• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PERAN DAN FUNGSI MAJELIS RAKYAT PAPUA (MRP)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III PERAN DAN FUNGSI MAJELIS RAKYAT PAPUA (MRP)"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

86 BAB III

PERAN DAN FUNGSI MAJELIS RAKYAT PAPUA (MRP)

A. GAMBARAN UMUM WILAYAH PAPUA

1. Sejarah

Istilah Papua yang digunakan mengacu pada pengertian tanah Papua yang secara administratif terdiri atas Provinsi Papua dan Papua Barat. Status politik Papua dipengaruhi dengan penyerahan kedaulatan Hindia Belanda kepada Indonesi apada tajun 1949 memunculkan persoalan politik status Papua yang berujung pada persetujuan new york 1962 dimana Belanda menyerahkan Papua ke UNTEA (united nation temporary executive authority) dan selanjutnya UNTEA menyerahkan Papua ke Indonesia sebagai bagian persetuajuan new york dari hasil penentuan pendapat rakyat (Pepera) pada tahun 1969.1

Papua pada masa kolonial Belandan disebut dengan west new guinea atau nederlandse nieuw guinea. Setelah bergabung dengan Indonesia

(2)

87 nama daerah ini diganti menjadi Provinsi Irian Barat. Kemudian pada masa orde baru, Soeharto mengganti Irian Barat dengan nama Irian Jaya. Sesudah berakhirnya orde baru nama Irian Jaya berubah menjadi Papua.2

2. Geografis

Provinsi Papua terletak antara 20 25’ – 90 Lintang Selatan dan 1300 -1410 Bujur Timur. Provinsi Papua yang memiliki luas 319.036,05 km2 atau 16,70 persen dari luas Indonesia, merupakan provinsi dengan wilayah terluas di Indonesia. Pada tahun 2010, Papua dibagi menjadi 28 kabupaten dan 1 kota dimana Merauke merupakan kabupaten/kota terluas (56,84 persen) dan Kota Jayapura merupakan kabupaten/kota terkecil di Provinsi Papua (0,10 persen dari luas Papua).3

Papua di bagian utara dibatasi Samudra Pasifik, sedangkan di bagian selatan berbatasan dengan Laut Arafuru. Sebelah barat berbatasan dengan Laut Seram, Laut Banda, Provinsi Maluku, dan sebelah timur berbatasan dengan Papua New Guinea. Wilayah Papua terletak pada

2 Ibid, hal. 4

(3)

88 ketinggian antara 0 – 3.000 meter dari permukaan laut. Puncak Jaya merupakan kabupaten/kota tertinggi dengan ketinggian 2.980 mdpl, sedangkan Kota Jayapura merupakan kabupaten terendah, yaitu 4 mdpl.4

Secara topografis, Papua terdiri atas dataran rendah berawa sampai dataran tinggi yang dipadati dengan hutan hujan tropis, padang rumput dan lembah lengkap dengan alang-alangnya. Di bagian tengah berjejer rangkaian pegunungan tinggi sepanjang 650 km. Salah satu bagian dari pegunungan itu adalah Jayawijaya yang sangat terkenal. Di sana terdapat tiga.5

3. Demografis Penduduk

Jumlah penduduk Provinsi Papua berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, tercatat sebanyak 2.833.381 jiwa. Dengan luas wilayah 317 062 km2 berarti kepadatan penduduknya mencapai 8.93/km2, sehingga menjadikan Provinsi Papua sebagai wilayah yang paling sedikit penduduknya di Indonesia.6

4 Ibid, hal. 3

5 Profil Papua 2011, BAPPEDA Prov. Papua, hal. 33 6 Ibid, hal. 39

(4)

89 Kota Jayapura masih merupakan kabupaten/kota dengan jumlah penduduk terbanyak (256.705 jiwa), dengan laju pertumbuhan penduduk 3.29 persen per tahun selama periode tahun 2000-2010.Kabupaten dengan jumlah penduduk terkecil adalah Kabupaten Supiori sebanyak 15,874 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduknya yang relatif kecil yaitu 2.72 persen per tahun selama periode 2000-2010.7

Berdasarkan hasil sensus penduduk 2010, jumlah penduduk Papua jumlah penduduk Provinsi Papua adalah 2.833.381 orang, terdiri dari 1.505.883 orang laki-laki (53,15 persen) dan 1.327.498 orang perempuan (46,85 persen). Dengan demikian, rasio jenis kelamin di Provinsi Papua diatas 100, yaitu 113,4. Rasio jenis kelamin (sex ratio) tertinggi terdapat di Kabupaten Mimika sebesar 130 dan terendah di Kabupaten Dogiyai sebesar 102. Laju pertumbuhan penduduk Provinsi Papua per tahun selama sepuluh tahun terakhir yakni dari tahun 2000-2010 adalah 5,39 persen. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Tolikara adalah yang tertinggi dibanding kabupaten/kota lainnya di Provinsi Papua yakni mencapai 12,59 persen, sedangkan laju pertumbuhan penduduk terendah di Kabupaten Pegunungan

(5)

90 Bintang (2,48 persen). Jumlah penduduk yang begitu besar dan terus bertambah setiap tahun tidak diimbangi dengan pemerataan penyebaran penduduk. Pada tahun 2010, sebagian besar penduduk Papua masih berpusat di Kota Jayapura.8

B. EKSISTENSI PERAN DAN FUNGSI MRP PADA TATARAN NORMATIF

Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada dasar hukum di Indonesia ialah Setelah Perubahan keempat UUD 1945 terdapat dalam bab IV amandemen UUD 1945. Dalam bab IV yang mengatur tentang Pemerintah Daerah, yaitu:

Pasal 18

(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.

(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,

kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang

ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

(6)

91 (6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

Pasal 18A

(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.

(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.

Pasal 18B

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, menegaskan pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam:

(7)

92 (1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. (2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, yang menjadi

kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

(3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. politik luar negeri;

b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi;

e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama.

(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa

(5) Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah dapat:

a. menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan; b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur

selaku wakil Pemerintah; atau

c. menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah

dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas

pembantuan.

Dalam Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menentukan, Pemerintahan

daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

Dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, ditentukan bahwa yang memegang kekuasaan untuk membentuk

(8)

93 peraturan daerah adalah DPRD. Demikian dalam Pasal 41 UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah ditentukan bahwa DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Serta UU Otsus Papua yang mengatur tentang kedudukan lemabaga perwakilan di daerah dalam pelaksanaan Otsus Papua.

Lembaga daerah dapat dilihat pembentukan dari peraturan perundangan, DPRD merupakan lembaga di tingkat daerah, lembaga tersebut disebut sebagai lembaga daerah, sepanjang bekerjanya dibiayai oleh anggaran belanja negara atau daerah. DPRD merupakan lembaga daerah yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang yang pengangkatan anggota dilakukan dengan keputusan presiden. Sedangkan untuk MRP, adalah lembaga daerah yang dibentuk berdasarkan peraturan tingkat pusat atau peraturan daerah propinsi, dan pengangkatan anggotanya ditetapkan dengan keputusan presiden. Walaupun dalam hal pembentukan kedua lembaga daerah tersebut berbeda dari sisi hierarki peraturan perundangan tetapi mempunyai kedudukan yang sederajat sebagai lembaga daerah yang berperan dalam wujud lembaga perwakilan.

(9)

94 Dengan melihat kedudukan antara MRP dan DPRD dalam pelaksanaan sebagai lembaga daerah adalah Pasal 10 ayat (1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah; ayat (2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

Pengertian arti otonomi seluas-luasnnya hampir sama dengan pemberian Otonomi Khusus yang terjadi di Papua. Dimana pemerintah mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan daerah berdasarkan aturan peraturan khusus.

Dengan melihat kedudukan MRP dalam wujud lembaga perwakilan yang telah termuat dalam UU Otsus Papua sebelum lahirnya UU Pemda. Di dalam UU Otsus termuat pembentukan suatu lembaga perwakilan selain yang telah ada dalam wujud DPRD. Namun tugas dan wewenangnya tidak berbeda jauh dengan apa yang telah ada pada

(10)

95 UU Pemda, hanya yang berbeda di dalam MRP adalah fungsi membuat dan mengusulkan peraturan perundangan yang ada terdapat pada DPRD.

Mengenai tugas dan wewenang DPRD ditentukan dalam Pasal 42 ayat (1) UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yaitu :

a. Membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama;

b. Membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama dengan kepala daerah;

c. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah;

d. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala

daerah/wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD provinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD kabupaten/kota;

e. Memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah;

f. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;

g. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sana internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah;

h. Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;

(11)

96 j. Melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam

penyelenggaraan pemilihan kepala daerah;

k. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antar daerah dan dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah. Apabila melihat pembentukan DPRD dalam UU Nomor 32 Tahun 2004. Untuk MRP lebih terlihat dalam pelaksanaan UU Otsus Papua, dimana pengaturan tentang kedudukan dan kewenagangan diberikan kepada MRP sebagai lembaga didaerah yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 Tentang MRP dan Peraturan Pelaksananya diatur dalam Perdasus tentang MRP, yaitu Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 3 Tahun 2008 Tentang hak dan Kewajiban MRP sedangkan dalam Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor Nomor 4 tahun 2008 Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang MRP.

Pelaksanaan fungsi dan peran MRP sebagai lembaga perwakilan lebih terlihat di dalam pelaksanaan UU Otsus Papua, dimana dalam Pasal 1 huruf menyebutkan mengenai Majelis Rakyat Papua, yang selanjutnya disebut MRP, adalah representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan

(12)

97 kerukunan hidup beragama sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.

MRP adalah lembaga yang termasuk dalam susunan pemerintahan daerah dalam UU Otsus, Pasal 5 ayat (2) Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua yang merupakan representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama; ayat (3) MRP dan DPRP berkedudukan di ibu kota Provinsi.

Pengaturan mengenai MRP lebih tegas dalam hal tugas, kewenangan, hak dan kewajiban diatur dalam UU Otsus, yaitu:

Pasal 19 ayat (1) MRP beranggotakan orang-orang asli Papua yang terdiri atas wakil-wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil-wakil perempuan yang jumlahnya masing-masing sepertiga dari total anggota MRP;

Pasal 20 ayat (1) MRP mempunyai tugas dan wewenang: memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP; (a). memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap calon anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia utusan daerah Provinsi Papua yang diusulkan oleh DPRP; (b). memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP

(13)

98

bersama-sama dengan Gubernur; (c). memberikan saran,

pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana perjanjian kerjasama yang dibuat oleh Pemerintah maupun Pemerintah Provinsi dengan pihak ketiga yang berlaku di Provinsi Papua khusus yang menyangkut perlindungan hak-hak orang asli Papua; (d). memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama, perempuan dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak orang asli Papua, memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya; dan (e). memberikan pertimbangan kepada DPRP, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota serta Bupati/Walikota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua; (f). (2) Pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasus.

Pasal 21 ayat (1) MRP mempunyai hak: (a). meminta keterangan kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua; (b). meminta peninjauan kembali Perdasi atau Keputusan Gubernur yang dinilai bertentangan dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua; (c). mengajukan rencana Anggaran Belanja MRP kepada DPRP sebagai satu kesatuan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Papua; dan (d). menetapkan Peraturan Tata Tertib MRP; ayat (2) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasus dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Pasal 22 ayat (1) Setiap anggota MRP mempunyai hak: (a). mengajukan pertanyaan; (b). menyampaikan usul dan pendapat; (c). imunitas; (d). protokoler; dan (e). keuangan/administrasi. Ayat (2) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib.

Pasal 23 ayat (1) MRP mempunyai kewajiban: mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua; (a). mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta menaati segala perundang-undangan; (c). membina pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat dan budaya asli Papua; (d). membina kerukunan kehidupan beragama; dan (e). mendorong pemberdayaan perempuan. Ayat (2) Tata cara pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasus dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

(14)

99 Kedudukan MRP selain diatur di dalam UU Otsus Papua, dimana dalam UU tersebut yang melahirkan adanya MRP. Dengan demikian dalam hal pengaturan pelaksaan dari UU Otsus Papua maka pemerintah pusat telah di mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2004 Tentang Majelis Rakyat Papua. Hadirnya PP MRP memberikan ketagaasan akan kehadiran MRP dalam pelaksanaan Otsus di Papua. Dan memberikan ruang kepada MRP sebagai lembaga daerah yang berpartner dengan lembaga daerah lain dalam menjalankan pemerintahan daerah dalam UU Otsus Papua. Peran MRP dalam PP MRP dapat terlihat dari Pasal-pasal sebagai berikut :

Pasal 36 MRP mempunyai tugas dan wewenang, (a). memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap pasangan bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang diusulkan oleh DPRP; (b). memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rancangan perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur; (c). memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana perjanjian kerja sama yang dibuat oleh pemerintah maupun pemerintah provinsi dengan pihak ketiga yang berlaku di wilayah Papua, khusus yang menyangkut perlindungan hak-hak orang asli Papua; (d). Memperhatikan dan menyalurkan aspirasi pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak orang asli Papua serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya; (e). Memberikan pertimbangan kepada DPRP, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota serta

(15)

100 Bupati/ Walikota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlingdungan hak-hak orang asli Papua.

Pasal 38 Tata Cara Memberikan Pertimbangan dan Persetujuan Terhadap Rancangan Perdasus, Ayat (1) Rancangan Perdasus disampaikan oleh pemerintah provinsi bersama DPRP kepada MRP untuk dilakukan pembahasan guna mendapat pertimbangan dan persetujuan; ayat (2) Pembahasan Rancangan Perdasus sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh kelompok kerja paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya rancangan Perdasus; ayat (3) Dalam memberikan pertimbangan dan persetuju an sebagaimana dimaksud pada ayat (1) MRP melakukan konsultasi dengan pemerintah provinsi dan DPRP; ayat (4) Dalam hal Rancangan Perdasus tidak mendapatkan pertimbangan dan persetujuan lebih dari 30 (tiga puluh) hari sebagaiman dimaksud pada ayat (1), Rancangan Perdasus dianggap telah mendapat pertimbangan dan persetujuan oleh MRP; ayat (5) Pemerintah Provinsi bersama DPRP menetapkan Rancangan Perdasus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi Perdasus.

Pasal 39 Tata Cara Memberikan Pertimbangan Dan Persetujuan Terhadap Kerjasama dengan Pihak Ketiga, ayat (1) Rencana Perjanjian Kerjasama dengan pihak ketiga disampaikan oleh pemerintah atau pemerinyah provinsi bersama DPRP kepada MRP untuk mendapat pertimbangan khusus menyangkut perlingdungan hak-hak orang asli Papua; ayat (2) Pembahasan rencana perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh kelompok kerja yang membidangi untuk mendapatkan persetujuan rapat pleno MRP selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterim anya rencana perjanjian; ayat (3) Apabila diperlukan kelompok kerja dapat berkonsultasi kepada pemerintah atau pemerintah provinsi mengenai rencana perjanjian kerja sama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1); ayat (4) Dalam hal rencana perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga tidak mendapat pertimbangan dan persetujuan lebih dari 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2), rencna perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga dianggap telah mendapat pertimbangan dan persetujuan MRP; ayat (5) Perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga dari luar negeri dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan luar negeri.

(16)

101 Pasal 40 Tata Cara Menerima Penyampaian Aspirasi dan Pengaduan: ayat (1) Masyarakat Adat, Umat beragama, kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya yang datang secara langsung ke MRP untuk menyampaikan aspirasi dan pengaduan diterima oleh Sekretariat MRP dan disalurkan kepada pimpinan MRP dan/atau

kelompok kerja yang membidanginya; ayat (2) Dalam

menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pimpinan MRP meneruskan kepada Gubernur dan DPRP sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 41 Tata Cara Memberikan Pertimbangan Terhadap Perlingdun gan Hak -Hak Orang Asli Papua: ayat (1) Kebijakan Daerah yang dibuat oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua, disampaikan kepada MRP untuk mendapat pertimbangan; ayat (2) Pertimbangan MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaiakn secara tertulis paling lambat diberikan 14 (empat belas) hari sejak diterima oleh MRP untuk mendapatkan perhatian pemerintah daerah.

Pasal 42 Hak Meminta Keterangan: ayat (1) MRP dapat meminta keterangan pemerintah provinsi yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua; (2). Permintaan Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan oleh paling sedikit 20 % (dua puluh per seratus) dari jumlah anggota MRP yang mencerminkan unsure wakil adat, wakil perempuan dan wakil agama; (3) 3. Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh pimpinan MRP disampaikan kepada rapat pleno MRP untuk memperoleh keputusan; ayat (4) Dalam rapat pleno sebagaimana dimaksud pada ayat (3), para pengusul diberi kesempatan menyampaiakan penjelasan lisan atas usulan permintaan tersebut; ayat (5) Apabila rapat pleno menyetujui usul permintaan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pimpinan MRP menyampaikan permintaan keterangan secara tertulis kepada pemerintah provinsi; ayat (6) Pemerintah Provinsi memberikan keterangan tertulis kepada pimpinan MRP; ayat (7) Angota MRP dapat mengajukan pertanyaan atas keterangan pemerintah provinsi dan rapat kerja.

Pasal 43 Hak Meminta Peninjauan Kembali Perdasi : ayat (1) MRP dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali Perdasi atau

(17)

102 Peratuan Gubernur yang bertentangan dengan perlindungan hak-hak dasar orang asli Papua; ayat (2) Permintaan peninjauan kembali sebgaimana dim aksud pada ayat (1) diajukan oleh paling sedikit 30% (tiga puluh per seratus) dari jumlah anggota MRP yang mencerminkan unsure wakil adat, wakil perempuan dan wakil agama dan mendapat persetujuan rapat pleno MRP; ayat (3) Permintaan peninjauan kembali sebagaima na dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara tertulis kepada pemerintah provinsi dan DPRP ; ayat (4) Permintaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditanggapi secara tertulis ileh Pemerintah Provinsi dan DPRP untuk dibahas dalam rapat kerja.

Perdasus Nomor 3 Tahun 2008 tentang Hak dan kewajiban MRP lebih terlihat dari sisi pengawasan terhadap pemerintah daerah.

Pasal-Pasal yang mengatur, yaitu: Pasal 1 huruf (a). meminta keterangan kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua; (b). meminta peninjauan kembali Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Gubernur yang dinilai bertentangan dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua; Pasal 2 MRP berhak meminta keterangan kepada Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua; Pasal 8 MRP berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Gubernur yang dinilai bertentangan dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua.;

Dalam Perdasus Nomor 4/2008 tentang tugas kewenangan MRP diatur dalam Pasal 2 huruf (a). memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap pasangan bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP; (b). memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Perdasus yang di ajukan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur; Pasal 8 ayat (1) DPRP menyampaikan Rancangan Perdasus hasil Pembahasan Gubernur dan DPRP kepada MRP untuk mendapatkan pertimbangan dan persetujuan; Pasal 10 ayat (1) Pokja atau lintas Pokja menyampaikan hasil pembahasan Rancangan Perdasus kepada Pimpinan MRP dalam bentuk persetujuan

(18)

103 atau penolakan; Pasal 11 Pimpinan MRP melakukan penetapan Rancangan Perdasus hasil pembahasan Pokja atau lintas Pokja dalam rapat pleno.

Dengan melihat peraturan yang mengatur tentang lembaga perwakilan didaerah, maka terlihat dengan jelas bahwa eksistensi dan peran MRP dalam fungsi legislasi atau mengusulkan atau membuat peraturan tidak terlihat dengan jelas dalam pengaturan khususnya dalam UU Otsus sampai dengan Perdasus yang mengatur mengenai kewenangan dari MRP. Dengan demikian MRP kedudukannya tidak ikut membahas, tidak ikut menentukan yang strategis, mereka hanya

mempertimbangkan menyarankan menyetujui tetapi justru

pembentukan politik daerah, kebijakan daerah dilakukan oleh DPRP dan gubernur. Hal ini berbeda apabila dilihat dalam peran MRP dari sisi lembaga yang mempunyai peran sebagai lembaga yang berperan dalam perwakilan dan pengawasan. Dalam kedua hal tersebut peran dari MRP sangat jelas sebagai fungsi dari sistem checks and balances terhadapa pemerintah daerah. Peraturan yang memberikan MRP ruang tersebut juga dengan jelas memberikan porsi kepada MRP dalam menjalankan pengawasan terhadapa pelaksanaan pemerintahan daerah

(19)

104 dalam era Otsus Papua dalam memberikan perlindungan terhadap orang asli Papua.

C. IMPLEMENTASI PERAN MRP

Implementasi peran MRP dapat dilihat dalam tiga hal yaitu dalam fungsi legislasi, fungsi pengawasan dan fungsi perwakilan. Dari sistem perwakilan dimana apabila menganut diantara dua sistem perwakilan Sistem perwakilan politik (political representation) dan

Sistem perwakilan fungsional (functional representation)

menggambarkan adanya dua lembaga perwakilan dengan sistem bikameral. Ini dapat terlihat pada pelaksanaan Otsus Papua dimana terdapat dua lembaga perwakilan yang berbeda dari sisi perwakilan. DPRP mewakilkan unsur politik sedangkan MRP mewakilkan unsur kultural atau non politik. Dengan melihat sistem perwakilan tersebut maka dapat dilihat fungsi-fungsi dari lembaga perwakilan yang ada di Papua.

Eksistensi fungsi dan peran MRP dilihat dalam hierarki peraturan perundangan akan memberikan gambaran suatu bentuk khusus bentuk lembaga perwakilan di

(20)

105 Dalam sistem perwakilan di Papua, bagaimana dapat mengakomodasi kelompok-kelompok di dalam masyarakat asli Papua dengan memberikan perlindungan secara kultural. Dengan demikian adanya suatu proteksi terhadap keberadaan orang asli Papua dapat terakomodasi dengan kehadiran MRP. Bahwa secara geografis, keseluruhan tanah Papua dibagi ke dalarn 7 (tujuh) wilayah kesatuan masyarakat hukum adat, yang terdiri dari: 1. Wilayah Adat I Mamta; 2. - Wilayah Adat II Saireri; 3. Wilayah Adat III Boberai; 4. Wilayah Adat IV Bomberai; 5. Wilayah Adat V Ha-Anim; 6. Wilayah Adat VI La-Pago; Dan 7. Wilayah Mat VII Mi-Pago.

Secara politis dan administratif, Wilayah Adat I Mamta, Wilayah Adat II Saireri, Wilayah Adat V Ha-Anim, Wilayah Adat VI La-Pago dan Wilayah Adat VII Mi-Pago berada di Wilayah Provinsi Papua, sedangkan Wilayah Adat III Boberai dan Wilayah Adat IV Bomberai berada di wilayah Provinsi Papua Barat.

1. Peran dan Fungsi Legislasi MRP

Peran MRP dalam fungsi legislasi dapat dilihat dalam pelaksanaan Otsus Papua, di dalam pelaksanaan Otsus Papua terdapat salah satu lembaga yang bersifat perwakilan kultural dari orang asli papua dalam

(21)

106 memberikan perlindungan terhadap hak-hak orang asli papua (afirmatf action) dalam bidang-bidang tertentu yang telah tertuang didalam UU Otsus Papua dalam wujud peraturan daerah khusus (Perdasus).

Menurut Jimly Asshidiqie fungsi pengaturan legislasi adalah Cabang kekuasaan legislatif merupakan cabang kekuasaan yang pertama-tama mencerminkan kedaualatan rakyat. Ada tiga hal penting yang harus diatur oleh wakil rakyat diparlemen, yaitu: a. Pengaturan yang dapat mengurangi hak dan kebebasan warga negara, b. Pengaturan yang dapat membebani harta kekayaan warga negara, c. Pengaturan mengenai pengeluaran-pengeluaran oleh penyelenggara negara. Pengatran mengenai ketiga hal tersebut hanya dapat dilakaukan dengan atas persetujuan warga negara, yaitu melalui wakil-wakil mereka diparlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat.

Kedudukan sebagai lembaga perwakilan secara kultural tidak membuat MRP sebagai suatu lembaga yang mempunyai peran dalam melakukan fungsi legislasi. Dimana kewenangan MRP dalam hal membentuk peraturan perundangan seperti halnya DPRP tidak terdapat dalam UU Otsus.

(22)

107 Kewewenangan dalam legislasi MRP, apabila dilihat dalam peraturan perundangan dalam hierarkhi peraturan yang mengatur secara umum, demikian juga dilihat dalam perturan yang mengatur secara khusus, yaitu UU Otsus tidak memberikan ruang kepada MRP dalam melakukan fungsi legislasi. Dilihat pasal-pasal di dalam UU Otsus sangat jelas mengatur di dalam memberikan fungsi legislasi tidak terdapat di dalam MRP. Kewenangan yang terdapat dalam MRP hanya sebatas menyutujui suatu rancangan peraturan khusus (Perdasus) Papua. Diluar aturan mengenai Perdasus MRP tidak dapat mengusulkan suatu peraturan kepada DPRD untuk dibahas bersama.

Kedudukan MRP dalam tataran normatif ini dapat dilihat fungsi dari MRP sangat terbatas dalam tataran norma hukum yang telah lahir dalam susunan hierarki peraturan perundangan di Indonesia. Dilihat dari tataran UU No 32 tahun 2004 tentang Pemda, dalam hal fungsi legislasi UU Pemda lebih mengatur mengenai kedudukan DPRD dan pemerintah daerah dalam membuat dan mengajukan suatu rancangan peraturan di tingkat daerah. Hal ini terlihat dengan jelas dalam UU Pemda, dimana dalam pasal 41, Pasal 42 dan Pasal 43 telah mengatur dengan jelas penguasa legislasi pada tingkat daerah. Fungsi legislasi yang umum adalah pengaturan, penganggaran, pengawasan dan

(23)

108 penampungan, serta penyalur aspirasi rakyat. Adapun hak-haknya (DPRD juga memiliki hak berdasarakan Pasal 43 ayat (1), UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah) adalah hak bertanya, hak meminta keterangan (interplasi), hak penyelidikan (angket), dan hak usul pernyataan pendapat.

Dengan melihat dalam tataran UU No 32 2004 hanya dikenal pembentuk UU di daerah adalah DPRD beserta dengan Pemerintah Daerah. Hal tersebut juga dapat dilihat dalam Pasal 40 UU Nomor 10 tahnun 2004 Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mana memberikan kewenangan dalam membentuk peraturan peurndangan pada tingkat daerah adalah DPRD dan Pemerintah Daerah.

Melihat peran dan fungsi MRP dalam UU Otsus, dimana MRP sebagai partner dari DPRP dan Pemerintah Daerah dalam hal peraturan daerah itu mengatur suatu hal yang khusus untuk Prov. Papua. Tidak terlihat peran yang lebih dari MRP dalam pembentukan Perdasus. Dalam UU Otsus, peran MRP dapat dilihat dalam Pasal 20 ayat (1) huruf f dan g dan Pasal 8 ayat (1) huruf f sedangakan pada pemerintah daerah Pasal 14 huruf g. Didalam Pasal-pasal tersebut terlihat kewenangan menyusun dan mengajukan suatu peraturan

(24)

109 khusus terletak pada DPRP dan Pemerintah Daerah. Berdasarkan aturan perundangan tidak nampak peran dari MRP dalam membuat dan mengajukan rancangan Perdasus. Hal ini sebenarnya menjadi suatu titik lemah dalam kedudukan MRP dalam membuat atau mengusulkan suatu rancangan peraturan perundangan (perdasus). Kewenangan tersebut tidak terdapat di dalam MRP dilihat dalam UU Otsus tidak memberikan ruang kepada lembaga lain diluar DPRP dan pemerintah daerah dalam membentuk dan menciptakan suatu peraturan perundangan. Kelemahan dalam UU Otsus Papua yang tidak memberikan ruang kepada MRP dalam membuat Perdasus yang menagkibatkan kewenangan DPRP lebih besar dibandingkan MRP dalam hal legislasi.

Disisi lain kedudukan MRP dalam peran legislasi diberikan porsi dalam hal untuk memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap suatu rancangan perdasus yang diajukan oleh DPRP dan pemerindah daerah. Kewenangan MRP tersebut diatur dalam Pasal 20 huruf c dan Pasal 29 ayat (1) UU Otsus Papua. Dengan hanya diberikan peran dalam memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap perdasus membuat MRP tidak memiliki fungsi legislasi.

(25)

110 Dalam PP No.54 Tahun 2004 tentang MRP, dalam tugas dan wewenang MRP, Pasal 36 huruf b dan Pasal 38 tidak memberikan kedudukan kepada MRP dalam menjalankan fungsi legislasi. Demikian dilihat dalam Perdasus No. 4 Tahun 2004 tentang pelaksanaan tugas dan wewenang MRP dalam Pasal 2 sama dengan peraturan yang diatasnya.

Peran dalam membuat atau mengusulkan Perdasus memang tidak dimiliki oleh MRP secara penuh, MRP diberikan peran dalam hal memberikan pertimbangan-pertimbangan terhadap suatu usulan rancangan Perdasus, hal ini yang menjadi bagian dari tugas MRP dalam melaksanakan UU Otsus dimana melihat usulan rancangan Perdasus merupakan suatu affirmatve action terhadap kepentingan orang asli Papua. Disisi lain MRP diberikan kewenangan dalam memberikan peninjaun kembali terhadap suatu Perdasi yang dibuat oleh DPRP dan Pemerintah Daerah. Dengan adanya peran dalam meninjau kembali Perdasi dan juga memberikan persetujuan dalam Perdasus setidaknya MRP dapat berperan dalam urusan legislasi walaupun bukan sebagai pembuat atau pengusul dari Perdasus.

(26)

111 Sedangkan menurut Miriam Budiarjo salah satu peran penting dari fungsi lembaga legislatif adalah membuat peraturan perundang-undangan. Apa bila peran ini tidak terdapat dalam MRP maka dengan demikian MRP tidak mempunyai fungsi dalam legislasi.

Menurut Jimly Asshidiqie, Fungsi Pengaturan atau Legislasi menyangkut 4 (empat) bentuk kegiatan, yaitu:

a. Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation);

b. Pembahasan rancangan undang-undang (law making process);

c. Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law

enactment approval);

d. Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya (Binding decision making on

international agreement and treaties or other legal binding documents).

Dengan demikan nampak bahwa fungsi legislasi yang terdapat didalam MRP hanya sebatas pembahasan rancangan perundang-undangan, pengesahan dan memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang. Dengan demikian MRP dalam fungsi

(27)

112 legislasi hanya menjalankan 2 (dua) bentuk dari fungsi legislasi. Dengan kewenangan yang terbatas, MRP tidak dapat dikatakan mempunyai fungsi legislasi. Dikarenakan didalam fungsi legislasi harus dilihat secara utuh, yaitu mulai dari proses pembuatan, pengajuan dan pengesahan dapat dilakukan oleh MRP. Selama peran tersebut tidak terdapatdi didalam MRP maka MRP tidak mempunyai

fungsi legislasi dalam pembentukan peraturan perundangan

(Perdasus). Dengan melihat hal tersebut maka fungsi legislasi dalam pelaksanaan Otsus Papua menjadi monopoli dari DPRP dan hanya terdapat dilembaga DPRP.

Dengan tidak adanya peran legislasi dalam MRP menjadikan tugas besar bagi DPRP dalam menjalankan fungsi legislasi khususnya dalam pembuatan Perdasus. Pembagian dalam fungsi legislasi sebenarnya akan lebih meringankan beban dari DPRP dimana dalam hal pembentukan Perdasus diserahkan kepada MRP sehingga pembuatan Perdasus tidak terhambat. Fungsi legislasi yang diserahkan ke MRP hanya sebatas dalam pembentukan Perdasus sesuai dengan amanat UU Otsus. Hal ini dimaksudkan untuk pembagian pembentukan peraturan perundangan di Papua dimana pembentukan dari Perdasus terletak pada MRP dan pembentukan peraturan Perdasi terdapat di dalam

(28)

113 DPRP. Adanya pembagian tersebut akan memberikan kinerja dari kedua lembaga perwakilan ini dapat lebih baik dan terarah dalam pembahasan pembuatan peraturan perundangan tanpa mengurangi salah satu lembaga dalam fungsi legislasi.

Kelemahan dari MRP tersebut yang membuat pembentukan Perdasus Papua tidak dapat berjalan dengan maksimal. Dari lahirnya UU Otsus Papua dan dibentuknya MRP, kelemahan ini yang menjadi dasar terlambatnya lahirnya aturan pelaksana dari pasal-pasal dalam UU Otsus dalam pembentukan Perdasus. Kebanyakan Perdasus yang telah dibuat oleh DPRP dan Pemda apabila dilihat sejak hadirnya UU Otsus dan MRP adalah berselang setelah hampir 7 (tujuh) tahun baru dibuatnya Perdasus. Namun masih ada banyak pasal-pasal dalam UU Otsus yang belum direalisasikan dalam bentuk Perdasus oleh DPRP dan Pemda.

Tabel 2.1 Pasal-Pasal dalam Otsus yang Belum Ditindaklanjuti

Landasan Hukum UU

No.21/2001

Isu Utama Aturan Tindak Lanjut

Pasal 2 Lambang Daerah Perdasus

Pasal 4 Kewenangan-kewenangan Khusus

Pemerintahan yang diberlakukan di

(29)

114 Provinsi Papua

Kewenangan kab/kota lainnya Perdasi/Perdasus

Tata cara pemberian pertimbangan oleh Gubernur mengenai perjanjian Internasional

Perdasus

Pasal 6 Tata cara pengangkatan anggota

DPRP Perdasus

Pasal 11 Tatacara pemilihan Gub/Wagub Perdasus

Pasal 28 Partai Politik Lokal Perdasus

Pasal 34 Pembagian Dana Otsus Perdasus

Pasal 38

Usaha-usaha perekonomian, penghormatan hak-hak masyarakat adat, jaminan kepastian hukum, pelestarian lingkungan,

pembangunan berkelanjutan

Perdasus

Pasal 66

Pengembangan suku-suku yang terisolasi, terpencil dan terabaikan di Provinsi Papua

Perdasus

Pasal 67 Pengawasan hukum, politik, sosial Perdasus

Pasal 69 ayat (1) PP

54/2004

Pengawasan Masyarakat terhadap pelaksanaan tugas, wewenang, hak dan kewajiban MRP

Perdasus

Tabel 2.2 Pasal-Pasal dalam Otsus yang sudah Ditindaklanjuti

Landasan Hukum UU

No.21/2001

Isu Utama Perdasus yang sdh terealisasikan

(30)

115

Pasal 20 Tugas dan Wewenang MRP

Perdasus Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang MRP

Pasal 21 dan Pasal 23

Hak dan Kewajiban MRP

Perdasus Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban MRP

Pasal 38 Perekonomian Berbasis

Kerakyatan

Perdasus Nomor 18 Tahun 2008 tentang Perekonomian Berbasis Kerakyatan

Pasal 43 Hak Ulayat Masyarakt Hukum

Adat

Perdasus Nomor 23 Tahun 2008 Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat atas Tanah

Pasal 51 Peradilan Adat

Perdasus Nomor 20 Tahun 2008 tentang Peradilan Adat di Papua

Pasal 57 Perlindungan HAKI Orang

Asli Papua

Perdasus Nomor 19 Tahun 2008 tentang Perlindungan HAKI Orang Asli Papua

Pasal 63 Pengelolaan Hutan

Berkelanjutan Perdasus Nomor 23 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua

Pasal 64 Pengelolaan dan Pengelolaan

SDA Masyarakat Adat

Perdasus Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pelindungan dan

(31)

116 Pengelolaan SDA Masyarakat Hukum Adat

2. Peran dan Fungsi Pengawasan MRP

Melihat MRP dalam fungsi pengawasan pada pelaksanaan Otsus Papua mempunyai peran yang penting. Hal ini dikarenakan kedudukan MRP yang merupakan representasi orang asli Papua. Pengawasan terhadap pelakanaan pemerintah daerah menyangkut kepentingan orang asli Papua mendapatkan pengawasan dari MRP.

Yang menjadi peran MRP dalam melakukan pengawasan di dalam pelaksanaan Otsus Papua. Dalam UU Otsus Papua dapat terlihat dalam Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 29, Pasal 38, Pasal 40 dimana MRP dapat menjalankan perannya sebagai pengawas terhadap pelaksanaan Otsus Papua yang lebih mengutamakan perlindaungan terhadap orang asli Papua/keberpihakan kepada orang asli Papua dalam affirmative action.

Dengan demikian perlindungan yang telah terdapat dalam UU Otsus ditambah dengan dikeluarkannya PP MRP yang mana dapat dilihat dalam Pasal 36, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42 dan

(32)

117 Pasal 43. Semua pasal-pasal tersebut lebih pada perlindungan orang asli Papua. Kemudian dalam peraturan pelaksana yaitu Perdasus yang lebih menjabarkan titik beratka kepada peningkatan peran masyarakat asli Papua dan perlindungan terhadap hak-hak orang asli Papua di segala aspek. Dalam Perdasus dapat dilihat dalam Pasal 2, Pasal 4, Pasal 8, Pasal 14 dan Pasal 18.

Menurut Jimmly Asshidiqie, Fungsi Pengawasan (control) adalah, Pelaksanaan dari pengaturan yang telah dibuat tersebut ada pengawasan dari wakil rakyat di parlemen. Oleh karena itu lembaga perwakilan diberikan kewenangan untuk melakukan kontrol dalam tiga hal, yaitu a. kontrol terhadap pemerintah (control of executive), b. Kontrol atas pengeluaran (control of expenditure), c. Kontrol atas pemungutan pajak (contol of taxation).

Jimmly membagi salah satu tugas pokok dari lembaga perwakilan salah satunya fungsi pengawasan (Control):

a. Pengawasan atas penentuan kebijakan (control of policy making);

b. Pengawasan atas pelaksanaan kebijakan (control of policy

executing);

c. Pengawasan atas penganggaran dan belanja negara (control of

budgeting);

d. Pengawasan atas pelaksanaan anggaran dan belanja negara (control

(33)

118 e. Pengawasan atas kinerja pemerintahan (control of government

performances);

f. Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat publik (control of

political appointment of public officials) dalam bentuk persetujuan

atau penolakan, atau pun dalam bentuk pemberian pertimbangan oleh DPR.

Pengawasan yang dilakukan oleh MRP yang telah diatur oleh UU Otsus Papua, PP MRP dan Perdasus. Peranan dalam pengawasan oleh MRP dalam pelaksanaan Otsus Papua, lebih berfungsi menyangkut mengenai hak-hak dasar orang asli papua. Pengawasan tersebut menyangkut peraturan daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah.

MRP dapat menggunakan haknya untuk meminta peninjauan kembali suatu peraturan daerah (perdasi) yang dibuat oleh pemerintah daerah apabila peraturan daerah tersebut merugikan hak-hak asli orang papua dalam pelaksanaannya. Dengan demikian pemerintah daerah dalam membuat peraturan daerah provinsi (Perdasi) harus memperhatikan kekhususan yang dimiliki oleh orang asli papua.

Dalam hal pemerintah daerah melakukan suatu hubungan kerja sama dengan pihak ketiga. Peran MRP memberikan pertimbangan dan

(34)

119 persetujuan terhadap perjanjian kerja sama yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah. Dimana lebih menekankan bahwa kerjasama tersebut tidak merugikan bagi kepentingan orang asli papua dalam kedudukannya sebagai yang mempunyai kuasa atas hak ulayat dan keuntungan dalam ekonomi, sosial dan budaya. Kedudukan dalam memberikan pertimbagan dan persetujuan terhadap kerjasama memberikan tujuan proteksi terhadap orang asli Papua dalam keterlibatan dalam suatu perjanjian yang dihasilkan. Selain keterlibatan MRP dalam memberikan persetujuan juga tidak lepas dari peran masyarakat yang merupakan sasaran dari perjanjian kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah daerah.

Pengawasan terhadap hak-hak orang asli Papua juga terlihat dalam pemberdayaan sektor ekonomi dimana dalam pengembangan sektor ekonomi MRP memberikan peran dalam proteksi terhadap orang asli papua. Didalam rencana pembangunan ekonomi tidak merusak tataran adat dalam hal hak ulayat dari masyarakat adat Papua. Dengan demikian diharapkan hak-hak ulayat dalam masyarakat tetap terjaga dan keterlibatan dari pemilik hak ulayat dalam pengembangan ekonomi.

(35)

120 Peran MRP yang paling sentral adalah melindungi Hak-hak orang asli Papua. Peran ini yang diletakan pada MRP dalam memberikan perlindungan terhadap orang asli Papua di berbagai aspek kehidupan dan terutama menjaga agar hak-hak ulayat adat tidak hilang dengan berkembangnya dinamika kehidupan dalam pembangunan di Papua secara keseluruhan. MRP yang diletakan sebgai lembaga perlindungan terhadap orang asli Papua juga berperan dalam menerima pengaduan dan aspirasi dari masyarakat. Aspirasi dan pengaduan yang diterima MRP dari masyarakat adalah pengaduan terhadap kebijakan pemerintah daerah. Disini MRP terlibat dalam memberikan apa yang terjadi dan terlibat dalam proses penyelesaian masalah. Dengan demikian MRP lebih berperan dalam pengawasan terhadap pelaksanaan Otsus Papua. Fungsi pengawasan ini yang lebih menonjol berada di MRP dibandingkan fungsi sebagai pembentuk dan pembuat peraturan perundangan khususnya Perdasus di tingkat Provinsi.

Fungsi pengawasan ini juga terhadap pencalonan gubernur dan wakil gubernur Papua. Dalam hal ini MRP dapat menyatakan gubernur adalah orang asli Papua adalah kewenangan dari MRP. Pengakuan MRP terhadap status asli atau tidaknya seseorang sebagai orang asli

(36)

121 Papua bertujuan dalam hal pencalonan gubernur dalam proses pemilukada. Hal ini akan berakibat apabila MRP tidak mengakui seseorang adalah orang asli Papua maka tidak dapat diajukan dalam salah satu cagub dalam pemilukada gubernur.

3. Peran dan Fungsi Perwakilan MRP

Lahirnya MRP sebagai suatu lembaga perwakilan memberikan proteksi kepada orang asli Papua dalam keterwakilan secara kultural dan bukan politik. Kehadiran MRP dalam wujud perwakilan kepada kelompok-kelompok masyarakat di Papua. Keterwakilan tersebut

diantaranya adalah Adat, Agama dan Perempuan yang

merepresentasikan keseluruhan dari masyarakat Papua. Yang mana telah diatur keterwakilan tersebut di dalam UU Otsus Papua Pasal 19 dan PP MRP Pasal 1 angka 5 dan 12.

Wujud keterwakilan dari Adat memperhatikan suatu pengakuan terhadap nilai-nilai kultural Adat orang asli Papua. Hal ini terlihat dari pengkuan perwakilan adat dalam MRP yang berasal dari berbagai Lembaga Masyarakat Adat Papua dimana mereka dilihat dari status di dalam kehidupan Adat Papua. Perwakilan dari Agama, kelompok perwakilan agama merepresentasikan agama-agama yang terdapat di

(37)

122 Papua. Antara lain adalah agama Kristen Protestan, Katolik dan Islam. Namun perwakilan agama tetap merepsentasikan orang asli Papua. Sehingga mereka yang mewakili dari agama adalah orang asli Papua dan berdasarkan mayoritas dedominasi gereja yang ada di Papua. Terakhir adalah perwakilan dari unsur perempuan dalam MRP. Perwakilan perempuan tetap memperhatikan dari orang asli Papua. unsur ini diambil dari mereka yang bekerja di LSM dan juga berasal dari Lembaga Adat Masyarakat. Keterwakilan perempuan dalam memberikan posisi peran perempuan dalam perlindungan terhadap hak-hak mereka dalam kehidupan adat istiadat di Papua.

Jimly Asshidiqie, Fungsi Perwakilan (representasi), dalam hal ini harus dibedakan antara pengertian representation in presence (keterwakilan melalui kehadiran) dan representation in ideas (keterwakilan secara ide/aspirasi).

Fungsi parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat yang paling pokok sebenarnya adalah fungsi representasi atau perwakilan itu sendiri. Lembaga perwakilan tanpa representasi tentulah tidak bermakna sama sekali. Dalam hubungan itu, penting dibedakan antara pengertian representation in presence dan representation in ideas.

(38)

123 Pengertian pertama bersifat formal, yaitu keterwakilan yang dipandang dari segi kehadiran fisik. Sedangkan, pengertian keterwakilan yang kedua bersifat substantif, yaitu perwakilan atas dasar aspirasi atau idea. Dalam pengertian yang formal, keterwakilan itu sudah dianggap ada apabila secara fisik dan resmi, wakil rakyat yang terpilih sudah duduk di lembaga perwakilan rakyat. Akan tetapi, secara substansial, keterwakilan rakyat itu sendiri baru dapat dikatakan tersalur apabila kepentingan nilai, aspirasi, dan pendapat rakyat yang diwakili benar-benar telah diperjuangkan dan berhasil menjadi bagian dari kebijakan yang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat yang bersangkutan, atau setidaktidaknya aspirasi mereka itu sudah benar-benar diperjuangkan sehingga mempengaruhi perumusan kebijakan yang ditetapkan oleh parlemen.

Arbi Sanit mengemukakan bahwa perwakilan diartikan sebagai hubungan di antara dua pihak, yaitu wakil dengan terwakili dimana wakil memegang kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan yang dibuatnya dengan terwakili.

Perwakilan terhadap orang asli Papua dalam MRP, dimana para wakil tersebut bertindak atas kepentingan masyarakat asli Papua. pembagian

(39)

124 perwakilan dalam masyarakat adat menggambarkan beragam pihak yang diwakilkankan dalam MRP. Peran dari wakil-wakil tersebut lebih dekat kepada masyarakat adat dikarenakan faktor kedekatan dalam kultur. Dengan demikian perwakilan di MRP merupakan wakil yang dipilih untuk mewakilkan siapa dan dengan kepentingan menjaga keserasian dalam kehidupan di Papua secara umum.

Anggota MRP yang telah dibagi dalam pokja berperan dalam mendengarkan aspirasi masyarakat adat. Hal dilakukan dengan melakukan kunjungan ke daerah-daerah yang mengalami masalah baik apakah permasalahan tersebut berhubungan dengan adat, agama dan perempuan. Representasi keterwakilan di dalam pokja berperan dalam medengar aspirasi masyarakat. Hal tersebut berhubungan dengan rasa pertanggung jawaban dari anggota MRP terhadap masyarakat Papua. walaupun anggota MRP berasal dari berbaga suku adat yang terdapat di Papua namun mereka mempunyai tanggung jawab secara keseluruhan terhadap masyarakat Papua. Perekrutan dalam mengisi anggota MRP akan berhungan dengan kemampuan MRP menghadapi dinamika sosial dan politik di Papua. walaupun perwakilan MRP berasal dari latar belakang adat, namun bukan berarti tidak ada standar pendidikan yang ditetapkan dalam rekrutmen anggota MRP.

(40)

Wakil-125 wakil adat diberikan tempat untuk turut serta memberikan pertimbangan terhadap praktik-praktik penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka otonomi khusus pada umumnya, dan pembentukan Perdasus dalam rangka melindungi hak-hak orang asli Papua. UU Nomor 21 Tahun 2001 telah memberikan tempat yang tepat dan proposional kepada wakil-wakil adat dalam lembaga MRP.

Lembaga MRP dibentuk sebagai wujud menanggapi/menjaring aspirasi dan isu-isu yang berkembang di Papua, dengan mendengar aspirasi dari masing-masing lembaga adat diharapkan dapat memperjuangkan keputusan-keputusan yang lebih berpihak kepada masyarakat asli papua. Diharapkan MRP dapat memperjuangkan aspirasi sosial, budaya, ekonomi dan politik orang Papua dalam menjaga identitas budaya dan politik orang Papua.

Dengan melihat konstruksi bikameral yang ada di dalam pelaksanaan Otsus Papua dan berangkat dari pandangan bahwa lembaga perwakilan yang ada mencerminkan dua perwakilan. Dimana ada terdapat dua lembaga perwakilan, yaitu DPRP dan MRP. Namun kedudukan kedua lemabaga perwakilan tersebut berbeda apabila dilihat dalamsistem pemilihan anggota. DPRP dipilih dalam pemilu

(41)

126 dimana keterwakilannya berasal dari anggota partai politik yang dilih dalam pemilu sedangkan MRP pemilihan anggota MRP berasal dari wakil adat, perempuan dan agama yang bukan berasal dari partai politik.

Pandangan Jimly Assidiqie terhadap rancangan pembentukan lembaga perwakilan, memberikan saran agar nama parlemen di Papua adalah Majelis Rakyat Papua (MRP). MRP ini terdiri dari dua kamar (bikameral), pertama senat yang terdiri dari orang-orang asli Papua (wakil-wakil adat, agama dan perempuan) kedua adalah kamar yang terdiri dari wakil-wakil partai politik yang dipilih melalui pemilu, yang disebut-sebut DPRD (sekarang disebut dengan DPRP).

Dalam Sistem bikameral yang tergambar di dalam Otsus papua masih terbatas, yaitu berkaitan dengan kebijakan-kebijakan strategis mengenai Papua, sehingga peran dan fungsi dari MRP terlihat sangat terbatas dalam sistem bikameral terutama dalam hal pembuatan dan pengusulan mengenai Perdasus. Dimana fungsi legislasi tersebut berada ditangan DPRP.

Dengan tidak berimbangnya peran dan fungsi MRP di dalam kedudukannya sebagai lembaga perwakilan yang hadir dalam

(42)

127 pelaksanaan Otsus Papua. Dimana ada batas dalam fungsi legislasi dalam pembuat dan mengusulkan suatu peraturan daerah khusus sehingga peran dominan dalam legislasi berada ditangan DPRP.

Hal ini dalam sistem bikameral apabila salah satu kamar lebih dominan dibandingkan kamar lain dalam kewenangan yang tidak berimbang atau sama kuat akan mengarah kepada Weak bicameralism.

Hal ini sebaiknya dihindari karena akan menghilangkan tujuan bikameral itu sendiri, yaitu sifat saling kontrol diantara kedua kamarnya. Dengan demikian kedudukan antara DPRP dan MRP lebih tepat mengarah kepada strong bicameralism, dimana kedudukan kewenangan diantara kedua kamar berimbang sehingga menciptakan saling kontrol diantara kedua lembaga. Kedua kamar dilengkapi dengan kewenangan yang sama-sama kuat dan saling mengimbangi satu sama lain dalam pelaksanaan Otsus Papua.

Gambar

Tabel 2.2 Pasal-Pasal dalam Otsus yang sudah Ditindaklanjuti

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dinyatakan bahwa Standar Pendidikan berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan,

Pada Hubungan Internasional orang dapat menyaksikan adanya berbagai macam bentuk interkasi antar negara dalam masyarakat internasional, sedangkan politik

Direktorat Jenderal Pajak masih dikenal sebagai institusi yang kualitas pelayanan yang lambat dan kurang nyaman, masih bermental birokrat dan kurang

Sejalan dengan itu, Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti diorientasikan pada pembentukan akhlak yang mulia, penuh kasih sayang, kepada segenap unsur alam semesta..

Bahwa unsur ini tidak terpenuhi, karena pelaksanaan lelang eksekusi Hak Tanggungan terhadap obyek jaminan dalam Perjanjian Kredit yang telah disampaiakan sebelumnya

Umumnya pembuatan biogas dilakukan dalam alat yang disebut digester yang kedap udara, sehingga proses penguraian yang dilakukan oleh mikroorganisme dapat

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kandungan logam berat Pb, Cu, Zn pada daging dan cangkang kerang hijau (P. viridis) berdasarkan ukurannya, mengetahui perbedaan

Jika anda takut atau merasa malu untuk melakukan pengobatan dengan menggunakan cara medis kami pengobatan de nature mempunyai solusi untuk itu dengan menggunakan obat kutil