• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSPRESI VERBAL PENDERITA STROKE PENUTUR BAHASA MINANGKABAU: SUATU ANALISIS NEUROLINGUISTIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EKSPRESI VERBAL PENDERITA STROKE PENUTUR BAHASA MINANGKABAU: SUATU ANALISIS NEUROLINGUISTIK"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

EKSPRESI VERBAL PENDERITA STROKE

PENUTUR BAHASA MINANGKABAU:

SUATU ANALISIS NEUROLINGUISTIK

Gusdi Sastra

Universitas Andalas, Padang Abstract

One of the common disorders in verbal expression can be seen among stroke patients. Stroke is a medical problem caused by a blockage in the blood of the blood vessels that transport blood to the brain, leading to hemorrhage or disfunction of brain. When the linguistic function is disrupted, linguistic disturbances occur. Various linguistic disturbances (generally known as aphasia) can be studied or analyzed by observing the language disorder of stroke patients.

Language disorders are described in this paper by using the speech-disturbance theory, namely the phonological errors and production theory by Kohn (1993), Blumstein (1994) and Auden & Bastiaanse (1999). The research methodology of the study is the psycho-neurolinguistic method involving case observation and natural observation among stroke patients who are speakers of the Minangkabau language. Data were obtained from stroke patients undergoing treatment at a hospital in Bukittinggi, West Sumatera, Indonesia. The verbal expressions of stroke patients, who are speakers of the Minangkabau language, occur in various forms of verbal errors, namely, verbal replacement error (32%), verbal abolition (48%), verbal nonsequences (10%), verbal additon (4%), and verbal abbreavition (5,5%).

PENDAHULUAN

Bahasa merupakan sarana komunikasi antarindividu dalam kehidupan sehari-hari, meliputi bahasa lisan, tulisan, isyarat, dan kode lainnya. Bahasa membuat manusia bisa berkomunikasi, menciptakan keindahan, menyampaikan perasaan, dan meneruskan pengetahuan serta kebudayaan dari satu generasi kepada generasi yang lain. Bahasa juga sarana untuk mengemukakan ide dan konsep selain untuk berdialog dan bersosialisasi.

Bahasa dalam proses komunikasi dapat berupa bahasa verbal dan non-verbal. Bahasa verbal digunakan untuk menyampaikan pikiran secara lisan, sedangkan bahasa non-verbal digunakan untuk menyampaikan fikiran secara tulisan dan isyarat. Menurut Smith (1969), manusia dalam berkomunikasi sehari-hari lebih banyak menggunakan bahasa verbal dibandingkan dengan bahasa non-verbal.

Dalam penggunaan komunikasi verbal, setiap manusia dibekali oleh kemampuan berbahasa, tetapi kemampuan tersebut tidak selalu sama, ada yang

(2)

normal dan ada yang tidak normal. Normal artinya mampu berbahasa menurut kaidah linguistik seperti tekanan, struktur bahasa, intonasi, dan sebagainya, sedangkan tidak normal artinya tidak mampu berbahasa menurut konteks manusia normal sehingga komunikasi tidak memenuhi sasaran.

Manusia yang tidak bisa berbahasa secara normal banyak ditemui dalam masyarakat. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kerusakan pada bagian syaraf bahasa di otak karena sesuatu hal, kerusakan pada alat-alat artikulasi, dan tekanan mental. Di samping itu, ada juga yang kehilangan kemampuan untuk menyampaikan isi pikiran dengan lisan yang disebut juga dengan afasia motorik kortikal (Kusumoputro 1993). Walaupun penderita mampu memahami bahasa lisan dan tulisan, namun ia tidak berupaya mengungkap ekspresi verbal dan hanya kadang-kadang dapat memaknai ekspresi non-verbal.

Salah satu dari gangguan ekpresi verbal dan non-verbal yang sering ditemui kasusnya sehari-hari ialah pada penderita stroke. Penyakit stroke adalah suatu gangguan peredaran darah di otak yang lazim menimpa orang-orang yang berusia di atas 40 tahun, tetapi akhir-akhir ini juga ditemukan kasus yang menimpa orang-orang berusia dibawah 40 tahun, atau bahkan juga anak-anak. Selain gejala kelumpuhan, cacat bahasa merupakan gejala yang umum terjadi pada penderita stroke. Bila penyakit stroke meyerang hemisfer kiri, penderita akan mengalami kesukaran dalam menggunakan ekspresi verbal dan non-verbal.

Penyakit stroke dapat menyerang siapa saja, bangsa dan suku apa saja, penutur mana dan di mana saja, baik laki-laki maupun perempuan. Gejala yang menunjukkan jumlah prosentase tertinggi di Indonesia yang mengalami penyakit stroke akhir-akhir ini adalah penutur bahasa Minangkabau, khususnya penutur bahasa Minangkabau yang menetap di wilayah Sumatera Barat (Sujudi 2002). Karena gaya hidup dan kebiasaan pola makan orang Minang dicurigai memicu banyak kasus penyakit stroke, pada bulan Mei 2002 diresmikan sebuah rumah sakit yang khusus menangani penyakit stroke di Bukittinggi, Sumatera Barat.

Walaupun kajian tentang afasia atau gangguan berbahasa telah banyak dilakukan, misalnya Jakobson (1971), Blumstein (1973, 1994), Ouden dan Bastiaanse (1994), Irnawati (1997), dan Suhardiyanto (2000), penelitian yang khusus membahas penyakit stroke dan gangguan berbahasa yang dialami oleh penutur berbahasa Minangkabau secara lebih mendalam belum dilakukan. Untuk itulah penelitian ini dilakukan sehingga diperoleh gambaran tentang ekpresi verbal penderita stroke penutur bahasa Minangkabau yang dikaji berdasarkan ilmu syaraf dan linguistik. Beberapa tujuan yang hendak dicapai dalam makalah ini, antara lain, adalah:

(1) Mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan penyakit stroke di kalangan penutur bahasa Minangkabau, (2) Mengidentifikasi beberapa bentuk ekspresi verbal penderita stroke penutur bahasa Minangkabau yang telah didiagnosa oleh dokter ahli syaraf sebagai gangguan pada hemisfer kiri, (3) Menyusun ekspresi verbal penderita stroke berdasarkan jenis cacat bahasa yang terjadi, (4) Membedakan kemampuan linguistik penderita stroke dengan ke-mampuan non-linguistiknya, dan (5) Membedakan bentuk ekspresi verbal pen-derita stroke dalam hal aspek fonologi dan leksikal.

(3)

TEORI

Penelitian ini menggunakan teori gangguan pertuturan penderita afasia yang dikembangkan oleh Geschwind (1981) dan Thomas (1991). Untuk teori mengenai pelbagai jenis kesilapan bahasa, dipakai teori kesilapan fonologi dari Blumstein (1994), Auden dan Bastiaanse (1999), dan proses kata dari Kohn (1993).

Gangguan pertuturan didefinisikan di sini sebagai kesulitan seseorang dalam menghasilkan suatu tuturan secara lancar. Geschwind (1981) mengatakan bahwa penderita afasia motorik mengalami kesulitan dalam mengucapkan suatu kata sehingga penderita menampakkan gejala ekspresi verbal yang tidak fasih. Hal itu disebabkan karena adanya kerusakan pada medan Broca. Afasia Broca menyerang korteks motorik hemisfer bagian depan dan menyebabkan gangguan mengontrol otot muka, lidah, dagu, dan juga tekak. Lumpuhnya otot pertuturan karena kerusakan saraf motorik di pusat saraf menyebabkan penderita mengalami gangguan pertuturan.

Thomas (1991) mengatakan bahwa hemisfer kiri berfungsi untuk mengatur gerakan tubuh sebelah kanan. Ia mengawal indra sebelah kanan seperti rasa, penglihatan, pendengaran, dan pertuturan lebih kurang 99 persen, serta mempengaruhi tangan kanan. Sementara itu, hemisfer kanan berfungsi untuk mengatur gerakan bagian tubuh sebelah kiri.

Menurut Blumstein (1994), kesilapan fonologi pada penderita cacat bahasa dapat berupa penggantian fonem, penambahan fonem, penghilangan fonem, dan asimilasi. Bentuk asimilasi dibagi lagi menjadi kesilapan lingkungan dan ketidakteraturan. Kesilapan fonologi atau kesilapan penyeder-hanaan adalah pengguguran sebuah fonem atau suatu bentuk kesilapan fonem. Blumstein mengatakan bahwa pengguguran tidak hanya berlaku pada sebuah fonem saja, tetapi juga pada beberapa fonem pada kata yang sama, bahkan juga pengguguran unsur yang berstruktur suku kata.

Berbeda dengan Blumstein, Kohn (1993) mengatakan bahwa asimilasi adalah suatu bentuk kesilapan tersendiri yang menyebabkan terjadinya bentuk kesilapan penambahan dan penggantian. Konteks fonem lingkungan dapat mempengaruhi kesilapan pembentukan fonem, sedangkan kesilapan tersebut menyebabkan terjadinya penggantian dan penambahan fonem.

Di dalam hal memproduksi kata, Kohn (1993) mengatakan bahwa kesilapan fonologi dan kesilapan proses leksikal mengisyaratkan tiga tahapan, yaitu tahap fonologi, tahap fonemik, dan tahap fonetik. Pada tahap fonologi, berlangsung pemanggilan leksikon fonologi; pada tahap fonemik, terjadi peng-gambaran segmen berdasarkan pada bentuk simpanan leksikon; dan pada tahap fonetik, tersusun bentuk artikulator fonetik yang disertai dengan informasi fonologi yang peka konteks. Kohn juga menyinggung proses penghasil pertuturan dalam satuan penghasil kata tunggal. Menurut Kohn, sebuah unsur leksikal dipicu oleh komponen semantik dan kemudian diproduksi melalui proses artikulasi yang dapat menguraikan bentuk kesilapan pertuturan ekspresi penderita stroke.

TEMPAT DAN SUBJEK PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Nasional Khusus Stroke, Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia untuk mengumpulkan data primer. Data didapat dari

(4)

penderita stroke penutur bahasa Minangkabau, baik yang dirawat di Rumah Sakit maupun yang menjalani rawat jalan. Oleh sebab itu, penelitian juga dilakukan di rumah tempat tinggal penderita.

Subjek penelitian dipilih 2 orang, yaitu 1 subjek tunggal dan 1 subjek bandingan. Hal ini dilakukan berdasarkan konsep penyelidikan satu kasus. Subjek penelitian mempunyai persyaratan seperti berikut: (1) Penutur menggunakan tuturan bahasa Minangkabau saja, (2) Keluarga penutur menggunakan bahasa yang sama dengan penutur, (3) Lingkungan linguistik penutur sebelum menderita stroke, seperti tempat tinggal dan tempat kerja, adalah lingkungan yang menggunakan bahasa yang sama dengan penutur. Di samping itu, subjek yang dijadikan sampel penelitian ini adalah penderita yang sudah diketahui informasi medisnya dari dokter atau ahli neurologi di Rumah Sakit Khusus Stroke.

Penderita yang menjadi subjek penelitian adalah penderita yang meng-alami stroke yang bukan merupakan hemoragik berat. Pemilihan etiologi atau penyebab sindrom afasia yang diderita subjek penelitian adalah penyakit serebro-vaskuler atau CVA, yang mengenai area di lobus frontal dan temporal-parietal-oksipital. Pemilihan tersebut berdasarkan pada teori bahwa penderita afasia semacam ini cenderung menderita afasia kortikal. Afasia jenis ini mudah diamati secara linguistik karena adanya kerusakan otak, baik pada titik Broca atau Wernicke, dan juga titik-titik lain pada hemisfer kiri.

Selain itu, penderita yang menjadi sampel penelitian tidak mengalami cacat pada lobus oksipital yang mengakibatkan gangguan visual. Penderita juga tidak mengalami disartria dan apraksia pertuturan. Dengan demikian, penderita yang menjadi sumber data ialah penderita yang sedang dalam perawatan, baik di Rumah Sakit maupun yang menjalani rawat jalan dan yang sedang mengikuti terapi bahasa.

MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan kaedah psiko-neurolinguistik dalam mengumpulkan data, yaitu merekam, merasa, dan memahami fenomena yang sebenarnya terjadi, baik dalam diri subjek individu, dengan cara menganalisisnya secara intensif, maupun mengamati perkembangan subjek di lingkungannya (Dani 1992).

Adapun tahap-tahap yang digunakan untuk mengumpulkan data ialah observasi analitik, studi kasus, dan observasi alami. Observasi Analitik ialah suatu cara mengumpulkan data yang hanya dapat digunakan terhadap komunitas bahasa sendiri saja, suatu ketrampilan yang sangat baik untuk tujuan penelitian (Saville-Troike 1991). Cara ini bukan saja mutlak untuk membuktikan bahwa setiap subjek mempunyai lingkungan bahasa dan persoalan mengenai berbagai aspek bahasa, tetapi juga merupakan jawaban dari perspektif komunitas subjek yang diteliti. Peneliti bersikap memahami fenomena subjek yang sebenarnya terjadi dan langsung memahami sesuatu data bahasa berdasarkan intuisi dan kemampuan linguistiknya. Secara analitik, peneliti mempunyai pengetahuan tentang data bahasa yang akan dikaji. Selain menggunakan intuisi, peneliti membuat generalisasi berdasarkan data yang terkumpul dari korpus bahasa.

Tahap kajian studi kasus terhadap subjek, merupakan kajian yang bersifat ekplorasi, artinya kasus yang dialami adalah sebagai sistem yang tidak bebas dalam suatu penelitan psiko-neurolinguistik. Menurut Shughnessy dan Zechmeister (1994), kajian studi kasus merupakan deskripsi dan analisis

(5)

terhadap data subjek. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan 2 subjek penderita stroke pada tempat penyelidikan yang sudah ditentukan. Disamping itu, penelitian ini menggunakan sumber observasi alami, yakni dengan cara menempatkan diri sebagai pengamat dan pelaku pertuturan, baik dengan penderita maupun dengan keluarga penderita. Dengan demikian peneliti mem-punyai keupayaan untuk menguji hipotesis dan memperoleh reaksi mengenai bentuk dan gejala komunikasi penderita.

Pendekatan yang dilakukan dalam menganalisis data adalah secara kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif diperlukan untuk menguraikan sistem ekspresi verbal penderita stroke yang didapat dari pelbagai bentuk kesilapan, baik fonologi maupun leksikal. Kesilapan yang diuraikan adalah penggantian, pengguguran, penambahan, ketidakteraturan, dan pemendekan verbal, sedangkan pendekatan kuantitatif diperlukan untuk menjelaskan kesilapan berdasarkan bilangan. Langkah berikutnya adalah mengklasifikan berdasarkan kesilapan yang ditemukan untuk masing-masing subjek dan memperkirakan bentuk kecenderungan yang akan muncul, melakukan tabulasi dan jumlah prosentase terhadap data yang telah dikelompokkan menurut kesamaan bentuk.

Untuk mendapatkan data, peneliti menggunakan alat kajian berupa alat rekaman, daftar tanyaan, dan gambar. Untuk menjawab tujuan 2, 3, dan 4, data dari korpus dianalisis secara kuantitatif, sedangkan tujuan 1 dan 5 coba dicapai dengan data kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, ditemukan bahwa penyakit stroke pada penderita penutur bahasa Minangkabau disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) individu mengalami masalah jantung, (2) individu menghidap penyakit darah tinggi atau hipertensi, (3) kolesterol darah yang tinggi, (4) merokok, (5) kurang melakukan kegiatan fisik, (6) berat badan yang berlebihan atau obesitas, (7) gaya hidup dan pola makan yang tidak seimbang, dan (8) stress. Pelbagai faktor tersebut merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan tersumbat atau pecahnya pembuluh darah di otak sehingga menyebabkan kematian sel-sel otak dan tidak berfungsinya syaraf yang berhubungan dengan kemampuan bahasa penderita.

Dari ke empat penderita yang menjadi sampel penelitian, ditemukan bahwa penderita mewakili setiap faktor resiko karena setiap faktor resiko saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Faktor resiko penyakit stroke hampir bersamaan dengan faktor risiko penyakit jantung koroner. Penelitian ini tidak terfokus kepada tipe stroke hemoragik sehingga penderita yang menjadi sampel tidak semuanya menderita penyakit jantung koroner dan mempunyai tekanan darah tinggi. Data pelbagai faktor resiko tersebut dirangkum dalam tabel berikut:

(6)

Faktor resiko Penderita A B Jantung koroner Hipertensi Kolesterol Merokok Kurang aktivitas Obesitas Gaya hidup Stress - + + - + + + + - + + - ++ ++ + -

Obesitas pada penderita menyebabkan munculnya faktor resiko lain seperti hipertensi, diabetes, dan penyakit jantung korener. Apabila kegiatan fisik berkurang, zat makanan yang menumpuk dalam tubuh akan menjadi lemak. Gaya hidup orang Minang dalam penelitian ini dilihat berdasarkan pola makan dan pekerjaan sehari-hari penderita. Pengolahan makanan sehari-hari yang banyak menggunakan kelapa sebagai sumber utama lemak, begitu juga dengan lemak dari hewan seperti daging sapi. Lemak jenuh yang berasal dari santan kelapa dan bercampur dengan lemak jenuh dari hewan seperti sapi dalam bentuk gulai dan goreng-gorengan akan menghasilkan kadar lemak jenuh yang tinggi dan ini merupakan faktor resiko tinggi terjadinya penumpukan kolesterol jahat dalam tubuh. Kurangnya kegiatan fisik disebabkan oleh pekerjaan penderita yang lebih menggunakan otak daripada kegiatan fisik, yaitu sebagai dosen dan pegawai negeri. Di samping itu, faktor stres yang dialami oleh penderita A, menyebabkan banyaknya keluar hormon adrenalin dan katekolamin. Kedua hormon ini mendorong ketegangan arteri koroner sehingga kerja jantung menjadi terganggu.

Penderita stroke yang telah didiagnosa mengalami gangguan di hemisfer kiri otak mengalami gangguan pertuturan. Gangguan tersebut wujud dalam pelbagai bentuk ekspresi verbal. Gejala yang nampak ialah sulitnya penderita melafalkan suatu tuturan secara lancar. Ekspresi verbal penderita menjadi tidak fasih karena terjadinya kerusakan di area Broca yang menye-babkan tidak berfungsinya syaraf-syaraf yang mengontrol otot muka, lidah, dagu, dan tekak. Pelbagai bentuk ekspresi verbal yang ditemukan dari penelitian ini ialah verbal penggantian, pengguguran, penambahan, tidak berurutan, dan pemendekan.

Verbal penggantian adalah kemampuan penderita strok dalam me-nyampaikan pikiran secara verbal, dalam menirukan bunyi sehingga menye-rupai bunyi yang dimaksud walaupun secara silap. Upaya tersebut dilaku-kannya apakah dengan cara mengubah bunyi maupun dengan proses asimilasi, misalnya: tujuah ‘tujuh’ Æ tajah, tajan, kurang Æ kareng, lupo ‘lupa’ Æ luko ‘luka’, dsb. Verbal pengguguran maksudnya adalah proses gugurnya suatu fonem dari yang seharusnya sehingga terjadi suatu kesilapan bunyi tuturan penderita stroke. Pengguguran fonem tidak saja terjadi pada satu fonem, tetapi adakalanya juga pada beberapa fonem pada kata yang sama, bahkan pada unsur yang berstruktur suku kata, misalnya: darah Æ dar, dirampok Æ dilam, minyak Æ mak, dsb. Verbal penambahan terjadi apabila suatu fonem atau suku kata tambahan dimasukkan ke dalam suatu perkataan, misalnya: dingin Æ dingkin, indak ‘tidak’ Æ tinggak, limo ‘lima’ Æ limam, dsb. Verbal tidak

(7)

berurutan maksudnya adalah kesilapan karena lingkungan fonem yang mempengaruhinya, baik antara suku kata maupun antara fonem. Penderita cenderung menyederhanakan suku kata dalam bentuk fonem yang tidak berurutan, baik dengan cara menggugurkan atau menghilangkannya, maupun dengan cara menukar letaknya dari lingkungan fonem yang mempengaruhinya, misalnya: karajo ‘kerja’ Æ karaj, keraj, sumatera Æ musa, minyak Æ nyakmu, dsb. Sedangkan verbal pemendekan ialah suatu bentuk kesilapan yang disebabkan karena pemendekan kata yang terjadi dalam suatu bahasa, ia bukanlah akronim, tetapi terjadi karena kebiasaan yang tidak disengaja oleh penutur bahasa Minangkabau dalam suatu pertuturan, misalnya: mengapa Æ nga, kembali Æ liak, bila Æ lo, dsb. Kesilapan verbal pemendekan ini adalah suatu temuan khusus dalam penelitian afasia, karena satu-satunya bentuk kesilapan verbal yang berbeda dari beberapa penelitian seperti yang dikaji oleh Blumstein (1994).

Kesilapan verbal penggantian dan pengguguran menunjukkan prosentase yang cukup tinggi. Hal ini menandakan bahwa penderita mengalami sindrom afasia yang beragam pada awalnya dan berakhir dengan sindrom afasia Broca. Kesilapan verbal pengguguran sebanyak 48 persen, membuktikan bahwa penderita menghidap sindrom afasia Broca, karena ia kesulitan dalam mengawal impuls neuron secara motorik sehingga cendrung menyederhanakan pertuturan dengan cara menggugurkan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diperoleh perbandingan kelima bentuk kesilapan verbal penderita stroke penutur bahasa Minangkabau, yaitu 32:48:4:10:5,5.Banyaknya jumlah kesilapan pengguguran dan penggantian, manandakan bahwa penderita strok mengalami gangguan pada tahap pengkodean fonologi. Menurut Kohn (1993), karena mengalami gangguan dalam memproduksi fonem, penderita cenderung menggugurkan bunyi guna mencapai aspek fonetik sebuah pertuturan. Perbandingan kelima bentuk kesilapan verbal tersebut seperti terlihat dalam grafik berikut:

Cacat bahasa yang terjadi pada penderita stroke disebabkan karena kacau-balaunya pikiran. Akibat terganggunya area bahasa pada otak sebelah kiri, perintah dari otak pun tidak jelas sehingga bahasa yang dituturkan menjadi tidak beraturan walaupun sebenarnya internal bahasanya lengkap. Cacat bahasa penderita stroke terwujud dari kelima jenis bentuk kesilapan, sedangkan segmen bunyi terlihat melalui fitur distingtif yang terjadi melalui kesilapan penggantian vokal dan konsonan.

Dalam mengganti vokal, penderita cenderung mengganti vokal tinggi dan vokal rendah, sedangkan jenis vokal yang sering terganti adalah vokal pusat. Dalam pembentukan vokal, penderita sering melakukan kesilapan dalam

0 100 200 300 400 pgt pgr pbhn tdk brtn pmdkn

(8)

menghasilkan vokal tinggi dan vokal rendah. Hal ini menunjukkan bahwa penderita mengalami kesulitan dalam membuka rongga mulut dengan sempurna. Gerakan lidah dan rahang yang maksimal untuk membentuk vokal tinggi dan vokal rendah tidak berfungsi karena terganggunya sistem otot dan syaraf kranial.

Berkaitan dengan kesilapan bunyi konsonan, perubahan akan terjadi pada fitur distingtif tempat, cara, dan kebersuaraan bunyi. Konsonan yang sering gugur ialah konsonan dental-alveolar dan labial. Oleh sebab itu, kesilapan berawal dari konsonan anterior seperti labial, dental, dan alveolar ke arah posterior seperti velar dan faringal. Kesilapan penggantian vokal terjadi pada satu fitur distingtif, sedangkan kesilapan konsonan terjadi pada dua atau lebih fitur distingtif.

Kemampuan linguistik dan non-linguistik penderita stroke penutur bahasa Minangkabau dapat dilihat dari modalitas bahasa yang nampak melalui gejala pertuturan verbal yang tidak fasih. Kemampuan tersebut meliputi hal-hal berikut:

Gejala Modalitas Bahasa

Kecepatan pertuturan Menurun, tidak mampu, suka diam

Keupayaan Menurun, cendrung merasa tidak mampu

Tekanan pertuturan Menurun, cendrung melemah Isi pertuturan Mengutamakan tujuan dan objek Intonasi Tidak ada

Pelbagai kemampuan linguistik tersebut sangat ditentukan oleh aspek non-linguistik seperti tekanan mental dan perasaan tidak berarti dalam hidup.

Kesulitan penderita dalam bertutur, muncul dalam berbagai tahapan modalitas bahasa dan ekspresi verbalnya. Ciri verbal tersebut adalah sebagai berikut:

Modalitas Bahasa Ciri Verbal Bahasa

Pertuturan wajar Tidak fasih, tidak normal dan silap Faham pendengaran Normal dan positif

Pengulangan Tidak normal, tidak fasih, negatif

Penamaan Tidak normal dan negatif

Membaca Normal, faktor bukan linguistik

Menulis Tidak normal dan negatif

Kemampuan linguistik penderita stroke nampak melalui pelbagai bentuk kesilapan yang direalisasikan melalui cacat fonologi dan leksikal. Kesilapan disebabkan karena perintah otak yang mengirim impuls neural ke beberapa syaraf kranial yang tersilap, yaitu syaraf fasial yang mengawal otot wajah, syaraf trigeminal yang mengawal otot rahang, dan syaraf hipglosal yang mengawal otot lidah. Penderita stroke umumnya mengalami gangguan pada syaraf-syaraf kranial tersebut sehingga ia tidak mempu mengawal modalitas bahasa.

Berdasarkan aspek fonologi dan leksikal, penafsiran kata-kata diperoleh dari leksikal ke dalam kode-kode fonologi yang disebut juga dengan tahap pengkodean fonologi. Apabila terdapat kekacauan informasi fonologi pada tahap ini, akan dihasilkan kesilapan segmen melalui pelbagai fitur distingtif.

(9)

Pelbagai informasi fitur distingtif berupa rancangan fonetik, akan disusun ke dalam satuan program titik artikulasi yang bersifat motorik pada ta-hap artikulasi. Setelah itu akan dikirim ke saraf kranial yang terkait, sedangkan pesan motorik akan ditafsirkan oleh saraf kranial dengan menggerakkan alat-alat artikulasi. Pergerakan alat-alat artikulasi akan menimbulkan sebuah pertuturan. Bentuk-bentuk kesilapan yang terjadi dapat dihubungkan dengan suku kata di mana setiap suku kata terdiri dari tiga usur, yaitu onset, puncak, dan koda. Segmen yang menjadi puncak suku kata ialah vokal, sedangkan kedu-dukan onset dan koda akan diisi oleh konsonan.

Apabila dibandingkan kesilapan antara segmen vokal dengan konso-nan, maka nampak kesilapan vokal lebih sedikit, yaitu sebanyak 21 persen berbanding 44 persen. Kenyataan ini sesuai dengan pendapat Darwin (2000) yang mengatakan bahwa apabila seseorang mendapat stroke, area yang perta-ma sekali terluka tidak saja lobus frontal, tetapi juga area temporal-parietal-oksipital, yaitu pusat perintah bahasa yang mengawal syaraf-syaraf motorik bunyi konsonan. Perbandingan jumlah kesilapan kedua segmen tersebut terangkum dalam diagram berikut:

Apabila dihubungkan dengan suku kata, ketidakberurutan fonem mun-cul dengan membentuk gugus konsonan menjadi konsonan tunggal dan melalui pertukaran onset dan koda. Pertukaran vokal dan konsonan antara sukukata muncul secara terpisah dalam jumlah yang dominan.

Kesilapan fonem sering muncul pada bagian akhir atau suku kata terakhir dan pada bagian awal kata atau suku kata awal. Pada bagian awal dengan cara melakukan inisiasi atau pengulangan sehingga subjek mengalami anomia. Gangguan ini disebabkan karena tidak lancarnya mekanisme pengiriman impuls neuron dan pengaturan artikulasi.

Kesilapan leksikal yang sering muncul dalam penelitian ini adalah ke-silapan pada bagian awal dan akhir perkataan, yaitu sebanyak 29 persen bagian awal dan 62 persen bagian akhir. Hal ini disebabkan oleh struktur morfologis bahasa Minangkabau yang memungkinkan tingginya kesilapan bagian awal dan akhir.

Di samping itu, cacat leksikal dapat dilihat dari terapi linguistik yang telah dilakukan. Dengan adanya terapi linguistik penderita akan memiliki rasa percaya diri untuk berkomunikasi dengan lawan tutur, yaitu dengan melalui kaidah terapi perilaku, terapi intonasi, dan perbandingan pendengaran. Kesembuhan penderita stroke penutur bahasa Minangkabau juga sangat ditentukan oleh kemampuan non-linguistik seperti motivasi, ekspresi diri, dan aspek sosial. Walaupun upaya terapi dan kemampuan non-linguistik sangat

0 50 100 150 200 250 1 2 3 4 5 vokal konsonan

(10)

menentukan, tidak ada jaminan bahwa pertuturan penderita stroke akan sembuh total sebagaimana manusia normal. Faktor “semangat hidup” justru lebih berperan dalam upaya kesembuhan seorang penderita stroke.

PENUTUP

Kemampuan linguistik penderita stroke penutur bahasa Minangkabau sangat ditentukan oleh pelbagai faktor, terutama adalah faktor gaya hidup dan latar belakang keluarga penderita sebelum dan setelah mengalami stroke. Kefasihan dan ketidakfasihan penderita dalam berkomunikasi juga ditentukan oleh faktor terapi linguistik yang diberikan, berat ringannya stroke yang dialami penderita, dan aspek non-linguistik seperti motivasi, pembiasaan diri atau sikap, dan aspek sosial penderita.

Kemampuan berbahasa penderita stroke penutur bahasa Minangkabau, menunjukkan gejala tidak fasih tetapi cukup paham dengan bahasa lawan tutur. Tuturan penderita kelihatan tidak lancar dan selalu menggunakan kalimat-kalimat pendek, tidak mempunyai intonasi sehingga terasa datar, dan banyak menggunakan kata benda saja. Hal ini disebabkan karena terganggunya impuls syaraf kranial yang menjaga otot rahang penderita. Oleh sebab itu, terjadilah pelbagai kesilapan bunyi vokal dan konsonan.

Proses yang terjadi di otak sewaktu menghasilkan suatu tuturan, khususnya kata-kata dan unsur leksikal, digambarkan melalui gejala kesilapan. Pada bentuk kesilapan verbal tidak berurutan dan kesilapan pengguguran, terjadi penyusunan informasi fonologi berupa fitur distingtif dalam satuan penyusunan artikulatorik. Meskipun fitur tersebut disusun dalam pola tertentu secara berurutan, penderita akan mengacaukannya dalam bentuk verbal yang tidak berurutan seperti metatesis. Hal itu terjadi karena tidak berfungsinya sistem pengawal motorik sehingga beberapa segmen bunyi menjadi terbalik dan saling berpengaruh.

Akhirnya, sebagai peneliti dan lawan tutur penderita stroke penutur bahasa Minangkabau saya menemukan suatu ciri yang signifikan, yaitu bahwa verbal pemendekan yang dapat membantu pemahaman terhadap tuturan verbal penderita penutur bahasa Minangkabau adalah suatu bentuk verbal kesilapan yang khusus jika dibandingkan dengan bahasa lainnya yang pernah dikaji dari sudut neurolinguistik.

DAFTAR PUSTAKA

Benson, D. F. 1979. Aphasia, Alexia, and Agraphia. New York: Churchill Livingstone.

Blumstein, Sheila E. 1973. A Phonological Investigation of Aphasic Speech. The Hague: Mouton.

______. 1994. “Neurolinguistics: An Overview of Language – Brain” dalam Language: Psychological and Biological Aspects, ed. F.J. Newmeyer, 210 – 36. Cambridge: Cambridge University Press.

(11)

Caplan, D., M. Vanier, dan C. Baker. 1989. “A Case Study of Reproduction Conduction Aphasia I: Word Production” dalam Cognitive Neuropsychology, 3: 99-128.

Dardjowidjojo, Soenjono. 1981. “Dasar-dasar Neurofisiologis dalam Penguasaan Bahasa” dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra, 5/2: 16 – 31.

______. 1991. “Pemerolehan Fonologi dan Semantik pada Anak: Kaitannya dengan Penderita Afasia” dalam PELLBA 4: Linguistik Neurologi, ed. Soenjono Dardjowidjojo, 63 – 82. Yogyakarta: kanisius.

______. 1991. PELLBA 4: Linguistik Neurologi. Yogyakarta: Kanisius.

______. 2003. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Geschwind, Norman. 1981. “Specializations of the Human Brain” dalam Human Communication: Language and Psychobiological Bases, Reading from Scientific America, ed. William S-Y. Wang, 110 – 19. San Fransisco: W.H. Freeman and Company.

Gleason, Jean Berko dan Nan Bernstein Ratner (ed.). 1993. Psycholinguistics. Forth Worth: Harcourt Brace Jovanovich College Publishers.

Gordon, F. 2000. Stroke: Panduan Latihan Lengkap. The Cooper Clinic and Research Institute Fitness Series. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Harsono. 1999. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gadjah Mada

Univesity Press.

Jakobson, Roman. 1971. Studies on Child Language and Aphasia. Janua Linguarum Series Minor. The Hague: Mouton.

Kaswanti Purwo, Bambang. 1991. “Perkembangan Bahasa Anak: Pragmatik dan Tata Bahasa” dalam PELLBA 4: Linguistik Neurologi, ed. Soenjono Dardjowidjojo, 157 – 188. Yogyakarta: Kanisius.

Kohn, Susan E. 1988. “Phonological Production Deficits in Aphasia” dalam Phonological Processes and Brain Mechanism, ed. H.A. Whitaker, 93 – 117. New York: SpringerVerlag.

Kridalaksana, Harimurti. 1993. “Bantuan Linguistik untuk Meringankan Penderita Cacat Bahasa “. Makalah dalam Seminar Sehari Neurolinguistik, Fakultas Sastra UI, Depok, 1 Mei 1993.

Kusumoputro, Sidiarto. 1981. “Bahasa dan Saraf Manusia” dalam Pengembangan Ilmu Bahasa dan Pembinaan Bangsa, ed. Harimurti Kridalaksana, 256 – 267. Ende: Nusa Indah.

_____. 1991. “Berbagai Gangguan Berbahasa pada Orang Dewasa” dalam PELLBA 4: Linguistik Neurologi, ed. Soenjono Dardjowijojo, 33 – 55. Yogyakarta: Kanisius.

_____. 1992. Afasia: Gangguan Berbahasa. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. _____. 1993a. “Penanganan Orang Dewasa yang Cacat Bahasa”. Makalah dalam

Seminar Sehari Neurolinguistik, di Fakultas Sastra UI, Depok, 1 Mei 1993.

_____. 1993b. Afasia: Gangguan Berbahasa. Jakarta: FKUI.

Lenneberg, Eric H. 1967. Biological Foundations of Language. New York: John Wiley & Sons.

Lumbantobing, S.M. 2000. Neurologi Klinik: Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: FKUI.

_____. 2003. Stroke: Bencana Peredaran Darah di Otak. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

(12)

Markam, Soemarmo. 1991. “Hubungan Fungsi Otak dan Kemampuan Berbahasa pada Orang Dewasa” dalam PELLBA 4: Linguistik Neurologi, ed. Soenjono Dardjowidjojo, 21 – 31. Yogyakarta: Kanisius.

Niemi, Jussi., Paivi Koivuselka-Sallinen, dan Ritva Hanninen. 1985. “Phoneme Errors in Broca’s Aphasia: Three Finnish Cases” dalam Brain and Language, 26: 28 – 48.

Nunan, David. 1992. Research Methods in Language Learning. Cambridge: Cambridge University Press.

Obler, K., Oraine dan Kris Gjerlow. 1999. Language and the Brain. Cambridge: Cambridge University Press.

Ouden, Dirk Bart den dan Roelien Bastiaanse. 1999. “Three Different Patterns of Phonological Disturbance in Aphasia” dalam Brain and Language, 69, 3, 349 – 51.

Sidharta, Priguna. 1989. “Segi Medis Gangguan Ekspresi Verbal” dalam PELLBA 2, ed. Kaswanti Purwo, 163 – 78. Yogyakarta: Kanisius.

Sidiarto, Lily. 1981. “Kelainan Wicara” dalam Pengembangan Ilmu Bahasa dan Pembinaan Bangsa, ed. Harimurti Kridalaksana, 251 – 155. Ende: Nusa Indah.

_____. 1991. “Gangguan Berbahasa pada Anak” dalam PELLBA 4: Linguistik Neurologi, ed. Soenjono Dardjowidjojo, 133 – 151. Yogyakarta: Kanisius. _____. 1993. “Penanganan Anak-anak Cacat Bahasa”. Makalah dalam Seminar

Sehari Neurolinguistik, di Fakultas Sastra UI, Depok, 1 Mei 1993.

Simanjuntak, Mangantar. 1991. “Neurolinguistik dan Afasiologi: Ke Arah Suatu Kerjasama yang Saling Menguntungkan” dalam PELLBA 4: Linguistik Neurologi, ed. Soenjono Dardjowidjojo, 1 – 14. Yogyakarta: Kanisius. Suhardiyanto, Totok. 1993. “Cacat Gramatikal pada Keluaran Wicara Penderita

Sindrom Afasia Broca: Sebuah Analisis Struktural dan Neurolinguistik terhadap Lima Kasus Sindrom Afasia Broca di FKUI/RSCM, Jakarta”. Jakarta: Fakultas Sastra UI.

_____. 1994. “Bahasa dan Syaraf Pusat”. Makalah dalam Kongres Linguistik Nasional MLI, Palembang, 1 – 5 Juni 1994.

Soeharto, Iman. 2001. Serangan Jantung dan Stroke. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Whitaker, Harry A. 1986. “Neurolinguistics: Past, Present, and Future Trends,” dalam Journal of Speech Hearing Disorders, 51: 169 – 172.

www.mpi.nl/world/index.html.

www.mit.edu/linguistics.

Referensi

Dokumen terkait

Environment referred to in the article is the physical environment that consists of the arrangement of space, chairs, tables, boards and other tools that are in

Banyak faktor yang mempengaruhi prestasi belajar IPS siswa Sekolah Dasar, diantaranya faktor yang berasal dari dalam diri siswa (internal) dan faktor yang berasal dari luar

 Guru bertanya jawab tentang hal-hal yang belum diketahui siswa  Guru bersama siswa bertanya jawab meluruskan kesalahan.. pemahaman, memberikan penguatan dan

[r]

Menjelaskan hubungan antara sumber daya alam dengan teknologi yang digunakan.  Mengidentifikasi hasil teknologi yang digunakan manusia yang menggunakan sumber

[r]

Menghargai berbagai peninggalan dan tokoh sejarah yang berskala nasional pada masa Hindu-Budha dan Islam, keragaman kenampakan alam dan suku bangsa serta kegiatan ekonomi di

[r]