8 2.1.Pengertian Efektivitas
Menurut Ravianto dalam Masruri (2014:11):
“Efektivitas adalah seberapa baik pekerjaan yang dilakukan, sejauh mana orang menghasilkan keluaran sesuai dengan yang diharapkan. Ini berarti bahwa apabila suatu pekerjaan dapat diselesaikan dengan perencanaan, baik dalam waktu, biaya mau pun mutunya, maka dapat dikatakan efektif.”
Menurut Bungkaes (2013:45):
“Efektivitas adalah hubungan antara output dan tujuan. Dalam artian efektivitas merupakan ukuran seberapa jauh tingkat output, kebijakan dan prosedur dari organisasi mencapai tujuan yang ditetapkan. Dalam pengertian teoritis atau praktis, tidak ada persetujuan yang universal mengenai apa yang dimaksud dengan “Efektivitas”. Bagaimanapun definisi efektivitas berkaitan dengan pendekatan umum. Bila ditelusuri efektivitas berasal dari kata dasar efektif yang artinya : (1). Ada efeknya (pengaruhnya, akibatnya, kesannya) seperti: manjur; mujarab; mempan; (2). Penggunaan metode/cara, sarana/alat dalam melaksanakan aktivitas sehingga berhasil guna (mencapai hasil yang optimal).”
Menurut Gibson et.al dalam Bungkaes (2013:46) :
“Efektivitas adalah penilaian yang dibuat sehubungan dengan prestasi individu, kelompok, dan organisasi. Makin dekat prestasi mereka terhadap prestasi yang diharapkan (standar), maka makin lebih efektif dalam menilai mereka.”
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa Efektivitas adalah pencapaian sebuah tujuan yang dilakukan dengan cara yang baik dan hasil yang baik oleh individu, kelompok ataupun sebuah organisasi.
2.2. Pengendalian Internal
2.2.1. Pengertian Pengendalian Internal Menurut Alvin A. Arens (2013:370):
“Sistem pengendalian internal terdiri atas kebijakan dan prosedur yang dirancang untuk memberikan manajemen kepastian yang layak bahwa perusahaan telah mencapai tujuan dan sasarannya. Kebijakan dan prosedur ini sering kali disebut pengendalian, dan secara kolektif membentuk pengendalian internal entitas tersebut.”
Pengendalian internal menurut Committee of Sponsoring Organizations (COSO:2001) adalah:
“Suatu proses yang dijalankan oleh top manajemen sampai staf operasional, yang dirancang untuk memberikan jaminan yang reasonable akan tercapainya tujuan organisasi dalam tiga kategori, yaitu:
1. Keandalan laporan keuangan 2. Efektivitas dan efisiensi operasi
3. Kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku.
Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2013:39) pengendalian internal didefinisikan sebagai berikut :
“Sistem yang meliputi organisasi semua metode dan ketentuan yang terorganisasi yang dianut dalam suatu perusahaan untuk melindungi harta miliknya, mengecek kecermatan dan keandalan data akuntansi serta meningkatkan efisiensi usaha.”
2.2.2. Tujuan Pengendalian Internal
Sistem pengendalian internal terdiri atas kebijakan dan prosedur yang dirancang untuk memberikan manajemen kepastian yang layak bahwa perusahaan telah mencapai tujuan dan sasarannya. Kebijakan dan prosedur ini sering kali disebut pengendalian, dan secara kolektif membentuk pengendalian internal
entitas tersebut. Biasanya manajemen memiliki tiga tujuan umum dalam merancang sistem pengendalian internal yang efektif (Arens, 2013:370):
1. Reliabilitas pelaporan keuangan. Manajemen memikul baik tanggung jawab hukum maupun profesional untuk memastikan bahwa informasi telah disajikan secara wajar sesuai dengan persyaratan pelaporan seperti prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum (GAAP). Tujuan pengendalian internal yang efektif atas pelaporan keuangan adalah memenuhi tanggung jawab pelaporan keuangan tersebut.
2. Efisiensi dan efektivitas operasi. Pengendalian dalam perusahaan akan mendorong pemakaian sumber daya secara efisien dan efektif untuk mengoptimalkan sasaran-sasaran perusahaan. Tujuan yang penting dari pengendalian ini adalah memperoleh informasi keuangan dan non keuangan yang akurat tentang operasi perusahaan untuk keperluan pengambilan keputusan.
3. Ketaatan pada hukum dan peraturan. Section 404 mengharuskan semua perusahaan publik mengeluarkan laporan tentang keefektifan pelaksanaan pengendalian internal atas pelaporan keuangan. Selain mematuhi ketentuan hukum dalam Section 404, organisasi-organisasi publik, non publik, dan nirlaba diwajibkan menaati berbagai hukum dan peraturan. Beberapa hanya berhubungan secara tidak langsung dengan akuntansi, seperti UU perlindungan lingkuangan dan hak sipil, sementara yang lain nya berkaitan erat dengan akuntansi, seperti peraturan pajak penghasilan dan kecurangan.
2.2.3. Komponen Pengendalian Internal
Arens (2013:375) menyatakan bahwa:
Internal Control-Integrated Framework yang dikeluarkan Committee of Sponsoring Organizations (COSO), yaitu kerangka kerja pengendalian internal yang paling luas diterima di Amerika Serikat, menguraikan lima komponen pengendalian yang dirancang dan diimplementasikan oleh manajemen untuk memberikan kepastian yang layak bahwa tujuan pengendaliannya akan tercapai.
Komponen pengendalian internal Committee of Sponsoring Organizations
(COSO:2001) terdiri dari lima komponen yaitu:
1. Lingkungan Pengendalian (control environment)
Lingkungan pengendalian perusahaan mencakup sikap para manajemen dan karyawan terhadap pentingnya pengendalian yang ada di organisasi tersebut. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap lingkungan pengendalian adalah filosofi manajemen (manajemen tunggal dalam persekutuan atau manajemen bersama dalam perseroan) dan gaya operasi manajemen (manajemen yang progresif atau yang konservatif), struktur organisasi (terpusat atau terdesentralisasi) serta praktik kepersonaliaan.
2. Penilaian Risiko (risk assessment)
Semua organisasi memiliki risiko, dalam kondisi apapun yang namanya risiko pasti ada dalam suatu aktivitas, baik aktivitas yang berkaitan dengan bisnis (profit dan non profit) maupun non bisnis. Suatu risiko
yang telah di identifikasi dapat di analisis dan evaluasi sehingga dapat di perkirakan intensitas dan tindakan yang dapat meminimalkannya.
3. Aktivitas pengendalian
Aktivitas pengendalian adalah kebijakan dan prosedur yang membantu keyakinan bahwa perturan telah dilaksanakan. Aktifitas pengendalian membantu meyakinkan manajemen bahwa tindakan yang perlu dilakukan telah diambil dan menghadapi risiko sehingga tujuan entitas dapat tercapai.
4. Informasi dan Komunikasi
Informasi dan komunikasi merupakan elemen-elemen yang penting dari pengendalian intern perusahaan. Informasi tentang lingkungan pengendalian, penilaian risiko, prosedur pengendalian dan monitoring diperlukan oleh manajemen sebagai pedoman operasional dan menjamin ketaatan dengan pelaporan hukum dan peraturan-peraturan yang berlaku pada perusahaan. Informasi juga diperlukan dari pihak luar perusahaan. Manajemen dapat menggunakan informasi jenis ini untuk menilai standar eksternal. Hukum, peristiwa dan kondisi yang berpengaruh pada pengambilan keputusan dan pelaporan eksternal.
5. Pemantauan
Pemantauan terhadap sistem pengendalian internal akan menemukan kekurangan serta meningkatkan efektivitas pengendalian. Pengendalian internal dapat di monitor dengan baik dengan cara penilaian khusus
atau sejalan dengan usaha manajemen. Usaha pemantauan yang terakhir dapat dilakukan dengan cara mengamati perilaku karyawan atau tanda-tanda peringatan yang diberikan oleh sistem akuntansi. Penilaian secara khusus biasanya dilakukan secara berkala saat terjadi perubahan pokok dalam strategi manajemen senior, struktur korporasi atau kegiatan usaha. Pada perusahaan besar, auditor internal adalah pihak yang bertanggung jawab atas pemantauan sistem pengendalian internal. Namun auditor independen juga sering melakukan penilaian atas pengendalian internal sebagai bagian dari audit atas laporan keuangan.
2.2.4. Keterbatasan Pengendalian Internal
Pengendalian internal setiap entitas memiiki keterbatasan bawaan. Berikut ini adalah keterbatasan bawaan yang melekat dalam setiap pengendalian internal :
1. Kesalahan dalam pertimbangan
Seringkali manajemen dan personel lain dapat salah dalam mempertimbangkan keputusan bisnis yang diambil atau dalam melaksanakan tugas rutin karena tidak memadainya informasi, keterbatasan waktu, atau tekanan lain.
2. Gangguan
Gangguan dalam pengendalian yang telah ditetapkan dapat terjadi karena personel telah keliru memahami perintah atau membuat kesalahan karena kelalaian,tidak adanya perhatian atau kelelahan.
Perubahan yang bersifat sementara atau permanen dalam personel atau dalam sistem dan prosedur dapat juga mengakibatkan gangguan.
3. Kolusi
Tindakan bersama individu untuk tujuan kejahatan disebut dengan kolusi (collusion) dapat mengakibatkan bahwa bobolnya pengendalian intern yang dibangun untuk melindungi kekayaan entitas dan tidak terungkapnya ketidakberesan atau tidak terdeteksinya kecurangan oleh pengendalian intern yang dirancang.
4. Pengabaian oleh manajemen
Manajemen dapat mengabaikan kebijakan atau prosedur yang telah ditetapkan untuk tujuan yang tidak sah seperti keuntungan pribadi manajer, penyajian kondisi keuangan yang berlebihan, atau kepatuhan semu.
5. Biaya lawan manfaat
Biaya yang diperlukan untuk mengoperasikan pengendalian intern tidak boleh melebihi manfaat yang diharapkan dari pengendalian intern tersebut karena pengeluaran secara tepat baik biaya maupun manfaatnya biasanya tidak dilakukan, manajemen harus memperkirakan dan mempertimbangkan secara kuantitatif dan kualitatif dalam mengevaluasi biaya dan manfaat suatu pegendalian intern.
2.3.Kinerja Proyek
2.3.1. Pengertian Kinerja Proyek
Pengertian Kinerja Proyek (Project Preformance) menurut Agil (2016:7) adalah:
“Kinerja Proyek merupakan bagaimana cara kerja proyek tersebut dengan membandingkan hasil kerja nyata dengan perkiraan cara kerja pada kontrak kerja yang disepakati oleh pihak owner dan kontraktor pelaksana.” Menurut Abrar Husen (2011:60) kinerja proyek yang dapat diukur dari indikator kinerja biaya, mutu, waktu serta keselamatan kerja dengan merencanakan secara cermat, teliti, dan terpadu seluruh alokasi sumber daya masnusia, peralatan, material serta biaya yang sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan. Semua ini diselaraskan dengan sasaran dan tujuan proyek.
Gambar 2.1. Tolok Ukur/Indikator Kinerja Proyek
Agar hasilnya optimal, standar kinerja proyek selama proses berlangsung harus ditetapkan sedetail dan seakurat mungkin untuk meminimalkan penyimpangan. Biaya, mutu, waktu dan keselamatan kerja seperti terlihat pada gambar 2.1. merupakan tolok ukur kinerja proyek dalam mencapai sasaran dan tujuan proyek. Optimasi pencapaian paling penting adalah keselamatan kerja,
Keselamatan Kerja/Safety Biaya
karena bila faktor ini diabaikan dapat memengaruhi kinerja biaya, mutu dan waktu, yang lebih jauh dapat mengakibatkan kerugian materi dan jiwa.
2.3.2. Manajemen Biaya
Seluruh urutan kegiatan proyek perlu memiliki standar kinerja biaya proyek yang dibuat dengan akurat dengan cara membuat format perencanaan seperti dibawah ini (Abrar Husen, 2011:59):
1. Kurva S, selain dapat mengetahui progres waktu proyek, kurva S juga berguna untuk mengendalikan kinerja biaya, hal ini ditujukkan dari bobot pengeluaran kumulatif masing-masing kegiatan yang dapat dikontrol dengan membandingkannya dengan baseline periode tertentu sesuai dengan kemajuan aktual proyek.
2. Diagram Cash Flow, diagram yang menunjukkan rencana aliran pengeluaran dan pemasukan biaya selama proyek berlangsung. Diagram ini diharapkan dapat mengendalikan keseluruhan biaya proyek secara detail sehingga tidak mengganggu keseimbangan kas proyek.
3. Kurva Earned Value yang menyatakan nilai uang uang telah dikeluarkan pada baseline tertentu sesuai dengan kemajuan aktual proyek. Bila ada indikasi biaya yang dikeluarkan melebihi rencana, maka biaya itu dikoreksi dengan melakukan penjadwalan ulang dan meramalkan seberapa besar biaya yang harus dikeluarkan sampai akhir proyek karena penyimpangan tersebut.
4. Balance Sheet, yang menyatakan besarnya aktiva dan pasiva keuangan perusahaan selama periode satu tahun dengan keseluruhan proyek yang telah dikerjakan beserta aset-aset yang dimiliki perusahaan.
Keempat hal tersebut dibuat dalam laporan periodik dengan maksud agar dari waktu ke waktu dapat dievaluasi serta dikendalikan dan menjadi rujukan dalam membuat keputusan terkait dengan tindakan koreksi bila terjadi penyimpangan.
2.3.3. Manajemen Mutu
Jaminan mutu ( quality assurance) dapat diperoleh dengan melakukan proses berdasarkan kriteria material atau kerja yang telah ditetapkan hingga didapat standar produk akhir, dapat pula dengan melakukan suatu proses prosedur kerja yang berbentuk sistem mutu hingga didapat standar sistem mutu terhadap produk akhir. Pengendalian tiap-tiap proses (quality control) dimaksudkan untuk menjamin mutu material atau kerja yang diperoleh sesuai dengan sasaran dan tujuan yang ditetapkan (Abrar Husen, 2011:61).
Mendapatkan standar kinerja mutu yang baik dapat dilakukan dengan mengadopsi beberapa sistem perencanaan dan pengendalian mutu seperti diuraikan di bawah ini:
1. Menerapkan sistem manajemen mutu ISO 9001:2008 dengan menjalankan prosedur sebagai bagian dari keseluruhan sistem untuk mendapatkan produk akhir yang sesuai dengan yang direncanakan. Prinsip-prinsip dasar yang dilakukan adalah membuat dan menulis perencanaan (say what you do), melaksanakan dan mengendalikan
sesuai rencana (do what you say) serta mencatat apa yang telah dilakukan (record what you did).
Pada sistem manajemen mutu ISO 9001:2008 ini juga dibuat beberapa dokumen sistem mutu seperti diuraikan dibawah ini:
Manual mutu, berisi kebijakan yang berkaitan dengan komitmen penerapan, pencapaian dan pemenuhan persyaratan dari standar sistem mutu ISO 9001:2008.
Prosedur mutu, uraian tentang suatu proses pekerjaan yang terdapat atas serangkaian aktivitas dan melibatkan banyak fungsi. Prosedur dapat menjadi pedoman cara kerja dan sebagai sarana untuk menilai efektivitas sistem mutu yang dibuat. Instruksi Kerja, menguraikan langkah-langkah terinci dari
suatu aktivitas yang termuat dalam prosedur dan melibatkan satu fungsi saja dan biasanya disertakan bentuk-bentuk diagram alir, form dan laporan.
Sistem manajemen mutu ISO terdiri atas 19 elemen dengan kelompok-kelompok elemen kunci seperti : Peranan Manajemen, Pengendalian Proses, Verifikasi, Hubungan dengan Pihak Eksternal. Masing-masing elemen diuraikan atas dokumen sistem mutu seperti dijelaskan di atas disesuaikan dengan uraian kegiatan yang ada dalam proyek. Agar kesinambungan program manajemen sistem mutu tetap berjalan, dilakukan fungsi audit internal oleh perusahaan pemberi sertifikat yang dilakukan secara periodik. Pada proyek konstruksi,
penerapan sistem mutu menggunakan ISO 9001 dilakukan dengan memenuhi persyaratan dan prosedur elemen-elemennya, seperti: Tanggung jawab Manajemen, Sistem Mutu, Tinjauan Kontrak, Pengendalian Desain, Pengendalian Dokumen dan Data, Pembelian, Pengendalian Produk, Identifikasi dan Kemampuan telusur Produk, Pengendalian Proses, Inpeksi dan Pengujian, Pengendalian Alat Inpeksi, Ukur dan Uji, Status Inpeksi dan Uji, Pengendalian Produk Tidak Sesuai, Tindakan Koreksi dan Pencegahan, Penanganan, Penyimpanan, Pengemasan, Pengawetan dan Penyerahan, Pengendalian Rekaman Mutu, Audit Mutu Internal, Pelatihan, Pelayanan, Teknik Statistik.
2. Sedangkan untuk melengkapi persyaratan sistem mutu di atas sehingga didapat mutu terbaik terhadap standar produk akhir, dilakukan dengan cara membuat gambar kerja yang detail dan akurat, lalu membuat spesifikasi umum dan teknis terhadap pekerjaan dan material yang digunakan.
3. Untuk pengendalian selama pelaksanaan proyek, jadwal pengiriman material harus tepat waktu, proses penyimpanan material aman dan terlindungi, selain itu dibuatkan format standar prosedur operasinya mengikuti spesifikasi yang telah ditetapkan dalam penggunaan material nya.
4. Melengkapi pengendalian kinerja mutu dapat dilakukan dengan membuat prosedur dan intruksi kerja dari total quality control
(Pengendalian Mutu Terpadu), yaitu dengan melakukan kegiatan perencanaan (plan), pelaksanaan (do), pemeriksaan (check), tindakan koreksi (corrective action). Data dan informasi yang dijadikan rujukan dalam pengambilan keputusan pengendalian mutu adalah sebagai berikut:
Format pemeriksaan, yang memuat data serta hasil penilaiannya
Format lembaran evaluasi dan tindakan koreksi penyimpangan Diagram histogram, yang menunjukkan frekuensi masalah
yang telah terjadi sesuai dengan tindakan koreksi yang telah diambil
Kurva dan diagram pengendalian dengan baseline mutu yang telah ditetapkan, seperti kurva garis linier, pie chart, dan lain sebagainya.
Cara-cara perencanaan dan pengendalian kinerja mutu seperti yang telah diuraikan di atas dapat dikombinasikan yang format pelaksanaanya dilakukaan secara terpadu.
Masing-masing bagian dibuatkan perencanaan standar sistem mutu, standar produk, serta program-program pengendaliannya pada masa implementasi proyek. Untuk pekerjaan proyek di masa depan, semua dokumen proyek sebelumnya dievaluasi kembali untuk mendapatkan tingkat efisiensi yang lebih baik. Indikator kinerja mutu dapat dibuat dalam bentuk laporan, yakni jumlah
produk yang tidak sesuai, yang menyatakan tingkat ketidak-puasan, serta pembandingnya yaitu produk yang memuaskan konsumen. Evaluasi dan penilaian hasil kerja serta produk akhir diharapkan dapat memberikan hasil yang memuaskan.
Untuk mengetahui mutu suatu objek adalah mengidentifikasi objek, kemudian mengkaji sifat objek tersebut agar memenuhi keinginan pelanggan. Jadi, setelah diidentifikasi materi produknya, selanjutnya dipertanyakan lebih jauh mengenai bentuk, ukuran, warna, berat, ketahanan, kinerja dan lain-lain dari produk itu. Setelah jawab dari pertanyaan tersebut memenuhi keinginan pelanggan, maka produk yang dimaksud dapat memenuhi mutu.
Definisi lain untuk mutu yang sering diasosiasikan dengan proyek adalah fitness for use. Istilah ini disamping mempunyai arti seperti yang diuraikan diatas, juga memperhatikan masalah tersedianya produk, keandalan dan masalah pemeliharaan.
Setelah dimengerti arti mutu proyek, maka langkah berikutnya adalah mengelola aspek mutu tersebut dengan benar dan tepat, sehingga tercapai apa yang disebut dengan fitness fo use. Yaitu, pengelolaan yang bertujuan mencapai persyaratan mutu proyek pada pekerjaan pertama tanpa adanya pengulangan (to do the right things right the first time) dengan cara-cara yang efektif dan ekonomis. Pengelolaan mutu proyek merupakan unsur dari pengelolaan proyek secara keseluruhan, yang antara lain adalah sebagai berikut:
a. Meletakkan Dasar Filosofi dan Kebijakan Mutu Proyek
Umumnya perusahaan-perusahaan besar memiliki dokumen (buku) yang berisi pedoman dasar, filosofi dan kebijakan mutu yang harus diikuti selama menjalankan operasi atau produksinya. Dokumen semacam ini memuat pula persyaratan mutu yang ditetapkan oleh perusahaan bersangkutan dan peraturan-peraturan dari badan diluar perusahaan yang berwenang, misalnya pemerintah. Untuk mengelola proyek disiapkan dokumen yang isinya spesifik ditujukan untuk proyek yang sedang ditangani.
b. Memberikan Keputusan Strategis Mengenai Hubungan Antara Mutu Biaya dan Jadwal
Triple Constraint pada proyek yang saling tarik menarik yang terdiri dari jadwal, mutu dan biaya. Pimpinan perusahaan harus menggariskan bobot mutu relatif terhadap biaya dan jadwal proyek. Keputusan ini akan menjadi pegangan pengelolaan sepanjang siklus proyek.
c. Membuat Program Penjaminan dan Pengendalian Mutu (QA/QC) Program yang dimaksud adalah penjabaran pedoman dan filosofi yang tersebut pada butir a, tetapi disesuaikan dengan keperluan proyek yang spesifik dan tidak bertentangan dengan program mutu perusahaan secara keseluruhan. Dari pihak pelanggan, adanya program QA/QC yang lengkap dan menyeluruh serta dokumen yang
membuktikan bahwa mutu proyek atau produk yang dipesannya telah memenuhi syarat yang diinginkan.
d. Implementasi program QA/QC
Setelah program QA/QC selesai disusun, implementasi program tersebut dilaksanakan sepanjang siklus proyek. Agar diperoleh hasil yang efektif, perlu diselesaikan terlebih dahulu langkah-langkah persiapan, seperti melatih personil, menyusun organisasi, serta menyebarluaskan arti dan maksud program QA/QC kepada semua pihak yang berkepentingan.
2.3.4. Manajemen Waktu
Standar kinerja waktu ditentukan dengan merujuk seluruh tahapan kegiatan proyek beserta durasi dan penggunaan sumber daya (Abrar Husen, 2011:64). Dari semua informasi dan data yang telah diperoleh, dilakukan proses penjadwalan sehingga akan ada output berupa format-format laporan lengkap mengenai indikator progres waktu, sebagai berikut:
1. Barchart
Diagram batang yang secara sederhana dapat menunjukan informasi rencana jadwal proyek beserta durasinya, lalu dibandingkan dengan progres aktual sehingga diketahui apakah proyek terhambat atau tidak. 2. Network Planning
Sebagai jaringan kerja berbagai kegiatan dapat menunjukkan kegiatan-kegiatan kritis yang membutuhkan pengawasan ketat agar tidak ada keterlambatan dalam pelaksanaan nya. Format Network Planning juga
digunakan untuk mengetahui kegiatan-kegiatan yang longgar waktu penyelesaian nya berdasarkan total float-nya, sehingga semua itu dapat digunakan untuk memperbaiki jadwal dan agar alokasi sumber dayanya menjadi lebih efektif dan efisien.
3. Kurva S
Kurva S berguna dalam pengendalian kinerja waktu. Hal ini ditunjukkan dari bobot penyelesaian kumulatif masing-masing kegiatan dibandingkan dengan keadaan aktual, sehingga apakah proyek terlambat atau tidak dapat dikontrol dengan memberikan baseline pada periode tertntu.
4. Kurva Earned Value yang dapat menyatakan progres waktu berdasarkan baseline yang telah ditentukan untuk periode tertentu sesuai dengan kemajuan aktual proyek. Bila ada indikasi waktu terlambat dari yang direncanakan, maka hal itu dapat dikoreksi dengan menjadwal ulang proyek dan meramalkan seberapa lama durasi yang diperlukan untuk penyelesaian proyek karena penyimpangan tersebut, serta dengan menambah jumlah tenaga kerja waktu bergantian.
Hasil pemantauan laporan pada format-format di atas perlu dievaluasi dan dikoreksi, caranya dengan memperbaharui data dan informasi agar kinerja waktu tercapai sesuai rencana.
Masalah-masalah yang timbul yang dapat menghambat kinerja waktu adalah sebagai berikut:
Vol u m e P e k. Awal Proyek Pertengahan Proyek Akhir Proyek Bob o t Pek. Awal Proyek Pertengahan Proyek Akhir Proyek
1. Alokasi penempatan sumber daya tidak efektif dan efisien karena penyebarannya fluktuatif dan ketersediaan sumber daya nya tidak mencukupi. Untuk mengatasi nya, dilakukan pemerataan jumlah sumber daya dan penjadwalan ulang serta merelokasi sumber daya agar lebih efektif dan efisien.
2. Terjadi keterlambatan proyek yang disebabkan oleh jumlah tenaga kerja yang terbatas, peralatan tidak mencukupi, kondisi cuaca buruk, metode kerja yang salah. Untuk mengatasinya, dilakukan duration- cost trade off yaitu menambah tenaga kerja dan peralatan, dengan konsekuensi biaya meningkat namun sebagai gantinya akan mempercepat durasi proyek. 3. Kondisi alam yang diluar perkiraan dapat mempengaruhi dan menunda
jadwal rencana, sehingga antisipasi keadaan tersebut perlu dilakukan.
Gambar 2.2. Grafik Alokasi Volume Pekerjaan Selama Durasi Proyek
2.3.5. Manajemen K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja)
K3 merupakan faktor yang paling penting dalam sasaran tujuan proyek. Hasil yang maksimal dalam kinerja biaya, mutu, dan waktu tiada artinya bila
tingkat keselamatan kerja terabaikan. Indikator nya dapat berupa tingkat kecelakaan kerja yang tinggi, seperti banyak tenaga kerja yang meninggal, cacat permanen serta instalasi proyek yang rusak, selain kerugian meteri yang besar. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah suatu struktur komposisi yang kompleks dengan personel, sumber daya, program beserta kebijakan dan prosedurnya terintegrasi dalam wadah organisasi perusahaan/badan atau lembaga. (Abrar Husen, 2011:66).
Integrasi diperlukan untuk memastikan bahwa tugas menjalankan program K3 dapat dicapai sesuai sasaran dan tujuan yang ditetapkan.
Sistem keselamatan dan kesehatan kerja diperlukan karena alasan-alasan berikut:
1. Perusahaan mempunyai tanggung jawab moral terhadap keselamatan dan kesehatan kerja, tenaga kerja, staf perusahaan, masyarakat pengguna fasilitas proyek, pemilik proyek serta menjaga keawetan dan umur dari fasilitas yang telah dibuat. Selain itu, program K3 yang efektif akan meningkatkan produktivitas dan kualitas kerja banyak pihak.
2. Sebagai antisipasi perusahaan untuk pemenuhan aspek legal hukum yang berlaku sebagaimana diatur dan dipersyaratkan dalam:
Undang-Undang kerja tahun 1948-1951, yang mengatur keselamatan kerja beserta pencegahannya.
Undang-Undang No.14/1969, perlindungan keselamatan tenaga kerja.
Undang-Undang No.1 tahun 1970, mengatur tentang keselamatan kerja.
Keputusan Bersama Mentri Pekerjaan Umum dan Mentri Tenaga Kerja No. Kep. 174/Men/1986/104/KPTS/1986, tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada tempat dilakukan kegiatan konstruksi.
Keputusan Mentri Pekerjaan Umum No.195/KPTS/1989, mengenai Pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum.
Instruksi Mentri Pekerjaan Umum No.I/IN/M/1990, mengenai Pelaksanaan Kampanye Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Lingkungan DPU.
3. Dengan menerapkan konsep keselamatan kerja, berarti perusahaan telah menerapkan salah satu fungsi manajemen di mana kinerja program K3 dapat menampilkan hasil program dengan tingkat kecelakaan paling minimal atau tidak ada sama sekali.
4. Secara ekonomis K3 mempunyai banyak manfaat, seperti: Menghemat biaya yang tak terduga
Mengurangi risiko dan menghemat biaya asuransi karena premiumnya lebih rendah karena sejarah kecelakaan perusahaan yang rendah
Reputasi yang baik bagi perusahaan dalam hal keselamatan dan kesehatan kerja dapat meningkatkan permintaan pasar terhadap keahlian perusahaan.
Tingkat efisiensi dan efektif kerja bagi perusahaan menjadi lebih tinggi dengan menekan risiko kecelakaan yang akan terjadi.
Manajemen perusahaan mempunyai peranan penting dalam men sukses kan kampanye program K3 disebabkan oleh hal-hal berikut:
1. Kebijakan-kebijakan program K3 disosialisasikan dan diberlakukan oleh manajemen perusahaan sebagai tanggung jawab nya kepada semua pihak yang terlibat dalam perusahaan maupun pelaksanaan proyek.
2. Pihak manajemen dapat melakukan dan menerapkan program K3 dengan memberi penghargaan terhadap karyawan atau tenaga kerja yang mempunyai reputasi baik dalam program K3, dalam bentuk promosi dan kenaikan gaji dipercepat.
3. Pihak manajemen menjadwalkan pertemuan berkala untuk membahas teknik-teknik memperkecil kecelakaan kerja.
4. Secara legal pihak manajemen harus melakukan :
Penyediaan peralatan kerja yang aman
Memberlakukan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan keselamatan dan kesehatan kerja
Menyediakan biaya-biaya dalam rangka program K3
5. Sebagai pengelola perusahaan, pihak manajemen hendaknya mengerti bahwa keberadaannya berpengaruh sangat signifikan terhadap kinerja Keselamatan dan Kesehatan Kerja, sehingga tidak selalu melakukan bisnis semata dalam usaha peningkatan produksi, kualitas dan kuantitas produk serta melakukan penjadwalan tepat waktu saja, tetapi juga sebagai motor penggerak terdepan dalam penerapan K3.
Pada prinsipnya, usaha-usaha program K3 dapat dilakukan dengan cara-cara konvensional seperti hal-hal berikut ini:
1. Melakukan pencegahan kecelakaan, misal pemakaian alat-alat pelindung, pemasangan rambu, pemasangan konstruksi pengaman.
2. Pengawasan pekerjaan dalam menerapkan program K3, dimana pelanggar terhadap kebijakan dan aturan yang telah disepakati harus diberi sanksi. 3. Penanggulangan terhadap kecelakaan kerja secara cepat, serta instalasi dan
fasilitas yang dibangun tidak bertambah rusak.
Dalam perkembangan selanjutnya, sistem manajemen K3 diperkenalkan dengan sebutan OHSAS 18001 (Occupational Health Safety Assessement Series) yang terintegrasi dengan ISO 9001:2008 untuk sistem manajemen mutu dengan ruang lingkup sebagai berikut:
1. Menciptakan sistem manajemen K3 utnuk mengurangi risiko karyawan atau pihak lain berkaitan dengan aktivitas perusahaan atau proyek.
2. Melaksanakan, memelihara, dan meningkatkan kesinambungan manajemen K3.
3. Memastikan pemenuhan syarat terhadap kebijakan K3 yang ditetapkan 4. Menunjukkan pemenuhan syarat yang terlaksana dari pihak lain sebagai
pembanding untuk memacu kesuksesan program K3 yang telah ditetapkan. 5. Memperoleh sertifikasi manajemen K3 dari organsisasi pemberi sertifikat. 6. Menentukan sendiri pemenuhan syarat yang telah dicapai atas spesifikasi
yang telah ditetapkan dalam OHSAS 18001.
7. OHSAS 18001 memiliki elemen-elemen dengan tujuan agar kebijakan mutunya dipahami, diterapkan dan dipelihara
2.3.6. Kriteria Pengukuran Kinerja
Wirawan (2009:66) menyebutkan terdapat beberapa kriteria yang biasa dipergunakan untuk mengukur kinerja. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kuantitas (seberapa banyak), merupakan ukuran yang paling mudah untuk disusun dan diukur, yaitu dengan menghitung seberapa banyak unit keluaran kinerja yang harus dicapai dalam kurun waktu tertentu. Contoh: 5000 Surat Perintah Membayar diterima setiap tahun anggaran (untuk petugas Front Office KPPN).
2. Kualitas (seberapa baik), yaitu seberapa baik atau seberapa lengkap hasil yang harus dicapai. Contoh : Surat Perintah Membayar yang diproses menjadi Surat Perintah Pencairan Dana mendekati 100 % dari
jumlah Surat Perintah Membayar yang diterima.
3. Ketepatan waktu pelaksanaan tugas, yaitu kriteria yang menentukan keterbatasan waktu untuk memproduksi sesuatu atau melayani sesuatu. Contoh : Surat Perintah Pencairan Dana dapat diterbitkan dalam waktu kurang dari 1 jam setelah Surat Perintah Membayar diterima dari satuan kerja.
4. Efektifitas penggunaan sumber daya organisasi, yaitu berkaitan dengan sumber daya tertentu (misalnya uang atau peralatan) yang digunakan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Contoh : penghematan listrik sebesar 10 % dibandingkan tahun sebelumnya.
5. Cara melakukan pekerjaan, yaitu berkaitan dengan sikap personal atau perilaku pegawai dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Contoh : bersikap sopan dan sabar dalam melayani pelanggan atau pengguna layanan.
6. Efek atas suatu upaya, yaitu berkaitan dengan hasil akhir yang diperoleh dari pelaksanaan suatu pekerjaan.
7. Metode pelaksanaan tugas, yaitu standar yang digunakan jika ada undang-undang, kebijakan prosedur, standar, metode, dan peraturan untuk menyelesaikan pekerjaan.
8. Standar sejarah, yaitu standar yang menyatakan hubungan antara standar masa lalu dengan standar sekarang.
9. Standar nol atau absolut, yaitu standar yang menyatakan tidak akan terjadi sesuatu. Contoh : tidak ada keluhan dari pengguna layanan
berkaitan dengan layanan yang diberikan.
2.3.7. Langkah-langkah Pengukuran Kinerja
Moeheriono (2012:96) menjelaskan mengenai beberapa tahap dalam pengukuran kinerja perusahaan, yaitu:
1. Mendesain. Proses mendesain meliputi beberapa aktivitas, antara lain seperti menentukan model apa yang dipilih termasuk kerangka kinerjanya sampai penentuan indikator kinerja utama. Indikator tersebut harus dalam bentuk metrik yang dapat diukur dan dapat merepresentasikan tujuan strategis dari organisasi.
2. Mengukur indikator-indikator yang telah ditentukan dalam tahap desain kemudian diterapkan untuk mengukur kinerja perusahaan menggunakan data-data aktual perusahaan.
3. Mengevaluasi tahap selanjutnya adalah mengevaluasi hasil pengukuran yang telah dilakukan.
4. Menindaklanjuti hasil yang diperoleh pada tahap evaluasi kemudian ditindaklanjuti dengan menentukan indikator-indikator mana saja yang menunjukkan kinerja yang sudah baik dan indikator-indikator mana saja yang masih menunjukkan kinerja yang buruk.
5. Mengevaluasi kembali tahap selanjutnya adalah mengevaluasi kembali apakah sistem pengukuran kinerja yang telah disusun dan diterapkan tersebut telah sesuai atau belum dengan kebutuhan perusahaan. Sistem tersebut juga dievaluasi kembali apakah sudah dapat mencerminkan
kinerja perusahaan yang sesungguhnya atau belum.
Mulyadi (2007:419) menjelaskan ada beberapa langkah yang perlu dilaksanakan dalam pengukuran kinerja, namun demikian sebelum melakukan serangkaian langkah-langkah tersebut perlu didahului dengan mendesain sistem penghargaan terlebih dahulu. Sistem penghargaan tersebut didesain melalui enam langkah berikut.
1. Menetapkan aspek kinerja yang hendak diberi penghargaan. 2. Menentukan bobot setiap aspek dan komponen kinerja.
3. Menentukan performance grade yang dipakai untuk menilai setiap aspek kinerja dan penghargaan yang diberikan untuk setiap performance grade. Performance grade merupakan standar nilai yang digunakan dalam proses penilaian kinerja.
4. Menetapkan bobot (weight) untuk setiap perspektif yang dicakup sasaran strategik dalam achievement base aspect. “Achievement base aspect adalah keberhasilan personel, tim, atau unit organisasi dalam mewujudkan sasaran strategik yang telah ditetapkan sebelumnya dengan perilaku yang diharapkan”.
5. Menetapkan bobot untuk setiap sasaran strategik dalam setiap perspektif dalam achievement base aspect.
6. Menetapkan tipe target yang akan dipakai sebagai basis pendistribusian penghargaan dalam achievement base aspect. Target setiap sasaran strategik ditetapkan untuk basis penetapan penghargaan atas keberhasilan personel dalam pencapaian target.
Setelah tahapan-tahapan dalam desain sistem penghargaan telah dilakukan, selanjutnya perusahaan dapat melakukan proses penilaian kinerja yang terdiri dari delapan tahap sebagai berikut.
1. Pengumpulan data pencapaian target setiap sasaran strategik di achievement aspect base.
2. Pengumpulan data hasil penilaian kinerja di core competence base, technical competence, dan core values. Core competence base merupakan keberhasilan personel dalam menguasai kompetensi inti yang dituntut oleh strategi pilihan organisasi. Technical competence base merupakan keberhasilan personel dalam menguasai kompetensi teknikal yang dituntut oleh strategi pilihan organisasi. Core value base adalah keberhasilan personel dalam memahami dan menghayati nilainilai yang disepakati untuk dijunjung oleh organisasi dalam menjalankan bisnis.
3. Penentuan bobot untuk setiap aspek dan komponen kinerja. 4. Penentuan nilai untuk setiap pencapaian kinerja.
5. Penentuan nilai untuk setiap komponen kinerja di aspek achievement base.
6. Penjumlahan angka nilai setiap aspek kinerja. 7. Penghitungan skor tertimbang (weighted score).
8. Penetapan performance grade berdasarkan hasil penghitungan skor tertimbang.
2.4. Peranan Pengendalian Internal terhadap Penilaian Kinerja Proyek Fungsi perencanaan bermaksud untuk meletakkan dasar sasaran proyek, yaitu jadwal, anggaran dan mutu. Langkah selanjutnya adalah mengorganisir dan memimpin sumber daya perusahaan untuk mencapai sasaran tersebut. Untuk itu diperlukan suatu usaha yang bertujuan agar pekerjaan-pekerjaan dapat berjalan mencapai sasaran tanpa banyak penyimpangan yang berarti. Usaha ini dikenal sebagai pengendalian yang merupakan salah satu dari fungsi manajemen proyek. Adapun proses pengendalian terdiri dari berbagai langkah kegiatan yang dilakukan secara sistematis. Dalam hubungan ini, R.J. Mockler dalam Iman Soeharto (1997:117) memberikan definisi sebagai berikut:
“Pengendalian adalah usaha yang sistematis utnuk menentukan standar yang sesuai dengan sasaran perencanaan, merancang sistem informasi, membandingkan pelaksanaan dengan standar menganalisis kemungkinan adanya penyimpangan antara pelaksanaan dan standar, kemudian mengambil tindakan pembetulan yang diperlukan agar sumber daya digunakan secara efektif dan efisien dalam rangka mencapai sasaran.”
Bertitik tolak dari definisi diatas, maka proses pengendalian internal terhadap kinerja proyek dapat diuraikan menjadi langkah-langkah berikut:
a. Menentukan sasaran
Sasaran pokok proyek adalah menghasilkan produk atau instalasi dengan batasan anggaran, jadwal dan mutu yang telah ditentukan. Sasaran ini dihasilkan dari satu perencanaan dasar dan menjadi salah satu faktor pertimbangan utama dalam mengambil keputusan untuk melakukan investasi atau membangun proyek, sehingga sasaran-sasaran tersebut merupakan tonggak tujuan dari kegiatan pengendalian.
b. Definisi Lingkup Kerja
Untuk memperjelas sasaran maka lingkup kerja didefinisikan lebih lanjut, yaitu menilai ukuran, batas dan jenis pekerjaan apa saja (paket kerja, SRK) yang harus dilakukan untuk menyelesaikan lingkup proyek keseluruhan. Misalnya proyek engineering konstruksi, pekerjaan-pekerjaan tersebut terdiri dari engineering, pengadaan, dan konstruksi yang masing-masing telah ditentukan anggaran, jadwal dan mutunya. c. Menentukan Standar dan Kriteria sebagai Patokan dalam rangka
mencapai sasaran
Dalam usaha mencapai sasaran secara efektif dan efisien, perlu disusun suatu standar, kriteria atau spesifikasi yang dipakai sebagai tolok ukur untuk membandingkan dan menganalisis hasil pekerjaan. Standar, kriteria dan patokan yang dipilih dan ditentukan harus bersifat kuantitatif, demikian pula metode pengukuran dan perhitungan nya harus dapat memberikan indikasi terhadap pencapaian sasaran. Terdapat bermacam-macam standar dan kriteria, diantaranya adalah:
Berupa satuan uang, seperti anggaran persatuan unit pekerjaan (SRK), anggaran pekerjaan per unit per jam, penyewaan alat per unit per jam, biaya angkutan per ton per km;
Berupa jadwal, misalnya waktu yang ditentukan untuk mencapai milestone;
Berupa standar mutu, kriteria dan spesifikasi, misalnya yang berhubungan dengan kualitas material, dan hasil uji coba peralatan. d. Merancang atau menyusun sistem informasi, pemantauan dan pelaporan
hasil pelaksanaan pekerjaan.
Satu hal yang perlu ditekankan dalam proses pengendalian proyek adalah perlunya suatu sistem informasi dan pengumpulan data yang mampu memberikan keterangan yang tepat, cepat dan akurat. Sistem ini diperlukan untuk kegiatan-kegiatan pada butir d dan mengolahnya menjadi suatu bentuk informasi yang dapat dipakai untuk tindakan pengambilan keputusan (langkah pada butir d dan e). Suatu perangkat sistem informasi manajemen proyek – SIMP (management information system), yaitu komputer yang dapat megumpulkan, menganalisis, menyimpan data, dan memproses nya menjadi informasi yang diperlukan yang akan sangat membantu proses pengendalian.
e. Mengkaji dan menganalisis hasil pekerjaan
Langkah ini berarti mengkaji segala sesuatu yang dihasilkan oleh kegiatan pada butir d. Disini diadakan analisis dan indikator yang diperoleh dan mencoba membandingkan dengan kriteria dan standar yang ditentukan. Hasil analisis ini penting karena akan digunakan sebagai landasan dan dasar tindakan pembetulan. Oleh karena itu metode yang digunakan harus tepat dan peka terhadap adanya kemungkianan penyimpangan.
f. Mengadakan tindakan pembetulan
Apabila hasil analisis menunjukan adanya indikasi penyimpangan yang cukup berarti, maka perlu diadakan langkah-langkah pembetulan. Tindakan pembetulan dapat berupa:
Relokasi sumber daya, misalnya, memindahkan peralatan, tenaga kerja, dan kegiatan pembangunan fasilitas pembantu untuk dipusatkan ke kegiatan kontruksi instalasi dalam rangka mengejar jadwal produksi;
Menambah tenaga kerja dan pengawasan serta biaya dari kontingensi;
Mengubah metode, cara dan prosedur kerja atau mengganti peralatan yang digunakan.
Hasil analisis dan pembetulan akan berguna umpan balik perencanaan pekerjaan selanjutnya dalam rangka mengusahakan tetap tercapainya sasaran semula.
2.4.1. Area (Objek) dan Aspek Pengendalian
Dengan mengetahui fungsi, proses, serta metode pengendalian proyek, maka langkah berikut nya adalah mengidentifikasi jenis kegiatan (area/objek) dan aspek kegiatan yang perlu dikendalikan. Untuk maksud ini kembali kepada fungsi pengendalian, hubungan fungsi tersebut dengan perencanaan yang telah disinggung adalah pengendalian bertujuan memantau dan membimbing pelaksanaan pekerjaan agar sesuai dengan perencanaan. Ini
berarti macam kegiatan dan aspek yang dikendalikan identik dengan yang direncanakan (Iman Soeharto, 1997:120). Garis besar area/objek pengendalian proyek adalah sebagai berikut:
a. Organisasi dan Personil
Memantau apakah organisasi pelaksana proyek dibentuk seesuai rencana, apakah pengisian personil telah memenuhi kualifikasi, dan apakah jumlahnya telah mencukupi.
b. Waktu atau Jadwal
Dalam aspek ini objek pengendalian amat ekstensif dan berlangsung sepanjang siklus proyek. Untuk proyek E-MK objek utama adalah kegiatan engineering, pengadaan, pabrikasi dan konstruksi.
c. Anggaran Biaya dan Jam-Orang
Seperti hal nya dengan aspek waktu (jadwal) maka pengendalian anggaran dan pemakaian jam-orang berlangsung sepanjang siklus proyek, dengan potensi paling mungkin keberhasilan yang besar berada di awal proyek sewaktu merumuskan definisi lingkup kerja. d. Pengedalian Pengadaan
Penekanan pengendalian pengadaan disamping aspek biaya, jadwal dan mutu juga termasuk masalah-masalah prosedur dan peraturan yang diberlakukan. Misalnya Kep-pres No.16 tahun 1994 untuk proyek-proyek yang dibiayai APBN.
Pengendalian lingkup kerja erat hubungannya dengan aspek biaya. Ini penting dilakukan pada tahap engineering, karena disini banyak sekali alternatif yang bisa dipilih.
f. Pengendalian Mutu
Mencakup masalah yang cukup luas, dengan tujuan pokok produk proyek harus dalam keadaan fitness for use (sesuai untuk digunakan) mulai dari menyusun program QA/QC sampai kepada inpeksi dan uji coba operasi.
g. Pengendalian Kinerja
Memantau serta mengendalikan aspek biaya dan jadwal secara terpisah tidak memberikan penjelasan perlihal kinerja pada saat pelaporan. Misalnya walaupun suatu pekerjaan berlangsung lebih cepat dari jadwal, belum tentu hal ini merupakan tanda yang menggembirakan, sebab ada kemungkinan biaya yang dikeluarkan per unitnya melebihi anggaran. Ini berarti pemakaian biaya tidak efisien dan dapat berakibat proyek secara keseluruhan tidak dapat diselesaikan karena kekurangan dana. Untuk mengkaji kemungkinan terjadinya hal-hal demikian diperlukan pemantauan dan pengendalian kinerja.
2.4.2. Pengendalian Internal dan Eksternal Pada Perusahaan Kontruksi Pengendalian dapat pula digolongkan menjadi internal dan eksternal, keduanya bertujuan sama, yaitu untuk mengendalikan kegiatan
proyek. Sedangkan perbedaannya terletak pada pelaku atau yang mengadakan. Pengendalian internal dilakukan oleh organisasi yang bersangkutan dan dilaporkan kepada pucuk pimpinannya. Pengendalian eksternal dilakukan oleh badan atau organisasi diluar perusahaan. Keduanya dilakukan pada waktu yang bersamaan. Contoh untuk ini adalah perusahaan Engineering -Konstruksi yang sedang mengerjakan proyek tertentu. Pengendalian internal dilakukan oleh institusi didalam perusahaan tersebut dan eksternal oleh auditor/akuntan publik yang diminta oleh pimpinan perusahaan Engineering-Konstruksi diatas. (Iman Soeharto, 1997:120)
2.4.3. Pengendalian Proyek yang Efektif .
Suatu pengendalian proyek yang efektif ditandai oleh hal-hal berikut (Iman Soeharto, 1997:122):
a. Tepat waktu dan peka terhadap penyimpangan. Metode atau cara yang digunakan harus cukup peka sehingga dapat mengetahui adanya penyimpangan selagi masih awal. Dengan demikian dapat diadakan koreksi pada waktunya sebelum persoalan berkembang menjadi besar sehingga sulit unttuk diadakan perbaikan.
b. Bentuk tindakan yang diadakan tepat dan benar. Untuk dimaksud ini diperlukan kemampuan dan kecakapan menganalisis indikator secara akurat dan objektif.
c. Terpusat pada masalah atau titik yang sifatnya strategis, dilihat dari segi penyelenggaraan proyek. Dalam hal ini diperlukan kecakapan
memilih titik atau masalah yang strategis agar penggunaan waktu dan tenaga dapat efisien.
d. Mampu mengetengahkan dan mengkomunikasikan masalah dan penemuan, sehingga dapat menarik perhatian pimpinan maupun pelaksana proyek yang bersangkutan, agar tindakan koreksi yang diperlukan segera dapat dilaksanakan.
e. Kegiatan pengendalian tidak lebih dari yang diperlukan. Biaya yang dipakai untuk kegiatan pengendalian tidak boleh melampaui faedah atau hasil dari kegiatan tersebut. Diakui bahwa banyak hal yang sulit untuk mengukur hasil pengendaliannya secara kuantitatif, tetapi yang ingin ditekankan disini adalah bahwa dalam merencanakan suatu pengendalian perlu dikaji dan dibandingkan dengan hasil yang akan diperoleh.
f. Dapat memberikan petunjuk berupa prakiraan hasil pekerjaan yang akan datang, bilamana pada saat pengecekan tidak mengalami perubahan. Petunjuk ini sangat diperlukan bagi pengelola proyek untuk menetukan langkah penyelenggaraan berikutnya.
Selanjutnya pengawasan dan pengendalian akan lengkap bila dapat memberikan usulan tindakan-tindakan pembetulan yang diperlukan dengan melibatkan biaya dan tenaga yang minimal
2.4.4. Pengendalian yang Tidak Efektif
Acap kali dijumpai suatu pengendalian proyek tidak membuahkan hasil yang diharapkan (Iman Soeharto, 1997:122). Secara umum penyebabnya adalah hal-hal berikut:
a. Karakteristik Proyek
Sudah berulang kali disinggung bahwa proyek umumnya kompleks, melibatnya banyak organisasi peserta dan lokasi kegiatan sering terpencar-pencar letaknya. Hal ini mengakibatkan:
Tidaklah mudah mengikuti kinerja masing-masing kegiatan dan meyimpulkan menjadi laporan yang terkonsolidasi; Masalah komunikasi dan koordinasi makin bertambah
dengan besarnya jumlah peserta dan terpencarnya lokasi. b. Kualitas Informasi
Laporan yang tidak tepat pada waktunya dan tidak pandai memilih materi akan banyak mengurangi faedah suatu informasi, ditambah lagi dengan bila didasarkan atas informasi atau sumber yang kurang kompeten.
c. Kebiasaan
Di organisasi pemilik, pengelola proyek sebagian besar berasal dari bidang-bidang fungsional (teknik, operasi, pengadaan dan lain-lain) dengan pekerjaan yang sifatnya rutin stabil. Mereka yang sudah “mapan” dengan sikap dan kebiasaan yang selama ini dialami umumnya akan sulit menyesuaikan diri dalam waktu yang
relatif singkat dan cenderung “resistant” terhadap perubahan yang semestinya diperlukan untuk mengelola proyek.
Pimpro hendaknya sejak awal telah menyiapkan diri dan mencari pemecahan yang spesifik dalam menghadapi masalah-masalah diatas, sehingga proses pengendalian dapat berjalan dengan lancar.
2.5. Kerangka Pemikiran
Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran
Pada dasarnya, kegiatan proyek yang berjalan dengan baik adalah tujuan utama bagi setiap perusahaan kontraktor, akan tetapi dalam setiap pelaksanaan proyek seringkali terdapat banyak masalah dan kendala, sehingga pelaksanaan proyek menjadi tidak sesuai dengan perencanaan, yang berakibat kepada keberlangsungan perusahaan kontraktor itu sendiri. Kegiatan proyek yang baik dapat dilihat dengan efektivitas kinerja proyek itu sendiri. Menurut Agil (2016:7):
“Kinerja Proyek merupakan bagaimana cara kerja proyek tersebut dengan membandingkan hasil kerja nyata dengan perkiraan cara kerja pada kontrak kerja yang disepakati oleh pihak owner dan kontraktor pelaksana.” Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kinerja proyek yang baik adalah ketika hasil kerja nyata sesuai dengan cara kerja pada kontrak kerja yang telah di sepakati oleh pihak owner dan kontraktor pelaksana. Menurut
Efektivitas Pengendalian Internal Indikator:
1. Lingkungan Pengendalian 2. Penilaian Risiko
3. Aktivitas Pengendalian 4. Informasi dan Komunikasi 5. Pemantauan.
Penilaian Kinerja Proyek Indikator:
1. Manajemen Biaya 2. Manajemen Mutu 3. Manajemen Waktu 4. Manajemen K3
Ir.Abrar Husen, MT, kinerja proyek yang dapat diukur dari indikator kinerja biaya, mutu, waktu serta keselamatan kerja dengan merencanakan secara cermat, teliti, dan terpadu seluruh alokasi sumber daya manusia, peralatan, material serta biaya yang sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.
Bagi perusahaan kontraktor, untuk mendapatkan hasil kinerja proyek yang efektif dibutuhkan pula pengendalian internal perusahaan yang efektif. Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2007:39) pengendalian internal didefinisikan sebagai berikut :
“Sistem yang meliputi organisasi semua metode dan ketentuan yang terorganisasi yang dianut dalam suatu perusahaan untuk melindungi harta miliknya, mencek kecermatan dan keandalan data akuntansi serta meningkatkan efisiensi usaha.”
Berdasarkan pengertian tersebut disimpulkan bahwa pengendalian internal yang efektif dapat melindungi harta perusahaan dan meningkatkan efisiensi usaha, dimana dalam perusahaan kontraktor efisiensi usaha nya dapat dinilai dari laba yang di dapatkan dari setiap proyek yang dikerjakan dengan efektif.