• Tidak ada hasil yang ditemukan

HIGIENE DAGING (PEMERIKSAAN ANTE MORTEM DAN POS MORTEM, SYARAT LOKASI DAN BANGUNAN RPH DAN RPU) Paper

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HIGIENE DAGING (PEMERIKSAAN ANTE MORTEM DAN POS MORTEM, SYARAT LOKASI DAN BANGUNAN RPH DAN RPU) Paper"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

HIGIENE DAGING

(PEMERIKSAAN ANTE MORTEM DAN POS MORTEM, SYARAT LOKASI DAN BANGUNAN RPH DAN RPU)

Paper

diajukan untuk melengkapi tugas-tugas mata kuliah Higiene Makanan

Oleh

Amrul Ilman 1102101010055

Cut Shavrita Devanti Fauzi 1102101010114

M. Iqbal Lesmana 1102101010075

KELAS D/RUANG VII

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA

BANDA ACEH 2014

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T. atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayahnya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana guna memenuhi tugas mata kuliah “Higiene Makanan”. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan dalam profesi kedokteran hewan.

Higiene makanan merupakan salah satu usaha untuk melindungi, memelihara dan meningkatkan kesehatan manusia agar tidak terjadi gangguan kesehatan dari makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat. Dalam kesempatan ini, penyusun mendapat kesempatan untuk membahas tentang higiene daging. Sebagaimana yang kita ketahui daging merupakan salah satu bahan makanan yang memiliki nilai protein yang tinggi. Mengenai “pemeriksaan antemortem dan posmortem, syarat lokasi dan bangunan RPH dan RPU” akan dibahas dalam makalah ini sebagai pedoman bagi calon dokter hewan.

Penyusun mengakui masih banyak kekurangan makalah ini. Oleh kerena itu penyusun harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Banda Aceh, September 2014

(3)

Daftar Isi BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Tujuan ... 2 1.3 Manfaat ... 2 BAB II PEMBAHASAN ... 3

2.1. Pemeriksaan Ante Mortem ... 3

2.2. Pemeriksaan Post Mortem ... 5

2.3. Cap Daging ... Error! Bookmark not defined. 2.4. Pemeriksaan Ulang (Herkeuring) ... 7

2.5. Syarat Lokasi dan Bangunan RPH dan RPU ... 8

BAB III Kesimpulan ... Error! Bookmark not defined. Daftar Pustaka ... Error! Bookmark not defined.

(4)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemeriksaan hewan kurban meliputi pemeriksaan kesehatan dan umur hewan. Hewan kurban harus benar-benar dalam keadaan sehat dan layak untuk disembelih, di antaranya harus cukup umur, sudah ganti gigi, tidak cacat dan dalam kondisi sehat. Selain itu, pemeriksaan hewan kurban juga untuk mencegah penyebaran penyakit hewan seperti anthrax. Pemeriksaan hewan kurban dibagi dalam dua tahap yakni pemeriksaan antemortem yaitu pemeriksaan fisik luar hewan sebelum dilakukan pemotongan, dan posmortem yaitu pemeriksaan bagian dalam hewan sesudah pemotongan. Hewan yang sehat secara klinis, yakni tidak cacat, hidung normal, mata normal, jantung dan paru-paru juga normal. Sementara itu, untuk pemeriksaan postmortem dilakukan dengan sasaran pemeriksaan meliputi kondisi hati, jantung, paru-paru, limpa, ginjal dan organ bagian dalam hewan. Apabila ditemukan kelainan-kelainan dan ada cacing hati maka organ tersebut harus disingkirkan, karena tidak layak untuk dikonsumsi (Ressang, 1984).

Dalam rangka melakukan pemeriksaan kesehatan hewan kurban yang aman bagi masyarakat. Pemeriksaan antemortem dan postmortem sangat penting untuk dilaksanakan agar daging kurban yang dibagikan dimasyarakat terjamin keamanan dan terhindar dari penyakit zoonosis.

Salah satu tahap yang sangat menentukan kualitas dan keamanan daging dalam mata rantai penyediaan daging adalah tahap di rumah pemotongan. Di rumah pemotongan ini hewan disembelih dan terjadi perubahan (konversi) dari otot (hewan hidup) ke daging, serta dapat terjadi pencemaran mikroorganisme terhadap daging, terutama pada tahap eviserasi (pengeluaran jeroan). Penanganan hewan dan daging di rumah potong yang kurang baik dan tidak higienis akan berdampak terhadap kehalalan, mutu dan keamanan daging yang dihasilkan. Oleh sebab itu, penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan di rumah potong sangatlah penting, atau dapat dikatakan pula sebagai penerapan sistem produk safety pada rumah potong. Aspek yang perlu

(5)

diperhatikan dalam sistem tersebut adalah higiene, sanitasi, kehalalan, dan kesejahteraan hewan.

1.2 Tujuan

a. Mahasiswa/i dapat mengetahui apa itu pemeriksaan antemortem dan posmortem, syarat lokasi dan bangunan RPH dan RPU.

b. Mahasiswa/i dapat mengetahui bagaimana proses pemeriksaan antemortem dan posmortem, syarat lokasi dan bangunan RPH dan RPU.

c. Mahasiswa/i dapat mengetahui apa-apa saja pemeriksaan antemortem dan posmortem, syarat lokasi dan bangunan RPH dan RPU.

d. Mahasiswa/i dapat mengetahui dan mempelajari bagaimana cara pemeriksaan antemortem dan posmortem, syarat lokasi dan bangunan RPH dan RPU.

e. Sebagai bahan rujukan dalam memenuhi tugas-tugas matakuliah “Higiene Makanan”.

1.3 Manfaat

Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai pemeriksaan antemortem dan posmortem, syarat lokasi dan bangunan RPH dan RPU kepada seluruh mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan yang sedang mengambil mata kuliah Higiene Makanan agar seterusnya dapat mengaplikasikankepada seluruh masyarakat.

(6)

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pemeriksaan Ante Mortem

Pemeriksaan antemortem meliputi pemeriksaan perilaku dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan perilaku dilakukan pengamatan dan mencari informasi dari orang yang merawat hewan tersebut. Hewan yang sehat nafsu makannya baik, hewan yang sakit nafsu makannya berkurang atau bahkan tidak mau makan. Cara bernafas hewan sehat nafasnya teratur, bergantian antara keempat kakinya. Pincang, loyo dan tidak bias berjalan menunjukkan hewan sedang sakit. Cara buang kotoran dan kencingnya lancer tanpa menunjukkan gejala kesakitan. Konsistensi kotoran (feses) padat (Hayati dan Choliq, 2009).

Pemeriksaan Fisik dilakukan pemeriksaan terhadap suhu tubuh

(temperatur), menggunakan termometer badan ( digital atau air raksa ), suhu tubuh normal sapi berkisar antara 38,5°C – 39,2°C. Bola mata bersih, bening, dan cerah. Kelopak mata bagian dalam (conjunctiva) berwarna kemerahan (pink) dan tidak ada luka. Kelainan yang biasa dijumpai pada mata yaitu adanya kotoran berlebih sehingga mata tertutup, kelopak mata bengkak, warna merah, kekuningan (icterus) atau cenderung putih (pucat). Mulut dan bibir, bagian luar bersih, mulus, dan agak lembab. Bibir dapat menutup dengan baik. Selaput lender rongga mulut warnanya merata kemerahan (pink), tidak ada luka. Air liur cukup membasahi rongga mulut. Lidah warna kemerahan merata, tidak ada luka dan dapat bergerak bebas. Adanya keropengdi bagian bibir, air liur berlebih atau perubahan warna selaput lendir (merah, kekuningan atau pucat) menunjukkan hewan sakit. Hidung, Tampak luar agak lembab cenderung basah. Tidak ada luka, kotoran, leleran atau sumbatan. Pencet bagian hidung, apabila keluar cairan berarti terjadi peradangan pada hidung. Cairan hidung bisa bening, keputihan, kehijauan, kemerahan, kehitaman atau kekuningan. Kulit dan bulu, bulu teratur, bersih, rapi, dan mengkilat. Kulit mulus, tidak ada luka dan keropeng. Bulu kusam tampak kering dan acak-acakan menunjukkan hewan kurang sehat. Kelenjar getah bening, kelenjar getah bening yang mudah diamati adalah yang berada di daerah bawah telinga, daerah ketiak dan selangkangan kiri dan kanan. Apabila ada peradangan

(7)

kemudian membengkak tanpa diraba akan terlihat jelas pembesaran di daerah dimana kelenjar getah bening berada. Daerah anus, bersih tanpa ada kotoran, darah dan luka. Apabila hewan diare, kotoran akan menempel pada daerah sekitar anus (Hayati dan Choliq, 2009).

Berikut ini adalah Keputusan-keputusan pemeriksaan antermortem menurut surat Keputusan Mentri Pertanian No.413/Kpts.TN.310/7/92:

1. Hewan potong diijinkan dipotong tanpa syarat, apabila dalam pemeriksaan antermortem ternyata hewan potong tersebut sehat.

2. Hewan potong diijinkan untuk dipotong dengan syarat, apabila dalam pemeriksaan antermortem ternyata bahwa hewan potong tersebut menderita atau menunjukan gejala penyakit; Corysa gangraenosa bovum, Haemorhagi septicaemia, Piroplasmosis, Surra, Influesa equorum, Arthritis, Hernia, Fraktura, Abces, Epithelimia, Actinomycosis, Etinobasilosis, Mastitis, Septichemia, Cachexia, Oedema,dan Tubercullosis, Brucellosis.

3. Ditunda untuk dipotong, pada keadaan-keadaan :

a. Hewan yang lelah

b. Pemeriksaan belum yakin, bahwa hewan yang bersangkutan adalah sehat oleh karenanya harus selalu dibawah pengawasan dan

pemeriksaan.

4. Hewan potong ditolak untuk disembelih dan kemudian dimusnakan menurut ketentuan yang berlaku di RPH atau tempat potong yang lain. Apabila dalam pemeriksaan antermortem ternyata bahwa hewan potong tersebut menderita atau menunjukan gejala penyakit: Malleus, Anemia contagionis equorum, Rabies, Pleuro pnemonia contagiosa bovum, Morbus maculosus equorum, Rinderpest, Variola ovine, Pespis bovina, Blue tongue akut, Tetanus, Radang paha gangraena emphysematoma, Busung gawat, Sacharomicosis akut dan kronis, Mycotoxicosis, Colibacillosi, Apthae epizotic, Botulismis, Listeriosid, dan toxsoplasmosis akut.

Tujuan dilakukannya pemeriksaan antemortem ini adalah untuk membedakan hewan yang berpenyakit menular, hewan yang berpenyakit tidak menular dan hewan yang sehat. Pemeriksaan antemortem dilakukan dekat sebelum hewan dipotong. Apabila seekor hewan yang sudah diperiksa

(8)

tetapi tidak segera dipotong hingga lebih dari 24 jam, maka hewan tersebut harus diperiksa kembali.

Pemeriksaan antemortem dilakukan pada waktu hewan dalam keadaan berdiri dan berjalan, berbelok ke kanan dan ke kiri. Keseluruhan pemeriksaan harus berjalan cepat agar aliran hewan dari kandang ke ruang pemotongan tidak terhambat. Pemeriksaan antemortem meliputi keadaan umum hewan, lubang-lubang tubuh hewan, temperatur tubuh hewan, pernafasan dan selaput-selaput lendir.

2.2 Pemeriksaan Post Mortem

Setelah hewan dipotong (disembelih) dilakukan pemeriksaan postmortem dengan teliti pada bagian-bagian sebagai berikut: Karkas, Karkas sehat tampak kompak dengan warna merah merata dan lembab. Bentuk-bentuk kelainan yang sering dijumpai bercak-bercak pendarahan, lebam-lebam dan berair. Paru-paru, paru-paru sehat berwarna pink, jika diremas terasa empuk dan teraba gelembung udara, tidak lengket dengan bagian tubuh lain, tidak bengkak dengan kondisi tepi-tepi yang tajam. Ditemukan benjolan-benjolan kecil pada paru-paru atau terlihat adanya benjolan-benjolan keputihan (tuberkel) patut diwaspadai adanya kuman tubercollosis. Jantung, ujung jantung terkesan agak lancip, bagian luarnya mulus tanpa ada bercak-bercak perdarahan. Jantung dibelah untuk mengetahui kondisi bagian dalamnya.

Hati warna merah agak gelap secara merata dengan kantong empedu yang relative kecil. Konsistensi kenyal dengan tepi-tepi yang cenderung tajam. Kelainan yang sering ditemui adalah adanya cacing hati (Fasciola hepatica atau Fasciola gigantica pada sapi). Limpa, ukuran limpa lebih kecil daripada ukuran hati, dengan warna merah keunguan. Pada penderita anthrax keadaan limpa membengkak hebat. Ginjal, kedua ginjal tampak luar keadaannya mulus dengan bentuk dan ukuran relatif semetris. Adanya benjolan, bercak-bercak pendarahan, pembengkakan atau perubahan warna merupakan kelainan pada ginjal. Lambung dan usus bagian luar dan bagian dalam tampak mulus. Lekukan-lekukan bagian dalamnya teratur rapi. Penggantung usus dan lambung bersih Tidak ditemukan benda-benda asing yang menempel atau bentukan-bentukan

(9)

aneh pada kedua sisi lambung dan usus. Pada lambung kambing sering dijumpai adanya cacing yang menempel kuat berwarna kemerahan (Soedarto, 2003).

Keputusan pemeriksaan postmortem adalah 1. Dapat diedarkan untuk konsumsi yaitu :

a. Daging dari hewan potong yang tidak menderita suatu penyakit

b. Daging dari hewan potong yang mederita penyakit arthritis, hernia, fraktura, abses, epithelimia, actinomycosis, actinobacillosis dan mastitis serta penyakit lain yang bersifat lokal setelah bagian-bagian yang tidak layak untuk konsumsi manusia dibuang.

2. Dapat diedarkan untuk konsumsi dengan syarat sebelum peredaran yaitu daging yang merupakan bagian dari hewan potong penderita, Surat Keputusan Menteri Pertanian 413/Kpts/TN/310/7/1992, misalnya:

Trichinellosis ringan : dagingnya dimasak Cysticercosis ringan : dagingnya dimasak

Morbus Aujezki : sterilisasi

Brucellosis : dilayukan sekurangnya 24 jam

Tubercullosis : direbus

3. Dapat diedarkan untuk konsumsi dengan syarat selama peredaran adalah daging yang warna, konsistensi dan baunya tidak normal, septichaemia, cachexia, hydrops dan oedema, yang penjualannya dilakukan di rumah pemotongan hewan atau tempat pemotongan hewan atau tempat penjualan lain yang ditunjuk dan di bawah pengawasan petugas pemeriksa yang berwenang setelah bagian-bagian yang tidak layak dikonsumsi manusia dibuang.

4. Dilarang diedarkan dan dikonsumsi adalah daging yang berbahaya bagi konsumsi manusia karena berasal dari hewan potong yang mengandung penyakit, misalnya ingus jahat (malleus), anemia contagiosa equorum, rabies, pleuro pneumonia contagiosa bovum, morbus maculosus equorum, rinderpest, variola ovine, pestis bovina, blue tongue akut, anthraks, tetanus, black leg, mallignant oedema, sacharomycosis, mycotoxicosis, collibacillosis, aptahe epizootic, botulismus, listeriosis, toksoplasmosis, tubercullosis yang sifatnya ekstensif, salmonellosis, cysticercosis dengan infestasi berat, trichinellosis

(10)

dengan infestasi berat, mengandung residu pestisida, obat, hormon atau bahan kimia lain yang membahayakan manusia.

Karkas dan organ yang dinyatakan ditolak atau dicurigai, harus segera dipisahkan untuk pemeriksaan lebih lanjut. Petugas pemeriksa mencatat hasil pemeriksaan, mengarsipkan/mendokumentasi dan melaporkan kepada kepala RPH, termasuk tindakan-tindakan yang yang dilakukan terhadap karkas yang ditolak atau dicurigai. Kemudian apabila ditemukan penyakit menular atau zoonosis pada pemeriksaan post mortem, petugas harus segera mengambil tindakan yang sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.

Hasil keputusan pemeriksaan postmortem oleh petugas pemeriksa dinyatakan dengan cara memberi tanda atau stempel pada daging yang bersangkutan dengan menggunakan zat warna yang tidak membahayakan kesehatan manusia.

2.3 Cap Daging

Daging yang dinyatakan baik diberi cap tanda pernyataan bahwa daging tersebut baik, dimana bentuk dan ketentuan tanda baik ditetapkan oleh kepala daerah. Tinta cap daging tidak boleh beracun, campuran tinta yang digunakan adalah alkohol 96% 250 ml, glyserin 87% 500 ml, spiritus 250 ml, dan methyl violet 10 gr. Pemberian cap dilakukan pada saat daging akan dipasarkan (setelah daging diperiksa terlebih dahulu), sebanyak 4 tempat pada karkas sapi dan 6 tempat pada karkas babi.

2.4 Pemeriksaan ulang (Herkeuring)

Pemeriksaan ulang biasanya dilakukan langsung ditempat penjualan daging oleh petugas dari Dinas, dimana pemeriksaan ulang merupakan pelimpahan wewenang dari petugas satu ke petugas lain daerah, petugas yang dimaksud ialah dokter hewan. Sebagai bukti bahwa daging tersebut telah diperiksa ulang, daging tersebut diberi cap ulang. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengantisipasi adanya pemalsuan daging. Salah

(11)

satu yang dapat menurunkan mutu daging dan dapat diketahui saat pemeriksaan ulang ini adalah adanya daging sapi dari sapi yang diglonggong (diberikan minum sebanyak-banyaknya) sebelum dipotong. Daging yang berasal dari sapi yang diglonggong menunjukkan ciri-ciri daging tampak pucat, basah dan lebih cepat membusuk.

Daging yang lolos pemeriksaan postmortem dan dinyatakan layak diedarkan untuk dikonsumsi akan diberi Surat Keterangan Kesehatan Daging (SKKD). Selain itu daging juga akan diberi cap kelayakan oleh petugas RPH.

2.5 Syarat Lokasi dan Bangunan RPH dan RPU a. Rumah Pemotongan Hewan (RPH)

Syarat–syarat RPH telah diatur juga di dalam SK Menteri Pertanian Nomor 555/Kpts/TN.240/9/1986. Persyaratan ini dibagi menjadi prasyarat untuk RPH yang digunakan untuk memotong hewan guna memenuhi kebutuhan lokal di Kabupaten/Kotamadya Derah Tingkat II, memenuhi kebutuhan daging antar Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dalam satu Propinsi Daerah Tingkat I, memenuhi kebutuhan daging antar Propinsi Daerah Tingkat I dan memenuhi kebutuhan eksport (Manual Kesmavet, 1993).

Menurut Manual Kesmavet (1993) RPH ini harus memenuhi syarat yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi syarat lokasi, kelengkapan bangunan, komponen bangunan utama dan kelengkapan RPH: 1. Lokasi RPH.

a) Lokasi RPH di daerah yang tidak menimbulkan gangguan atau pencemaran lingkungan misalnya di bagian pinggir kota yang tidak padat penduduknya, dekat aliran sungai atau di bagian terendah kota. b) Lokasi RPH di tempat yang mudah dicapai dengan kendaraan atau

dekat jalan raya (Lestari, 1994; Manual Kesmavet, 1993). 2. Kelengkapan bangunan.

a) Kompleks bangunan RPH harus dipagar untuk memudahkan penjagaan dan keamanan serta mencegah terlihatnya proses pemotongan hewan dari luar.

(12)

c) Mempunyai kandang hewan untuk istirahat dan pemeriksaan ante mortem.

d) Mempunyai laboratorium sederhana yang dapat dipergunakan untuk pemeriksaan kuman dengan pewarnaan cepat, parasit, pH, pemeriksaan permulaan pembusukan dan kesempurnaan pengeluaran darah.

e) Mempunyai tempat untuk memperlakukan hewan atau karkas yang ditolak berupa tempat pembakar atau penguburan.

f) Mempunyai tempat untuk memperlakukan hewan yang ditunda pemotongannya.

g) Mempunyai bak pengendap pada saluran buangan cairan yang menuju ke sungai atau selokan.

h) Mempunyai tempat penampungan sementara buangan padat sebelum diangkut.

i) Mempunyai ruang administrasi, tempat penyimpan alat, kamar mandi dan WC.

j) Mempunyai halaman yang dipergunakan sebagai tempat parkir kendaraaan.

3. Komponen bangunan utama.

a) Mempunyai tempat penyembelihan hewan, tempat pengulitan, tempat pengeluaran jeroan dari rongga perut dan dada, tempat pembagian karkas, tempat pemeriksaan kesehatan daging.

b) Mempunyai tempat pembersihan dan pencucian jeroan yang terpisah dari (3.a) dengan air yang cukup.

c) Berdinding dalam yang kedap air terbuat dari semen, porselin atau bahan yang sejenis setinggi dua meter, sehingga mudah dibersihkan. d) Berlantai kedap air, landai kearah saluran pembuangan agar air mudah

mengalir, tidak licin dan sedikit kasar.

e) Sudut pertemuan antar dinding dan dinding dengan lantai berbentuk lengkung.

f) Berventilasi yang cukup untuk menjamin pertukaran udara. 4. Kelengkapan RPH.

(13)

a) Mempunyai alat-alat yang dipergunakan untuk persiapan sampai dengan penyelesaian proses pemotongan termasuk alat pengerek dan penggantung karkas pada waktu pengulitan serta pakaian khusus untuk tukang sembelih dan pekerja lainnya.

b) Peralatan yang lengkap untuk petugas pemeriksa daging. c) Persediaan air bersih yang cukup.

d) Alat pemelihara kesehatan.

e) Pekerja yang mempunyai pengetahuan di bidang kesehatan masyarakat veteriner yang bertanggung jawab terhadap dipenuhinya syarat-syarat dan prosedur yang berlaku dalam pemotongan hewan serta penanganan daging.

Untuk RPH bagi pemotongan babi mempunyai syarat tambahan, yaitu: a) RPH harus ada persediaan air hangat untuk perontokan bulu.

b) Bangunan utama RPH, kandang dan tempat penyimpanan/pembersihan alat untuk babi harus terpisah dengan jarak yang cukup atau dengan pagar tembok setinggi paling sedikit 3 meter atau terpisah total dengan dinding tembok dan terletak di tempat yang lebih rendah dari pada yang untuk hewan lainnya.

b. Rumah Pemotongan Unggas (RPU)

Pemenuhan kebutuhan daging bagi masyarakat yang semakin meningkat, tidak dapat diimbangi dengan Rumah Pemotongan Unggas (RPU) yang ada, sehingga tumbuh usaha -usaha tempat pemotongan ayam dengan skala usaha rumah tangga yang pada umumnya tidak memenuhi persyaratan higiene sanitasi. Jumlah RPU skala usaha rumah tangga diberbagai daerah cenderung meningkat dengan kapasitas pemotongan bervariasi antara 100 - 500 ekor per hari.

Oleh karena itu perlu diketahui persyaratan pembangunan Rumah Pemotongan Unggas (RPU) sesuai SNI 01.6160-199 sebagai berikut :

(14)

a) Lokasi RPU tidak bertentangan dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan/ atau Rencana Bagian Wilayah Kota (RBWK)

b) Tidak berada di bagian kota yang padat penduduknya serta letaknya lebih rendah dari pemukiman penduduk, tidak menimbulkan gangguan atau pencemaran lingkungan

c) Tidak berada dekat industri logam dan kimia, tidak berada di daerah rawan banjir, bebas dari asap, bau, debu dan kontaminan lainnya d) Memiliki lahan yang datar dan cukup luas untuk pengembangan

RPU

2. Persyaratan Sarana :

a) Sarana jalan yang menuju RPU dapat dilalui kendaraan pengangkut unggas hidup dan daging unggas

b) Sumber air yang cukup ( persediaan air disediakan minimum 25 - 35 liter/ ekor/ hari

c) Sumber tenaga listrik yang cukup

d) Persediaan air yang bertekanan 1,05 kg/cm2 (15 psi) serta fasilitas

air panas dengan suhu minimal 82oC

e) Tersedia kandang penampungan yang berpelindung f) Memiliki kendaraan pengangkut daging unggas 3. Persyaratan Bangunan dan Tata Letak :

a) Komplek RPU minimal harus terdiri dari : bangunan utama, tempat penurunan unggas hidup, kantor administrasi dan kantor Dokter Hewan, tempat istirahat pegawai, tempat penyimpanan barang pribadi/ ruang ganti pakaian,kamar mandi dan WC, sarana penanganan limbah, insenerator, tempat parkir, rumah jaga, menara air, gardu listrik

b) Komplek RPU harus dipagar sedemikian rupa sehingga dapat mencegah masuknya orang yang tidak berkepentingan dan hewan lain. Pintu masuk unggas hidup sebaiknya harus terpisah dari pintu keluar daging unggas.

(15)

c) Dalam komplek RPU dilengkapi dengan ruang pembekuan cepat, ruang penyimpanan beku, ruang pengolahan daging unggas, laboratorium

d) Pembagian ruang bangunan utama RPU terdiri dari :

1) Daerah kotor : i) penurunan, pemeriksaan antemortem dan

penggantungan unggas hidup; ii) pemingsanan; iii)

penyembelihan dan pengeluaran darah; iv) pencelupan ke air panas; v) pencabutan bulu; vi) pencucian karkas; vii) pengeluaran jeroan dan pemeriksaan postmartem; viii) penanganan jeroan

2) Daerah bersih : i) pencucian karkas; ii) pendinginan karkas; iii) seleksi; iv) penimbangan karkas; v) pemotongan karkas; vi) pemisahan daging dari tulang; vii) pengemasan; viii) penyimpanan segar

e) Sistem saluran pembuangan limbah cair harus cukup besar dan didesain agar aliran limbah mengalir dengan lancar, terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan, kedap air, dijaga agar tidak menjadi sarang tikus. Saluran pembuangan dilengkapi dengan penyaring yang mudah dibersihkan. Di dalam komplek RPU, sistem saluran pembuangan harus selalu tertutup agar tidak menimbulkan bau. Di dalam bangunan utama, saluran pembuangan dilengkapi dengan grill yang mudah dibuka tutup dan terbuat dari bahan yang kuat.

f) Bangunan utama RPU harus memenuhi persyaratan : tata ruang,. dinding, lantai, langit-langit, pencegahan serangga, ventilasi, pintu, lampu penerangan

g) Kantor administrasi dan dokter hewan, tempat istirahat karyawan, kantin,mushola tempat penyimpanan barang pribadi atau ruang ganti pakaian, kamar mandi dan WC, sarana pengolah limbah, insenerator dan rumah jaga harus memenuhi persyaratan

4. Persyaratan Peralatan, seluruh perlengkapan di RPU harus terbuat dari bahan yang tidak mudah korotif, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta mudah dirawat. Seperti sarana sistem rel dan alat penggantung karkas, sarana untuk mencuci tangan,tempat sampah tertutup, pisau

(16)

penyembelihan, sarana mendisenfeksi ruang dan peralatan, meja tempat penanganan atau pemrosesan produk, mesin pencabut bulu dan alat semprot mudah dibersihkan

5. Hygiene Karyawan dan perusahaan, harus sehat dan higienes.

6. Pengawasan Kesehatan masyarakat Veteriner, di RPU harus ada dokter hewan yang bertanggung jawab terhadap dipenuhinya syarat-syarat dan prosedur pemotongan unggas.

7. Kendaraan Pengangkut Daging Unggas, Boks pengangkut daging harus tertutup dan dilengkapi dengan alat pendingin, suhu daging unggas segar

maksimum 4oC, daging unggas beku -18oC, dibagian dalam boks

dilengkapi dengan alat penggantung karkas. Perlu memperhatikan

persyaratan ruang pembekuan cepat ( suhu -35oC), ruang penyimpanan

beku ( suhu -20oC), ruang pengolahan daging unggas (suhu +15oC),

semuanya harus dalam keadaan bersih, ruang didesain agar tidak ada aliran air atau limbah cair lainnya yang masuk ke dalam ruangan ini serta dilengkapi dengan alat pendingin

8. Laboratorium berdekatan dengan kantor dokter hewan dan memenuhi persyaratan.

(17)

BAB III KESIMPULAN

Pemeriksaan daging adalah untuk menjaga higiene daging dan tujuan dari higiene daging adalah agar daging yang dihasilkan aman, utuh, sehat, halal (ASUH).

1. Pemeriksaan Ante Mortem

Pemeriksaan antemortem adalah pemeriksaan kesehatan hewan sebelum hewan dipotong

Tujuan:

 Memperoleh hewan yang berada dalam keadaan cukup istirahat

 Menghindari pemotongan hewan yang sakit (penyakit hewan menular,

zoonosis)

 Mencegah kemungkinan terjadinya kontaminasi pada tempat pemotongan,

alat dan pegawai/pekerja

 Bahan informasi bagi keperluan pemeriksaan postmortem

 Mengawasi penyakit-penyakit tertentu yang harus dilaporkan

2. Pemeriksaan postmortem

Pemeriksaan post mortem pemeriksaan setelah pemotongan pada jeroan/visera (organ dalam rongga dada & perut) dan karkas

Tujuan:

 Meneguhkan diagnosa antemortem

 Mendeteksi dan mengeliminasi kelainan-kelainan pada daging yaitu apakah

daging tersebut aman dan layak dikonsumsi

 Menjamin pemotongan yang baik dan benar, halal serta higienis

 Memeriksa kualitas daging

3. Syarat-syarat rumah pemotongan hewan dan usaha pemotongan hewan diatur dalam SK Menteri Pertanian No. 555/Kpts/TN.240/9/1986. Standar rumah potong hewan di Indonesia tertuang dalam SNI 01-6159-1999. Menurut Keputusan Menteri Pertanian No. 555/Kpts/TN/240/9/1986.

(18)

DAFTAR PUSTAKA

Akoso,T. B., 1991, Manual Untuk Paramedik Kesehatan Hewan, 2ed, Omaf-Cida Disease Investigasi center.

Anonim, 2006. Standar Naasional Indonesia Sub Sektor Peternakan.

http://www.mailarchive.com/agromania@yahoogroups.com/info.html. Diakses

pada tanggal 20 September 2014.

Anonim, 2009. Rumah Potong Hewan Bagi Kesehatan Masyarakat.

http://www.timorexpress.com/index.php. Diakses pada tanggal 20 September 2014.

Bearden HJ, and JW Fuquay. 1992. Applied Animal Reproduction Third Edition Prentice Hall. Englewood Cliffs. New Jersey.

Blakely, J. and D. H. Bade, 1992. The Science of Animal Husbandry. Penterjemah: B. Srigandono. Cet. ke-2. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Hayati dan Choliq, 2009. Ilmu Reproduksi Hewan. PT. Mutiara Sumber Widya. Jakarta. Koswara, O., 1988. Persyaratan Rumah Pemotongan Hewan dan Veterinary Hygine

Untuk Eksport Produk-produk Peternakan. Makalah Seminar Ternak Potong, Jakarta.

Lestari, P.T.B.A., 1994. Rancang Bangun Rumah Potong Hewan di Indonesia. P. T. Bina Aneka Lestari, Jakarta.

Manual Kesmavet, 1993. Pedoman Pembinaan Kesmavet. Direktorat Bina Kesehatan Hewan Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.

Nuhriawangsa, A. M. P., 1999. Pengantar Ilmu Ternak dalam Pandangan Islam: Suatu Tinjauan tentang Fiqih Ternak. Program Studi Produksi Ternak, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Ressang, A. A., 1984, Pathologi Khusus Veteriner, Fad Project Khusus Investigasi Unit Bali.

Smith, G. C., G. T. King dan Z. L. Carpenter, 1978. Laboratory Manual for Meat Science. 2nd ed. American Press, Boston, Massachusetts.

Soedarto. 2003. Zoonosisi Kedokteran. Airlangga press. Surabaya.

Soeparno, 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan ke-1. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Itu dapat terlihat dari hasil penelusuran pustaka yang peneliti lakukan terhadap penelitian yang berkaitan dengan kontribusi sumber-sumber PAD dalam mendukung kemandirian

Tungau merah, Tetranychus urticae, merupakan hama penting pada tanaman ubikayu, khususnya di daerah kering. Pemilihan waktu tanam yang tepat merupakan salah satu upaya

Terlibatnya masyarakat Desa Babakan Peuteuy Kecamatan Cicalengka Kabupaten Bandung dalam kegiatan industri konveksi telah memberikan kontribusi dalam upaya

nidus pada batang atau cabang tumbuhan inang tercatat terendah satu individu dan terbanyak 11 individu, yakni pada Ficus fistulosa (petak A2) yang banyak menempel pada batang utama

Diperoleh hasil analisis Mann Whitney dalam tabel 3, yang menyatakan terdapat perbedaan bermakna karakteristik warna penyembuhan luka sesudah perlakuan antara kelompok

Honorarium Non PNS, bahan pakai habis, jasa kantor, penggandaan, makan minum, perjalanan dinas, kursus, pelatihan, sosialisasi dan bimbingan teknis non PNS, blj modal peralatan

Sehingga pergantian CEO lebih memungkinkan terjadi pada perusahaan yang melakukan tarif pajak efektif yang relatif rendah, karena jika tidak dilakukan pergantian CEO pada