• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIASAAN SARAPAN PADA REMAJA SISWI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN DI BOGOR ANNA FEBRITTA INTAN SARI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEBIASAAN SARAPAN PADA REMAJA SISWI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN DI BOGOR ANNA FEBRITTA INTAN SARI"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

ANNA FEBRITTA INTAN SARI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kebiasaan Sarapan pada Remaja Siswi Sekolah Menengah Kejuruan di Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2013

Anna Febritta Intan Sari

(3)

ABSTRACT

ANNA FEBRITTA INTAN SARI. Breakfast Habit in Teenage Girls of Vocational High School in Bogor. Supervised by DODIK BRIAWAN and CESILIA METI DWIRIANI.

The study was aimed to describe breakfast habit in teenage girls of vocational high school Bogor. Design of this study was a cross sectional and the subject was 68 students 14–18 years old. Breakfast consumption was collected by a 7-day food record and verified by researcher. The result showed that there are 45.6% teenage girls having breakfast regularly. Breakfast frequency per week is associated with BMI and anaemic status. The subject mostly answer breakfast was defined as eating in the morning. Half of the subject answer breakfast was defined as eating in the morning is beneficial and the other answered eating in the morning consist of a solid food and beverage with medium portion. Food and drink for breakfast was good by subject is bread and milk. The subject declare breakfast is important, but also the subject ever not breakfast because wake up late. Almost all of subject declared should be mother who prepare breakfast and must breakfast at home before starting activity. The teenage girls having a good quality breakfast with higher consumption of rice, bread, fruit, and milk than teenage girls having a low quality breakfast with higher consumption of sweet tea and snack was found in anaemic status (13.2%). Mother education, mother occupation, parents income, and number of family member were related to habitual breakfast (p<0.05). There is positive associated between habitual breakfast and quality breakfast (p=0.000 ; r=0.539).

(4)

RINGKASAN

ANNA FEBRITTA INTAN SARI. Kebiasaan Sarapan pada Remaja Siswi Sekolah Menengah Kejuruan di Bogor. Dibimbing oleh DODIK BRIAWAN dan CESILIA METI DWIRIANI.

Data menunjukkan masih banyak anak yang tidak terbiasa sarapan sehat karena hanya sarapan dengan air minum dan memperoleh asupan energi dari sarapan kurang dari 15% kebutuhan energi per hari, padahal sarapan yang ideal seharusnya memenuhi seperempat kebutuhan gizi remaja. Tujuan umum dari penelitian ini adalah mempelajari kebiasaan sarapan pada remaja siswi sekolah menengah kejuruan (SMK) di Bogor. Tujuan khususnya meliputi: 1) mempelajari karakteristik individu dan keluarga remaja siswi SMK, 2) mempelajari pengetahuan gizi remaja siswi SMK, 3) mempelajari konsep sarapan remaja siswi SMK, 4) mengidentifikasi kebiasaan sarapan remaja siswi SMK, 5) menilai kualitas sarapan remaja siswi SMK, 6) menganalisis hubungan karakteristik keluarga dengan kebiasaan sarapan remaja siswi SMK, 7) menganalisis hubungan pengetahuan gizi dan kebiasaan sarapan dengan kualitas sarapan remaja siswi SMK, 8) menganalisis hubungan kualitas sarapan dengan status anemia remaja siswi SMK.

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study. Penelitian ini secara keseluruhan dilakukan pada bulan Oktober-November 2012. Proses pengumpulan data dilakukan di SMK Pelita Ciampea, Kabupaten Bogor. Jumlah contoh dalam penelitian ini adalah 68 remaja siswi. Contoh penelitian memiliki rata-rata usia 16.6±0.74 tahun. Prevalensi anemia dalam penelitian ini adalah 19.1%. Masalah gizi contoh yaitu kegemukan (1.5%) dan stunted

(23.5%). Lebih dari separuh contoh (60.3%) diberikan uang saku dengan kategori

sedikit (< Rp 12.361). Sebagian besar pendidikan dan pekerjaan ibu contoh adalah SD dan ibu rumah tangga. Sebagian besar pendapatan orangtua contoh (29.4%) adalah Rp. 1.000.000-1.499.000 per bulan. Sebagian besar contoh (94.1%) tergolong dalam kategori keluarga besar (> 4 orang). Sebagian besar ayah (79.4%) dan ibu (88.2%) contoh berasal dari suku sunda.

Lebih dari separuh contoh (72.1%) memiliki tingkat pengetahuan gizi yang sedang, sedangkan hanya 17.6% dari contoh memiliki tingkat pengetahuan gizi yang tergolong baik. Namun masih terdapat contoh yang tidak dapat menjawab dengan baik tentang fungsi zat besi didalam tubuh (95.6%), salah satu upaya menanggulangi masalah anemia gizi besi (76.5%), sumber pangan hewani yang tinggi zat besi (64.7%), jenis minuman yang menghambat penyerapan (45.6%), dan jenis vitamin yang membantu penyerapan besi dalam tubuh (48.5%).

Seluruh contoh mengartikan sarapan adalah makan di pagi hari. Sekitar separuh contoh (55.9%) mengartikan sarapan adalah makan di pagi hari yang memberikan peranan dan manfaat, antara lain sebagai sumber energi dan zat gizi untuk melakukan aktivitas, mencegah sakit, menghilangkan lapar, dan memenuhi kebutuhan tubuh dan sisanya (44.1%) mengartikan sarapan adalah makan di pagi hari yang terdiri dari makanan padat dan minuman dengan porsi sedang. Makanan dan minuman saat sarapan yang baik menurut contoh adalah roti dan susu (26.5%). Seluruh contoh menyatakan sarapan penting, namun seluruh contoh juga pernah tidak sarapan karena kesiangan atau bangun telat. Hampir seluruh contoh menyatakan sebaiknya ibu yang menyiapkan sarapan (91.2%) dan terdapat aturan kewajiban sarapan di rumah sebelum memulai aktivitas (80.9%).

(5)

yang dilakukan pada pukul 06.00-06.59 WIB hari sekolah (69.1%) dan pada pukul 08.00-08.59 WIB hari libur (38.2%). Hampir separuh contoh tidak anemia (47.3%) dan tidak gemuk (44.3%) selalu melakukan sarapan setiap hari. Terdapat hubungan yang bermakna (p<0.05) antara kebiasaan sarapan dengan status anemia dan status gizi. Sebagian besar menu sarapan contoh adalah makanan sepinggan (29.4%). Jenis menu sarapan contoh yang dikonsumsi pada hari sekolah lebih banyak dengan makanan sepinggan, jajanan, dan minuman.

Separuh contoh (54.4%) termasuk dalam kategori kualitas sarapan rendah. Seluruh contoh termasuk rendah asupan karbohidrat kompleks dan serat, namun separuh contoh termasuk tinggi asupan lemak. Jenis menu sarapan contoh lebih banyak diolah dengan teknik deep frying seperti ayam goreng, tempe goreng, tahu goreng, ikan tongkol goreng, bakwan dan tempe tepung goreng, selain itu sedikit konsumsi sayur dan buah. Diantara contoh dengan kualitas sarapan sedang dan tinggi (45.6%), tidak ada contoh yang melakukan sarapan sehat, melainkan 44.1% contoh termasuk kategori sarapan kurang sehat, dan hanya 1.5% contoh yang termasuk sarapan cukup sehat. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh contoh belum melakukan sarapan sehat. Rata-rata asupan Energi, Protein Kalsium, Fosfor, Besi, Vitamin A, dan Vitamin C sarapan contoh adalah 342±153 kkal, 11.4±6.6 g, 102.2±110.4 mg, 129.9 ±128.1 mg, 2.9±1.4 mg, 52.7±60.2 RE, dan 1.6±3.2 mg. Rata-rata asupan Energi, Protein, dan Vitamin sarapan contoh pada hari libur lebih tinggi daripada hari sekolah. Terdapat perbedaan antara asupan Energi dan Protein pada hari sekolah dan hari libur (p<0.05). Jenis menu sarapan contoh lebih banyak tidak makan sarapan bergizi seimbang karena hanya terbatas pada makanan sepinggan yang kaya Karbohidrat; sedikit konsumsi sayur dan buah; serta lebih sering konsumsi jajanan tradisional.

Terdapat hubungan karakteristik keluarga (pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pendapatan orangtua, dan jumlah anggota keluarga) dengan kebiasaan sarapan (p<0.05). Terdapat hubungan signifikan positif antara kebiasaan sarapan dengan kualitas sarapan (p=0.000; r=0.539). Namun, tidak terdapat hubungan nyata negatif antara pengetahuan gizi dan kualitas sarapan (p=0.275; r=-0.134). Tidak terdapat hubungan nyata antara kualitas sarapan contoh dengan status anemia contoh (p=0.844; r=-0.024).

.

(6)

KEBIASAAN SARAPAN PADA REMAJA SISWI

SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN DI BOGOR

ANNA FEBRITTA INTAN SARI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(7)

Kejuruan di Bogor Nama : Anna Febritta Intan Sari

NIM : I14104023

Menyetujui:

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, M.Sc NIP. 19660701 199002 1 001 NIP. 19660527 199203 2 003

Mengetahui: Ketua

Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001

(8)

PRAKATA

Bismillaahirrahmaanirrahim

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, karunia dan cinta-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Kebiasaan Sarapan pada Remaja Siswi Sekolah Menengah Kejuruan di Bogor” dengan baik. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW serta keluarganya, para sahabatnya, dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Namun demikian selama penyusunan skripsi ini pun tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN dan Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, M.Sc selaku

dosen pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu dan pikirannya; memberikan arahan, kritik dan saran; serta dorongan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi.

2. Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan arahannya selama ini.

3. dr. Karina Rahmadia Ekawidyani, S.Ked selaku dosen pemandu seminar yang telah memberikan saran untuk penyempurnaan skripsi.

4. Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS selaku dosen penguji yang telah memberikan arahan, kritik, dan saran untuk memaksimalkan perbaikan mutu penulisan. 5. Kepala sekolah, Wali kelas XI dan XII, serta Staff Tata Usaha SMK Pelita

Ciampea Bogor atas kerja sama dalam membantu pengambilan data.

6. Kedua orang tua yang terkasih, atas doa yang selalu dipanjatkan untuk keberhasilan penulis. Semoga ini menjadi persembahan terbaik.

7. Kakak dan adik tercinta yang telah memberikan doa dan motivasinya.

8. Seluruh teman-teman dan civitas akademik yang selalu memberikan dukungan moril dan pendapat serta saran yang membangun, serta seluruh pihak telah membantu dalam penyelesaian skripsi.

Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun ke arah penyempurnaan skripsi ini sehingga dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang berkepentingan khususnya untuk perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Januari 2013

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kebumen pada tanggal 02 Februari 1990. Penulis adalah putri kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Suwandi dan Ibu Maria Magdalena Suyatminah. Penulis menempuh pendidikan formal di TK Mandiri Karya Cilegon, SD Negeri 4 Cilegon, SMP Negeri 2 Cilegon, SMA Negeri 3 Cilegon. Saat penulis masih SMA, penulis pernah mengikuti Jumpa Bakti Gembira Palang Merah Remaja (JUMBARA PMR) Tingkat Nasional di Palembang pada tahun 2006.

Penulis diterima di Direktorat Program Diploma, Program Keahlian Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI) pada tahun 2007 dan lulus pada tahun 2010. Saat mengikuti Program Diploma, penulis melaksanakan praktek kerja lapang (PKL) di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi pada bulan Agustus-November 2009. Penulis tercatat sebagai pengurus Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) sebagai sekretaris di bidang Komisi Internal tahun 2007/2008.

Penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Program Sarjana Mayor Ilmu Gizi di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor yang diperoleh pada tahun 2010. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi enumerator dalam Riset Fasilitas Kesehatan (RIFASKES) yang diselenggarakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (BALITBANGKES) pada bulan Juli-Agustus 2011. Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) pada bulan Juni hingga Agustus 2012 di Desa Luwunggesik, Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu. Penulis juga mengikuti kegiatan lain seperti radio broadcast yang bertema tentang osteoporosis di RRI Cabang Bogor, ikut serta dalam mempromosikan sarapan sehat (Healthy breakfast) melalui media iklan di beberapa stasiun televisi, dan aktif sebagai sekretaris dalam kepanitiaan Seminar Gizi dan Pangan Nasional Food and Nutrition For Fresh, Fit, Active and

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 3 Tujuan Umum ... 3 Tujuan Khusus ... 3 Kegunaan Penelitian ... 3 TINJAUAN PUSTAKA ... 4 Remaja ... 4 Sarapan ... 6

Konsep dan Pengertian Sarapan ... 6

Peranan dan Manfaat Sarapan ... 6

Kontribusi Energi dan Zat Gizi Sarapan ... 8

Jenis Menu Sarapan ... 9

Ketersediaan Sarapan ... 10

Aturan Kewajiban Sarapan ... 11

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebiasaan Sarapan ... 11

Konsumsi Pangan ... . 15

Anemia pada Remaja ... 18

KERANGKA PEMIKIRAN ... 21

METODE PENELITIAN... 23

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ... 23

Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh ... 23

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 23

Pengolahan dan Analisis Data ... 24

Definisi Operasional ... 30

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 33

Karakteristik Individu dan Keluarga... 33

Pengetahuan Gizi ... 40

(11)

Kebiasaan Sarapan Remaja ... 48

Kualitas Sarapan Remaja ... 55

Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Kebiasaan Sarapan ... 62

Hubungan Pengetahuan Gizi dan Kebiasaan Sarapan dengan Kualitas Sarapan ... 65

Hubungan Kualitas Sarapan dengan Status Anemia ... 67

KESIMPULAN DAN SARAN ... 70

Kesimpulan ... 70

Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 72

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Kecukupan gizi yang dianjurkan pada remaja ... 5 2 Kecukupan energi dan zat gizi sarapan yang dianjurkan pada

remaja ... 8 3 Batas normal kadar hemoglobin ... 18 4 Pengkategorian karakteristik individu dan keluarga dan

pengetahuan gizi remaja siswi smk ... 25 5 Pengkategorian variabel konsep, kebiasaan dan kualitas sarapan

serta status anemia dan status gizi ... 28 6 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik contoh... 34 7 Sebaran contoh berdasarkan status gizi ... 38 8 Persentase contoh yang menjawab benar tentang pengetahuan

gizi ... 41 9 Definisi sarapan menurut contoh ... 43 10 Distribusi frekuensi kebiasaan sarapan contoh menurut

status anemia dan status gizi ... 49 11 Sebaran contoh berdasarkan waktu dan lokasi sarapan ... 51 12 Distribusi frekuensi tersedianya sarapan di rumah berdasarkan

pekerjaan ibu ... 52 13 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan sarapan bersama... 53 14 Sebaran contoh berdasarkan jenis menu sarapan ... 53 15 Rata-rata konsumsi pangan dan asupan energi dan

zat gizi sarapan ... 56 16 Rata-rata konsumsi dan kontribusi energi dan zat gizi sarapan (%AKG) 58 17 Sebaran contoh berdasarkan sarapan sehat ... 62 18 Hubungan karakteristik keluarga dengan kebiasaan sarapan ... 63 19 Hubungan pengetahuan gizi dan kebiasaan sarapan dengan

kualitas sarapan contoh ... 66 20 Hubungan kualitas sarapan dengan status anemia ... 68

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Model teori sebab akibat antara sarapan dan berat badan ... 15

2 Kerangka pemikiran kebiasaan sarapan pada remaja siswi sekolah menengah kejuruan di bogor... 22

3 Sebaran contoh berdasarkan status anemia ... 37

4 Distribusi IMT/U contoh dibandingkan dengan WHO ... 39

5 Distribusi TB/U contoh dibandingkan dengan WHO ... 40

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Konsep sarapan ... 78

2 Kebiasaan sarapan contoh selama 7 hari ... 83

3 Hasil uji korelasi karakteristik, ketersediaan, anemia dan gemuk ... 85

4 Hasil uji korelasi karakteristik dengan kebiasaan sarapan ... 85

5 Hasil uji korelasi pengetahuan gizi, kebiasaan, kualitas sarapan dan anemia ... 85

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masalah kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini adalah masalah gizi kurang dan gizi lebih. Masalah gizi menyebabkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) menjadi rendah. Rendahnya kualitas SDM merupakan tantangan berat dalam menghadapi persaingan bebas di era globalisasi. Oleh karena itu, diperlukan perilaku konsumsi makanan yang baik dan sesuai yang diwujudkan dalam bentuk pesan umum gizi seimbang (Depkes 2005).

Sarapan merupakan salah satu waktu makan yang penting bagi setiap orang. Pada anak sekolah, termasuk remaja usia 16-18 tahun, sarapan berfungsi untuk mendapatkan sumber energi dan zat gizi agar dapat berpikir, belajar, dan melakukan aktivitas secara optimal setelah bangun pagi. Menurut Depkes (2005), proporsi asupan zat gizi makro yang dianjurkan untuk anak sekolah sehari menurut pedoman umum gizi seimbang (PUGS) meliputi karbohidrat 50-60%, lemak sekitar 25%, dan protein sekitar 15%. Proporsi tersebut sudah mencakup sarapan. Khomsan (2002) berpendapat sarapan dapat menyumbang kontribusi energi sebesar 25 persen dari angka kebutuhan gizi sehari. Sarapan dibutuhkan untuk mengisi lambung yang telah kosong selama 8-10 jam, sehingga kadar glukosa yang semula turun akan kembali meningkat.

Sarapan terbukti dapat meningkatkan konsentrasi belajar dan stamina anak sekolah. Dengan sarapan kadar gula darah akan kembali normal setelah 8-10 jam tidak makan. Apabila kadar gula darah normal, maka konsentrasi bisa lebih baik sehingga berdampak positif untuk meningkatkan produktivitas. Namun, hasil analisis data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2010, masih banyak anak yang tidak terbiasa sarapan sehat, yaitu sekitar 35.000 anak usia sekolah (26.1%) yang hanya sarapan dengan air minum dan 44.6% memperoleh asupan energi dari sarapan kurang dari 15% kebutuhan energi per hari (Balitbangkes 2010). Sarapan sebaiknya memenuhi 330-550 kkal dan 8.3-13.8 g protein untuk mencukupi kebutuhan remaja siswi (15%-25% kebutuhan gizi sehari) sehingga dapat mengikuti berbagai kegiatan sekolah dan berkonsentrasi serta memahami pelajaran yang diberikan guru.

Kebiasaan sarapan adalah salah satu pola hidup sehat bergizi seimbang untuk anak sekolah, termasuk remaja. Namun, sarapan relatif lebih sering dilakukan oleh anak usia kurang dari 10 tahun dan dewasa lebih dari 65 tahun. Hasil studi yang dilakukan pada remaja usia 13-16 tahun di Amerika Serikat dan

(16)

Eropa pada tahun 1970 hingga 2004 di pedesaan dan perkotaan menunjukkan sebanyak 10-30% mempunyai kebiasaan tidak sarapan (Rampersaud et al. 2005). Hasil studi di Indonesia yang dilakukan di enam kota besar (Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpansar) menunjukkan hasil yang lebih kurang sama, yaitu sekitar 14-25% remaja yang tidak sarapan. Alasan umum remaja tidak pernah sarapan atau sarapan secara kadang-kadang karena makanan belum tersedia, tidak terbiasa, malas atau waktu makan sempit pada pagi hari. Susunan hidangan sarapan pada remaja tidak selalu merupakan susunan hidangan lengkap yang terdiri dari nasi, lauk pauk, sayur dan buah, tetapi hanya nasi dan lauk pauk, nasi goreng, roti dan isi, dan mie goreng sehingga menyediakan konsumsi zat gizi yang tidak seimbang (Mudjianto et al. 1994). Affenito et al. (2005) juga menunjukkan dalam hasil penelitiannya bahwa kebiasaan sarapan pada usia remaja cenderung menurun dengan bertambahnya usia. Persentase remaja perempuan yang memiliki kebiasaan sarapan menurun dari 77% pada usia 9 tahun menjadi kurang dari 32% pada usia 19 tahun. Padahal, remaja yang mengonsumsi sarapan secara rutin memiliki asupan karbohidrat, protein, dan serat yang lebih tinggi dan asupan lemak yang lebih rendah daripada mereka yang tidak sarapan (Rampersaud et al. 2005).

Penelitian mengenai kebiasaan sarapan pada remaja di Indonesia belum banyak dibahas. Pearson et al. (2009) menekankan pentingnya meneliti faktor yang terkait dengan konsumsi sarapan pada remaja, terutama faktor orangtua karena dapat berimplikasi dalam pengembangan dan implementasi efektif intervensi gizi pada kelompok risiko tinggi.

Sarapan yang ideal seharusnya memenuhi seperempat kebutuhan gizi remaja. Sarapan harus ada zat gizi seperti protein, lemak, vitamin, mineral, air dan serat (Bonnie 1998). Namun, kebanyakan remaja tidak makan sarapan bergizi seimbang. Hal ini terlihat dari masih rendahnya kontribusi energi dan zat gizi terlihat dalam menu sarapan. Selain itu, ragam jenis pangan yang dikonsumsi sebagai sarapan juga masih rendah (Hardinsyah 2012). Remaja putri merupakan golongan umur sensitif terhadap perilaku makan, termasuk perilaku sarapan. Golongan ini mulai mencari identitas dan sangat menjaga penampilan tubuh. Menurut Adimuntja et al. (2008), hasil analisis data Riskesdas 2007 adanya kecendrungan bahwa semakin kurang baik perilaku konsumsi remaja, maka akan semakin tinggi angka kejadian anemia, yang berarti rendahnya kadar hemoglobin (Hb) maupun sel darah merah. Jumlah penderita anemia yang

(17)

berasal dari kelompok usia sekolah (6-16 tahun) mencapai 65 juta jiwa. Penelitian Ruxton & Kirk (1997) menunjukkan kebiasaan tidak sarapan dapat menyebabkan defisiensi Vitamin A, Vitamin B6, Kalsium, Tembaga, Besi, Magnesium dan Seng. Briawan (2008) menyatakan hasil penelitiannya di Bogor menunjukkan prevalensi anemia di kalangan remaja putri adalah 25.1% (kategori sedang). Prevalensi defisiensi gizi besi (IDA) sebesar 16.4% yang menunjukkan bahwa sekitar 65% anemia di kalangan remaja putri disebabkan oleh defisiensi zat besi. Data Riskesdas 2007 mengungkapkan 93.6% penduduk Indonesia diatas usia 10 tahun kurang konsumsi sayur dan buah, sementara konsumsi gula dan garam meningkat. Hal ini bisa menyebabkan kegemukan serta menimbulkan penyakit degeneratif (Adimuntja et al. 2008). Oleh karena itu, penelitian ini penting dilakukan untuk melihat kebiasaan sarapan pada remaja siswi yang sedang sekolah setingkat sekolah menengah atas.

Tujuan Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mempelajari kebiasaan sarapan pada remaja siswi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Bogor.

Tujuan Khusus

1. Mempelajari karakteristik individu dan keluarga remaja siswi SMK. 2. Mempelajari pengetahuan gizi remaja siswi SMK.

3. Mempelajari konsep sarapan remaja siswi SMK.

4. Mengidentifikasi kebiasaan sarapan remaja siswi SMK. 5. Menilai kualitas sarapan remaja siswi SMK.

6. Menganalisis hubungan karakteristik keluarga dengan kebiasaan sarapan remaja siswi SMK.

7. Menganalisis hubungan pengetahuan gizi dan kebiasaan sarapan dengan kualitas sarapan remaja siswi SMK.

8. Menganalisis hubungan kualitas sarapan dengan status anemia remaja siswi SMK.

Kegunaan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kebiasaan sarapan remaja SMA/SMK/MA. Informasi tersebut dapat membantu orang tua dan remaja dalam menyadarkan pentingnya meningkatkan kualitas sarapan. Informasi ini juga dapat digunakan pihak sekolah dan pemerintah dalam memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai pentingnya sarapan dengan makanan bergizi.

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Remaja

Istilah adolescence atau remaja yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya. Perkembangan fisik yang cepat dan disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat, terutama pada masa awal remaja. Perubahan fisik yang terjadi selama awal masa remaja mempengaruhi tingkat perilaku individu (Hurlock 1999). Pertumbuhan cepat ini juga ditandai dengan pertumbuhan berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Pada masa remaja pertumbuhan BB perempuan dan laki-laki sekitar 16 g dan 19 g per hari, sedankan pertambahan TB anak perempuan dan laki-laki masing-masing dapat mencapai kurang lebih 15 cm per tahun. Puncak pertambahan pesat TB terjadi di usia 11 tahun untuk remaja perempuan dan sekitar usia 14 tahun untuk remaja laki-laki. Masa remaja juga terjadi peningkatan massa tubuh (tulang, otot, lemak, dan BB) serta perubahan biokimia hormonal (Kurniasih et al. 2010).

Menurut WHO/UNFPA, remaja adalah anak berumur 10-19 tahun. Remaja dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok umur 10-15 tahun dan 15-19 tahun. Masa remaja dikenal dengan masa pertumbuhan cepat (growth spurt) yaitu tahap pertama dari serangkaian perubahan menuju kematangan fisik dan seksual. Selain itu, ciri-ciri seks sekunder semakin tampak, seperti tercapainya kematangan fertilitas, serta terjadinya perubahan yang signifikan dalam kematangan psikologis dan kognitif. Pertumbuhan pesat tersebut terjadi baik oleh perempuan maupun laki-laki, menjelang dan masa pubertas (Kurniasih et al. 2010). Umumnya laki-laki mengalami kematangan yang lebih lambat daripada perempuan, sehingga laki-laki mengalami periode masa awal remaja yang lebih singkat yang mengakibatkan laki-laki tampak kurang matang untuk usianya dibandingkann dengan perempuan (Hurlock 1999).

Menurut Sarwono (1993), berdasarkan usia tahap perkembangannya remaja dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu:

1. Tahap remaja awal (14-17 untuk laki-laki dan 13-17 tahun untuk perempuan) dengan ciri-ciri yaitu: (a) status sosial belum jelas antara anak-anak dan remaja; (b) terjadi perubahan fisik dan kejiwaan yang pesat. Perubahan kejiwaan menyebabkan perubahan sikap terhadap diri sendiri dan orang lain, sedangkan pertumbuhan fisik pada tahap ini terjadi sangat pesat

(19)

dibandingkan tahap akhir; (c) masa peningkatan emosi; (d) masa tidak stabil (cepat bosan, sulit konsentrasi, dan lain-lain); (e) merasa banyak masalah. 2. Tahap remaja akhir (18-21 tahun untuk laki-laki dan perempuan) dengan

ciri-ciri yaitu: (a) lebih stabil dalam emosi, minat, konsentrasi, dan cara berfikir; (b) bertambah realistis; (c) meningkatnya kemampuan untuk memecah masalah; (d) tidak terganggu lagi dengan perhatian orang tua yang kurang; (e) pertumbuhan yang cenderung lamban.

Masa remaja merupakan masa perubahan yang cepat dalam diri seseorang. Pertumbuhan pada usia anak yang relatif terjadi dengan kecepatan yang sama, secara mendadak meningkat saat memasuki usia remaja. Peningkatan pertumbuhan mendadak ini disertai dengan perubahan-perubahan hormonal, kognitif, dan emosional. Semua perubahan ini membutuhkan zat gizi secara khusus, misalnya pada remaja putri secara normal akan mengalami kehilangan darah melalui menstruasi setiap bulan. Oleh karena itu, kebutuhan zat besi remaja putri lebih besar dibandingkan laki-laki (Soetardjo 2011).

Pertumbuhan dan perkembangan sel-sel jaringan tubuh pada usia remaja ditandai dengan perubahan bentuk badan, perkembangan organ reproduksi, dan pembentukan sel-sel reproduksi. Selain itu, kegiatan fisik (jasmani) lebih meningkat dibandingkan masa sebelumnya. Oleh karena itu, kecukupan remaja per orang per hari lebih banyak dibandingkan pada masa anak-anak (Hardinsyah & Martianto 1992). Kecukupan energi dan zat gizi remaja secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Kecukupan gizi yang dianjurkan pada remaja Zat Gizi Perempuan (tahun) Laki-laki (tahun)

13-15 16-18 13-15 16-18 Energi (kkal) 2350 2200 2400 2600 Protein (g) 57 55 60 65 Kalsium (mg) 1000 1000 1000 1000 Besi (mg) 26 26 19 15 Vitamin A (RE) 600 600 600 600 Vitamin E (mg) 15 15 15 15 Vitamin B1 (mg) 1.1 1.1 1.2 1.3 Vitamin C (mg) 65 75 75 90 Folat (mg) 400 400 400 400 Sumber: WNPG (2004)

Asupan energi anak perempuan pada tiga tahap perkembangan (pra-pubertas, tumbuh cepat, dan pasca-pubertas) berhubungan dengan tingkat perkembangan fisiologis. Kebutuhan protein remaja lebih dekat dengan pola pertumbuhan dibandingkan dengan usia. Angka kecukupan protein dalam

(20)

hubungannya dengan tinggi badan merupakan cara paling tepat untuk memperkirakan kebutuhan protein remaja. Apabila asupan energi kurang, asupan protein akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi, sehingga mungkin protein tidak cukup tersedia untuk pembentukan jaringan baru atau untuk memperbaiki jaringan yang rusak. Hal ini dapat menyebabkan pengurangan laju pertumbuhan dan penurunan massa otot tubuh. Kebutuhan vitamin dan mineral selama masa remaja meningkat karena remaja berada dalam masa puncak pertumbuhan (Soetardjo 2011).

Sarapan Konsep dan Pengertian Sarapan

Breakfast berasal dari kata break dan fast yang berarti sarapan. Sarapan

merupakan cadangan energi awal untuk beraktivitas. Saat tidur pada malam hari, tubuh mengalami seperti dalam keadaan puasa. Ketika itu terjadi peningkatan glukagon, yaitu hormon yang dapat meningkatkan kadar gula di dalam darah. Keseimbangan konstan di dalam lingkungan internal tubuh akan dicapai kembali melalui sarapan (Michaud et al. 2001).

Menurut Hardinsyah (2012), sarapan merupakan makan di awal hari biasanya dilakukan di pagi hari berupa makanan dan minuman. Makanan dan minuman yang dikonsumsi di pagi hari menyediakan energi dan zat gizi agar perasaan, berpikir, dan bekerja atau stamina yang lebih baik. Sarapan sehat mengandung energi cukup (15-25% dari kebutuhan energi per hari), serat makanan cukup, rendah lemak, tidak ada lemak trans, rendah glukosa dan karbohidrat sederhana (Indeks glikemik tinggi), minuman (air putih, susu, teh atau kopi).

Peranan dan Manfaat Sarapan

Seseorang membutuhkan sarapan karena dapat mempertahankan kadar glukosa darah agar stabil setelah puasa sepanjang malam; memenuhi kebutuhan gizi di pagi hari yang diperlukan oleh tubuh, sebagai bagian dari gizi seimbang sehari-hari agar perasaan yang lebih baik dan berpikir dan bekerja optimal; mencegah hipoglikemia, sakit kepala, dan kelebihan berat badan; dan untuk membentuk perilaku sarapan sehat (Hardinsyah 2012).

Makan pagi atau sarapan sangat bermanfaat bagi setiap orang. Bagi anak sekolah, makan pagi dapat meningkatkan konsentrasi belajar dan memudahkan menyerap pelajaran sehingga prestasi belajar menjadi lebih baik. Membiasakan sarapan memang terasa sulit. Padahal kebiasaan sarapan

(21)

membantu seseorang untuk memenuhi kecukupan gizinya sehari-hari. Seseorang yang tidak sarapan memiliki risiko menderita gangguan kesehatan berupa menurunnya kadar gula darah dengan tanda-tanda antara lain lemah, keluar keringat dingin, kesadaran menurun bahkan pingsan. Bagi anak sekolah kondisi ini menyebabkan merosotnya konsentrasi belajar yang mengakibatkan menurunnya pretasi belajar (Depkes 2005).

Konsumsi sarapan dapat meningkatkan fungsi kognitif yang berhubungan dengan memori, nilai ujian, dan kehadiran di sekolah. Sarapan sebagai bagian dari diet sehat dan gaya hidup positif dapat mempengaruhi kesehatan anak dan kesejahteraan. Namun, Apabila tidak sarapan akan mempengaruhi fungsi kognitif, emosi, dan perilaku anak. Kemampuan pemecahan masalah, memori jangka pendek, daya konsentrasi, dan memori episodik anak akan menurun. Sarapan dapat menjauhkan masalah emosional, perilaku, dan akademis pada anak dan remaja serta menghilangkan rasa lapar (Michaud et al. 2001). Hasil uji Anova menunjukkan adanya interaksi nyata antara kebiasaan sarapan dengan anemia terhadap konsentrasi belajar anak sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa anak yang tidak biasa makan pagi dan menderita anemia sangat merugikan karena kelompok ini ternyata mempunyai daya konsentrasi belajar yang rendah (Saidin et al. 1991).

Ada dua manfaat yang bisa diperoleh dari sarapan. Pertama, sarapan dapat meyediakan karbohidrat yang siap digunakan untuk meningkatkan kadar gula darah. Apabila kadar gula darah normal, maka konsentrasi bisa lebih baik sehingga berdampak positif untuk meningkatkan produktivitas. Kedua, sarapan akan memberikan kontribusi penting akan beberapa zat gizi yang diperlukan oleh tubuh. Ketersediaan zat gizi ini berfungsi untuk berbagai proses fisiologis dalam tubuh (Khomsan 2002). Studi yang dilakukan di Inggris tahun 2003 pada 29 anak sekolah di perkotaan mengungkapkan anak yang tidak sarapan dan hanya memperoleh minuman glukosa menunjukkan daya konsentrasi atau tingkat perhatian dan kemampuan mengingat yang menurun secara signifikan seiring dengan pertambahan waktu (Wesnes et al. 2003). Menurut Reddan et al. (2002), sarapan dipercaya dapat meningkatkan energi dan kemampuan anak sekolah untuk memperhatikan guru di sekolah.

Menurut Kral et al. (2010), tingkat konsumsi energi pada seseorang yang tidak sarapan lebih rendah 362 kkal dibandingkan seseorang yang sarapan. Pola sarapan yang teratur dapat memperbaiki kondisi glikemia, insulinemia, dan

(22)

lipidemia. Smith KJ et al. (2010) mengungkapkan bahwa seseorang yang melewatkan sarapan selama masa kecil pada masa dewasanya akan memiliki kolesterol jahat (LDL) dan total kolesterol yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang terbiasa sarapan. Mekanisme yang terjadi tidak secara langsung dimana kadar insulin serum turun sehingga produksi kolesterol di hepar menurun melalui inhibisi 3-hidroksi-3-metil-glutaryl-KoA reduktase.

Kontribusi Energi dan Zat Gizi Sarapan

Sarapan seharusnya menyediakan karbohidrat yang cukup agar kadar gula darah tetap normal, sehingga gairah dan aktivitas setiap hari dapat dilakukan secara maksimal. Sarapan juga harus mengandung zat gizi lainnya yang diperlukan tubuh seperti protein, lemak, vitamin, air, dan serat agar semua proses metabolisme di dalam tubuh dapat berlangsung dengan baik. Sarapan sebaiknya menyediakan 15-25% kebutuhan gizi sehari, tergantung zat gizinya. Angka kecukupan energi remaja siswi (16-18 tahun) sekitar 2.200 kkal dan 55 g protein, maka setiap pagi sebaiknya sarapan menyediakan 330-550 kkal dan 8.3-13.8 g protein (Hardinsyah 2012). Tabel 2 menunjukkan anjuran kecukupan energi dan zat gizi dari sarapan yang dihitung sebesar 25% AKG.

Tabel 2 Kecukupan energi dan zat gizi sarapan yang dianjurkan pada remaja Zat Gizi Perempuan (tahun) Laki-laki (tahun)

13-15 16-18 13-15 16-18 Energi (kkal) 588 550 600 650 Protein (g) 14.3 13.8 15 16.3 Kalsium (mg) 250 250 250 250 Besi (mg) 6.5 6.5 4.8 3.8 Vitamin A (RE) 150 150 150 150 Vitamin E (mg) 3.8 3.8 3.8 3.8 Vitamin B1 (mg) 0.3 0.3 0.3 0.3 Vitamin C (mg) 16.3 18.8 18.8 22.5 Folat (mg) 100 100 100 100 Sumber: WNPG (2004)

Gambaran kontribusi energi dari sarapan dibedakan menjadi dua kategori, yaitu kurang (apabila asupan energi sarapan < 550 kkal atau < 25% AKG sehari) dan cukup (apabila asupan energi sarapan ≥ 550 kkal atau ≥ 25% AKG sehari) (Hermina et al. 2009). Studi di Eropa pada 195 anak usia sekolah memberi gambaran ketika anak mengkonsumsi sarapan lebih dari 20% kebutuhan total energi per hari, maka hasil performa ketahanan fisik dan kreatifitas anak secara signifikan lebih baik dibandingkan dengan anak yang mengkonsumsi energi hanya 10% dari kebutuhan (Wyon et al. 1997). Menurut Darmayanti (2010), makanan sarapan memberikan kontribusi energi terhadap kecukupan gizi sebesar 19% dan kontribusi protein sebesar 22.2% pada siswa

(23)

laki-laki dan 19.2% pada siswa perempuan. Kontribusi makanan sarapan terhadap kecukupan zat besi siswa laki-laki lebih tinggi dibandingkan siswi perempuan. Adanya perbedaan yang signifikan (p<0.05) dari kontribusi energi dan zat besi terhadap kecukupan gizi siswa laki-laki dan perempuan.

Jenis Menu Sarapan

Jenis hidangan untuk makan pagi dapat dipilih dan disusun sesuai dengan keadaan. Namun, jenis menu sarapan akan lebih baik apabila terdiri dari makanan sumber zat tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur (Depkes 2005). Menurut Khomsan (2002), sarapan dengan aneka ragam pangan yang terdiri dari nasi, lauk pauk, buah dan susu dapat memenuhi kebutuhan akan vitamin dan mineral.

Konsep sarapan yang mengacu pada gizi seimbang dapat dipenuhi dengan pemberian makanan sebagai berikut (Depkes 2001):

1) Sumber karbohidrat, yaitu nasi, roti, makaroni, kentang, tepung beras, tepung maizena, tepung kacang hijau, jagung, singkong, dan ubi.

2) Sumber protein, yaitu susu, daging, ikan, ayam, hati, tahu, tempe, keju, kacang hijau, dan lain-lain.

3) Sumber vitamin dan mineral, yaitu berasal dari sayuran seperti wortel, bayam, kangkung, labu siam, buncis; dan buah-buahan antara lain pepaya, jambu biji, melon, alpukat, dan lain-lain.

Jenis sarapan yang banyak dikonsumsi oleh remaja di enam kota besar di Indonesia pada waktu sarapan adalah nasi dan lauk pauk, nasi goreng, roti dan isi, dan mie instant. Selain makanan-makanan tersebut ada jenis makanan lain yang banyak dikonsumsi di kota-kota tertentu. Jenis makanan tersebut adalah bubur ayam (Jakarta, Bandung, dan Semarang); nasi gudeg (Yogyakarta), nasi rawon, nasi soto, dan nasi pecel (Surabaya). Jumlah remaja yang biasa sarapan nasi dan laukpauk terbanyak di Yogyakarta sebesar 73% (Mudjianto et al. 1994).

Remaja terus tumbuh dan berkembang setiap hari sehingga perlu menyediakan sarapan bergizi yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, serat, vitamin dan mineral, terutama besi dan vitamin C (Abalkhail & Shawky 2002). Berbagai penelitian telah dikaitkan kejadian anemia defisiensi besi pada perubahan kebiasaan makan. Kebiasaan sarapan dengan mengkonsumsi susu, nasi, roti cokelat, sayuran segar dan ikan telah berubah menjadi hidangan junk

food dan kurang sayuran berwarna hijau, serta buah-buahan (Anderson 1991).

(24)

makan sayuran dan buah-buahan serta banyak makan junk food, namun hasil uji statistik tidak signifikan (Abalkhail & Shawky 2002).

Sarapan khas sereal yang kaya akan karbohidrat kompleks dapat membantu mempertahankan kinerja selama pagi hari (Wesnes et al. 2003). Cho

et al. (2003), seseorang yang sarapan dengan mengkonsumsi sereal siap saji,

sereal dimasak, atau roti memiliki IMT yang lebih rendah secara signifikan dibandingkan dengan yang tidak sarapan dan pemakan daging dan telur. Hal ini menunjukkan tidak sarapan bukan merupakan cara untuk mengatur berat badan.

Ketersediaan Sarapan

Khomsan (2002) menyatakan bahwa apabila ibu memiliki peran ganda yakni tidak hanya sebagai ibu rumah tangga, tetapi juga sebagai pencari nafkah keluarga, maka terdapat perbedaan dalam pembentukan kebiasaan makan anak. Peranan ibu dalam pembentukan kebiasaan sarapan pada anak sangat menentukan karena ibu terlibat langsung dalam penyediaan makanan di rumah tangga. Ibu yang bekerja seringkali mengakibatkan ibu tidak sempat untuk membuat sarapan.

Rohayati (2001) menyatakan pekerjaan ibu mempengaruhi frekuensi sarapan anak karena ibu terlibat langsung dalam kegiatan rumah tangga khususnya penyelenggaraan makan keluarga, termasuk dalam pemilihan jenis pangan dan penyusunan menu untuk keluarga. Penelitian Svenskarin (2012) menunjukkan kualitas kebiasaan sarapan baik pada anak dengan ibu bekerja maupun tidak bekerja berhubungan signikan positif (p<0.01) dengan aturan sarapan keluarga dan ketersediaan waktu ibu dalam penyediaan pangan sarapan. Studi FAO (1987) dalam menunjukkan bahwa wanita di negara berkembang yang mengalokasikan waktu lebih banyak diluar rumah, biasanya akan mengurangi waktu untuk mengelola makanan rumah tangga baik dengan cara mengurangi frekuensi memasak maupun mengurangi jenis makanan yang di masak. Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap ketersediaan ibu adalah status dan jenis pekerjaan ibu, kehadiran ibu di rumah, ketersediaan peralatan masak modern, dan ketersediaan pangan yang praktis atau siap saji (Hardinsyah 2007).

Penelitian yang dilakukan pada 217 orang remaja siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Depok pada bulan Desember 2007 menunjukkan adanya hubungan antara ketersediaan sarapan dengan kebiasaan sarapan remaja siswi (P<0.05). Adanya kecenderungan bahwa remaja siswi yang terbiasa

(25)

sarapan sebagian besar karena sarapan tersedia di rumah (62.2%). Apabila tidak tersedia, remaja putri (40.5%) yang sarapan lebih sedikit (Hermina et al. 2009)

Aturan Kewajiban Sarapan

Norma dan nilai di dalam keluarga berlaku sebagai tata tertib hubungan antar keluarga. Sebuah keluarga juga berlaku kebiasaan tertentu yang biasa disebut kebiasaan keluarga, misalnya sebuah keluarga mempunyai kebiasaan sarapan dengan nasi dan lauk pauk dan secara umum semua anggota melakukan sarapan. Makan bersama keluarga biasanya dilakukan pada saat sarapan atau makan malam. Aturan sarapan yang teratur didalam keluarga akan menyebabkan kebiasaan sarapan yang baik. Ibu memiliki peranan yang besar terhadap pembentukan kebiasaan makan anak di rumah karena ibu yang mempersiapkan makanan, mengatur menu, menyiapkan hidangan, dan mendistribusikan makanan, serta mengajarkan tata cara makan kepada anak. Suku melalui sistem sosial budaya mempunyai pengaruh terhadap apa, kapan, dan bagaimana makanan dikonsumsi oleh keluarga. Kebiasaan makan keluarga dipengaruhi pula oleh aturan yang didasarkan kepada adat istiadat dan agama (Pearson et al. 2009).

Hasil penelitian Mudjianto et al. (1994) di enam kota besar, sarapan biasa dilakukan dirumah oleh remaja lebih dari 70% di masing-masing kota. Selain itu, remaja melakukan sarapan di sekolah atau dalam perjalanan menuju sekolah. Sarapan yang dilakukan dalam perjalanan ke sekolah tersebut yaitu dengan cara makan di warung-warung atau di kendaraan bagi remaja yang diantar dengan mobil. Menurut Rahkonen et al. (2003) sarapan dirumah membantu meningkatkan hubungan keakraban sesama anggota keluarga.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kebiasaan sarapan

Kebiasaan makan ialah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhan makanan yang meliputi sikap, kepercayaan, dan pemilihan makanan. Proses belajar yang menghasilkan kebiasaan makanan ini terjadi seumur hidup yakni sejak lahir hingga dewasa. Kebiasaan makan tidak hanya terbentuk dari dorongan untuk mengatasi rasa lapar, akan tetapi disamping itu ada kebutuhan fisiologis dan psikologis yang ikut mempengaruhi (Sukandar 2007). Menurut Den Hartog et al. (2006), kebiasaan makan sebagai cara individu atau sekelompok orang yang dipengaruhi oleh sosial dan budaya, tekanan ekonomi, pilihan dalam mengkonsumsi, dan menggunakan pangan yang tersedia. Kebiasaan makan secara umum meliputi frekuensi makan seseorang

(26)

sehari, kebiasaan sarapan, keteraturan makan, susunan hidangan makan, orang yang berperan dalam memilih dan mengolah makanan dalam keluarga, makanan pantangan dan kebiasaan makan bersama dalam keluarga (Ulfa & Latifah 2007).

Kebiasaan makan terbentuk dari empat komponen, yaitu (1) konsumsi makanan (pola makan), meliputi jumlah, jenis, frekuensi, dan proporsi makanan yang dikonsumsi atau komposisi makanan; (2) preferensi terhadap makanan (suka atau tidak suka dan pangan yang belum pernah dikonsumsi); (3) ideologi atau pengetahuan terhadap makanan, terdiri atas kepercayaan dan tabu terhadap makanan; dan (4) sosial budaya makanan, meliputi umur, asal, pendidikan, kebiasaan membaca, besar keluarga, susunan keluarga, mata pencaharian atau pekerjaan, luas pemilikan lahan, dan ketersediaan makanan (Sukandar 2007).

Faktor penguat (reinforcing factors) yaitu faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku sarapan, dalam wujud sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lainnya, merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat. Referensi ini dapat berasal dari keluarga, guru, atau teman sebaya (Hermina et al. 2009).

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih lama daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo 2003). Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan formal tinggi diharapkan memiliki pengetahuan gizi yang tinggi pula. Latar belakang pendidikan formal sangat erat hubungannya dengan kemampuan menyerap informasi dari berbagai sumber baik itu media elektronik maupun dari sumber media massa (Ulfa & Latifah 2007). Penelitian Madanijah (2003) menunjukkan terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak yang baik. Tingkat pendidikan mempengaruhi keragaman konsumsi pangan. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka skor keragaman konsumsi pangan juga semakin tinggi (Hardinsyah 2007). Siega et al. (1998) memaparkan kebiasaan sarapan anak yang baik berhubungan dengan tingkat pendidikan ibu yang lebih tinggi. Hermina

et al. (2009) juga membuktikan adanya hubungan yang bermakna antara

pendidikan ibu dengan kebiasaan makan pagi pada remaja putri (p<0.05), yaitu ibu berpendidikan tinggi (> SMA) mempunyai anak remaja putri yang lebih

(27)

banyak (biasa) sarapan sebelum berangkat ke sekolah dibandingkan ibu dengan berpendidikan rendah (≤ SMA). Selain itu, siswi yang memiliki ibu berpendidikan tinggi 2 kali lebih sering (terbiasa) sarapan dibandingkan dengan siswi yang memiliki ibu berpendidikan rendah.

Pendapatan diartikan sebagai jumlah semua hasil perolehan yang didapat oleh anggota keluarga dalam bentuk uang sebagai hasil pekerjaan yang dinyatakan dalam pendapatan per kapita. Jumlah pendapatan yang diperoleh akan menggambarkan besarnya daya beli seseorang. Pendapatan seseorang identik dengan mutu sumberdaya manusia, sehingga seorang yang berpendidikan tinggi umumnya memiliki pendapatan yang relatif tinggi pula (Guhardja et al. dalam Sukandar 2007).

Jumlah uang yang dikeluarkan untuk pangan bergantung pada tingkatan pendapatan. Tingginya tingkat pendapatan cenderung diikuti tingginya jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi (Sukandar 2007). Hasil studi Siega et al. (1998) menunjukkan adanya kaitan antara pendapatan dengan kebiasaan sarapan, yaitu semakin tinggi tingkat pendapatan keluarga makan kebiasaan konsumsi sarapan juga akan semakin tinggi. Namun, penelitian Hermina et al. (2009) menunjukkan hasil yang berbeda, yaitu tidak ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan ayah dan ibu serta penghasilan orangtua terhadap kebiasaan sarapan remaja putri.

Konsumsi makanan merupakan interaksi dengan sikap dan keterampilan gizi. Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang akan cenderung memilih makanan yang murah dengan nilai gizi lebih tinggi dan sesuai dengan jenis pangan yang tersedia serta kebiasaan makan minum sejak kecil sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi (Sukandar 2007). Rohayati (2001) menyatakan bahwa salah satu alasan seorang anak mengkonsumsi makanan yang beragam adalah uang saku. Pemberian uang saku pada anak merupakan bagian dari pengalokasian pendapatan keluarga kepada anak untuk memenuhi keperluan harian, mingguan, atau bulanan. Menurut Hermina et al. (2009) membuktikan tidak ada hubungan yang bermakna antara uang jajan dengan kebiasaan makan pagi pada remaja putri.

Besar keluarga adalah sekelompok orang yang yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga yang lainnya yang hidup dari pengeluaran sumberdaya yang sama. Banyaknya jumlah anggota keluarga mempengaruhi distribusi pangan keluarga dan akhirnya mempengaruhi status gizi anggota

(28)

keluarga (World Bank 2006). Menurut Sukandar (2007), terdapat hubungan antara besar keluarga, pendapatan, dan konsumsi pangan yang berarti keluarga miskin dengan jumlah anak yang banyak akan lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan pangannya apabila dibandingkan dengan keluarga yang jumlah anak sedikit. Besar keluarga berkaitan dengan pendistribusian makanan dalam keluarga yaitu pemenuhan kebutuhan individu. Semakin besar keluarga maka semakin kecil peluang terpenuhinya kebutuhan individu terkait dengan kemampuan keluarga. Hasil studi Pearson et al. (2009), sarapan bersama keluarga berkolerasi besar hubungannya dalam konsumsi sarapan pada remaja. Orang tua menjadi contoh teladan yang positif terhadap anak-anak mereka dengan mendukung kebiasaan makan dan struktur keluarga harus dipertimbangkan dalam merancang program untuk mengenalkan kebiasaan sarapan sehat.

Menurut Khan (2005), adapun alasan remaja melewatkan sarapan lebih banyak terkait dengan kebebasan remaja dalam menentukan pilihan tindakan yang lebih disukai, terlambat bangun, tidak merasa lapar, makanan belum tersedia, dan tidak ada yang menyiapkan makanan daripada alasan yang terkait dengan persepsi body image dan program diet. Namun, berbeda dengan penelitian Shaw (1998) yang menjelaskan bahwa alasan seseorang melewatkan waktu sarapan antara lain tidak memiliki waktu untuk sarapan, tidak suka makan pada pagi hari, tidak menyukai makanan yang tersedia dan takut kegemukan. Kebiasaan menghindari sarapan dengan tujuan untuk menurunkan berat badan merupakan kekeliruan yang dapat mengganggu kondisi kesehatan, antara lain gangguan pada saluran pencernaan (Depkes 2005). Penelitian Zullig et al. (2006) juga menegaskan bahwa remaja yang melewatkan sarapan secara signifikan seperti berpuasa untuk menurunkan berat badan. Menurut Fiore et al. (2006), remaja yang sarapan cenderung memiliki IMT lebih rendah dibandingkan dengan remaja yang tidak sarapan. IMT yang lebih tinggi dapat menunjukkan kegemukan dan obesitas. Affenito (2007) juga menekankan dalam penelitiannya di Afrika dan Amerika bahwa perempuan yang tidak sarapan cenderung memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT) lebih tinggi dan konsumsi serat dan kalsium yang rendah. Berikut model teori sebab akibat antara sarapan dan berat badan dapat dilihat pada Gambar 1.

(29)

Gambar 1 Model teori sebab akibat antara sarapan dan berat badan

Konsumsi Pangan

Berdasarkan UU No. 7 tahun 1996 bahwa pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Konsumsi pangan adalah suatu informasi mengenai jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu, sehingga penilaian konsumsi pangan dapat berdasarkan jumlah maupun jenis makanan yang dikonsumsi. Kebutuhan gizi adalah sejumlah zat gizi minimum yang harus dipenuhi dari konsumsi pangan (Hardinsyah & Martianto 1992).

Menurut Supariasa et al. (2001), penilaian konsumsi pangan dapat berdasarkan jumlah maupun jenis makanan yang dikonsumsi. Penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan secara kuantitaif dan kualitatif. Penilaian secara kualitatif dilakukan dengan pengumpulan yang lebih menitikberatkan pada aspek-aspek yang berkaitan dengan kebutuhan makan dan faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan seseorang. Secara kuantitatif dihitung dengan jumlah pangan atau makanan yang dikonsumsi, sedangkan secara kualitatif dengan melihat kebiasaan makan, frekuensi konsumsi pangan menurut jenis pangan dan frekuensi makan.

Data konsumsi pangan sarapan terdiri dari menu makanan, jenis pangan, Ukuran Rumah Tangga (URT), berat (gram), kandungan energi dan zat gizi masing-masing jenis pangan, dan total kandungan tersebut setiap satu kali sarapan. Data konsumsi pangan berupa jenis dan jumlah makanan dalam gram/URT diperoleh menggunakan aplikasi analisis konsumsi pangan. Jumlah makanan dalam bentuk gram/URT dikonversi menggunakan Daftar Kandungan Bahan Makanan (DKBM) ke dalam satuan penukar konsumsi. Kemudian

Masalah terkait berat badan Frekuensi Sarapan Kualitas Makanan Kontrol Nafsu Makan Asupan Energi Berat badan

(30)

dilakukan perhitungan total kandungan energi dan zat gizi berdasarkan kandungan gizi bahan makanan tersebut (Hardinsyah & Briawan 1994). Menurut Sukandar (2007), hasil total kandungan energi dan zat gizi tersebut dapat dihitung tingkat kecukupan zat gizi. Tingkat kecukupan dihitung sebagai perbandingan antara konsumsi gizi dengan kecukupan gizi yang dianjurkan dikalikan 100%. Jika tingkat kecukupan gizi sama dengan 70% atau lebih maka ini dikatakan konsumsi gizi telah memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG).

Warthington (2000) menyatakan bahwa pada dasarnya intake makanan dipengaruhi oleh dua hal, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri seperti emosi atau kejiwaan yang memiliki sifat kebiasaan, kebutuhan fisiologi, body image, konsep diri, nilai dan kepercayaan individu, pemilihan arti makanan, psikososial, dan kesehatan. Faktor eksternal ialah faktor yang ada di alam sekitarnya serta kondisi sosial ekonomi yang mempengaruhi tingkat daya beli manusia terhadap bahan pangan, antara lain jumlah dan karakteristik keluarga, peran orang tua, teman sebaya, budaya, nilai dan norma, media massa, fast food, pengetahuan gizi, dan pengalaman individu. Menurut Sediaoetama (2000), konsumsi pangan merupakan faktor yang berpengaruh langsung terhadap keadaan gizi seseorang. Konsumsi pangan yang tidak memadai kebutuhan tubuh baik kuantitas maupun kualitas akan menyebabkan masalah gizi.

Konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap terhadap makanan yang tergantung pada lingkungan baik masyarakat maupun keluarga.Kemampuan seseorang untuk menerapkan pengetahuan gizi kedalam pemilihan pangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi (Nasoetion & Riyadi 1995). Pengetahuan tentang gizi dan kebiasaan sarapan merupakan hal penting yang harus dimiliki oleh remaja. Studi yang dilakukan pada anak sekolah di Taiwan menunjukkan anak-anak yang memiliki pengetahuan gizi yang lebih baik juga menyatakan sikap gizi yang lebih positif, peduli tentang perilaku gizi lebih sering, dan memiliki kualitas makanan yang baik (Wei Lin et al. 2007).

Kebiasaan makan yang salah akan mempengaruhi konsumsi pangan, terutama dalam hal penyerapan zat gizi yang terkandung dalam makanan. Apabila zat-zat yang diserap tidak memadai baik kuantitas maupun kualitas, maka dalam jangka panjang akan berpengaruh terhadap status gizi (Sukandar 2007). Kebiasaan makan yang buruk pada remaja perempuan dapat disebabkan

(31)

oleh dua faktor, yaitu faktor fisiologis dan tekanan sosial. Timbunan lemak pada bagian tubuh tertentu dan aktivitas disebut sebagai faktor fisiologis. Sedangkan, adanya trend bentuk tubuh ideal pada wanita yang kurus dan tinggi disebut sebagai faktor tekanan sosial. Kedua faktor tersebut memicu remaja perempuan untuk melakukan diet yang buruk sehingga remaja perempuan sering mengalami kurang gizi (Eastwood 2003). Remaja putri rentan mengalami kurang gizi pada periode puncak tumbuh kembang, kurang asupan zat gizi karena pola makan yang salah, pengaruh dari lingkungan pergaulan (ingin langsing). Remaja putri yang kurang gizi tidak dapat mencapai status gizi yang optimal dan kurang zat besi dan gizi lain yang penting untuk tumbuh kembang (Pardede 2002).

Kebanyakan remaja tidak makan sarapan bergizi seimbang. Jenis hidangan yang seringkali dikonsumsi pada waktu sarapan hanya terbatas pada makanan pokok yang kaya karbohidrat. Hal ini terlihat dari masih rendahnya kontribusi energi dan zat gizi terlihat dalam menu sarapan. Selain itu, ragam jenis pangan yang dikonsumsi sebagai sarapan juga masih rendah (Hardinsyah 2012). Sarapan yang ideal seharusnya memenuhi seperempat kebutuhan gizi remaja. Sarapan harus ada zat gizi seperti protein, lemak, vitamin, mineral, air dan serat (Bonnie 1998).

Pangan yang dikonsumsi sangat mempengaruhi absorpsi zat besi di dalam tubuh. Faktor yang berpengaruh pada absorpsi besi, yaitu faktor yang mendorong dan menghambat penyerapan zat besi. Faktor yang mendorong penyerapan zat besi antara lain asam organik, tingkat keasaman lambung dan bentuk besi yang dikonsumsi (Almatsier 2004). Konsumsi pangan hewani ataupun nabati sangat berpengaruh terhadap kecukupan zat besi bagi tubuh. Pangan yang mengandung zat besi tinggi akan sangat membantu terpenuhinya zat besi sehingga apabila pangan tersebut dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang dapat membantu penyerapannya, kebutuhan tubuh akan zat besi dapat terpenuhi secara optimal, sedangkan jika pangan sumber zat besi dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang dapat menghambat penyerapan zat besi, maka kebutuhan tubuh akan zat besi tidak akan terpenuhi secara optimal yang pada akhirnya dapat mengakibatkan anemia. Pangan yang dapat membantu penyerapan zat besi, yaitu vitamin C, makanan hasil fermentasi dan pangan hewani itu sendiri, sedangkan pangan yang dapat menghambat penyerapan zat besi antara lain makanan yang mengandung tanin, fitat, dan kalsium (Morck et al. 1983)

(32)

Anemia pada Remaja

Anemia adalah suatu keadaan dimana komponen hemoglobin (Hb) dalam darah jumlahnya kurang dari kadar normal. Anemia gizi disebabkan karena kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan Hb tersebut. Sebagian besar anemia di Indonesia dikarenakan kekurangan zat besi (Fe) disebut anemia kekurangan zat besi. Kekurangan zat besi yang terjadi karena makanan yang dikonsumsi kurang mengandung zat besi (Moehji 2001). Menurut Permaesih & Herman (2005), faktor lain yang berpengaruh terhadap kejadian anemia antara lain gaya hidup seperti merokok, minum minuman keras, kebiasaan sarapan, sosial ekonomi dan demografi, pendidikan, wilayah, umur dan jenis kelamin. Remaja laki-laki maupun perempuan dalam masa pertumbuhan membutuhkan energi, protein, dan zat gizi lainnya yang lebih banyak dibandingkan kelompok umur lainnya. Pematangan seksual pada remaja menyebabkan kebutuhan zat besi meningkat. Kebutuhan zat besi remaja perempuan lebih tinggi dibandingkan remaja laki-laki, karena dibutuhkan untuk mengganti zat besi yang hilang pada saat menstruasi sekitar 0.8 mg/hari. Ernawati dan Saidin (2008) menunjukkan bahwa faktor determinan terhadap anemia remaja adalah jenis kelamin, dimana remaja putri beresiko menderita anemia 2.2 kali (Cl 95%: 1.3-3.7) dibandingkan laki-laki.

Sekitar dua per tiga zat besi dalam tubuh terdapat dalam sel darah merah hemoglobin. Hemoglobin merupakan molekul protein di dalam sel darah merah yang bergabung dengan oksigen dan karbon dioksida untuk diangkut melalui sistem peredaran darah ke dalam jaringan dalam tubuh. Status anemia remaja yang mempunyai kadar Hemoglobin (Hb) dibawah nilai normal menurut umur (15-19 tahun) yaitu kadar Hb perempuan < 12 g/dl dan kadar Hb laki-laki < 13 g/dl (WHO 2001). Cara penentuan kadar Hb yang dianggap cukup teliti dan dianjurkan oleh International Communite for Standarrization in Hematology (ICSH) adalah Cyanmethemoglobin. Adapun batas normal kadar hemoglobin menurut WHO (2001) dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Batas normal kadar hemoglobin

Kelompok Kadar Hb (g/dl)

Anak balita 11

Anak usia sekolah 12

Wanita dewasa 12

Laki-laki dewasa 13

Ibu Hamil 11

Ibu Menyusui 12

(33)

Sebelum terjadi anemia biasanya terjadi kekurangan zat besi secara perlahan-lahan. Proses kekurangan zat besi menjadi anemia melalui beberapa tahap. Tahap pertama terjadi penurunan simpanan cadangan zat besi dalam hati karena berbagai hal (iron depletion). Cadangan besi rendah tapi belum terjadi disfungsi, kadar besi dalam serum masih baik dan hematokrit masih normal. Pada tahap kedua (iron deficiency) berkurangnya zat besi yang tersedia untuk system ertiropoesis, yaitu keadaan dimana penyediaan besi tidak cukup untuk pembentukan sel darah merah di sumsum tulang belakang serta serum feritin juga menurun namun kadar hemoglobin masih normal (belum berpengaruh). Tahap ketiga (iron deficiency anemia) adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin sudah sangat rendah (dibawah normal) sehingga terjadi anemia, ditunjukkan dengan serum feritin menurun, besi serum menurun dan hematokrit menurun (Almatsier 2004). Gejala umum anemia atau sindrom anemia dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun dibawah 7-8 g/dl. Anemia bisa menyebabkan kelelahan, kelemahan, kurang tenaga, dan kepala terasa melayang, serta konsentrasi belajar menurun sehingga prestasi belajar rendah dan menurunkan produktivitas kerja. Apabila anemia bertambah berat, bisa menyebabkan stroke atau serangan jantung (Permaesih & Herman 2005).

Dampak anemia terhadap daya pikir akan mempengaruhi remaja didalam prestasi di sekolah. Anemia dapat menurunkan IQ sekitar 5-10%. Anemia juga berdampak pada imunitas sehingga mempengaruhi menurunnya produktivitas secara tidak langsung melalui seringnya tidak masuk sekolah karena sakit (Ernawati & Saidin 2008). World Bank (2006) menyatakan bahwa kualitas manusia ditentukan oleh status gizi bayi sejak dalam kandungan sampai umur 2 tahun, artinya sangat penting untuk mempersiapkan calon ibu dengan status gizi baik. Ibu hamil yang menderita anemia resiko melahirkan anak dengan anemia dan kekurangan gizi termasuk anemia pada masa anak tersebut menyebabkan gangguan pertumbuhan otak dan fisik yang sulit diperbaiki.

Menurut Saraswati dan Sumarno (1997), sebanyak 904 orang remaja putri SMA di Provinsi Jawa Barat yang telah memberikan jawaban tentang pengetahuan anemia dan 819 orang remaja putri diperiksa darahnya. Secara umum hasil survei tersebut menunjukkan rata-rata Hb remaja putri adalah 12.2 g/dl dengan prevalensi anemia sebesar 42.6% remaja putri sampel. Secara umum pengetahuan anemia remaja putri tentang anemia masih rendah dimana hasil survei menunjukkan sebesar 65% sampel mengetahui gejala anemia,

(34)

namun hanya 21% yang menjawab penyebab anemia karena kurang zat gizi yaitu zat besi, tergambarkan pada jawaban penyebab anemia kurang makan makanan yang mengandung zat besi (1.8%) dan kurang makan sayuran (16.4%). Kejadian anemia secara signifikan lebih lazim di kalangan sekolah negeri dan siswa dengan ibu yang berpendidikan rendah. Anemia juga secara signifikan lebih tinggi pada remaja yang telah menstruasi. Diantara 800 siswa yang dalam penelitian ini, terdapat 119 siswa yang tidak sarapan menunjukkan tanda anemia. Meskipun anemia lebih sering terjadi pada remaja yang tidak sarapan atau tidak makan sayuran dan buah-buahan serta banyak makan junk food, namun hasil uji statistik tidak signifikan (Abalkhail & Shawky 2002). Menurut Permaesih & Herman (2005) menunjukkan hasil yang berbeda yaitu remaja 10-19 tahun yang berpendidikan rendah memiliki hubungan yang signifikan (p<0.05) dengan kejadian anemia (OR=3.8; 95% CI: 1.9-7.2). Remaja laki-laki memiliki risiko yang lebih rendah terjadi anemia. Kebiasan sarapan (OR=0.6; 95% CI: 0.4-0.9), merokok (OR=1.35; 95% CI: 1-1.8), dan konsumsi energi yang cukup (OR=0.7; 95% CI: 0.6-0.9) menunjukkan hubungan yang signifikan dengan anemia. Hasil penelitian ini dengan menggunakan uji statistik regresi menunjukkan bahwa variabel yang terkait dengan anemia adalah pendidikan, jenis kelamin, usia, asal wilayah, kebiasaan sarapan, keluhan penyakit, dan kondisi tubuh. Penelitian Ruxton & Kirk (1997) menunjukkan kebiasaan tidak sarapan dapat menyebabkan defisiensi Vitamin A, Vitamin B6, Kalsium, Tembaga, Besi, Magnesium dan Seng.

(35)

KERANGKA PEMIKIRAN

Kebiasaan makan yang optimal dilihat dari segi kuantitas dan kualitas. Pola kebiasaan makan dapat mencerminkan pola konsumsi seseorang. Perilaku konsumsi makanan yang baik diperlukan yakni diwujudkan dalam bentuk pesan umum gizi seimbang. Sarapan merupakan salah satu perilaku penting dalam mewujudkan gizi seimbang.

Kebiasaan sarapan membantu seseorang untuk memenuhi kecukupan gizinya sehari-hari yang digunakan untuk berpikir, bekerja, dan melakukan aktivitas secara optimal setelah bangun pagi. Remaja memiliki aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan masa sebelumnya sehingga memerlukan zat gizi lebih tinggi daripada kelompok usia lainnya. Oleh karena itu, sarapan pada remaja harus ditunjang dengan asupan zat gizi yang optimal.

Kebiasaan makan dipengaruhi oleh keberagaman dari karakteristik individu dan faktor lingkungan keluarga dan sekolah. Karakteristik individu seperti usia dan uang saku. Faktor lingkungan keluarga meliputi struktur keluarga (besar keluarga), status sosial dalam keluarga (pekerjaan dan pendidikan ibu), status ekonomi keluarga (pendapatan orang tua), pengetahuan dan kepercayaan terhadap makanan (suku ayah dan ibu).

Remaja terus tumbuh dan berkembang setiap hari sehingga perlu menyediakan sarapan bergizi yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, serat, vitamin dan mineral, terutama besi dan vitamin C. Peningkatan pertumbuhan mendadak ini disertai dengan perubahan-perubahan hormonal, kognitif, dan emosional. Semua perubahan ini membutuhkan zat gizi secara khusus. Perubahan ini akan mempengaruhi remaja dalam menentukan makanan yang dikonsumsi dimana semakin kurang baik perilaku konsumsi, maka akan semakin tinggi angka kejadian anemia.

(36)

Keterangan:

Variabel yang diteliti Hubungan yang dianalisis

Gambar 2 Kerangka pemikiran kebiasaan sarapan pada remaja siswi Sekolah Menengah Kejuruan di Bogor

Status Anemia Karakteristik Individu : - Usia - Berat badan - Tinggi badan - Uang saku Karakteristik Keluarga : - Pekerjaan Ibu - Pendidikan ibu - Pendapatan orang tua - Besar keluarga - Suku ayah dan Ibu

Kualitas sarapan

Pengetahuan Gizi Konsep Sarapan:

- Definisi sarapan - Jenis sarapan

- Peranan dan manfaat sarapan - Alasan dan dampak tidak

sarapan - Waktu sarapan - Penyiapan sarapan - Aturan kewajiban sarapan Kebiasaan Sarapan:

- Frekuensi sarapan - Waktu dan lokasi sarapan - Ketersediaan sarapan di Rumah - Kebiasaan sarapan bersama - Jenis menu sarapan

(37)

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kuantitatif dengan menggunakan desain cross sectional study yaitu pengamatan terhadap paparan dan outcome dilakukan dalam satu periode yang sama. Lokasi penelitian dilakukan di SMK Pelita Ciampea Bogor, Jawa Barat. Pemilihan tempat dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan kemudahan akses untuk melaksanakan penelitian dan karakteristik sosial ekonomi contoh yang heterogen. Penelitian ini menggunakan sebagian data endline dari penelitian yang dilakukan oleh Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN; Dr. Ir. Elvira Syamsir, M.Si; dan Dian Herawati, STP, M.Si (SEAFAST Center) yang berjudul “Efikasi pangan lokal bergizi untuk perbaikan anemia dan peningkatan prestasi akademik dalam rangka kegiatan pengembangan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat”. Peneliti melakukan pengumpulan data tentang konsep, kebiasaan dan kualitas sarapan pada remaja. Waktu penelitian dimulai dari Oktober hingga November 2012.

Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh

Populasi penelitian adalah remaja siswi SMK kelas XI dan XII jurusan keperawatan dan butik yang berjumlah 81 orang. Pemilihan kelas dilakukan secara purposive. Seluruh siswi kelas XI dan XII diminta mengisi kuesioner penelitian. Siswi yang mengembalikan kuesioner dan mengisi semua pertanyaan dengan lengkap, serta mengikuti pengukuran kadar hemoglobin dijadikan sebagai contoh dalam penelitian ini. Jumlah contoh dalam penelitian ini adalah 68 orang, terdiri dari 16 orang kelas XI butik, 21 orang kelas XII butik, dan 31 orang kelas XI keperawatan.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer meliputi konsep sarapan (definisi sarapan, jenis makanan sarapan, waktu sarapan, ketersediaan sarapan, aturan sarapan, peranan dan manfaat sarapan, alasan dan dampak tidak sarapan); sarapan yang terdiri kebiasaan sarapan (frekuensi sarapan, waktu dan lokasi sarapan, ketersediaan sarapan, kebiasaan sarapan bersama, jenis menu sarapan) dan kualitas sarapan (tingkat kontribusi energi dan zat gizi sarapan). Data sekunder meliputi data karakteristik individu (usia, berat badan, tinggi badan, dan uang saku); karakteristik keluarga (pekerjaan dan pendidikan ibu, pendapatan orang

Gambar

Gambar 1 Model teori sebab akibat antara sarapan dan berat badan Konsumsi Pangan
Gambar 2 Kerangka pemikiran kebiasaan sarapan pada remaja siswi Sekolah Menengah Kejuruan di Bogor
Tabel 4 Pengkategorian variabel karakteristik individu dan keluarga dan pengetahuan gizi remaja siswi SMK
Tabel 5 Pengkategorian variabel konsep, kebiasaan dan kualitas sarapan serta status anemia dan status gizi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil :Pemberian jus tomat 200ml 1x sehari selama 14 hari secara klinis tidak menunjukkan penurunan yang signifikan terhadap tekanan darah sistolik dan

Agar dapat membantu mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam belajar matematika khususnya pada mata kuliah sejarah matematika, menurut Krismanto (dalam Syafmen, 2014, p.2) teknik

Jika ibu tidak pernah periksa hamil, apa yang ibu lakukan untuk menjaga kesehatan selama hamil ini ?.... Pada umur kehamilan berapa minggu ibu mulai

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji variabel-variabel yang berpangaruh terhadap underpricing pada penawaran perdana pada perusahaan yang Listing di

Garis pangkal demikian tidak boleh ditarik ked an dari elevasi surut, kecuali apabila di atasnya telah dibangun mercusuar atau instalasi serupa yang secara permanen berada di

Keinginan seorang anak dibarengi dengan kemampuan atau kecakapan untuk mencapainya. Siswa yang mempunyai kemampuan belajar tinggi biasanya lebih termotivasi

Sesuai dengan rumusan masalah pada penelitian yaitu untuk mengetahui efektivitas pengendalian dengan menggunakan metode earned value yaitu dengan mengidentifikasi antara

Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Ogan Komering Ulu berperan penting dan bertanggung jawab dalam menyediakan dan menyebarkan informasi tentang produk hukum yang ada