• Tidak ada hasil yang ditemukan

PORTOFOLIO: MODEL PENILAIAN DESAIN BERBASISKAN KONSTRUKTIVISTIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PORTOFOLIO: MODEL PENILAIAN DESAIN BERBASISKAN KONSTRUKTIVISTIK"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

PORTOFOLIO:

MODEL PENILAIAN DESAIN

BERBASISKAN KONSTRUKTIVISTIK

Moeljadi Pranata

Dosen Jurusan Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni dan Desain - Universitas Kristen Petra

dan

Dosen Jurusan Desain Komunikasi Visual Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang

ABSTRAK

Lingkungan belajar konstruktivistis terpusat pada apa dan bagaimana orang belajar. Meningkatnya minat terhadap penilaian konstruktivistik tecermin dalam berkembangkan istilah ‘penilaian portofolio’. Portofolio mempunyai sejarah pemakaian di bidang seni dan desain. Aspek kritis penilaian portofolio adalah bahwa evaluasi pebelajar terhadap pekerjaannya adalah sepenting evaluasi yang dilakukan oleh pihak lain.

Kata kunci: portofolio, konstruktivistik, penilaian.

ABSTRACT

Constructivist learning environments are concerned with both what and how one learns. The increasing interest in alternative assessment is reflecteted in the proliferation of term such as portfolio assessment. Portfolios have an honored history of use in fields such as art and design. A Critical, often overlooked, aspect of portfolio assessment is that the student’s evaluation of his/her own work is just as important as the evaluation rendered by others.

Keywords: portfolio, constructivist, assessment.

PENDAHULUAN

Revolusi konstruktivistik menawarkan visi baru tentang pebelajar sebagai pengkonstruksi pemahaman yang aktif serta mengusulkan pembelajaran dan penilaian yang memberikan tekanan pada aktivitas kognitif pebelajar. Duffy dan Jonassen (1992) berpendapat bahwa pengkonstruksian pengetahuan merupakan proses desain yang difasilitasi pada saat mahasiswa secara aktif mendesain pengetahuan. Mahasiswa menjadi desainer pengetahuan ketika ia memfokuskan pada tujuan untuk membangun pengetahuan, struktur yang mendasarinya, mengembangkan model, serta menggunakan

(2)

argumen-argumen yang diperlukan oleh masalah pokok bagi penyesuaian desainnya. Dengan demikian, seperti yang ditegaskan oleh Jonassen dkk. (1996), memproduksi pengetahuan lewat aktivitas pembelajaran dan penilaian merupakan bentuk yang paling komplit dan memberdayakan konstruktivisme. Dengan mengkonstruksi mahasiswa akan memperoleh pengetahuan yang serba lebih; sebaliknya, jika pembelajaran hanya didudukkan sebagai kontainer pencurahan pengetahuan, mahasiswa akan memperoleh pengetahuan yang statis dan ‘kering’. Jika pembelajaran desain merupakan proses pengkonstruksian pengetahuan, maka penilaian desain mestinya didesain agar mampu mengoptimalisasikan serta merefleksikan interaksi antara mahasiswa dengan pengalaman belajar yang yang dikonstruksinya itu.

Konstruktivisme berpendapat bahwa dalam belajar sangat mungkin siswa memanfaatkan pengetahuan yang sebelumnya telah dipelajarinya, meskipun sebelumnya hal itu belum pernah terungkapkan, dalam mengkonstruksi skema-skema mereka (Pranata, 2003b; Brooks & Brooks, 1993; Jonassen dkk., 1996). Pengetahuan yang dikonstruksi tersebut tergantung atas informasi yang diketahui, jenis pengalaman belajar yang dilalui, serta bagaimana informasi dan pengalaman itu diorganisasikan ke dalam struktur pengetahuan. Implikasinya, penilaian dan pembelajaran merupakan dua aktivitas yang tidak dapat dipisahkan. Di kelas-kelas desain yang berbasis konstruktivistik penilaian portofolio dipandang sebagai kegiatan yang terintrgrasi dengan proses pembelajaran. Sementara itu, di kelas-kelas desain tradisional penilaian portofolio dipandang sebagai kegiatan yang terpisah dari proses pembelajaran. Sebenarnya, penggunaan portofolio pada kelas-kelas desain tradisional tersebut tak dapat dipisahkan dari sejarah panjang penggunaan portofolio dalam pendidikan seni dan desain.

PORTOFOLIO: LATAR KESEJARAHAN

Dalam tradisi desain, portofolio adalah sebuah koleksi yang berisi karya-karya yang didesain untuk dikomunikasikan dalam berbagai macam cara untuk mengikhtisarkan kemampuan diri sang penciptanya. Sebenarnya, para profesional di bidang seni dan desain telah lama menggunakan portofolio sebelum model ini digunakan di bidang pendidikan (periksa Knight, 1994). Para pelukis dan desainer menggunakan portofolio untuk menunjukkan karya-karya terbaik mereka bagi berbagai macam tujuan: untuk

(3)

mempromosikan karya-karya mereka pada perusahaan-perusahaan yang potensial ketika akan mengajukan permohonan mengenai bantuan keuangan, mengajukan lamaran pekerjaan, atau untuk mendapatkan persetujuan dari galeri-galeri yang akan menampilkan karya-karya mereka.

Di kalangan desainer, istilah portofolio bukanlah merupakan hal yang baru. Dari sekian banyak karya yang pernah dirancangnya, desainer memilih beberapa karya terbaik sebagai bahan portofolio. Seperti halnya pelukis, bagi desainer portofolio merupakan bukti kumpulan rekaman karya terbaiknya. Seperti diketahui, profesionalitas seorang desainer diukur dari karya-karya desain monumental yang pernah dirancangnya; kesenimanan seorang pelukis biasanya diukur dari karya-karya lukisan terbaik yang pernah diciptakannya. Karya-karya terbaik itu, yang merupakan representasi kualitas keprofesian penciptanya, biasanya direkam sebagai bukti diri profesionalitas atau curriculum vitae. Di bidang desain, kumpulan dan atau rekaman karya terbaik itu kerapkali digunakan oleh desainer untuk mempromosikan karyanya kepada calon klien atau ditunjukkan kepada agency ketika ia melamar pekerjaan.

Sebagai media promosi, portofolio terdiri atas portofolio individual dan portofolio kelompok. Portofolio individual berisi kumpulan karya-karya terbaik seorang desainer untuk memperkenalkan dan mempromosikan dirinya secara individual. Portofolio kelompok berisi kumpulan karya-karya terbaik suatu kelompok desain untuk memperkenalkan dan mempromosikan hasil karya terbaik sekelompok desainer kepada klien atau sesuatu galeri.

Untuk meyakinkan klien, portofolio biasanya dikemas dengan rapi dan menarik. Hal ini penting karena kemasan sebuah portofolio menunjukkan tingkat apresiasi, kepekaan estetik, dan kompetensi desainer di bidangnya . Bila pada masa lalu portofolio umumnya berupa map arsip, dibendel dalam bentuk buku, atau tas khusus dengan kantong plastik tempat menyimpan lembaran rekaman karya, maka pada masa sekarang portofolio mulai banyak yang dikemas secara digital misalnya dalam disket komputer, CD-ROM, dikirim atau dipublikasikan lewat jaringan web.

Jenis karya yang disertakan dalam portofolio beragam. Isi karya dalam portofolio yang difungsikan sebagai media promosi bisa berbeda dengan isi karya dalam portofolio yang digunakan untuk melamar sesuatu pekerjaan. Portofolio seorang desainer pemula

(4)

yang akan melamar pekerjaan kepada sesuatu agency, misalnya, biasanya berisi karya-karya yang menonjolkan aspek variasi kemampuan teknik, media, dan kreativitasnya dalam memecahkan masalah-masalah desain. Sebagai pelamar pekerjaan, wajar jika desainer memaparkan ragam potensi dan keahliannya tersebut. Untuk itu, selain berisi karya-karya jadi, biasanya disertakan pula karya-karya sketsa atau draft rancangan yang menggambarkan proses kerja perancangan suatu karya atau bagaimana ide dari sang desainer berkembang. Sementara itu, portofolio kelompok biasanya berisi ragam karya yang telah dihasilkan oleh kelompok tersebut. Karya-karya selektif tersebut, selain menonjolkan aspek-aspek desain, biasanya juga mengedepankan ‘nama besar’ klien-klien yang telah ditanganinya. Pertimbangan utama dalam memilih karya untuk diikutkan dalam portofolio biasanya berkaitan erat dengan maksud dan kepada siapa portfolio tersebut akan ditunjukkan. Apapun fungsi dan bentuknya, sebuah portfolio diharapkan dapat menggambarkan potensi diri dari pemiliknya. Apapun isinya, penilaian terhadap portofolio menjadi ‘hak’ klien, pengusaha, perorangan atau lembaga, kemana portofolio tersebut diajukan.

PORTOFOLIO DI KELAS DESAIN

Penggunaan portofolio untuk kepentingan akademik sudah lama diaplikasikan di kelas-kelas seni dan desain. Menurut konteks pembelajaran, portofolio didefinisikan sebagai kumpulan koleksi dari pekerjaan-pekerjaan peserta didik yang menggambarkan perkembangan belajarnya dalam jangka waktu tertentu. Portofolio-portofolio hasil studi biasanya dikemas dalam suatu media yang konvensional dan umum seperti dalam bentuk buku dan map-map yang berisi karya-karya mahasiswa serta catatan-catatan ringkas mengenai konsep, jurnal, atau komentar mahasiswa mengenai karya-karya buatannya tersebut.

Dalam beberapa tahun belakangan ini portofolio hasil studi telah dikemas dalam media digital seperti disket komputer dan CD dimana para mahasiswa dapat menyimpan tugas-tugas mereka. Portofolio tersebut berisi berbagai koleksi dokumen produk perkuliahan yang dikerjakan oleh mahasiswa yang bersangkutan. Suatu portofolio dapat berisi sketsa-sketsa, gambar-gambar ilustrasi, gambar-gambar rancangan, slide, esai foto, poster, animasi, atau rekaman-rekaman video seperti maket dan presentasi. Selain itu,

(5)

disertakan pula data lain seperti sketsa-sketsa dan catatan-catatan penting yang melatari terciptanya karya terbaik itu. Penggunaan computer workstations seperti kartu-kartu digital, video-audio, printer, scanner, dan kamera-kamera digital telah memudahkan mahasiswa untuk mampu memproduksi portofolio elektronik dan digital. Portofolio elektronik dan digital tersebut merupakan pengorganisasian, perancangan, dan penyajian portofolio tradisional secara elektronik. Ia merupakan teknik untuk menilai pembelajaran siswa yang memanfaatkan teknologi maju. Menurut Campbell (1990), penggunaan portofolio elektronik telah memudahkan pengembangan proses belajar dan pengukuran hasil belajar mahasiswa seperti halnya dalam portofolio tradisional.

Portofolio berbasiskan web memiliki faedah melebihi portofolio tradisional dalam caranya untuk mengkreasi dan menggunakannya. Pertama, portofolio ini dapat meluaskan ukuran audiens; online portofolio dapat dibuka oleh audiens di mana pun ia berada. Menurut pengalaman, para mahasiswa cenderung lebih cocok jika dimotivasi dengan audiens yang lebih luas. Foto-foto, video klips, rekaman audio, animasi, gambar-gambar, ragam typografi, serta hyperteks memudahkan mahasiswa untuk mengkreasi portofolio secara lebih menyenangkan dan menarik. Para mahasiswa dapat berkesempatan untuk mengkreasi dan memamerkan minat dan hobi mereka kepada banyak jenis dan tingkat kalangan masyarakat. Portofolio berbasiskan elektronik ini mudah untuk diedit dan dimodifikasi setiap saat.

Menjelang penghujung masa akhir perkuliahan biasanya portofolio-portofolio itu dikumpulkan untuk dinilai oleh dosen. Dalam hal ini portofolio cenderung hanya dipandang sebagai produk, bukan proses, yang merepresentasikan kemampuan mahasiswa dalam menempuh sesuatu matakuliah tertentu. Tak jarang portofolio hanya diperlakukan sebagai setumpuk hasil karya mahasiswa, tanpa input partnership dengan mahasiswa sebagai pekarya yang ‘memiliki’ bangunan pengalaman belajar yang spesifik itu. Penyusunan dan penggunaan portofolio untuk menilai kemampuan mahasiswa bergantung atas cara pandang dosen tentang belajar dan pembelajaran yang dianutnya.

Penggunaan portofolio dalam kegiatan penilaian di kelas-kelas seni dan desain pada awalnya dilakukan oleh kalangan seniman dan praktisi desain yang kebetulan menjadi dosen pada perguruan tinggi seni, utamanya seni lukis. Tradisi ini kemudian diikuti oleh para akademisi desain di kelas-kelas desain seperti arsitektur, desain interior,

(6)

desain grafis, desain produk, dan desain komunikasi visual. Oleh kalangan akademisi desain (baca: dosen program studi desain) portofolio lebih banyak digunakan sebagai bentuk penilaian dalam proses pembelajaran, khususnya pada mata-mata kuliah studio.

Di kelas-kelas desain berbasiskan behaviorisme, yang menerapkan model hubungan ‘ahli’ dan ‘non-ahli’ secara kaku, model penilaian ini berbentuk pemberian skor dan umpan-balik kepada mahasiswa dalam rangka pengembangan karya-karyanya (Holt, 1997). Dalam penilaian tersebut, selain memberikan skor terhadap karya, dosen memberikan komentar lisan maupun catatan tertulis mengenai karya-karya yang dibuat mahasiswa. Karena mahasiswa dipandang sebagai ‘non-ahli’ maka ia dipandang tak memiliki keahlian dan kewenangan dalam memberikan penilaian; tegasnya, penilaian sepenuhnya merupakan otoritas dosen. Dalam penilaian itu kemampuan mahasiswa diukur dari portofolio sebagai karya; portofolio hanya merepresentasikan hasil dan bukan rekaman proses belajar mahasiswa. Pada kelas-kelas desain yang menggunakan pendekatan behavioristik, penilaian dipandang sebagai bagian terpisah dari kegiatan pembelajaran; penilaian biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan belajar dengan penekanan pada penilaian individual.

PENILAIAN: CARA PANDANG YANG BERBEDA

Portofolio menduduki posisi sentral dalam aktivitas penilaian desain. Dalam konteks penilaian desain, perbedaan cara pandang terhadap konsep belajar dan pembelajaran desain mempengaruhi bagaimana portofolio dibuat dan diperlakukan. Penilaian yang berbasiskan pada pandangan behavioristik memandang bahwa portofolio merupakan produk pembelajaran yang secara absolut mencerminkan kemampuan pebelajar. Dalam proses, penilaian portofolio hanya dinilai oleh dosen yang bersangkutan atau pihak-pihak relevan lainnya yang dipandang memiliki kewenangan atau kematangan dalam penilaian. Sementara itu, mahasiswa, yang diposisikan sebagai ‘non-ahli’, dipandang belum memiliki hak dan kemampuan dalam pengambilan keputusan pada proses penilaian itu.

Di kalangan profesi desain portofolio bukanlah merupakan hal yang baru; namun, perspektif teoritik penilaian portofolio merupakan hal yang baru (Knight, 1994). Landasan teoritik model penilaian portofolio ialah teori konstruktivistik, suatu pendekatan

(7)

pembelajaran yang populer setelah tahun 1990-an (Burton, Moore, dan Kagliaro, 1996). Teori konstruktivistik memiliki pandangan yang berbeda dengan teori behavioristik tentang belajar dan pembelajaran. Teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah objektif, pasti, dan tetap--tidak berubah. Dalam wujudnya, pengetahuan berupa fakta-fakta, konsep-konsep, dan kaidah-kaidah yang siap untuk diambil dan dimiliki. Karena pengetahuan bersifat tetap maka ia bisa ditransfer dari seseorang yang ‘ahli’ kepada seseorang yang ‘tidak ahli’. Selain itu, pengetahuan bisa diwariskan secara turun-temurun lewat pembelajaran yang diatur secara ketat dan terstruktur. Behavioristik memandang bahwa belajar merupakan proses pengubahan perilaku dan mengajar adalah proses menanamkan pengetahuan dan keterampilan kepada si-belajar. Esensi dari teori behavioristik adalah ide bahwa mahasiswa harus dikondisi untuk menerima curahan pengetahuan. Jadi, ukuran keberhasilan belajar dan pembelajaran terletak pada seberapa banyak materi pembelajaran telah diserap dan disimpan oleh pebelajar. Dengan dasar itu, pembelajaran dikemas berdasarkan desain ‘stimulus-respon’ yang memungkinkan pebelajar dapat menyerap materi sebanyak-banyaknya. Dalam proses pembelajaran, mahasiswa secara pasif menerima curahan pengetahuan dari dosen; dosen menjadi pusat kegiatan, bukan mahasiswa sebagai pusat kegiatan.

Landasan berpikir behavioristik berfokus pada hasil pembelajaran. Bagi kaum behavioris tujuan pembelajaran ditekankan pada upaya penambahan pengetahuan. Karena itu, aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada ‘pengetahuan yang sudah ada’ dengan penekanan pada keterampilan mengungkapkan kembali pengetahuan tersebut; pembelajaran dan penilaian ditekankan pada hasil pengetahuan sebanyak-banyaknya yang bisa diserap mahasiswa.

Cara pandang dalam hal belajar dan pembelajaran desain ini berdampak pula pada model penilaian desain. Penilaian yang menggunakan landasan behavioristik menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Penilaian yang behavioristik cenderung menuntut satu jawaban yang benar serta jawaban yang mengindikasikan bahwa mahasiswa telah menyelesaikan tugas belajar yang telah ditetapkan batas-batasnya. Karena pengetahuan bersifat tetap, penilaian lebih berorientasi pada pemerolehan hasil pengetahuan, dan yang dinilai adalah kemampuan mahasiswa dalam menyerap pengetahuan tersebut, maka mahasiswa tidak dilibatkan dalam keputusan pemberian nilai.

Dalam konteks penilaian desain, perbedaan cara pandang terhadap konsep belajar dan pembelajaran desain mempengaruhi bagaimana penilaian terhadap hasil belajar

(8)

desain dirancang dan dilaksanakan. Selama ini, penilaian terhadap karya desain terfokus pada penilaian terhadap portofolio dan sering dipandang sebagai kegiatan yang terpisah dari pembelajaran (bandingkan Holt, 1997). Penilaian dengan konsep tradisional ini berdasarkan pandangan instruksionisme yang mendudukkan siswa sebagai penerima yang pasif terhadap informasi dan pengetahuan yang ditanamkan (oleh dosen dan atau buku teks) kepadanya. Pendukung instruksionisme cenderung memandang bahwa pembelajaran merupakan masalah ‘teknis’, bukan masalah ‘keilmuan’; dalam hal ini pembelajaran, dari segi dosen, dipandang sebagai ‘pencurahan pengetahuan’, dari segi mahasiswa, hanya dipandang sebagai peristiwa ‘mengalami’ informasi, transfer informasi (bandingkan Duchastel, 1999; Meyrs, 1999). Sebenarnya, ketika pembelajaran desain hanya dipandang sebagai masalah pencurahan informasi seperti itu maka dalam pembelajaran tersebut mahasiswa tak lebih dari penerima pesan yang pasif. Jika pembelajaran mengabaikan akses kognitif mahasiswa maka dalam kegiatan penilaian mahasiswa tidak memiliki input partnership intelektual dengan materi dan proses penilaian yang bersangkutan. Tegasnya, penilaian merupakan kegiatan yang ‘terpisah’ dari potensi dan kebutuhan belajar mahasiswa yang semestinya.

Menurut pandangan yang berbasiskan pada instruksionisme, misalnya behaviorisme, secara teoritik pembelajaran dan penilaian desain seharusnya dirancang dan diaplikasikan secara sangat terstruktur. Hal ini dilatari oleh azas stimulus-respon yang menyatakan bahwa untuk mencapai suatu sasaran perilaku (prestasi) tertentu pembelajaran (dan penilaian) perlu ‘dibatasi’ dengan apa saja agar sasaran tersebut dapat tercapai (bandingkan Burton, Moore, & Kagliaro, 1996). Jenis pembelajaran dan penilaian tipe ini menerapkan konsep pengajaran sponge dan banking yang menempatkan mahasiswa sebagai penyerap dan penimbun informasi yang diberikan sampai adanya penilaian yaitu saat timbunan informasi yang diberikan itu diperas. Jadi, dalam pembelajaran bertipe instruksionisme ini penilaian lebih diarahkan pada penguasaan menyerap dan mengingat sebanyak-banyaknya informasi yang diberikan.

PENILAIAN PORTOFOLIO: PANDANGAN KONSTRUKTIVISTIK

Tantangan pendidikan desain dalam menghadapi masa depan adalah mempersiapkan para mahasiswa desain untuk hidup dan berkarier secara profesional

(9)

dalam sebuah dunia yang terus berubah (bandingkan Cross, 1984). Oleh karena itu, program-program pendidikan desain tak cukup hanya membantu para mahasiswanya untuk menguasai seperangkat keterampilan, apalagi teknis, melainkan mengembangkan pemahaman yang lebih baik terhadap nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan aspirasi-aspirasi mereka dalam profesi desain dan masyarakat, serta menyediakan sebuah proses untuk mencapai perkembangan kompetensi dan kesadaran yang berkelanjutan bagi mereka (Pranata, 2003b). Untuk itu, para mahasiswa dituntut membelajarkan dan memahami dirinya sendiri dan pengalaman-pengalaman batinnya sebelum ia mampu membandingkan posisi dan perspektifnya dengan orang lain di sekitarnya (Owen, 1990; Verma, 1997). Melalui proses rekonstruksi secara terus-menerus serta keterbukaan diri tersebut mahasiswa belajar membangun kompetensi untuk berhubungan secara lebih dekat dengan pengalaman batinnya dan orang lain. Penelitian terbaru menemukan, kemampuan mengelola diri dan membangun hubungan dengan orang lain memberikan kontribusi terbesar bagi suatu kesuksesan (Goleman, 2002).

Dalam konteks pembelajaran desain, realita baru ini menuntut adanya rekonstruksi metode-metode belajar dan pembelajaran desain yang telah ada dan mengubahnya menjadi 'sebuah proses belajar untuk belajar' dalam suatu lingkungan belajar yang terbuka dan berorientasi pada tindakan, serta berdasarkan pada keterbukaan diri, kerjasama, dan pembelajaran dari pengalaman nyata.

Pada hakikatnya, pengetahuan dikonstruksi dari tanggapan terhadap pertanyaan, pengetahuan baru dikonstruksi dari pengajuan pertanyaan-pertanyaan baru; cukup sering pertanyaan-pertanyaan-pertanyaan-pertanyaan baru yang diajukan adalah mengenai pertanyaan-pertanyaan lama. Pengkonstruksian pengetahuan itu secara sederhana dapat digambarkan berikut. Pada saat peserta didik telah belajar bagaimana caranya untuk mengajukan pertanyaan, pertanyaan yang relevan dan tepat serta penting, ia telah belajar bagaimana caranya untuk belajar dan tidak ada seorang pun yang mampu untuk menghalanginya untuk belajar apa pun yang ia inginkan atau butuhkan untuk mengetahuinya (bandingkan Stolterman, 1994). Apabila pengajuan pertanyaan bukanlah suatu kegiatan yang tidak menghasilkan ataupun kegiatan yang sudah menjadi rutinitas, maka kegiatan tersebut mestinya mampu menghadapi masalah-masalah yang dipahami sebagai sesuatu yang berguna dan nyata oleh para pebelajar. Singkatnya, tidak ada proses

(10)

pembelajaran tanpa adanya seorang pebelajar yang mengkonstruksi pengetahuan, dan tidak ada makna tanpa adanya seorang pembuat makna. Agar dapat bertahan hidup dalam sebuah dunia yang terus berubah secara cepat, tidak ada lagi yang lebih berarti untuk diketahui selain proses berkelanjutan bagaimana caranya untuk mengkonstruksi makna-makna.

Metafora mengenai pengkonstruksi makna-makna tersebut menempatkan para mahasiswa desain pada titik pusat dari proses pembelajaran. Metafora tersebut menjadikan pluralisme makna sebagai sesuatu yang mungkin dan dapat diterima, karena pembelajaran konstruktivisme ada tidak hanya untuk mempermasalahkan makna-makna yang telah dibakukan tetapi lebih untuk membantu para mahasiswa mengembangkan dan memperbaiki kemampuan unik mereka dalam menciptakan makna-makna baru. Hal ini merupakan dasar dan proses pembelajaran tentang bagaimana caranya untuk belajar, bagaimana caranya untuk menghadapi 'keadaan tanpa makna', bagaimana caranya untuk menghadapi perubahan yang menuntut adanya penciptaan makna-makna baru.

Pada kelas desain, pendekatan pembelajaran ini tak cuma menekankan pada aspek keterampilan psikomotorik, lebih-lebih pada perkembangan afektif maupun perkembangan kognitif, pemrosesan nilai-nilai, dan keterampilan-keterampilan pengklarifikasian nilai-nilai (bandingkan Daley, 1994). Dasar dari pendekatan pembelajaran ini ialah keyakinan bahwa kecuali suatu pembelajaran dipahami sebagai sesuatu yang relevan oleh para pebelajar, tidak akan terjadi suatu pembelajaran yang bermakna. Tidak seorang pun yang akan belajar sesuatu yang tidak ia ingini untuk dipelajari; belajar hanya terjadi jika pebelajar bersedia untuk belajar (Brooks & Brooks, 1993). Bagi pendidikan desain, hal ini berarti menciptakan sebuah lingkungan yang memberikan prioritas tertinggi yang mungkin bagi perilaku belajar dan pembelajaran. Ini merupakan sebuah lingkungan di mana mahasiswa merupakan pusat dan subjek dalam belajar dan pembelajaran; sementara itu, nilai-nilai adalah titik-tolak segala perkembangan sikap-sikap, pilihan-pilihan, kecukupan diri, keterbukaan pikiran, fleksibilitas, kemampuan mengkonstruksi, dan kondisi yang penuh dengan sumber-sumber belajar. Pendekatan konstruktivisme dalam pendidikan desain mengintegrasikan teori pemrosesan nilai dan teknik pemecahan masalah untuk menciptakan metode pembelajaran yang menekankan pengkonstruksian pengetahuan dan

(11)

aktivitas pembelajaran yang berpusat pada para mahasiswa. Metode ini memiliki ciri 'saya memberikan apa yang mareka mau’; metode pembelajaran ini berpusat pada pebelajar serta peduli dengan fakta nyata yang ada di lapangan dan di tengah masyarakatnya.

Kebutuhan untuk pemrosesan nilai-nilai dalam ‘belajar membelajarkan diri sendiri’ memerlukan waktu yang relatif lama. Menurut Qualye (1990), seorang dosen sedikitnya mempunyai gambaran yang jelas mengenai apa yang dibutuhkan mahasiswa: fakta, konsep, metode, rumus, kemampuan, teknik, formula, pendekatan, pemahaman, keterampilan berpikir, serta nilai. Fakta-fakta dan rumus-rumus akan hilang dan harus diganti, kemampuan-kemampuan dan teknik- teknik menjadi kuno atau berubah dalam praktiknya. Beberapa pendekatan, konsep, dan pemahaman diubah oleh pengalaman-pengalaman hidup, tetapi di sisi lain memberi pengaruh pada pikiran dan hidup. Nilai-nilai dan keterampilan pemecahan masalah yang konstruktif itulah yang bertahan lama. Karena itu, pembelajaran desain dengan berasaskan pada kemampuan pengkonstruksian nilai-nilai dan pengetahuan yang berbasiskan keterampilan berpikir konstruktif secara berkelanjutan merupakan tantangan riil pendidikan desain yang sebenarnya. Pendekatan konstruktivistik memberdayakan peserta didik dalam menghadapi masa depan untuk berkarier secara profesional dalam sebuah dunia yang terus berubah (Pranata, 2003b).

MODEL PENILAIAN PORTOFOLIO

Tujuan terpenting dari pembelajaran desain menurut pandangan konstruktivisme ialah mengembangkan kemampuan mental yang memungkinkan pebelajar dapat belajar dengan caranya sendiri apa yang sedang dipelajarinya. Pendekatan ini bertolak dari keyakinan bahwa kemampuan mental yang produktif dapat terbangun secara optimal hanya apabila yang bersangkutan mendapatkan kebebasan yang cukup untuk bertindak secara mandiri tanpa dikekang oleh aturan-aturan yang tak ada kaitannya dengan belajar. Berkaitan dengan hal itu, dalam hal penilaian pembelajaran konstruktivisme lebih menekankan pada penyusunan makna secara aktif yang melibatkan keterampilan terintegrasi, dengan menggunakan masalah dalam konteks nyata. Penilaian konstruktivistik lebih mengedepankan pemahaman mendalam daripada pemahaman yang berdifat hafalan.

(12)

Konstruktivistik memandang bahwa penilaian merupakan bagian utuh dari belajar, untuk itu pembelajaran dilaksanakan dengan cara memberikan tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermakna serta menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata (periksa Reeves & Okey, 1996). Dalam hal ini, penilaian dikondisi untuk mengarahkan dan menggali munculnya kemampuan kreatif, pendayagunaan kecerdasan majemuk, serta pemecahan masalah secara kompleks. Karena belajar adalah interaksi kompleks dengan konteks yang nyata maka penilaian juga menekankan pada keterampilan proses dalam kelompok. Salah satu model penilaian yang sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut ialah model penilaian portofolio.

Di kalangan profesi desain portofolio bukanlah merupakan hal yang baru; namun, perspektif teoritik penilaian portofolio merupakan hal yang baru. Landasan teoritik model penilaian portofolio ialah teori konstruktivistik, suatu pendekatan pembelajaran yang populer setelah tahun 1990-an (Reeves & Okey, 1996; Burton, Moore, dan Kagliaro, 1996). Teori konstruktivistik memiliki pandangan yang berbeda dengan teori behavioristik tentang belajar dan pembelajaran. Teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah objektif, pasti, dan tetap--tidak berubah. Sebaliknya, teori konstruktivistik memandang bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak se-konyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Karena itu, menurut teori konstruktivistik, pengetahuan adalah non-objektif, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu (Brooks & Brooks, 1993). Belajar merupakan penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, serta refleksi dan interpretasi (Dede, 1996); mengajar adalah menata lingkungan agar mahasiswa termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Untuk itu, mahasiswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Dosen tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada mahasiswa. Karena itu, mahasiswa dikondisi agar mampu mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri. Esensi dari teori konstruktivistik adalah ide bahwa mahasiswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan

(13)

apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Dengan dasar itu, pembelajaran mestinya dikemas menjadi proses ‘mengkonstruksi' bukan 'menerima' pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, mahasiswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Mahasiswa menjadi pusat kegiatan, bukan dosen sebagai pusat kegiatan.

Landasan berpikir konstruktivisme berbeda dengan pandangan kaum behavioris , yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Bagi kaum behavioris tujuan pembelajaran ditekankan pada upaya penambahan pengetahuan. Karena itu, aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada ‘pengetahuan yang sudah ada’ dengan penekanan pada keterampilan mengungkapkan kembali pengetahuan tersebut; pembelajaran dan penilaian ditekankan pada hasil pengetahuan sebanyak-banyaknya yang bisa diserap mahasiswa. Sementara itu, dalam pandangan konstruktivis, 'strategi memperoleh' lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak mahasiswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu, dalam pembelajaran yang berbasiskan konstruktivistik, tugas dosen adalah menfasilitasi proses pembelajaran dengan (a) menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi mahasiswa, (b) memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan (c) mengkondisikan mahasiswa agar mereka menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.

Pengetahuan tumbuh berkembang melalui pengalaman. Pemahaman berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila selalu diuji dengan pengalaman baru. Menurut Piaget, manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti kotak -kotak yang masing-masing berisi informasi bermakna yang berbeda-beda. Pengalaman sama bagi beberapa orang akan dimaknai berbeda-beda oleh masing-masing individu dan disimpan dalam kotak yang berbeda. Setiap pengalaman baru dihubungkan dengan kotak-kotak (struktur pengetahuan) dalam otak manusia tersebut. Struktur pengetahuan dikembangkan dalam otak manusia melalui dua cara, yaitu asimilasi atau akomodasi. Melalui asimilasi struktur pengetahuan baru dibuat atau dibangun atas dasar struktur pengetahuan yang sudah ada. Melalui akomodasi struktur pengetahuan yang sudah ada dimodifikasi untuk menampung dan menyesuaikan dengan hadirnya pengalaman baru.

Perbedaan pandangan antara kedua kubu tersebut di atas berdampak pula pada model penilaian pembelajaran. Penilaian yang menggunakan landasan behavioristik

(14)

menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Penilaian yang behavioristik cenderung menuntut satu jawaban yang benar serta jawaban yang mengindikasikan bahwa mahasiswa telah menyelesaikan tugas belajar yang telah ditetapkan batas-batasnya. Karena pengetahuan bersifat tetap, penilaian lebih berorientasi pada pemerolehan hasil pengetahuan, dan yang dinilai adalah kemampuan mahasiswa dalam menyerap pengetahuan tersebut, maka mahasiswa tidak dilibatkan dalam keputusan pemberian nilai.

Penilaian yang menggunakan landasan konstruktivisme menekankan pada penyusunan makna secara aktif yang melibatkan keterampilan terintergrasi, dengan menggunakan masalah dalam konteks nyata. Penilaian merupakan bagian utuh dari belajar, dengan cara memberikan tugas-tugas yang menuntut kegiatan belajar yang bermakna serta menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata. Penilaian ini lebih menekankan pada keterampilan proses. Karena pengetahuan dibangun oleh mahasiswa dengan dan melalui proses pemberian makna secara unik dan spesifik, bukan diterima begitu saja secara instant, maka penilaian dilakukan dengan mengindahkan mahasiswa sebagai subjek belajar dan pembelajaran. Model penilaian portofolio memberikan ruang yang luas untuk penerapan prinsip-prinsip penilaian yang berbasiskan teori konstruktivistik.

Sementara itu, pada kelas-kelas desain yang menerapkan konstruktivistik, penilaian merupakan bagian utuh dari belajar dengan cara memberikan tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar bermakna serta menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata. Selain itu, penilaian menekankan pada keterampilan proses dalam kelompok dan melibatkan mahasiswa. Pelibatan mahasiswa dalam penilaian tersebut merupakan bentuk pemberdayaan dan pengakuan terhadap mahasiswa sebagai subjek belajar serta pengkonstruksi karya. Dalam praktiknya, portofolio dimanfaatkan pada penilaian yang berbasiskan behavioristik maupun konstruktivistik.

Menurut paradigma konstruktivistik penilaian portofolio dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses pembelajaran. Implikasinya, penilaian portofolio adalah penilaian yang dilakukan terhadap karya dan proses penciptaan dari kumpulan karya terbaik mahasiswa yang dikerjakannya dalam kurun waktu tertentu. Dalam kegiatan tersebut penilaian terhadap proses dilakukan melalui penilaian formatif, penilaian terhadap hasil dilakukan melalui penilaian sumatif.

(15)

Agar penilaian terhadap proses dan hasil belajar mahasiswa konsisten dengan semangat konstruktivisme maka pada awal perkuliahan perlu diinformasikan secara jelas karakteristik portofolio yang diharapkan setelah mahasiswa menyelesaikan program perkuliahan. Isi informasi meliputi deskripsi tujuan dan indikator atau rambu-rambu pencapaian tujuan untuk setiap tugas, tema dan jadwal waktu penyelesaian setiap tugas, format dan jumlah karya untuk setiap tugas, serta cakupan karya yang disertakan dalam portofolio. Seperti diketahui, beberapa keterampilan dan teknik yang beragam dibutuhkan untuk menghasilkan sebuah portofolio yang efektif. Untuk itu, sebaiknya disajikan beberapa contoh model penyusunan portofolio pada awal pemebelajaran; contoh tersebut akan memacu peserta kuliah untuk mengembangkan portofolio yang baik. Penyeleksian dan pengkonstruksian contoh portofolio hendaknya melibatkan para mahasiswa; dari keterlibatan tersebut dapat diidentifikasi refleksi keberadaan diri mereka.

Penilaian formatif berlangsung pada saat terjadinya proses pembelajaran. Penilaian ini bertujuan untuk memberikan balikan kepada mahasiswa dalam rangka pengembangan portofolionya. Fokus pengamatan dalam tahap penilaian ini adalah apakah mahasiswa telah belajar secara maksimal dan efisien. Bila hasil pengamatan menunjukkan gejala positif, maka kegiatan pembelajaran dapat terus dilangsungkan, namun bila sebaliknya maka kegiatan pembelajaran mungkin perlu dimodifikasi. Pada penilaian formatif ini, mahasiswa diberi informasi mengenai kemajuan yang telah dicapainya serta dimotivasi agar lebih bergairah dalam kegiatan belajar pada tahapan selanjutnya. Frekuensi penilaian dilakukan sesuai dengan kapasitas projek yang dikerjakan.

Tahap penilaian formatif sejalan dengan langkah-langkah pemecahan masalah (estetik maupun fungsional) yang dilakukan mahasiswa. Biasanya proses ini terdiri atas langkah-langkah studi awal untuk (a) mendalami dan mengembangkan konsep-konsep bagi pemecahan masalah, (b) berpikir gambar (melakar) untuk menghasilkan beberapa sketsa alternatif, (c) menganalisis dan mensintesis sketsa-sketsa terpilih untuk dikembangkan menjadi comp, serta (d) penggarapan karya final berdasarkan comp yang terpilih. Proses ini dapat diobservasi langsung dan atau diidentifikasi lewat eksplorasi konsep dan cakupan karya (sketsa-sketsa, comp, catatan-catatan pribadi, jurnal, dan data lainnya) yang dihasilkan mahasiswa selama menyelesaikan tugas tersebut.

(16)

Di kelas-kelas desain, penilaian formatif seringkali diperluas dengan kegiatan apresiasi yang bersifat membandingkan karya seorang mahasiswa dengan mahasiswa lainnya serta dengan melibatkan seluruh mahasiswa sebagai apresiator. Dari kegiatan ini mahasiswa memiliki kesempatan untuk membabarkan ide-idenya serta akan memperoleh balikan dari dosen serta kritik dan komentar dari sesama mahasiswa. Kegiatan semacam ini akan mengantarkan para mahasiswa pada tingkat pemahaman dan apresiasi tentang poses-proses penciptaan serta karya-karya terbaik menurut mereka bersama.

Tahap penilaian sumatif dilakukan pada penghujung masa studi setelah portofolio yang ditugaskan telah diselesaikan oleh peserta kuliah. Jika pada tahap formatif penilaian diberikan dalam rangka membantu mahasiswa untuk mengembangkan portofolio, maka penilaian sumatif dilakukan untuk mempertimbangkan prestasi hasil belajar mahasiswa yang tecermin pada portofolionya. Jadi, tujuan penilaian pada tahap ini ialah untuk memberikan penilaian akhir terhadap hasil belajar dalam kaitannya dengan perbandingan perkembangan antar mahasiswa peserta kuliah, perbandingan antara hasil yang dicapai oleh mahasiswa sesuai dengan standar yang telah ditentukan, serta kemajuan yang dicapai oleh mahasiswa sebelum dan sesudah melewati proses belajar. Hasil penilaian sumatif ini dapat dijadikan sebagai masukan untuk memberikan penilaian yang komprehensif terhadap keberhasilan program kurikulum.

Penilaian sumatif dilakukan untuk menentukan tingkat prestasi mahasiswa dengan cara membandingkan antara portofolio yang dihasilkannya dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam pelaksanaannya, mahasiswa dan dosen secara bersama-sama meneropong kualitas karya berdasarkan tujuan pembelajaran dan atau indikator pencapaian tujuan pembelajaran yang telah diketahui sejak awal semester serta dijadikan rambu-rambu mahasiswa dalam proses berkarya. Hasilnya ialah sebuah pengertian bersama tentang kekuatan dan kelemahan karya-karya yang telah dihasilkan. Bentuk penilaian sumatif lainnya ialah penilaian atas kemajuan mahasiswa dengan membandingkan antara karya mahasiswa pada masa awal dan akhir kegiatan pembelajaran. Dari perbandingan tersebut dapat diketahui kemajuan dan perkembangan yang telah dicapai mahasiswa selama mengikuti perkuliahan. Cara-cara penilaian yang beragam tersebut dimaksudkan untuk memperoleh potret sejati kompetensi mahasiswa. Namun, apapun cara yang digunakan, penilaian tidak dipisahkan dari proses

(17)

pembelajaran serta dari keterlibatan mahasiswa sebagai konstruktor makna yang tecermin dalam portofolio tersebut.

Seperti diketahui, gagasan penilaian portofolio antara lain adalah untuk mengukur pencapaian kemampuan analisis, sintesis, dan evaluasi serta keterampilan mahasiswa dalam menciptakan karya-karya yang dapat diselesaikannya dengan baik. Sebagai model, portofolio telah menyediakan sebuah gambaran luas tentang apa yang telah diketahui dan dilakukan oleh mahasiswa. Ia dapat menggambarkan proses sekaligus produk yang dikerjakan, serta mendemonstrasikan pertumbuhan belajar mahasiswa secara baik. Mahasiswa dapat merefleksikan hal-hal penting dalam portofolio. Aktivitas refleksi diri itu melibatkannya dalam penilaian diri tentang pembelajarannya serta merefleksikan kemampuan dan kemajuan aktivitasnya dalam pekerjaannya. Karena itu, sudah selayaknya penilaian sumatif melibatkan mahasiswa sebagai pemilik sekaligus konstruktor portofolio.

Penilaian portofolio di bidang desain sering dilakukan dalam atmosfer partisipatori kolaboratif. Secara tradisional, penilaian sumatif tersebut dilakukan dengan cara ‘memajang’ karya-karya terbaik (karya final lengkap dengan karya-karya serta catatan-catatan yang menggambarkan proses penciptaannya) secara berurutan, mulai dari karya pertama sampai dengan yang terakhir. Para mahasiswa peserta kuliah dan dosen mendiskusikan kemajuan dan perkembangan yang telah mereka capai selama studi yang telah dilalui. Perspektif kajian biasanya berfokus menurut aspek bentuk (teknik, media, representasi) maupun isi (konsep, fungsi, pesan, nilai, filosofi) karya. Model penilaian ini pada gilirannya akan menghasilkan sebuah pemahaman mahasiswa tentang karya-karya terbaik menurut pandangan mereka bersama. Selain itu, ia juga dapat merefleksikan grafik perkembangan hasil belajar yang telah dicapai oleh kelas serta masing-masing mahasiswa.

PENUTUP

Selama ini sebagian pendidik dan mahasiswa, yang berpandangan bahwa tujuan pembelajaran sebenarnya ialah ‘belajar bagaimana belajar’, boleh jadi merasa tidak sejahtera oleh bentuk tes standar dan penilaian konvensional papers and pencil yang menuntut mahasiswa untuk menunjukkan sebanyak-banyaknya materi pelajaran yang

(18)

telah mereka kuasai. Penilaian semacam ini memandang bahwa mahasiswa merupakan individu yang pasif serta pengetahuan merupakan sesuatu yang pasti dan bersifat tetap. Bentuk penilaian yang demikian memisahkan secara tegas antara belajar dan pembelajaran dengan penilaian, antara proses dengan produk. Sementara itu, penilaian portofolio dipandang mampu menghargai mahasiswa sebagai individu yang dinamis, aktif mengkonstruksi pengetahuan sesuai dengan pengalamannya yang spesifik. Penilaian portofolio konsisten dengan filosofi konstruktivistik yaitu memusatkan hal terpenting pada pengkonstruksian pengetahuan yang dilakukan sendiri oleh mahasiswa sebagai subjek didik. Model ini memandang bahwa pembelajaran dan penilaian merupakan dua hal yang tak terpisahkan.

Kemampuan-kemampuan para mahasiswa untuk memanfaatkan berbagai sumber belajar serta untuk mengkreasi pengertian mereka sendiri tentang sesuatu tema merupakan pusat pengalaman belajar berdasarkan konsep portofolio. Dalam hal ini portofolio telah membantu mahasiswa untuk (a) mengumpulkan, mengorganisasikan, dan berbagi informasi, (b) menganalisis hubungan-hubungan; (c) mengkomunikasikan hasil-hasil secara efektif, (d) menguji hipotesis, (e) menyimpan variasi-variasi dari pekerjaannya, (f) merefleksi pekerjaan dan aktivitas-aktivitas mereka, (g) memikirkan prestasi-prestasi, pengaruh-pengaruh eksternal, dan prioritas-prioritas mereka, serta (h) menunjukkan kreativitas dan kepribadian mereka. Oleh karena itu penilaian portofolio dipandang sebagai model penilaian yang cocok serta sesuai dengan model pembelajaran yang meletakkan mahasiswa, dan bukan dosen, sebagai pusat aktivitas belajar dan pembelajaran.

KEPUSTAKAAN

Brooks, J.G. & Brooks, M.G., The Case for Constructivist Classrooms. Alexandria, Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development. 1993.

Burton, J.K., Moore, D.M., dan Kagliaro, S.G., Behaviorism and instructional technology. Dalam David H. Jonassen (Ed.), Handbook of Research for Educational Communications and Technology. New York: Association for Educational Communications and Technology-Simon & Schuster Macmillan. 1996. Cross, A., Towards an understanding of intrinsic values of design education. Design

(19)

Daley, J., Design creativity and the understanding of objects. Dalam Nigel Cross (Ed.), The Philosophy of Design Method. London: John Wiley & Sons Ltd. 1994.

Dede, C., The evolution of constructivist learning environments: immersion in distributed, virtual worlds. Dalam Brent G. Wilson, Constructivist Learning Environments. Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications. 1996. Duchastel, P., Instructional design in the information age. Makalah dipresentasikan untuk

IFETS Forum, 17-28 Mei 1999. http:/ ifets.gmd.de/discussions/discuss- may99.html Duffy, T.M., & Jonassen, D.H., Constructivistism: New implications for instructional

technology. Dalam Duffy, T.M., & Jonassen, D.H. (Eds.), Constructivism and the Technology of Instruction: A Conversation. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. 1992.

Holt, J.E., The Designer’s Judgement. Design Studies, 18: 113-123. 1997.

Jonassen, D.H., Myers, J.M., McKillop, A.M., From constructivism to constructionism: Learning with hypermedia/multimedia rather than from it. Dalam Wilson, B.G. (Ed.), Constructivist Learning Environments. New Jersey: Educational Technology Publications. 1996.

Knight, M.E., Portfolio assessment: Application of portfolio analysis. Lanham, MD: University Press of America. 1994.

Meyrs, K.L. Is there a place for instructional design in the information age? Educational Technology, Nov.-Dec., 1999: 50–59.

Owen, C.L., Design education in the information age. Design Studies, 11(4), 1990: 34-41. Pranata, M., Ceramah desain berbesiskan kecerdasan visual. Nirmana, Jurnal Desain

Komunikasi Visual 5(2), 2003a: 149-161.

Pranata, M., Konstruktivistik: Arah baru pembelajaran desain. Dimensi Interior, Jurnal Desain Interior, 1(2), 2003b: 157-172.

Reeves, T.C. dan Okey, J.R., Alternative assessment for constructivist learning environments. Dalam Brent G. Wilson (Ed.), Constructivist Learning Environments. Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications. 1996. Qualye, M., Idea Book for Teaching Design. Mesa, Arizona: PDA Publisher Corp. 1990. Stolterman, E., Guidelines or aesthetics: design learning strategies. Design Studies, 15(4),

1994: 117-124.

Verma, N., Design theory education: how useful is provious design experience? Design Studies, 18(1), 1997: 23-31.

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan pembelajaran pada aktivitas pembelajaran ini akan menggunakan pendekatan/metode yang secara langsung berinteraksi di kelas pelatihan, baik itu dengan

pemanasan untuk mengeraskan granul yang telah terbentuk, stasiun pendinginan, stasiun penyaringan untuk memilah granul sesuai spesifikasi produk yang ditentukan, dan

Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa telah menyatakan mengerti akan isi surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum, dan membenarkan isinya, sedangkan dalam Surat dakwaan

 Lereng mesial cuspis bukal lebih pendek daripada lereng distal tepat berlawanan dengan keadaan pada premolar pertama atas, tetapi sama dengan caninus atas.  Fissura

DFSS merupakan suatu metodologi sistematik yang menggunakan peralatan pelatihan dan pengukuran untuk memungkinkan pemasok mendesign produk dan proses yang memenuhi

Kendala dalam penataan sistem karir PNS di lingkungan Kemenkumham diantaranya adalah penentuan karir belum sepenuhnya mempertimbangkan keahlian dan kemampuan, masih ada

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari pemeriksaan agregasi trombosit pada darah sitrat yang disimpan pada suhu refrigerator

yang besar dan perhatian yang penuh terhadap pelajaran dan tugas-tugas belajar lainnya. Peserta didik akan memusatkan sebanyak mungkin energi fisik dan psikisnya