• Tidak ada hasil yang ditemukan

KRITERIA KELAYAKAN PENERAPAN FIRE SAFETY MANAGEMENT (FSM) PADA BANGUNAN GEDUNG DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KRITERIA KELAYAKAN PENERAPAN FIRE SAFETY MANAGEMENT (FSM) PADA BANGUNAN GEDUNG DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

KRITERIA KELAYAKAN PENERAPAN FIRE SAFETY MANAGEMENT (FSM)

PADA BANGUNAN GEDUNG DAN FAKTOR-FAKTOR

YANG MEMPENGARUHI

Oleh : Agus Sarwono

Pusat Litbang Permukiman

Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan – Kabupaten Bandung 40393 Email : sarwonoags60@yahoo.com

Diterima : 29 Juli 2009; Disetujui : 01 Maret 2011 Abstrak

Fire Safety Management (FSM) telah menjadi bagian persyaratan penting yang harus dipenuhi dalam menciptakan bangunan yang handal sebagaimana tertuang dalam Undang-undang No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Sebagaimana ditetapkan dalam Kepmeneg PU No. 11/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan, bahwa setiap bangunan dengan luas lantai minimal 5000 m2, jumlah penghuni 500 orang dan ketinggian lebih dari 8 lantai wajib menerapkan FSM. Penetapan atas penerapan FSM tersebut tidak dapat hanya dibatasi kriteria diatas, namun harus didasarkan pula pada tingkat resiko atau potensi terhadap bahaya kebakaran. Terdapat 3 faktor utama yang menjadi penyebab kebakaran yaitu faktor manusia (human factor), faktor pertumbuhan api (fire factor) dan faktor penyulutan (ignition factor). Sehingga dalam implementasinya, penerapan FSM tersebut memiliki suatu kriteria yang jelas berdasarkan tingkat resikonya (Risk-Based Methodology) agar layak untuk suatu bangunan tertentu terutama yang diperkirakan mempunyai tingkat resiko yang tinggi seperti bangunan perkantoran, rumah sakit dan bangunan pelayanan umum lainnya.

Kata Kunci : Kriteria penerapan FSM, tingkat resiko, potensi terhadap bahaya kebakaran, faktor penyebab kebakaran, keandalan bangunan gedung

Abstract

Fire Safety Management (FSM) has become an inevitable requirement to create reliable buildings as is mentioned in the Building Law Number 28 Year 2002. As has been formulated in the Ministerial Decree of Public Works Number 11/KPTS/2000 about the technical management of fire prevention in urban areas, each building with a minimum floor area of 5000 m2, a total number of 500 residents, and a height of more than eight floors, is obliged to apply FSM. The application of FSM is not only restricted to the above-mentioned criteria, but also based on the potential risk for fire. There are three main causes of fire: human, enlargement of fire, and ignition factors. The implementation of FSM must include a clear criteria of the risk level, particularly for buildings with a higher risk of fire, such as offices, hospitals, and other public buildings. Keywords : Application criteria of FSM, risk level, potential for fire, causes of fire, reliability of buildings

PENDAHULUAN

Sesuai dengan persyaratan keandalan bangunan gedung sebagaimana tertuang dalam Undang-undang No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung atau lebih dikenal dengan UUBG 2002, khususnya pada paragraf 2 pasal 19 persyaratan yang harus dipenuhi adalah keselamatan terhadap bahaya kebakaran. Untuk memenuhi persyaratan tersebut, bangunan gedung harus menerapkan sistem proteksi total, yang mencakup proteksi pasif, proteksi aktif dan membentuk manajemen keselamatan terhadap bahaya kebakaran atau FSM. Mengacu pula pada Kepmeneg PU No. 11/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan, yang antara lain mensyaratkan untuk setiap bangunan gedung dengan luas lantai (total)

minimum 5000 m2 atau ketinggian lebih dari 8 lantai serta dengan jumlah hunian sebanyak 500 orang wajib menerapkan Fire Safety Management. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tingkat resiko terhadap bahaya kebakaran bukan hanya disebabkan oleh luas bangunan, jumlah penghuni serta jumlah lantai bangunan, tetapi masih banyak faktor lain yang dapat menyebabkan tingginya tingkat resiko atau kerentanan terhadap bahaya kebakaran. Hal ini menyangkut adanya sumber api, bahan yang mudah terbakar dan tingkat kesulitan dalam evakuasi penghuni bangunan.

Banyak peristiwa kebakaran yang terjadi pada tahap pengoperasian bangunan, meskipun penyebabnya bisa berasal dari tahap-tahap sebelumnya, baik saat perencanaan (planning)

(2)

Kriteria Kelayakan Penerapan … (Agus Sarwono)

maupun perancangan (design). Oleh karena itu unsur manajemen pengamanan kebakaran atau fire safety management (FSM) menjadi sangat penting tahap ini.

Dengan demikian batasan untuk menerapkan FSM tersebut dirasakan sudah tidak sesuai lagi karena terlalu umum dan berlaku untuk semua jenis bangunan tanpa membedakan tingkat resikonya sehingga diperlukan penelitian guna mendapatkan batasan yang lebih sesuai berdasarkan pemanfaatan bangunan dan tingkat resiko terhadap bangunan.

Tujuan Pengkajian

Tujuan dilaksanakannya kajian ini adalah melakukan analisis tingkat resiko bahaya kebakaran pada bangunan gedung tinggi untuk memperoleh kriteria kelayakan penerapan FSM.

KAJIAN TEORITIS

Fire Safety Management (FSM)

FSM adalah sistem pengelolaan/pengendalian unsur-unsur manusia, sarana/peralatan, biaya, bahan, metode dan informasi untuk menjamin dan meningkatkan keamanan total pada bangunan terhadap bahaya kebakaran.

Potensi Bahaya Kebakaran

Potensi bahaya kebakaran dan prinsip pencegahan serta penanggulangannya merupakan bagian penting dari manajemen penanggulangan kebakaran agar suatu kota terlindung dari bencana tersebut. Perencanaan menyeluruh untuk proteksi kebakaran dimulai dengan mengetahui potensi bahaya kebakaran yang ada di suatu wilayah guna menentukan kebutuhan penyediaan air sebagai bahan pemadaman berdasarkan sumber yang tersedia serta sistem pemadaman lainnya. Potensi ancaman kebakaran ini dapat diketahui dari jenis dan pemanfaatan bangunan yang ada disuatu wilayah yang selanjutnya dapat dilakukan pemeringkatan dengan mengacu ASTM E 931-94 Standard Practice for Classification for Their Relative Fire Hazard. Berdasarkan standar tersebut dapat dilakukan penilaian dalam 3 kelompok yaitu Grup A (Human factor), Grup B (Fire factor) dan Grup C (Ignition factor).

Grup A (Human factor) adalah elemen-elemen yang berkaitan dengan respon manusia terhadap kebakaran, yang terdiri atas :

a. Tertahan, yaitu derajat dimana penghuni tertahan dalam usaha melakukan pengamanan dirinya;

b. Evakuasi, yaitu kemudahan seseorang dalam menyelamatkan diri;

c. Ketidakmampuan, yaitu tingkatan dimana umur, cacat tubuh atau kelemahan fisik yang

dapat mengurangi kemampuan untuk menyelamatkan diri.

Grup B (Fire factor) adalah elemen-elemen yang berkaitan dengan pertumbuhan dan penyebaran api, yang terdiri atas :

a. Pengendalian kebakaran, yakni derajat dimana terdapat personil terlatih dan peralatan proteksi untuk pemadaman kebakaran;

b. Beban api, yakni jumlah dan distribusi bahan mudah terbakar dalam bangunan;

c. Terbakar penuh, yaitu tingkatan dimana kebakaran terbatas atau tidak terbatas hanya didaerah asal mula api dikaitkan dengan geometri bangunan atau tipe konstruksi; d. Waktu tanggap, yaitu kecepatan dan

kemudahan bagi petugas pemadam kebakaran dalam memadamkan kebakaran.

Grup C (Ignition factor) terdiri atas :

a. Penyulutan aksidental, yaitu potensi penyalaan dari semua sumber yang berkaitan didalam bangunan, seperti merokok, memasak, peralatan listrik, pemakaian bahan mudah terbakar, produk atau perlengkapan lain dan adanya tempat atau peralatan pemanas;

b. Penyulutan disengaja, yaitu potensi penyulutan sebagai akibat dari unsur kesengajaan atau vandalisme.

Perhitungan peringkat bahaya kebakaran menurut ASTM E 931-94 :

Kelompok A : Faktor manusia

Total Elemen Peringkat Bahaya

tidur pada aktivitas tidur x 3

evakuasi evakuasi x 3

tertahan/terbatas tertahan x 3 ketidakmampuan ketidakmampuan x 3 kontrol penghuni kontrol penghuni x 3 Total grup A =jml (total elemen) x f. deteksi x f. sprinkler

Kelompok B : Faktor kebakaran

Total Elemen Peringkat Bahaya

beban api beban api x 2

waktu tanggap waktu tanggap x 1

terbakar penuh terbakar penuh x 2

kontrol api kontrol api x 1

Total grupB=jml (total elemen) x f. sprinkler

Kelompok C : Faktor penyalaan

Total Elemen Peringkat Bahaya

kesengajaan kesengajaan x 3

aksidential aksidential x 1 Total grup C = jml (total elemen)

Peringkat bahaya kebakaran = Total grup A + grup B + grup C

Grup A : Faktor deteksi = 0,5 untuk Ya dan 1 untuk tidak

Grup A : Faktor sprinkler = 0,75 untuk Ya dan 1 untuk tidak

(3)

Grup B : Faktor sprinkler = 0,25 untuk Ya dan 1 untuk tidak

Faktor peringkat bahaya :

0 = nihil, 1 = rendah, 2 = sedang, 3 = tinggi dan 4 = sangat tinggi

METODOLOGI

Metode yang digunakan adalah deskriptif analisis dengan melakukan kajian lapangan terhadap beberapa jenis bangunan gedung berdasarkan fungsinya untuk dilakukan analisis tingkat resikonya terhadap bahaya kebakaran.

Untuk pencapaian hasil yang maksimum, akan dilakukan kegiatan yang meliputi :

 Studi pustaka terhadap peraturan, standar dan konsep-konsep serta contoh-contoh penerapan FSM bangunan gedung tinggi;

 Survei lapangan untuk mengkaji unsur-unsur signifikan dalam bangunan seperti data historis gedung, potensi bahaya, corak

penghunian/pemanfaatan gedung, kelengkapan prasarana dan sarana proteksi dalam gedung dan lingkungannya;

 Pemeringkatan bahaya kebakaran pada bangunan gedung yang disurvei dengan acuan ASTM E 931-94, berdasarkan jenis penggunaan bangunan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Telah dilakukan survei pada bangunan gedung yang melibatkan 64 responden terdiri dari : 27 bangunan hotel, 11 bangunan perkantoran, 12 bangunan rumah sakit dan 14 bangunan pusat belanja. Responden tersebar di kota-kota besar Indonesia.

Adapun tabulasi hasil pengukuran beban api pada bangunan gedung yang disurvei ditunjukkan pada tabel 1.

Tabel 1 Tabulasi Hasil Pengukuran Beban Api pada Bangunan Gedung

No. Fungsi Bangunan Jenis Ruangan Rentang Beban Api

(Kg/m2)

Rata-Rata Beban Api (Kg/m2) 1. Rumah Sakit

- Ruang Kerja/ Dokter 21,32 – 30,63 25,44 23,37

- Ruang Pertemuan/ Sidang 4,26 – 17,35 10,80

- Ruang Perawat 9,16 – 15,81 12,48 - Ruang VIP 20,77 – 23,27 22,02 - Ruang Kelas 1 26,65 – 33,77 30,21 - Ruang Kelas 2 22,60 – 31,87 29,61 - Ruang Kelas 3 28,94 – 37,19 33,06 2. Perkantoran - Ruang Kerja 9,40 – 57,80 25,29 31,12 - Ruang Sidang 7,24 – 42,28 24,75

- Ruang Pengolah Data 46,34 – 70,33 43,34

3. Perhotelan

- Kamar Tamu Standar 13,57 – 15,74 13,60 15,25

- Kamar Tamu Suite 12,68 – 13,68 14,94

- Ruang Sidang 14,46 – 19,28 15,38 - Restoran 13,70 – 33,13 19,93 - Ruang Lobby 11,27 – 13,27 12,42 4. Pusat Perbelanjaan - Ruang Fashion 40,87 – 85,40 56,18 36,76 - Ruang Toko 33,70 – 48,75 41,22 - Restoran 7,13 – 13,76 12,89

Sumber : Hasil Olahan Data Primer Puskim

Untuk pemeringkatan bahaya kebakaran pada

(4)

Kriteria Kelayakan Penerapan … (Agus Sarwono)

Tabel 2 Klasifikasi Jenis Penggunaan Bangunan Berdasarkan Peringkat Bahaya Kebakaran dari Hasil Kuesioner dan

Perhitungan

No. Kelompok Perkantoran Perhotelan Rumah Sakit Pusat

Perbelanjaan 1. Faktor Manusia

- Total elemen tidur 0x3=0 4x3=12 2x3=6 0x3=0

- Total elemen evakuasi 2x3=6 4x3=12 4x3=12 2x3=6

- Total elemen ketidakmampuan 1x3=3 3x3=9 4x3=12 2x3=6

- Total elemen kontrol penghuni 4x3=12 4x3=12 4x3=12 2x3=6

Total Elemen 21 45 42 18

Total Kelompok 1 21x0,5x1 = 10,5 45x0,5x0,75 = 16,87 42x0,5x1 =21 18x0,5x0,75 = 6,75 2. Faktor Kebakaran

- Total elemen beban api 3x2=6 4x2=8 3x2=6 4x2=8

- Total elemen waktu tanggap 1x1=1 3x1=3 1x1=1 1x1=1

- Total elemen terbakar penuh 3x2=6 2x2=4 2x2=4 4x2=8

- Total elemen kontrol api 2x1=2 1x1=1 2x1=2 1x1=1

Total Elemen 15 16 13 18

Total Kelompok 2 15x1 = 15 16x0,25 = 4 13x1 = 13 18x0,25 = 4,5

3. Faktor Penyalaan

- Total elemen kesengajaan 1x3=3 2x3=6 3x3=9 2x3=6

- Total elemen aksidental 1x1=1 1x1=1 1x1=1 1x1=1

Total Elemen 4 7 10 7

Total Kelompok 3 4 7 10 7

Sumber : Hasil Olahan Data Primer Puskim Peringkat Bahaya Kebakaran = Total kelompok 1 + Total kelompok 2 + Total kelompok 3

 Bangunan perkantoran = 10,5 + 15 + 4 = 29,5

 Bangunan perhotelan = 16,87 + 4 + 7 = 27,87

 Bangunan rumah sakit = 21 + 13 + 10 = 44

 Bangunan pusat perbelanjaan = 6,75 + 4,5 + 7 = 18,25

Berdasarkan data dan perhitungan yang diperoleh mengenai peringkat bahaya kebakaran yang terkait dengan tingkat ancaman bahaya terhadap keselamatan jiwa yang diakibatkan oleh kebakaran pada suatu jenis penggunaan bangunan perkantoran, hotel, rumah sakit dan pusat perbelanjaan adalah :

 Peringkat 1 adalah bangunan rumah sakit;

 Peringkat 2 adalah bangunan perkantoran;

 Peringkat 3 adalah bangunan perhotelan;

 Peringkat 4 adalah bangunan pusat perbelanjaan. Jadi terlihat bahwa bangunan pusat perbelanjaan dan perhotelan yang serius melengkapi peralatan proteksi kebakaran sebagai syarat beroperasinya penggunaan bangunan tersebut.

Selanjutnya disusun mengenai faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kriteria kelayakan penerapan FSM. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :

Faktor Manusia a. Aktivitas Tidur

- Pada penggunaan bangunan seperti rumah sakit, hotel yang mana para penghuni gedung tidur, maka bahaya terhadap keselamatan jiwa akibat kebakaran sangat tinggi. Derajat bahaya tergantung pada jumlah orang yang

waspada dan jarak dari tempat orang yang tidur dengan adanya FSM dan patroli pengamanan setiap jam sehingga dapat memiliki nilai peringkat rendah.

- Pada penggunaan bangunan perkantoran dan pusat perbelanjaan yang aktivitas tidur tidak ada pada umumnya, maka tidak ada ancaman bahaya kebakaran dari elemen ini sehingga dapat dipergunakan peringkat rendah.

b. Evakuasi

- Pada bangunan perkantoran, hotel dan pusat perbelanjaan yang memiliki tinggi bangunan lebih dari 23 meter/ 7 lantai atau mempunyai lantai yang rumit konfigurasinya (denah lantai yang kompleks) dan dapat menimbulkan kebingungan dan kesulitan dalam melakukan evakuasi, maka peringkat ancaman menjadi tinggi.

- Pada bangunan rumah sakit dimana para penghuni umumnya mempunyai keterbatasan atau gangguan kesehatan (pasien) yang tidak mampu secara fisik untuk melakukan evakuasi diri sendiri, maka peringkat ancaman menjadi tinggi.

c. Ketidakmampuan Fisik

- Pada bangunan perkantoran, hotel dan pusat perbelanjaan dimana para penghuni memiliki tingkat kemampuan fisik normal, maka ancaman bahaya kebakaran karena ketidak mampuan fisik rendah.

- Penggunaan obat-obatan di rumah sakit sehingga melemahkan syaraf penghuni, ancaman bahaya kebakaran yang disebabkan

(5)

oleh kelemahan tersebut diberi peringkat tinggi.

d. Kontrol dan Pelatihan Penghuni

- Program pelatihan dan latihan kebakaran yang cukup sering dilakukan cenderung mengurangi ancaman bahaya kebakaran terhadap keselamatan jiwa dari setiap penggunaan bangunan hunian dan menempatkannya pada peringkat rendah. - Pada penggunaan bangunan dimana tidak

pernah atau jarang dilakukan latihan evakuasi bila terjadi kebakaran, respon penghuni terhadap petunjuk arah keluar bermacam-macam, oleh karena itu diberi peringkat sedang.

Faktor Kebakaran a. Beban Api

Pada jenis penggunaan bangunan seperti perkantoran, hotel, rumah sakit dan pusat perbelanjaan furnishing memberikan beban api yang tinggi sehingga resiko menjadi besar dan oleh karena itu resiko harus tinggi.

b. Waktu Tanggap

- Pada bangunan dengan ketinggian 23 meter atau kurang dan pada jarak jangkauan 5 menit dari markas Dinas Kebakaran, maka waktu tanggap menjadi minimal dan peringkat bahaya rendah tetapi bila bangunan berjarak 20 menit dari lokasi stasiun kebakaran, maka bangunan mungkin mengalami terbakar keseluruhannya sebelum petugas pemadam kebakaran kota tiba, oleh karena itu bahaya kebakaran pada bangunan ini cukup tinggi. - Apabila bangunan tingginya diatas 23 meter,

bahaya kebakaran adalah tinggi oleh karena petugas pemadam kebakaran kesulitan dalam menjangkau ke lokasi kebakaran untuk pemadaman dan karena waktu evakuasi lebih lama.

c. Tingkat Penyebaran Api

- Penggunaan bangunan seperti perkantoran, hotel dan rumah sakit yang terdiri atas ruang-ruang individu atau kamar-kamar kecil yang memiliki dinding pembatas tahan api, atau pada bangunan dimana pintu dapat terkunci sendiri atau dapat dikunci maka api akan dibatasi pada suatu area kecil sebelum tibanya petugas pemadam kebakaran. Resiko terhadap bangunan dianggap sedang, oleh karenanya peringkat bahaya sedang.

- Pada bangunan yang mempunyai luas bukaan besar dimana api dapat menjalar bebas, maka bahaya terhadap bangunan adalah tinggi seperti bangunan pusat perbelanjaan.

d. Pengendalian Kebakaran

- Apabila penghuni/ karyawan telah memperoleh pelatihan dan tersedia peralatan

proteksi kebakaran untuk digunakan pada saat kondisi darurat, maka peringkat bahaya rendah tetapi apabila tingkat pelatihan berkurang dan tidak memadai peralatan proteksi kebakaran yang tersedia, maka bahaya dan peringkat bahaya akan bertambah.

- Dalam hal dimana tidak ada pelatihan atau peralatan proteksi kebakaran, maka ancaman bahaya tinggi dan peringkat bahaya tinggi. Faktor Penyalaan

a. Penyalaan yang Disengaja

Pada jenis penggunaan bangunan yang berada pada pusat kota, kemungkinan adanya tingkat kejadian dengan unsur kesengajaan yang lebih tinggi dan karena peringkat resiko kebakaran lebih tinggi.

b. Penyalaan Aksidental

Pada penggunaan bangunan seperti perkantoran, hotel, rumah sakit dan pusat perbelanjaan ancaman bahaya aksidental misal : rokok, peralatan memasak, alat pemanas dan peralatan listrik adalah relatif tinggi dan oleh karena itu diterapkan peringkat bahaya tinggi.

KESIMPULAN

Dari kajian yang telah dilakukan mengenai kriteria kelayakan penerapan FSM pada bangunan gedung di Indonesia, beberapa hal yang dapat disimpulkan adalah mengenai peringkat bahaya kebakaran yang terkait dengan tingkat ancaman bahaya terhadap keselamatan jiwa yang diakibatkan oleh kebakaran pada suatu jenis penggunaan bangunan gedung dan faktor yang mempengaruhi kriteria kelayakan penerapan FSM. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :

1. Peringkat bahaya kebakaran yang terkait dengan tingkat ancaman bahaya terhadap keselamatan jiwa yang diakibatkan oleh kebakaran pada suatu jenis penggunaan jenis bangunan perkantoran, hotel, rumah sakit dan pusat perbelanjaan yang didapat dari hasil kajian ini adalah :

- peringkat 1 adalah bangunan rumah sakit; - peringkat 2 adalah bangunan perkantoran; - peringkat 3 adalah bangunan perhotelan; - peringkat 4 adalah bangunan pusat

perbelanjaan.

Jadi terlihat bahwa bangunan pusat perbelanjaan dan perhotelan yang serius melengkapi peralatan proteksi kebakaran sebagai syarat beroperasinya penggunaan bangunan tersebut.

2. Dari hasil survei dan kajian faktor yang mempengaruhi peringkat bahaya yang

(6)

Kriteria Kelayakan Penerapan … (Agus Sarwono)

seharusnya diterapkan dalam kriteria kelayakan penerapan FSM antara lain :

a. Faktor Manusia : - aktivitas tidur - evakuasi - keterbatasan

- ketidakmampuan fisik

- kontrol dan pelatihan penghuni b. Faktor Kebakaran :

- beban api - waktu tanggap

- tingkat pertumbuhan api - pengendalian kebakaran c. Faktor Penyalaan :

- penyalaan yang disengaja - penyalaan aksidental

REKOMENDASI

Masih diperlukan persyaratan tambahan dalam Kepmeneg PU No.11/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan, Bab IV Manajemen Penanggulangan Kebakaran Bangunan Gedung, klausal 1.1 poin 1, mensyaratkan adanya manajemen keselamatan kebakaran pada suatu bangunan gedung :

“Setiap bangunan umum termasuk apartemen yang berpenghuni minimal 500 orang, atau yang memiliki luas lantai minimal 5000 m2, atau mempunyai ketinggian bangunan lebih dari 8 lantai, atau bangunan rumah sakit, diwajibkan

menerapkan Manajemen Penanggulangan

Kebakaran (MPK)”.

Rekomendasi persyaratan tambahan dari hasil kajian ini yang mensyaratkan adanya manajemen keselamatan kebakaran pada suatu bangunan gedung adalah :

1. Pada penggunaan bangunan umum yang ada aktivitas tidurnya;

2. Pada bangunan umum yang mempunyai lantai yang rumit konfigurasinya (denah lantai yang kompleks) dan dapat menimbulkan kebingungan serta kesulitan dalam melakukan evakuasi;

3. Pada bangunan umum dengan penggunaan furnishing memberikan beban api yang tinggi sehingga resiko menjadi besar;

4. Pada bangunan umum dengan jarak jangkauan > 15 menit dari lokasi stasiun kebakaran/ markas Dinas Kebakaran, maka waktu tanggap menjadi maksimal dan peringkat bahaya menjadi besar;

5. Pada bangunan yang mempunyai luas bukaan besar dimana api dapat menjalar bebas, maka bahaya terhadap bangunan adalah tinggi seperti bangunan pusat perbelanjaan;

6. Pada bangunan umum yang berada pada pusat kota, kemungkinan adanya tingkat kejadian dengan unsur kesengajaan yang lebih tinggi dan area peringkat resiko kebakaran lebih tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad H Effendi dan Suprapto, 1996. Penelitian Beban Api pada Bangunan Perkantoran di Indonesia. Laporan Akhir. Bandung : Pusat Litbang Permukiman.

Achmad H Effendi dan Suprapto, 1997. Penelitian Beban Api pada Bangunan Perhotelan di Indonesia. Laporan Akhir. Bandung : Pusat Litbang Permukiman.

ASTM. 1994. Standard Practice for Classification of Occpancies for Their Relative Fire Hazard. ASTM Fire Test : E 931 – 94.

Meacham, B.J. and Custer, R.L. 1995. Performance Based Fire Safety Engineering an Introduction of Basic Concept. Journal of Fire Protection Engineering : Vol 7, No. 2, page 35 – 54. Patterson, James. 1993. Simplified Design for

Building Fire Safety. John Wiley & Sons, Inc : page 3 – 11.

Pusat Litbang Permukiman. 2005. Kriteria Kelayakan Penerapan Manajemen Keselamatan Kebakaran (Fire Safety Management) pada Bangunan Gedung. Laporan Akhir, Bandung : Pusat Litbang Permukiman.

Republik Indonesia. 2000. Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum Nomor : 11/KPTS/2000, Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan. Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum. Republik Indonesia. 2002. Undang-undang Nomor :

28 Tahun 2002, tentang Bangunan Gedung. Republik Indonesia. 2008. Peraturan Menteri

Pekerjaan Umum Nomor : 26/PRT/M/2008, tentang Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan. Departemen Pekerjaan Umum. Suprapto dan Achmad H. Effendi. 1993. Evaluasi

Hasil Penelitian Kejadian Kebakaran pada Bangunan 1984 sampai 1993 di Indonesia. Laporan Akhir. Bandung : Pusat Litbang Permukiman.

(7)

LAMPIRAN

DAFTAR ISIAN KUESIONER KRITERIA KELAYAKAN PENERAPAN KESELAMATAN KEBAKARAN (FSM) PADA BANGUNAN

GEDUNG TINGGI A. UMUM Data Responden 1. Nama lengkap : 2. Usia : 3. Jabatan : 4. Alamat kantor : Identifikasi Bangunan 1. Nama gedung : 2. Alamat : 3. Telepon/Fax. :

4. Jumlah penghuni gedung :

5. Fungsi gedung : 6. Tahun dibangun : 7. Tahun dioperasikan : 8. Luas persil :

9. Luas gedung/ lantai dasar :

10. Jumlah ruangan :

11. Jumlah lantai :

12. Luas lantai tipikal :

13. Luas lantai total :

14. Jumlah lantai basement :

15. Tinggi gedung :

16. Jumlah blok bangunan :

17. Luas area terbuka (open space) :

B. AKSESIBILITAS DENGAN DISKAR

1. Jarak pos pemadam kebakaran terdekat < 7,5 Kilometer

> 7,5 Kilometer

C. SISTEM PROTEKSI TOTAL Kelengkapan sistem proteksi kebakaran

1. Sistem Proteksi aktif yang terpasang : Alat deteksi dan alarm kebakaran

Sprinkler otomatis

Hidran dalam Hidran luar/halaman

Pemadam api ringan (APAR), jenis :

Fire damper

Sistem pengendalian asap (smoke control)

Lainnya, sebutkan :

2. Sistem proteksi pasif yang terpasang : Tangga kebakaran

Pintu kebakaran Tangga darurat

Penerapan sistem kompartemenisasi Penerapan struktur bangunan tahan api Penerapan pemilihan bahan bangunan Pemasangan fire stopping

Lainnya, sebutkan :

3. Sistem proteksi khusus ruang gas/ yang mudah terbakar Ya, sebutkan :

Tidak

4. Sarana jalan keluar :

Tangga kebakaran dalam ruang tertutup dan tahan api Tangga diberi bertekanan (pressurerized)

Memiliki tangga darurat

Lampu-lampu tanda petunjuk arah tersedia Memiliki alat bantu evakuasi, jenis : Tersedia lift kebakaran

Lainnya, sebutkan :

5. Lingkungan luar bangunan/ site planning : Kemudahan jalan masuk bagi Dinas Pemadam Kebakaran

Terdapat hidran halaman dengan siamesse

connection

Areal parkir cukup luas untuk manuver kendaraan pemadam

Tersedia sumur

Tersedia kolam air/kolam renang/reservoir Tidak terdapat portal ataupun polisi tidur Lainnya, sebutkan :

D. FIRE SAFETY MANAGEMENT (FSM)

1. Apakah memiliki FSM? Ya

Tidak

Ada rencana, belum terealisasi Lainnya, sebutkan :

2. Apakah lingkup tugas/kerja FSM? Melaksanakan inspection & maintenance Mengkoordinasikan tim pengamanan Memberikan pelatihan pengamanan Melaksanakan fire drill

Melakukan fire safety audit

Fire damper

Mengawasi pekerjaan khusus, misalnya penjelasan-penjelasan

Lainnya, sebutkan :

3. Apakah memiliki standard operating procedure (SOP) untuk pengendalian keadaan darurat?

(8)

Kriteria Kelayakan Penerapan … (Agus Sarwono)

Tidak

Ada rencana, belum terealisasi Lainnya, sebutkan :

4. Apakah memiliki standard operating procedure (SOP) untuk pemeriksaan dan pemeliharaan?

Ya Tidak

Ada rencana, belum terealisasi Lainnya, sebutkan :

5. Adakah kendala dalam melaksanakan FSM? ……… 6. Apakah tersedia biaya/dana untuk pelaksanaan FSM?

Ya Tidak

Lainnya, sebutkan :

7. Berapakah besarnya biaya/dana pertahun untuk kegiatan-kegiatan tersebut?

……… 8. Biaya/dana tersebut digunakan untuk :

Pemeriksaan dan pemeliharaan Peralatan

Audit keseluruhan Pelatihan

Lainnya, sebutkan :

9. Pengaruh FSM terhadap premi asuransi : Ya, sebutkan :

Tidak

10. Sebutkan keuntungan yang didapat setelah menerapkan FSM : ……… ………

E. POTENSI BAHAYA KEBAKARAN

1. Fungsi ruang sebagai tempat tidur? Ya

Tidak

2. Kewaspadaan terhadap ancaman bahaya kebakaran disuatu bangunan :

Selalu diawasi penjaga 24 jam, jumlah (per shift) :

Hanya diawasi penjaga pada waktu tertentu, Jumlah (per shift) :

Tidak diawasi penjaga

3. Berapakah jumlah penghuni dalam satu ruangan?

< 5 orang 5 – 10 orang 10 – 15 orang > 15 orang

4. Usia penghuni dalam masing-masing ruangan? < 15 tahun

15 – 30 tahun 30 – 45 tahun > 45 tahun

5. Tingkat kemampuan tubuh/fisik penghuni ruangan : Normal

Cacat tubuh, sebutkan :

Kelemahan fisik/berpenyakit, sebutkan :

6. Aksesibilitas penghuni ruangan terhadap lingkungan luar : Pintu, jumlah dan ukuran :

Jendela, jumlah dan ukuran : Bukaan lain, sebutkan : 7. Bentuk konstruksi bangunan :

Bangunan bersekat/dibatasi dinding Atrium

8. Ketersediaan organisasi BALAKAR di lingkungan bangunan sekitar?

Ya Tidak

9. Masyarakat di lingkungan sekitar cenderung dapat memacu (rawan) terhadap potensi bahaya kebakaran, sebutkan : ………

10. Kegiatan yang terjadi didalam bangunan yang dapat menimbulkan potensi penyalaan :

Merokok

Memasak (dengan kompor)

Penggunaan peralatan listrik, sebutkan : Lainnya, sebutkan :

……….., ………..20….. Pejabat yang berwenang,

(9)

STUDI KENYAMANAN TERMAL ADAPTIF RUMAH TINGGAL

DI KOTA MALANG

Studi Kasus : Perumahan Sawojajar 1- Kota Malang

Muhammad Nurfajri Alfata

Pusat Litbang Permukiman

Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan - Kabupaten Bandung 40393 E-mail : ariel.alfata@puskim.pu.go.id

Diterima : 25 Februari 2011; Disetujui : 30 Maret 2011 Abstrak

Model kenyamanan termal statis kurang dapat menggambarkan kondisi kenyamanan termal yang sebenarnya. Studi ini merupakan penelitian awal untuk mengkaji kenyamanan termal adaptif penghuni bangunan pada kondisi sebenarnya di Indonesia. Hunian yang dikaji berupa hunian rumah tinggal di Perumahan Sawojajar 1, Kota Malang. Penelitian lapangan dilakukan berdasarkan tingkat II ASHRAE, dimana semua variabel fisik lingkungan yang dibutuhkan untuk menghitung indeks kenyamanan termal dikumpulkan dalam waktu dan tempat yang saat kuesioner kenyamanan diberikan. Analisis data menggunakan pendekatan statistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persamaan suhu netral terhadap suhu operatif adalah y=0,606.Top-16,843 dengan suhu netral 27,8oC dan suhu preferensi 25 oC. Responden merasakan kondisi iklim mikro sebagai kenetralan termal dan menginginkan kondisi iklim lokal sebagai suhu preferensi. Analisis keterterimaan termal menunjukkan bahwa seluruh responden dapat menerima, pada rentang suhu operatif 25 - 29oC, dan hanya 25% responden yang tidak dapat menerima suhu operatif 29 - 31oC. Pola adaptasi yang dilakukan antara lain melalui pemakaian pakaian dengan clo rendah dan menggunakan kipas angin untuk mendinginkan ruangan.

Kata kunci : Kenyamanan termal adaptif, keterterimaan termal, Kota Malang, suhu netral, suhu preferensi

Abstract

The static thermal comfort model itself cannot describe the real thermal comfort condition. This research is The static thermal comfort model does not represent the real thermal comfort. This research is a preliminary study to examine the real situation of the adaptive thermal comfort of the residents’ houses in Indonesia. This research has been conducted in the residents’ houses of the housing complex of Sawojajar 1, the city of Malang. A field study was done based on a second degree ASHRAE, in which all the variables of the physical environments to calculate the indices of the thermal comfort were collected during the time the questionnaires were distributed. The data were analyzed by using statistics. The result showed that the equation of the neutral temperature towards the operative temperature is y=0,606.T with a neutral temperature of 27,8°C and preferred temperature of 25,1°C. Respondents felt the micro climate as thermal neutrality and would like the local climate to be the preferred temperature. The analysis of thermal acceptability demonstrated that all respondents could accept at a span of the operative temperature of 25-29°C. Only 25% of the respondents could not accept the operative temperature of 29-31°C. The adaptation pattern that was employed was among others, wearing clothes with a lower clo and using fans to cool down the rooms.

Keywords : Adaptive thermal comfort, thermal acceptability, city of Malang, neutral temperature, preferred temperature

PENDAHULUAN

Akhir-akhir ini kenyamanan termal adaptif semakin banyak dibicarakan terkait dengan permasalahan yang timbul akibat pemakaian energi yang berlebihan untuk kenyamanan termal bangunan yang didasarkan pada model kenyamanan statik. Model kenyamanan termal adaptif didefinisikan sebagai preferensi termal yang merupakan hasil respon fisiologis pada

parameter indoor dan keinginan yang didasarkan pada determinan-determinan climato-cultural seperti pengalaman di masa lalu (Auliciems dalam Darmawan, 1999). Sementara itu, de Dear, Brager dan Cooper (1997) menyatakan tiga bentuk adaptasi dalam proses adaptif ini adalah penyesuaian perilaku (termasuk penyesuaian pakaian yang dikenakan), adaptasi fisiologis (atau aklimatisasi) dan reaksi psikologis (atau keinginan/harapan).

(10)

Studi Kenyamanan Termal… (Muhammad Nurfajri Alfata)

Pendekatan adaptif dalam kenyamanan termal didasarkan pada survei lapangan kenyamanan termal, yang difokuskan pada pengumpulan data termal dan pada saat bersamaan mengukur juga respon termal responden pada situasi nyata, dengan intervensi peneliti yang minimum (Nicol dan Humphreys, 2002). Dalam beberapa tahun terakhir, model kenyamanan termal adaptif digunakan untuk menentukan suhu netral sebagai fungsi suhu indoor, suhu outdoor dan suhu keduanya (Orosa dan Garcia-Bustelo, 2009) Beberapa penelitian terhadap kenyamanan adaptif telah dilakukan di Indonesia. Misalnya, Sujatmiko (2007) telah melakukan pengukuran kenyamanan termal adaptif rumah tinggal berventilasi alami dengan melibatkan sekitar 689 responden di Bandung, Bekasi, Surabaya, dan Semarang. Penelitian ini menghasilkan model persamaan kenyamanan termal adaptif berada dalam kisaran 80% zona kenyamanan adaptif ASHRAE-55 (American Society of Heating, Refrigerating and Air Conditioning Engineers). Sementara itu, penelitian Karyono, et al, (2006) terhadap kenyamanan termal di Bandung menyebutkan bahwa suhu netral berada dalam rentang zona nyaman terhadap beberapa parameter termal (suhu udara luar, suhu globe, suhu operatif, dan SET). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa suhu netral di Bandung lebih rendah daripada di Jakarta. Hasil penelitian Karyono, et al., (2006) tersebut berbeda dengan hasil penelitian Sujatmiko (2007) pada kota yang sama. Perbedaan ini ditengarai penelitian Karyono et al., (2006) dilakukan terhadap sekelompok mahasiswa di dalam sebuah ruangan yang diperlakukan sebagai ruang termal (thermal chamber), sementara penelitian Sujatmiko (2007) dilakukan berdasarkan metode penelitian tingkat II dari ASHRAE.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa suhu kenyamanan setiap orang bervariasi, bergantung pada musim dan iklim. Iklim dan musim di Indonesia bervariasi. Antara satu daerah ke daerah lain memiliki karakteristik yang unik dan khusus yang membuatnya berbeda dari yang lain, termasuk dalam budaya, gaya hidup, dan kemampuan beradaptasi. Karena itu, diperlukan penelitian kenyamanan termal di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk Kota Malang.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kenyamanan termal adaptif hunian di Indonesia, yaitu mengkaji kenyamanan termal penghuni bangunan pada kondisi nyata sebagaimana adanya, bukan kajian kenyamanan termal statik, di mana penghuni dikaji di ruang iklim buatan. Hunian yang dikaji berupa hunian tempat tinggal. Penelitian ini mengambil Perumahan Sawojajar 1 - Kota Malang sebagai studi kasus.

METODE PENELITIAN

Penelitian di Kota Malang dilakukan selama satu minggu di Perumahan Sawojajar 1, Kelurahan Madyopuro, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang.

Pemilihan lokasi tersebut karena beberapa pertimbangan, yaitu :

a. Merupakan kompleks perumahan formal yang paling luas di Kota Malang.

b. Terdiri atas tipologi rumah dengan tingkat keberagaman yang besar, baik dari aspek luas bangunan maupun bentuk.

Penelitian lapangan dilakukan berdasarkan tingkat II (de Dear dalam Moujalled, etal., 2005), dimana semua variabel fisik lingkungan dalam ruangan yang dibutuhkan untuk menghitung indeks kenyamanan termal dikumpulkan dalam waktu dan tempat yang sama saat kuesioner kenyamanan diberikan. Penelitian dilakukan saat musim kemarau (September 2010).

Berikut ini adalah deskripsi dari bangunan yang digunakan dalam penelitian ini, profil peserta, pengukuran fisik, kuesioner dan prosedur pengumpulan data.

Bangunan

Enambelas rumah dengan ventilasi alami dipilih di Perumahan Sawojajar 1. Tipologi rumah yang dijadikan sampel pengukuran adalah perumahan formal, yang terdiri dari beberapa tipe, yaitu tipe 27 m2, 36 m2, dan 54 m2. Bangunan pada umumnya standar, dengan selubung bangunan berupa dinding plesteran bata, atap genteng tanah liat, jendela kaca dengan bukaan di bagian depan, pintu di bagian depan dan belakang, serta langit-langit yang umumnya terdiri dari gypsum atau triplek/multiplek. Contoh denah rumah yang disurvei dapat dilihat pada gambar 1.

(11)

Gambar 1 Denah Rumah Responden Tipe 36 M2 yang Diukur

Responden

Duapuluh dua responden berpartisipasi dalam studi di Kota Malang, yang terdiri dari 11 laki-laki (50%) dan 11 perempuan (50%). Usia antara 15-56 tahun dan rata-rata 44. Sebagian besar responden di Kota Malang memiliki tingkat pendidikan SMA - D3 (55%), disusul SMP (27%), D4-S1 (18%). Dari duapuluh dua responden, dilakukan pengulangan pertanyaan terhadap beberapa responden, sehingga diperoleh duapuluh sembilan kuesioner respon termal.

Pengukuran Lingkungan Fisik

Variabel lingkungan fisik mencakup kondisi iklim indoor dan outdoor. Keduanya terdiri dari suhu udara kering (TDB), suhu globe (Tglobe), kelembaban relatif (RH), kecepatan udara (va). Instrumen yang digunakan dalam mengukur variabel fisik adalah Ques Temp 32 oleh Quest Teknologi AS untuk mengukur Tdb, Tglobe, dan RH. Alat ini digunakan untuk mengukur kondisi dalam ruangan dan luar ruangan, Anemometer Kanomax A031 digunakan untuk mengukur kecepatan udara, Lux-meter digunakan untuk mengukur pencahayaan cahaya di dalam bangunan, Data-logger MEMORY HiLOGGER 8422-51 dari HIOKI, digunakan untuk merekam dan mengukur suhu ruangan dari selubung bangunan selama 24 jam. Sensor yang digunakan adalah termokopel tipe T. Kuesioner

Kuesioner ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama meminta responden untuk mengevaluasi lingkungan termal mereka pada saat pengukuran sesuai dengan standar. Yang pertama terdiri dari skala kesan termal, penerimaan termal, dan preferensi termal. Skala kesan termal terdiri dari tujuh skala, yaitu -3 (Dingin), -2 (Sejuk), -1 (Agak sejuk), 0 (Netral), 1 (Agak hangat), 2 (Hangat), dan

3 (Panas). Sementara skala preferensi termal adalah 1 (Lebih sejuk), 2 (Tetap), dan 3 (Lebih hangat). Yang kedua adalah daftar pemeriksaan jenis pakaian yang digunakan dan aktivitas yang dilakukan. Pakaian yang digunakan diukur dalam satuan clo (1 clo = 0,155 m2.K/W ), sedangkan aktivitas yang dilakukan diukur dalam satuan met (1 met= 58 W/m2). Daftar aktivitas memuat pertanyaan tentang kegiatan fisik, makanan dan minuman (panas atau dingin) dan merokok selama sejam sebelum survei. Bagian terakhir adalah daftar kontrol lingkungan termal yang berbeda, seperti penyejuk udara, pintu, jendela, kipas angin lokal, dan naungan/shading.

Prosedur Analisis Data

Pendekatan statistik digunakan untuk analisis data lapangan. Analisis terdiri dari dua bagian, pertama adalah berkaitan dengan analisis termal yang dirasakan dan yang kedua berhubungan dengan perilaku adaptasi dari responden. Analisis kesan termal terdiri analisis deskriptif, regresi, dan penerimaan termal.

Analisis deskriptif dilakukan dengan cara membandingkan metode untuk variabel termal (yaitu Top), kondisi termal rata-rata yang dirasakan, dan indeks kenyamanan termal (ET, * SET, TSENS, DISC, PMV, dan PPD). Top sebagai variabel termal karena kenyamanan termal adaptif merupakan fungsi suhu operatif dan suhu outdoor bulanan rata-rata.

Analisis netralitas termal dilakukan dengan analisis regresi pada kuesioner bagian kesan termal. Analisis regresi dilakukan pada besaran termal dan indeks kenyamanan termal yang diperoleh dari pengukuran dan perhitungan. Analisis penerimaan termal dilakukan pada hasil jawaban kuesioner. Analisis penerimaan dilakukan

Kamar Tidur Kamar Tidur Dapur Kam ar M a n d i / WC R u a n g T amu L o ro n g U n tu k B arang 2.500 1.500 6.000 4.500 3.000 2.000 3.000 2.500 2.500 7.500 10.000 Me ja R ia s Tempat Jemur Gudang Dapur Dapur Kam ar Man di / W C Ru ang T am u Kamar Tidur Kamar Tidur Tempat Jemur 3.0 00 1.5 00 4.0 00 3.000 3.000 3.0 00 3.0 00 2.5 00 4.000 3.000

(12)

Studi Kenyamanan Termal… (Muhammad Nurfajri Alfata)

dengan memetakan rata-rata persentase jawaban responden pada suhu operasi tertentu.

Analisis preferensi termal dilakukan dengan menganalisis pertanyaan bagian preferensi. Dengan menempatkan nomor jawaban 2 sebagai jawaban untuk nomor 1 dan 3, maka diperoleh respon biner, nomor 1 untuk keinginan menjadi lebih dingin dan 3 untuk menjadi lebih hangat. Regresi biner digunakan untuk menganalisis respon biner tersebut, dengan pertanyaan bagian preferensi sebagai variabel dependent dan nilai variabel termal, yaitu suhu operasi Top sebagai covariate, untuk mendapatkan nilai kemiringan b dan konstanta a dari persamaan regresi menggunakan persamaan (Darlington dalam Sujatmiko, 2007) :

Logit (PS) = a + b.Top (1) dengan,

Top = [Logit (PS) - a]/b (2) dengan :

Logit (PS) = ln (PS/1-PS) (3)

HASIL DAN ANALISIS

Secara astronomis, Kota Malang terletak pada koordinat 112,06° - 112,07° Bujur Timur dan 7,06° - 8,02° Lintang Selatan. Kota Malang memiliki luas 110.06 km², dan terletak pada ketinggian antara 440 - 667 meter di atas permukaan air laut. Kondisi iklim Kota Malang selama tahun 2008 tercatat rata-rata suhu udara berkisar antara 23°C - 25°C, dengan suhu maksimum mencapai 32,7°C dan suhu

minimum 18,4°C. Kelembaban udara berkisar 79% - 86%, dengan kelembaban udara maksimum 99% dan minimum mencapai 40% (BPS, 2008). Pengukuran terhadap besaran termal hunian disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Besaran Termal Hunian di Perumahan Sawojajar

1 - Kota Malang

No Uraian Satuan Min Max Rata-rata SD

1 vaoutdoor m/s 0,0 0,6 0,10 0,17 2 Tdboutdoor oC 24,8 30,5 28,34 1,36 3 RH outdoor % 68,0 85,0 78,03 4,17 4 vaindoor m/s 0,0 0,4 0,01 0,07 5 Tdbindoor oC 24,9 30,1 27,69 1,32 6 Tglobeindoor oC 26,2 35,9 28,56 2,04 7 RH indoor % 72,0 96,0 81,97 5,79 8 Pakaian clo 0,24 0,63 0,33 0,10

Suhu rata-rata luar ruangan menunjukkan kecenderungan lebih tinggi daripada data iklim tahunan rata-rata, yaitu sekitar 28,3oC terhadap 25oC. Dengan demikian, iklim mikro (micro-climate) sekitar perumahan menunjukkan kecenderungan lebih tinggi daripada iklim lokal (topo-climate) Kota Malang. Tabel 1 menunjukkan bahwa suhu dalam ruangan rata-rata lebih rendah daripada suhu luar ruangan, meskipun perbedaan tersebut kecil. Sementara itu, kelembaban udara di dalam rumah memiliki kecenderungan lebih tinggi daripada di luar rumah. Profil suhu udara dalam dan luar ruangan hasil pengukuran selama duapuluh empat jam pada salah satu rumah tinggal ditunjukkan oleh Gambar 2.

(13)

Tabel 3 Indeks Kenyamanan Termal Hunian Rumah Tinggal di Kota Malang No Uraian Satuan Min Max Rata-rata SD

1 Top o C 25,55 32,7 28,12 1,45 2 ET oC 26,10 34,1 29,04 1,80 3 SET oC 24,60 31,6 27,48 1,76 4 TSENS - -1,00 1,5 -0,15 0,68 5 DISC - -1,00 2,1 -0,01 0,89 6 PMV - -0,17 2,7 1,14 0,70 7 PPD % 5,00 97,0 37,00 27,23

Indeks kenyamanan termal sebagaimana disebutkan dalam Tabel 3 menunjukkan kenyamanan termal statis. Indeks di atas menyatakan bahwa hunian rata-rata berada pada zona nyaman/netral (TSENS -0,15, DISC -0,01) dengan rentang sensasi termal antara agak sejuk hingga antara agak hangat ke hangat. Sementara itu, nilai rata-rata PMV - PPD menunjukkan bahwa

rumah/unit hunian berada dalam rentang nyaman menurut standar ASHRAE, dengan kondisi agak hangat dengan tingkat ketidakpuasan yang rendah. Hasil ini berbeda bila dibandingkan hasil dengan pendekatan kenyamanan termal adaptif.

Kesan termal penghuni berdasarkan data survei (kuesioner) dan kenyamanan termal statis ditunjukkan dalam Tabel 4.

Tabel 4 Perbandingan Sensasi Termal Hasil Kuesioner dan Indeks Kenyamanan Termal Statis (dalam %) No Sensasi/kesan termal PMV TSENS DISC Adaptif

1 Sangat Panas - 0 - -

2 Panas/Sangat tidak nyaman 6,90 0 0 20,69

3 Hangat/Tidak nyaman 20,69 0 6,90 3,45

4 Agak Hangat/Agak tidak nyaman 58,62 13,79 17,24 13,79

5 Netral/Nyaman 13,79 37,93 27,59 27,59

6 Agak sejuk/ Agak tidak nyaman - 48,28 48,28 10,34

7 Sejuk/ Tidak nyaman - 0 0 17,24

8 Dingin/ Sangat tidak nyaman - 0 0 6,90

9 Sangat dingin - 0 - -

Tabel 4 menunjukkan adanya kecenderungan yang berbeda antara indeks kenyamanan termal statis dan hasil kuesioner. Perbedaan tersebut mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dari kedua pendekatan, baik pendekatan statis (PMV-PPD) maupun adaptif (lihat Gambar 3). Pada umumnya, sensasi termal agak sejuk hingga dingin, sebagian besar dirasakan pada sore hari (di atas jam 15.00), dan sensasi agak hangat hingga

panas sebagian besar terjadi pada siang hari (jam 09.00 - 15.00). Hasil ini lebih konsisten terhadap kenyataan bila dibandingkan pendekatan statis. Terhadap sensasi termal tersebut, 96,55% responden menyatakan dapat menerima kondisi-kondisi termal di atas, sisanya tidak dapat menerima. Umumnya, responden tidak dapat menerima kondisi termal yang sangat panas.

(14)

Studi Kenyamanan Termal… (Muhammad Nurfajri Alfata)

Persamaan-persamaan netralitas terhadap indeks kenyamanan termal diberikan oleh Tabel 5.

Tabel 5 Suhu Netral terhadap Beberapa Indeks

Kenyamanan Termal No Variabel termal Persamaan Tn R 2 Sig. 1 Tdb y=0,943.Tdb-25,918 27,48 0,646 0,000 2 Top y=0,606Top-16,843 27,79 0,455 0,013 3 ET y=0,512ET-14,671 28,65 0,477 0,009 4 SET y=0,336SET-9,048 26,93 0,306 0,106 5 TSENS y=0,684TSENS+0,293 -0,43 0,241 0,207 6 DISC y=0,421.DISC+0,195 -0,46 0,193 0,315 7 PMV y=0,960.PMV-0,905 0,94 0,350 0,063 8 PPD y=0,026.PPD-0,754 29 0,360 0,055

Tabel 5 menunjukkan bahwa persamaan netralitas terhadap tiga besaran termal pertama (Tdb, Top, dan ET) memiliki nilai koefisien determinasi (R2) yang cukup tinggi dengan tingkat validitas tinggi (Sig.≤0,05), sehingga besaran termal yang digunakan sebagai prediktor tersebut (yaitu Tdb, Top, dan ET) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kenetralan termal. Dengan memasukkan nilai y=0, yaitu ketika kondisi udara netral (0), maka kenetralan termal responden terhadap suhu ruangan dalam (Tdb) adalah 27,5oC, terhadap suhu operatif (Top) adalah 27,8oC, serta terhadap suhu efektif (ET) adalah sekitar 28,65oC. Nilai kenetralan termal tersebut tidak berbeda jauh

dengan suhu rata-rata dalam ruangan (27,7oC) maupun luar ruangan (28,3oC). Sehingga, penghuni rumah di perumahan Sawojajar 1 merasakan kenetralan termal pada suhu udara sekitar (baik dalam maupun luar ruangan). Suhu netral tersebut sama dengan suhu rata-rata dalam iklim mikro (micro-climate) perumahan Sawojajar 1 - Kota Malang, sehingga suhu udara sekitar dirasakan netral oleh para penghuni rumah

Analisis biner terhadap kuesioner preferensi menghasilkan persamaan linear y=-0,256.Top+6,432. Dengan menggunakan Persamaan Darlington, diperoleh preferensi termal penghuni terhadap suhu operatif (Top) adalah sebesar 25,13oC. Dengan demikian, penghuni cenderung untuk memilih suhu tersebut sebagai suhu yang sangat diinginkan untuk tinggal dalam rumah. Suhu preferensi lebih rendah daripada kenetralan termal. Suhu preferensi tersebut sama dengan suhu rata-rata dalam iklim lokal (topo-climate) Kota Malang, sehingga penghuni rumah cenderung menginginkan suhu udara di sekitar mereka sama dengan kondisi iklim lokal rata-rata Kota Malang. Keterterimaan termal penghuni terhadap kondisi termal di Perumahan Sawojajar 1, Kota Malang, ditunjukkan dalam Gambar 4.

Gambar 4 Keberterimaan Termal Adaptif Hunian Di Perumahan Sawojajar 1 Sebagian besar responden (n=16) berada pada

rentang suhu operatif 27 - 29oC. Gambar 4 menunjukkan bahwa pada rentang suhu operatif 25 - 29oC, seluruh responden dapat menerima kondisi termal yang ada. Demikian juga pada rentang suhu Top yang tinggi (31 - 33oC). Tetapi, pada rentang suhu operatif yang lebih rendah (29 - 31oC) terdapat 25% responden yang tidak dapat

menerima kondisi termal yang ada. Hal ini disebabkan jumlah responden pada rentang suhu operatif 31 - 33oC hanya satu orang, sedangkan pada rentang suhu operatif 29 - 31oC berjumlah empat orang. Maka, untuk mendapatkan gambaran yang utuh tentang keberterimaan termal pada rentang suhu operatif yang ada, dibutuhkan jumlah responden yang signifikan.

(15)

Bila dibandingkan dengan kenyamanan termal statis (model PMV - PPD), suhu operatif yang tinggi (di atas 28oC) masih berada pada rentang zona nyaman dan di dalam batas keterterimaan termal 80%. Tetapi pada suhu operatif (Top) di atas 30oC, kondisi berada di atas rentang zona nyaman 80% (Gambar 5). Pada suhu operatif tersebut, kondisi sudah dirasa tidak nyaman dan tidak dapat diterima. Hal ini menunjukkan adanya kesesuaian dengan hasil pengolahan data kuesioner.

Penghuni menyesuaikan diri terhadap kondisi termal di sekitarnya dengan menggunakan pakaian

yang memiliki nilai clo rendah. Rata-rata pakaian yang digunakan memiliki nilai 0,33clo, berupa pakaian sehari-hari yang terdiri atas kaos lengan pendek, tipis, bahan kain katun yang mampu menyerap panas, dengan celana pendek (atau celana 3/4) dengan bahan kain (katun/jeans). Selain melalui mekanisme tersebut, pada umumnya penghuni rumah menggunakan kipas angin untuk mendinginkan ruangan (sekitar 77,3%).

Gambar 5 Keterterimaan Termal Adaptif Menurut ASHRAE 55 - 2004

PEMBAHASAN

Bila dibandingkan dengan penelitian Sujatmiko (2007) di Kota Bandung dengan suhu bulanan rata-rata 23 - 24oC, kenetralan termal terhadap suhu operatif Kota Malang (studi kasus : Perumahan Sawojajar 1) hampir sama dengan Kota Bandung, meskipun lebih rendah 0,5oC (27,8oC berbanding 28,3oC). Demikian juga dengan preferensi termal, antara Kota Malang dan Kota Bandung tidak terdapat perbedaan yang signifikan (25,1oC berbanding 25,7oC). Dengan demikian, selisih semantik responden antara kedua kota tersebut juga tidak jauh berbeda, yaitu 2,7oC untuk Kota Malang dan 2,6oC untuk Kota Bandung. Bila dibandingkan dengan penelitian Karyono, et al., (2006) dan Karyono (2008), hasilnya berbeda secara signifikan. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa kenetralan termal di Kota Bandung dicapai saat suhu 25,4oC.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini sama dengan metode yang digunakan dalam penelitian Sujatmiko (2007), dan berbeda dengan metode yang digunakan dalam penelitian Karyono, et al., (2006) dan Karyono (2008). Terlihat bahwa metode yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan hasil yang konsisten untuk lokasi

penelitian yang berbeda tetapi memiliki kondisi iklim dan geografis yang sama, dalam konteks ini adalah Kota Malang dan Kota Bandung.

Penelitian ini juga menunjukkan hasil yang berbeda dengan kesimpulan dalam penelitian Karyono (2008) ketika membandingkan antara kenyamanan termal adaptif di Kota Jakarta dan Kota Bandung. Karyono (2008) menyatakan bahwa sebagai fungsi suhu udara luar rata-rata, suhu netral pada daerah dengan suhu udara luar rata-rata lebih rendah akan memiliki suhu netral yang lebih rendah pula. Dalam penelitian ini, suhu udara luar rata-rata Kota Malang yang lebih tinggi daripada Kota Bandung memiliki suhu netral yang sedikit lebih rendah. Deviasi hasil penelitian ini diduga karena terbatasnya data yang diperoleh dalam penelitian ini. Dugaan lain adalah karena pengaruh budaya (Jawa) dalam pengisian kuesioner survei. Sebagaimana diungkapkan oleh Darmawan (1999), salah satu isu dalam kenyamanan termal adaptif adalah isu tentang pengaruh sosial budaya terhadap tingkat kenyamanan termal. Studi lapangan menunjukkan kecenderungan responden untuk memilih jawaban “cukup” atas beberapa pertanyaan kuesioner tentang kesan termal, keterterimaan termal, 1,0clo

(16)

Studi Kenyamanan Termal… (Muhammad Nurfajri Alfata)

maupun preferensi termal, meskipun pengukuran besaran termal menunjukkan nilai yang relatif tinggi.

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah jumlah responden dan kuesioner yang kurang memadai. Penelitian ini hanya melibatkan 22 responden dengan 29 kuesioner kesan termal, sehingga hasil yang diperoleh kurang dapat digeneralisasi untuk rumah tinggal di Kota Malang secara umum, terutama berkaitan dengan keterterimaan termal. Keterbatasan ini dikarenakan pengukuran dilakukan saat hari kerja (weekday), sehingga sulit menemukan responden yang ada di rumah. Bila dibandingkan dengan penelitian Sujatmiko (2007), Sujatmiko (2007) melakukan penelitian di Kota Bandung dengan melibatkan 40 responden di rumah tinggal, yaitu 20 rumah di Perumnas Antapani dan 20 rumah di Kompleks PU Turangga dan 11 responden staf kantor Puslitbang Permukiman yang diukur berulang, baik saat di rumah maupun di kantor. Pengukuran dilakukan antara bulan Juli - Oktober 2010, yaitu saat Kota Bandung memasuki musim kemarau. Sehingga, untuk mendapatkan gambaran secara utuh tentang kenyamanan termal adaptif di Kota Malang, penelitian ini perlu disempurnakan dengan melibatkan jumlah responden yang lebih besar dan memperbanyak pengulangan pengukuran pada responden yang sama tetapi pada kondisi termal yang berbeda.

SIMPULAN DAN SARAN

Kenetralan termal yang dirasakan oleh penghuni rumah di Kota Malang adalah sekitar 27,8oC. Besarnya suhu netral tersebut sama dengan suhu bulanan rata-rata iklim mikro (micro-climate) sekitar rumah/hunian. Sementara itu, preferensi termal penghuni terhadap suhu operatif (Top) adalah sebesar 25oC. Besarnya suhu preferensi sama dengan suhu bulanan rata-rata iklim lokal (topo-climate) Kota Malang.

Analisis keterterimaan termal menunjukkan bahwa pada rentang suhu operatif 25 - 29oC, seluruh responden menyatakan dapat menerima kondisi termal tersebut. Sementara itu, pada rentang suhu operatif 29 - 31oC, 25% responden tidak dapat menerima, sisanya masih dapat menerima.

Bila dibandingkan dengan kenyamanan termal statis (model PMV - PPD), suhu operatif yang tinggi (di atas 28oC) masih berada pada rentang zona nyaman dan di dalam batas keterterimaan termal 80%. Tetapi pada suhu operatif (Top) di atas 30oC, kondisi berada di luar rentang zona nyaman 80%. Pada suhu operatif tersebut, kondisi sudah dirasa tidak nyaman dan tidak dapat diterima.

Beberapa adaptasi yang dilakukan penghuni terhadap kondisi termal adalah dengan menggunakan pakaian yang memiliki nilai clo rendah. Semakin rendah nilai clo pakaian yang digunakan, maka nilai suhu netral yang dirasakan responden semakin besar. Selain melalui pakaian (penyesuaian perilaku), adaptasi lain adalah dengan pemanfaatan kipas angin untuk mendinginkan udara sekitar. Beberapa responden menggunakan kipas tangan dan membuka baju yang dikenakannya untuk mendinginkan tubuh. Terlepas dari keterbatasan yang ada dalam penelitian ini, hasil penelitian ini dapat dijadikan penelitian pendahuluan untuk penelitian-penelitian selanjutnya yang lebih sempurna. Penelitian ini perlu dilanjutkan secara intensif dengan melibatkan responden yang lebih besar dan lokasi penelitian yang berbeda untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif tentang kenyamanan termal adaptif di Kota Malang.

Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan acuan dalam perencanaan rumah tinggal yang mampu menyediakan kenyamanan termal bagi penghuninya melalui strategi passive low energy design, sehingga dapat mendorong upaya konservasi energi pada bangunan gedung (rumah tinggal).

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman - Kementerian Pekerjaan Umum yang telah membiayai penelitian ini melalui DIPA Tahun Anggaran 2010 MAK 0047B.

DAFTAR PUSTAKA

ASHRAE. 2005. ASHRAE Standard 55 : Thermal Environmental Conditions for Human Occupancy. Atalanta, USA.

Badan Pusat Statistik. 2008. Kota Malang Dalam Angka 2008. Malang : BPS Kota Malang. Darmawan, A. 1999. Adaptive Thermal Comfort : A

Multicultural Issue, First International One day Forum on Natural and Hybrid Ventilation. Sydney, Australia.

de Dear, R., Brager, G., dan Cooper, D. 1997. Developing an Adaptive Model of Thermal Comfort and Preference : Final Report on RP-884. Sydney : Macquarie Research Ltd.

Karyono, T.H. 2008. Bandung Thermal Comfort Study : Assessing the Applicability of an Adaptive Model in Indonesia. Architectural Science Review. Volume 51, Number 1, hal. 60 - 65. Australia : The University of Sydney.

(17)

Karyono, T. H., et al. 2006. Report on Thermal Comfort Study in Bandung – Indonesia. Proceedings of International Conference ‘Comfort and Energy Use in Building Getting Them Right’. Cumberland Lodge, Windsor Park, United Kingdom

Moujalled, Cantin, R., dan Guarracino, G. 2005. Adaptive thermal comfort evaluation in a field study. International Conference “Passive and Low Energy Cooling for the Built Environment”. Santorini, Greece

Nicol, J.F and Humphreys, M.A. 2002. Adaptive thermal comfort and sustainable thermal

standards for buildings. Energy and Buildings. Volume 34, Issue 6, hal. 563-572.

Orosa, J.A. and Garcia-Bustelo, E.J. 2009. ASHRAE Standard Application in Humid Climate Ambiences. European Journal of Scientific Research., Vol. 27 No. 1, hal. 128-139. EuroJournals Publishing, Inc.

Sujatmiko, W. 2007. Studi Kenyamanan Termal Adaptif pada Hunian Berventilasi Alami Di Indonesia. Tesis. Bandung : Institut Teknologi Bandung.

(18)

Formulasi Kebijakan Sistem… (Alex Abdi Chalik, Bibiana W. Lay, Akhmad Fauzi, Etty R.)

FORMULASI KEBIJAKAN SISTEM PENGOLAHAN SAMPAH PERKOTAAN

BERKELANJUTAN

Studi Kasus : DKI Jakarta

Alex Abdi Chalik

1

, Bibiana W. Lay

2

, Akhmad Fauzi

3

, Etty R.

4

1Direktorat Pengembangan Air Minum, Direktorat Jenderal Cipta Karya

Jl. Pattimura No. 20 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Email : alexabdichalik@gmail.com

2,3,4Pasca Sarjana Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSL), Institut Pertanian Bogor Jl. Pajajaran, Bogor

Email : 2bibiana.lay@atmajaya.ac.id, 3fauziakhmad@gmail.com, 4etty riani harsono@yahoo.com Diterima : 9 Desember 2010; Disetujui : 27 Januari 2011

Abstrak

Pengolahan sampah di wilayah perkotaan, yang dilakukan baik dengan sistem sanitary landfill, controll landfill maupun open dumping akan menimbulkan permasalahan baik masalah lingkungan, sosial maupun ekonomi. Di wilayah perkotaan terutama di kota besar dan metropolitan seperti DKI Jakarta, permasalahan pengolahan sampah muncul berkaitan dengan tidak tersedianya lahan sebagai tempat pemerosesan akhir sampah di dalam wilayahnya. Pengolahan sampah yang dilakukan dengan teknologi sanitary landfill secara mandiri (individual), pada kenyataannya belum dapat menyelesaikan persoalan-persoalan dalam pengelolaan sampah. Pemerintah DKI Jakarta dalam usaha menyelesaikan persoalan pengolahan sampah telah menetapkan kebijakan untuk membangun incinerator skala kecil yang ditempatkan di bagian-bagian wilayahnya yang dikombinasikan dengan composting dan sanitary landfill sebagai tempat pengolahan dan pembuangan akhir sampah yang diletakkan di luar wilayahnya, namun demikian kebijakan ini tidak dapat berlanjut. Apabila kebijakan ini terus berlangsung, maka di masa yang akan datang pemerintah DKI Jakarta harus menyediakan paling tidak 600 ha lahan sebagai tempat pembuangan akhir sampah, yang menyulitkan pemerintah DKI Jakarta untuk menyiapkan lahan tersebut, disamping mahalnya ongkos pengangkutan sampah. Tujuan dari penelitian ini adalah bagaimana memformulasikan kebijakan pengolahan sampah yang dapat menyelesaikan permasalahan dalam pengolahan sampah, optimalisasi pengolahan, menghitung biaya dan dampak lingkungan, dengan menggunakan sistem pengolahan sampah terintegrasi, dikaitkan dengan aspek ekonomi, sosial dan keterbatasan lahan dengan mempergunakan sistem analisis minimalisasi biaya, analisis biaya dan manfaat serta statistik Ordinary Least Square. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa di masa yang akan datang : ”integrasi teknologi dalam sistem pengolahan sampah”, dapat membantu DKI Jakarta menyelesaikan masalah pengolahan sampah baik aspek teknis, ekonomi, dan lingkungan. Sistem ini meliputi pemanfaatan teknologi komposter kecepatan tinggi (High Rate Composting), incinerator dengan pemulihan energi listrik, dan sanitary landfill sebagai tempat pembuangan akhir sampah, yang dioperasikan bersama (terintegrasi) untuk mendapatkan pengolahan sampah yang maksimal, mengurangi limbah dan pencemaran, untuk mencapai efektivitas dan tingkat efisiensi yang tinggi.

Kata kunci : Keberlanjutan, keterbatasan lahan, sistem minimalisasi biaya, pengolahan sampah terintegrasi

Abstract

Solid waste management in urban areas that uses the sanitary landfill system, landfill control, and open dumping may cause environmental, social and economic problems. In urban areas, particularly in big cities and metropolitans such as the Special Region of the Capital Jakarta, the problem of waste management occurs because no vacant land is available to be used as the final disposal site. Waste management that uses the individual landfill sanitary technology has not solved yet garbage problems. The government of the Special Region of the Capital Jakarta makes an effort to solve the garbage problem by formulating a policy to build small scale incinerators that are placed throughout the region and combines it with composting and sanitary landfill as the final disposal site outside the region. This policy, however, could not last. If this policy is applied, the government of the Special Region of the Capital Jakarta has to provide a minimum of 600 ha land as the final disposal site. The Special Region of the Capital Jakarta is not able to provide such vacant land. Also, the cost to transport garbage is quite expensive. The purpose of this research is to formulate a policy of waste management that solves the garbage problem, optimizes the management, and calculates the cost and environmental impact. To do this, an integrated waste management system is used which is

(19)

connected with the economic, social, and limited land aspects and analyzing how to minimize cost and using the ordinary least square system were done. The result shows that in the future the integrated waste management technology can solve the garbage problem of the Special Region of the Capital Jakarta, technically, and environmentally. The system uses the High Rate Composting system, electric incinerators, and sanitary landfill as the final disposal site. These are operated together to get the maximum waste management, to reduce waste and pollution in order to reach a high level of effect and efficiency.

Keywords : Sustainability, limited land, system of minimizing cost, integrated waste management

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan dan pertumbuhan kota metropolitan di beberapa negara berkembang telah menimbulkan permasalahan dalam hal pengelolaan sampah, (Petrick, 1984). Pada saat ini daerah perkotaan di kawasan Asia mengeluarkan US$ 25 milyar per tahun untuk pengelolaan 760.000 ton sampah per hari. Pengelolaan sampah diperkirakan akan terus meningkat menjadi US$ 50 milyar pada tahun 2025 dengan proyeksi jumlah sampah sebesar 1,8 juta ton per hari. (Horenwig dan Thomas,1999).

Hampir seluruh kota-kota di Indonesia menghadapi permasalahan dalam pengurangan dan penanganan sampah sehingga memberikan dampak baik sosial, ekonomi maupun lingkungan. Kondisi buruknya pelayanan sanitasi di Indonesia memberikan dampak ekonomi yang sangat substansial. Menurut evaluasi dari ADB (1998), dampak sosial (social cost) akibat tidak memadainya sanitasi mencapai US$ 4,7 juta per tahun, atau sekitar 2,4% dari GDP tahunan Indonesia. Dampak ini setara dengan hampir Rp.100.000,- per rumah tangga per bulan. Kondisi kesehatan masyarakat yang buruk memperbesar biaya pengobatan atau kehilangan produktivitas para pekerja (ADB, 1998).

Daerah khusus Ibu Kota Jakarta menghadapi masalah dalam melakukan pengelolaan sampah. Salah satu permasalahan yang sangat menonjol adalah pengelolaan pada Tempat Pemerosesan Akhir Sampah (TPA) yang menimbulkan banyak masalah, disamping luas wilayah, jumlah penduduk yang besar, pemerintah DKI juga menghadapi masalah keterbatasan lahan yang memadai bagi TPA sampah, serta kurangnya penyediaan dana untuk biaya operasi dan pemeliharaan pengelolaan sampah. Berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang DKI 2005 (1987) kebutuhan TPA Sampah DKI 10 tahun ke depan, jika tidak dilakukan perubahan terhadap sistem pengolahan sampah yang dilakukan saat ini, maka DKI memerlukan paling tidak luas lahan sebesar 600 hektar untuk ke 5 (lima) bagian wilayah kota. Pertumbuhan penduduk dan perkembangan wilayah Jakarta dengan segala aktifitas dan kegiatan masyarakatnya, menimbulkan berbagai

permasalahan lingkungan yang harus dihadapi, salah satu persoalan yang hingga saat ini masih menjadi persoalan besar bagi DKI adalah : “Bagaimana menyelesaikan permasalahan pengolahan sampah yang dapat memenuhi keinginan masyarakat, ramah lingkungan dan dapat dioperasikan dengan baik, sehingga terdapat suatu sistem pengolahan sampah yang berkelanjutan (sustainable)”.

Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah membangun model formulasi kebijakan pengolahan sampah perkotaan berkelanjutan, untuk memberikan masukan bagi penentu kebijakan dalam menetapkan sistem pengolahan sampah yang efisien dan efektif di wilayah perkotaan secara berkelanjutan.

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk : 1. Melakukan analisis ketersediaan dan

kesesuaian lahan untuk tempat pengolahan sampah.

2. Melakukan analisis optimasi pemanfaatan teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan.

3. Melakukan pengembangan model kebijakan pengolahan sampah yang ramah lingkungan dan berkelanjutan di wilayah perkotaan.

LOKASI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di wilayah DKI Jakarta, yang merupakan kota terbesar di Indonesia, sebagai kota metropolitan DKI Jakarta memiliki luas area 661,52 km2 (66.152 ha), dimana kurang lebih 98% dari total wilayah Kota Jakarta sudah terbangun. DKI Jakarta memiliki jumlah penduduk yang berkembang sangat cepat. Pada tahun 1999 penduduk DKI berjumlah 7.831.520 jiwa, dengan tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata 2,2% per tahun, maka pada akhir tahun 2008 penduduk DKI telah mencapai 9.126.758 jiwa, dengan jumlah timbulan sampah sebesar 10 juta m3 per tahun, atau rata-rata 6.000 ton per hari. Dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat, maka DKI pada tahun 2008 memiliki tingkat kepadatan penduduk rata-rata sebesar 138 jiwa/ha. DKI memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, pada tahun 1984 PDRB per kapita sebesar Rp.

Gambar

Tabel 1 Tabulasi Hasil Pengukuran Beban Api pada Bangunan Gedung  No.  Fungsi Bangunan  Jenis Ruangan  Rentang Beban Api
Tabel 2 Klasifikasi Jenis Penggunaan Bangunan Berdasarkan Peringkat Bahaya Kebakaran dari Hasil Kuesioner dan  Perhitungan
Gambar 1 Denah Rumah Responden Tipe 36 M 2  yang Diukur Responden
Gambar 2 Profil Suhu Indoor dan Outdoor Hunian Rumah Tinggal di Kota Malang (Sumber : Data Penelitian, 2010)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rahyono (2003) menyatakan intonasi sebuah bahasa memiliki keteraturan yang telah dihayati bersama oleh para penuturnya.Penutur sebuah bahasa tidak memiliki kebebasan yang

Dalam rangka mewujudkan arah perencanaan pembangunan yang tepat, terpadu dan berkelanjutan, perlu disusun Rencana Strategis (RENSTRA) Dinas Peternakan, Perikanan dan

Meskipun perpustakaan bermanfaat sebagai salah satu sumber belajar untuk semua mata pelajaran (termasuk pelajaran sejarah), namun dalam kenyataan ada kecenderungan

Secara singkat dapat dijelaskan bahwa persinggungan antara ajaran agama (Islam) yang dibawa oleh Ki Ageng Gribig, modernitas, dan budaya (Jawa) tergambar dalam ritual dan

Disahkan dalam rapat Pleno PPS tanggal 26 Februari 2013 PANITIA PEMUNGUTAN SUARA. Nama

Oleh karena itu bagi lembaga pendidikan yang mengembangkan pendidikan vokasi tidak perlu minder dan kemudian mengubah menjadi pendidikan akademik, karena akan

masyarakat dalam mencari informasi tempat ibadah yang berada di kecamatan Toboali.tempat ibadah merupakan hal yang penting yang harus ada disetiap daerah. Sarana tempat

Selain dari beberapa karya di atas, Fazlur Rahman pernah menulis artikel yang berjudul “Iqbal in Modern Muslim Thoght” Rahman mencoba melakukan survei terhadap