• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Teori Keluarga Definisi Keluarga Karakteristik dari Sistem Keluarga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Teori Keluarga Definisi Keluarga Karakteristik dari Sistem Keluarga"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Pendekatan Teori Keluarga Definisi Keluarga

Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri atau suami istri anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah dian adopsi dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami istri,ayah dan ibu, dan putra serta putri (UU No 10 Tahun 1992). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga sejahtera menjelaskan bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya yang dilandasi oleh perkawinan.

Keluarga adalah tempat pertama dan utama dimana seorang anak dididik dan dibesarkan. Fungsi keluarga utama seperti yang telah diuraikan di dalam resolusi majelis umum PBB adalah keluarga sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh, dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya dimasyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera (Megawangi 2007). Pengertian keluarga menurut sejumlah ahli adalah sebagai unit sosial ekonomi terkecil dalam masyarakat yang merupakan landasan dasar semua institusi masyarakat, merupakan kelompok primer yang terdiri dari dua atau lebih orang yang mempunyai jaringan interaksi interpersonal, hubungan darah, hubungan perkawinan (Puspitawati 2009).

Menurut Mattessich dan Hill dalam Puspitawati (2009) keluarga merupakan suatu kelompok yang memiliki hubungan kekerabatan, tempat tinggal, atau hubungan emosional yang sangat dekat yang memperlihatkan empat hal, yaitu 1) Interdepensi intim, 2) Memelihara batas-batas yang terseleksi, 3) Mampu beradaptasi dengan perubahan dan memelihara identitas sepanjang waktu, dan 4) Melakukan tugas-tugas keluarga.

Karakteristik dari Sistem Keluarga

Masing-masing keluarga memiliki karakteristik yang berbeda, dan memiliki manajemen yang berbeda pula sesuai dengan karakteristik yang

(2)

dimilikinya. Terdapat aspek-aspek yang perlu dipahami dalam karakteristik keluarga sebagai sebuah sistem (Puspitawati 2009):

1. Batasan eksternal. Hartman dalam Puspitawati (2009) mendefinisikan batasan eksternal dari sebuah keluarga sebagai garis yang tidak nyata yang memisahkan apa yang termasuk di dalam dan di luar sebuah keluarga. Yang dimaksud luar keluarga maksudnya adalah hubungan anggotanya dengan sistem yang lain, seperti sekolah, tempat kerja, keluarga lain, dan individu lain di luar keluarga.

2. Batasan Internal. Sistem keluarga terdiri dari beberapa subsistem, yang menciptakan batasan internal. Pembagian subsitem ini dapat didasarkan pada generasi (misal anak-anak), jenis kelamin, kepentingan atau fungsi yang sama dan sebagainya

3. Peran Organisasi. Selain batasan eksternal dan internal, sebuah keluarga diatur dalam sebuah peran. Setiap anggota memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing, seperti siapa yang merawat anak-anak, siapa yang mengurus rumah, siapa yang membuat keputusan, dan siapa yang mengurus keuangan. Agar fungsi tersebut dapat berjalan baik, keluarga harus memiliki kejelasan dan kesepakatan mengenai pembagian aturan ini. Namun, pembagian peran ini tidak perlu terlalu kaku dan terbatas hingga tidak dapat diubah.

Tahapan Keluarga

Berdasarkan siklus kehidupan keluarga, berdasarkan Duvall (1971) terdapat delapan tahap keluarga yaitu: 1) Orang dewasa yang belum terikat/menikah, (2) PENkahan, (3) Kelahiran anak-anak, (4) Anak-anak mulai masuk sekolah, (5) Anak-anak mulai beranjak dewasa, (7) Pensiun dan lanjut usia, dan (8) Meninggal. Tidak berbeda jauh dengan siklus kehidupan keluarga berdasarkan Sari (2004) mengacu pada Hultsch dan Deutsch adalah:

1. Keluarga awal. Pada tahap ini keluarga belum mempunyai anak dan usia perkawinannya masih sekitar 0 sampai 5 tahun.

2. Membesarkan anak. Anak pertama yang dimiliki oleh keluarga pada tahap ini berusia kurang dari tiga tahun.

3. Keluarga dengan anak prasekolah. Anak pertama yang dimiliki oleh keluarga pada tahap ini berusia antara 3 sampai 6 tahun.

(3)

4. Keluarga dengan anak usia sekolah. Anak pertama yang dimiliki oleh keluarga pada tahap ini berusia antara 6 sampai 13 tahun.

5. Keluarga dengan anak remaja. Anak pertama yang dimiliki oleh keluarga pada tahap ini berusia antara 13 sampai 21 tahun.

6. Launching family. Pada tahap ini keluarga mengalami masa ditinggalkan oleh anak pertama sampai anak terakhir.

7. Keluarga madya. Tahap ini dimulai dari anak terakhir meninggalkan keluarga sampai salah satu pasangan pensiun.

8. Keluarga lanjut. Tahap ini dimulai dari salah satu pasangan mulai pensiun sampai salah satu pasangannya meninggal.

Pengertian Teori Struktural Fungsional

Menurut kementrian Pemberdayaan Perempuan, BKKBN dan UNFPA (2005) teori struktural-fungsional mengakui adanya keanekaragaman dalam kehidupan sosial. Dalam kondisi seperti itu, dibuatlah suatu sistem yang dilandaskan pada konsensus nilai-nilai agar terjadi adanya stabilitas dan keseimbangan. Manusia memerlukan kemitraan dan kerjasama secara struktural dan fungsional. Laki-laki maupun perempuan memiliki perbedaan kodrat sesuai dengan fungsinya masing-masing. Dalam kehidupan sosial dan keluarga ada pembagian tugas (division labor). Paham struktural fungsional menerima perbedaan peran asalkan dilakukan secara demokratis dan dilandasi kesepakatan antara suami dan istri dalam keluarga.

Pendekatan struktural-fungsional adalah pendekatan teori sosiologi yang diterapkan dalam institusi keluarga. Pendekatan ini mempunyai warna yang jelas, yaitu mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial. Keragaman ini merupakan sumber utama dari adanya struktur masyarakat, dan akhirnya keragaman dalam fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam sebuah sistem.

Salah satu aspek penting dari perspektif struktural-fungsional adalah bahwa setiap keluarga yang sehat terdapat pembagian peran atau fungsi yang jelas, fungsi tersebut terpolakan dalam struktur hirarkis yang harmonis, dan komitmen terhadap terselenggaranya peran atau fungsi itu. Peran adalah sebuah yang diharapkan bisa dilakukan oleh setiap anggota keluarga sebagai subsistem keluarga dengan baik untuk mencapai tujuan sistem.

Struktural-fungsional berpegang bahwa sebuah struktur keluarga membentuk kemampuannya untuk berfungsi secara efektif, dan bahwa sebuah keluarga inti tersusun dari seseorang laki-laki pencari nafkah dan perempuan ibu

(4)

rumahtangga adalah yang paling cocok untuk memenuhi kebutuhan anggota dan ekonomi industri baru (Parsons dalam Puspitawati 2009).

Asumsi-asumsi yang mendasari teori struktural-fungsional dari dimensi struktural adalah (Puspitawati 2009):

1. Untuk melakukan fungsinya secara optimal, keluarga harus mempunyai struktur tertentu.

2. Struktur adalah pengaturan peran dalam sistem sosial.

3. Keluarga inti adalah struktur yang paling mampu memberikan kepuasan fisik dan psikologi anggotanya dan juga menjaga masyarakat yang lebih besar.

Perkembangan Karier

Ada beberapa ciri mengenai pengertian karier yakni (Gunarsa dan Gunarsa 2004):

1. Karier erat hubungannya dengan perjalanan atau tujuan hidup seseorang yang ingin dicapai.

2. Karier berhubungan erat dengan peningkatan status, pangkat, jabatan, kekayaan secara berjenjang dan berbeda-beda antara seorang dengan lainnya.

3. Banyak faktor mempengaruhi karier seseorang, antara lain faktor keluarga yang bisa berpengaruh negatif atau sebaliknya positif.

Selanjutnya Gunarsa dan Gunarsa (2004) menyatakan bahwa setiap orang memiliki tujuan hidup. Terdapat beberapa yang dicari oleh manusia ketika hidup di dunia ini:

1. Hidup untuk mengumpulkan materi, jelasnya uang. Dengan uang kita bisa berbuat apa saja dan berbuat apa saja dan perlu untuk memenuhi kebutuhan hidup. Keinginan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, menjadi ciri khusus dari tujuan hidup seseorang yang dipengaruhi oleh materi ini.

2. Hidup untuk meraih pangkat setinggi-tingginya. Pangkat yang tinggi dirasakan sebagai kepuasan luar biasa, sebagai kebanggaan yang bisa dipamerkan untuk lingkungan, termasuk keluarganya.

3. Hidup untuk mengejar kehormatan. Dihormati orang menjadi keinginan yang kuat dalam hidupnya. Apalagi kalau bisa menjadi tokoh misalnya tokoh dalam masyarakat, baik tokoh formal maupun informal.

(5)

4. Hidup untuk berkarya, baik dalam bidang ilmu pengetahuan melalui penemuan baru, seperti misalnya peneliti di laboratorium, atau dalam bidang kesenian melalui karyanya yang lebih dirasakan sebagai kepuasan psikis daripada kepuasan materinya sendiri.

5. Hidup untuk mengabdi kepada sesama. Ditandai oleh jiwa dan sikap pengabdian yang tinggi, yang ingin membantu orang lain mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan, kesehatan dan keselamatan dan merasakan dirinya sebagai “alat” atau berkat dari Tuhan untuk melayani orang lain.

Kelima hal tersebut di atas menjadi sasaran atau tujuan hidup yang ingin dicapai seseorang. Namun tidak harus kelimanya, bisa hanya satu atau dua tujuan saja. Membina karier adalah usaha mencapai tujuan hidup yang direncanakan.

Setiap orang mempunyai keinginan dan tujuan hidup yang bersifat pribadi, berbeda dengan orang lain bahkan dalam diri seseorang keinginan dan tujuan hidupnya tidak selamanya menetap, melainkan bisa berubah-ubah. Dorongan dari dalam (internal/intrinsic motivation) yang mempengaruhi keinginan berprestasi, keinginan mencapai jenjang karier tertentu timbul dari proses perkembangan dini. Kira-kira 35 persen perempuan di AS yang mempunyai anak usia di bawah 3 tahun terjun untuk bekerja. Persentase ini akan semakin bertambah, tergantung pada usia anak. Semakin besar anak semakin besar kemungkinan ibu bekerja. Hampir 60 persen kaum ibu di Amerika Serikat yang bekerja dengan usia anaknya rata-rata 6 tahun ke atas. Di Negeri Britania Raya, 40 persen dari jumlah tenaga kerja adalah kaum perempuan meski dari jumlah ini kurang dari dua pertiganya bekerja secara purnawaktu. Kaum perempuan karier pada umumnya menolak anggapan bahwa mereka menanggung berbagai beban berat karena merangkap dua beban sekaligus (Dagun 2002).

Keluarga berpengaruh besar terhadap karier seseorang, karena berpengaruh juga terhadap produktivitas kerja. Mengalihkan ketegangan hubungan suami istri ke karier, memang bisa menghasilkan prestasi yang baik, namun biasanya akan tetap dapat diamati ada sesuatu ”kekurangan”, karena kenikmatan prestasinya dirasakan oleh dan untuk dirinya sendiri (Gunarsa dan Gunarsa 2004).

(6)

Beberapa faktor yang melandasi ibu untuk bekerja di luar rumah diantaranya adalah (Puspitawati 2009):

1. Kebutuhan finansial. Seringkali kebutuhan rumahtangga yang begitu besar dan mendesak, membuat suami dan istri harus bekerja untuk bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Kondisi tersebut membuat sang istri tidak punya pilihan lain kecualli ikut mencari pekerjaan di luar rumah, meskipun ”hati” nya tidak ingin bekerja.

2. Kebutuhan sosial-rasional. Ada ibu-ibu yang tetap memilih untuk bekerja, karena mempunyai kebutuhan sosial-relasional yang tinggi, dan tempat kerjanya sangat mencukupi kebutuhan tersebut. Dalam dirinya tersimpan suatu kebutuhan tersebut. Dalam dirinya tersimpan suatu kebutuhan akan penerimaan sosial, akan adanya identitas sosial yang diperoleh melalui komunitas kerja. Bergaul dengan rekan-rekan di kantor, menjadi agenda yang lebih menyenangkan dari pada tinggal di rumah. Faktor psikologis seseorang serta keadaan internal keluarga, turut mempengaruhi seorang ibu untuk tetap mempertahankan kariernya.

3. Kebutuhan aktualisasi diri. Abraham Maslow pada tahun 1960 mengembangkan teori hirarki kebutuhan, yang salah satunya mengungkapkan bahwa manusia mempunyai kebutuhan akan aktualisasi diri, dan menemukan makna hidupnya melalui aktivitas yang dijalaninya. Bekerja adalah salah satu sarana atau jalan yang dapat dipergunakan oleh manusia dalam menemukan makna hidupnya, dengan berkarya, berkreasi, mencipta, mengekspresikan diri, mengembangkan diri dan orang lain, membagikan ilmu dan pengalaman, menemukan sesuatu, menghasilkan sesuatu, serta mendapatkan penghargaan, penerimaan, prestasi adalah bagian dari proses penemuan dan pencapaian kepenuhan diri. Kebutuhan akan aktualisasi diri melalui profesi atau pun karier, merupakan salah satu pilihan yang banyak diambil oleh para perempuan di jaman sekarang ini terutama dengan makin terbukanya kesempatan yang sama pada perempuan untuk meraih jenjang karier yang tinggi. Bagi perempuan yang sejak sebelum menikah sudah bekerja karena dilandasi oleh kebutuhan aktualisasi diri yang tinggi, maka ia akan cenderung kembali bekerja setelah menikah dan mempunyai anak. Mereka merasa bekerja adalah hal yang sangat bermanfaat untuk

(7)

memenuhi kebutuhan aktualisasi diri, menyokong sense of self dan kebanggaan diri selain mendapatkan kemandirian secara finansial.

Sumber Masalah Ibu Bekerja

Faktor-faktor yang biasanya menjadi sumber persoalan bagi para ibu yang bekerja dapat dibedakan sebagai berikut (Puspitawati 2009):

1. Faktor Internal

Yang dimaksud dengan faktor internal adalah persoalan yang timbul dalam diri pribadi ibu tersebut. Ada diantara para ibu yang lebih senang jika dirinya benar-benar hanya menjadi ibu rumahtangga, yang sehari-hari hanya di rumah dan mengatur rumahtangga. Namun, keadaan “menuntut” nya untuk bekerja, untuk menyokong keuangan keluarga. Kondisi tersebut mudah menimbulkan stress karena bekerja bukanlah timbul dari keinginan diri namun seakan tidak punya pilihan lain demi membantu ekonomi rumahtangga. Biasanya, para ibu yang mengalami masalah demikian, cenderung merasa sangat lelah (terutama secara psikis), karena seharian ”memaksakan diri” untuk bertahan di tempat kerja. Selain itu adapula tekanan yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan peran ganda itu sendiri. Kemampuan manajemen waktu dan rumahtangga merupakan salah satu kesulitan yang paling sering dihadapi oleh para ibu bekerja. Perempuan yang bekerja harus dapat memainkan peran mereka sebaik mungkin baik di tempat kerja maupun di rumah, dari dalam diri perempuan pun sudah ada keinginan ideal untuk berhasil melaksanakan kedua peran tersebut secara proporsional dan seimbang. Namun demikian kenyatan ideal tersebut cukup sulit untuk dicapai karena beberapa faktor, misalnya pekerjaan di kantor sangat berat, sedangkan suami di rumah kurang bisa ”bekerja sama” untuk ikut menyelesaikan pekerjaan rumah, sementara anak-anak juga menuntut perhatian dirinya. Akhirnya, ibu tersebut akan merasa sangat lelah karena dirinya merasa dituntut untuk terus memberi dan memenuhi kebutuhan orang lain. Belum lagi, jika ternyata suami dan anak-anak merasa ”kurang dapat perhatian”, tidak heran jika lama kelamaan dirinya mulai dihinggapi depresi karena merasa tidak bisa membahagiakan keluarganya.

(8)

a. Dukungan suami. Dukungan suami dapat diterjemahkan sebagai sikap-sikap penuh pengertian yang ditunjukkan dalam bentuk kerja sama yang positif, ikut membantu menyelesaikan pekerjaan rumahtangga, membantu mengurus anak-anak serta memberikan dukungan moral dan emosional terhadap karier atau pekerjaan istrinya. Indonesia merupakan iklim paternalistik dan otoritarian yang sangat kuat, turut menjadi faktor yang membebani peran ibu bekerja karena masih terdapat pemahaman bahwa laki-laki tidak boleh mengerjakan pekerjaan perempuan, apalagi ikut mengurus masalah rumahtangga. Masalah rumahtangga adalah kewajiban sepenuhnya seorang istri. Masalah yang kemudian timbul akibat bekerjanya istri, sepenuhnya merupakan kesalahan dari istri dan untuk itu ia harus bertanggung jawab menyelesaikannya sendiri. Kurangnya dukungan suami, membuat peran ibu di rumah pun tidak optimal (karena terlalu banyak yang masih harus dikerjakan sementara dirinya juga merasa lelah sesudah bekerja) akibatnya timbul rasa bersalah karena merasa diri bukan ibu dan istri yang baik.

b. Kehadiran anak. Masalah pengasuhan terhadap anak, biasanya dialami oleh para ibu bekerja yang mempunyai anak kecil/balita/batita. Semakin kecil anak, maka semakin besar tingkat stress yang dirasakan. Rasa bersalah karena meninggalkan anak untuk seharian bekerja, merupakan persoalan yang sering dipendam oleh para ibu yang bekerja. Apalagi jika pengasuh yang ada tidak dapat diandalkan/dipercaya, sementara tidak ada famili lain yang dapat membantu.

c. Masalah pekerjaan. Pekerjaan bisa menjadi sumber ketegangan dan stress yang besar bagi para ibu bekerja. Mulai dari peraturan kerja yang kaku, pimpinan yang tidak bijaksana, beban kerja yang berat, ketidakadilan yang dirasakan di tempat kerja, rekan-rekan yang sulit bekerja sama, waktu kerja yang sangat panjang, ataupun ketidaknyamanan psikologis yang dialami akibat dari problem sosial-politis di tempat kerja.

3. Faktor Relasional

Bekerjanya suami dan istri, maka otomatis waktu untuk keluarga menjadi terbagi. Memang, penanganan terhadap pekerjaan rumahtangga bisa

(9)

diselesaikan dengan disediakannya pengasuh serta pembantu rumahtangga. Namun demikian, ada hal-hal yang sulit dicari substitusinya, seperti masalah kebersamaan bersama suami dan anak-anak. Padahal kebersamaan bersama suami dalam suasana rileks, santai dan hangat merupakan kegiatan penting yang tidak bisa diabaikan, untuk membina, mempertahankan dan menjaga kedekatan relasi serta keterbukaan komunikasi satu dengan yang lain. Tidak jarang kurangnya waktu untuk keluarga, membuat seorang ibu merasa dirinya tidak bisa berbicara secara terbuka dengan suaminya, bertukar pikiran, mencurahkan pikiran dan perasaan, atau merasa suaminya tidak lagi bisa mengerti dirinya, dan akhirnya merasa asing dengan pasangan sendiri sehingga mulai mencari orang lain yang dianggap lebih bisa mengerti, dan sebagainya. Hal inilah yang bisa membuka peluang terhadap perselingkuhan di tempat kerja.

Strategi Perempuan Bekerja

Perempuan yang berada pada tahapan siklus kehidupan keluarga awal (early family life cycle), seperti tahapan keluarga yang mempunyai anak balita dan anak usia sekolah, maka perempuan tersebut akan menghadapi tuntutan keluarga yang lebih besar daripada tuntutan karier, sehingga kemungkinan harus mengalokasikan waktu dan energi lebih besar kepada keluarga daripada pekerjaan, terutama apabila anaknya sakit. Sebaliknya, perempuan yang berada pada tahapan family life cycle pertengahan, seperti tahapan keluarga yang mempunyai anak remaja dan anak dewasa, maka perempuan tersebut akan mempunyai banyak waktu dan energi untuk berkonsentrasi lebih besar pada karier mengingat tuntutan keluarga yang lebih kecil daripada tuntutan karier. Jadi, intinya adalah kemampuan perempuan dalam menyeimbangkan antara tuntutan keluarga dan pekerjaanlah yang membuat perempuan dapat eksis dalam mempertahankan kedua peran ganda tersebut.

Eksistensi seorang perempuan untuk dapat berkarier dengan baik dan mempunyai produktivitas tinggi dalam bekerja, tidak terlepas dari dukungan keluarganya, terutama dukungan suaminya. Dukungan suami meliputi dukungan moril dan materil serta dukungan tenaga dalam membantu pekerjaan domestik di rumah. Laki-laki berusaha untuk membantu pekerjaan rumah karena perempuan bekerja dan hal ini sangat berbeda keadaannya dibandingkan dengan beberapa dekade yang lalu. Laki-laki dapat membantu pekerjaan di rumah misalnya

(10)

melakukan pekerjaan perbaikan rumah dan pekarangan atau outdoor chores yang sifatnya kadang-kadang untuk waktu tertentu saja. Laki-laki juga sudah banyak yang bersedia membantu pekerjaan domestik perempuan dalam melakukan laundry dan menyetrika, memasak dan mencuci piring serta mengasuh anaknya dalam waktu-waktu tertentu (Puspitawati 2009).

Toleransi dan kerjasama antara suami istri mengenai siapa yang didahulukan untuk mengejar sesuatu karier, diperlukan tentunya dengan batas-batas waktu yang cukup jelas. Keterbukaan untuk saling mengungkapkan mengenai karier yang sedang atau ingin dicapai harus selalu ada sehingga pasangannya akan lebih memahami perjuangannya yang kadang-kadang membutuhkan pengorbanan. Dukungan akan diperoleh dan bahkan karier dapat terus meningkat kalau keluarga ikut menikmati (yang tidak selalu bersifat materi) dari karier yang dicapai. Dukungan tidak akan diberikan kalau keluarga bersikap negatif, karena keluarga tidak merasakan manfaatnya mencapai karier tertentu. Pembagian dan pengaturan waktu menjadi faktor yang penting, bagi mereka yang menilai peran ganda, baik sebagai karyawan atau karyawati, sabagai kepala maupun sebagai ibu rumahtangga. Ada saatnya harus bekerja, yaitu ketika di kantor karena statusnya sebagai karyawan atau karyawati. Pada saatnya berstatus sebagai karyawan/karyawati, bekerjalah sebaik-baiknya dan sekeras-kerasnya. Namun pada saatnya berstatus sebagai suami, sebagai ayah, sebagai ibu atau sebagai istri, harus melepaskan perhatian dan waktunya dari pekerjaan kantor. Mungkin pada satu saat harus bekerja pada malam hari atau harus ke luar kota, suatu hal yang sulit dihindari, namun perlu bijaksana dan pandai mengatur waktu untuk keluarga. Pandai-pandai mengatur peran dalam keluarga merupakan hal yang perlu diperhatikan (Gunarsa dan Gunarsa 2004).

Banyak penelitian berkaitan dengan waktu dan pekerjaan yang dilakukan terhadap keluarga dengan perempuan bekerja dan perempuan yang tidak bekerja. Berdasarkan waktu yang terpakai, istri yang bekerja secara signifikan memiliki waktu yang kurang dalam pekerjaan rumahtangga dibandingkan dengan istri yang tidak bekerja. Istri yang bekerja pada umumnya menghabiskan sekitar 4 jam perhari namun istri yang tidak bekerja menghabiskan 7 atau 8 jam perhari dalam pekerjaan rumahtangga. Suami yang memiliki istri bekerja menghabiskan waktu sedikit lebih banyak untuk pekerjaan rumahtangga daripada suami yang memiliki istri yang bekerja (Kammeyer 1987).

(11)

Lelaki yang telah menikah lebih sedikit mengerjakan pekerjaan rumah ketimbang lelaki yang belum menikah. Sebaliknya perempuan menikah mengerjakan lebih banyak pekerjaan rumahtangga ketimbang perempuan yang belum menikah. Total waktu yang dihabiskan suami untuk pekerjaan rumahtangga dan pengasuhan anak tidak berkaitan erat dengan berapa banyak jam yang dihabiskan istri bekerja di luar rumah. Perempuan melakukan sebagian besar pekerjaan rumahtangga entah itu mereka punya kerja atau tidak. Perubahan yang terjadi belakangan adalah istri yang bekerja kini lebih sedikit menghabiskan waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumahtangga dan mengasuh anak. Misalnya mereka lebih suka membeli makanan jadi ketimbang memasak sendiri, dan jika punya uang mereka memperkerjakan pembantu rumahtangga. Secara umum pria cenderung lebih banyak berpartisipasi dalam pengasuhan anak dan pekerjaan rumahtangga jika mereka menganut sikap peran nontradisional (Deutsch dalam Aylor et al 2009). Menjalani banyak peran, tuntutan multiperan bisa menyulitkan dan membuat stress. Ibu bekerja sering mengeluhkan tentang kurangnya waktu dan kurang tidur meski ada problem semacam ini, banyak perempuan menikmati banyak peran,seorang perempuan menjelaskan peran ganda tersebut membuat hidup menarik. Banyaknya peran membuat seseorang mampu melakukan banyak hal (Crosby dalam Aylor et al 2009). Berikut adalah perbedaan antara pekerjaan rumahtangga dengan pekerjaan di luar rumahtangga (Guhardja et al 1992).

Tabel 1 Perbedaan pekerjaan rumahtangga dengan pekerjaan di luar rumah tangga

Pekerjaan Rumahtangga Pekerjaan Di Luar Rumahtangga - Dilakukan dalam rumahtangga

- Dilakukan oleh anggota keluarga dan dapat digantikan

- Tidak mempunyai nilai ekonomi bagi anggota keluarga

- Bukan pekerjaan produktif bagi anggota keluarga

- Dilakukan di luar rumahtangga

- Dilakukan oleh anggota keluarga dan tidak dapat digantikan

- Mempunyai nilai ekonomi - Pekerjaan produktif Sumber : Guhardja et al.,(1992)

Faktor-faktor yang berhubungan dengan alokasi waktu adalah status seseorang dalam pekerjaan, jumlah keluarga dan banyaknya anak, usia anak termuda, jenis kelamin, usia, pendapatan keluarga, pendidikan, dan lokasi tempat tinggal. Penelitian yang dilakukan oleh Berheide, Berk dalam Puspitawati (1992) menunjukkan bahwa perempuan yang telah menikah dan bekerja di luar rumah dengan status pekerjaan yang tinggi mengurangi proporsi tugasnya dalam

(12)

menyiapkan makanan, membersihkan dapur, mencuci pakaian,dan pekerjaan rumahtangga lainnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Sari (2005) menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah anak usia sekolah yang dimiliki oleh keluarga dengan istri bekerja di luar rumah maka istri akan lebih memprioritaskan keluarga dari pada pekerjaan. Semakin bertambahnya usia anak maka istri akan meningkatkan kegiatan produktif dan mengorbankan kegiatan domestik karena semakin bertambahnya usia anak maka semakin mandiri anak tersebut, sehingga perempuan lebih dapat memfokuskan kegiatannya di luar rumah yaitu sebagai seorang pekerja.

Berdasarkan istilah sosiologi, terdapatnya ketegangan antara tuntutan pekerjaan dan keluarga adalah role strain (konflik peran). Konflik tersebut terbagi menjadi dua (Voydanoff & Kelly dalam Kammeyer 1987). Pertama, yaitu beban berlebih, yang artinya adalah tuntutan dari dua sisi (pekerjaan dan rumah) melebihi kapasitas seseorang dalam menanganinya. Tidak terdapatnya waktu yang cukup dalam sehari untuk melakukan semuanya. Konflik peran ganda yang kedua adalah tumpang tindih (interference) yang artinya ada pekerjaan di kantor yang harus diselesaikan, sementara kewajiban keluarga juga harus dilaksanakan. Ketika kedua orangtua bekerja, masalah yang mendasar adalah waktu untuk melakukan kewajiban baik terhadap pekerjaan maupun keluarga. Kata yang sering digunakan untuk mengkategorikan permasalahan ini adalah ”penyeimbangan” (Kammeyer 1987).

Keluarga di Amerika menghadapi masalah untuk melakukan penyeimbangan antara pekerjaan dan keluarga. Bagi pasangan muda dan berada pada kelas menengah menganggap penawaran jam kerja yang fleksibel merupakan pilihan/alternatif yang menarik untuk dapat menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga (Newman & Grauerholz dalam Sari 2005).

Jenis-Jenis Strategi

Strober dan Weinberg (1980) dalam Puspitawati (1992) mengemukakan terdapatnya beberapa strategi yang potensial, ataupun kombinasi strategi, yang dapat digunakan oleh perempuan yang bekerja di luar rumah untuk menggunakan waktunya secara ekonomis : 1) Mengganti peralatan rumahtangga sehingga kegiatan rumahtangga dapat terlaksana baik secara kualitas maupun kuantitas, 2) Pekerjaan rumahtangga dilakukan oleh orang lain (pembantu

(13)

rumahtangga, suami, atau anak) sehingga kegiatan rumahtangga dapat terlaksana baik secara kualitas maupun kuantitas, 3) Mengurangi kegiatan rumahtangga baik secara kualitas maupun kuantitas dan/atau melakukan kegiatan produktifnya secara intensif dan efektif ketika dihadapi masalah dengan kegiatan rumahtangga, 4) Mengurangi alokasi waktu, jika ada, untuk kegiatan amal dan kegiatan dalam komunitas kerja, dan 5) Mengurangi alokasi waktu untuk kegiatan santai dan/ atau tidur.

Keuntungan dan Kerugian Suami dan Istri Bekerja

Pernikahan dengan pasangan yang sama-sama bekerja menghadirkan peluang sekaligus tantangan. Sisi positifnya, pemasukan kedua meningkatkan beberapa keluarga dari status keluarga miskin menjadi keluarga berpenghasilan menengah dan kekayaan lainnya. Hal ini menjadikan perempuan lebih independen dan memberikan bagian kekuatan ekonomi yang lebih besar serta menurunkan tekanan atas pria sebagai pencari nafkah utama; 47 persen istri yang bekerja memberikan kontribusi setengah atau lebih kepada pemasukan keluarga (Louis dalam Papalia et al 2008).

Disisi lain pasangan yang bekerja menghadapi tuntutan ekstra dalam waktu dan energi, konflik antara pekerjaan dan keluarga, kemungkinan rivalitas antar pasangan, dan kecemasan serta rasa bersalah berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan anak. Keluarga menjadi paling menuntut, khususnya bagi perempuan yang bekerja penuh waktu, ketika di sana terdapat anak kecil (Milkie dalam Papalia et al 2008). Karier menjadi menuntut perhatian lebih ketika seorang pekerja menjadi mapan atau dipromosikan. Kedua jenis tuntutan tersebut seringkali terjadi pada masa dewasa awal. Keuntungan multiperan tergantung kepada seberapa banyak peran yang dibawa oleh setiap pasangan, waktu yang dituntut oleh tiap peran, dan yang paling penting kesuksesan atau kepuasan pasangan yang bersumber dari peran mereka. Keuntungan tersebut dapat berkurang dengan seberapa jauh pasangan tersebut memegang sikap tradisional atau nontradisional tentang peran gender.

Dukungan sosial

Dukungan sosial adalah pemenuhan dari orang lain pada pemenuhan kebutuhan dasar untuk kesejahteraan. Untuk teori lain, dukungan sosial adalah pemenuhan pada spesifikasi kebutuhan yang tidak terbatas yang timbul dari peristiwa-peristiwa merugikan yang terjadi di dalam kehidupan atau keadaan.

(14)

Dukungan sosial diasumsikan bahwa orang harus mempercayai orang lain untuk mendapatkan kebutuhan dasar tertentu (Cutrona dan Carolyn 1999).

Manusia sebagai individu dalam kehidupannya dihadapkan dengan berbagai hal yang menyangkut kepentingan, terutama dalam pemenuhan kebutuhan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap orang memerlukan bantuan atau pertolongan dari orang lain atau sumber-sumber dukungan sosial. Dukungan sosial tidak selamanya tersedia pada diri sendiri melainkan harus diperoleh dari orang lain yakni keluarga suami atau istri, saudara atau masyarakat (tetangga) di mana orang itu berada. Dukungan sosial sangat dibutuhkan oleh setiap orang dalam menjalani kehidupannya, juga bagi keluarga dalam menjalani kehidupan perkawinannya dan bagi pelaksanaan pengasuhan anak. Gottlieb dalam Tati (2004) mengatakan bahwa dukungan sosial merupakan tindakan alamiah sebagai sumberdaya lingkungan yang secara erat berkaitan dengan interaksi sosial.

Kendig dalam Tati (2004) mendefinisikan dukungan sosial sebagai kesenangan, bantuan atau keterangan yang diterima seseorang melalui hubungan formal dan informal dengan yang lain atau kelompok. Sarafino dalam Tati (2004) mengartikan dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan bantuan yang diterima individu dari orang lain, baik secara individu perorangan atau kelompok. Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial keluaraga mencakup adanya interaksi diantara anggota dan saling membantu, sehingga tetap terjalin hubungan dan menghasilkan kepuasan batin seseorang.

Bentuk dukungan sosial yang dibutuhkan, seperti dikemukakan Sarafino dalam Tati (2004) terdiri dari:

1. Dukungan Emosi

Dukungan emosi merupakan ekspresi kasih sayang dan rasa cinta dari orang-orang disekitar individu Russell dalam Tati 2004. Individu dapat mencurahkan perasaan, kesedihan ataupun kekecewaannya pada seseorang, yang membuat individu sebagai penerima dukungan sosial merasa adanya keterikatan, kedekatan dengan pemberi dukungan sehingga menimbulkan rasa aman dan percaya. Turner dalam Tati (2004) mengemukakan bahwa dukungan emosi sangat penting dan dibutuhkan setiap individu dalam setiap periode kehidupan, curahan perhatian yang mendalam membuat individu dapat

(15)

mencurahkan perasaannya, hal ini sangat membantu kesehatan mental dan kesejahteraan individu.

2. Dukungan Instrumen

Bentuk dukungan instrumen melibatkan bantuan langsung, misalnya berupa bantuan finansial atau bantuan dalam mengerjakan tugas-tugas tertentu (Sarafino dalam Tati 2004). Dukungan berupa materi atau jasa yang diberikan oleh orang lain kepada individu sebagai penerima dukungan dapat berbentuk uang, barang kebutuhan sehari-hari atau bantuan praktis, seperti memberikan fasilitas transportasi, memberi pinjaman uang atau barang rumahtangga lainnya, menyediakan waktu dan tenaga untuk mengasuh anak (Borgatta dalam Tati 2004).

Dampak Dukungan Sosial

Bagaimana dukungan sosial dapat memberikan kenyamanan fisik dan psikologis kepada individu dapat dilihat dari bagaimana dukungan sosial mempengaruhi kejadian dan efek dari stress. Lieberman dalam Tati (2004) mengemukakan bahwa secara teoritis dukungan sosial dapat menurunkan kecenderungan munculnya kejadian yang dapat mengakibatkan stress. Apabila kejadian tersebut muncul, interaksi dengan orang lain dapat memodifikasi atau mengubah persepsi individu pada kejadian tersebut dan oleh karena itu akan mengurangi potensi munculnya stres.

Dukungan sosial juga dapat mengubah hubungan antara respon individu pada kejadian yang dapat menimbulkan stres dan stres itu sendiri, mempengaruhi strategi untuk mengatasi stres dan dengan begitu memodifikasi hubungan antara kejadian yang menimbulkan stres mengganggu kepercayaan diri, dukungan sosial dapat memodifikasi efek itu.

Konsep dan Analisis Gender

Konsep gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir beberapa anggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan. Bentukan sosial atas laki-laki dan perempuan itu antara lain: kalau perempuan dikenal sebagai makhluk yang lemah, lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Sifat-sifat di atas dapat dipertukarkan dan berubah dari waktu ke waktu.

(16)

Oleh karena, itu dapat dikatakan bahwa gender dapat diartikan sebagai konsep sosial yang membedakan peran antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan karena antara keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, tetapi dibedakan atau dipilah-pilah menurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan (Handayani 2009). Menurut Irwan (2009) gender adalah perbedaan konsep tentang kepatutan bagi perempuan dan laki-laki dalam segala hal yang lebih banyak dipengaruhi oleh adat, tradisi, dan lingkungan tempat mereka tinggal.

Konsep dan Pengertian Peran Gender

Peran gender adalah peran yang diciptakan oleh masyarakat bagi laki-laki dan perempuan. Laki-laki diharapkan melakukan peran yang bersifat instrumenal atau berorientasi pada pekerjaan untuk memperoleh nafkah sedangkan perempuan melakukan peran yang bersifat ekspresif yang berorientasi pada emosi manusia (Megawangi 1999). Peran gender terbentuk melalui berbagai sistem nilai termasuk nilai-nilai adaptasi, pendidikan, agama, ekonomi, dan sebagainya. Hasil bentukan sosial, peran gender dapat berubah-ubah dalam waktu, kondisi, dan tempat yang berbeda sehingga peran laki-laki dan perempuan mungkin dapat dipertukarkan Vries (2006). Diferensiasi peran (division of labor) antara laki-laki dan perempuan bukan disebabkan oleh adanya perbedaan biologis melainkan lebih disebabkan oleh faktor sosial budaya. Sebelum adanya teknologi alat-alat kontrasepsi, tugas utama perempuan adalah melahirkan, menyususi, dan segala aktivitas yang berkaitan dengan pengasuhan anak. Keadaan ini telah menciptakan institusi dimana division of labor menjadi suatu norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Dalam hal ini, perempuan berperan sebagai figur ekspresif dan laki-laki sebagai figure instrumenal. Dengan adanya penemuan teknologi, perempuan dapat mengatur jumlah anak yang dilahirkan dan tidak perlu menyusui lagi sehingga akan menghilangkan kendala biologis yang menghambat mereka bekerja di sektor-sektor yang didominasi kaum laki-laki (Megawangi 1999).

Peran gender menurut Myers (1996) dalam Nauly (2002) merupakan suatu set perilaku yang diharapkan (norma-norma) untuk laki-laki dan perempuan. Bervariasinya peran gender diantara berbagai budaya serta jangka waktu menunjukkan bahwa budaya memang membentuk peran gender kita. Berdasarkan pemahaman itu, maka peran gender dapat berbeda di antara satu

(17)

masyarakat dengan masyarakat lainnya sesuai dengan norma sosial dan nilai budaya yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan, dapat berubah dan diubah dari masa kemasa sesuai dengan kemajuan pendidikan, teknologi, ekonomi dan sebagainya, dan dapat ditukarkan antara laki-laki dengan perempuan. Hal ini berarti, peran gender bersifat dinamis.

Berkaitan dengan hal tersebut, dikenal ada tiga jenis peran gender sebagai berikut (Sudarta 2004): 1) Peran produktif (peran di sektor publik) adalah peran yang dilakukan oleh seseorang, laki-laki atau perempuan, menyangkut pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa, baik untuk dikonsumsi maupun untuk diperdagangkan, 2) Peran reproduktif (peran di sektor domestik) adalah peran yang dilakukan oleh seseorang laki-laki atau perempuan, untuk kegiatan yang berkaitan dengan pemeliharaan sumber daya manusia dan pekerjaan urusan rumahtangga, seperti mengasuh anak, membantu anak belajar, berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari, membersihkan rumah, mencuci alat-alat rumahtangga, mencuci pakaian dan lainnya, 3) Peran sosial adalah peran yang dijalankan oleh seseorang, laki-laki atau perempuan, untuk berpartisipasi di dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti gotong royong dalam menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang menyangkut kepentingan bersama.

Menurut Vitayala (1995) dalam Hastuti (2004), dalam era globalisasi yang diiringi dengan daya saing ekonomi yang semakin rumit, kesulitan mencari pekerjaan, dampak rekayasa dan desiminasi inovasi alat kontrasepsi, bentuk-bentuk keluarga akan menjadi sangat kecil maka prospek dan pengembangan citra peran citra peran perempuan dalam abad XXI, akan berbentuk menjadi beberapa peran:

1. Peran tradisi, yang menempatkan perempuan dalam fungsi reproduksi. Hidupnya 100,0 persen untuk keluarga. Pembagian kerja jelas perempuan di rumah, laki-laki di luar rumah.

2. Peran transisi, mempolakan peran tradisi lebih utama dari yang lain. Pembagian tugas menuruti aspirasi gender, gender tetap eksis mempertahankan keharmonisan dan urusan rumahtangga tetap tanggung jawab perempuan.

3. Dwiperan, memposisikan perempuan dalam kehidupan dua dunia; peran domestik-publik sama penting. Dukungan moral suami pemicu ketegaran atau keresahan.

(18)

4. Peran egalitarian, menyita waktu dan perhatian perempuan untuk kegiatan di luar. Dukungan moral dan tingkat kepedulian laki-laki sangat hakiki untuk menghin dari konflik kepentingan.

5. Peran kontemporer adalah dampak pilihan perempuan untuk mandiri dalam kesendrian. Meskipun jumlahnya belum banyak, tetapi benturan demi benturan dari dominasi laki-laki yang belum terlalu peduli pada kepentingan perempuan akan meningkatkan populasinya.

Pandangan Budaya Terhadap Perempuan

Dalam sistem sosial budaya yang didominasi oleh system patriarkhi, terdapat perbedaan peran gender yang cenderung kaku pada kehidupan masyarakat sehari-hari. Perbedaan peran gender yang dilandasi oleh nilai-nilai budaya masyarakat inilah yang melahirkan ketidakadilan terutama bagi kaum perempuan. Manifestasi ketidakadilan ini terwujud dalam bentuk marginalisasi, subordinasi maupun stereotype bagi kaum perempuan.

Marginalisasi terhadap kaum perempuan antara lain bersumber dari adat istiadat dan kebiasaan, dan dapat juga bersumber dari kebijakan pemerintah dan keyakinan. Marginalisasi juga terjadi akibat adanya diskriminasi budaya terhadap pembagian kerja menurut gender. Ada jenis pekerjaan tertentu yang dianggap pantas dan tidak pantas bagi untuk perempuan. Perempuan dianggap tekun, sabar dan ramah , maka jenis pekerjaan yang cocok bagi mereka adalah guru, pramugari, suster/perawat.

Subordinasi perempuan juga dicerminkan di kehidupan keluarga dan di masyarakat. Subordinasi perempuan menunjukkan bahwa kedudukan perempuan, khususnya dalam rumahtangga. Peran laki-laki sebagai kepala keluarga dan pemimpin serta pencari nafkah utama, sehingga menjadikan laki-laki sebagai pengambil keputusan utama dalam keluarga dan dalam kehidupan masyarakat. Peran perempuan sebagai ibu rumahtangga dan istri berada di belakang bayang-bayang kekuasaan suaminya/laki-laki.

Stereotipe secara umum diartikan sebagai pelabelan atau penandaan pada suatu kelompok tertentu yang dapat menimbulkan ketidakadilan. Salah satu stereotipe yang memojokkan perempuan adalah perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya. Stereotipe lainnya adalah perempuan berfungsi sebagai ibu rumahtangga dan melayani suami. Pelabelan

(19)

ini menghambat pendidikan kaum perempuan karena walaupun sekolah tingi-tinggi, tetap akan berada di rumah menajadi ibu rumahtangga dan melayani suami (Puspitawati et all 2007).

Perubahan peran perempuan Sulawesi Selatan

Dalam perspektif sosial budaya Sulawesi Selatan, ada tiga nilai tentang perempuan yang merupakan norma dalam masyarakat, yaitu : 1) Perempuan sebagai Indo Ana, yaitu Ibu yang bertugas memelihara anak, 2) Perempuan sebagai Cattaro Pappole Asalewangeng, yaitu peran perempuan sebagai penyimpan dan pemelihara rejeki yang diperoleh suami, dan 3) Perempuan sebagai Repo’ Riatutui Siri’na, yaitu peran sebagai penjaga rasa malu dan kehormatan keluarga.

Ketiga nilai tersebut dapat disimpulkan , perempuan dengan segala unsur yang dimilikinya dimasa lalu, hanya mempunyai kewajiban memelihara anak, menyelenggarakan urusan rumahtangga,dan memelihara harkat dan martabat keluarga. Nilai tersebut sebenarnya hampir tidak ada bedanya dengan kondisi perempuan di belahan bumi manapun.

Seiring dengan laju perkembangan dan tuntutan zaman kondisi saat ini semakin menunjukkan adanya perubahan yang berimplikasi mendorong kemajuan peran perempuan disemua bidang. Perempuan Sulawesi Selatan saat ini sudah lebih terbuka menafsirkan nilai-nilai kultur, mereka secara kuantitas dan kualitas tidak hanya terlibat di ranah domestik, tapi juga aktif di ranah publik. Bahkan banyak diantara mereka tetap melakukan aktifitas dengan peran ganda di lingkungan rumah mereka, sehingga status isteri, ibu rumahtangga, teman bagi anak-anaknya, maupun unsur anggota masyarakat dapat dilakoni dengan baik.

Hal tersebut tentu saja didukung dengan tingkat pendidikan tinggi yang bisa didapatkan oleh perempuan, yang selanjutnya turut memberi andil terhadap pola pikir perempuan Sulawesi Selatan. Hak untuk mencari nafkah untuk kesinambungan hidup keluarga tidak semata dapat dilakukan oleh laki-laki saja , tetapi dapat juga dilakukan oleh seorang perempuan, dalam hal ini isteri, anak perempuan dan lainnya (Kamaluddin 2007).

Peran Gender dalam Keluarga

Menurut kementerian Pemberdayaan Perempuan, BKKBN dan UNFAPA (2005), mendefinisikan pembagian kerja atau pembagian peran berdasarkan

(20)

gender adalah sebagai kerja atau peran yang diwajibkan oleh masyarakat kepada perempuan dan laki-laki baik di dalam rumah maupun di dalam komunitas. Di dalam keluarga, perempuan berperan mengerjakan tugas-tugas rumahtangga seperti mengurus anak dan suami, memasak, mencuci, membersihkan rumah, dan lain-lain. Laki-laki berkewajiban melindungi anggota keluarga dan mencari nafkah untuk semua anggota keluarga. Adanya pembagian tugas yang baik dan seimbang antara laki-laki dan perempuan maka perbedaan gender tidaklah menjadi suatu masalah karena peran perempuan dan laki-laki akan menguntungkan kedua belah pihak.

Supriyantini dalam Puspitawati (2009) melakukan penelitian mengenai Hubungan Antara Pandangan Peran Gender dengan Keterlibatan Suami dalam Kegiatan Rumahtangga mengatakan bahwa isteri yang bekerja seringkali tetap memiliki tanggung jawab utama yang sama besar dengan istri yang tidak bekerja dalam pengasuhan anak dan urusan rumahtangga. Hal ini dapat menimbulkan masalah karena diketahui bahwa semakin banyak beban kerja berlebihan yang dirasakan, istri akan mengalami keletihan dan mudah tersinggung.

Rowatt dalam Puspitawati (2009) juga menambahkan bahwa suami-isteri yang ikut terlibat berperan dalam urusan rumahtangga akan lebih mampu mengatasi konflik-konflik yang terjadi dalam urusan rumahtangga tanpa merugikan salah satu pihak dan mengurangi adanya stress pada pasangan karier ganda akibat menumpuknya tugas-tugas dalam rumahtangga.

Keterlibatan suami dalam urusan rumahtangga, sangat diharapkan untuk meringankan tugas isteri. Salah satu faktor yang mempengaruhi seorang suami ikut berpartisipasi dalam pekerjaan rumahtangga adalah pandangan peran gender yang dianut suami.

Scanzoni (1981) diacu dalam Puspitawati (2009), membedakan pandangan peran gender menjadi dua bagian, yaitu:

1. Peran gender tradisional. Pandangan ini membagi tugas secara kaku berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki yang mempunyai pandangan peran gender tradisional tidak ingin perempuan menyamakan kepentingan dan minat diri sendiri dengan kepentingan keluarga secara keseluruhan. Istri diharapkan mengakui kepentingan dan minat suami adalah untuk kepentingan bersama dalam arti lain kekuasaan kepemimpinan dalam keluarga berada ditangan suami.

(21)

2. Peran gender modern. Tidak lagi ada pembagian tugas yang berdasarkan jenis kelamin, kedua jenis kelamin diperlakukan sejajar atau sederajat. Laki-laki mengakui minat dan kepentingan perempuan sama pentingnya dengan minat laki-laki, menghargai kepentingan pasangannya dalam setiap masalah rumahtangga dan memutuskan masalah yang dihadapi secara bersama-sama. Perempuan yang berpandangan modern, berusaha memusatkan perhatiannya untuk mencapai minatnya sendiri yang tidak lebih rendah dari minat suami.

Kesejahteraan Keluarga

Definisi Kesejahteraan

Kesejahteraan merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima. Namun demikian tingkatan dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relative karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut (Sawidak dalam Sunarti 2008)

Kesejahteraan adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, maupun spiritual yang diliputi rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir batin yang memungkinkan setiap warganegara untuk mengadakan usaha-usaha pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, rumahtangga serta masyarakat (Rambe dalam Sunarti 2008). Menurut Bubolz dalam Sunarti (2008), kesejahteraan merupakan terminology lain dari kualitas hidup manusia (quality of human life), yaitu suatu keadaan ketika terpenuhinya kebutuhan dasar serta terealisasikannya nilai-nilai hidup.

Konsep Keluarga Sejahtera menurut UU No 10 Tahun 1992 adalah keluarga yang dibentuk atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan spiritual dan materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan YME, memiliki hubungan yang serasi, selaras, seimbang antar anggota dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya.

Kesejahteraan keluarga juga dapat dibedakan menjadi kesejahteraan ekonomi (family well-being) yang diukur dari pemenuhan input keluarga (misalnya diukur dari pendapatan, upah, asset, dan pengeluaran keluarga) dan kesejahteraan material (family material well-being) yang diukur dari berbagai

(22)

bentuk barang dan jasa yang diakses oleh keluarga. Menurut Santamarina dalam Sunarti (2008) terdapat enam kategori kesejahteraan (quality of life atau individual well-being) yaitu: 1) Fisik, 2) Psikologis, 3) Tingkat kemandirian, 4) Sosial, 5) Lingkungan, dan 6) Spiritual (Sunarti 2008).

Pengukuran Kesejahteraan

Pengukuran kesejahteraan sering menggunakan pembagian kesejahteraan ke dalam dua bagian yaitu kesejahteraan subjektif dan objektif. Kesejahteraan secara objektif dan subjektif dapat dialamatkan bagi tingkat individu, keluarga, dan masyarakat. Pada tingkat individu, perasaan bahagia atau sedih, kedamaian atau kecemasan jiwa, dan kepuasan atau ketidakpuasan merupakan indicator subjektif dari kualitas hidup. Pada tingkat keluarga, kecukupan kondisi perumahan (dibandingkan standar), seperti ada tidaknya air bersih, merupakan contoh indikator objektif ( Sunarti 2008).

Terdapat perbedaan antara Subjective quality of life dan Objective quality of life. Subjective of life adalah tentang perasaan senang atau puas dan merasa cukup atas kebahagiaan hidupnya. Sedangkan Objective quality of life adalah tentang terpenuhinya semua kebutuhan secara sosial dan budaya dalam hal kekayaan material, kesejahteraan/kesehatan fisik dan status sosial. Pendekatan pengukuran quality of life diperoleh dari lingkungan dimana keluarga berasal. Lingkungan tersebut adalah lingkungan keluarga dan teman-teman, pekerjaan, tetangga, kelompok masyarakat, kesehatan fisik, tingkat pendidikan dan spiritual (agama), dengan menggunakan skala ordinal (Puspitawati 2009).

Referensi

Dokumen terkait

menunjukkan angka larva uji asal Sekotong 0,97; Batu Layar 0,89 dan Pasar Seni Senggigi 0,90 dengan kriteria yang telah ditetapkan maka larva uji asal Sekotong

Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT.. 01 TAHUN 2019 Dalam penelitian ini, peneliti mencoba menjabarkan dan mendeskripsikan markaz Bahasa Arab DLWI dalam

Adalah wajar apabila permintaan peninjauan kembali terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum oleh terpidana atau ahli warisnya dikecualikan

• Satu admin dapat menghapus satu atau lebih gambar • Satu admin dapat melihat satu atau lebih status sewa kios • Satu admin dapat mengubah satu atau lebih status sewa kios •

Jadi membersihkan kaset supaya terbebas dari bakteri paling sesuai menggunakan etil alkohol karena sifat alkohol tersebut dapat membunuh bakteri tetapi tidak

Namun, jika hal yang disebut sebagai “keuntungan” itu merupakan keuntungan umum bagi orang lain atau pun masyarakat luas maka, keuntungan tersebut tidak hanya tidak

Lakip Bappeda – Litbang Tahun 2018 23 Persentase pelaksanaan terhadap proses dan mekanisme perencanaan berjalan sesuai aturan (100%). Terciptanya sinkronisasi dan

Mengingat keterkatitan yang erat antara parameter benahan dengan simetri sistem, maka dapat dikatakan bahwa fase simetri yang tinggi berarti sistem berada fase takberaturan dan fase