adalah agama yang pluralis. Hindu memberikan kebebasan jalan apa yang di tempuh oleh umatnya, karena ke pleksibelan ajaran hindu maka ajaran hindu dilaksanakan sesuai dengan budaya setempat. Akan tetapi simbul-simbul tradisi bali berkembang hampir ke seluruh Indonesia, misalnya bentuk tembok Pura, Banten, nama-nama Dewa-dewa, berpakian adat ke Pura begitu juga Ngaben. Dalam hal ngaben, tidak bisa lepas dengan kewajiban masyarakat Hindu Bali atau sering disebut Hutang kepada Orang Tua.Hidup sebagai manusia terikat oleh kewajiban, antara lain Tri Rnam. Salah satu dari Rnam yang wajib dilakukan adalah Pitra
Rnam.
Glokalisasi adalah mengglobalkan yang local. Dalam hal ini simbul aksara-aksara suci hindu bali, ngaben di globalkan. Hampir keseluruh Indonesia yang ada hindunya, tradisi local ngaben di globalkan begitu juga nama-nama dewa.Di dalam tubuh manusia dari lahir sampai meninggal terdapat dewa-dewa yang menempati tubuh manusia.Di dalam tubuh manusia dewa-dewa itu disimbulkan dengan aksara suci. Menurut analisis dalam Lontar Tutur Bhuana Mahbah diuraikan Bhatara Siwa sebagai penciptaan Alam semesta sampai terjadinya Eka Aksara (Om Kara), Dwi Aksara (Ang Ah), Tri Aksara (Ang Ung Mang), Panca Aksara (Sa, Ba, Ta, A, I) Dasa Aksara (Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, Ya) sampai Dasa Bayu (I, A, Ka, Sa, Ma, Ra, La, Wa, Ya, Ung).
kakek, nenek, buyut dan lain-lainnya yang merupakan garis keatas,yang menurunkan kita.Upacara leluhur dalam tradisi Hindu disebut dengan sradha.Hal ini dijelaskan dalam Manawa Dharma Sastra sebagai dasar hukum, pelaksanaan upacara Pitra Yajòa dalah sebagai berikut:Pitra Yajòa yang harus kamu lakukan, hendaknya setiap harinya melakukan sradha dengan mempersembahkan nasi dengan air dan susu, dengan umbi-umbihan.Dan dengan demikian ia menyenangkan para leluhur (M.D.S.1.82)
Dalam Ithiasa Ramayana, memberikan landasan hukum akan adanya Pitra Yajòa,Sangat bijaksana Sang Dasrata, tahu dan paham beliau pada Weda, selalu bhakti kepada Dewa, dan tidak pernah lupa memuja leluhur,
beliau selalu kasih dan sayang pada keluarga semua (Ramayana 1.3)Melaksanakan Pitra yajòa adalah kewajiban pretisentana (pewaris). Sebelum selesai melaksanakan Pitra yajòa ini, ia belum berhak mewarisi .Tugas pretisentana adalah sampai melinggihan dan memujanya di sanggah kemulan. Setelah kewajiban ini dilaksanakan, barulah pretisentana berhak atas waris. Pitra yajòa yang berarti korban suci kepada leluhur, secara garis besarnya dapat dibagi menjadi dua yaitu : Memeliharanya dengan baik semasih hidupnya, Menyelenggarakan upacara setelah kematiannya
Memelihara orang tua ketika masih hidup antara lain dengan cara memelihara kesehatannya, dan menjamin ketenangan batinnya, dan selalu memuaskan bathinnya. Memuaskan batin orang tua dapat ditempuh dengan bermacam-macam cara.Cara yang terpenting adalah selalu mengindahkan nashatnya dan memohon restu untuk segala tindakan yang akan kita ambil. Inilah pelaksanaan Pitra Yajòa , ketika orang tua masih hidup.
Pelaksanaan upacara Pitra Yajòa stelah kematian adalah menyelenggarakan upacara pembersihan jenasah (sawa) untuk mempercepat pengembalian unsur panca maha bhutanya pada asalnya, kemudian menyelenggarakan upacara rohnya (atma) untuk dapat kembali kepada asalnya sesuai dengan subha asubha karmanya. Adapun perincian upacara kemantian adalah :
1. Membersihkan jasadnya (mresihan sawa) 2. Mendem sawa sementara karena sesuatu
hal belum bisa deaben atiwa-atiwa 3. Ngaben atiwa-atiwa
4. Ngrorasin mamungkur/ nyekah.
Upacara dari 1 sampai 4 disebut sawa wedana, yang artinya menyelenggarakan upacara terhadap sawanya yang pokok. Sedangkan upacara ngeroras adalah upacara penyucian rohnya atau atma wedeana. Roh atau
atma yang telah disucikan disebut Dewa pitara, yaitu yang telah mencapai tingkatan dewa (Sidhathadewata)
Dalam pelaksanaan upacara pitra yajna yang dilakukan oleh Umat Yang beragama Hindu khususnya di Bali terkadung pada Desa,Kala dan Patra. Sebagai pedoman dalam pelaksananan upacara ngaben (pitra yajna). Beberapa lontar menjelaskan tata cara melaksanakan upacara untuk orang yang sudah meninggal. Diantaranya adalah lontar Yama Purana Tattwa,Yama Purwwa Tattwa, Yama Purwana Tattwa. Selain itu juga simbul-simbul hindu bali banyak yang di globalkan yaitu aksara-aksara suci yang ada dalam tubuh manusia beserta nama dewa-dewanya. B. Pembahasan
Glokalisasi adalah mengglobalkan yang local. Dalam hal ini simbul aksara-aksara suci hindu bali, ngaben di globalkan. Hampir keseluruh Indonesia yang ada hindunya, tradisi local ngaben di globalkan begitu juga nama-nama dewa.Di dalam tubuh manusia dari lahir sampai meninggal terdapat dewa-dewa yang menempati tubuh manusia.Di dalam tubuh manusia dewa-dewa itu disimbulkan dengan aksara suci.Menurut analisis dalam Lontar Tutur Bhuana Mahbah diuraikan Bhatara Siwa sebagai penciptaan Alam semesta sampai terjadinya Eka Aksara (Om Kara), Dwi Aksara (Ang Ah), Tri Aksara (Ang Ung Mang), Panca Aksara (Sa, Ba, Ta, A, I) Dasa Aksara (Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, Ya) sampai Dasa Bayu (I, A, Ka, Sa, Ma, Ra, La, Wa, Ya, Ung). Kaitannya dengan lontar tutur mahbah saat dunia ini kosong belum ada siapa-siapa maka saat itu bernama PARAMA SIWA, kemudian lama-kelamaan muncul energy panas, dingin dari bawah (muladara cakra) bercampur, dia pelan-pelan naik kemudian muncul cahaya.Adanya energy dan adanya cahaya disaat itulah kalau dikaitkan pengalaman meditasi dalam lontar tutur mahbah di sebut dengan SADA SIWA.Setelah itu berkali-kali
terjadi dalam meditasi maka munculah Sidhi (kekuatan) pada diri orang masing-masing, masing-masing orang berbeda dengan yang lainnya.Setelah itu terus mengalami gejolak-gejolak pikiran atau gejolak-gejolak energy dalam tubuh maka munculah ciptaan dalam kaitannya dengan lontar tutur mahbah disebut SIWA. Jadi dapat di simpulkan menjadi TRI PURUSA ; PARAMA SIWA-SADA SIWA, SIWA dari TRI PURUSA inilah muncul Eka Aksara (Om Kara), Dwi Aksara (Ang Ah), Tri Aksara (Ang Ung Mang), Panca Aksara (Sa, Ba, Ta, A, I) Dasa Aksara (Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, Ya) sampai Dasa Bayu (I, A, Ka, Sa, Ma, Ra, La, Wa, Ya, Ung).
Aksara tersebut bisa digunakan apa saja oleh manusia sesuai dengan keahlian atau Sidhi orang masing-masing. Selain itu juga dalam pengetahuan modern,agama manapun, suku manapun boleh masuk Hindu, karena tidak hanya sembahyang yang dimiliki Hindu. Banyak jalan yang dimiliki hindu antara lain ; karma marga yoga, bakti marga yoga, jnana marga yoga, raja marga yoga. Jalan tersebut bisa dipilih sesuai denga situasi dan kondisi.Memberikan toleransi kepada umat manusiadengan keberaneka ragaman suku, agama karena semakin memperlihatkan kepanatikan yang positif akan menimbulkan saling toleransi terhadap umat lain nantinya yang ujung-ujungnya akan dikagumi oleh bangsa lain karena sejak zaman dulu bali dikenal dengan keramahtamahan dan toleransinya
Selain itu juga yang di glokalisasi adalah pakaian hindu bali dimana hindu bali berbeda dengan yang lainnya, disamping itu juga adat bali berisi filosofi yang mana udengnya (pengikat kepala) menandakan mengikat indria begitu juga cara/bentuk kain (kamen) laki atau perempuan, dimana yang kanan menutupi bagian kiri bagi yang laki-laki, bagi laki-laki kainnya juga lancip ke bawah sebagai simbul Purusa. Sebagian besar orang hindu di Indonesia menggunakan pakaian adat bali kalau ke pura. Sedangkan bagi yang perempuan
sebaliknya yaitu datar sebagai simbul pradana/ perempuan sehingga semakin sering diikat badannya semakin baik untuk mengendalikan indrianya, selain itu juga sisi positipnya akan dipandang baik oleh masyarakat hindu sekitarnya. Di samping itu juga semakin sering berpikiran pluralis di sebuah tempat aura tempat tersebut semakin bagus karena dari hari-kehari aura pluralis mengelilinginya.Apalagi bau harum dupa, semerbak bunga, dan percikan/pancaran pikiran akan mengalir/memancar ditempat itu, lebih-lebih sebagai tempat belajar yaitu tempat mencari sanghyang aji saraswati yaitu mencari ilmu pengetahuan. Aji sama dengan pengetahuan. Saraswati artinya cantik, memikat dan mengalir.Jadi Sang Aji Saraswati adalah Pengetahuan yang memikat mengalir, yang artinya pengetahuan harus disebar luaskan.
Disamping itu juga menggunakan pakaian adat bali kelihatan lebih cakep lebih berwibawa, serta lebih lembut dan wajah keliatan bercahaya karena pengaruh dari aura alam semesta (bhuana agung) dengan bhuana alit (tubuh) saling menyatu sehingga menyebabkan pikiran lebih tenang, dan bersahaja
Dari uraian Tri Purusa, Aksara diatas maka munculah yang terakhir sebagai ciptaannya adalah PANCA TAN MATRA, dari panca tanmatra ini muncullah yang terakhir sebagai ciptaan adalah PANCA MAHA BHUTA. PANCA TAN MATRA diantaranya SABDA TAN MATRA (ruang kosong) RASA TAN MATRA (benih dari rasa), SPARSA TAN MATRA (benih dari sentuhan), RUPA TAN MATRA (benih dari RUPA), GANDHA TAN MATRA (benih penciuman). Dari kelima PANCA TAN MATRA berubahlah dia lagi menjadi PANCA MAHA BHUTA (AKASA, BAYU, TEJA, APAH, PERTIWI) yang merupakan elemen alam semesta beserta isinya, begitu juga tubuh manusia berasal dari hal tersebut.
Mahkluk beserta isinya tidak bisa lepas dari Dewa Siwa asal dari semua Para Dewa maupun mahluk lainnya beserta isi dari jagat
raya ini, hanya banyak nama orang suci yang menyebutkan banyak nama. Selain itu juga yang banyak di globalkan adalah Ganesa.Ganesa adalah Dewa penghalau rintangan.Penghalau rintangan karena secara filsafat ilmu Dewa Ganesa berada pada kepala manusia. Seorang murid dari Maharesi Mahesyogi guru meditasi Transcental Meditation yang bernama Toni Nider Ram meneliti bahwa Ganesa itu berada di bagian otak manusia sama persis bentuknya seperti yang sering dilihat dalam patung Ganesa. Letaknya di bagian kepala, dengan logika kalau kepala/pikirannya terganggu atau kotor maka pekerjaannya tidak akan berhasil, begitu sebaliknya kalau kepala/pikiran orang itu bersih, jernih maka apapun yang dilakukan akan berhasil, makanya sebelum melakukan sesuatu di sarankan agar yang pertama harus memuja Dewa Ganesa. Dengan mantra “Om Sri
Gurubyo namaha Hariom Gananam Twa Ganam Patigum hawamahi Kawin-kawinam upamasra wastaraman jyestra rajam Brahmanam, brahmanaspataha, prano dewi saraswati wajibir, wajiniwati, dhinam srawan awrti-awretu, Sri Ganesa ya namaha, Saraswati ya Namaha, Sri Guru Byo Namaha Hari Om” atau mantra yang
pendek sambil berjapa “Om Gam Ganapati
Ya Namah”. Selain itu juga bisa digunakan
mantra “Om Awignamastu Namasidam” inti arti dari pada mantra ini adalah Semoga tidak ada halangan
Begitu juga dalam berbagai aktifitas semua manusia wajib memuja dewa ganesa, baik dalam hidupnya maupun menjelang meninggal agar berjalan dengan baik tanpa hambatan.Manusiayang telah lahir ke dunia , terdiri dari dua unsur yaitu : unsur jasmani dan rohani. Menurut ajaran Agama Hindu bahwa manusia terdiri dari tiga lapisan yaitu :Raga
Sarira, Suksma Sarira dan Antahkarana Sarira. Raga Sarira adalah badan
kasar.Badan yang dilakhirkan karena nafsu (ragha) antara ibu dan bapak.Suksma Sarira adalah badan astral, atau badan halus yang
terdiri dari alam pikiran, perasaan, keinginan, dan nafsu (Citta,Manah Indriya dan
Ahamkara).Antahkarana Sarira adalah yang
menyebabkan hidup atau Sanghyang
Atma.Ragha Sarira atau badan kasar manusia
terdiri dari unsur Panca MahaBhuta, yaitu :Prthiwi, apah, teja, bayu, dan angkasa.
Prthiwi adalah unsur tanah , yakni
bagian-bagian badan yang padat, apah adalah zat cair , yakni bagian-bagian badan yang cair, seperti darah, kelenjar. Teja adalah api yakni panas badan (suhu). Bayu adalah angin, yaitu nafas.Dan akasa adalah ether, yakni unsur badan yang terhalus yang menjadi rambut, kuku.
Proses terjadinya Ragha Sarira adalah sebagai berikut, Sari-sari Panca MahaBhuta yang terdapat pada berbagai jenis makanan terdiri dari enam rasa yang disebut sad
rasayaitu :Madhura (manis), Amla (asem), Tikta (pahit), Kothuka (pedas), Ksaya(sepet)
dan Lawana (asin) . Sad Rasa tersebutdimakan diminum oleh manusia laki maupun perempuan. Dalam tubuhnya diproses disamping menjadi tenaga, ia menjadi kama, kama bang (sperma wanita) dan kama putih( sperma laki-laki). Dalam pengsegamaan kedua kama ini bertemu dan bercampur melalui pengentalan menjadilah dia janin, badan bayi. Sisanya menjadi air nyom, darah, lamas dan ari-ari.
Percampuran kedua kama ini dapat menjadi janin, bilamana atma masuk atau turun kedalamnya. Atma ini masuk kedalam unsur kama yang bercampur ini,ketika ibu dan bapak dalamkeadaan lupa, dalam asyiknya menikmati rasa. Disamping Panca Maha Bhuta yang kemudian menjadi janinikut juga Panca Tan Matra yakni benih halus dari Panca Maha Bhuta itu.Panca Tan matra ini dalam janin bayi juga memproses dirinya menjadi Suksma Sarira yakni Citta, manah, Indrya dan Ahamkara. Citta terdiri dari tiga unsur yang disebut Tri Guna, yaitu: Satwam, Rajas dan Tamas. Ketiga unsur ini membentuk akhlak manusia . Manah adalah alam pikiran dan perasaan, Indrya alam
keinginan dan ahamkara adalah alam keakuan. Unsur-unsur tersebut disebut Suksma Sarira .Alam transparan ini dapat merekam dan menampung hasil-hasil yang dikerjakan oleh badan rasa atas pengendalian Citta tadi. Bekas-bekas ini nantinya merupakan muatan bagi si Atma yang akan pergi ke alam pitra.
Ketika manusia itu meninggal, Suksma
Sarira dengan Atma akan pergi meninggalkan
badan. Atma yang sudah begitu lama menyatu dengan sarira, atas kunkungan Suksma Sarira, sulit sekali meninggalkan badan itu.Padahal badan sudah tidak dapat difungsikan, lantaran beberapa bagiannya sudah rusak.Hal ini merupakan penderitaan bagi Atma.
Untuk tidak terlalu lama Atma terhalang perginya, perlu badan kasarnya diupacarakan untuk mempercepat proses kembalinya,kepada sumbernya di alam, yakni Panca Mahabhuta. Demikian juga bagi Sang Atma perlu dibuatkan upacara untuk pergi ke alam pitara dan memutuskan keterikatannya dengan badan kasarnya . Proses inilah yang disebut ngaben.
Kalau upacara Ngaben ini tidak dilaksanakan dalam kurun waktu yang cukup lama , badan kasarnya akan menjadi bibit penyakit, yang disebut bhuta cuwil, dan atmanyaakan mendapatkan neraka, seperti yang dijelaskan dalam Tattwa Loka Kretti:
“ Yan wwang mati mapçndhçm ring prathiwi salawasnya tan kineman widhi-widhana,byata matçmahan rogha ning bhuana, haro-haro gering mrana ring rat, atemahan gadgad…”
Artinya:
“ Kalau orang mati ditanam pada tanah, selamanya tidak diupacarakan diaben, sesungguhnya akan menjadi penyakit bumi, kacau sakit mrana di dunia, menjadi gadgad ( tubuhnya) Lempiran 5 a.
“ Kunang ikang sawa yan tan inupakara Atmanya mandadi neraka, munggwing tgal panangsaran, mangebekin wadhuri ragas,katiksnan
panesning surya, manngis ingsek-ingsek, sumambe anak putunya, sang kadi maurip lingnya: duh anakku bapa, tan hana mantra wlas ta ring kawitanta, maweh bubur mwang we atahap, akeh mami madruwe, tan hana wawanku mati, kita juga mawisesa, anggen den abecik-becik, tan eling sira ring rama rena, kawitanta. Weh tirtha pangentas, jah tasmat kita, santananku, wastu kita amangguh alphayusa, mangkana temahning Âtma papa ring santana
(Tattwa Loka Krettih lem 11 b) Artinya:
“Adapun sawa yang tidak diupacarakan (ngaben) atmanya akan berada di neraka, bertempat di tegal yang sangat panas, yang penuh dengan pohon madhuri reges, terbakarnya oleh sengatan matahari, menangis tersedu-sedu, menyebut anak cucunya yang masih hidup. Katanya oh anakku, tidak sedikit belas kasihanmu kepada leluhurmu, memberikan bubur dan air seteguk, saya dulu punya tidak ada yang saya bawa, kamu juga menikmati, pakai baik-baik , tidak ingat sama ayah ibu. Air tirt pengentas, pemastuku, semoga kamu umur pendek, demikian kutukannya. Dasar-dasar pikiran tersebut menjadi landasan danya upacara ngaben itu. Dalam hal ini semua simbul-simbul hindu yang di uraikan diatas ada dalam Ngaben. Aksara-aksara suci tersebut yang di muat dalam kajang maupun yang lainnya ada dalam ngaben C. Penutup
Pada saat kosong belum ada siapa-siapa maka saat itu bernama PARAMA SIWA, kemudian lama-kelamaan muncul energy panas, dingin dari bawah (muladara cakra) bercampur, dia pelan-pelan naik kemudian muncul cahaya.Adanya energy dan adanya cahaya disaat itulah kalau dikaitkan pengalaman meditasi dalam lontar tutur mahbah di sebut
dengan SADA SIWA.Setelah itu berkali-kali terjadi dalam meditasi maka munculah Sidhi (kekuatan) pada diri orang masing-masing, masing-masing orang berbeda dengan yang lainnya.Setelah itu terus mengalami gejolak-gejolak pikiran atau gejolak-gejolak energy dalam tubuh maka munculah ciptaan dalam kaitannya dengan lontar tutur mahbah disebut SIWA. Jadi dapat di simpulkan menjadi TRI PURUSA ; PARAMA SIWA-SADA SIWA, SIWA dari TRI PURUSA inilah muncul Eka Aksara (Om Kara), Dwi Aksara (Ang Ah), Tri Aksara (Ang Ung Mang), Panca Aksara (Sa, Ba, Ta, A, I) Dasa Aksara (Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, Ya) sampai Dasa Bayu (I, A, Ka, Sa, Ma, Ra, La, Wa, Ya, Ung).
Aksara tersebut bisa digunakan apa saja oleh manusia sesuai dengan keahlian atau Sidhi orang masing-masing. Selain itu juga dalam pengetahuan modern.agama manapun, suku manapun boleh masuk Hindu, karena tidak hanya sembahyang yang dimiliki Hindu. Banyak jalan yang dimiliki hindu antara lain ; karma marga yoga, bakti marga yoga, jnana marga yoga, raja marga yoga. Jalan tersebut bisa dipilih sesuai denga situasi dan kondisi. Memberikan toleransi kepada umat manusia dengan keberaneka ragaman suku, agama karena semakin memperlihatkan kepanatikan yang positif akan menimbulkan saling toleransi terhadap umat lain nantinya yang ujung-ujungnya akan dikagumi oleh bangsa lain karena sejak zaman dulu bali dikenal dengan keramahtamahan dan toleransinya
Daftar Pustaka
Aryanatha. 2014. Ngaben Beya Tanem. Klungkung : Ashram Gandhi Puri
Alwasilah, A. Chaedar. 2002. Pokoknya
Kualitatif. Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif.Jakarta
: Pt. Dunia Pustaka Jawa
Burhan Bungin. 2006. Metodologi Penelitian
Kualitatif.Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada
Bagus. I Gusti Ngurah. 2005. Kebudayaan
Bali dalam Koenkjaraningrat (Ed). ManusiadanKebudayaan di Indonesia,
Jakarta:Jambatan
Bernard Raho, SVD. Teori Sosiologi
Modern.Jakarta : Prestasi Pustaka
Driyarkara. 2001. Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Kanisisius
Edi Mulyono. 2012. Belajar Hermeneutika. Banguntapan Jogyakarta : IRCiSoD Fatchan. 2004. Teori-teori Perubahan
Sosial.Surabaya : Yayasan Kampusina
Ida Ayu Putu Surayin. 2004.Pitra
Yajna.Surabaya : Paramita
Kantor Dokumentasi Budaya Bali. 1997. Teks,
alih aksara dan alih bahasa lontar.
Denpasar
Kantor Dokumentasi Budaya Di seluruh bali. 1997. Teks, Alih Aksara Dan Alih
Bahasa Lontar. Denpasar :Provinsi
Daerah Tingkat I Di seluruh bali
Kaelan. 2011. Model Penelitian Kualitatif
Inderdisipliner. Yogyakarta:
Lorens Bagus. 2000. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Moleong, Lexy, J. 1993. Metodelogi
Penelitian Kualitatif. Bandung : PT.
Remaja Rosda Karya.
Neuman, W Lawrence. 2003. Sosial Research
Methods, Qualitative and Quantitative Approach. AB, Boston : New York.
Robert H. Lauer. 1989. Perspektif tentang
Perubahan Sosial. Jakarta : Bina Aksara.
Sugiyono.2010.Metode Penelitian
Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D).Bandung: Alfabeta.
Pasek Swastika. 2008. Ngaben. Denpasar : CV. Kayumas Agung
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Poerwadarmito. 1989. Kamus Besar Bahaa
Indonesia Edisi I. Jakarta: Balai Pustaka
Putra, Sadia. 1998. Wraspati – Tattwa.
Paramita : Surabaya
Pudja. 2003. Manawa Dharmasastra. Jakarta : Pustaka Mitra Jaya
Sanderson. 1993. Paradigma Kebudayaaan. Jakarta: PT. Pustaka
Sudikan, Setya Yuana. 2001. Metode
penelitian kebudayaan. Surabaya : Citra
Wacana.
Salim, Agus. 2001. Teori dan Paradigma
Penelitian Sosial (dari Densin Guba dan
Penerapannya). Yogyakarta : PT. Tiara Wacana.
Sudikan, Setya Yuana. 2001. Metode
penelitian kebudayaan. Surabaya : Citra
Wacana.
Sugiyono, 2006.Metode Penelitian
Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung : Alfabeta
Suharsimi, A. 2006.Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktis.Jakarta : Rineka
Cipta.
Yin, Robert. K. 2000. Studi Kasus (Desain
dan Metode).Jakarta : PT Grafindo
Yama Purwana Tatwa. Teks alih Aksara dan
alih bahasa. Pusdok Propinsi Bali
Wikarman, 2002.Ngaben dalam tingkat
sederhana sampaiutama. Surabaya :
Paramita
Zubaendi, 2012.Desai Pendidikan Karakter. Jakarta. kencana Prenada Media Group.