UJPH 5 (3) (2016)
Unnes Journal of Public Health
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujphHUBUNGAN KEPARAHAN PENYAKIT, AKTIVITAS, DAN KUALITAS
TIDUR TERHADAP KELELAHAN PASIEN SYSTEMIC LUPUS
ERYTHEMATOSUS
Rizky Ayu Fandika Asih, Dyah Mahendrasari Sukendra
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia Info Artikel ________________ Sejarah Artikel: Diterima 30 Mei 2016 Disetujui 22 Juni 2016 Dipublikasikan Juli 2016 ________________ Keywords: Fatigue; SLE ____________________ Abstrak ___________________________________________________________________ Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun yang prevalensinya tiap tahun meningkat di dunia maupun di Indonesia. Kelelahan yang parah dapat menyebabkan kekambuhan pada pasien SLE. Kelelahan merupakan gejala yang paling melemahkan dan mengganggu fungsi fisik, sosial dan emosional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan pada pasien SLE di Yayasan Lupus Indonesia Panggon Kupu Semarang. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan rancangan penelitian cross sectional. Sampel penelitian adalah 30 pasien SLE yang diperoleh dengan menggunakan teknik Total Sampling. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat. Hasil analisis bivariat menunjukan faktor yang berhubungan dengan kelelahan yaitu: tingkat keparahan penyakit (r value = 0,853, sig = 0,00) dan kualitas tidur (r value = 0,796, sig = 0,00), dan faktor yang tidak berhubungan yaitu aktivitas fisik (r value = -0,79). Hasil analisis multivariat menunjukan faktor yang paling dominan yang berhubungan dengan kelelahan yaitu kualitas tidur (p value = 0,043, exp (OR) = 16,500) memiliki probabilitas terhadap terjadinya kelelahan sebesar 61,89%.
Abstract
___________________________________________________________________ Systemic Lupus Erythematosus ( SLE ) was an autoimmune disease whose prevalence was increasing every year in the world as well as in Indonesia. Severe fatigue can lead to relapse in patients with SLE. Fatigue was a symptom of the most debilitating and interfere with the functioning of physical, social and emotional. The objective of the study to know factors associated with fatigue in patients SLE at Indonesian Lupus Panggon Kupu Foundation in Semarang City. This research was descriptive analytic research with Cross Sectional design. The samples were 30 patients with SLE were obtained using total sampling technique. Data analysis was performed using univariate and bivariate. Bivariate analysis results showed that factors associated with fatigue were: the severity of disease (r value = 0,853, sig = 0,00) and sleep quality (r value = 0,796, sig = 0,00), while the factors that was not associated were: physical activity (r value = -0,79). Multivariate analysis showed that the most dominant factor associated to the fatigue was the quality of sleep (p value = 0,043, exp (OR) = 16,500) have the probability of the occurrence of fatigue by 61.89 %.
© 2015 Universitas Negeri Semarang Alamat korespondensi:
Gedung F5 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail: rizky.fandika@yahoo.com
Rizky Ayu Fandika A dan Dyah Mahendrasari S / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016) PENDAHULUAN
Menurut Farkhati (2012) SLE
merupakan penyakit autoimun yang bersifat sistemik. Selama lebih dari empat dekade angka kejadian SLE meningkat tiga kali lipat yaitu 51 per 100.000 menjadi 122-124 per 100.000 penduduk di dunia. Prevalensi SLE di Amerika Serikat adalah 15-50 per 100.000 populasi. Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 penderita SLE baru di seluruh dunia. Semua ras dapat menjadi golongan penderita SLE. Wanita Afrika-Amerika mempunyai insidensi tiga kali lebih tinggi dibandingkan kulit putih. Kecenderungan perkembangan SLE terjadi pada usia muda dan dengan komplikasi yang lebih serius (Manson dan Rahman, 2006).
Data antara tahun 1988-1990 di Indonesia, insidensi rata-rata penyandang SLE adalah sebesar 37,7 per 10.000 perawatan dan cenderung meningkat dalam dua dekade terakhir. Jumlah penderita SLE
di Indonesia cenderung meningkat.
Berdasarkan data tahun 2002, Yayasan Lupus Indonesia mencatat 1.700 orang dan pada tahun 2007 berjumlah 8.672 penderita SLE, dengan 90 % wanita (Savitri, 2005). Tahun 2014 yang tercatat menurut Yayasan Lupus Indonesia Panggon Kupu Semarang yaitu 58 orang.
Kelelahan pada penderita SLE merupakan hal biasa yang sering dirasakan. Penelitian telah menunjukkan bahwa 53-80% pasien SLE mengalami kelelahan sebagai salah satu gejala utama mereka. Pada 30-50% pasien SLE, kelelahan adalah gejala yang paling melemahkan dan mengganggu fungsi fisik, sosial dan
emosional (Avina, 2007). Menurut
Indonesian Rheumatology Association (2011) penyebab utama morbiditas pada pasien SLE adalah kelelahan, penurunan
kualitas hidup, dan tingkat keparahan SLE dengan beberapa kriteria SLE ringan dan berat.
Faktor-faktor yang berkaitan dengan kelelahan pada pasien SLE berupa faktor yang tidak dapat diubah (tingkat keparahan penyakit) dan faktor yang dapat diubah (aktivitas fisik, kualitas tidur) (Grace, 2012). Kematian pasien SLE yang diakibatkan kelelahan juga belum diketahui secara pasti, tetapi kelelahan dapat memicu pasien SLE mengalami kekambuhan. Kekambuhan pada penyakit SLE jika tidak segera ditangani akan mengakibatkan komplikasi pada organ tubuh lainnya. Penyakit SLE tersebut memperlihatkan 2 puncak kejadian kematian, yaitu satu puncak akibat komplikasi yang tidak terkontrol, dan satu puncak lain akibat komplikasi kortikoterapi. Penyebab utama kematian pasien SLE 90% diakibatkan oleh infeksi dan 10% kematian pasien SLE diakibatkan organ yang sudah mengalami komplikasi seperti gagal ginjal dan kerusakan SSP (Urowitz, 2005; Squance et al, 2014).
METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan rancangan
penelitian cross sectional. Penelitian ini
dilakukan di Yayasan Lupus Indonesia Panggon Kupu Semarang. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien SLE di Yayasan Lupus Panggon Kupu. Sampel penelitian berjumlah 30 responden yang memeuhi kriteria inklusi dan eksklusi sampel penelitian dan diperoleh dengan
menggunakan teknik Total Sampling. Cara
pengambilan sampel diambil dari rekam
medik hasil tes Anti nuclear antibodi (ANA),
Rizky Ayu Fandika A dan Dyah Mahendrasari S / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016) DNA) dan pasien yang sesuai dengan
kriteria American College of Rheumatology
(ACR) 1997.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) dokumentasi
catatan medik hasil tes Ds-DNA dan ANA,
2) kuesioner penelitian (FSS, MEX-SLEDAI,
IPAQ, PSQI). Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis menggunakan
rumus statistik uji Rank Spearman dan uji
multivariat Regresi Logistik Ganda.
Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi karakteristik responden yang terdiri atas distribusi usia, jenis kelamin dan status pekerjaan, sedangkan
analisis bivariat dilakukan untuk
mengetahui apakah terdapat hubungan antara tingkat keparahan penyakit, aktivitas fisik dan kualitas tidur dengan kelelahan
pada pasien Systemic Lupus Erythematosus
(SLE) di Yayasan Lupus Indonesia
Panggon Kupu Semarang tahun 2014.
Analisis Multivariat dilakukan untuk
mengetahui variabel bebas (tingkat
keparahan penyakit, aktivitas fisik dan kualitas tidur) yang paling dominan mempengaruhi kelelahan pada pasien
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di Yayasan Lupus Indonesia Panggon Kupu Semarang tahun 2014.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden
Hasil analisis univariat bertujuan untuk melihat distribusi karakteristik responden di Yayasan Lupus Indonesia Panggon Kupu Semarang tahun 2014 dan untuk mendeskripsikan variabel penelitian yang disajikan dalam distribusi frekuensi dalam bentuk persentase dari tiap variabel. Hasil analisis univariat dapat dilihat pada
Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden
No Karakteristik Responden Frekuensi N= 30 Persentase (%) F= 100% 1. Usia 16 - 25 Th 19 63.4% 2. 26 - 35 Th 10 33.3% 3. >36 Th 1 3.33% Jenis Kelamin 1. Laki-laki 0 0% 2. Perempuan 30 100% Status Pekerjaan 1. Bekerja 0 0% 2. Tidak Bekerja 30 100%
*hasil Statistic Deskriptive
Berdasarkan hasil analisis univariat
menggunakan uji Statistic Deskriptive
menunjukan bahwa responden yang paling banyak terdapat pada kelompok umur 16 -
25 tahun sebanyak 19 orang (63,4%), responden pada kelompok umur 26 - 35 tahun sebanyak 10 orang (33,3%). Umur
Rizky Ayu Fandika A dan Dyah Mahendrasari S / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016) yang paling tua yaitu 36 tahun berjumlah 1
orang (3,33%).
Jenis kelamin responden dibagi menjadi 2 yaitu laki-laki dan perempuan.
Responden dengan jenis kelamin
perempuan sebesar 30 orang (100%) dan tidak ada responden dengan jenis kelami laki-laki (0%).
Status pekerjaan responden dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 yaitu bekerja dan tidak bekerja. Responden yang tidak memiliki pekerjaan atau tidak bekerja sebanyak 30 orang (100%) dan tidak ada responden yang memiliki pekerjaan atau
bekerja (0%).
Tabel 2. Variabel Penelitian
No Variabel Frekuensi N= 30 Persentase (%) F= 100% 1. Kelelahan Menderita kelelahan 17 56.7%
2. Tidak menderita kelelahan 13 43.4%
Keparahan Penyakit 1. Ringan 13 43.4% 2. Berat 17 56.6% Aktivitas Fisik 1. Ringan 20 66.7% 2. Sedang 8 26.6% 3. Berat 2 6.7% Kualitas Tidur 1. Baik 2 6.7% 2. Buruk 28 93.3%
*hasil Statistic Deskriptive
Deskripsi Variabel Penelitian
Berdasarkan hasil analisis univariat pada variabel penelitian menunjukkan bahwa frekuensi terbesar responden yang mengalami kelelahan yaitu 17 responden
(56.7%), frekuensi terbesar tingkat
keparahan penyakit pada responden adalah tingkat keparahan penyakit berat yaitu sejumlah 17 responden (56.6%) dan responden dengan aktivitas fisik ringan yaitu sebesar 59 responden (71.95%). Frekuensi terbesar kualitas tidur adalah 28 responden (93.3%) mengalami kualitas tidur yang buruk.
Hubungan Tingkat Keparahan Penyakit, Aktivitas Fisik dan Kualitas Tidur terhadap Kelelahan pada Pasien SLE
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara tingkat keparahab penyakit, aktivitas fisik dan kualitas tidur terhadap kelelahan pada
pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di
Yayasan Lupus Indonesia Panggon Kupu
Semarang tahun 2014. Hasil dari uji
Rank-Spearman tersebut dapat dilahat pada Tabel 3.
Rizky Ayu Fandika A dan Dyah Mahendrasari S / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016) Tabel 3. Hubungan Tingkat Keparahan Penyakit, Aktivitas Fisik, Stres, Kecemasan, Depresi dan Kualitas Tidur dengan Kelelahan pada Pasien SLE
Variabel Kelelahan
r value Sig/p value OR
1. Tingkat Keparahan Penyakit 2. Aktivitas Fisik 3. Kualitas Tidur 0.853* -0.79 0.796* 0.00** 0.678 0.00** 4.224 1.575 4.541
Keterangan : tanda (*) menunjukkan r-value > r-tabel (0.361)
tanda (**) menunjukkan p-value < 0,05
Berdasarkan tabel 3. diketahui bahwa dari 2 variabel yang diteliti menunjukkan adanya hubungan yang signifiksn dengan
kelelahan pada pasien Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) di Yayasan Lupus Indonesia Panggon Kupu Semarang tahun
2014 yaitu tingkat keparahan penyakit (r
value = 0,853, p=0,00, OR=4,224) dan
kualitas tidur (r value = 0,796, p=0,00,
OR=4,541) dan faktor yang tidak
berhubungan yaitu aktivitas fisik (r value =
-0,79, p=0,678, OR=1,575). Variabel
dikatakan ada hubungan jika nilai p < α
(0,05) dan (r value > r tabel).
Faktor yang paling Dominan yang
Berhubungan dengan Kelelahan
Analisis Multivariat dilakukan untuk
mengetahui variabel bebas (tingkat
keparahan penyakit, aktivitas fisik dan kualitas tidur) yang paling dominan mempengaruhi kelelahan pada pasien
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di Yayasan Lupus Indonesia Panggon Kupu
Semarang tahun 2014. Hasil dari uji Regresi
Logistik Ganda tersebut dapat dilihat pada
Tabel 4 dan 5.
Tabel 4. Hasil Seleksi Kandidat Analisis Multivariat Terhadap Kelelahan
Variabel Bebas p-value
Tingkat keparahan penyakit 0.00*
Aktivitas fisik 0.678
Kualitas tidur 0.00*
Keterangan tanda (*) menunjukkan p-value <0,25
Tabel 5. Hasil Analisis Multivariat
Variabel Bebas B p-value 95% CI
Tingkat keparahan penyakit 16.500 0,043 1.088 – 250.176
Kualitas tidur 1.077 0,999 0.000 - .
Berdasarkan tabel 5. diketahui bahwa setelah dilakukan regresi logistik ganda terhadap variabel yang memenuhi syarat, menunjukkan hasil bahwa variabel yang dominan yang berhubungan terhadap
kelelahan pada pasien Systemic Lupus
Erythematosus adalah kualitas tidur dengan
nilai p atau sig < α (0,05) dan memiliki nilai
exp atau OR terbesar yaitu 16,500 yang
artinya kualitas tidur yang dirasakan responden mempunyai peluang 17 kali dapat menyebabkan kelelahan. Hasil
Rizky Ayu Fandika A dan Dyah Mahendrasari S / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016) analisis multivariat menghasilkan model
persamaan regresi dengan nilai probabilitas sebesar 61.89%.
Hubungan Tingkat Keparahan Penyakit
terhadap Kelelahan pada pasien Systemic Lupus
Erythematosus (SLE)
Berdasarkan hasil penelitian,
menunjukkan bahwa tingkat keparahan penyakit mempunyai hubungan dengan
kelelahan pada pasien Systemic Lupus
Erythematosus di Yayasan Lupus Indonesia
Panggon Kupu Semarang. Hal ini
didasarkan pada hasil uji Rank-Spearman
yang diperoleh yaitu r value sebesar 0,853 (r
value > r tabel) dan nilai p atau sig sebesar
0,00 < 0,05. Nilai Odd Ratio (OR) adalah
4,224 yang berarti responden dengan tingkat keparahan penyakit berat memiliki risiko untuk mengalami kelelahan 4 kali lebih besar daripada responden dengan tingkat keparahan penyakit ringan.
Hasil penelitian terhadap karakteristik
30 responden penderita Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) di Yayasan Lupus Indonesia Panggon Kupu Semarang berdasarkan tingkat keparahan penyakit menunjukkan bahwa responden dengan
tingkat keparahan penyakit berat
mendominasi penelitian ini dibandingkan responden dengan tingkat keparahan penyakit ringan. Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang menunjukkan responden dengan tingkat keparahan penyakit berat sebanyak 17 orang (56,6%) dan responden dengan tingkat keparahan penyakit ringan sebanyak 13 orang (43,3%).
Tingkat keparahan penyakit adalah istilah untuk menggambarkan sejauh mana kerusakan jaringan pada tubuh yang diakibatkan oleh autoimun abnormal pada pasien SLE. Beberapa kriteria tingkat keparahan penyakit pada SLE yaitu SLE ringan, sedang, berat. Hasil penelitian ini
sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tench (2009) pada
penelitiannya yang berjudul The Prevalence
and associations of fatigue in Systemic Lupus Erythematosus bahwa tingkat keparahan penyakit memiliki korelasi atau hubungan dengan kelelahan pada pasien SLE. Studi lain yang dilakukan Tayer (2001) dan Ian
(2004) pada penelitian Factors associated with
fatigue in patients with Systemic Lupus Erythematosus menunjukkan bahwa tingkat keparahan penyakit juga berkorelasi dengan gejala kelelahan (Yuen dan Cunningham, 2014; Shah et al, 2014).
Hasil dari penelitian ini tingkat keparahan penyakit memiliki hubungan
terhadap kelelahan pada pasien Systemic
Lupus Erythematosus. Hubungan tingkat keparahan penyakit terhadap kelelahan
disebabkan karena responden yang
memiliki kriteria tingkat keparahan
penyakit berat lebih besar dibandingkan pasien dengan kriteria tingkat keparahan penyakit ringan.
Tingkat keparahan penyakit SLE berat, jika SLE sudah mengenai organ-organ vital dalam tubuh seperti pada 1)
jantung: endokarditis Libman-Sacks,
vaskulitis arteri koronaria, miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna, 2) paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark
paru, ibrosis interstisial, shrinking lung, 3)
ginjal: nefritis proliferatif dan atau
membranous, 4) neurologi: kejang, acute
confusional state, koma, stroke, mielopati
transversa, mononeuritis, polineuritis,
neuritis optik, psikosis, sindroma
demielinasi, 5) hematologi: anemia
hemolitik, neutropenia
(leukosit<1.000/mm3), trombositopenia <
20.000/mm3, purpura trombotik
trombositopenia, trombosis vena atau arteri
Rizky Ayu Fandika A dan Dyah Mahendrasari S / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016) keparahan penyakit SLE menurut Tutuncu
(2007), dikatakan SLE ringan jika tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa, fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit. Contoh SLE ringan yaitu SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit (Mckinley et al, 2005; Segal et al, 2012)..
Penyakit SLE yang sudah mengenai organ-organ tubuh seperti ginjal, neurologi, hematologi dan jantung menekan fungsi sebagian besar sel imun dan dialisis dapat
mengaktivasi efektor imun, seperti
komplemen dengan tidak tepat. Pada pasien SLE sering ditemukan defisiensi C3 dan C4. Defisiensi komplemen fisiogenik yang disebabkan oleh serum C3 pada pasien SLE akan menyebabkan kepekaan terhadap infeksi meningkat dan kelelahan yang menjadi faktor predisposisi timbulnya kekambuhan pada pasien SLE, serta kerentanan terhadap infeksi mikroba dan gangguan opsonisasi (Bambang, 2014; Iaboni dan Moldofsky, 2016).
Hubungan antara Aktivitas Fisik terhadap
Kelelahan pada pasien Systemic Lupus
Erythematosus (SLE)
Berdasarkan hasil penelitian,
menunjukkan bahwa aktivitas fisik tidak mempunyai hubungan dengan kelelahan
pada pasien Systemic Lupus Erythematosus di
Yayasan Lupus Indonesia Panggon Kupu
Semarang. Hal ini didasarkan pada hasil uji
Rank-Spearman yang diperoleh yaitu r value
= -0,079 ( r value < r tabel) dan nilai p atau
sig sebesar 0,678 > 0,05. Nilai Odd Ratio
(OR) adalah 1,575 yang berarti responden dengan aktivitas fisik sedang memiliki risiko untuk mengalami kelelahan 2 kali lebih besar daripada responden dengan aktivitas fisik ringan.
Hasil penelitian terhadap karakteristik
30 responden penderita Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) di Yayasan Lupus Indonesia Panggon Kupu Semarang berdasarkan aktivitas fisik menunjukkan bahwa responden dengan aktivitas fisik
ringan mendominasi penelitian ini
dibandingkan responden dengan aktivitas fisik sedang dan berat. Hal ini terlihat dari
hasil penelitian yang menunjukkan
responden dengan aktivitas fisik ringan sebanyak 20 orang (66,7%), responden dengan aktivitas fisik sedang sebanyak 8 orang (26,6%) dan responden dengan aktivitas fisik berat sebanyak 2 orang (6,7%).
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Russell (2011) bahwa aktivitas fisik yang berlebihan atau dilakukan melebihi batas kemampuan tubuh dapat berdampak buruk bagi kesehatan. Orang yang berlebihan dalam melakukan aktivitas fisik akan kelelahan, bahkan dapat mengalami cedera dan sakit. Pada pasien SLE, aktivitas fisik
yang berlebihan akan menyebabkan
kelelahan yang akan dapat memicu terjadinya kekambuhan (Abu et al, 2006; Fonsenca 2014).
Studi lain yang tidak sesuai dengan hasil penelitian ini yaitu studi yang dilakukan Grace (2012) pada penelitian
yang berjudul Fatigue in Systemic Lupus
Erythematosus menunjukkan bahwa aktivitas fisik memiliki hubungan terhadap kelelahan, studi kasus yang dilakukan di
klinik dan laboratorium Amerika (The
American of Rheumatology's). Penelitian ini aktivitas fisik tidak memiliki hubungan
terhadap kelelahan pada pasien Systemic
Lupus Erythematosus, hal ini disebabkan karena responden yang memiliki aktivitas fisik ringan lebih besar dibandingkan responden yang memiliki aktivitas fisik
Rizky Ayu Fandika A dan Dyah Mahendrasari S / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016) berat. Aktivitas fisik pada penderita SLE
berbeda dengan aktivitas fisik pada orang normal. Aktivitas fisik pada penderita SLE
dihitung dari aktivitas fisik berat (vigorous
activity), aktivitas fisik sedang (moderate activity), aktivitas berjalan kaki (walking activity) dan aktivitas duduk (sitting activity) pada seseorang dalam satu minggu terakhir (Stephen et al, 2006; Oates et el, 2013).
Aktivitas fisik berat seperti senam, menggali, dan lainnya. Aktivitas fisik sedang yang dilakukan responden seperti bersepeda dan olah raga tenis. Aktivitas ringan seperti berjalan untuk melakukan perjalanan dari tempat ke tempat lain dan waktu yang dihabiskan untuk duduk di rumah atau duduk berbaring untuk menonton televisi (Ader, 2000; Mok dan Lau, 2007).
Hubungan antara Kualitas Tidur terhadap
Kelelahan pada pasien Systemic Lupus
Erythematosus (SLE)
Berdasarkan hasil penelitian,
menunjukkan bahwa tingkat stres
mempunyai hubungan dengan kelelahan
pada pasien Systemic Lupus Erythematosus di
Yayasan Lupus Indonesia Panggon Kupu
Semarang. Hal ini didasarkan pada hasil uji
Rank-Spearman yang diperoleh yaitu r value
sebesar 0,796 (r value > r tabel) dan nilai p
atau sig sebesar 0,00 < 0,05. Nilai Odd Ratio
(OR) adalah 4,541 yang berarti responden dengan kualitas tidur buruk memiliki risiko untuk mengalami kelelahan 5 kali lebih besar daripada responden dengan kualitas tidur baik.
Hasil penelitian terhadap karakteristik
30 responden penderita Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) di Yayasan Lupus Indonesia Panggon Kupu Semarang berdasarkan kualitas tidur menunjukkan bahwa responden dengan kualitas tidur
buruk mendominasi penelitian ini
dibandingkan responden dengan kualitas tidur baik. Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang menunjukkan responden dengan kualitas tidur buruk sebanyak 28 orang (93,3%) dan responden dengan kualitas tidur baik sebanyak 2 orang (6,7%). Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Tayer (2001) bahwa frekuensi tidur atau kualitas tidur yang kurang dapat menyebabkan kelelahan. Gangguan tidur yang berhubungan dengan kelelahan biasanya disebabkan oleh faktor-faktor seperti kebisingan, pencahayaan, kebiasaan minum yang berlebihan, dan faktor lainnya. Gangguan tidur juga dapat memperburuk gejala penyakit termasuk kelelahan dan menurunkan kualitas hidup pasien (Mok dan Lau, 2007; Danchenko et al, 2006).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Costa (2005) pada 100 wanita dengan SLE, menilai kualitas tidur selama 1 bulan. Hasilnya menunjukkan gangguan tidur dalam 56% dari populasi SLE dan didapatkan hasil korelasi yang signifikan antara gangguan tidur terhadap kelelahan pada pasien SLE. Selain itu, penelitian lain yang meneliti tentang hubungan kualitas tidur terhadap kelelahan yaitu Tench (2009) di Connective Tissue Disease Clinic (Rheumato-logy Department of St Bartholoew’s London)
dan Grace (2012) di klinik dan
laboratorium Amerika (The American of
Rheumatology's) menunjukkan hasil bahwa kualitas tidur memiliki hubungan yang signifikan terhadap kelelahan pada pasien
Systemic Lupus Erythematosus (Ader, 2000; Abu et al, 2005; Costa dkk, 2006; Kasitanon, 2012)
Berdasarkan studi JAMA Internal
Medicine, seseorang yang tidur kurang dari 7 jam per malam bisa 3 kali lebih rentan
mengalami rasa dingin dan akan
Rizky Ayu Fandika A dan Dyah Mahendrasari S / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016) respon imun atau kekebalan tubuh secara
normal setelah menerima suntikan flu. Mereka yang kurang tidur, antibodi yang bekerja setelah dilakukan vaksinasi hanya bisa bertahan paling lama 10 hari. Kondisi tersebut sangat berbahaya. Oleh karena itu,
pentingnya kualitas tidur untuk
meningkatkan kekebalan tubuh. Jika terlalu sedikit waktu tidur seseorang, sistem kekebalan tubuhnya bisa terganggu (Padgett dan Glaser, 2003; Kasitanon, 2012).
Dalam penelitian ini kualitas tidur memiliki hubungan terhadap kelelahan
pada pasien Systemic Lupus Erythematosus,
hal ini disebabkan karena pasien yang memiliki kualitas tidur buruk lebih besar dibandingkan pasien dengan kualitas tidur baik. Kualitas tidur yang buruk pada responden dapat dilihat dari lamanya responden tidur di malam hari hanya 4-5
jam, masalah-masalah yang sering
dirasakan yang mengganggu tidur mereka seperti tidak mampu tertidur selama 30 menit sejak berbaring, terbangun ditengah malam, terbangun untuk ke kamar mandi, kedinginan atau kepanasan dimalam hari, dan mengalami mimpi buruk.
Penyakit dengan gejala nyeri atau distress fisik juga dapat menyebabkan gangguan tidur. Individu yang sakit membutuhkan waktu tidur yang lebih banyak dari pada biasanya. Aspek-aspek kualitas tidur yaitu : (1) nyenyak selama tidur, (2) waktu tidur minimal enam jam, (3) tidur lebih awal dan bangun lebih awal, (4) merasa segar setelah bangun tidur, (5) tidak bermimpi (Nashori, 2004; Gaitanis et al, 2005),
SIMPULAN
Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor yang
berhubungan dengan kelelahan yaitu:
tingkat keparahan penyakit (r value = 0,853,
p value = 0,00, OR=4,224) dan kualitas
tidur (r value = 0,796, p value = 0,00,
OR=4,541), dan faktor yang tidak
berhubungan yaitu aktivitas fisik (r value =
-0,79, p value=0,678, OR=1,575). Faktor
yang paling dominan yang berhubungan
dengan kelelahan yaitu kualitas tidur (p
value = 0,043, exp (OR) = 16,500) memiliki probabilitas terhadap terjadinya kelelahan sebesar 61,89%.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami sampaikan
kepada Dekan Fakultas Ilmu
Keolahragaan, Ketua Jurusan Ilmu
Kesehatan Masyarakat, dosen penguji 1 dan dosen penguji 2, serta seluruh staf Yayasan Lupus Indonesia Panggon Kupu Semarang dan seluruh responden yang terlibat dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abu-Shakra M, Urowitz MB, Gladman DD, Gough J. 2005. Mortality studies in systemic lupus erythematosus. Results from a single center. I. Causes of death. Journal of Rheumatology. 22(7):1259-1264.
Ader R. 2000. On the Development of psychoneuroimmunology. European Journal of
Pharmacology. 405, pp 167-176.
Avina J. Antoni. 2007. The Importance of Fatigue in Lupus. BC Lupus Society Symposium : Arthritis Research Centre of Canada.
Costa DD, Bernatsky S, Dritsa M. 2005. Determinants of sleep quality in women with systemic lupus erythematosus. Journal Arthritis
Rheumathology. 53(2),272–278.
Danchenko N, Satia JA, Anthony MS. 2006. Epidemiology of systemic lupus erythematosus: a comparison of worldwide
Rizky Ayu Fandika A dan Dyah Mahendrasari S / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016) disease burden.Journal Lupus. Vol :
15(5):308-18.
DJ The Pittburgh. 2009. The pittsburgh sleep quality index (PSQI) : A new instrument for psychiatric research and practice. Journal
Psychiatry Research, 28 (2), 193-213.
Farkhati MY, Sunartini_Hapsara, Satria CD. 2012. Survival and prognostic factors of systemic lupus erythematosus. Proceedings of Congress of
Indonesian Pediatrics Society: 236-42.
Fonseca R, Bernardes M., Terroso G., de Sousa M., dan Figueiredo-Braga M., 2014. Silent Burdens in Disease: Fatigue and Depression in SLE. Journal Autoimmune Diseases. Volume 2014 (2014), Article ID 790724, 9 pages Gaitanis P., Tooley G., Edwards B., 2005. Physical
Activity, Emotional Stress, Sleep Disturbances, and Daily Fluctuations in Chronic Fatigue Symptomatology. Journal of Applied Biobehavioral Research 10 (2):69 - 82 · April. DOI: 10.1111/j.1751-9861.2005.tb00004.x
Grace E Ahn, Rosalind Ramsey-Goldman. 2012. Fatigue in Systemic Lupus Erythematosus.
International Journal Clinical
Rheumatology. 7(2):217-227.
Iaboni A. dan Moldofsky H., 2016. Fatigue in Systemic Lupus Erythematosus. Remedica
Journals. CML Rheumatology. Volume 27
Issue 2
Ian N Bruce, Vincent C Mak, David C Hallett, Dafna D Gladman, Murray B Urowitz. 2004. Factors associated with fatigue in patients with systemic lupus erythematosus. Journal
Annaal Rheumatology Disease. 58:379–381.
Indonesian Rheumatology Association (IRA). 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Perhimpunan
Reumatologi Indonesia : Jakarta.
Kasitanon N, Louthrenoo W, Sukitawut W, Vichainun R. 2012. Causes of death and prognostic factors in Thai patients with systemic lupus erythematosus. Asian Pacific
Journal Allergy Immunology. Vol : 20 (2):85-91.
Manson, J. J. dan Rahman A., 2006 Systemic lupus erythematosus. Orphanet Journal of Rare
Diseases. BioMed Central. 20061:6 DOI:
10.1186/1750-1172-1-6
Mckinley P.S, Ouellette S.C., dan Winkel G.H., 2005. The contributions of disease activity, sleep patterns, and depression to fatigue in systemic lupus erythematosus. Journal Arthritis
& Rheumatism. Volume 38, Issue 6, pages 826–
834, June. Version of Record online: 9 DEC 2005. DOI: 10.1002/art.1780380617
Mok CC dan Lau CS. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus. Journal Clinical Pathology
2007;56:481-490.
Muvarichin, 2015. Hubungan antara shift kerja dengan kelelahan kerja subyektif pada penjaga warnet di kelurahan sekaran. Unnes Journal of
Public Health, Vol 4, No 1.
Nashori, F. 2004. Peranan Kualitas Tidur yang Baik.
Jurnal INSAN. Volume 6 No.3 Desember
2004.
Oates J.C., Mashmoushi A.K., Shaftman S.R., Gilkeson G.S., 2013. NADPH oxidase and nitric oxide synthase-dependent superoxide production is increased in proliferative lupus nephritis. Journal Lupus. November 2013 vol. 22 no. 13 1361-1370
Padgett D.R dan Glaser R 2003. How stress influences the immune response. Trends in
Immunology. 24 (8) 444-448.
Russell R. Pate. 2011. Physical Activity and Public Health — A Recommendation from the Centers for Disease Control and Prevention and the American
College of Sports Medicine. Diakses tanggal 8
Oktober 2011.
Segal BM, Thomas W, Zhu X, Diebes A, McElvain G, Baechler E, Gross M. 2012. Oxidative stress and fatigue in systemic lupus erythematosus. Journal of Lupus. Aug;
21(9):984-92. doi:
10.1177/0961203312444772.
Shah D, Mahajan N, Sah S, Nath S.K, dan Paudyal B., 2014. Oxidative stress and its biomarkers
Rizky Ayu Fandika A dan Dyah Mahendrasari S / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016) in systemic lupus erythematosus. Journal of
Biomedical Science 2014(21:23). BioMed
Central Ltd. 2014DOI: 10.1186/1423-0127-21-23©
Squance M.L, Glenn E. M. Reeves, dan Bridgman H. 2014. The Lived Experience of Lupus Flares: Features, Triggers, and Management in an Australian Female Cohort. International
Journal of Chronic Diseases. Volume 2014
(2014), Article ID 816729, 12 pages
Tayer WG, Nicassio PM, Weisman MH, Schuman C, Daly J. 2001. Disease status predicts fatigue in systemic lupus erythematosus. Journal Rheumatol.ogy
28(9),1999–2007.
Tench C.M, McCurdie I, White P.D, D’crus D.P. 2009. The Prevalence and associations of fatigue in Systemic Lupus Erythematosus.
Oxford Journal Rheumatology. 39:1249-1254.
Tutuncu ZN, Kalunian KC. 2007. The Definition and clasification of systemic lupus erythematosus. In: Wallace DJ, Hahn BH, editors. Duboi’s
lupus erythematosus. 7th ed. Philadelphia.
Lippincott William & Wilkins:16-19.
Urowitz MB, Gladman DD. 2005. How to improve morbidity and mortality in systemic lupus erythematosus. Journal Rheumatology
(Oxford). 39(3):238-44.
Wicaksono U, 2012. Hubungan antara aktivitas penyakit terhadap status kesehatan pada Pasien Lupus Erytheatosus Systemic di RSUP. Kariadi. Skripsi, Universitas Diponegoro, Semarang.
Stephen A. W, Fiona M. O’P, Derrick J. R, Rick D. P., Andrew J. G., William J. L., Adrian B. D., McGivern R.C., Johnston DG, Finch MB, Bell AL, McVeigh GE. 2006. Microcirculatory Hemodynamics and Endothelial Dysfunction in Systemic Lupus Erythematosus. Journal Arteriosclerosis,
Thrombosis, and Vascular Biology. Published
online before print July 27, 2006. DOI 2006; 26: 2281-2287
Yuen HK dan Cunningham MA. 2014. Optimal management of fatigue in patients with systemic lupus erythematosus: a systematic review. Journal of Therapeutics and Clinical Risk
UJPH 5 (3) (2016)
Unnes Journal of Public Health
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujphKEPATUHAN PENGGUNAAN SARUNG TANGAN DENGAN
KECELAKAAN KERJA DI PERUSAHAAN
PARQUET
TEMANGGUNG
Yohanes Bahar Aprilliawan, Evi Widowati
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia Info Artikel ________________ Sejarah Artikel: Diterima 7 Maret 2016 Disetujui 13 Juni 2016 Dipublikasikan Juli 2016 ________________ Keywords:
Accident; The Using of Gloves
____________________
Abstrak
___________________________________________________________________
Kepatuhan penggunaan sarung tangan dapat mempengaruhi terjadinya kecelakaan kerja. Perilaku sesuai aturan dan konsisten dalam memakai sarung tangan yang wajib digunakan saat bekerja sesuai bahaya dan risiko kerja untuk menjaga keselamatan pekerja dan orang di sekelilingnya. Tujuan penelitian ini yaitu, untuk mengetahui Hubungan antara Kepatuhan Penggunaan Sarung Tangan Terhadap Kecelakaan Kerja pada Pekerja di PT. Tanjung Kreasi Parquet Industry Temanggung.
Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Populasi berjumlah 207 pekerja dengan sampel sebanyak 66 pekerja (menggunakan teknik purposive sampling). Instrumen yang digunakan adalah angket. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat (menggunakan uji chi square
dengan α=0,05 dengan alternatif yaitu uji fisher).
Hasil penelitian ini terdapat hubungan antara kepatuhan penggunaan sarung tangan dengan kecelakaan kerja pada pekerja PT. Tanjung Kreasi Parquet Industry yang menggunakan uji alternatif yaitu uji fisher dengan hasil p value 0,018 (<0,05) dengan OR (Odds Ratio), yaitu sebesar 6,14. Dari data tersebut responden yang tidak patuh menggunakan sarung tangan kain mempunyai kemungkinan 6,14 kali untuk mengalami kecelakaan kerja dibandingkan dengan responden yang patuh menggunakan sarung tangan kain. Saran yang diberikan kepada pekerja yaitu untuk selalu menggunakan sarung tangan kain saat jam kerja berlangsung.
Abstract
___________________________________________________________________ The obidience of using gloves could influence the working accident occurance. Obeying the rules and consistently using gloves are compulsory when working according to the working risks in order to keep the workers and the people arround safe. The aim of this research was to find out the correlation between the obidience of using gloves toward working accident of workers at PT. Tanjung Kreasi Parquet Industry Temanggung.
This research was observational analytic study using cross sectional design. The population was 207 workers and the sample was 66 workers (using purposive sampling technique). This research used questionnaire as the instrument to collect the data. The data analysis was done using univariat and bivariat (using chi square test, α=0,05 and the alternative was fisher test). The result showed that there was a correlation between the obidience of using gloves toward working accident of PT. Tanjung Kreasi Parquet Industry workers using alternative test that was fisher test with p value 0,018 (<0,05) and OR (Odds Ratio) was 6,14. According to the data, the disobey respondent that did not use gloves had 6.14 times possibility of working accident compared with those who using gloves. The suggestion for the workers was to always use gloves when working.
© 2016 Universitas Negeri Semarang Alamat korespondensi:
Gedung F5 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail: yohanesbahar.ldp6@gmail.com
Yohanes Bahar Aprilliawan, Evi Widowati / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016) PENDAHULUAN
Kecelakaan kerja merupakan
kecelakaan yang terjadi berhubungan dengan kerja, demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan ke dan dari tempat kerja. Kecelakaan kerja merupakan
kejadian tidak terduga dan tidak
diinginkan, baik kecelakaan akibat langsung pekerja maupun kecelakaan yang terjadi pada saat pekerjaan sedang dilakukan (Handayani, 2012). Kecelakaan kerja
sebagian besar disebabkan oleh human eror
karena kesadaran dari pekerja akan keselamatan kerja masih kurang. Tidak patuhnya pekerja dalam memakai alat pelindung diri juga dapat mengakibatkan terjadinya suatu kecelakaan kerja (Respati, 2014).
Menurut International Labour
Organization (ILO) yaitu organisasi buruh interasional, setiap tahun terjadi sebanyak 337 juta kecelakaan kerja di berbagai negara yang mengakibatkan sekitar 3 juta orang pekerja kehilangan nyawa. Angka kecelakaan kerja di Indonesia termasuk dalam kategori yang tinggi. Menurut data dari jamsostek, angka kecelakaan kerja tahun 2010 mencapai 98.711. pada tahun 2011 lalu mencapai 99.491 kasus. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2012 angka kecelakaan kerja mencapai 103.000 kasus. Tahun 2013 kecelakaan kerja meningkat mencapai 103.285 kasus (Supriyanto, 2015). Menurut data PT. Jamsostek tahun 2010 kejadian kecelakaan kerja di Jawa Tengah sebanyak 86.693 kasus, tahun 2011 kejadian kecelakaan kerja sebanyak 99.491 kasus. Menurut data kecelakaan kerja Disnakertrans pada tahun 2012 tercatat di provinsi Jawa Tengah terjadi kasus kecelakaan kerja sebanyak 14.280 kasus kecelakaan kerja, kemudian pada tahun
2013 sampai triwulan 4 telah terjadi kecelakaan kerja sebanyak 4.601 kasus (Respati, 2014).
Kecelakaan kerja akibat tidak
menggunakan APD di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu: 60% tenaga kerja cedera kepala karena tidak menggunakan topi pengaman, 90% tenaga kerja cedera wajah karena tidak menggunakan alat pelindung wajah, 77% tenaga kerja cedera kaki karena tidak menggunakan sepatu pengaman, dan 66% tenaga kerja cedera tangan karena tidak menggunakan alat pelindung tangan.
Pada tahun 2010 kejadian kecelakaan kerja pada perusahaan kayu sebanyak 54.398 kasus, tahun 2011 sebanyak 48.511 kasus. Pada tahun 2012 kecelakaan kerja sebanyak Tahun 2012 sebanyak 53.319 kasus dan Tahun 2013 sebanyak 50.089 kasus (Titilia, 2013).
Pada proses produksi dibagi menjadi
3 tahapan yaitu sawmill, middle layer,
preparation dan parquet yang pertama yaitu
sawmill. Pada proses ini adalah tahap pemotongan kayu menjadi potongan papan
yang kemudian di sortir sesuai grade.
Potensi bahaya pada proses sawmill adalah
terkena mesin potong pada tangan dan
tertimpa kayu log. Proses kedua yaitu
middle layer, pada proses ini dimulai dengan
penghalusan permukaan kayu yang
kemudian dibelah dan disusun untuk
direkatkan dengan veneer. selanjutnya
diproses pada mesin Cold Press untuk
direkatkan kembali dan dikeringkan pada
mesin Hot Press, kemudian material tersebut
dipotong sesuai ukuran dengan
menggunakan mesin Multi Rip. Potensi
bahaya pada proses middle layer adalah
tangan terkena mesin potong Multi Rip, dan
mesin Hot Press. Proses terakhir yaitu pada
Yohanes Bahar Aprilliawan, Evi Widowati / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016) ini Lumber lamella disizing sesuai ukuran
melalui tahapan dengan pembelahan
dengan mesin X-cut, pemotongan dengan
mesin Riping kemudian dilakukan
penghalusan permukaan dengan mesin
sander. Selanjutnya dilakukan pegabungan antara Top layer dengan Midlle layer pada
mesin Hot Prees dengan bantuan lem, dan
dilakukan perataan material untuk
memeproleh lantai kayu yang halus. Dari uraian diatas potensi bahaya
yang tertinggi adalah sub departement
preparation. Pada proses preparation potensi bahaya yang ditimbulkan berupa tangan tergores kayu, terkena serpihan kayu pada tangan, terjepit kayu. Untuk menekan potensi bahaya tersebut menjadi kecelakaan kerja, sub department preparation PT. TKPI menyediakan sarung tangan kain. Dari beberapa kecelakaan kerja yang terjadi
pada sub department preparation terjadi
karena goresan kayu pada tangan. Pada tahun 2014 terjadi 12 kecelakaan dari 207 karyawan, 6 di antaranya adalah luka robek pada tangan karena tidak menggunakan sarung tangan yang sudah di sediakan oleh perusahaan.
PT. Tanjung Kreasi Parquet Industry (TKPI) adalah perusahaan yang bergerak dibidang pengolahan kayu. Kecelakaan terbagi dalam kategori kecelakaan ringan yaitu luka ringan atau sakit ringan. Kategori kecelakaan sedang yaitu luka berat atau parah dan sirawat di rumah sakit dan kategori kecelakaan berat yaitu cidera parah, cacat seumur hidup, tidak mampu bekerja (Sompie, 2012). Pada PT. TKPI yang di kategorikan kecelakaan ringan adalah kecelakaan terkena serpihan kayu, luka lecet pada tangan dan masih bisa berikan penanganan oleh poliklinik PT. TKPI. Kategori kecelakaan sedang adalah luka robek yang membutukan jahitan dan membutuhkan waktu penyembuhan sekitar
satu minggu. Untuk kecelakaan kategori berat adalah kecelakaan yang menimbulkan cidera parah seperti patah tulang, dan mengakibatkan kehilangan hari kerja.
Pada tahun 2014 terjadi 31 (2,39 %) kecelakaan kerja dari 1295 karyawan. Kategori kecelakaan ringan sebanyak 10 (32,25 %) kecelakaan kerja, kategori sedang sebanyak 17 (54,83 %) kecelakaan kerja, dan kategori berat sebanyak 4 kecelakaan kerja. Pada bulan Januari sampai bulan Maret 2015 terjadi 12 kecelakaan. Pada bulan Januari terjadi 2 (17%) kecelakaan kerja dalam kategori sedang, dan pada bulan Februari 2015 terjadi 6 (50%) kecelakaan kerja, 1 (17%) kecelakaan kerja ringan, dan 5 (83%) kecelakaan kerja sedang. Bulan Maret terjadi 4 (33%) kecelakaan kerja dengan kategori ringan. Upaya yang dilakukan untuk menekan kejadian kecelakaan kerja PT. TKPI menyediakan alat pelindung diri sebagai tindakan proteksi dini terhadap bahaya kecelakaan kerja yang timbul di tempat kerja. Alat pelindung diri yang disediakan terdiri atas masker, sarung tangan kain, sarung tangan karet, sarung tangan kulit, dan ear plug. Untuk masker, dan sarung tangan kain semua pekerja wajib untuk memakai. Pada bagian produksi APD
ditambah dengan ear plug khususnya pada
pekerjaan diarea mesin planner, karena
dibagian ini kebisingan melebihi NAB (94,6 dBA). Sarung tangan karet digunakan pada bagian pengeleman, dan sarung tangan kulit digunakan pada bagian boiler.
Berdasarkan data dari PT. TKPI
Temanggung Tahun 2014 telah
memberikan APD berupa Ear Plug, masker
kain, sarung tangan kain, sarung tangan karet, dan sarung tangan kulit. Pada bulan Januari telah dibagikan APD sebanyak 1723 buah, dan bulan Februari mengalami penurunan menjadi 845 buah. Pembagian
Yohanes Bahar Aprilliawan, Evi Widowati / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
207
Karyawan
66
Karyawan
187
Karyawan
Populasi
Kriteria Inklusi
eksklusi
Penunjukan oleh manager
perusahaan
APD bulan Maret sebanyak 1646 buah, bulan April sebanyak 1931 buah, bulan Mei meningkat menjadi 2233 buah. Bulan Juni telah dibagikan APD sebanyak 1723, bulan Juli sebanyak 1637 buah. Pembagian APD pada bulan Agustus sebanyak 2105 buah, bulan September sebanyak 2510 buah, dan bulan Oktober sebanyak 2001 buah. Bulan November telah dibagikan APD sebanyak 2232 buah, dan mengalami penurunan pada bulan Desember menjadi 1871 buah. Data pembagian APD PT. TKPI Temanggung tahun 2015. Pada bulan Januari telah dibagikan APD sebanyak 1980 buah, bulan Februari sebanyak 1744, bulan Maret sebanyak 1862 buah, dan bulan April sebanyak 1613 buah.
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti termotivasi untuk mengetahui hubungan
antara kepatuan penggunaan sarung tangan dengan kejadian kecelakaan kerja. Sehingga
judul dalam penelitian ini adalah
Hubungan antara Kepatuhan Penggunaan
Sarung Tangan dengan Kejadian
Kecelakaan Kerja pada Pekerja di PT.
Tanjung Kreasi Parquet Industry
Temanggung. METODE
Penelitian ini menggunakan metode
penelitian analitik observasional dengan
pendekatan cross sectional yang menjelaskan
hubungan antara variabel bebas (kepatuhan penggunaan sarung tnagan) dan variabel terikat (kecelakaan kerja) melalui pengujian hipotesis.
Alur pengambilan sampel
Cara pemilihan sampel yaitu dari 207
karyawan Sub Departement Preparation
dipilih karyawan dengan kriteria inklusi dan eksklisi yang sudah ditentukan dan terdapat 187 karyawan yang memenuhi kriteria. Kemudian dari 187 karyawan terpilih 66 karyawan dengan penunjukan oleh pihak perusahaan melalui kepala
bagian Sub Departement Preparation yang
dapat menjadi responden dalam penelitian
ini (Notoatmodjo, 2010).
Adapun kriteria inklusi adalah sebagai berikut:
1. Karyawan dengan tingkat pendidikan
SMP dan SMA.
2. Karyawan dengan usai 20 tahun
sampai 45 tahun.
Kritetia eksklusi pengambilan sampel:
1. Tidak bersedia menjadi responden.
2. Bukan karyawan bagian Sub
Departement Preparation.
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan analisis univariat dan analisis bivariat. Uji statistik
dalam penelitian ini adalah uji chi square,
dengan uji alternatif Fisher’s karena jenis
hipotesisnya adalah hipotesis asosiasi yang akan menjawab apakah terdapat hubungan
Yohanes Bahar Aprilliawan, Evi Widowati / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
antara dua variabel dengan skala
pengukuran variabel kategorik dan data tidak berpasangan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1: Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No Tingkat Pendidikan Frekuensi Prosentase (%)
1. SMP 21 31,8
2. SMA 45 68,2
Total 66 100
Tabel 2: Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
No Usia Frekuensi Prosentase (%)
1. 20 tahun – 24 tahun 4 6,1 2. 25 tahun – 29 tahun 5 7,6 3. 30 tahun – 34 tahun 20 30,3 4. 35 tahun – 39 tahun 23 34,8 5. 40 tahun – 45 tahun 14 21,2 Total 66 100
Tabel 3: Distribusi Kepatuhan Penggunaan Sarung Tangan
No Kategori Frekuensi Prosentase (%)
1. Patuh 20 30,3
2. Tidak Patuh 46 69,7
Total 66 100
Tabel 4: Distribusi Kecelakaan Kerja
No Kategori Frekuensi Prosentase (%)
1. Kecelakaan Kerja 57 86,4
2. Tidak Kecelakaan Kerja 9 13,6
Total 66 100
Tabel 5: Tabulasi Silang Penggunaan Sarungan Tangan dengan Kecelakaan Kerja
Penggunaan sarung tangan Kecelakaan Kerja
Α ρ
Kecelakaan Kerja
Tidak Kecelakaan Kerja
Jumlah Prosentase Jumlah Prosentase
Tidak Patuh 43 93,5% 3 6,5%
0,05 0,018
Patuh 14 70% 6 30%
Total 57 9
Hasil analisis menggunakan uji
alternatif yaitu Fisher’s karena pada tabel
silang 2x2 dijumpai nilai harapan (Expacted
Count) kurang dari 5, lebih dari 20% jumlah
sel. Diperoleh nilai p value 0,018 (<0,05)
sehingga Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepatuhan penggunaan sarung tangan terhadap
Yohanes Bahar Aprilliawan, Evi Widowati / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016) kejadian kecelakaan kerja di PT. Tanjung
Kreasi Parquet Industry Temanggug. Parameter kekuatan hubungan yang dipakai
adalah OR (Odds Ratio), yaitu sebesar 6,14.
Dari data tersebut responden yang tidak patuh menggunakan sarung tangan kain mempunyai kemungkinan 6,14 kali untuk mengalami kecelakaan kerja dibandingkan
dengan responden yang patuh
menggunakan sarung tangan kain.
Kecelakan yang terjadi pada pekerja yang tidak patuh menggunakan sarung tangan kain pada hari kerja dan saat jam kerja berlangsung berupa tangan tergores kayu, terkena serpihan kayu. APD (Sarung Tangan Kain) merupakan suatu alat yang diperlukan untuk melindungi pekerja dari potensi bahaya fisik yang tidak dapat dihilangkan melalui pengendalian teknik
maupun pengendalian administratif
(Sugarda, 2014). APD (Sarung Tangan Kain) bukanlah alat yang nyaman apabila dikenakan tetapi fungsi dari alat ini sangatlah besar karena dapat mencegah kecelakaan kerja pada waktu bekerja. Berdasarkan pasal 14 huruf c UU No. 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja, perusahaan wajid menyediakan APD (Sarung Tangan Kain) secara cuma-cuma terhadap tenaga kerja dan orang lain yang memasuki tempat kerja. APD harus bisa memberikan perlindungan dari potensi bahaya ditempat kerja, nyaman dipakai, dan tidak mengganggu pekerjaan (Solichin, 2014). Apabila kewajiban tersebut tidak dipenuhi merupakan suatu pelanggaran undang-undang. Berdasrkan Pasal 12 huruf b, tenaga kerja diwajibkan memakai APD
(Sarung Tangan Kain) yang telah
disediakan. Dalam menyediankan APD (Sarung Tangan Kain) prioritas pertama perusahaan adalah melindungi pekerjanya secara keseluruhan. Katersediaan APD (Sarung Tangan Kain) harus sesuai dengan
bahaya yang ada diperusahaan, terbuat dari material yang tahan terhadap bahaya tersebut, nyaman dipakai.
Dari ketentuan undang-undang diatas masih ditemukan kejadian kecelakaan kerja yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu penggunaan alat pengaman yang tidak sesuai, sikap dan cara kerja yang kurang baik, penggunaan peralatan yang tidak aman, kesadaran tentang keselamatan
kurang, tidak adanya sosialisasi
keselamatan kerja, dan sikap kerja yang kurang baik (Muliatna, 2014)
Sarung tangan berfungsi meilindungi tangan dari benda yang berbahaya yang dapat melukai tangan. Sarung tangan juga sangat membantu pada pekerjaan yang dapat melukai tangan. Sarung tangan juga sangat membantu pada pekerjan yang berkaitan dengan benda kerja yang panas, tajam ataupun lancip (Sugarda, 2014). Sarung tangan yang digunakan untuk melindungi tangan dari kecelakaan kerja terdiri dari beberapa jenis yaitu sarung
tangan metal mesh, sarung tangan vinyl dan
neoprene, sarung tangan karet, sarung tangan
padded cloth, sarung tangan heat resistant,
sarung tangan latex disposable, sarung tangan
kain (Buntarto, 2015:47).
Sarung tangan metal mesh melindungi
tangan dari benda tajam dan mencegah terpotong akibat benda tajam. Sarung
tangan vinyl dan neoprene berfungsi
melindungi tangan dari bahan kimia beracun. Sarung tangan karet berfungsi melindungi saat bekerja disekitar arus
listrik. Sarung tangan padded cloth
melindung tangan dari ujung yang tajam,
pecahan gelas, kotoran dan vibrasi. Sarung
tangan heat resistant berfungsi untuk
melindungi tangan dari panas. Sarung tangan kain berfungsi melindungi tangan dari goresan benda dengan permukaan kasar.
Yohanes Bahar Aprilliawan, Evi Widowati / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016)
Pada proses preparation terdapat
beberapa tahapan. Tahap pertama yaitu
Lumber lamella disizing sesuai ukuran melalui tahapan dengan pembelahan
dengan mesin X-cut, pada tahap ini jenis
sarung tangan yang seharusnya digunakan
adalah metal mesh yang berfungsi
melindungi tangan dari benda tajam dan mencegah terpotong akibat benda tajam, namun belum disedikan oleh perusahaan. Tahap kedua yaitu pemotongan dengan
mesin Riping, pada tahap ini sarung tangan
yang seharusnya digunakan adalah metal
mesh, namun belum disediakan oleh
perusahaan. Tahap selanjutnya dilakukan penghalusan permukaan dengan mesin
sander, pada tahap ini sarung tangan yang seharusnya digunakan adalah sarung tangan kain berfungsi melindungi tangan dari goresan benda dengan permukaan kasar, untuk sarungan tangan kain sudah disediakan oleh perusahaan. Tahap terakhir
pada Sub Departement Preparation adalah
melakukan pegabungan antara Top layer
dengan Midlle layer pada mesin Hot Prees
dengan bantuan lem, dan dilakukan perataan material untuk memperoleh lantai kayu yang halus. Pada tahap ini sarung tagan yang seharusnya digunakan adalah
sarung tangan heat resistant berfungsi untuk
melindungi tangan dari panas namun belum disediakan oleh perusahaan.
Dari beberapa tahapan pada
departement preparation, kecelakaan kerja sering terjadi pada tahap penghalusan
permukaan dengan mesin sander. Angka
kecelakaan kerja pada tahun 2014 terjadi 12 kecelakaan dari 207 karyawan, 6 di antaranya adalah luka robek pada tangan karena tidak menggunakan sarung tangan. Karyawan yang tidak menggunakan sarung tangan kain ketika sedang bekerja yang mengakibatkan terjadinya kecelakaan kerja berupa tangan tergores kayu, dan terkena
serpihan kayu. Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan pekerja dapat patuh menggunakan sarung tangan kain yang sudah disediakan oleh perusahaan sehingga angka kecelakaan kerja akibat tidak menggunkakna sarung tangan kain saat bekerja dapat berkurang.
Penelitian sebelumnya yang
dilakukan Egriana Handayani (2012) pada
bagian rustic di PT. Borneo Melintang
Buanan diketahui bahwa ada hubungan antara kepatuhan penggunaan sarung
tangan dengan kecelakaan kerja dengan p
value 0,009 (<0,05). Perilaku sesuai aturan dan selalu memakai sarung tangan kain pada hari kerja dan saat jam kerja berlangsung sesuai bahaya dan risiko kerja
untuk menjaga keselamatan pekerja
(Supriyanto, 2014). Pekerja diwajibkan untuk selalu memakai sarung tangan kain sebagai pelindung dari saat bekerja yang sudah disediakan oleh perusahaan.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil uji statistik yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara kepatuhan penggunaan sarung tangan kain dengan kecelakaan kerja pada pekerja sub departemen preparation di PT. TKPI Temanggung. Hal ini berdasarkan uji
alternatif yaitu uji fisher denagn hasil p value
0,018 (<0,05) dengan OR (Odds Ratio),
yaitu sebesar 6,14. Dari data tersebut responden yang tidak patuh menggunakan
sarung tangan kain mempunyai
kemungkinan 6,14 kali untuk mengalami kecelakaan kerja dibandingkan dengan responden yang patuh menggunakan sarung tangan kain.
Yohanes Bahar Aprilliawan, Evi Widowati / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016) Terimakasih kami sampaikan kepada
Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas Negeri Semarang, Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Bapak Ibu dosen Jurusan Ilmu Kesehatan
Masyarakat, PT. Tanjung Kreasi Parquet
Industry atas ijin dan bantuan yang diberikan dalam pelaksanaan penelitian ini. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dan mendukung dalam proses pelaksanaan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Sugarda, Asri, 2014, Analisis Pengetahuan Penggunaan Alat Pelindung Diri Terhadap Allowance Proses Kerja Pemotong Kayu PT. PAL Indonesia, Volume 9, No 3, September 2014.
Sompie, Bonny F, 2012, Pengaruh Kesehatan, Pelatihan dan Penggunaan Alat Pelindung Diri Terhadap Kecelakaan Kerja Pada Pekerja Konstruksi di Kota Tomohon, Volume 2, No 4, Novemver 2012.
Buntarto, 2015, Panduan Praktis Keselamatan dan Kesehatan Kerja untuk Industri, Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Muliatna, I Made, 2014, Pengaruh Alat Pelindung Diri Terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja Karyawan dibengkel M.Mischan Kalijudan Surabaya, Volume 3, No 3, Tahun 2014.
Handayani, Egriana, 2012, Hubungan antara Penggunaan Alat Pelindung Diri, Umur, dan Masa Kerja dengan Kecelakaan Kerja pada Pekerja Bagian Rustic di PT. Borneo Melintang Buana Eksport Yogyakarta, Volume 4, No 3, September 2012.
Titilia, Maria, 2014, Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Pendidikan Pekerja terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri, Volume 4, No 1, Mei 2014.
Respati, Rida 2014, Analisis Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Paket Pekerja Pembangunan Jalan Lingkar Luar Kota Palangkaraya, Volume 3, No 1, Desember 2014.
Supriyanto, Riyanto, 2015, Kepatuhan Pemakaian Alat Pelindung Diri pada Pekerja Las di Indramayu, Volume 1, No 3, Desember 2015. Notoatmodjo, Soekidjo, 2010, Metodologi Penelitian
Kesehatan, Jakarta: Reneka Cipta.
Solichin, 2014, Penerapan Personal Protective equitment (Alat Pelindung Diri) pada Laboraturium Pengelasan, Volume 1, No 1,
UJPH 5 (3) (2016)
Unnes Journal of Public Health
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujphGAMBARAN STRES KERJA PEGAWAI BAGIAN REKAM MEDIS RUMAH
SAKIT BHAKTI WIRATAMTAMA SEMARANG
Dewi Sartika, dan Sugiharto
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia Info Artikel ________________ Sejarah Artikel: Diterima 16 Maret 2016 Disetujui 22 Juli 2016 Dipublikasikan Juli 2016 ________________ Keywords: Medical-Record Employee; Occupational Stress ____________________ Abstrak ___________________________________________________________________
Faktor penyebab stres kerja adalah lingkungan kerja yang kurang nyaman, konsultasi yang tidak efektif dan konflik antara tuntutan keluarga dan tuntutan instansi. Penelitian kualitatif dilakukan untuk memperoleh gambaran stres kerja pegawai bagian rekam medis rumah sakit Bhakti Wiratamtama Semarang. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif menggunakan teknik snowball sampling. Informan utama berjumlah 15 pegawai dan 2 triangulasi. Hasil yang diperoleh, yaitu informan mengeluhkan mengalami stres kerja akibat rak fililng yang kurang rapi dan pengembalian dokumen rekam medis pasien yang terlambat dan lingkungan kerja yang kurang baik. Adanya pertemuan triwulan dapat mengurangi masalah yang dihadapi oleh pegawai. Saran bagi pegawai yaitu petugas filing melakukan pemilahan dokumen rekam medis antara lembar yang akan diabadikan dan dimusnahkan. Rumah sakit disarankan dalam pembersihan berkas pasien dan penataan ruang lebih ditata dengan rapi agar pegawai nyaman dalam mobilisasi dalam bekerja.
Abstract
___________________________________________________________________ Factors that cause occupational stress are the inconvenient occupational environment, ineffective consultation and conflict between family agency requirement. The purpose of this qualitative research is to get occupational stress overview of medical record employee in Bhakti Wiratamtama Semarang Hospital. This research method is qualitative research using snowball sampling. The informants consist of 15 key informants and 2 triangulation informants. The informans were complained about untidy shelves and late of medical record returning. Quarterly meeting to reduce this problem. Suggestion to employee was to sorting the medical record document, and to select wich one to be saved. Suggestion to hospital was to clean up patients documents and tidy up the room so the employee can work with comfort.
© 2015 Universitas Negeri Semarang Alamat korespondensi:
Gedung F5 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail: dewi.tatika@gmail.com
Dewi Sartika & Sugiharto / Unnes Journal of Public Health 5 (3) (2016) PENDAHULUAN
Menurut Health Safety Executive,
bahwa stres adalah reaksi negatif manusia akibat adanya tekanan yang berlebihan atau jenis tuntutan lainnya (Tarwaka, 2011). Stres kerja dapat diartikan sebagai sumber
atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi
individu berupa reaksi fisiologis, psikologis
dan perilaku. Stressor kerja merupakan
segala kondisi pekerjaan yang dipersepsikan karyawan sebagai tuntutan dan dapat menimbulkan stres kerja.
Tuntutan akan kinerja pegawai yang tinggi memang sudah menjadi bagian dari semua perusahaan. Berdasarkan peringkat
indeks kinerja yang telah dilakukan World
Investement Report (WIR) tahun 2003, indeks kinerja Indonesia menempati urutan ke-138 dari 140 negara. Peringkat ini dengan
memperhatikan indikator tingkat
kehadiran, kualitas pekerjaan dan kuantitas pekerjaan pegawai Indonesia tergolong rendah. Kurang berfungsinya peran, merupakan pembangkit stres yaitu meliputi
konflik peran (role ambiguity) (Hidayati,
2008).
Banyak penelitian yang membahas
hubungan antara stres, locus of control dan
kepuasan kerja serta kinerja karyawan.
Menurut Patern, pengaruh locus of control
terhadap kepuasan kerja dan kinerja para
auditor internal di Amerika. Locus of control
memiliki tingkat locus of control internal yang
cukup tinggi sehingga cenderung lebih
mudah merasa puas dan mampu
menghasilkan kinerja yang baik karena pengendalian yang bagus. Menurut Gaffar (2009) dalam Savira (2011) hubungan stres kerja karyawan Bank Mandiri wilayah X Makasar yang menemukan bahwa stres
kerja berpengaruh terhadap kinerja.
Menurut Singh dan Ashish (2010) dalam Savira (2011), peranan penting stres kerja
dan locus of control terhadap kepuasan kerja para manajer level menengah di perusahaan swasta di India memberikan temuan yang berbeda. Dari hasil penelitian tersebut,
terbukti bahwa tingkat stres kerja dan locus
of control berpengaruh negatif terhadap kepuasan kinerja (Savira, 2011).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara stres kerja dengan strategi coping berfokus masalah pada dosen, tidak ada hubungan antara stres kerja dengan strategi coping berfokus emosi pada dosen. Strategi yang efektif dengan segera mengatasi stres, mungkin menjadi tidak efektif dalam membenatu seseorang mengatasi masalahnya begitu juga sebaliknya, hal ini berkenaan dengan tugas dosen yang siap sedia membantu mahasiswa mengatasi masalah yang
berhubungan dengan akademiknya,
misalnya bimbingan skripsi yang terkadang membutuhkan waktu, tenaga, pikiran yang
lebih banyak, sehingga tidak
memungkinkan mengatasi stres dengan
menghindarinya atau dengan
menghindarinya atau dengan perilaku
emosional, lagipula dampak yang
dihasilkan akan mempengaruhi kredibilitas mereka sebagai seorang tenaga pengajar maupun nama baik instansi yang menaungi (Rustiana dan Cahyati).
Aspek tugas merupakan stressor paling dominan yang berpengaruh terhadap
stres kerja perawat. Imbalan jasa,
lingkungan kerja, pengembangan karir dan tim kerja juga berperngaruh pada stres kerja perawat. Karakteristik organisasi ini merupakan stressor kategori frendah bagi perawat di sebuah RS Medan (Soep, 2012).
Rumah sakit merupakan unit
pelayanan kesehatan masyarakat,