• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lokot Zein Nasution 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Lokot Zein Nasution 1"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

EXECUTIVE SUMMARY

Analisis Tata Kelola Asuransi Berbentuk Badan Usaha Bersama

(Mutual) Pasca Berlakunya UU No. 40 Tahun 2014: Kasus AJB

Bumiputera 1912

Lokot Zein Nasution

1

I.

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian akhirnya telah disahkan, menggantikan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian. Perbedaan paling signifikan antara undang-undang baru dengan yang lama adalah peralihan fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap asuransi dari Menteri Keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK), salah satunya adalah pengaturan terhadap tata kelola asuransi berbentuk badan usaha bersama (mutual).

Asuransi berbentuk mutual memang sudah lama menjadi polemik dalam perumusan regulasi industri perasuransian. Hal ini tak terlepas dari perdebatan antara pihak yang pro terhadap likuidasi dan demutualisasi AJB Bumiputera dan pihak yang berpendapat tetap mempertahankan AJB Bumiputera. Berangkat dari perdebatan mengenai usaha berbentuk mutual dan ketentuan yang tertuang dalam pasal dan ayat dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014, maka kajian ini berusaha mencari format terbaik tata kelola AJB Bumiputera sebagai bagian dalam merancang regulasi badan usaha bersama pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014.

b. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah kajian ini mencakup empat hal, yakni sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi eksisting tata kelola usaha bersama yang dijalankan oleh AJB Bumiputera?

2. Bagaimana menyikapi eksistensi AJB Bumiputera dan penilaian terhadap pembubaran badan usaha berbentuk mutual?

3. Bagaimana kondisi asuransi berbentuk mutual di beberapa negara? 4. Bagaimana strategi kebijakan dalam merancang regulasi badan usaha

bersama pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014?

II. METODE KAJIAN

Kajian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yakni metode untuk mengangkat secara ideografis berbagai fenomena dan realitas sosial. Pemilihan metode deksriptif dinilai paling sesuai berkenaan output yang diharapkan adalah temuan berupa proposisi dari data primer sebagai dasar penelitian lanjutan dan penyusunan kebijakan. Data primer dilakukan melalui instrumen kuesioner

1 Peneliti Madya pada Pusat Kebijakan Sektor Keuangan-Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI

(2)

dengan tingkat pertanyaan terstruktur dan mendalam. Para informan dibagi menjadi : (i) AJB Bumiputera; (ii) Kementerian Keuangan; (iii) informan pakar. Sedangkan OJK dan Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia belum mengembalikan jawaban kuesioner. Hasil data primer disandingkan dengan studi literatur. Studi literatur sangat penting dilakukan yang berfungsi untuk mengeksplorasi dan mempertajam analisis narasi dari data primer. Pertajaman dan eksplorasi ini merupakan usaha untuk dapat mengerucut pada proposisi.

III. HASIL PEMBAHASAN

a. Tinjauan Historis Landasan Pendirian AJB Bumiputera

AJB Bumiputera dibentuk pada 12 Februari 1912 di Magelang, Jawa Tengah berdasarkan keputusan sidang Kongres PGHB (Perserikatan Guru Hindia Belanda), dimana jumlah peserta yang terdaftar pada saat itu sebagai anggota hanya berjumlah lima guru, dan pengurusnya hanya terdiri dari tiga orang. Tujuan awal didirikannya AJB Bumiputera adalah untuk memperbaiki nasib dan derajat guru-guru bangsa Indonesia, yang dikatakan pada waktu itu sebagai golongan pegawai pemerintahan yang paling rendah gaji dan martabatnya, dibandingkan misalnya dengan pegawai-pegawai pemerintahan lain seperti pamong praja.

Pimpinan dan anggota-anggota PGHB sadar bahwa pandangan dan cara hidup bergotong royong dari masyarakat Indonesia merupakan modal yang lebih kuat dari modal uang semata. Pada awalnya, perusahaan memulai usahanya tanpa modal karena pembayaran premi oleh kelima anggota pendiri merupakan modal awal perusahaan. AJB Bumiputera kemudian berkembang, dimana pada tahun 1934 perusahaan mengembangkan berbagai kantor cabang di Bandung, Jakarta, Surabaya, Palembang, Medan, Pontianak, Banjarmasin, dan Ujung Pandang, dimana kantor pusatnya berada di Jakarta.

b. Perkembangan Tata Kelola AJB Bumiputera

Dari segi hierarkis, kekuasaan tertinggi dalam AJB Bumiputera adalah anggotanya sendiri (pemegang polis) yang dilakukan melalui Sidang Badan Perwakilan Anggota (BPA). Disamping BPA, secara hierarkis di bawahnya adalah Dewan Komisaris dan Dewan Direksi. Pemegang polis selain sebagai pembeli jasa asuransi juga sebagai pemilik perusahaan, dimana perwujudan kekuasaan anggota disalurkan melalui wakil-wakilnya melalui BPA. Badan perwakilan ini merupakan perwakilan para pemegang polis yang ikut dalam menentukan garis-garis besar haluan perusahaan, memilih dan mengangkat direksi, dan mengawasi jalannya perusahaan.

Jumlah anggota BPA adalah sesuai dengan jumlah daerah pemilihan dan seorang anggota mewakili karyawan. Pemilihan anggota BPA dalam setiap daerah pemilihan dipilih sendiri oleh anggota Bumiputera (pemegang polis). Pengangkatan dan pemberhentian badan tertinggi termasuk pemilihan anggota BPA diselenggarakan oleh Panitia Pemilihan Anggota BPA yang terdiri dari unsur BPA, Direksi, dan karyawan Bumiputera yang disusulkan oleh Direksi. Sementara pengangkatan dan pemberhentian Dewan Komisaris diangkat dan diberhentikan oleh sidang BPA, dimana Dewan Komisaris sendiri bertanggung

(3)

jawab kepada BPA. Sidang BPA juga mengangkat dan memberhentikan Dewan Direksi, dimana pemberhentian dilakukan jika Dewan Direksi melakukan tindakan yang bertentangan dengan Anggaran Dasar. Sidang BPA juga mencakup renumerasi kepada Dewan Komisaris dan Dewan Direksi yang akan diberikan gaji dan jaminan hari tua.

Penjelasan di atas menjadikan AJB Bumiputera mempunyai tata kelola yang berbeda dengan bentuk lain (misalkan dengan PT dan koperasi). Bedanya, tata kelola bentuk usaha lain (PT dan koperasi) diatur oleh negara. Sementara tata kelola Bumiputera diatur oleh Anggaran Dasar yang notabene dibuat oleh BPA (dan dapat diamandemen kapan saja oleh BPA), karena tidak ada aturan lebih tinggi di atasnya yang membatasi.

a. Landasan Filosofis Tata Kelola AJB Bumiputera

Perkembangan tata kelola AJB Bumiputera tidak dapat dilepaskan dari landasan filosofis perusahaan. Landasan filosofis AJB Bumiputera mencakup 3 hal, yaitu idealisme, mutualisme, dan profesionalisme. Berdasarkan hasil data primer dengan pihak Bumiputera, ketiga landasan filosofis ini secara rinci adalah sebagai berikut:

1. Mutualisme

Salah satu alasan mengapa Kongres PGHB memilih bentuk usaha bersama adalah permasalahan modal. PGHB sebagai organisasi baru dan beranggotakan guru-guru pegawai negeri, yang pada umumnya berpenghasilan kecil, tidak dapat diharapkan akan mampu menghimpun modal usaha dalam jumlah memadai dalam waktu dekat. Namun kondisi demikian bukanlah suatu penghalang, karena kekuatan lebih besar di atas modal adalah kebersamaan. Hal ini tidak terlepas dari adanya kemungkinan bahwa solidaritas di kalangan para guru, dan kesadaran akan ampuhnya asas gotong royong (mutualisme) di kalangan anggota-anggota masyarakat, ikut berperan dalam pengambilan keputusan tersebut.

2. Idealisme

Idealisme pendiri Bumiputera adalah idealisme seorang nasionalis yang ingin mensejahterakan bangsanya melalui usaha asuransi jiwa. Mengacu kepada sejarah berdirinya, internalisasi nilai idealisme masuk dalam internal AJB Bumiputera yang meyakini bahwa dalam upaya mensejahterakan rakyat Indonesia melalui asuransi. Modal (dalam bentuk uang) bukan menjadi satu-satunya alat untuk mencapai cita-cita tersebut. Lebih penting lagi adalah modal kebersamaan dalam upaya berbagi risiko dengan saling tolong-menolong.

3. Profesionalisme

Para pendiri AJB Bumiputera 1912 adalah tenaga profesional di bidang pendidikan (cendekiawan) yang sadar sebagai pemuka masyarakat dan sadar tanggung jawabnya sebagai tokoh dalam perjuangan. Hal ini berimplikasi positif terhadap komitmen AJB Bumiputera untuk selalu mendorong pengembangan kompetensi karyawannya. Profesionalisme dalam mengelola AJB Bumiputera melalui

(4)

layanan dan manajemen yang sama baiknya dengan perusahaan sejenis non mutual, akan memberi pesan ke publik bahwa perusahaan mutual atau non mutul (PT dan koperasi) tidak relevan atau tidak memiliki keterkaitan langsung dengan aspek profesionalisme. Profesionalisme sejatinya harus melekat pada semua badan usaha, tanpa perlu membedakan apakah dia mutual atau bukan mutual.

c. Eksistensi AJB Bumiputera Versus Pembubaran Badan Usaha

Mutual

Bahasan mengenai format menyikapi AJB Bumiputera di internal pemerintah (OJK dan Kementerian Keuangan) tak terlepas dari isu tata kelola, likuidasi, dan demutualisasi. Pihak yang berargumen harus tetap mempertahankan AJB Bumiputera mempunyai penjelasannya sendiri, begitupun dengan pihak yang pro terhadap likuidasi dan demutualisasi.

1. Pembubaran Badan Usaha Mutual

Pendapat yang menyatakan bahwa AJB Bumiputera harus dibubarkan berargumen akibat aspek permodalan. Bagaimanapun, industri asuransi merupakan jenis industri padat modal dan mempunyai tingkat risiko yang tinggi sehingga memerlukan dukungan kuat dari sisi permodalan. Berdasarkan hasil data lapang dari pihak Kementerian Keuangan, kelemahan dari adanya badan usaha berbentuk mutual adalah: (i) perusahaan lebih sulit untuk mendapatkan tambahan modal karena hanya dapat mengandalkan permodalan dari internal perusahaan, pinjaman dan tambahan modal dari pemegang polis yang sekaligus sebagai pemilik perusahaan; dan (ii) lebih sulit menciptakan tata kelola yang baik karena belum adanya pengaturan dan petunjuk mengenai tata kelola yang kuat dan jelas.

Sinyalemen paling kuat atas rezim permodalan menganggap bahwa transformasi usaha dari mutual menjadi Perseroan Terbatas (PT) adalah yang sangat relevan dilakukan. Bentuk PT memiliki keunggulan dibandingkan mutual dan bentuk usaha lain (misalkan koperasi) dalam menjalankan bisnis asuransinya, diantaranya: (i) bentuk PT lebih mudah dalam menghimpun modal karena dapat menerbitkan saham; (ii) PT memiliki regulasi mengenai tata kelola yang lebih baik dan lengkap dibandingkan dengan mutual dan koperasi; dan (iii) meskipun tidak ada lembaga khusus yang melakukan pembinaan dan pengawasan PT, namun karena PT tersebut dalam hal ini adalah PT yang menjalankan bisnis sasuransi, maka pengawasan atas bisnis asuransi akan dilakukan oleh OJK.

Untuk mengakomodasi pihak yang beranggapan bahwa mutual adalah representasi asas kebersamaan sebagaimana amanah Pasal 33 UUD 1945, maka pendapat lain mengemukakan bahwa transformasi bukan dalam bentuk PT, melainkan koperasi. AJB Bumiputera dirasa relevan untuk dilakukan demutualisasi menjadi badan usaha koperasi. Bagaimanapun, badan usaha berbentuk mutual merupakan ideologi yang berorientasi kepada kebersamaan dan sejalan dengan UUD 1945 Pasal 33. Mutual sebagaimana juga koperasi merupakan badan hukum yang berorientasi kepada kebersamaan dan sejalan dengan UUD 1945. Hal tersebut dibuktikan misalnya pada asas kepemilikan,

(5)

dimana nasabah perusahaan adalah juga sekaligus sebagai pemilik. Keuntungan perusahaan yang didapatkan dari nasabah juga akan dibagikan kembali kepada nasabah/pemilik. Artinya, terdapat prinsip dari nasabah, oleh nasabah dan untuk nasabah perusahaan.

2. Mempertahankan AJB Bumiputera

Perusahaan mutual bisa membebaskan konflik kepentingan antara pemilik perusahaan dan pemegang polis karena kedua pihak ini adalah satu. Artinya, pengguna jasa atau pemegang polis sekaligus menjadi pemilik perusahaan, dimana pemegang polis menyediakan modal melalui premi asuransi, mendapatkan hasil keuntungan dari perusahaan, dan menanggung resiko perusahaan. Dalam konteks kelembagaan, bentuk badan usaha mutual ini sebetulnya bisa menjadi alternatif pengelolaan ekonomi untuk tujuan pemerataan. Badan usaha mutual seharusnya juga lebih persisten sebagai perusahaan rakyat (untuk membedakan dengan perusahaan publik), karena basisnya adalah jumlah pemegang polis. Semakin besar jumlah pemegang polis, seharusnya mutual semakin kuat. Selama ada peserta baru (new business), maka tidak ada alasan untuk kesulitan membayar klaim, karena proses bisnis berjalan seperti siklus input-process-output yang terus berkesinambungan.

Meski AJB Bumiputera mempunyai kelemahan pada akses permodalan, tetapi kondisi ini tidak dapat menjadi argumen penguat relevansinya dengan pembubaran. Konsep mutual sebenarnya sangat mirip seperti arisan keluarga. Inti dari model seperti ini adalah memberikan benefit kepada anggota secara bergiliran untuk menanggulangi risiko finansial. Bahwa kemudian usaha ini menghasilkan laba dan ingin dikembalikan ke anggota atau justru dikembangkan dalam bentuk usaha yang lain agar memberikan nilai tambah bagi anggota, itu persoalan lain. Dalam konteks ini, seberapa relevan perlunya ekspansi usaha, seharusnya tergantung kepada kebutuhan anggota. Konsep ini bukan berarti bahwa AJB Bumiputera tidak kompetitif, tetapi sangat tergantung dari sudut pandangnya. Jika basisnya kapitalis, maka badan usaha ini jelas tidak kompetitif. Tapi jika basis penilaian sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 33 UUD 1945, maka penilaian itu mungkin masih harus diperdebatkan.

d. Kondisi Usaha Asuransi Berbentuk Mutual di Dunia

Perkembangan usaha asuransi berbentuk mutual di dunia bisa dikatakan cukup berkembang, salah satunya yang menjadi poros adalah di Eropa. Pelaku industri asuransi berbentuk mutual di Eropa mempunyai peranan penting baik dalam jumlah maupun pangsa pasar.

Jika dilihat secara historis, seperti terjadi pada tahun 2000-an, asuransi berbentuk mutual eksis di sebagian negara Eropa baik asuransi jiwa maupun non-jiwa. Dari total perusahaan asuransi di Eropa yang berjumlah 7.180, hampir 70% merupakan berbentuk mutual dan koperasi. Secara spesifik, dari total 1.847 jenis asuransi jiwa di Eropa, sebanyak 61% merupakan asuransi mutual. Sementara dari total 5.076 jenis asuransi non-jiwa, asuransi berbentuk mutual mencapai 72%. Dan dari total 257 perusahaan asuransi komposit, 15%nya adalah berbentuk mutual.

(6)

Perbedaan antara keberadaan asuransi berbentuk mutual di berbagai negara di dunia dengan yang ada di Indonesia adalah menyangkut ada tidaknya regulasi yang mengatur. Adanya regulasi yang mengatur khusus mengenai perusahaan asuransi berbentuk mutual memudahkan perusahaan untuk berkembang. Regulasi juga meminimumkan tingkat distorsi kompetisi. Kasus di beberapa negara ini berbeda dengan di Indonesia, dimana regulasi mengenai mutual masih belum ada.

e. Strategi Kebijakan Merancang Regulasi Berbentuk Mutual Pasca

Berlakunya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014

AJB Bumiputera merupakan usaha bersama yang telah ada pada saat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 disahkan. Artinya, yang dimaksud dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa: yang dimaksud bentuk badan hukum penyelenggara Usaha Perasuransian selain perseroan terbatas dan koperasi adalah termasuk “usaha bersama yang telah ada pada saat Undang-Undang ini diundangkan” adalah AJB Bumiputera. Ayat (2) menyebutkan bahwa usaha bersama sebagaimana yang dimaksud tersebut dinyatakan sebagai badan hukum berdasarkan Undang-Undang. Dengan demikian, AJB Bumiputera menjadi satu-satunya perusahaan yang diakui sebagai badan usaha berbentuk mutual, yang disebutkan dalam Ayat (3) bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Dalam bagian Penjelasan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Pasal 6 Ayat (1) Huruf (c), disebutkan bahwa “Pihak yang bermaksud menyelenggarakan Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, atau Usaha Asuransi Jiwa Syariah dengan bentuk badan hukum usaha bersama setelah Undang-Undang ini diundangkan, didorong untuk menjadi berbentuk koperasi dengan pertimbangan kejelasan tata kelola dan prinsip usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Artinya, ada beberapa kemungkinan nasib AJB Bumiputera dalam Peraturan Pemerintah yang akan dibuat pemerintah, yakni tetap dipertahankan, dibubarkan (likuidasi), atau ditransformasikan ke bentuk lain (demutualisasi).

Bila mengacu pada “Penjelasan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Pasal 6 Ayat (1) Huruf (c), maka orientasi tata kelola terhadap AJB Bumiputera lebih relevan dengan tata kelola berbentuk koperasi. Hal ini disesuaikan dengan maksud dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 itu sendiri, yakni transformasi usaha mutual menjadi koperasi pada pihak yang bermaksud menyelenggarakan Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, atau Usaha Asuransi Jiwa Syariah dengan bentuk badan hukum usaha bersama setelah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 disahkan. Meski AJB Bumiputera tidak termasuk di dalamnya karena merupakan usaha mutual yang legal sebelum Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 disahkan, tetapi orientasinya tetap akan sama, yakni menjadi koperasi karena tata kelola ke depannya akan menjadi lebih mudah.

Koperasi secara filosofis dapat dikatakan hampir sama dengan usaha mutual, yakni tujuan suatu usaha bukan hanya pada aspek modal. Mutual dan

(7)

koperasi juga sama-sama dijalankan dengan asas kekeluargaan. Mutual dan koperasi juga sama-sama menganut prinsip bahwa nasabah perusahaan adalah sekaligus sebagai pemilik. Meski demikian, perubahan dari mutual menjadi koperasi tidak bisa dilakukan dalam waktu jangka pendek, tetapi diperlukan masa peralihan. Transformasi AJB Bumiputera dari perusahaan yang berbentuk mutual ke bentuk koperasi masih dapat dimungkinkan dengan catatan terdapat payung hukum yang jelas, rinci dan transparan bagi semua pemangku kepentingan.

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

a. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis pembahasan, maka kesimpulan dalam kajian ini adalah sebagai berikut:

1.

Pendirian AJB Bumpiputera sarat akan representasi dari Pasal 33 UUD 1945, yakni berdasarkan latar belakang pandangan dan cara hidup bergotong royong sebagai modal utama, disamping modal finansial. Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa ekonomi Indonesia tidak dibangun hanya dari modal investor, tetapi dari modal rakyat bersama-sama.

2.

Perdebatan tata kelola AJB Bumiputera didasarkan pada dua pendapat antara pihak yang pro likuidasi dan demutualisasi dan pihak yang tetap mempertahankan AJB Bumiputera:

 Pihak yang mendukung upaya demutualisasi maupun likuidasi pada AJB Bumiputera didasarkan pada risiko yang ditimbulkan oleh badan usaha asuransi berbentuk mutual, yaitu: (i) perusahaan lebih sulit dalam mendapatkan tambahan modal karena hanya mengandalkan permodalan internal perusahaan, pinjaman dan penambahan modal dari pemegang polis; dan (ii) lebih sulit menciptakan tata kelola yang baik karena belum adanya pengaturan dan petunjuk mengenai tata kelola yang kuat dan jelas.

 Sementara pihak yang mendukung AJB Bumiputera sebagai perusahaan mutual karena: (i) perusahaan mutual bisa membebaskan konflik kepentingan antara pemilik perusahaan dan pemegang polis karena kedua pihak ini adalah satu; (ii) kelemahan pada akses permodalan tidak dapat menjadi argumen penguat relevansinya dengan pembubaran, karena konsep mutual adalah memberikan benefit kepada anggota secara bergiliran untuk menanggulangi resiko finansial; (iii) persoalan sebenarnya belum ada aturan main maupun payung hukum mengenai badan usaha mutual.

3. Kasus di beberapa negara menunjukkan bahwa usaha mutual memainkan peranan cukup penting baik dari segi jumlah maupun pangsa pasar. Hal ini ditunjang dengan keberadaan regulasi yang memang mengatur badan usaha berbentuk mutual. Berbeda dengan Indonesia, dimana regulasi mengenai mutual masih belum ada.

4. Bila mengacu pada “Penjelasan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Pasal 6 Ayat (1) Huruf (c), maka orientasi tata kelola terhadap AJB Bumiputera lebih relevan dengan tata kelola berbentuk koperasi. Mutual dan koperasi juga sama-sama dijalankan dengan asas kekeluargaan, dan

(8)

sama-sama menganut prinsip bahwa nasabah perusahaan adalah sekaligus sebagai pemilik. Tetapi, perubahan dari mutual menjadi koperasi harus dilakukan melalui masa peralihan. Masa peralihan ini dapat dimungkinkan jika hanya terdapat payung hukum yang jelas, rinci dan transparan bagi semua pemangku kepentingan.

b. Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan hasil analisis pembahasan, maka rekomendasi bagi penyusunan regulasi badan usaha bersama pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 adalah sebagai berikut:

1. Dalam rancangan peraturan pemerintah yang dibuat, sebaiknya OJK dan Kementerian Keuangan mempertimbangkan dua hal, yaitu:

 Sebaiknya rancangan peraturan pemerintah juga memfikirkan untuk mengkonsep peraturan usaha bersama yang lebih memberi ruang yang sama antara AJB Bumiputera dengan badan usaha lain (PT dan koperasi); atau

 Jika memang diperlukan demutualisasi yang berorientasi koperasi untuk AJB Bumiputera, maka dalam jangka pendek diperlukan masa transisi melalui interval tahunan, yaitu pada tahap awal pemerintah mempertahankan kondisi saat ini. RPP Usaha Bersama yang sedang disusun harus secara eksplisit memuat roadmap mengenai kebijakan demutualisasi dengan maksud memberikan kesempatan kepada

stakeholders untuk melakukan penyesuaian.

2. Proses transmisi kebijakan dilakukan melalui strategi penyesuaian yang sifatnya mendasar diantaranya:

 Dalam koperasi diwajibkan setiap anggota memiliki dana simpanan wajib, sementara di perusahaan mutual tidak memiliki dana simpanan wajib

 Dalam hal keanggotaan koperasi bersifat sukarela sehingga siapapun bisa menjadi anggota, namun dalam usaha bersama yang menjadi anggota adalah yang sudah menjadi pemegang polis; dan

 Belum terdapat peraturan/perundang-undangan tentang peralihan perusahaan mutual menjadi koperasi.

Referensi

Dokumen terkait

Materi Uji Kompetensi yang selanjutnya disingkat MUK adalah alat ukur kompetensi yang dikembangkan untuk mengetahui tingkat pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang

Bagaimana merancang sebuah media informasi yang dapat memberikan wadah kepada anak usia 6-12 tahun untuk mendapatkan pengetahuan tentang peduli hewan peliharaan1. 1.3

Berdasarkan hasil yang tersaji pada tabel di atas, diketahui bahwa orientasi etika, komitmen profesi serta intensitas moral memiliki koefisien regresi yang

yang terjadi pada hari Senin tanggal 06 Februari pukul 01.00 WIB di rumah atas nama tersangka masih dalam lidik atas nama korban Candra yang melanggar Pasal 365 KUHP

Apabila salah seorang dari keluarga tersebut tidak ada yang berhasil dalam pendidikan yang lebih tinggi atau meraih titel sarjana walaupun keluarga tersebut orang

Pasal 17 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dan Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dalam Pasal 1 angka (1) disebutkan “asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak

Pengertian asuransi di Indonesia dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 1992 tentang Usaha Perasuransian “Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian