• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Optimisme Akademik dengan Adversity Quotient pada Siswa SMP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Optimisme Akademik dengan Adversity Quotient pada Siswa SMP"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA OPTIMISME AKADEMIK DENGAN

ADVERSITY QUOTIENT PADA SISWA SMP

OLEH

IMMANUEL ANGGIA M. 802010120

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

5

HUBUNGAN ANTARA OPTIMISME AKADEMIK DENGAN

ADVERSITY QUOTIENT PADA SISWA SMP

Immanuel Anggia M. K. D. Ambarwati

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(8)

i

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui signifikansi hubungan antara optimisme akademik

dengan adversity quotient pada siswa SMP Kristen 1 Salatiga. Sebanyak 44 dari 50

siswa-siswi menjadi sampel penelitian dengan menggunakan teknik sampel jenuh, sebanyak enam

siswa tidak menjadi sampel penelitian dikarenakan tidak hadir di sekolah. Alat ukur yang

digunakan dalam pengumpulan data dimodifikasi dari skala optimisme akademik dari Adams

dan Forsyth (2011) dan modifikasi dari skala adversity quotient dari Stoltz (2000). Analisis

data menggunakan teknik korelasi Product Moment Pearson dengan bantuan SPSS 20,0.

Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi positif dengan koefisien korelasi (r) kedua

variabel sebesar 0,584 dengan signifikansi 0,000 (p < 0,05), yang artinya makin tinggi

optimisme akademikmaka makin tinggi adversity quotient siswa SMP.

(9)

ii

Abstract

This research aims to determine the significance of the relationship between academic

optimism with adversity quotient in Kristen 1 Junior High School Students in Salatiga. As

many as 44 out of 50 students become sample of the research by using saturated sampling

technique, as many as six students did not become sample of the research because did not

attended at school. The measuring instruments used in data collection is modified from the

academic optimism scale by Adams and Forsyth (2011) and the modification scale from the

adversity quotient scale by Stoltz (2000). Data analysis using Product Moment Pearson

correlation technique with the help of SPSS 20.0. The results showed a positive correlation

with the correlation coefficient (r) of both variables is 0.584 with 0.000 significance (p <

0.05), which means the higher the adversity quotient, the higher the academic optimism of

junior high school students.

(10)

1

PENDAHULUAN

Jenjang pendidikan sekolah menengah pertama (SMP) adalah jenjang pendidikan

setelah melewati satu tingkat pendidikan sebelumnya, yaitutingkat sekolah dasar (SD). Pada

tingkat pendidikan SMP pelajaran akan lebih sulit dan juga akan ada penambahan mata

pelajaran yang belum pernah dipelajari pada tingkat pendidikan sebelumnya.Seseorang yang

menempuh pendidikan di sekolah disebut sebagai murid atau siswa. Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian siswa adalah seseorang (anak) yang sedang belajar.

Jadi,secara harfiah siswa SMP adalah seseorang (anak) yang sedang belajar dan terdaftar

pada suatu sekolah menengah pertama. Masa ini juga merupakan masa peralihan atau disebut

juga sebagai masa transisi. Masa transisi ini dianggap dapat menimbulkan masalah bagi

seseorang karena transisi yang terjadi tidak hanya mengenai peralihan tingkat pendidikan SD

(kelas enam) ke SMP (kelas tujuh), tetapi juga mengenai peralihan masa anak-anak ke remaja

(Santrock, 2003).

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), masa remaja adalah kaum muda dengan

batasan umur antara 10 dan 19 tahun. Pada masa remaja banyak perubahan yang terjadi, tidak

hanya perubahan fisik, tetapi juga perubahan kognisi dan emosi. Tokoh yang pertama kali

mendalami tentang masa remaja adalah Hall (dalam Arnett, 1999), yang menyebutkan remaja

adalah masa yang penuh dengan permasalahan dan masa remaja merupakan masa badai dan

tekanan (storm & stress). Hal tersebut selaras dengan pernyataan dari Marcia (1987)yang

mengungkapkan karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri juga

sering menimbulkan masalah pada diri remaja.

Para siswa SMP yang sedang berada pada masa transisi memasuki masa remaja awal

ini merupakan masa yang penuh dengan permasalahan dan hambatan. Hambatan dan

permasalahan yang dialami siswa antara lain seperti rendahnya tingkat partisipasi dan aspirasi

(11)

2

pelajaran (Jhonson, 1970), aktivitas belajar tidak selamanya berlangsung lancar (Ahmadi &

Supriyono, 1991), dan perubahan jaman yang menyebabkan pelanggaran yang dilakukan

siswa terhadap peraturan di sekolah menjadi lebih ekstrim, seperti misalnya pelanggaran yang

terjadi pada siswa di tahun 1940 hanya sebatas mengunyah permen karet di sekolah, pada

tahun 1990 pelanggaran meningkat menjadi pemakaian narkotika dan obat-obatan terlarang

(Stoltz, 2000).

Dari hasil wawancara denganbeberapa murid dan guru SMP Kristen 1 Salatiga,

berbagai masalah akademiksiswa ada yang bersumber dari dalam diri ataupun yang berasal

dari lingkungan. Bentuk masalah yang dihadapi sepertibolos sekolah, kegagalan dalam

menjalani proses belajar, tidak mampu mencapai tujuan belajar, banyak murid yang

mengambil jalan pintas dengan mencontek ketika mengerjakan tugasdan ujian karena merasa

kesulitan dalam mengerjakan atau mempersiapkannya, tidak dapat mengatur waktu untuk

belajar di rumah, tidak mendapatkan nilai sesuai dengan yang diinginkan, dan kesulitan untuk

berkonsentrasi belajar di rumah karena suasana yang dirasa mengganggu.

Dalam permasalahan atau tantangan yang dialami siswa, siswa diharapkan memiliki

kemampuan untuk mengatasi dan keluar dari masalah yang sedang dihadapi. Berbagai

hambatan dan masalah yang dirasakan oleh siswa pada jenjang pendidikan dapat diatasi

dengan adanya adversity quotient(AQ) pada diri siswa tersebut. Mamahit (dalam Laura &

Sunjoyo, 2009) mengemukakan individu yang mampu bertahan menghadapi dan mengatasi

kesulitan akan mencapai kesuksesan dalam hidup.

Menurut Stoltz (2000), adversity quotient merupakan suatu kerangka kerja konseptual

yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan dan perbaikan respons

terhadap kesulitan, sehingga mampu untuk mengubah hambatan menjadi peluang

keberhasilan mencapai tujuan. Adversity quotientdapat didefinisikan secara singkat sebagai

(12)

3

kesulitan (Stoltz, 2000). Oleh karena itu, agar mampu bertahan dan mengatasi berbagai

kesulitan dan tantangan, ditentukan oleh tinggi rendahnya adversity quotient yang dimiliki

oleh setiap individu. Stoltz (2000) menambahkan bahwa adversity quotient berperan penting

dalam memprediksi seberapa jauh seseorang mampu bertahan dalam menghadapi kesulitan

dan seberapa besar kemampuannya untuk mengatasi masalah tersebut.

Garmezy dan Michael (1983) mengemukakan bahwa saat dihadapkan pada kesulitan

hidup, sebagian individu gagal dan tidak mampu bertahan, mereka justru mengembangkan

pola-pola perilaku yang bermasalah. Sebagian lainnya bisa bertahan dan mengembangkan

perilaku yang adaptif, bahkan lebih baik lagi bila mereka bisa berhasil keluar dari kesulitan

dan menjalani kehidupan yang sehat. Sedangkan menurut Stoltz (2000), dalam diri setiap

orang yang memiliki tingkat adversity quotient yang tinggi terdapat dorongan untuk terus

berkembang, adanya keuletan, memiliki daya tahan yang baik terhadap tekanan beban tugas

dan tanggung jawab yang tinggi untuk terus mengembangkan diri mereka serta akan

senantiasa termotivasi dalam mengerjakan bagian mereka.

Adversity quotient mengukur kemampuan seseorang dalam menghadapi kesulitan.

Dalam konsep adversity quotient yang tinggi, individu yang mengalami kesulitan cenderung

bertanggung jawab atas masalah yang dihadapinya, mampu mengontrol masalah, lihai dalam

mencari pemecahan masalah yang dihadapi, dan juga akan fokus terhadap solusi (Stoltz,

2000). Selain itu, individu dengan adversity quotient tinggi akan mampu membatasi reaksi

emosi yang timbul sebagai akibat dari permasalahan yang dihadapi serta memiliki keyakinan

diri untuk mengubah hambatan menjadi peluang. Individu jugayakin bahwa permasalahan

yang dihadapi memiliki nilai positif untuk pertumbuhan pribadinya (Stoltz, 2000).

(13)

4

Adversity quotientmenurut Stoltz (2000) terdiri atas empat aspek, yaitucontrol, origin

dan ownership,reach,dan endurance. Controlatau kendali berkaitan dengan seberapa besar

orang mengendalikan kesulitan dan sejauh mana individu merasakan bahwa kendali itu

berperan dalam peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Stoltz(2000)mengatakan bahwa

control atau kendali yang tinggi dalam suatu peristiwa menyebabkan seseorang kebal

terhadap ketidakberdayaan, ulet dan tidak kenal menyerah, serta setiap tindakan yang

dilakukan memunculkan kendali yang lebih besar terhadap situasi yang ada. Seorang yang

adversity quotient lebih tinggi akan merasakan kendali lebih besar atas peristiwa atau stres

yang dihadapi dibanding dengan seseorang yang adversity quotient-nya yang rendah.Origin

dan ownership,origin merupakan kemampuan individu dalam menempatkan rasa bersalah

atas kesulitan dan kegagalan yang dihadapinya dan mempertanyakan siapa atau apa yang

menjadi asal-usul kesulitan dan sampai sejauh mana seseorang mengakui akibat dari

kesulitan tersebut, sedangkan ownership merupakan kemampuan individu untuk mengakui

atau tidak penyebab timbulnya kesulitan dan bertanggungjawab atas kesalahan yang

diperbuat dan belajar untuk memperbaiki kesalahan yang dibuatnya dengan mengusahakan

jalan keluar yang terbaik. Reachmempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan menjangkau

bagian-bagian lain dari kehidupan individu dan melihat kemampuan individu memperkecil

akibat dari kesulitan agar kesulitan yang dihadapi tidak mempengaruhi sisi lain dari

kehidupannya(Stoltz, 2000). Terakhir endurance, berkaitan dengan kemampuan individu

untuk bertahan dalam kesulitan yang dihadapinya.Semakin rendah skor endurance semakin

besar kemungkinan seseorang menganggap kesulitan dan penyebab kesulitan akan

berlangsung lama dan hal ini mengakibatkan seseorang takut untuk mencoba, takut untuk

berusaha dan merasa tidak berdaya atau kalah sebelum coba untuk melakukan sesuatu (Stoltz,

2000). Semakin tinggi skor endurance maka semakin besar pula kemungkinan seseorang

(14)

5

selamanya, dan menganggap bahwa kesulitan yang dihadapi hanya bersifat sementara, dan

setiap permasalahan yang dihadapi ada jalan keluarnya, sehingga menjadikan dirinya tidak

cepat menyerah dan selalu berusaha untuk memperbaiki kesalahannya (Stoltz, 2000).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adversity Quotient

Menurut Stoltz (2000) terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi adversity

quotient adalah (1)faktor internal yang terdiri dari: (a)genetika, warisan genetis tidak akan

menentukan nasib seseorang tetapi pasti ada pengaruh dari faktor ini; (b)keyakinan,

keyakinan mempengaruhi seseorang dalam menghadapi suatu masalah serta membantu

seseorang dalam mencapai tujuan hidup; (c)bakat, kemampuan dan kecerdasan seseorang

dalam menghadapi suatu kondisi yang tidak menguntungkan bagi dirinya salah satunya

dipengaruhi oleh bakat; (d) hasrat dan kemauan, untuk mencapai kesuksesan dalam hidup

diperlukan tenaga pendorong yang berupa keinginan atau disebut hasrat, hasrat

menggambarkan motivasi, antusias, gairah, dorongan, ambisi, dan semangat; (e)karakter,

seseorang yang berkarakter baik, semangat, tangguh, dan cerdas akan memiliki kemampuan

untuk mencapai sukses; (f)kinerja, salah satu keberhasilan seseorang dalam menghadapi

masalah dan meraih tujuan hidup dapat diukur lewat kinerja; (g)kecerdasan, bidang

kecerdasan yang dominan biasanya mempengaruhi karier, pekerjaan, pelajaran, dan hobi;

(h)kesehatan, kesehatan emosi dan fisik dapat mempengaruhi seseorang dalam menggapai

kesuksesan dan (2)faktor eksternal yang terdiri dari: (a)pendidikan, pendidikan dapat

membentuk kecerdasan, pembentukan kebiasaan yang sehat, perkembangan watak,

keterampilan, hasrat, dan kinerja yang dihasilkan; (b)lingkungan, lingkungan tempat individu

tinggal dapat mempengaruhi bagaimana individu beradaptasi dan memberikan respon

kesulitan yang dihadapinya.

(15)

6

yang lebih tinggi. Menurut Stoltz (2000), individu yang terbiasa berada di lingkungan sulit

akan memiliki adversity quotient yang lebih besar karena pengalaman dan kemampuan

beradaptasi yang lebih baik dalam mengatasi masalah yang dihadapi.Adversity quotient

sebagai bentuk respon individu terhadap kesulitan dan pengendalian terhadap respon yang

konsisten tidak terlepas dari bagaimana individu menyikapi situasi yang menekan dalam

kehidupannya (Stoltz, 2000). Menururt Sheier dan Carver (dalam Abele & Gendolla, 2007)

penyikapan terhadap situasi yang menekan dalam kehidupannya dapat dijalani dengan

keyakinan akan hal-hal yang baik di masa mendatang. Keyakinan mengenai hal-hal baik di

masa mendatang disebut optimisme. Carver (2012) menyatakan, bahwa ketika menghadapi

sebuah tantangan, individu yang optimistis akan percaya dan tekun dalam berjuang meskipun

kemajuan atas usahanya melalui fase sulit dan berjalan lambat.Menurut Adams & Forsyth

(2011), optimisme dan harapan memberikan daya tahan yang lebih baik dalam menghadapi

depresi tatkala musibah melanda; terutama dalam tugas-tugas yang menantang. Respon

terhadap kesulitan dibentuk lewat pengaruh dari orang tua, guru, dan teman sebaya, dan

orang-orang yang mempunyai peran penting selama masa kanak-kanak (Dweck dalam Stoltz,

2000).

Optimisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah keyakinan atas

segala sesuatu dari segi yang baik dan menyenangkan atau sikap selalu mempunyai harapan

yang baik. Sejalan dengan yang diungkapkan oleh Lopez dan Snyder (2003), optimisme

adalah suatu harapan yang ada pada individu bahwa sesuatu akan berjalan menuju kearah

kebaikan. Dalam hubungannya dengan proses belajar, menurut Toor (2009), optimisme

akademik mirip dengan optimisme pada umumnya, namun dengan pengkhususan yaitu fokus

dari optimisme akademik lebih kepada domain kehidupan akademik. Optimisme akademik

adalah kecenderungan umum untuk mengharapkan hasil positif dari segi personal terkait

(16)

7

Optimisme akademik pertama kali ditemukan oleh A. Hoy, Tarter, dan W.

Hoy(2006), namun pada fokus optimisme akademik kolektif dan optimisme akademik

individu guru.Kemudian penelitiannya dilanjutkan oleh Adams dan Forsyth (2011) pada

fokus optimisme akademik indvidu siswa.Optimisme akademik memberi pengaruh positif

dan berkontribusi secara signifikan terhadap siswa dalam meraih prestasi akademik yang baik

di sekolah (Adam &Forsyth, 2011).Secara konseptual Adams & Forsyth (2011)

mendefinisikan optimisme akademik sebagai kecenderungan siswa yang muncul dari hasil

penilaian pribadi terhadap efikasi akademik, kepercayaan terhadap pengajarnya, dan persepsi

terhadap tekanan keberhasilan akademik dari orang tua/keluarga.

Dimensi Optimisme Akademik

Optimisme akademik menurut Adams & Forsyth (2011) terdiri atas tiga dimensi,

yaitu student academic self-efficacy, student trust in teacher, dan home academic

press.Student academic self-efficacyadalah keyakinan siswa tentang diri mereka sendiri

terkait dengan kegiatan akademiknya. Dimensi ini menyajikan informasi tingkatan keyakinan

kemampuan diri siswa dalam mengikuti pelajaran dan penyelesaian tugas akademik di

sekolah. Siswa meyakini kemampuannya akan memperoleh nilai yang baik, mampu

melaksanakan dan mengerjakan tugas-tugas akademik yang banyak dan beragam, serta

mendapatkan hasil yang baik (Adams & Forsyth, 2011). Student trust in teacher adalah

keyakinan siswa terhadap guru sekolah mereka. Dimensi ini menyajikan informasi tentang

rasa percaya siswa terhadap para guru di sekolah sebagai pengajar dan pembimbing mereka

yang siap membantu para siswanya di saat dibutuhkan. Student trust in teacher akan

memberikan informasi bagaimana para siswa meyakini akan pengetahuan dan penguasaan

para guru atas mata pelajaran yang diajarkan, serta kemampuan para guru untuk

menyampaikan materi secara terstruktur dan sistematis, sehingga dengan mudah dapat

(17)

8

ketersedian fasilitas pendukung kegiatan belajar mengajar di sekolah (Adams & Forsyth,

2011). Home academic pressadalah keyakinan siswa terhadap dukungan ataupun tekanan

orang tua mereka dalam hal akademik. Siswa dalam menempuh pendidikan di sekolah,

keberhasilannya bukan saja ditentukan oleh kompetensi para guru dengan dukungan

infrastruktur sekolah dan keyakinan atas kemampuan dirinya sendiri saja. Akan tetapi,

dukungan orang tua dan keluarga juga memiliki bobot yang tidak dapat diabaikan. Dukungan

orang tua dan keluarga, serta perhatian dan apresiasi yang diberikan atas kerja keras para

siswa dapat mempengaruhi optimisme dalam diri siswa. Begitu juga dengan meluangkan

waktu untuk sekedar berdiskusi atas materi pelajaran yang sedang dipelajari dan tugas-tugas

siswa, akan memberikan dampak positif yang tidak kalah penting terhadap keberhasilan

pendidikan siswa (Adams & Forsyth, 2011).

Hasil riset dari Hoy dkk. (2006), pada awalnya optimisme akademik dibangun oleh

tiga komponen, yaitu tekanan akademik (academic emphasis) sebagai respon dari perilaku

(behavior),keyakinan bersama(collective efficacy) sebagai respon dari kognitif (cognitive),

dan rasa percaya pihak sekolah pada siswa dan orangtua (faculty trust in parents and

students)sebagai respon perasaan/emosional (affective/emotional). Optimisme akademik

kemudian dikembangkan oleh Adams dan Forsyth (2011) menjadi tiga jenis, yaitu optimisme

akademik kolektif sekolah, optimisme akademik individu guru, dan optimisme akademik

individu siswa. Seperti yang telah dijelaskan di atas tipe optimisme akademik individu

siswaterdiri dari tiga aspek, yaitustudent academic self-efficacyuntuk aspek perilaku, student

trust in teacheruntuk aspek kognitif, dan home academic pressuntuk aspek afektif.

Penelusuran yang peneliti lakukan, belum ditemukan topik penelitian dengan kedua

variabel yang sama seperti penelitian ini. Akan tetapi, ada beberapa penelitian yang memiliki

kemiripan dan dapat dihubungkan dengan topik penelitian ini. Seperti penelitian yang

(18)

9

Fakultas Kedokteran UNS yang menyatakan adanya hubungan positif yang signifikan antara

optimisme dengan adversity quotient.Ada pula penelitian untuk disertasi yang dilakukan oleh

Nelson (2012) yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara

optimisme akademik dengan prestasi akademik siswa. Kemudian ada pula penelitian yang

dilakukan oleh Lestari (2014) yang menyatakan adanya hubungan positif yang signifikan

antara adversity quotient dengan prestasi akademik mahasiswa Progdi Bimbingan Konseling

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana.

Hipotesis

Berdasarkan tinjauan teoritis diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

hubungan positifantara optimisme akademik dengan adversity quotient pada siswa SMP.

Hipotesis yang peneliti ajukan dalam penelitian ini adalah “Terdapat hubungan positif dan

signifikan antara optimisme akademik dengan adversity quotient pada siswa SMP.”

METODE PENELITIAN Identifikasi Variabel

Optimisme Akademik (Variabel Bebas)

Adams dan Forsyth (2011) mendefinisikan optimisme akademik sebagai

kecenderungan siswa yang muncul dari hasil penilaian pribadi terhadap efikasi akademik,

kepercayaan terhadap pengajarnya, dan persepsi terhadap tekanan keberhasilan akademik dari

orang tua/keluarga.

Adversity Quotient (Variabel Terikat)

Menurut Stoltz (2000),adversity quotientadalah kemampuan/kecerdasan seseorang

(19)

10

Populasi danSampel Penelitian

Populasidalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Kristen 1 yang berjumlah 50

orang. Penelitian ini menggunakan teknik sampel jenuh. Menurut Azwar (2013), teknik

sampel jenuh adalah cara pengumpulan data dimana seluruh elemen populasi dijadikan

sampel penelitian. Jadi, dalam penelitian ini keseluruhan populasi akan dijadikan sampel

penelitian. Dari total populasi yang berjumlah 50 orang, sampel yang diteliti dalam penelitian

berjumlah 44 orang dikarenakan enam siswa tidak hadir di sekolah.

Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan datadalam penelitian ini menggunakan dua skala, yaitu :

1. Skala Optimisme Akademik

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur variabel

terikatberdasarkandimensi-dimensi dari optimisme akademik yang diukur dengan menggunakan skala psikologi, yaitu

Student Academic Optimism Scale (SAOS) yang terdiri dari tiga dimensi optimisme

akademik yang dikemukakan Adams dan Forsyth (2011), yaitu :

a) Student academic self-efficacy, yaitu keyakinan siswa tentang diri mereka sendiri

terkait dengan kegiatan akademiknya.

b) Student trust in teacher, yaitu keyakinan siswa terhadap guru sekolah mereka.

c) Home academic press, yaitu keyakinan siswa terhadap dukungan ataupun tekanan

orang tua mereka dalam hal akademik.

Skala ini terdiri dari20item pernyataan dan hanya tersusun dari satu jenis pernyataan

saja, yaitu favorableyang menggunakan model Likert yang sudah dimodifikasi dengan

menghilangkan kategori jawaban yang berada di tengah.Penghilangan pilihan jawaban di

tengah (netral/ragu-ragu) dilakukan untuk menghindari arti ganda dan juga menghindari

(20)

11

Likert tersebut mempunyai empat macam pilihan jawaban, yaitu sangat setuju (SS), setuju

(S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Penyekoran ini dilakukan dengan

sistematika untuk item-item favorable, jawaban sangat setuju (SS) mendapat skor 4 dan

bergerak menuju skor 1 untuk jawaban sangat tidak setuju (STS). Semakin tinggi skor yang

diperoleh pada skala ini, berarti individu memiliki optimisme yang tinggi pada bidang

akademik. Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh berarti individu memiliki

optimisme yang rendah pada bidang akademik.

Penghitungan uji seleksi itemskala optimisme akademik yang terdiri dari 20 item,

diperoleh tiga item gugur (item 5, 6, dan 11) dan uji reliabilitasterhadap 17 item yang valid

diperoleh koefisien Cronbach’s Alpha sebesar 0,868. Menurut Azwar (2013), jika koefisien

Alpha lebih dari 0,60 maka menunjukkan bahwa reliabilitas alat ukur termasuk dalam

kategori baik, sehingga skala optimisme akademik yang digunakan sebagai alat ukur dalam

penelitian ini juga termasuk dalam kategori baik.

2. Skala Adversity Quotient

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur variabel bebasberdasarkanaspek-aspek

dari adversity quotient yang diadaptasi dari Adversity Response Profile (ARP) yang terdiri

dari empat aspek adversity quotient yang dikemukakan oleh Stoltz (2000), yaitu :

(a) Control atau kendali berkaitan dengan seberapa besar individu mengendalikan

kesulitan dan sejauh mana individu merasakan bahwa kendali itu berperan dalam

peristiwa yang menimbulkan kesulitan.

(b)Origin dan Ownership. Origin atau asal usul merupakan kemampuan individu dalam

menempatkan rasa bersalah atas kesulitan dan kegagalan yang dihadapinya,

sedangkan ownership atau pengakuan merupakan kemampuan individu untuk

mengakui atau menyangkal penyebab timbulnya kesulitan.

(21)

12

kesulitan agar kesulitan yang dihadapi tidak meluas dan mempengaruhi sisi lain dari

kehidupannya.

(d) Enduranceatau daya tahanmerupakan kemampuan individu untuk bertahan dalam

kesulitan yang dihadapinya dan yakin bahwa kesulitan hanya bersifat sementara

Skala ini terdiri dari 30item pernyataan dan disusun dengan dua jenis pernyataan,

yaitu favorable dan unfavorable.Metode yang digunakan sebagai pola dasar pengukuran

skala ini adalah model Likert yang sudah dimodifikasi dengan menghilangkan kategori

jawaban yang berada di tengah. Seperti yang diungkapkan oleh Azwar (2002), penghilangan

jawaban di tengah dilakukan untuk menghindari arti ganda dan kecenderungan subjek untuk

lebih memilih kategori jawaban ini.Dengan demikian skala Likert tersebut mempunyai empat

macam pilihan jawaban,yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat

tidak sesuai (STS). Penyekoran ini dilakukan dengan sistematika untuk item-item favorable,

jawaban sangat setuju (SS) mendapat skor 4 dan bergerak menuju skor 1 untuk jawaban

sangat tidak setuju (STS). Begitu juga dengan item-item unfavorable, jawaban sangat tidak

setuju (STS) mendapat skor 4 dan bergerak menuju skor 1 untuk jawaban sangat setuju (SS).

Semakin tinggi skor yang diperoleh pada skala ini, berarti individu memiliki adversity

quotientyang tinggi ketika menghadapi dan mengatasi kesulitan akademik yang dialami.

Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh berarti individu memiliki adversity quotient

yang rendah ketika menghadapi dan mengatasi kesulitan akademik yang dialami.

Penghitungan uji seleksi itemskala adversity quotient yang terdiri dari 30 item,

diperoleh dua item gugur (item 8 dan 16) danuji reliabilitas terhadap 28 item yang

mempunyai daya diskriminasi yang baik diperoleh koefisien Cronbach’s Alpha sebesar

0,932. Dengan demikian, alat ukur adversity quotientmemiliki reliabilitas yang baik untuk

digunakan karena koefisien Alpha lebih dari 0,60 sehingga skala optimisme akademik yang

(22)

13

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Analisis Deskriptif

Berikut adalah hasil penghitungan nilai rata-rata,nilai minimal dan maksimal, serta

standar deviasi sebagai hasil pengukuran skala optimisme akademik dan skala adversity

quotientyang tersajipada tabel di bawah ini, yang pembentukannya didasarkan pada kriteria

Supranto (2000) yang menyatakan sekelompok data yang berdistribusi normal jika rata-rata

ditambah dan dikurang satu standar deviasi termasuk ke dalam kategori sedang, dengan

rumus:

ȳ

±

1

ϭ

; dibawahnya masuk kedalam kategori rendah; diatasnya masuk kedalam

kategori tinggi.

Tabel 1. Klasifikasi Optimisme Akademik danAdversity Quotient pada siswa SMP

Variabel Interval Kategori f % Mean SD Max Min

optimisme akademik pada kategori sedang, yakni sebesar 70,5% dari total populasi; kategori

rendah sebesar 15,9 % dan tinggi sebesar 13,6 %. Begitu pula dengan tingkat adversity

(23)

14

yakni sebesar 56,8%dari total populasi;kategori rendah sebesar 18,2 %, dan tinggi sebesar

25,0 %.

Hasil Pengujian Uji Asumsi

1. Uji Normalitas

Uji asumsi kenormalan terlebih dahulu dilakukan untuk mengetahui apakah data yang

akan dianalisis dengan uji korelasi memenuhi asumsi kenormalan. Uji asumsi normalitas

dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Hasil ujidisajikanpada tabel di bawah ini :

Tabel 2. Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov

*. This is a lower bound of the true significance.

a. Lilliefors Significance Correction

Pada skala optimisme akademik diperoleh hasil skor sebesar 0,092 dengan

signifikansi sebesar 0,200. Sedangkan pada skala adversity quotient diperoleh hasil skor

sebesar 0,106 dengan signifikansi 0,200. Dengan demikian, dari uji tersebut disimpulkan

bahwa kedua variabel memenuhi asumsi kenormalan secara signifikan.

2. Uji Linieritas

Uji linieritas dilakukan untuk mengetahui hubungan linier antara kedua varibel.Uji

(24)

15

Deviation from Linearity 2765.178 20 138.259 1.006 .492

Within Groups 3024.167 22 137.462

Total 8782.545 43

Hasil uji linieritas diperoleh nilai Fobservasi dari linieritas sebesar 1,006 dengan

signifikansi = 0,492 (p > 0,05) yang menunjukkan hubungan antara optimisme akademik

dengan adversity quotient adalah linier.

Uji Korelasi

Setelah dilakukan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov menunjukkan data Optimisme

Akademik dan Adversity Quotient memenuhi asumsi kenormalan, maka dilanjutkan dengan

uji korelasi yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 4. Hasil Uji Korelasi antara

Optimisme Akademik dengan Adversity Quotient

Koefisien korelasi antara optimisme akademik dengan adversity quotient sebesar

0,584 dengan signifikansi 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positifyang

Correlations

(25)

16

signifikan antara optimisme akademik dengan adversity quotient pada siswa SMP.

Berdasarkan hasil uji korelasi didapatkan koefisien determinasi atau R-Square sebesar

0,341 yang berarti kontribusi variabel optimisme akademik terhadap adversity quotient

sebesar 34,1%.

Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian di atas, didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa

terdapat hubungan positif yang signifikan antara optimisme akademik dengan adversity

quotient pada siswa SMP Kristen 1.Dari uji korelasi didapat koefisien korelasi r = 0,584 (p <

0,05). Dilihat dari hubungan positif yang didapat dari hasil uji korelasi kedua variabel

menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel merupakan hubungan yang searah, yakni

semakin tinggi tingkatoptimisme akademik, maka semakin tinggi pula tingkat adversity

quotientsiswa SMP Kristen 1.Demikian pula sebaliknya, jika semakin rendahoptimisme

akademiksiswa, hal itu juga memberikan gambaran adversity quotientyang rendah.

Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Utami, Hardjono, dan

Karyanta (2014) yang menunjukkan terdapat hubungan positif dan signifikan antara

optimisme dengan adversity quotient.Hal ini berarti optimisme akademik pada siswa SMP

Kristen 1 menjadi salah satu faktor yang berperan dalam peningkatan adversity quotient

sesuai dengan pernyataan Adams dan Forsyth (2011) yang mengungkapkan optimisme

akademik merupakan kecenderungan siswa yang muncul dari hasil penilaian pribadi dari

efikasi akademik, kepercayaan terhadap guru, serta persepsi terhadap dukungan dan tekanan

akademik dari orang tua atau keluarga. Jadi, siswa SMP Kristen 1 yang memiliki keyakinan

bahwa mata pelajaran mampu membuat mereka tertarik dan gurunya menyenangkan, siswa

cenderung merasa mampu mengatasi segala tantangan pada mata pelajaran tersebut.

(26)

17

besar siswa SMP Kristen 1 memiliki tingkat optimisme akademik yang berada pada kategori

sedang, yakni sebesar 70,5% dari total populasi penelitian. Untuk kategori tinggi dan rendah

masing-masing dengan persentase sebesar 13,6% dan 15,9%. Begitu pula dengan tingkat

adversity quotient sebagian besar siswa SMP Kristen 1 juga berada pada kategori sedang,

yakni sebesar 56,8% dari total populasi penelitian. Sedangkan untuk kategori tinggi dan

rendah masing-masing dengan persentase sebesar 25,0% dan 18,2%.

Dilihat dari nilai R-Square sebesar 0,341, menunjukkan bahwa variabel optimisme

akademikhanya dapat menjelaskan tentang variabel adversity quotientsebesar 34,1%. Dengan

demikian terdapat 65,9% faktor-faktor lain yang berkontribusi pada variabel adversity

quotient, yaitu A. Faktor Internal: 1) Genetika, 2) Keyakinan, 3) Bakat, 4) Hasrat dan

Kemauan, 5) Karakter, 6) Kinerja, 7) Kecerdasan, 8) Kesehatan, B. Faktor Eksternal: 1)

Pendidikan, dan 2) Lingkungan.

Penulis mengacu pada faktor lain yang berkontribusi pada variabel adversity quotient,

yakni faktor keyakinan diri. Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi adversity quotient

tersebut berkaitan dengan dimensi dari optimisme akademik yang juga berfokus pada

keyakinan diri siswa, yaitu student self-efficacy atau keyakinan siswa tentang diri mereka

sendiri terkait dengan kegiatan akademiknya, student trust in teacher atau keyakinan siswa

terhadap guru sekolah mereka, dan home academic press atau keyakinan siswa terhadap

dukungan ataupun tekanan orang tua mereka dalam hal akademik. Peneliti melakukan

wawancara dengan guru SMP Kristen 1 yang menyebutkan bahwa kurangnya keyakinan diri

siswa dalam menghadapi tugas maupun ujian yang akan diberikan. Hal tersebut ditunjukkan

dengan banyaknya keluhan siswa apabila diberikan tugas atapun materi pelajaran yang akan

diujikan. Dari hasil wawancara tersebut dapat menggambarkan kurangnya keyakinan diri

(27)

18

Penjelasan diatas sejalan dengan penelitian yang telah Dhatt & Rishi (2015) yang

berjudul Study of Self-Efficacy and Optimism of B.Ed. Students yang menunjukkan adanya

hubungan positif dan signifikan antara self-efficacy (keyakinan diri) dengan optimisme.

Menurut Stoltz (2000), faktor keyakinan diri dapat mempengaruhi seseorang dalam

menghadapi suatu masalah serta membantu seseorang dalam mencapai tujuan hidup. Jadi,

keyakinan diri siswa yang baik tentang diri mereka sendiri terkait dengan kegiatan

akademiknya, terhadap guru sekolah mereka, maupun terhadap dukungan dan juga tekanan

orang tua mereka dalam hal akademik dapat mempengaruhi siswa dalam mengahadapi

masalah dan tantangan serta membantu siswa untuk mencapai hasil yang baik dalam hal

akademik siswa.

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka

dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Terdapat hubungan positif yangsignifikan antara optimisme akademik dengan

adversity quotient pada siswa SMP.

2. Dalam penelitian ini siswa-siswi SMP Kristen 1 memiliki optimisme akademik pada

tingkat kategori sedang, begitu pula adversity quotientyang berada pada tingkat

kategori sedang.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dicapai dan peneliti menyadari masih

banyaknya keterbatasan dalam penelitian ini, untuk itu peneliti memberikan beberapa saran

(28)

19

1. Untuk siswa SMP Kristen 1

Optimisme akademik dan adversity quotient dapat dibentuk, oleh karena itu para

siswa yang rata-rata berada pada kategori tingkat sedang pada kedua variabel

penelitian diharapkan lebih meningkatkan optimisme pada bidang akademiknya dan

meningkatkan adversity quotient-nya (kemampuan atau kecerdasan dalam

menyelesaikan masalah/tantangan).Dengan meningkatkan keyakinan, kemauan,

kinerja dan pendidikan (lebih giat dalam belajar), memilih lingkungan yang baik, dan

berpikir positif kiranya dapat meningkatkan optimisme dalam bidang akademik

maupun adversity quotient (kemampuan atau kecerdasan dalam menyelesaikan

masalah/tantangan).

2. Untuk Guru SMP Kristen 1 dan Orang Tua/Keluarga Siswa

Melihat hasil penelitian yang menggambarkan bahwa sebagian besar siswa SMP

Kristen 1 memilikitingkat optimisme akademik dan adversity quotient yang berada

pada kategori sedang, kiranya guru dan orang tua/keluarga dapat lebih membantu dan

mendukung siswa guna meningkatkan optimisme siswa dalam bidang akademik dan

kemampuan atau kecerdasan siswa dalam menyelesaikan masalah. Hal tersebut dapat

dilakukan orang tua atau keluarga dengan selalu memberikan pedoman/petunjuk yang

baik dalam menghadapi tantangan, menaikkan harga diri anak/siswa agar dapat lebih

percaya dengan kemampuannya, dan sering memberikan motivasi dan dukungan pada

anak/siswa dalam menghadapi tantangan dalam bidang akademik.Untuk guru di

sekolah, terutama guru mata pelajaran tertentu yang dianggap sulit oleh kebanyakan

siswa, sebaiknya lebih mengembangkan metode-metode pembelajaran yang lebih

menyenangkan, seperti metode pembelajaran experiental learning (pembelajaran

melalui basis pengalaman atau praktek) dan student-centered learning (pembelajaran

(29)

20

3. Untuk Peneliti Selanjutnya

Untuk peneliti selanjutnya yang ingin mengadakan penelitian dengan topik dan

variabel yang sama, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan dan informasi

tambahan. Penelitiselanjutnya yang tertarik untuk mengadakan penelitian dengan

topik dan variabel yang sama, disarankan untuk melakukan penelitian pada populasi

dan sampel pada tingkat pendidikan yang berbeda atau mungkin lebih tinggi dari

(30)

21

DAFTAR PUSTAKA

Abele, A. E., & Gendolla, G. H. E. (2007). Individual differences in optimism predict the recall of personally relevant information. Personality and Individual Difference, 43, 1125-1135.

Adams, C.M.,& Forsyth, P.B. (2011).Studentacademic optimism: confirming aconstruct. A Paper Submitted for Presentation at The 2011 Annual Meeting of The American

Educational Research Assosiation New Orleans, LA.

Ahmadi, H.,&Supriyono, W. (1991).Psikologi Belajar. Jakarta:PT. Rineka Cipta.

Arnett, J.J. (1999). Adolescent storm and stress.Journal of University of Maryland College

Park, 54(5), 317-326.

Azwar, S. (2013).Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Carver, C. S. (2012). Optimism.Diakses pada 21 September, 2017 dari http://cancercontrol.cancer.gov/brp/research/constructs/dispositional_optimism.html.

Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Kamus Besar Bahasa Indonesia.(Edisi ke-3). Jakarta: Balai Pustaka.

Garmezy, N.,& Michael, R. (1983).Stress, Coping and Development in Children. New York: McGraw-Hill.

Hall,S.G.(1904). Adolescence: In Psychology and Its Relation to Psychology, Anthropology, Sociology, Sex, Crime, Religion, and Education Volume I&II. New Jersey: Prentice-Hall.

Hoy, W. K.,&McGuigan, L. (2006). Principal leadership: creating a culture of academic optimism to improve achievement for all students. The Journal of Leadership & Policy in Schools, 5(3), 203-229.

Hoy, W.K., Tarter, C.J.,& Hoy, A. (2007). Academic Optimism of Schools: A Force for Student Achievement.North Carolina: Information Age Inc.

Johnson, D.W. (1970). The Social Psychology of Education. New York: Holt, Reinhart & Winston Inc.

Lestari, B. (2014). Hubungan antara adversity quotient dengan prestasi akademik pada

(31)

22

Lopez, & Snyder, C.R. (2003). Positive Psychological Assessment a Handbook of Models &Measures. Washington. DC: APA (American Psychological Assosiation).

Marcia, J.E. (1987). The Identity Status Approach to Study of Ego Indentity Development.Prespectives Across the Lifespan. International Library of Psychology

(pp. 161-171). New York: Routledge.

Nelson, L. M. (2012). The relationship between academic optimism and academic achievement in middle schools in Mississippi.Dissertation.The University of Southern Mississippi.

Santrock, J. W. (2003). Adolescent Psychology9thEdition. Boston: McGraw-Hill.

Stoltz, P. G. (2000). Adversity Quotient: Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. Jakarta: PT.

Grasindo.

Supranto, J. (2000). Statistik: Teori dan Aplikasi Jilid I dan II.(Edisi Ke-6). Jakarta:Erlangga.

Toor, S.F. (2009). Optimism and achievement: Adomain-specific and within-construct investigation. Dissertation. University of Tennessee.

Utami, I. B., Hardjono, &Karyanta N. A. (2014). Hubungan antara Optimisme dengan Adversity Quotient pada Mahasiswa Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran

UNS yang Mengerjakan Skripsi. Skripsi.Universitas Negeri Sebelas Maret.

Walpole, E. R. (1982). Pengantar Statistika.(Edisi ke-3). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

World Health Organization. Diakses pada

Gambar

Tabel 1. Klasifikasi Optimisme Akademik danAdversity Quotient pada siswa SMP
Tabel 2. Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov
Tabel 4. Hasil Uji Korelasi antara

Referensi

Dokumen terkait

menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “HUBUNGAN ANTARA PEMANFAATAN MEDIA PEMBELAJARAN DAN KREATIVITAS GURU DALAM MENGAJAR DENGAN PRESTASI BELAJAR SEJARAH

Kelebihan dari pelumas berbahan dasar minyak nabati ini jika dibandingkan dengan bahan dasar minyak bumi yaitu memiliki indeks viskositas tinggi, tingkat pengurangan jumlah

Dapat di lihat dari hasil wawancara di atas bahwa proses pembelajaran Tahsin setelah selesai shalat Ashar berjamaah, santri langsung murajaah surah-surah

Oleh karena pelaksanaan Jual-beli tanah pada hakekatnya merupakan salah satu pengalihan hak atas tanah kepada pihak lain,yaitu dari penjual kepada pembeli tanah.Di

Bank Mega Syariah Cabang Pekanbaru dalam menghitung bagi hasil menggunakan akad mudharabah ialah metode equivalent rate yaitu dengan cara mengkonversi bagi hasil

Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian tentang kesehatan pada ternak babi melalui prevalensi dan intensitas cacing parasit pada feses, yang bertujuan untuk

Hasil kuesioner yang ditampilkan dalam tabel 2 menunjukan bahwa dari 15 pasien prabedah yang diberi pendidikan kesehatan rata-rata memiliki skor kecemasan sebesar 14,75

Affiliate Marketing dilakukan oleh para pelaku bisnis online sebagai alat bantu untuk memasarkan produk atau jasa yang mereka jual dengan cara merekrut anggota sebagai reseller