• Tidak ada hasil yang ditemukan

Public Sphere Dalam Secangkir Kopi Mener

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Public Sphere Dalam Secangkir Kopi Mener"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Public Sphere Dalam Secangkir Kopi

(Meneropong ruang publik dan produksi wacana di warung kopi Aceh)

“Public Sphere In a Cup of Coffee”

Telescoped public sphere and discourse production in Aceh coffee shop

Oleh : Muhajir Al Fairusy S.Hum, M.A

(Pengajar Antropologi Budaya dan Pengurus MAA Aceh)

Abstrak

Tulisan ini, mencoba mendiskusikan posisi warung kopi di Aceh, yang kian ekpansif dan eksis seiring pertukaran generasi. Fungsi warung kopi di pusat ibukota Aceh ini, kian terbuka untuk publik, lintas-status dan golongan dapat memanfaatkan keberadaannya, untuk kepentingan komunitas mereka. Sekaligus, memproduksi wacana tanpa tekanan dan pembatasan. Penelitian ini, menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan antropologi budaya dan paradigma ruang publik. Pengumpulan data, dilakukan melalui kajian kepustakaan, observasi, wawancara, dan live in bersama pengunjung warung kopi di Banda Aceh. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa keberadaan warung kopi di Aceh, telah menjadi ruang publik paling efektif, terutama untuk memproduksi wacana lintas-sosial.

Kata Kunci : Warung Kopi, Ruang Publik, Produksi Wacana.

Abstract

This paper, tries to discuss the position of a coffee shop in Aceh, which increasingly ekpansif and exist as exchange generation. The function of a coffee shop in the center of the capital of Aceh, increasingly open to the public, cross-class status and can take advantage of its existence, for the benefit of their communities. Simultaneously, pressure and producing discourse without restriction. This study, using a qualitative method with the approach of cultural anthropology and public sphere paradigm. Data collection, carried out through the study of literature, observation, interviews, and live together in a coffee shop visitors in Banda Aceh. The results showed that the presence of coffee shops in Aceh, has been the most effective public sphere, mainly for producing cross-social discourse.

(2)

A. Pendahuluan

Keluar dari ruang Bandara Sultan Iskandar Muda, yang menjadi icon gerbang global-titik Aceh dengan dunia lain, mulai tampak kiri dan kanan warung kopi, yang berjejeran sepanjang jalan, hingga ke pusat Ibukota Banda Aceh. Pun demikian, siang dan malam, tanpa batasan waktu tutup yang disiplin, ruang ini terus terbuka bagi publik dengan ragam status sosial. Pengunjung seperti “dihipnotis,” menikmati secangkir kopi, sambil berdiskusi tanpa mengenal perjalanan waktu. Kecanduan pada kopi saat diseruput, suasana kebersamaan, akan membuat pengunjung rindu untuk kembali ke tempat ini.

Warung kopi, telah menjadi simbol budaya, sekaligus identitas kolektif sebuah masyarakat di Aceh (khusus Banda Aceh). Tak berlebihan, jika harian Kompas (2011) penah menulis “Aceh Negeri 1001 Warung Kopi,” untuk menegaskan vitalnya keberadaan warung kopi di sana.

Berdasar ruang dan fasilitas, warung kopi di Aceh memiliki tipe tersendiri. Tipologis ini, muncul dari cara pandang dan tafsir terhadap potret warung kopi, yang terus berbenah seiring pergantian era. Meskipun, tak sedikit di tengah gempuran urban, di Banda Aceh masih ada warung kopi berdinding kayu, fasilitasnya pun sekedar menyediakan kopi beserta makanan ringan lain, suasana-nya tetap menampilkan klasik effect. Ada juga, yang letaknya di tengah perkotaan, biasanya berjejeran beriringan bangunan toko-toko bertingkat di pinggir jalan, kesannya mulai tampak ekslusif, selain menawarkan kopi, juga menyediakan fasilitas wifi-akses internet gratis. Terakhir, dibangun bergaya permanen pula, tapi tetap mempertahankan identitas fungsi dasar warung kopi (non wifi), sebagai tempat berkumpul, berdiskusi dan meng-konstruksi wacana.

(3)

ditunjuk oleh Habermas, bahwa ruang publik merupakan tempat bernegosiasi-diskusi, isu-isu sosial dan politik, termasuk warung kopi. Pesatnya perkembangan warung kopi, dan gencarnya diskusi-diskusi (pertemuan), telah melahirkan stereotip berdasar nama warung kopi yang ada di Banda Aceh. Kini (2014), tercatat beberapa nama warung kopi, yang cukup familiar di tengah komunitas-penikmat kopi. Sebut saja Solong, Cut Nun, Zakir, Dhapu Kupi, Taufik Kopi dan beberapa nama lain, yang mulai tumbuh dan dihafal oleh masyarakat setempat. Tak hanya itu, nama-nama warung kopi tertentu, juga menjadi penentu identitas si pengopi, selain harganya yang sedikit lebih mahal, dibanding warung kopi lain, sekaligus penegasan posisi status sosial.

Eksistensi warung kopi di Aceh, yang boleh digunakan dan diakses oleh siapapun, tanpa tekanan dan marginalisasi status-siapapun dapat berkunjung, bahkan perempuan pun (dari kajian feminis dan gender), memiliki tempat untuk berkumpul bersama kaum laki-laki. Meskipun, pada awal pertumbuhan warung kopi, kehadiran perempuan di warung kopi memiliki stigma dan tabu dalam kacamata masyarakat Aceh. Tanpa membedakan usia, dan status sosial, ruang warung kopi kian menarik untuk dinikmati, kendati hanya disekat oleh meja antar meja.

Melekatkan simbol ruang publik, pada warung kopi di Aceh, tentu ada asumsi tersendiri. Karena warung kopi di Aceh tak diciptakan untuk golongan tertentu, tak mengisolasi kelompok gender dan minoritas. Bahkan, jauh dari kesan primordialis (milik sebagian “kaum”). Beragam manusia dari agama dan suku manapun diperbolehkan mengakses ruang publik ini, asal tetap menjaga etika sebagai pengunjung (tanpa melakukan onar).

(4)

B. LANDASAN TEORI

Mendiskusikan ruang publik, tentu tak luput dari menyebut nama Habermas, ilmuwan sosial (atau tepat disebut filsuf)-Jerman, yang identik dengan teori kritisnya. Salah satu kajian Habermas adalah ruang publik, yang ditulis dalam bukunya “The Structural Transformation of The Public Sphere ; an iquiry into a category of bourgeois society”(1991). Inti kajian Habermas adalah ruang publik, sebagai ruang dan dunia di mana pendapat menyangkut kebutuhan masyarakakat, dengan bebas tanpa tekanan dan batasan eksternal, dipertukarkan (didiskusikan) oleh orang-orang yang hadir di dalamnya.

Dalam teori Harbermas, setidaknya menyebut istilah ruang publik terdiri dari organ informasi, dan debat politik seperti surat kabar, jurnal, dan institusi-institusi diskusi politik seperti parlemen, klub politik, salon-salon kesusastraan, pertemuan-pertemuan umum, rumah minum dan kedai kopi, ruang-ruang pertemuan, dan ruang publik lainnya di mana terjadi diskusi sosial-politik. Di tempat-tempat tersebut, kebebasan berbicara, berkumpul, dan berpartisipasi dalam debat politik dijunjung tinggi. Kepublikan yang terjadi dalam ruang publik dengan sendirinya mengandung daya kritis terhadap proses-proses pengambilan keputusan yang tidak bersifat publik (Sumaryanto, 2008).

Senada dengan Zukin (1996, dalam Barker ; 399-401), menyebut ruang publik sebagai tempat terbuka bagi publik (tanpa membedakan status sosial), di mana orang bisa saling bertemu, dan berpartisipasi dalam sebuah budaya yang sama. Meskipun, seiring evolusi pada ruang publik, ruang ini kemudian dimanfaatkan oleh pihak swasta dan privat sebagai bagian dari komersialisasi, seperti lahirnya mall, tempat hiburan, dan (termasuk) model warung kopi di Aceh.

(5)

ruang dan waktu (Mauriza, 1998). Saya kira kegiatan ”ngopi” di warung-warung kopi di Aceh merupakan representasi salah satu arena liminal masyarakat Aceh.

Giddens (1990, dalam Barker, 2000 : 384-385), justru menempatkan sisi berbeda antara ruang dan tempat (mungkin warung kopi dalam perspektif Giddens adalah “tempat”). Menurutnya, ruang dan tempat diukur berdasarkan kehadiran dan ketidakhadiran, tempat diidentifikasi sebagai arena adanya perjumpaan langsung. Sedangkan ruang, dicirikan oleh hubungan antarmereka yang tidak hadir. Lebih jauh, Giddens menyebut ruang sebagai sebuah ide abstrak, kosong atau mati yang dipenuhi dengan berbagai tempat yang konkret, spesifik dan manusiawi (mungki seperti ruang media sosial online, dan televisi).

Namun, menurut Relph (1976 dalam Barker ; 385), perbedaan ruang dan tempat hanya berdasar fokus pengalaman, ingatan, hasrat, dan identitas manusia. Tempat digambarkan sebagai konstruksi diskursif yang menjadi sasaran identifikasi, atau investasi emosional.

Terlepas dari peredabatan di atas, justru dalam ruang warung kopi, yang terjadi adalah proses kontak sosial, seperti yang dijelaskan oleh Soekanto (2002, dalam Bungin, 2006 ; 55-57), bahwa kontak sosial, merupakan proses saling menyentuh, meskipun hubungan yang dilangsungkan juga luput dari keharusan menyentuh, karena berbicara dengan orang lain, merupakan bentuk kontak sosial yang berorientasi pada interaksi sosial.

(6)

kopi juga mulai berkembang budaya tulisan (exosomatic memory via media sosial online).

Kondisi ini, semakin menegaskan fungsi warung kopi sebagai ruang publik, dimulai dari resprositas lisan (informasi), hingga membangun wacana kolektif-untuk memperhatikan fenomena sosial tanpa tekanan dan batasan sebagaimana disebutkan oleh Habermas.

C. METODE PENELITIAN

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan pendekatan antropologi. Penelitian dilakukan untuk mengumpulkan data tentang aktifitas kebudayaan, di warung kopi, yang digandrungi oleh ragam komunitas di Banda Aceh. Teknik pengumpulan data, diawali dengan kajian kepustkaan, membaca beberapa artikel terakit kebijakan publik, teknik observation, dan depth interview. Peneliti juga melakukan perekaman data visual dengan pemotretan memanfaatkan kamera foto, tetapi secara terpaksa data visual tidak bisa ditampilkan dalam tulisan ini. Sebelum penelitian lapangan (field research) dilaksanakan, terlebih dahulu peneliti mengkaji berbagai literatur yang berhubungan dengan tradisi dan kebudayaan masyarakat Aceh pada umumnya.

Dalam penelitian antropologi, untuk menghasilkan suat etnografi, lebih ditekankan pada penelitian kualitatif. Karena itu, sangat dipentingkan adalah kualitas, dan kedalaman data, bukan kuantitas data seperti pada metode lain. Karena itu, Peneliti tidak menggunakan angket, dan memanfaatkan kuisioner sebagai instrumen penelitian, tidak ada analisis data statistik, dan tidak ada prosentase responden terhadap populasi. Peneliti memanfaatkan interview guidance, sebagai instrumen penelitian, yang bersifat fleksibel dan menyesuaikan dengan kondisi di lapangan saat melakukan wawancara mendalam dengan informan.

(7)

Data dianalisis dengan pendekatan kualitatif, dan etnografis (antropologis) untuk menggambarkan peristiwa apa adanya di lapangan, dan ditarik sebuah kesimpulan akhir sebagai temuan dan jawaban atas pertanyaan penelitian.

Lokasi penelitian dipilih adalah Kota Banda Aceh, sebagai ibukota dan titik nol Aceh dalam dialektika sejarah. Keberadaan warung kopi pun paling mudah dan banyak ditemukan di seluruh pelosok bekas kerajaan Aceh Darussalam ini. Banda Aceh sendiri, berada paling ujung barat kepulauan Sumatra, dan langsung berbatasan dengan Laut Hindia. Adapun, transportasi menuju pusat Ibukota Aceh ini, dapat ditempuh melalui jalur darat, udara dan laut.

D. Ruang Publik itu bernama “warung kopi”

Sekedar retrospeksi, dari warung kopi, rakyat Aceh menyusun strategi perang untuk menghadapi dan mengalahkan Belanda. Karena itu, pada saat kolonialisme berlangsung, Belanda ikut memantau segala aktivitas yang berkembang di warung kopi. Demikian, kira-kira yang dipaparkan Mauriza, dalam skripsinya “Fungsi Warung Kopi bagi Masyarakat Aceh” (1998). Tak hanya itu, lebih spesifik, Mauriza menyebut bahwa ragam fungsi warung kopi di Aceh, dan mendeskripsikan studi komprasi antar-warung kopi di setiap negara.

(8)

Kini, warung kopi kian menampilkan konfigurasinya yang utuh, dan totalitas terhadap publik (Aceh). Berdasar tipologi, yang saya sebut dipengantar, tentu keterbukaan warung kopi terhadap publik (dengan mulai ikut peng-kateogorian sosial) adalah alasan penting, keberadaan warung kopi di tengah masyarakat Aceh. Diskusi-diskusi yang dibangun, cenderung melahirkan multiwacana seiring dimensi waktu tak menentu. Dalam rubrik budaya, yang ditulis surat kabar Kompas, menurut LK Ara, bahwa aktivitas warung kopi yang telah dimulai sehabis shalat subuh tersebut terus berlangsung hingga malam hari. Adapun obrolan dan diskusi yang dieksplorasi oleh pengunjung sangat beragam, mulai dari sosial politik, ekonomi, hingga urusan kesenian (Kompas, 2011)

Kondisi dan potret warung kopi sebagai bagian demokrasi (tanpa mengikat pada simbol ruang publik), sebenarnya pernah saya tulis pada satu artikel lepas, dan dimuat dalam blog Aceh Institute. Saat itu, saya menceritakan mengenai fungsi warung kopi di Aceh. Tulisan tersebut sebenarnya menyinggung warung kopi di Aceh sebagai arena politik informal.

(9)

melepas canda tawa, tapi sarat akan fokus sebuah misi para pengopi. Tidak sedikit tim sukses para calon “raja” hadir, dan memenuhi ruangan itu, nuansa politik pun kini mewarnai. Kadang para tokoh pendukung berkumpul bersama yang menarik perhatian para pengunjung. Secangkir kopi adalah pemantik diskusi dan misi dalam sebuah meja saat isu-isu politik digulirkan, segelas sanger selain menjadi minuman khas juga menjadi penegas bahwa kompetisi politik akan segera dimulai. Meja-meja warung kopi kadang tidak jarang menjadi garis batas penegas, “inilah kaum kami,” namun sebenarnya inilah ruang dan media utama resolusi konflik kalau kita mau mencermati lebih dalam, karena dalam ruang ini kadang lawan politik harus berdekatan, dan terjadinya negosiasi wajah.”(Al Fairusy, 2012)

Diskusi yang saya bangun saat itu, sebenarnya hanya membongkar sinyal-sinyal negosiasi (komunikasi), dan wacana politik di warung kopi di Aceh. Pun demikian, warung kopi bisa disebut sebagai “public sphere” (ruang publik), dan arena politik bagi masyarakat dan elite. Negosiasi politik yang memiliki legitimiasi informal di Aceh, memang cenderung memilih warung kopi sebagai arena utamanya. Mengingat golongan dari berbagai kelas sosial berkumpul di sini.

Beberapa kali kampanye pemilihan gubernur di Aceh, justru juga memanfaatkan warung kopi sebagai arena kampanye nya. Kondisi ini menunjukkan, keberadaan warung kopi begitu efektif sebagai ruang publik, dan arena politik. Kehadiran warung kopi, telah merangsang individu, dan kelompok untuk membentuk opini publik, mengekspresikan secara langsung kebutuhan dan kepentingan mereka yang mungkin bisa jadi juga akan mempengaruhi praktik politik.

(10)

kesopanan. Individu, khususnya kaum muda, ingin mencari arena yang lebih ”longgar” dimana untuk sementara terhindar dari beban-beban ekonomi, struktur-sosial, himpitan kekuasaan, atau mungkin (bercampur) bayangan tekanan psikologis masa lalu oleh karena konflik panjang.

Saya mencoba masuk dalam tiga tipe/model warung kopi di Banda Aceh. Tipe pertama, warung kopi berbasis internet (wifi), di sini ruang publik, hanya terbatas bagi mereka pengguna jasa internet, dan terkesan tertutup, karena komunikasi tulisan (online) lebih aktif-dibanding lisan. Berbekal fasilitas laptop, pengunjung hanya duduk menatap laptop selama beberapa jam, lalu pulang. Tipe pertama ini, ruang publik “nyata” nyaris terkonversi oleh ruang publik “maya.”

Tipe kedua, warung kopi yang ikut difasilitasi oleh internet, namun fungsi warung kopi sebagai ruang publik “nyata” masih tetap hidup. Artinya, sebagian pengunjung duduk mengakses internet, dan sebagian lagi-masih aktif berdiskusi, dalam lingkaran sebuah meja antar-person. Model ini, seakan menegaskan fungsi dualisme ruang publik sekaligus, fungsi ruang publik secara “nyata” tanpa sekat virtual, dan fungsi ruang publik “maya” yang ikut beraktifitas.

(11)

Menariknya, diskusi dan bahasa lisan (adakalanya protes dan kritik terhadap kondisi sosial dan politik), yang muncul antarpengunjung warung kopi, terus menggiring pengunjung lain menikmati, dan ikut membangun sebuah ruang kesadaran, yang seakan ikut tertindas. Beberapa kasus di Aceh, terkait janji pemilukada gubernur dan wakil gubernur, juga tak luput dari wacana yang berkembang di warung kopi.

Sebagaimana dikatakan oleh Melucci (1989), penciptaan identitas kolektif adalah salah satu dari tantangan fundamental yang akan dihadapi oleh para partisipan gerakan. Karena itu, tak mengherankan jika perasaan kolektif-sama-sama sedang merasakan, lalu menumpahkannya di dalam “secangkir kopi,” setiap hari lewat wacana politik, justru telah melahirkan ruang kesadaran yang semakin mendalam.

Pun demikian, warung kopi, yang merupakan kumpulan individu-individu (pengunjung), mewakili masyarakat urban-modern Aceh, menunjukkan gejala budaya yang memunculkan sikap hidup baru. Menurut Edward Shill (1981), bahwa masyarakat adalah fenomena antarwaktu. Masyarakat terjelma bukan karena keberadaannya di satu saat dalam perjalanan waktu. Tetapi, ia hanya ada melalui waktu, ia adalah jelmaan waktu. Lebih jauh, masyarakat selalu berhubungan erat antara fase sebelumnya, dengan masa kini, yang menjadi sebab akibat penentuan fase berikutnya.

(12)

E. Menakar reproduksi wacana di warung Kopi

Kehadiran warung kopi, seiring munculnya ragam wacana yang membahana bersama kepulan asap rokok, atau tawa pengunjung kopi. Sangat absurd untuk menangkap poin penting wacana yang dibicarakan, jika peneliti tak ikut berbaur bersama kelompok manusia dalam satu lingkaran meja. Di setiap meja, yang diatur dalam ruang warung kopi, memiliki topik berbeda, dari isu kebudayaan, sejarah, sosial, politik, hingga ekonomi. Ini terjadi, karena ragam pengunjung yang hadir dari latar berbeda.

Wacana selalu muncul dari kerangka aksi kolektif. Gamson (1992), mendefenisikan pemaknaan pada kerangka kolektif, yang merupakan seperangkat keyakinan dan pemaknaan yang berorientasi pada tindakan, hingga memberi inspirasi dan melegitimasi berbagai kegiatan dan kampanye gerakan sosial. Lebih lanjut, Gamson menekankan, bahwa wacana dalam media, adalah sumber informasi penting, yang dapat diambil oleh manusia lain, ketika mereka mencoba mencari penjelasan atas isu-isu yang mereka bicarakan.

Diskusi yang berbau politik, dan sejarah Aceh, merupakan kondisi paling lazim menyandingkan dan mempertemukan antara isu dan realitas di Aceh, yang ikut melahirkan kerangka kolektif (didengar oleh pengunjung lain). Adakalanya, wacana lahir dari informasi yang didengar dan dilihat di media TV, seperti ketimpangan demokrasi di Aceh. Atau, headline berita di surat kabar lokal Aceh-Serambi Indonesia, selalu menjadi trading topik dalam mengonstruksi sebuah wacana. Diskusi pun, sering berisi sindiran pada elite politik yang dianggap telah mengorbankan rakyat.

(13)

suka atau tidak, akan terus orang yang mengikuti alur diskusi, untuk mempercayai wacana yang diperbincangkan. Karena itu, meskipun di luar ambiguitasnya, wacana berita (diskusi) selalu penting bagi pelaku konflik mana pun, sehingga penting bagi siapapun untuk dapat mempengaruhi wacana semacam ini. Pengunjung yang memiliki nilai orasi tinggi, tentu akan terus memunculkan ide-ide, yang dapat melahirkan aksi di luar warung kopi.

Hampir seluruh pengunjung warung kopi, didominasi oleh orang Aceh. Diskusi-diskusi, Apalagi, watak dan karakter orang Aceh yang keras dan fanatik, sebagaimana dideskripsikan oleh Zentgraaff (1983), seakan ter-ejawantahkan dalam percakapan di warung kopi. Bahasa yang berkonotasi mengecam, sekali-kali tampak tertawa, dicampur dengan polesan “makian” dalam bahasa Aceh, menjadi ciri khas ruang publik di warung kopi. Apalagi, antarpersonal yang duduk bersama, saat isu wacana dikembangkan, langsung bereaksi, seperti ikut membenarkan poin yang disampaikan oleh aktor dalam kelompok kecil tersebut, dan langsung disambut oleh orang-orang disekitar aktor.

Wacana yang membentuk kerangka aksi kolektif, tentunya bukan sembarang keyakinan kolektif. Karena ia lahir dari kesadaran kolektif. Kerangka ini, dibentuk berkaitan dengan isu sosial yang berkembang di tengah masyarakat. Karenanya, perdebatan isu-isu kontroversial terkait atmosfer politik di Aceh, juga menjadi bahan yang terus diperdebatkan ketika pengunjung bertemu di warung kopi. Kondisi ini, saya temukan dari penelusuran observasi selama satu bulan di beberapa warung kopi-Banda Aceh.

(14)

sehari, bisa muncul puluhan wacana yang terus berganti, seiring bergantinya pengunjung ke warung kopi. Namun, wacana-wacana yang seharusnya krusial-lahir di tengah penikmat kopi tersebut, sering tak teraplikasi. Apalagi, wacana di warung kopi, adakalanya sebatas komunikasi verbal, tanpa aksi penyelesaian di lapangan.

Pelan tapi pasti, warung kopi juga menjadi ruang untuk menyatukan kepingan diaspora, yang menyebar di mana-mana. Keberadaan orang Aceh di dalam negeri antardaaerah, maupun orang Aceh yang lama menetap di luar negeri-sering memulai pertemuan ketika pulang ke Aceh di warung kopi. Kondisi ini, hampir serupa dengan apa yang pernah ditulis oleh Anderson (2008), dalam bukunya Imagined Communities; Komunitas-komunitas Terbayang, saat itu bahasa cetak memang menjadi “Asal muasal kesadaran Nasional.” Kini, imajinasi komunitas itu, justru dibangun lewat pertemua-pertemua dan negosiasi wajah di warung kopi.

Kesimpulan

Ruang publik, selalu menjadi tema menarik untuk didiskusikan, karena kehadirannya yang selalu diharapkan oleh publik tanpa campur tangan pemerintah dan tekanan lain. Adakalanya, ruang publik diciptakan seiring komersialisasi, namun tetap pada tujuan yang sama, untuk memudahkan pengunjung ruang publik merasa nyaman. Ruang publik, tak hanya bersifat ruang “nyata” seperti taman, mall, dan warung kopi, tapi juga media seperti televisi, majalah, dan koran-yang menjadi ajang tempat orang berdialektika untuk menghasilkan pendapat dan sikap.

(15)

Namun, fungsi warung kopi sebagai ruang publik terbuka-melahirkan diskusi kritis, juga dapat terkonversi menjadi ruang “sengap” dan mengancam masa depan generasi muda, ketika saduran internet melekat di setiap warung kopi, dan digunakan secara disfungsi (bermain game online saban waktu). Tentunya, fungsi warung kopi di Aceh, harus tetap dijaga ritme identitasnya, seiring gempuran global, karena dari warung kopilah, konfigurasi Aceh ditetaskan secara utuh lewat “ngomong-ngomong” kritis.

Daftar Pustaka

Anderson, Benedict. 2008. Imagined Communities; Komunitas-komunitas Terbayang. Insist, Yogyakarta.

Barker, Chris. 2000. Cultural Studies ; Teori dan Praktik (terj). Bentang,Yogyakarta.

Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi ; Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Kencana, Jakarta.

Cassirer, Ernst. 1987. Manusia dan Kebudayaan; Sebuah Esei Tentang Manusia. Gramedia, Jakarta.

Habermas, Jurgen. 1991. The Structural Transformation of The Public Sphere ; an iquiry into a category of bourgeois society. MA. MIT Press.

Klandermans, Bert. 2005. Protes dalam Kajian Psikologi Sosial. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Koentjaraningrat. 1981. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta, Jakarta.

Liliweri, Alo. 2003. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. LKiS, Yogyakarta.

Mauriza, Sadzli. 1998. Fungsi Warung Kopi di Aceh. Skripsi-UGM. Yogyakarta.

Sumaryanto, Y. 2008. Ruang Publik Jurgen Habermas dan Tinjauan Atas Perpustakaan Umum Indonesia. Tesis-UI. Jakarta-Depok.

(16)

Zentgraaff. 1983. Aceh. Depdikbud, Jakarta. e-Refference

Al Fairusy, Muhajir. 2008. Warung Kopi di Medan Pilkada. Jurnal online Aceh Institute.

Referensi

Dokumen terkait

Kecuali perbedaan port yang spesifik, HTTPS menggunakan port 443 sedangkan HTTP menggunakan port 80 dalam berinteraksi dengan layer yang dibawahnya, TCP/IP/

Tujuan ditulisnya artikel ini adalah untuk mengetahui keterkaitan perilaku spiritual sufi dengan kesehatan mental dalam bentuk well being yang dilakukan oleh

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara perceived distributive justice secara langsung dengan motivasi berprestasi dengan

Semarang terpilih sebagai lokasi terbaik dikarenakan dianggap memiliki keunggulan dibandingkan dengan lokasi lainnya, terutama dari sisi pasar yaitu jalan nasional

Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah yang berisikan studi kasus komunikasi massa mengenai media massa dan kaitannya terhadap peran pencegahan tindak pidana

Within the scope of the regency/ municipality, Local Development Planning Board or can be abbreviated Planning Board (Bappeda) has a strategic role in the

Mengacu pada penelitian yang telah dilaksanakan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa bahan penstabil jenis surfaktan anionik SLS dan koagulan jenis asam organik

musibah “ Tsunami ” tahun 2004 silam yang menelan sekitar 250.000 jiwa ini. Hal lain yang menjadi realita saat ini bahwa masyarakat Aceh khususnya siswa hanya menjadikan