• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Perencanaan Pembangunan Daerah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Perencanaan Pembangunan Daerah"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Perencanaan Pembangunan Daerah

Pengertian perencanaan pembangunan daerah dapat dilihat berdasarkan unsur-unsur yang membentuknya, yaitu: unsur perencanaan, unsur pembangunan, dan unsur daerah. Setiap unsur-unsur tersebut dilihat, kemudian diambil suatu kesimpulan sehingga membentuk suatu pengertian yang utuh.

Istilah perencanaan telah banyak didefinisikan secara berbeda-beda. Menurut UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumberdaya yang tersedia.

Suatu cara rasional untuk mempersiapkan masa depan merupakan arti perencanaan yang dikemukakan oleh Kelly dan Becker. Sedangkan Kay dan Alder menyatakan bahwa perencanaan adalah suatu proses menentukan apa yang ingin dicapai di masa yang akan datang serta menetapkan tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk mencapainya. Sehingga Rustiadi et al. (2007) menyimpulkan bahwa perencanaan merupakan suatu proses menentukan apa yang ingin dicapai di masa yang akan datang serta menetapkan tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk mencapainya.

Kemudian, Ginanjar Kartasasmita (Riyadi dan Deddy, 2003) mengemukakan bahwa pada dasarnya perencanaan merupakan sebagai fungsi manajemen yaitu suatu proses pengambilan keputusan dari sejumlah pilihan yang ada untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Sedangkan Jawaharlal Nehru mendefinisikan ”Planning is the exercise of intelegence to deal with facts and

situations as they are and find a way to solve problems.” Artinya perencanaan

adalah melatih intelegensia untuk menghadapi permasalahan sesuai dengan fakta-fakta dan situasi sebagaimana adanya kemudian mencari suatu cara untuk memecahkan permasalahan tersebut.

Dalam pengertian yang sederhana menurut Jhingan (1994), perencanaan dapat diartikan sebagai teknik, cara untuk mencapai tujuan. Tujuan yang dimaksud adalah sasaran tertentu yang telah ditentukan sebelumnya dan telah

(2)

dirumuskan dengan baik oleh lembaga yang berwenang dalam hal ini, yaitu Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Dari beberapa pendapat tersebut dapat diambil kata kunci tentang definisi perencanaan yaitu: (1) unsur asumsi yang berdasarkan fakta; (2) unsur pilihan-pilihan sebagai dasar penentuan kegiatan yang akan dilakukan; (3) unsur tujuan yang ingin dicapai; (4) unsur prediksi sebagai langkah antisipasi kemungkinan-kemungkinan yang akan mempengaruhi pelaksanaan; (5) unsur kebijakan sebagai hasil keputusan yang harus dilaksanakan. Selanjutnya mengenai pengertian pembangunan, para ahli memberikan definisi yang bermacam-macam seperti halnya perencanaan. Istilah pembangunan atau pengembangan atau dalam Bahasa Inggris development, sering digunakan dalam hal yang sama, bahkan dapat saling dipertukarkan untuk berbagai hal. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa pengembangan lebih menekankan proses peningkatan atau perluasan, karena pengembangan dirasa tidak dilakukan dari nol, dengan kata melakukan sesuatu yang sudah ada menjadi lebih baik.

Secara filosofis, Rustiadi et al., (2007) menyatakan, bahwa pembangunan/pengembangan dapat didefinisikan sebagai ” upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik”. Secara sederhana pembangunan sering diartikan sebagai upaya untuk melakukan perubahan yang lebih baik. Perubahan yang dimaksud adalah menuju arah peningkatan atau kemajuan dari keadaan semula, dan tidak jarang bahwa pembangunan diasumsikan sebagai pertumbuhan.

Secara tegas Saigan (1983) mengemukakan dalam bukunya Administrasi

Pembangunan, bahwa: ”Pembangunan sebagai suatu perubahan, mewujudkan

suatu kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi sekarang. Sedangkan pembangunan sebagai suatu pertumbuhan menunjukan kemampuan suatu kelompok untuk terus berkembang baik secara kualitatif maupun kuantitatif dan merupakan sesuatu yang mutlak harus terjadi dalam pembangunan.”

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya pembangunan tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan, dalam arti bahwa pembangunan dapat

(3)

menyebabkan terjadinya pertumbuhan, dan pertumbuhan akan terjadi sebagai akibat adanya pembangunan. Dari batasan-batasan mengenai perencanaan dan pembangunan yang telah diuraikan, maka didapat suatu gambaran mengenai perencanaan pembangunan. Perencanaan pembangunan merupakan suatu tahapan awal dalam proses pembangunan. Sebagai tahapan awal, perencanaan pembangunan akan menjadi bahan/pedoman/acuan dasar bagi pelaksanaan kegiatan pembangunan (action plan). Karena itu, perencanaan pembangunan hendaknya bersifat implementatif (dapat dilaksanakan) dan aplikatif (dapat diterapkan). Kegiatan perencanaan pembangunan pada dasarnya merupakan kegiatan penelitian, karena proses pelaksanaannya akan banyak menggunakan berbagai metode penelitian. Mulai dari teknik pengumpulan data, analisis data, hingga studi lapangan untuk mendapatkan data-data yang akurat. Dengan demikian, Perencanaan Pembangunan dapat dinyatakan sebagai suatu proses perumusan kebijakan melalui berbagai alternatif/pilihan berdasarkan pada data dan informasi, sebagai bahan untuk melaksanakan suatu rangkaian kegiatan/aktifitas, dalam mencapai tujuan yang lebih baik.

Selanjutnya mengenai hubungannya dengan daerah sebagai wilayah pembangunan, yaitu sebagai tempat terbentuknya konsep perencanaan pembangunan. Sehingga dapat dinyatakan bahwa Perencanaan Pembangunan Daerah adalah suatu proses yang dilakukan untuk perubahan kearah yang lebih baik bagi suatu komunitas dalam suatu wilayah tertentu dengan memanfaatkan berbagai sumberdaya yang ada, dengan berorientasi secara menyeluruh, lengkap dan berprioritas.

Berdasarkan UU 25/2004 tentang Perencanaan Pembangunan Nasional bahwa Perencanaan Pembangunan Nasional dan Daerah di Indonesia dipisahkan ke dalam tiga hal. Pertama perencanaan pembangunan yang didasarkan oleh periode waktu yang terdiri atas: (1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) untuk periode 20 (dua puluh) tahun; (2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) untuk periode 5 (lima) tahun; (3) Rencana Kerja Pembangunan (RKP) dan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) untuk periode 1 (satu) tahun.

(4)

Kedua, pembangunan direncanakan berdasarkan dimensi kedekatan dan koordinasi, yang terdiri atas perencanaan makro, perencanaan sektoral, perencanaan regional, dan perencanaan mikro. Ketiga, perencanaan pembangunan berdasarkan prosesnya yang dibagi menjadi perencanaan dari bawah ke atas

(bottom-up planning) dan perencanaan dari atas ke bawah (top-down planning).

Koordinasi Perencanaan Pembangunan Daerah

Koordinasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perihal mengatur suatu organisasi atau kegiatan sehingga peraturan dan tindakan yang akan dilaksanakan tidak saling bertentangan atau simpang siur (Alwi, et al., 2003). Dengan demikian, koordinasi dalam pembangunan daerah pada hakikatnya merupakan upaya untuk menyerasikan dan menyelaraskan aktifitas-aktifitas pembangunan di suatu daerah tertentu yang dilaksanakan oleh berbagai komponen baik pemerintah, swasta maupun masyarakat. Dalam pelaksanaannya, koordinasi hendaknya diterapkan dalam keseluruhan proses pembangunan sejak dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan sampai dengan evaluasinya. Jadi dalam hal ini koordinasi meliputi keseluruhan proses manajemen pembangunan.

Berdasarkan pada uraian sebelumnya tentang perencanaan pembangunan nasional dan daerah diantaranya bahwa pembangunan direncanakan berdasarkan dimensi kedekatan dan koordinasi. Pembangunan yang direncanakan berdasarkan dimensi kedekatan dan koordinasi terbagi ke dalam empat bagian, yaitu: (1) perencanaan makro yaitu perencanaan pembangunan dalam skala makro atau menyeluruh dengan memperhatikan tujuan dan sasaran dalam periode rencana, berbagai variable ekonomi mikro, dan kaitannya dengan perencanaan sektoral dan regional; (2) perencanaan sektoral yaitu perencanaan yang dilakukan dengan pendekatan berdasarkan sektor atau kumpulan program/kegiatan yang mempunyai persamaan cirri-ciri serta tujuannya; (3) perencanaan regional yaitu perencanaan yang menitikberakan pada aspek lokasi pelaksanaan program/kegiatan yang akan dilakukan; dan (4) perencanaan mikro yaitu perencanaan dalam skala yang lebih spesifik/rinci dalam perencanaan tahunan sebagai penjabaran rencana makro,

(5)

sektoral, dan atau regional yang memuat susunan program/kegiatan perencanaan termasuk penganggarannya (Dahuri, 2003) seperti pada Gambar 2.

Gambar 2 Koordinasi perencanaan pembangunan.

Koordinasi perencanaan dalam Permendagri nomor 9 tahun 1982 meliputi beberapa aspek yaitu: (1) Aspek fungsional (maksudnya adalah adanya kaitan dan keterpaduan fungsional antara berbagai kegiatan; antara suatu instansi dengan instansi lain; antara setiap tahap perencanaan; antara program/proyek pada satu wilayah dengan wilayah lain). (2) Aspek formal yaitu adanya kaitan antar program/proyek yang direncanakan dengan peraturan, instruksi, edaran dan petunjuk dari tingkat nasional. (3) Aspek struktural yaitu adanya kaitan dan adanya koordinasi dalam bentuk penugasan pada tiap tingkat instansi yang bersangkutan. (4) Aspek materil yaitu adanya kaitan dan koordinasi antara program/proyek intra antar instansi. (5) Aspek operasional yaitu adanya kaitan dan keterpaduan dalam penentuan langkah-langkah pelaksanaan baik menyangkut waktu, lokasi maupun kebutuhan material.

Dalam hubungannya dengan proses pembangunan baik pada skala nasional ataupun lokal, peran kepemimpinan ini akan dipegang oleh pemerintah. Hal ini dikarenakan pemerintah merupakan komponen negara yang memiliki otoritas/kewenangan dengan segala aturan dan regulasi yang sah. Dengan demikian koordinator pembangunan pada dasarnya adalah pemerintah.

Keperluan sektor Kemungkinan sumber Sumber regional Keperluan spasial Efisiensi/efektifitas Koordinasi spasial

Alokasi spasial di wilayah/daerah PERENCANAAN MAKRO PERENCANAAN SEKTORAL (Keterkaitan Regional) PERENCANAAN REGIONAL (Keterkaitan Sektoral) PERENCANAAN MIKRO 1. Kebijakan Operasional 2. Sasaran 3. Proyek Kegiatan 4. Lokasi 5. Anggaran

(6)

Keadaan tersebut memang tidak terbantahkan tetapi yang menjadi masalah biasanya adalah sampai sejauh mana pemerintah mampu melaksanakan fungsi dan peranannya tersebut sehingga pembangunan bisa dilaksanakan secara efektif dan efisien. Apalagi pada kondisi globalisasi seperti ini di mana ada tuntutan yang kuat terhadap pergeseran peran pemerintah dari mengendalikan menjadi mengarahkan. Melaksanakan peran dan fungsi sebagai koordinator dalam pembangunan sebagaimana diperankan oleh pemerintah memang tidak mudah. Apalagi dalam unsur pemerintah tersebut yang bergerak sebagai pelaku pembangunan terbagi ke dalam berbagai institusi, badan, lembaga, atau departemen sesuai dengan bidangnya masing-masing.

Selain itu, komponen swasta dan masyarakat pun terbagi dalam berbagai fungsi dan peran seperti kalangan industri, perbankan, jasa dan pelayanan dan lain-lain. Sedangkan pada kalangan masyarakat terdapat golongan buruh, petani, pegawai dan lain-lain. Hal ini semakin menegaskan pentingnya koordinasi sebagai alat untuk menyatupadukan fungsi dan peran yang berbeda, agar terjalin suatu kerjasama yang baik, efektif dan efisien sehingga tujuan bersama dapat tercapai. Koordinasi hendaknya tidak sekedar dipandang sebagai suatu kewajiban yang harus dilakukan untuk memenuhi standar normatif, melainkan harus dirasakan sebagai suatu kebutuhan yang perlu diupayakan pemenuhannya dengan senantiasa menyadari keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki, sehingga komitmen untuk melaksanakan koordinasi tetap tinggi. Lebih spesifik lagi, koordinasi diperlukan sebagai upaya untuk menghasilkan pembangunan yang efisien dalam pemanfaatan sumberdaya untuk menjamin tercapainya tujuan dan sasaran secara optimal.

Dengan demikian ada beberapa alasan yang perlu diketahui dan dipahami dengan baik dalam menilai perlunya koordinasi pembangunan daerah yaitu: 1. Koordinasi dalam pembangunan sangat diperlukan sebagai suatu konsekuensi

logis dari adanya aktifitas dan kepentingan yang berbeda.

2. Aktifitas dan kepentingan yang berbeda juga membawa konsekuensi logis terhadap adanya tanggung jawab yang secara fungsional berbeda pula.

3. Ada institusi, badan dan lembaga yang menjalankan peran serta fungsinya masing-masing.

(7)

4. Ada unsur sentralisasi dan desentralisasi yang dijalankan dalam proses pembangunan yang melibatkan institusi pusat maupun daerah.

5. Koordinasi merupakan alat sekaligus upaya untuk melakukan penyelarasan dalam proses pembangunan sehingga akan tercipta suatu aktifitas yang harmonis, sinergis dan serasi untuk mencapai tujuan bersama.

Perencanaan Keuangan Daerah

Pengertian Keuangan Daerah berdasarkan PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Kemudian dijelaskan juga mengenai pengertian Pengelolaan Keuangan Daerah yaitu keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah.

Dalam era otonomi daerah, pemerintah daerah dituntut untuk mampu menciptakan sistem manajemen serta peran kelembagaan (institution) yang mampu mendukung pelaksanaan pembangunan daerah. Kelembagaan memiliki dua pengertian yaitu kelembagaan sebagai suatu aturan main (rule of the game) dan kelembagaan sebagai suatu organisasi. Perubahan institusi (otonomi daerah) akan berdampak terhadap keragaan sistem organisasi kelembagaan pada kegiatan sektor ekonomi secara keseluruhan. Kebijakan otonomi daerah secara langsung dan/atau tidak langsung akan berpengaruh dalam pelaksanaan pembangunan di daerah secara sektoral maupun regional.

Dalam sistem manajemen pembangunan daerah, menurut Solihin (2007) bahwa fungsi dan peranan pemerintah daerah saling berkaitan erat satu sama lainnya membentuk suatu rangkaian (Gambar 3) yaitu: (1) perencanaan, (2) pengerahan (mobilisasi) sumber daya, (3) menggerakan partisipasi masyarakat, (4) penganggaran, (5) pelaksanaan pembangunan yang ditangani langsung oleh pemerintah daerah, (6) koordinasi, (7) pemantauan dan evaluasi dan (8) pengendalian. Kedelapan fungsi dan peranan pemerintah daerah dalam suatu sistem manajemen pembangunan tersebut harus dibangun berdasarkan suatu

(8)

sistem informasi yang kuat (Gambar 3). Salah satu fungsi dan peranan pemerintah dalam sistem manajemen pembangunan tersebut adalah penganggaran.

Gambar 3 Fungsi-fungsi manajemen pembangunan.

Penganggaran pemerintah berdasarkan Undang-undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta Undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, diwujudkan dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran. Adapun struktur dari APBD adalah pendapatan, belanja, dan pembiayaan (Tabel 2). Pendapatan daerah merupakan sumber keuangan daerah, yang terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Pendapatan Lain-lain yang Sah. Belanja daerah merupakan pengeluaran untuk kebutuhan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan kepentingan pelaksanaan pembangunan daerah, sedangkan pembiayaan untuk menutupi defisit anggaran yaitu selisih antara pendapatan dan belanja yang terdiri dari penerimaan dan pengeluaran.

(9)

Tabel 2 Struktur Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD)

PENDAPATAN DAERAH

1. PENDAPATAN ASLI DAERAH

- Pajak Daerah ( kewajiban bayar yang tidak diberikan fasilitas ) - Retribusi Daerah ( kewajiban bayar yang disertai fasilitas ) - Bagian Laba Usaha Daerah ( Deviden dari Penyertaan Modal ) - Lain-lain Pendapatan Asli Daerah

2. DANA PERIMBANGAN

- Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak

- DAU

- DAK

- Dana Perimbangan dari propinsi 3. LAIN-LAIN PENDAPATAN YANG SYAH

BELANJA DAERAH

A. BELANJA APARATUR DAERAH

1 BIAYA ADMINISTRASI UMUM

(1). BELANJA PEGAWAI/PERSONALIA (2). BELANJA BARANG DAN JASA (3). BELANJA PERJALANAN DINAS (4). BELANJA PEMELIHARAAN 2. BIAYA OPERASIONAL

PEMELIHARAAN

(1). BELANJA PEGAWAI/PERSONALIA (2). BELANJA BARANG DAN JASA (3). BELANJA PERJALANAN DINAS (4). BELANJA PEMELIHARAAN 3. BELANJA MODAL/PEMBANGUNAN

B. BELANJA PELAYANAN PUBLIK

1 BIAYA ADMINISTRASI UMUM

(1). BELANJA PEGAWAI/PERSONALIA (2). BELANJA BARANG DAN JASA (3). BELANJA PERJALANAN DINAS (4). BELANJA PEMELIHARAAN 2. BIAYA OPERASIONAL

PEMELIHARAAN

(1). BELANJA PEGAWAI/PERSONALIA (2). BELANJA BARANG DAN JASA (3). BELANJA PERJALANAN DINAS (4). BELANJA PEMELIHARAAN 3. BELANJA MODAL/PEMBANGUNAN

4. BELANJA BAGI HASIL DAN BANTUAN KEUANGAN 5. BELANJA TAK TERSANGKA

PEMBIAYAAN

1. PENERIMAAN DAERAH

- sisa perhitungan anggaran Tahun lalu - transfer dari dana cadangan - transfer dari dana depresiasi - penerimaan pinjaman dan obligasi - hasil penjualan aset daerah yang dipisahkan

2. PENGELUARAN DAERAH

- penyertaan modal

- transfer ke dana cadangan - transfer ke dana depresiasi - pembayaran utang pokok yang jatuh tempo - sisa perhitungan anggaran tahun berkenaan

Sumber: PP 58/2003 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

Belanja Daerah dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota. Belanja daerah terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan, dan urusan dalam bagian atau bidang tertentu yang penanganannya dapat dilaksanakan bersama, antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan. Belanja daerah diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial.

Dalam perencanaan keuangan daerah pada Gambar 4, terdapat beberapa tahapan analisis yang perlu dilakukan (Solihin, 2007) yaitu:

1. Analisis Potensi Pendapatan Daerah yang terdiri dari:

a. Identifikasi potensi pendapatan daerah yang berupa pengumpulan data dan informasi yang merupakan sumber pendapatan daerah. Misalnya: dana transfer Dana Alokasi Umum (DAU), potensi Dana Alokasi

(10)

Khusus (DAK), SDA yang dapat dibagihasilkan, pajak penghasilan yang signifikan dan jenis-jenis Pendapatan Asli Daerah (PAD) lainnya. b. Penetapan asumsi ekonomi untuk PAD.

c. Pengembangan sumber pendapatan daerah. 2. Bila terjadi defisit APBD, perlu dilakukan:

a. Analisis kemampuan pinjaman daerah

b. Analisis alternatif sumber keuangan daerah di luar pinjaman. 3. Penetapan arah anggaran belanja daerah

a. Analisis belanja masa lalu dan ke depan meliputi proporsi belanja dan unit satuan belanja.

b. Analisis pengembangan ekonomi lokal, melalui memfasilitasi ekonomi lokal serta membangun kemitraan pemerintah daerah dengan swasta. c. Analisis tingkat kesejahteraan masyarakat yaitu dengan mengacu pada

posisi daerah dalam pencapaian kesejahteraan melalui Indeks Prestasi Manusia (IPM) serta alokasi untuk mempercepat perbaikan IPM.

Gambar 4 Alur perencanaan dan penganggaran.

Hasil pelaksanaan strategi pembangunan daerah yang didukung oleh APBD adalah peningkatan kesejahteraan rakyat yang diukur berdasarkan indikator-indikator keberhasilan yang telah disepakati.

(11)

Indikator Kinerja Pembangunan Daerah

Dalam mengukur tingkat perkembangan suatu wilayah, diperlukan suatu batasan yang digunakan sebagai acuan dalam melakukan perencanaan pembangunan wilayah selanjutnya. Ukuran-ukuran atau batasan-batasan tersebut dalam istilah pembangunan daerah biasa disebut sebagai indikator.

Indikator adalah suatu ukuran secara kuantitatif dan kualitatif yang mendeskripsikan tingkat pencapaian sesuatu yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditentukan (Rustiadi et al. 2007). Dalam perspektif kinerja pembangunan daerah, indikator merupakan ukuran yang digunakan untuk menunjukan tingkat kemajuan atau keberhasilan kinerja pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan, sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Ukuran atau indikator kinerja pembangunan yang paling sering digunakan adalah tingkat pertumbuhan ekonomi.

Prof. Simon Kuznets dalam bukunya Modern Economic Growth (1966) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai suatu kenaikan secara terus menerus dalam produk per-kapita atau per-pekerja, yang diiringi dengan pertambahan jumlah penduduk dan perubahan struktural. Pertumbuhan ekonomi modern tersebut mengacu kepada perkembangan negara-negara maju seperti: Eropa Barat, Amerika Serikat, Kanada, Australia dan Jepang. Kemudian Prof. Kuznets menunjukan enam ciri pertumbuhan ekonomi modern secara kuantitatif yang muncul dalam analisa yang berdasarkan pada produk nasional dan komponen-komponennya yaitu antara lain penduduk dan tenaga kerja. Keenam ciri tersebut adalah:

1. Laju pertumbuhan penduduk dan produk per-kapita

Kuznets menunjukan, bahwa pertumbuhan ekonomi modern berdasarkan pengalaman negara-negara maju pada akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19, ditandai dengan peningkatan laju produk per kapita yang tinggi dan diiringi dengan laju pertumbuhan penduduk yang cepat. Hal ini menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara jumlah produk yang dihasilkan dengan pertambahan jumlah penduduk dalam suatu wilayah. Peningkatan laju produk per-kapita yang tinggi tersebut menandakan bahwa jumlah produk yang dihasilkan harus lebih besar dari jumlah penduduk dalam suatu wilayah tersebut.

(12)

2. Peningkatan produktifitas

Meningkatnya laju produk perkapita, salah satunya adalah sebagai akibat dari adanya perbaikan kualitas input yang meningkatkan efisiensi atau produktivitas per unit input. Semakin besar masukan tenaga kerja dan investasi maka akan semakin meningkatkan efisiensi dalam penggunaan

output yang lebih besar untuk setiap unit input.

3. Laju perubahan struktural yang tinggi

Perubahan struktural dalam pertumbuhan ekonomi modern mencakup peralihan aktivitas sektor perekonomian, misalnya: dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian, atau dari sektor industri ke sektor jasa. Seiring dengan pergeseran tersebut, perubahan yang dapat terjadi adalah pada sektor industri dalam alokasi produk antar berbagai perusahaan produksi, baik dalam segala bentuk maupun ukurannya. Akibatnya dapat terjadi perubahan dalam alokasi tenaga kerja. Perubahan aktivitas sektor perekonomian tersebut dapat mempengaruhi kontribusi sektor terhadap tingkat produk per kapita, seiring dengan pertambahan jumlah penduduk.

4. Urbanisasi

Pertumbuhan ekonomi modern juga ditandai dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, melalui perpindahan penduduk dari perdesaan ke perkotaan atau urbanisasi. Perubahan teknologi yang menyebabkan perpindahan penduduk dan tenaga kerja, karena sarana teknis transportasi dan komunikasi berkembang cenderung lebih efektif di daerah perkotaan. Hal ini dapat mempengaruhi pengelompokan penduduk berdasarkan status sosial dan ekonomi serta mengubah pola hidupnya.

5. Ekspansi negara maju

Ekspansi negara-negara maju berawal dari bangsa-bangsa Eropa akibat revolusi teknologi di bidang transportasi dan komunikasi, kemudian melahirkan dominasi politik langsung atas negara-negara jajahan, pembukaan daerah yang semula tertutup dan pemecahan daerah-daerah. Hal ini berarti bahwa faktor politik mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi modern dengan menciptakan saling ketergantungan antar negara yang berpotensi untuk saling berhubungan antar negara-negara tersebut.

(13)

6. Arus barang, modal, dan orang antar Bangsa

Arus barang, modal, dan orang antar bangsa, merupakan akibat dari terjadinya ekspansi negara-negara maju, berdasarkan hubungan saling ketergantungan antar negara-negara tersebut.

Keenam ciri pertumbuhan ekonomi modern tersebut mempunyai hubungan saling keterkaitan dalam urutan sebab akibat. Beberapa hal penting yang dapat diambil dari keenam ciri pertumbuhan ekonomi modern tersebut, adalah: (1) pertumbuhan penduduk dan serapan tenaga kerja, (2) tingkat produktivitas penduduk, (3) tingkat produk per kapita (pendapatan per kapita), (4) kemajuan teknologi, dan (5) hubungan antar negara.

Dari sisi ekonomi, pengembangan wilayah lebih difokuskan kepada upaya untuk mendorong kemajuan perekonomian daerah. Menurut Saefulhakim (2008), kemajuan ekonomi suatu daerah dapat diukur secara kuantitatif diantaranya melalui:

1. Pertumbuhan ekonomi daerah (economic growth). Dapat diukur melalui rasio antara perubahan produk domestik regional bruto (PDRB) akhir tahun dan awal tahun dengan PDRB awal tahun.

2. Produktivitas ekonomi daerah (productivity). Dapat diukur melalui PDRB per kapita dan PDBR per luas lahan.

3. Pendapatan asli daerah (fiscal capacity). Dapat diukur melalui pendapatan pajak per kapita dan pendapatan pajak per luas lahan.

4. Tingkat kemiskinan (poverty) dan pengangguran (unemployment). Tingkat kemiskinan dapat diukur melalui jumlah keluarga yang memilki tingkat upah minimum sedangkan tingkat pengangguran dapat diukur melalui jumlah pencari kerja yang tidak terserap.

Selain itu Solihin (2007), menjelaskan bahwa terdapat 6 jenis indikator kinerja pembangunan daerah, yaitu:

1. Indikator masukan (Inputs). Merupakan indikator yang menggambarkan segala sesuatu yang dibutuhkan baik berupa dana, sumberdaya maupun berupa teknologi dan informasi, agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran.

(14)

2. Indikator proses (Process). Merupakan indikator yang menggambarkan upaya yang dilakukan dalam mengolah masukan menjadi keluaran. Indikator ini sering dikaitkan dengan keterlibatan semua pihak (stakeholders dan masyarakat) serta mekanisme pelaksanaannya (termasuk koordinasi dan hubungan kerjasama antar unit organisasi).

3. Indikator keluaran (Outputs). Merupakan indikator yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan, baik berupa fisik maupun berupa non-fisik.

4. Indikator hasil (Outcomes). Merupakan indikator yang menunjukan telah dicapainya maksud dan tujuan dari kegiatan-kegiatan yang telah selesai dilaksanakan atau indikator yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah.

5. Indikator manfaat (Benefits). Indikator yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan.

6. Indikator dampak (Impacts). Indikator yang menunjukan pengaruh baik positif maupun negatif yang ditimbulkan pada setiap pelaksanaan kebijakan/program/kegiatan dan asumsi yang telah ditetapkan.

Ekonomi Keterkaitan

Keterkaitan atau interaksi antar wilayah dalam konteks perekonomian daerah merupakan mekanisme yang dapat menggambarkan dinamika perekonomian yang terjadi di suatu wilayah dikarenakan aktivitas yang dilakukan oleh manusia di dalam wilayah tersebut. Aktivitas yang dimaksud adalah yang mencakup diantaranya mobilitas kegiatan, pergerakan manusia serta arus informasi dan komoditas dalam sistem perekonomian antar daerah.

Menurut Saefulhakim (2008), Pembangunan merupakan perubahan kearah kemajuan yang terencana (planned changes). Dimana suatu perubahan tanpa perencanaan tidak dapat dikatakan pembangunan karena proses perencanaan berperan dalam memberikan kontribusi penting terhadap perubahan tersebut. Dalam konteks pembangunan ekonomi daerah, perubahan berpangkal dari adanya berbagai bentuk kekhasan substansial (unique substances) dan keterkaitan fungsional (functional interaction) yang berlangsung pada ruang dan waktu yang tepat (Gambar 5). Kekhasan tersebut dapat dilihat antara lain dalam bentuk

(15)

keanekaragaman sumberdaya, institusi pelaku (produsen, konsumen dan pemerintah) dan aktivitas ekonomi yang tersebar secara spasial antar daerah. Sedangkan keterkaitan dapat dilihat dalam perspektif alamiah, sistem pasar, dan sistem eksternalitas.

Gambar 5 Segitiga Pembangunan (Saefulhakim 2008).

Kemudian Saefulhakim (2008) juga menyebutkan bahwa nilai-nilai ekonomi yang lahir dari berbagai bentuk keterkaitan ini berakar dari tiga dimensi yaitu: (1) nilai ekonomi kekhasan (economies of uniqueness); (2) nilai ekonomi skala/ukuran (economies of scale); dan (3) nilai ekonomi cakupan (economies of

scope). Dalam perspektif teori lokasi (location theory), semua ini terkait dengan

adanya tiga pilar konfigurasi ruang, yaitu: (1) ketaksempurnaan mobilitas faktor produksi (imperfect factor mobility); (2) ketaksempurnaan pemilahan/pemisahan antar faktor produksi (imperfect factor divisibity); dan (3) ketaksempurnaan mobilitas barang dan jasa (imperfect factor mobility of good and services) (Gambar 6). Dengan demikian, untuk mengoptimalkan ketiga dimensi nilai-nilai ekonomi tersebut diperlukan adanya ekonomi keterkaitan melalui ketiga pilar konfigurasi ruang. Ketaksempurnaan pemilahan/pemisahan antar faktor produksi berimplikasi pada peningkatan biaya-biaya produksi, sehingga dibutuhkan kerjasama antar institusi pemilik/penguasa faktor produksi yang berbeda untuk dapat menekan biaya-biaya tersebut.

KEMAJUAN

KEKHASAN KETERKAITAN

SEGITIGA PEMBANGUNAN

(16)

Gambar 6 Nilai Ekonomi Keterkaitan (Saefulhakim 2008). Pemodelan Keterkaitan antar Variabel Spasial Model Regresi Berganda

Secara umum bentuk persamaan regresi dari model Cobb-Douglas (Saefulhakim, 2008) yang menghubungkan antara beberapa variabel penjelas

(explanatory variables) x, dan satu variabel terikat (independent variable) y,

dinotasikan sebagai berikut:

0 ,

ln i j ln i j

j

y b b x ...(1) atau dalam notasi vektor dapat ditulis:

0

ln 1n jln j

j

y b b x ...(2)

yi : nilai variabel tujuan untuk individu sampel ke-i xj,i : nilai variabel penjelas ke-j untuk individu sampel ke-i b0 : parameter konstanta (intercept)

bj : parameter koefisien untuk variabel penjelas ke-j

lny : vektor ukuran (n 1) berisi logaritma natural dari nilai variabel tujuan untuk individu sampel ke-1 sampai dengan ke-n

1n : vektor ukuran (n 1) berisi angka 1 sebanyak n buah

lnxj : vektor ukuran (n 1) berisi logaritma natural dari nilai variabel penjelas

ke-j untuk individu sampel ke-1 sampai dengan ke-n

EKONOMI CAKUPAN EKONOMI KEKHASAN EKONOMI SKALA EKONOMI INTERAKSI Imperfect Factor Mobility Imperfect Factor Divisibility Imperfect Mobility of Goods & service

(17)

Model Durbin Spasial

Kinerja pembangunan ekonomi pada suatu daerah tertentu, tidak hanya ditentukan oleh karakteristik lingkungan dan manajemen pembangunan yang dilakukan di daerah tersebut. Kinerja pembangunan ekonomi, karakteristik lingkungan, serta manajemen pembangunan yang dilakukan di daerah-daerah sekitarnya yang terkait dalam satu sistem ekologi-ekonomi juga ikut mempengaruhi (Saefulhakim, 2008).

Untuk dapat mengakomodasikan fenomena keterkaitan antara suatu lokasi dengan lokasi-lokasi lain yang terkait tersebut sehingga bentuk model pada kedua persamaan regresi dari model Cobb-Douglas sebelumnya, dirubah menjadi sebagai berikut: , 0 , , ln k n kln 1n jln j j k n kln j k j j k y a W y b b x c W x ...(3) atau 1 , 0 , , ln n k n k 1n j n j k n k ln j k j k y I a W b b I c W x ...(4) Keterangan,

In : matriks identitas ukuran (n n)

Wn,k : matriks ukuran (n n) yang menyatakan pola interaksi spasial tipe

ke-k antar n buah daerah (disebut: kontiguitas spasial tipe ke-k). Pada situasi di mana fenomena interaksi spasial tidak nyata berpengaruh yaitu ak=0 untuk semua tipe k dan cj,k=0 untuk semua j dan tipe k, maka model

yang ditulis pada Persamaan (4) akan kembali ke bentuk konvensional seperti pada Persamaan (2). Artinya pendekatan regresi konvensional cukup realistik. Namun, pada situasi di mana minimal untuk satu tipe k parameter ak 0 dan

minimal untuk satu tipe k dan satu variabel penjelas j parameter cj,k 0, maka

pendekatan regresi konvensional menjadi tidak realistik. Model yang ditulis seperti pada Persamaan (4) dalam literatur ekonometrika spasial disebut sebagai Model Durbin Spasial (Spatial Durbin Model) (Upton dan Fingleton, 1985; LeSage, 1999).

Sumber:Model Pemetaan Potensi Ekonomi untuk Perumusan Kebijakan Pembangunan Daerah (Saefulhakim 2008).

(18)

Matriks Kontiguitas Spasial

Suatu variabel yang diamati pada suatu titik lokasi sampel, memiliki hubungan keterkaitan dengan variabel yang sama pada titik-titik lokasi sampel lainnya. Dalam teori Ilmu Wilayah (Saefulhakim, 2008) fenomena keterkaitan/ketergantungan antar lokasi seperti ini diformalisasikan dalam berbagai konsep antara lain: (1) interaksi spasial (spatial interaction), (2) difusi spasial (spatial diffusion), (3) hirarki spasial (spatial hierarchies) dan (4) aliran antar daerah (interregional spillover). Kekuatan-kekuatan pengendali (driving

forces) dari berbagai fenomena keterkaitan ini bisa terdiri atas beberapa faktor,

antara lain: (1) sistem geografi fisik sumberdaya alam dan lingkungan, (2) sistem ekonomi, (3) sistem sosial budaya dan (4) sistem politik. Variabel yang diamati pada dua lokasi yang bertetangga, berdekatan, terkait atau bermitra dapat memiliki keterkaitan secara spasial (Spatial Autocorrelationship) yang lebih kuat dibandingkan dengan variabel yang diamati pada dua lokasi yang tidak pada kondisi-kondisi tersebut. Matriks kontiguitas spasial dibangun untuk mengakomodasikan berbagai fenomena keterkaitan secara spasial seperti ini dalam pemodelan sistem keterkaitan.

Pada dasarnya matriks kontiguitas spasial dibangun atas dasar logika interaksi spasial. Secara matematis prosedur perhitungannya dapat ditulis dalam bentuk model umum sebagai berikut:

1,2 1, 2,1 2, ,1 ,2 0 0 0 n n n n w w w w W w w L L M M O M L ...(5) , , , i j i j i j j w a a ...(6) , , untuk 0 untuk lainnya i j i j c i j a ...……….(7)

W = matriks kontiguitas spasial

wi,j = kontiguitas antara daerah ke-i dengan daerah ke-j setelah dibakukan

ai,j = kontiguitas antara daerah ke-i dengan daerah ke-j sebelum dibakukan

Gambar

Gambar 2  Koordinasi perencanaan pembangunan .
Gambar 3  Fungsi-fungsi manajemen pembangunan.
Tabel 2 Struktur Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD)
Gambar 4  Alur perencanaan dan penganggaran.
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dalam Perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik

Strategi yang dapat dilakukan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian dan Pengembangan Kota Lubuklinggau untuk menciptakan perilaku pegawai yang baik dengan

Perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses perencanaan yang dimaksud untuk melakukan perubahan menuju arah yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah dan

Menurut Riyandi dan Supriyadi, perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan

Perencanaan pembangunan merupakan sebuah awal dari proses pembangunan daerah dengan waktu jangka panjang, perencanaan pembangunan tersebut adalah

Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional salah satu perencanaan pembangunan daerah yang

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peranan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) dalam melakukan perencanaan pembangunan infrastruktur jalan

Tujuan materi ini adalah untuk mengenalkan peserta pelatihan pada konsep Adaptasi terhadap Perubahan Iklim (API) dan bagaimana pengarus-utamaannya dalam perencanaan