• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABSTRAK. EFFECT OF SAFETY TRAINING TO PRECEPTOR COMPETENCY IN Dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ABSTRAK. EFFECT OF SAFETY TRAINING TO PRECEPTOR COMPETENCY IN Dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PELATIHAN TENTANG SAFETY TERHADAP KOMPETENSI

PRECEPTOR DI RSUP SOERADJI KLATEN

Yeni Rusyani

Program studi ilmu keperawatan STIKES Duta Gama Klaten, Jl.Jogja-Solo KM 5 Ngaran Mlese Cepet Klaten, Jawa Tengah 57465

Yeni73171@gmail.com

ABSTRAK

Preseptor berpera mengajarkan Praktikan ners sehingga berharap dapat memiliki kompetensi yang sesuai dengan standar terupdate contohnya standar KARS 2012. Agar dapat meningkatkan kompetensi preseptor, salah satu dari upayanya adalah melalui cara mengadakan pelatihan. QSEN adalah framework yag memiliki kesmiripan dengan akreditasi RS yaitu KARS 2012. Tujuan penelitian ini adalah menganalisa adanya pengaruh pelatihan tentang safety terhadp kompetensy Preseptor. Jenis penelitian yang dilakukan adalah Pre-Experiment Design dan pendekatan The One Group Pratest Posttest. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan Tehnik total sampling dengan 29 Preseptor di RSUP Soeradji Klaten. Dalam Penelitian dibandingkan antara kompetensi kognitif para Preseptor sebelum dan setelah pelatihan. Kuesioner QSEN merupakan instrumen yagn digunakan di penelitian ini dan memiliki nilai r hitng 0.881. pada analisis data menggunakan uji Wilcoxon dan didapatkan nilai signifikasi ρ<0.05. pada hasil penelitian didapatkan data bahwa ada peningakatan pada kompetensi preseptor dari nilai pre-test dan post-pre-test yaitu rata-rata 44,12 menjadi 49,80. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh dari pelatihan safety terhadap kompetensi preseptor.

EFFECT OF SAFETY TRAINING TO PRECEPTOR COMPETENCY IN Dr.

SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN

Yeni Rusyani (Stikes Duta Gama Klaten)

Yeni73171@gmail.com

ABSTRACT

The role of the Preseptor is to teach nursing students so that they are expected to have competence in accordance with applicable standards such as the KARS 2012 standard. In order for the Preseptor 's competence to increase, one of the efforts is through holding safety training. QSEN is a framework that has similarities with the hospital accreditation, namely KARS 2012. The purpose of this study is to analyze the effect of safety training on Preseptor competence. The types of research carried out are Pre-Experiment Design and The One Group Pratest Posttest approach. In this study the researchers used a total sampling technique with 29 Preseptor s at Soeradji Klaten Hospital. In the study, the cognitive competencies of the Preseptor s before and after training were compared. The QSEN questionnaire is an instrument used in this study and has a r count of 0.881. In data analysis using the Wilcoxon test and the significance value was obtained ρ <0.05. In the results of the study, data shows that there is an increase in the competence of safety Preseptor s from the pre-test and post-test scores, namely an average of 44.12 to 49.80. So it can be concluded that there is an effect of safety training on the competency of the receptor.

(2)

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki berbagai profesi kesehatan yang mempunyai pelayanan standar diantaranya adalah perawat. Seiring berkembangnya zaman, perawat dituntut agar mampu menyusun pendekatan edukasi dengan harapan agar dimasa mendatang perawat memiliki kemampuan yang dibutuhkan dalam pelayanan keperawatan yang kompeten kepada masyarakat (Vaismoradi, 2012).

Bersumber informasi dari Centre for Internasional Trade Thailand (2012), kualitas tenaga profesi kesehatan Indonesia berada pada standar menengah dan dihadapkan dengan Filipina dan Vietnam. Rendahnya persaingan tenaga kesehatan ini dapat dibuktikan dari sekian banyaknya perawat asal Indonesia yang terpaksa dipulangkan dari Jepang. Beberapa dari mereka terpaksa harus pulang ke tanah air sebab tidak mampu memenuhi standar kompetensi yang ditentukan dari lembaga penyedia jasa yang ada di Jepang.

Terbukti bahwa perawat di Indonesia harus meningkatkan kompetensi mereka. Bila keadaan semacam ini tidak memperoleh atensi dari dunia clinical teaching serta keperawatan spesialnya, hingga mungkin perawat indonesia hendak tertinggal serta tidak sanggup bersaing dengan negeri lain. Perihal ini hendak berakibat kurang baik untuk kemajuan negeri Indonesia ( Wangke, 2014).

Clinical teaching (Preceptorship) adalah bagian integrasi dari nursing education. Clinical teaching hendaknya mempengaruhi kompetensi praktikan perawat, pasti saja perihal ini nantinya juga berpengaruh terhadap asuhan keperawatan pada klien apabila mereka kelak menjadi perawat rumah sakit tempatnya bekerja. Preceptorship efisien dapat membangun rasa konfiden praktikan dalam mencapai kompetensi klinik yang diharapkan. Praktikan mencoba mempraktikan teori dalam kehidupan sehari-hari di rumah sakit sesuai arahan preceptor dalam preceptorship ( Dolansky, 2013).

Helen at,al (2011), mengemukakan praktikan hendaknya agar mampu belajar lebih optimal karena pada kenyataannya ditemukan banyak perbedaan antara apa yang tertuang di teori dan kondisi riil dilapangan. Sebagai seorang preceptor sepatutnya mempunyai keahlian menjajaki perubahan yang terjadi pada dunia pengetahuan serta skill klinis terkini, menganalisa teori dari bermacam sumber, menekankan uraian konseptual kepada mahasiswa serta menolong mahasiswa dalam menghubungkan antara teori yang melandasi aplikasi keperawatan (Rika, 2009).

Salah satu akibat minimnya kompetensi ners ataupun preceptor merupakan kesalahan askep menyangkut

patient safety. Diperkirakan 80% kesalahan asuhan keperawatan meliputi kesalahan pemberian obat- obatan, tindakan aseptik yang dilakukan tidak berdasarkan standar prosedur operasional (SPO), serta kesalahan dalam penegakan diagnosa keperawatan yang diakibatkan oleh miskomunikasi dibeberapa tingkatan yang berbeda (Meg&Gwen, 2014). Adapun akibat lain dari kurangnya kompetensi yang dimiliki preseptor dalam membimbing preseptee yaitu ketika preseptee sudah menjadi ners dan bekerja di rumah sakit, ners tidak menguasai bahkan tidak mampu mengaplikasikan tentang pasient safety bahkan tidak optimal dalam menjalankan perannya sebagai ners dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien di rumah sakit (Smedley, 2010).

Didalam Akreditasi Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) versi 2012 tertuang kelompok standar patient centered care,

patient safety, bekerja sama dalam menganalisa juga mengintegrasikan asesmen klien ( Dyana, 2014). Sedangkan dalam QSEN, yang merupakan framework dengan comprehensive approach dalam

patient safety dengan mengenali 6 kompetensi keperawatan dan bagaimana menjadi seseorang ners yang kompeten serta dihormati. QSEN mempunyai

(3)

kesamaan dengan standar akreditasi KARS 2012 ialah berfokus pada pasien yang tertuang pada 6 kompetensi ialah Patient centered care, Team work and collaboration, Evidence based practice, Quality improvement, Safety, Informatics.

Bersumber pada riset yang dilakukan oleh Meg dan Gwen (2014), ternyata pengembangan pola pikir dan perubahan sikap seorang ners dapat dicapai dengan framwork QSEN. Selain itu Elaine dan Lisa (2015) dalam risetnya mengungkapkan QSEN mampu secara efisien metingkatkan kompetensi praktikan baik yang menjalani praktik di RS ataupun di laboratorium institusi. Tidak hanya itu hasil dari riset Ruth and Julie (2014) menyimpulkan QSEN dapat metingkatkan knowledge, skill dan atittude

ners di RS.

Bersumber pada hasil wawancara kepada 10 praktikan, didapatkan informasi bahwa praktikan terkadang merasa kebimbangan mengenai perbedaan antara teori yang didapat pada masa akademik serta penerapan praktek di lahan praktik. Ada hambatan lain yang ditemukan antara lain masih ditemukannya preceptor yang belum optimal dalam melakukan preseptorship pada preseptee sehingga capaian kompetensi preseptee belum tercapai.

Berdasarkan bersumber data dari hasil wawancara dengan bidang keperawatan, bidang pembelajaran serta riset rumah sakit, bahwa RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten telah terakreditasi KARS 2012 dengan hasil paripurna. Hal tersebut menjadi salah satu dasar masih banyaknya praktikan dari institusi pendidikan yang memilih untuk praktik di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Dengan demikian, diharapkan preceptor dapat mengaplikasikan dan mentransfer ilmunya kepada praktikan menngenai konsep yang terdapat dalam standar akreditasi KARS 2012 dengan QSENapproach.

Tujuan dari riset ini guna untuk menganalisis pengaruh pelatihan patient Safety terhadap kompetensi preceptor.

METODE

Riset ini menggunakan Jenis penelitian kuantitatif dengan Pre-Experiment Design dan The One Grup Pretest Postest approach. Riset ini dilaksanakan di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Adapun kegiatan yang dilakukan yaitu penyampaian teori oleh ekspert kemudian menganalisis kasus yang sudah disediakan pada modul dalam pelatihan. Satu hari sebelumnya peneliti melakukan pretest pada responden kemudian posttes dilakukan pada keesokan harinya pasca mengikuti pelatihan yang dilakukan peneliti. Pada riset ini yang dilakukan adalah melihat hasil yang diperoleh pada pre-test dan posttest. Dengan kata lain melihat hasil kompetensi preceptor saat sebelum dan setelah mengikuti pelatihan.

Modul pelatihan yang digunakan dalam riset ini, sebelumnya telah dilakukan validasi content validity oleh 3 ahli dibidangnya. Adapun rumus yang digunakan Aiken’S V yaitu formula yang digunakan peneliti untuk menghitung hasil

content-validity coefficient. Nilai yang didapatkan yaitu 0,92, sehingga bisa dinyatakan mempunyai validitas isinya memadai.

Dalam Pengambilan data riset ini peneliti menggunakan kuesioner dari Janedan Gwen (2012) sebanyak 46 soal dan menggunakan skala likert. Didapatkan hasil uji validitas yaitu nilai r hitung yaitu 0.881 maka nilai r hitung ≥ r table sehingga dinyatakan valid. Hasil uji realibilitas

Cronbach alpha didapatkan nilai 0.978 sehingga dinyatakan reliable.

Dalam riset ini, Kuesioner diberikan pada 29 orang responden lalu data dilakukan uji normalitas serta homogenitas. Hasil yang didapatkan adalah 4 orang responden dinyatakan drop out karena tidak mengikuti pelatihan sampai dengan selesai dengan alasan ada hal mendadak yang tidak bisa ditinggalkan. Sehingga responden riset tersisa 25 orang responden. Hasil uji didapatkan data kompetensi preseptor dinyatakan tidak normal sehingga

(4)

dilanjutkan melakukan uji bivariate yaitu dengan uji statistic wilcoxon.

HASIL

Karakteristik Responden

Berikut adalah data karakteristik responden:

Tabel 1. Distribusi Berdasarkan Karakteristik Responden (n=25)

Sumber: Data Primer Tahun 2017 Berdasarkan tabel diatas Usia Responden mayoritas 41-45 tahun, sedangkan berdsarkan Jenis Kelamin mayoritas adalah wanita. Berdasarkn status perkawinan semua responden sudah menikah, dan mayoritas meliliki tingkat pendidikan adalah S.Kep., Ns. Sementara

untuk pengalaman kerja responden mayoritas memiliki pengalaman bekerja di rumah sakit selama 16-20 tahun, sedangkan pengalaman menjadi preceptor

mayoritas memiliki pengalaman selama rentang 1-5 tahun. Untuk kepemilikan sertifikat pelatihan dan STR, responden semuanya memiliki sertifikat pelatihan preceptorship dan STR.

Adapun Kompetensi Preceptor

didapatkan data sebagai berikut :

Tabel 2. Perbedaan Nilai Pre-test-Pos-test Sebelum dan Sesudah

Mendapat Intervensi Data Variabel Mean SD P kompetensi

Pre-test 44,12 5,578 0.000

Post-test 49,80 4,435 Sumber: Data Primer 2017

Didapatkan data adanya perbedaan yang bermakna antara nilai Pre-test-Pos-test kompetensi Preceptor sebelum dengan sesudah intervensi. Sebelum intervensi, nilai rata-rata pre-test sebesar 44.12 + 5.578 sedangkan hasil post-test setelah dilakukan intervensi meningkat menjadi 49.80 + 4.435.

PEMBAHASAN

Rekapitulasi dataa kelompok usia responden pada riset ini mayoritas berusia 41-45 tahun. Menurut Sulistyawati (2007), usia dan pendidikan berpengaruh terhadap keterampilan seseorang baik motorik kasarnya maupun motorik halusnya. Pada rentang usia matang cenderung pada seseorang bisa memilih apa yang semestinya dilakukan juga bermanfaat tentunya bagi orang lain. Usia matang juga dapat berpengaruh pada emosi dan interaksi seseorang, pada usia dewasa seseorang bisa dengan mudah dalam mengendalikan emosinya dan mampu berinteraksi sosial dengan berbagai kalangan baik antar personal, mitra maupun interprofesional.

Berdasarkan Jenis kelamin responden mayoritas adalah wanita. Menurut Lisa dan Elaine (2015), pada risetnya mengemukakan bahwa wanita

Variabel Frek % Umur (Thn) 35-40 6 24 41-45 13 52 46-50 5 20 51-55 1 4 Jenis Kelamin Pria 12 48 Wanita 13 52 Status Perkawinan Menikah 25 100 Belum/tidak 0 TK Pendidikan D3 4 16 D4 4 16 S.kep.Ns 16 64 S2 1 4 Pengalaman Kerja (Thn) 10-15 2 8 16-20 11 44 21-25 9 36 26-30 3 12 Pengalaman jadi Preseptor (Thn) 0 8 32 1-5 12 48 6-10 4 16 20 1 4 Pelatihan Preseptorship (memiliki sertifikat) Punya 25 100 Tidak 0 0 STR Punya 25 100 Tidak 0 0 Total responden 25 100

(5)

lebih matang daripada laki-laki terutama mengenai kognitifnya. Wanita bahkan memiliki daya ingat, dalam olah bahasa dan juga wanita bisa lebih halus dari laki-laki dalam hal psikomotor. Dalam hal interaksi diantara pria dan wanita memiliki karakteristik berbeda, cara berkomunikasi dan pertahtiannya. Wanita lebih gampang dan juga pandai beradaptasi saat interaksi dengan orang baru ataupun dengan yang telah dikenalnya. Sebagai contoh dan bisa dijadikan sebagai salah satu bukti adalah ketika dalam suatu golongan atau kelompok, wanita lebih banyak yang mewakili kelompoknya untuk presentasi.

Berdasarkan tingkat pendidikan responden riset mayoritas adalah S.Kep.,Ns. Menurut Elysabeth (2015) dalam risetnya mengatakan bahwa terdapat hubungan signifikan antara tingkat pendidikan dengan kompetensi ners. Banyaknya pengalaman yang peroleh oleh seseorang, dipengaruhi oleh semakin tinggi atau rendahnya tingkat pendidikannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan atau kompetensi seseorang tersebut smakin meningkat.

Banyak ilmu yang didapat sepanjang waktu menempuh pembelajaran teori antara lain bertambahnya pengetahuan, skill dan juga perubahan perilaku. Seminar, workshop dan pelatihan merupakan salah satu upaya pendidikan non formal untuk meningkatkan kompetensi seseorang. Hal tersebut bertentangan dengan hasil riset yang dilakukan oleh Elysabeth (2015), yang mengemukakan bahwasanya keseluruhan respondennya berpendidikan dan kompetensi keseluruhan responden risetnya mengalami peningkatan.

Namun dalam riset yang dilakukan peneliti didapatkan data bahwa responden yang memiliki tingkat pendidikan tertinggi tidak juga memiliki skor yang tertinggi, kemudian responden riset yang memiliki berpendidikan terendah tidak juga memiliki skor yang paling rendah. Beberapa hal bisa saja menjadi faktor pengaruh hal tersebut, sebagai contoh kurang konsentrasinya

responden riset dalam mengisi kuesioner, bisa juga karena tidak mengisi dengan jujur, atau bahkan lingkungan yang kurang kondusif, atau masih bnayak lagi kemungkinan faktor pengaruh lain.

Pusdiknakes RI (2004) menyatakan bahwa mempunyai background education

yang linier merupakan salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang preseptor. Faktanya pada riset yang dilakukan peneliti data menunjukan bahwa ada preseptor dengan tingkat pendidikan D4 yaitu sebagai bidan pendidik tetapi membimbing praktikan ners di stase keperawatan maternitas. Padahal sudah jelas berbeda sekali antara kompetensi ners dengan bidan. Namun hal ini terjadi karena adanya kebijakan dari instansi RS yang menetapkan yang seseorang menjadi preseptor dengan kriteria-kriteria dari rumah sakit salah satunya keterbatasan SDM yang memenuhi standar kriteria preseptor berdasarkan acuan AIPNI.

Pengembangan bangunan untuk menambah ruangan rawat inap juga berpengaruh terhadap pemenuhan kecukupan preseptor di rumah sakit, dikarenakan beberapa preseptor diroling ke gedung yang baru yang tidak terdapat praktikan didalamnya seperti ruang VIP atau VVIP. Dengan demikian kecukupan preseptor terbatas dan mempengaruhi keefektifan bimbingan pada preseptee.

Berdasarkan pengalaman lama bekerja responden mayoritas memiliki pengalaman sebagai ners selama 22 tahun. Menurut Sari (2015) seorang ners dapat dikatakan kompeten apabila telah memiliki pengalaman bekerja sebagai ners selama 2 sampai 3 tahun dibidang pelayanan keperawatan di rumah sakit. Modal utama seseorang dalam upaya peningkatan kemampuan dapat diperoleh dari pengalamannya bekerja, karena dari pengalaman mereka dapat belajar untuk memperbaiki diri dari kesalahan yang pernah dilakukan, juga dapat meningkatkan pengetahuannya, melatih keterampilan serta mampu merubah perilaku atau sikap sesuai dengan standarnya. Maka dengan

(6)

pengalamannya bekerja meraka akan belajar memperbaiki diri dan meningkatkan kompetensi mereka masing-masing.

Salah satu upaya untuk meningkatkan pengetahuan seseorang adalah salah satunya dengan mengikuti pelatihan. Dalam riset ini pelatihan dilakukan dengan cara memberikan materi oleh ahli dilanjutkan dengan sesi diskusi kelompok menggunakan modul dan diakhiri evaluasi oleh pemateri, sehingga membuat materi pelatihan mudah dimengerti dan dipahami oleh peserta pelatihan dalam kali ini adalah preseptor. Dengan demikian, pelatihan mampu meningkatkan pengetahuan preseptor sehingga dengan kata lain bahwa pelatihan berpengaruh terhadap kompetensi preseptor.

Berdasarkan pengalaman responden menjadi preceptor mayoritas responden memiliki pengalaman selama 5 tahun. Sesuai dengan yang tertuang dalam AIPNI (2010), bahwa untuk menjadi seorang preseptor salah satu syaratnya adalah memiliki pengalaman menjadi preseptor minimal 2 tahun secara berturut-turut ditempatnya bekerja. Dalam membimbing preseptee tentu saja akan berbeda antara preseptor yang sudah berpengalaman dengan seseorang yang ditunjuk sebagai preseptor akan tetapi belum memiliki pengalaman membimbing sebelumnya. Pengalaman menjadi preceptor juga akan berpengaruh pada hasil yang diterima oleh preseptee, dan akan berdampak dalam kebiasaan mereka sampai dengan ketika nanti mereka sudah dinyatakan sebagai ners di rumah sakit.

Pada riset kali ini ada 8 orang preseptor yang belum memiliki pengalaman menjadi preseptor tapi memiliki SK preseptor. Hal ini terjadi bisa saja karena sebagai upaya pemenuhn kebutuhan preseptor. Dengan adanya penambahan bangunan ruangan perawatan yang baru, mengharuskan beberapa preseptor dipindahkan ketempat yang baru mengakibatkan kurangnya jumlah preseptor yang membimbing preseptee sehingga munculnya beberapa preseptoe yang belum

memenuhi standar pengalaman menjadi preseptor.

Pada riset ini keseeluruhan responden memiliki STR. Menurut AIPNI (2010), seseorang yang menjadi preseptor harus memenuhi kriteria salah satunya memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi dari preseptee dan tercatat juga dengan memiliki STR, memiliki lisensi SIP/SIK yang mempunyai pengalaman di klinik minimal 5 tahun. Seorang preseptor mempunyai kebutuhan yang wajib dipenuhi yaitu kepemilikan STR, dengan STR preseptor bisa membuktikan bahwa mereka memiliki legalitas formal dan bisa dikatakan sebagai ners yang telah memenuhi kriteria sebagai ners kompeten. Dengan harapan ketika mereka dinyatakan sebagai preseptor akan mampu mengaplikasikan dan mencontohkan kepada preseptee mengenai asuhan keperawatan sesuai standar yang berlaku.

Dalam riset ini didapatkan data bahwa terdapat perbedaan yang bermakna diantara nilai Pre-test-Pos-test kompetensi

Preceptor. Menurut Pasal 32UUNo.44/2009 bahwa klien berhak mendapatkan layanan

patient safety selama masa perawatan dirumah sakit. Pastinya setiap RS mempunyai program PPI (Pencegahan dann Pengendalian Infeksi) dalam penerapan patient safety. Seorang ners diharapkan dapat mengaplikasikan tindakan

patient safety karena hal ini sangat penting untuk perlindungan dirinya sendiri, klien dan orang lain disekitarnya.

Selaras dengan yang tertuang pada standar akreditasi RS KARS 2012 bahwa program untuk pencegahan dan pengendalian infeksi mempunyai pengawasan memadai sesuai dengan ukuran RS, tingkat risiko, kompleksitas kegiatan juga ruang lingkup pada program. Satu atau lebih personal, bertugas full atau

part time, memberikan pengontrolan sebagai bagian dari wujud tanggung jawab atau tupoksi yang sudah ditetapkan. Kualifikasi karyawan tergantung dari kegiat an yang dikerjakan dan bisa diperoleh

(7)

melalui pendidikan yang formal, training, pengalaman, sertifikasi atau lisensi.

Riset ini salah satu usaya yang dilakukan oleh preceptor dalam menjalankan tugasnya mengurangi tingkat risiko dalam mewujudkan safety di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Melalui pelatihan ini, preceptor dapat bertambah ilmu sehingga dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari dirumah sakit. Secara tidak langsung preceptor dapat memberi contoh kepada ners lain dan juga preseptee yang ada diruangan tempat mereka bekerja. Ketika preceptor mampu mengaplikasikan ilmu tentang safety dalam kehidupan sehari-hari ditempatnya bekerja, maka secara tidak langsung preseptee akan mencontoh perilaku yang dilakukan oleh mereka. Selama pembelajaran klinik preseptee tidak hanya menerima apa yang diajarkan oleh preceptor saja akan tetapi mampu mencontoh apa yang dilakukan oleh

preceptor kepada klien dan interprofesional lainnya.

KESIMPULAN

Terdapat pengaruh pelatihan tentang Safety terhadap kompetensi

preceptor di RSUP Soeradji Klaten.

SARAN

Peneliti pada kali ini dapat memberikan saran pada peneliti selanjutnya serta penyelenggara pelatihan agar mampu :

1. Menyiapkan dan menggunakan beberapa modul sebagai penguat dan acuan dalam melakukan penelitian khususnya pelatihan.

2. Penelitian dapat dilakukan lebih dari satu hari agar dapat lebih optimal dalam menganalisis kompetensi kognitif, psikomotor dan afektif preseptor

3. Dapat menggunakan instrument penelitian lainnya selain kuesioner QSEN sebagai penguat penilaian keterampilan dan sikap.

REFERENSI

Creswell, J. W. (2013). Research design: Qualitative, quantitative, and mixed methods approaches. Sage Publications.

Dikti, D. (2011). Kerangka kualifikasi nasional indonesia: indonesian qualification framwork. Jakarta. Dkk, S. (2008). Dasar-dasar metodologi

penelitian klinis. Edisi ke-3. Jakarta: Sagung Seto.

Dolansky. (2013). Quality and safety education for nurses (qsen)_ the key is systems thinking. The Online Jurnal of Issues in Nursing, 18. Dyana. (2014). Penilaian Akreditasi Rumah

Sakit oleh KARS Versi Standar 2012. JCA.

Efendi, N. &. (2008). Pendidikan dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Elizabeth. (2014). Quality and Safety Education for Nurses: A Nursing Leadership Skill Exercise. Journal of Nursing Education , 53.

Gwen, J. (2012). Quality and Safety in Nursing : A Competency Aprroach to Improving Outcomes. India: Wiley Blackwell.

Helen, P. a. (2011). Experiences

of supernumerary status and the hidden curriculum in nursing: a new twist in the theory–practice gap.

Journal of Clinical Nursing, 847–

855.

Julie, R. a. (2013). Using Principls of Quality and Safety Education for Nurses in School Nurse Continuing Education. The Journal of School Nursing, 97-102 .

Lisa, E. a. (2015). High Fidelity Simulator Experience for enchancing communication Effectiveness: Applications to quality and Safety

(8)

Education for Nurses. Journal of Nursing Education and Practice, 53.

Meg, G. (2014). A New Mindset of Quality Safety : The QSEN Competencies Redefine Nurses' Roes in Practice.

Nephrology Nursing Journal, 41. PPNI. (2016). Standar kompetensi perawat.

Standar kompetensi . RI, K. K. (2012). Peraturan menteri

kesehatan nomer

169/MENKES/PER/VIII/2011.

keselamatan pasien rumah sakit. Rika. (2009). Pendidikan Keperawatan.

Medan: USU Press. Sari. (2015). The Description Of

Implementation Patient Safety By Ners Students. Jurnal Keperawatan dan Pemikiran Ilmiah, 1-7.

Smedley, M. R. (2010). Enchancing The Knowladge, Atitudes, And Skill Of Preceptor . The Journal Of Continuiing Education In Nursing, 451-461.

Vaismoradi. (2012). Nursing education curriculum for improving patient safety. Journal of Nursing

Education and Practice, 101–104. Wangke. (2015). Peluang Indonesia dalam

Masyarakat Ekonomi ASEAN, Info Singkat Hubungan

Gambar

Tabel 1. Distribusi Berdasarkan  Karakteristik Responden (n=25)

Referensi

Dokumen terkait

Mata kuliah ini juga memberikan bekal pengetahuan fondasional tentang pentingnya iklim, pendekatan-pendekatan, dan pengaruh-pengaruh sosio-budaya, baik dari sekolah

Rektor Universitas Negeri Yogyakarta selaku Koordinator Pengawasan Ujian Nasional SMA/IVIA Tahun Pelaiaran 2008/2009 Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, memberil€n

program PTO, employee dapat menabung hari cuti mereka, atau mendonasikannya untuk rekan yang sakit parah..

Artinya, tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dan gender (jenis kelamin) terhadap keterampilan sosial. Hal ini berarti peningkatan keterampilan sosial dalam

Tujuan penelitian ini adalah untuk memaparkan bentuk-bentuk gaya bahasa perulangan dalam kumpulan puisi Mawar Merah karya Chalik Hamid, memaparkan makna dari wacana

Semakin banyaknya angka kesakitan dan kematian akibat penyakit degeneratif, khususnya diabetes mellitus, kolesterol dan asam urat, maka penulis berminat untuk

Derajat kesukaran suatu soal ditunjukkan dengan indeks kesukaran. Indek kesukaran adalah bilangan yang menunjukkan sukar atau mudahnya suatu soal. Derajat

4) Dipersetujui oleh kedua pasangan suami isteri. Dari penjelasan yang sudah di paparkan di atas, dapat di simpulkan bahwa anak yang dilahirkan oleh wanita single dari hasil