• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP ISLAMISASI ILMU. Oleh Faishal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSEP ISLAMISASI ILMU. Oleh Faishal"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018

KONSEP ISLAMISASI ILMU Oleh

Faishal Abstrak

Pada dasarnya, pendidikan Islam tidak menghendaki adanya dikotomi keilmuan, karena sistem dikotomi menyebabkan sistem pendidikan Islam menjadi sekularistis, rasional-empiristis, intuitif dan materialistis. Keadaan tersebut tidak mendukung tata kehidupan umat yang mampu melahirkan peradaban Islam. Selain iu, Kemunduruan Islam—sebagai akibat dari panetrasi dan dominasi Barat telah mengakibatkan ilmu pengetahuan lepas dari kendali umat Islam dan beralih ke Barat. Keadaan ini menyebabkan—dalam pandangan sebagian intelektual Muslim—ilmu pengetahuan telah termuati ideologi, filosofi dan peradaban Barat, yang dalam banyak hal tidak sejalan dan bahkan berseberangan dengan ideologi dan peradaban Islam. Untuk itu tampillah gagasan pentingnya islamisasi ilmu pengetahuan dari tokoh-tokoh Muslim untuk mengembalikan ruh dan nilai-nilai Islam pada ilmu pengetahuan.

Tantangan besar yang dihadapi zaman sekarang, yaitu ilmu pengetahuan yang telah kehilangan tujuannya. Lebih jauh, menurut al-Attas, ilmu pengetahuan yang ada saat ini merupakan suatu kebingungan metodologis. Lebih parah lagi, ilmu pengetahuan di abad modern secara keseluruhan dibangun, ditafsirkan dan diproyeksikan melalui “pandangan dunia”, dalam hal ini pandangan dunia peradaban Barat

Penuangan Kembali Disiplin Ilmu Modern Ke Dalam Kerangka Islam. Secara operasional, para intelektual muslim tidak akan mencapai sepakat tentang solusi suatu persoalan, karena perbedaan backgraund masing-masing. Ini tidak dilarang bahkan dibutuhkan sehingga kesadaran mereka menjadi lebih kaya dengan berbagai macam pertimbangan. Secara faktual, umat Islam abad pertengahan mampu menciptakan dinamika karena Islam bisa menjadi wadah untuk menampung segala macam ide dan gagasan baru yang mempresentasikan nilai-nilai Ilahiyah

Keywords: Islamisasi ilmu, dikotomi, Aplikasi

A. Latar Belakang

Kemajuan peradaban selalu didahului ilmu pengetahuan (sains). Bangsa yang maju adalah bangsa yang menguasai dan unggul dalam hal penguasaan ilmu. Kenyataan ini telah dibuktikan dalam sejarah kejayaan islam antara tahun 132H-656H (750M-1258M) di mana negeri-negeri islam pada saat itu menunjukan kemampuan didalam bidang ilmu pengetahuan dengan semangat keilahian yang bersumber dari al quran dan hadits.

(2)

Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018

Proses islamisasi yang dilakukan secara besar-besaran terjadi pada masa sekitar abad kedelapan Masehi, yaitu pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Islamisasi dilakukan dalam bentuk kegiatan penerjemahan terhadap karya-karya dari Persia atau Iran dan Yunani yang kemudian pemaknaan karya-karya itu diadaptasikan dengan konteks masyarakat setempat yang tidak menyimpang dengan ajaran agama Islam pada waktu itu.1 Proses tersebut ditandai dengan kehadiran karya besar Imam Al-Ghazali yang berjudul Tahafut Al-Falasifah, yang mempersoalkan 20 “ide asing” dalam pandangan Islam, yang mana “ide asing” itu kerap diambil oleh filosof Muslim dari pemikiran Yunani, khususnya Plato dan Aristoteles. Akhirnya, 20 ide asing bertentangan dengan ajaran Islam itu kemudian dibahas oleh Al-Ghazali disesuaikan dengan konsep akidah Islam. Upaya tersebut, walaupun tidak menggunakan istilah islamisasi, tapi aktivitas yang sudah mereka lakukan sesuai dengan makna islamisasi itu sendiri. Kemudian istilah “islamisasi” sendiri baru muncul pada tahun 1930-an, sejak Muhammad Iqbal menegaskan akan perlunya melakukan proses Islamisasi terhadap ilmu pengetahuan. Iqbal sudah menyadari bahwa ilmu yang dikembangkankan oleh Barat bersifat non-teistik, sehingga dinilai dapat menggoyahkan akidah umat Islam. Untuk itu, Iqbal menyarankan umat Islam agar mengonversikan ilmu pengetahuan modern sesuai ajaran Islam. Sayangnya, Iqbal tidak diketahui melakukan tindak lanjut mengenai ide yang dilontarkannya tersebut. Belum ada identifikasi yang jelas dan ia juga tidak mengemukakan saran-saran atau program konseptual atau metodologis upaya untuk mengonversikan ilmu pengetahuan yang dimaksud oleh Iqbal.2 Sehingga, sampai saat itu, belum ada penjelasan yang sistematik secara konseptual mengenai islamisasi ilmu pengetahuan.

Selama rentang enam abad betapa hebat perkembangan ilmu pengetahuan sehingga mampu melahirkan berbagai tokoh-tokoh handal, seperti Al-Farazi sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe, al-Razi dan Ibnu Sina dalam bidang kedokteran, Jabir bin Hayyan dalam bidang kimia, Musa al-Khawarizmi dalam bidang matematika.3

1 Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan…, hlm. 115.

2 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik…, hlm. 390.

(3)

Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018

Akan tetapi sangat disayangkan karena beberapa faktor baik internal maupun eksternal setelah periode ini berakhir, islam justru mengalami kemunduran. Kendati demikian. Zaman modern tampaknya memberi kemungkinan baru untuk umat muslim untuk memperluas cakrawala dan menjadi kreatif kembali. Mereka tiada hanya guna mengagungkan kejayaan masa lampau. hal yang krusial sekarang adalah bagaimana menggali kembali etos kerja keilmiahan para ilmuwan muslim terdahulu yang terpadu dengan semangat ajaran keahlian.

Ilustrasi selintas tentang perkembangan dan tradisi keilmuwan diatas, diharapkan menjadi cambuk munculnya semangat dan sikap-sikap apresiatif terhadap warisan klasik islam. Karena itu perlu ditarik benang merah dan apa relevansinya bagi tantangan zaman kini dan esok dengan tetap komitmen pada sumber pokok ajaran islam, yaitu al-Quran. Pada hakikatnya tantangan ke depan umat islam ialah menganalisis kembali secara mendalam kandungan al-Quran dan hadits itu dari segala aspeknya secara luas dan kreatif. Sehingga umat islam pada zaman islam sekarang, sebagaimana telah dipraktikan oleh pendahulu mereka, dengan menggunakan segala bahan yang telah disediakan oleh pengalaman manusia dalam berbudaya dan berperadapan dapat berkiprah secara maju dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Seirama dengan perkembangan zaman ilmu pengetahuan yang dibangun diatas pondasi kesadaran ilahiyah itu akhirnya mengalami proses sekularisasi. Yakni paham yang berobsesi ingin memisahkan kegiatan ilmu dengan kegiatan agama yang berujung pada lepasnya semangat berilmu dari nilai-nilai transenden keagamaan. Hal ini bisa kita cermati bahwa setiap ilmuwan yang terobsesi oleh semangat ilmuwan modern (barat). Mereka akan membangun ilmu itu dari fakta-fakta empiris yang tak ada kaitannya sama sekali dengan nilai-nilai spiritual. Akhirnya, ilmu yang lahir dan berkembang adalah ilmu yang bebas sama sekali dari nilai-nilai ketuhanan dan berada dalam wilayah prifan.4

Dampak yang kemudian terlihat, ilmu pengetahuan dianggap nilai (bebas nilai) dan penggunaanya tidak ada kaitanya dengan etika. Dampaknya lebih jauh dari proses deislamisasi,westernisasi dan sekularisasi ini telah

(4)

Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018

melahirkan dikotomi sistem ilmu dan pendidikan, yaitu sistem modern yang sekuler dan sistem islam yang berdampak menempatkan umat islam pada posisi yang morginal dalam segala aspek kehidupan. Dengan kata lain, pengetahuan modern telah menyebabkan alienasi antara wahyu dan akal dalam diri umat islam.

Pada dasarnya, pendidikan Islam tidak menghendaki adanya dikotomi keilmuan, karena sistem dikotomi menyebabkan sistem pendidikan Islam menjadi sekularistis, rasional-empiristis, intuitif dan materialistis. Keadaan tersebut tidak mendukung tata kehidupan umat yang mampu melahirkan peradaban Islam.

Selain iu, Kemunduruan Islam—sebagai akibat dari panetrasi dan dominasi Barat telah mengakibatkan ilmu pengetahuan lepas dari kendali umat Islam dan beralih ke Barat. Keadaan ini menyebabkan—dalam pandangan sebagian intelektual Muslim—ilmu pengetahuan telah termuati ideologi, filosofi dan peradaban Barat, yang dalam banyak hal tidak sejalan dan bahkan berseberangan dengan ideologi dan peradaban Islam. Untuk itu tampillah gagasan pentingnya islamisasi ilmu pengetahuan dari tokoh-tokoh Muslim untuk mengembalikan ruh dan nilai-nilai Islam pada ilmu pengetahuan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan di atas, tampaknya perlu dilakukan uji coba kreativitas dan olah pikir yang cerdas dalam menjawab tantangan dalam merealisasikan ide dan pemikiran dalam melakukan islamisasi ilmu pengetahuan yang sudah sangat mengakar dalam setiap lini kehidupan. Berangkat dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep islamisasi ilmu pengetahuan?

2. Bagaimana aplikasi dan tantangan dalam proses islamisasi ilmu pengetahuan?

(5)

Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan:

1. Konsep islamisasi ilmu pengetahuan.

2. Aplikasi dan Tantangan yang dihadapi dalam proses islamisasi ilmu pengetahuan.

D. Pembahasan

1. Definisi

Islamisasi dapat diartikan sebagai proses pengislaman terhadap hal-hal yang menyangkut aspek kehidupan manusia, termasuk salah satunya ialah ilmu pengetahuan. Untuk kata “islamisasi” sendiri dinisbatkan kepada agama Islam yaitu agama yang telah diletakkan manhaj-nya oleh Allah melalui wahyu. Sedangkan ilmu merupakan bagian persepsi, konsep, bentuk sesuatu perkara atau benda. Jadi Islamisasi ilmu memiliki hubungan erat antara Islam dan ilmu pengetahuan, atau lebih tepatnya hubungan akal dengan wahyu.5 Sehingga beberapa tokoh kontemporer mendifinisikan islamisasi tidak jauh dari makna tersebut, diantaranya:

Menurut al-Attas Pengertian Islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu Pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belengu paham sekuler terhadap pemikiran.6 Untuk melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut, menurut al-Attas, perlu melibatkan dua proses yang saling berhubungan. Pertama ialah melakukan proses pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat, dan kedua, memasukan elemen-elemen Islam dan konsepkonsep kunci ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan.

Sedangkan al-Faruqi, mengartikan Islamisasi adalah usaha "untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikirkan kembali argumen dan rasionalisasi yang berkaitan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan semua

5 Heri Sugiono, “Islamisasi Ilmu: Sejarah, Dasar, Pola, dan Strategi” dalam

http://heri11user.blogspot.co.id/

6 Daud, Wan Mohd Nor Wan, (1998), The Educational Philosophy and Practice of Syed

Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmy dkk, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, Bandung: Mizan. Hal. 336

(6)

Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018

itu sedemikian rupa sehingga disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cause (cita-cita)." Fungsi utama gagasan islamisasi ilu pengetahuan adalah untuk memperbaiki serta membina kembali disiplin kemanusian, sains sosial, dan sains alam dengan suntikan dasar baru yang konsisten dengan Islam.7 Lebih riil, al-Faruqi juga menyusun 12 langkah untuk merealisasikan islmisasi ilmu pengetahuan itu.

Dari berbagai pengertian dan model islamisasi pengetahuan di atas dapat disimpulkan bahwa islamisasi dilakukan dalam upaya membangun kembali semangat umat Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan melalui kebebasan penalaran intelektual dan kajian-kajian rasional-empirik dan filosofis dengan tetap merujuk kepada kandungan al-qur’an dan sunnah nabi sehingga ummat Islam akan bangkit dan maju menyusul ketertinggalannya dari umat lain, khususnya Barat.

2. Tokoh-tokoh Terkait Islamisasi

Praktek Islamisasi sebenarnya sudaha ada sekitar abad ke-8 masehi, pada masa pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah, proses Islamisasi ilmu ini berlanjut secara besar-besaran, yaitu dengan dilakukannya penterjemahan terhadap karya-karya dari Persia dan Yunani yang kemudian diberikan pemaknaan ulang disesuaikan dengan konsep Agama Islam. Salah satu karya besar tentang usaha Islamisasi ilmu adalah hadirnya karya Imam al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, yang menonjolkan 20 ide yang asing dalam pandangan Islam yang diambil oleh pemikir Islam dari falsafah Yunani, beberapa di antara ide tersebut bertentangan dengan ajaran Islam yang kemudian dibahas oleh al-Ghazali disesuaikan dengan konsep aqidah Islam. Hal yang sedemikian tersebut, walaupun tidak menggunakan pelabelan Islamisasi, tapi aktivitas yang sudah mereka lakukan semisal dengan makna Islamisasi.8

Pada era modern ini, ide Islamisasi ilmu pengetahuan dimunculkan kembali oleh Syed Hossein Nasr, pemikir muslim Amerika kelahiran Iran, pada tahun 60-an. Beliau menyadari akan adanya bahaya sekularisme dan

7

Omar, M. Nasir, (2005), Gagasan Islamisasi Ilmu, Selangor: Lohprint, hal; 19

8 Hashim, Rosnani, (2005), Gagasan Islamisasi Kontemporer: Sejarah, Perkembangandan

Arah Tujuan, Islamia: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam,INSIST: Jakarta, Thn II No.6/ Juli-September). Hal;32

(7)

Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018

modernisme yang mengancam dunia Islam, karena itulah beliau meletakkan asas untuk konsep sains Islam dalam aspek teori dan praktikal melalui karyanya Science and Civilization in Islam (1968) dan Islamic Science (1976). Nasr bahkan mengklaim bahwa ide-ide Islamisasi yang muncul kemudian merupakan kelanjutan dari ide yang pernah dilontarkannya.9

Gagasan tersebut kemudian dikembangkan oleh Syed M. Naquib al-Attas sebagai proyek "Islamisasi" yang mulai diperkenalkannya pada Konferensi dunia mengenai Pendidikan Islam yang pertama di Makkah pada tahun 1977. Al-Attas dianggap sebagai orang yang pertama kali mengupas dan menegaskan tentang perlunya Islamisasi pendidikan, Islamisasi sains, dan Islamisasi ilmu.

Selain Syed M. Naquib al-Attas, juga muncul tokoh-tokoh lain seperti Ismail Raji Al- Faruqi dan Sayyed Hussein Nashr dan beberapa tokoh lainnya. Di bawah ini kami kemukakan sekilas tentang tokoh-tokoh tersebut:

a. Sayyed Hossein Nasr

Ide tentang islamisasi ilmu (sains) pertama kali dicutuskan oleh Sayyed Hossein Nasr dalam karyanya The Encounter of Man and Nature pada tahun 1968. Sains Islami menurut Nasr tidak akan dapat diperoleh melalui akal semata. Sains Islami hanya dapat diperoleh melalui intelek (intelect) berasal dari Illahiyah yang terletak di dalam hati. Jadi kedudukan intelek berada dalam hati atau ruhaniyah yang juga digunakan sebagai pertimbangan dalam sains Islam. Sedangkan akal sendiri tidak dapat disebut sebagai intelek sebab pengetahuan dari akal hanyalah pantulan dari intelek, oleh sebab itu pengetahuan yang berasal dari akal semata tidak dapat dijadikan ukuran dalam sains Islami.10

Dalam hal ini, Nasr meletakkan hierarki pengetahuan Islam yang paling tinggi adalah berasal dari pengetahuan Illahiyah (hati) sedangkan tingkat dibawahnya adalah pengetahuan yang berasal dari akal. Selama hierarki pengetahuan tetap dipertahankan, ilmu pengetahuan tidak akan merusak umat manusia, sebab ia dikendalikan

9 Ibid, hal. 32

(8)

Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018

oleh hati. Beberapa pembatasan ilmu dalam bidang fisik dapat diterima guna mempertahankan kebebasan pengembangan di bidang ruhani.

Ilmu pengetahuan harus menjadi alat untuk mengakses yang sakral dan ilmu pengetahuan sakral (scientia-sacra) tetap sebagai jalan kesatuan utama dengan realitas, dimana kebenaran dan kebahagiaan disatukan.11 Untuk mewujudkan sains Islami tersebut, Nasr menggunakan perbandingan dengan apa yang telah diraih Islam pada zaman keemasannya (abad pertengahan). Menurutnya, pada saat itu dengan teologi yang mendominasi sains, sains telah memperoleh kecerahan dan dapat menyelamatkan umat dari sifat destruktif sains. b. Syed M. Naquib al-Attas

Syed Muhammad Naquib Al Attas (Al-Attas) lahir di Bogor Jawa Barat, 5 September 1931, dari seorang ayah bernama Syed Ali bin Abdullah Al Attas dan ibu Syarifah Raqaub Al-Aydarus.12

Pendidikan Al-Attas diawali di pesantren Al Urwatul Wustqo Sukabumi Jawa Barat sekitar tahun 1945. Pendidikan modern sempat ia kenyam melalui lingkungan ningrat selama tinggal bersama pamannya Engku Abdul Aziz di Johor Baru Malaysia.5 Secara berturut-turut kemudian ia kuliah di University of Malay Singapore 1957-1959. Melanjutkan ke Institute of Islamic Studies di McGill University Canada dengan konsentrasi keilmuan bidang tasawuf tahun 1962. Bidang teologi dan metafisika ia pelajari di School Oriental and Africa Studies, University of London, dan meraih gelar Ph.D dengan disertasi berjudul Mistik hamzah Fansuri; Ilmuwan dan tokoh sufi kerajaan Islam Aceh Darusslam pada masa keemasanya.d, dengan predikat cumlaude. Sekembalinya dari London ia menetap di almamaternya University of Malay Singapore, dan dilantik menjadi ketua Departemen Kesusateraan dalam kajian melayu (1968-1970).

11Ibid, hlm. 23 12

Ayahanda Al Attas adalah keturunan ulama dan ahli tasawuf terkenal yaitu Syed Abdullah bin Muhsin bin Muhammad Al Attas, seorang wali dari jawa yang berpengaruh di kawasan tanah Arab dan Indonesia. Sementara ibunya juga keturunan keluarga raja Sakapura. Lihat Ensiklopedia Islam, Ibid, h. 78-79

(9)

Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018

Pada tahun itu juga Al Attas dan kawan-kawannya mendirikan Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). Ia menjadi Guru Besar (Profesor) untuk kajian sastra dan kebudayaan melayu pada tahun 1975 (Al-Attas, 1975). Kemudian dilantik menjadi Dekan Fakultas Sastra dan Kebudayaan Melayu di UKM.

c. Ismail Raji Al- Faruqi

Ismail Raji Al-Faruqi (Al-Faruqi) dilahirkan di Jaffa Palestina pada tanggal 1 Januari 1921. Ketika ia lahir Palestina masih merupakan bagian dari Arab yakni sebelum pendudukan Israel.13 Pendidikan pertamanya di sekolah biara College des Freres (St. Joseph) tahun 1926-1936. Kemudian kuliah di American University Beirut untuk Sarjana Mudanya tahun 1941, dan gelar Master bidang filsafat diraih padatahun 1949 pada Indiana University dan Harvard University. Gelar doctor bidang filsafat barat ia peroleh dari Indiana University Bloomington. Studi ke-Islaman ia tekuni selama empat tahun di Universitas Al-Azhar Kairo.14

Meskipun latar belakang pendidikannya pada pendidikan Barat dan dipercaya sebagai dosen di McGill University Montreal Canada tahun 1959, tidak berarti Al Faruqi telah kehilangan identitas keislamannya. Bahkan sebaliknya, melalui pendidikan barat ia justru terwarnai oleh system pendidikan yang ada. Kekuatan kepribadian keislamannya dapat terlihat jelas dari pendapat-pendapatnya, yang mencoba mengangkat wacana keislaman sebagai topic utama kebangkitan umat Islam.15 Al Faruqi banyak terlibat dalam perencanaan Program Pengkajian Islam di beberapa Negara, seperti : Pakistan, Afrika Selatan, India, Malaysia, Libya, Arab Saudi dan Mesir. Bahkan di kalangan masyarakat Amerika Serikat ia dikenal sebagai tokoh intelektual muslim.

13 Lihat Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Raja Grafindo

Persada, 1996), h. 158

14

Lihat juga pengantar Ismail Raji Al Faruqi dan Lois Lamya Al Faruqi, Atlas Budaya Islam, (Bandung : Mizan, 2001), h. 6. Bandingkan dengan Ensiklopedi Islam, (Jakarta : 1982), h. 334

15 Pendapatnya dapat dicermati dalam karyanya al : Islamization of Knowledge, Tauhid, Islam

(10)

Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018

3. Konsep Islamisasi

a. Syed Naquib alAttas

Sayyid Husein Nasr sebagaimana dikutip Khudori Soleh mengatakan bahwa Islamisasi ilmu termasuk islamisasi budaya adalah upaya menterjemahkan pengetahuan modern ke dalam bahasa yang bisa dipahami masyarakat muslim dimana mereka tinggal. Artinya, Islamisasi ilmu lebih merupakan usaha untuk mempertemukan cara pikir dan bertindak (epistemologi dan aksiologi) masyarakat Barat dengan muslim.16

Naquib al-Attas berpendapat bahwa Islamisasi ilmu adalah upaya membebaskan ilmu pengetahuan dari makna, ideologi dan prinsip-prinsip sekuler, sehingga terbentuk ilmu pengetahuan yang baru sesuai fitrah Islam.17 Dalam pandangan Naquib, islamisasi ilmu berkenaan dengan ontologis dan epistemologis, terkait dengan perubahan dan cara pandang dunia yang merupakan dasar lahirnya ilmu dan metodologi yang digunakan, agar sesuai dengan konsep Islam.18

Jadi, islamisasi ilmu dapat kita simpulkan sebagai upaya membangun kembali semangat umat Islam dalam berilmu pengetahuan, mengembangkannya melalui kebebasan penalaran intelektual dan kajian rasionanl-empirik atau semangat pengembangan ilmiah dan filosofis, yang merupakan perwujudan dari sikap concern, loyal, dan komitmen terhadap doktrin-doktrin dan nilai-nilai mendasaryang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.

Masih konsisten dari problematika yang mereka kaji, al-Attas menekankan tantangan besar yang dihadapi zaman sekarang, yaitu ilmu pengetahuan yang telah kehilangan tujuannya. Lebih jauh, menurut al-Attas, ilmu pengetahuan yang ada saat ini merupakan suatu kebingungan metodologis. Lebih parah lagi, ilmu pengetahuan

16 Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hal. 239. 17

Syed Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, terj. Karsidjo Djojosuwarno, Pustaka, Bandung, 1981, hal. 156.

18 Syed Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, terj. Saiful Muzani, Mizan, Bandung, 1995,

(11)

Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018

di abad modern secara keseluruhan dibangun, ditafsirkan dan diproyeksikan melalui “pandangan dunia”, dalam hal ini pandangan dunia peradaban Barat.19

Menurut al-Attas, jika pemahaman ini merasuk ke dalam pikiran kaum cendekiawan umat Islam, maka dampak berbahaya akan sangat luar biasa, al-Attas menyebutnya sebagai de-islamisasi pikiran umat Islam. Oleh karena itu, sebagai bentuk keprihatinannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, al-Attas mengajukan gagasan tentang “Islamisasi Ilmu Pengetahuan Masa Kini”20 dan memberikan formulasi awal yang sistematis karena dianggap sebagai prestasi inovatif dalam pemikiran Islam modern.

Gagasan al-Attas selanjutnya mendapat reaksi dan dukungan dari berbagai pihak sesama ilmuwan, salah satunya Ismail Raji al-Faruqi dengan agenda “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”nya.21 Sampai saat ini, gagasan islamisasi ilmu menjadi visi dan tujuan penting bagi beberapa institusi Islam, seperti International Institute of Islamic Thought (IIIT) di Washington DC, Amerika Serikat. International Islamic University Malaysia (IIUM) di Kuala Lumpur Malaysia, Akademi Islam di Cambridge dan International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur.22

b. Al-Faruqi

Islamisasi ilmu lahir dari adanya keprihatinan terhadap faktabanyaknya umat Islam yang tidak menyaring ilmu-ilmu terutama yangdatang dari Barat. Menurut al-Faruqi, sebagai penganut agama Islamyang sangat menekankan pentingnya ilmu pengetahuan danpendidikan, ternyata umat muslim masih belum

19

Ibid, hlm. 333

20 Label “masa kini” sengaja diberikan sebab ilmu pengetahuan yang diperoleh umat Islam

yang berasal dari kebudayaan dan peradaban masa lalu, seperti Yunani dan India, telah diislamkan. Lihat Ibid, hlm. 335.

21 Terkait ide islamisasi ilmu pengetahuan, Al-Faruqi mengklaim bahwa ide tersebut murni

berasal dari dirinya, sebagaimana yang telah disampaikan pada seminar di Islamabad pada

tahun 1982. Lihat Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan,

Pengembangan Kurikulum, hingga Redifinisi Islamisasi Pengetahuan, (Bandung : Nuansa, 2003), hlm. 330.

22 M. Ghufron, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan Perspektif Sejarah, Kontroversi dan

(12)

Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018

sungguhmemperhatikan orisinalitas dan kualitas ilmu pengetahuan danpendidikannya. Ketidaksungguhan itu membuat umat muslimterjerembab ke dalam perangkap sistem ilmu pengetahuan danpendidikan modern yang cenderung sekuler. Akibatnya, semakintinggi ilmu pengetahuan dan pendidikan yang didapatkan, justru umatmuslim semakin jauh dari ajaran agama. Kemajuan yang mereka capaiini, adalah kemajuan yang semu. Di satu pihak, umat Islam telahberkenalan dengan peradaban barat modern, tetapi di pihak lainmereka kehilangan pijakan yang kokoh, yaitu pedoman hidup yangbersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Melihat fenomena demikian,al-Faruqi menganggap bahwa umat Islam seakan berada dipersimpangan jalan sehingga sulit untuk menentukan pilihan arah yangtepat. Karenanya, umat Islam akhirnya terkesan mengambil sikapmendua, antara tradisi keislaman dan nilai-nilai peradaban baratmodern. Pandangan dualisme yang demikian ini menjadi penyebabdari kemunduran yang dialami umat Islam. Bahkan sudah mencapaitingkat serius dan mengkhawatirkan yang disebutnya sebagai“malaisme”.23 Hal inilah yang mendorong adanya islamisasi ilmumenurut Ismail Raji al-Faruqi.

Islamisasi ilmu pengetahuan, menurut Ismail al-Faruqi, menghendaki adanya hubungan timbal balik antara realitas dan aspek kewahyuan.24 Walaupun ada perbedaan dalam pola pemetaan konsep tentang islamisasi ilmu pengetahuan yang ditawarkan kedua tokoh tersebut, tetapi ruh yang ditawarkan tentang islamisasi ilmu pengetahuan kedua tokoh tersebut sama, yakni bagaimana penerapan ilmu pengetahuan sebagai basis kemajuan umat manusia tidak dilepaskan dari aspek spiritual yang berlandaskan pada sisi normatif al-qur’an dan al-Sunah. Sebaliknya, memahami nilai-nilai kewahyuan, umat Islam harus memanfaatkan ilmu pengetahuan. Tanpa memanfaatkan ilmu pengetahuan dalam upaya memahami wahyu, umat Islam akan terus tertinggal oleh umat lainnya. Karena

23

Ismail Raji al-Faruqi, Op.Cit., hal. 11

24 Ismail al-Faruqi dilahirkan di Jaffa, Palestina pada 1 Januari 1921. Dia memperoleh gelar

B.A. dalam bidang filsafat (1941) Lihat Ismail al-Frauqi, Dialog Tiga Agama Besar, Surabaya: Pustaka Progressif, 1994, h.7-8.

(13)

Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018

realitasnya, saat ini ilmu pengetahuanlah yang amat berperan dalam menentukan tingkat kemajuan umat manusia.

Dari definisi islamisasi pengetahuan di atas, ada beberapa model islamisasi pengetahuan yang bisa dikembangkan dalam menatap era globalisasi, antara lain: model purifikasi, model modernisasi Islam, dan model neo-modernisme.

Dengan melihat berbagai pendekatan yang dipakai Al-Faruqi dalam gagasan islamisasi ilmu pengetahuan, seperti: (1) penguasaan khazanah ilmu pengetahuan muslim, (2) penguasaan khazanah ilmu pengetahuan masa kini, (3) identifikasi kekurangan-kekurangan ilmu pengetahuan itu dalam hubungannya dengan ideal Islam, dan (4) rekonstruksi ilmu-ilmu itu sehingga menjadi paduan yang selaras dengan warisan dan idealitas Islam, maka gagasan Islamisasi keduanya dapat dikategorikan ke dalam model purifikasi. Pandangan al-Faruqi berkenaan dengan langkah-langkah dalam Islamisasi Ilmu pengetahuan, dia mengemukakan ide Islamisasi Ilmunya berlandaskan pada esensi tauhid yang memiliki makna bahwa ilmu pengetahuan harus mempunyai kebenarannya. Al-Faruqi menggariskan beberapa prinsip dalam pandangan Islam sebagai kerangka pemikiran metodologi dan cara hidup Islam. Prinsip-prinsip tersebut ialah: 1) Keesaan Allah.

2) Kesatuan alam semesta.

3) Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan25

Menurut al-Faruqi, kebenaran wahyu dan kebenaran akal itu tidak bertentangan tetapi saling berhubungan dan keduanya saling melengkapi. Karena bagaimanapun, kepercayaan.

Model islamisasi pengetahuan yang muncul pada abad ke-19 dan 20 Masehi ini. Landasan metodologis islamisasi pengetahuannya, menurut Imam Suprayogo adalah sebagai berikut: Pertama, persoalan-persoalan kontemporer umat Islam harus dicari penjelasannya dari tradisi dan hasil ijtihad para ulama yang merupakan hasil interpretasi terhadap al-qur’an. Kedua, apabila dalam tradisi tidak ditemukan jawaban yang sesuai dengan kondisi kontemporer,

(14)

Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018

maka harus menelaah konteks sosio-historis dari ayat-ayat al-qur’an yang menjadi landasan ijtihad para ulama tersebut. Ketiga, melalui telaah historis akan terungkap pesan moral al-qur’an sebenarnya, yang merupakan etika sosial al-qur’an. Keempat, setelah itu baru menelaahnya dalam konteks umat Islam dewasa ini dengan bantuan hasil-hasil studi yang cermat dari ilmu pengetahuan atas persoalan yang bersifat evaluatif dan legitimatif sehingga memberikan pendasaran dan arahan moral terhadap persoalan yang ditanggulangi.26

E. Aplikasi Dalam Proses Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Sebagai upaya pengintegrasian disiplin-disiplin ilmu modern dengan khazanah warisan Islam. Terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan agar tujuan-tujuan dari islamisasi ilmu pengetahuan dapat tercapai. Untuk merealisasikan tujuan-tujuan tersebut, al-Faruqi menyusun 12 langkah yang secara kronologis harus diaplikasikan27

Langkah 1. Penguasaan Disiplin Ilmu Modern : Penguraian Kategoris. Pada langkah awal ini, disiplin-disiplin ilmu modern harus dipecah-pecah menjadi kategori-kategori, prinsip-prinsip, metode, problema dan tema-tema. Penguraian tersebut harus mencerminkan daftar isi sebuah buku daras (pelajaran) dalam bidang metodologi disiplin-disiplin ilmu yang bersangkutan. Hasil uraian tersebut harus berbentuk kalima-kalimat yang memperjelas istilah-istilah teknis, menerangkan kategori, prinsip, problem dan tema pokok disiplin-disiplin ilmu yang bersangkutan.

Langkah 2. Survei Disiplin Ilmu. Pada tahap ini, setiap disiplin ilmu modern harus disurvei dan ditulis dalam bentuk bagan (skema) mengenai asal-usul, perkembangan dan pertumbuhan metodologinya, keluasan cakupannya serta sumbangan pemikiran yang telah diberikan para tokoh utamanya. Bibliografi keterangan yang memadai dari karya-karya terpenting di bidang ini harus pula dicantumkan sebagai penutup dari masing-masing disiplin. Langkah ini bertujuan untuk memantapkan pamahaman muslim

26 Imam Suprayogo, Membangun Integrasi Ilmu dan Agama, h.57.

27Kuntowijoyo. 2005. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika. Jakarta Selatan: Teraju. hlm. 1

(15)

Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018

terhadap berbagai disiplin ilmu modern yang berkembang di Barat, sehingga mereka benar-benar mengetahui secara detail dan menyeluruh tentang kekurangan dan kelebihan disiplin-disiplin ilmu tersebut.

Langkah 3. Penguasaan Khasanah Islam. Pada tahap ini, perlu ditemukan sampai sejauh mana khazanah Islam menyentuh dan membahas objek disiplin ilmu modern tersebut. Tujuannya agar dapat ditemukan relevansi di antara khazanah barat dan Islam. Ini penting, karena banyak ilmuan muslim didikan barat tidak mengenal khazanah Islam sendiri, kemudian mengangap bahwa khazanah keilmuan Islam tidak membahas disiplin ilmu yang ditekuni. Padahal, yang terjadi adalah bahwa ia tidak mengenal kategori-kategori khazanah ilmiah Islam yang digunakan oleh ilmuan Muslim tradisional untuk mengklasifikasi objek disiplin ilmu yang ditekuninya.

Langkah 4. Penguasaan Khasanah Islam Tahap Analisa. Untuk dapat memahami cakupan wawasan Islam setiap kata perlu adanya analisa dengan latar belakang sejarah dan kaitan antara masalah yang dibahas dengan berbagai bidang kehidupan manusia. Analisa historis ini dapat memperjelas berbagai wilayah wawasan Islam itu sendiri. Namun, analisa ini tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Harus dibuat daftar urut prioritas, dan yang paling penting adalah bahwa prinsip-prinsip pokok, masalah-masalah pokok dan tema-tema abadi, yakni tajuk-tajuk yang mempunyai kemungkinan relevansinya kepada permasalahan masa kini harus menjadi sasaran strategis penelitian dan pendidikan Islam.Tahap ini bertujuan untuk untuk mengenal lebih jauh tentang konstruksi khazanah Islam dan mendekatkan karya-karya khazanah Islam kepada para sarjana didikan barat, sehingga diketahui secara lebih jelas jangkauan gagasannya.

Langkah 5. Penentuan Relevansi Islam Yang Khas Terhadap Disiplin-Disiplin Ilmu. Pada tahap ini, hakekat disiplin ilmu modern beserta metode dasar, prinsip, problem, tujuan, hasil capaian dan segala keterbatasannya, semua dikaitkan dengan khazanah Islam. Begitu pula relevansi-relevansi khazanah Islam spesifik pada masing-masing ilmu harus diturunkan secara logis dari sumbangan mereka.Dalam hal ini, ada tiga hal yang harus dijawab. (1) Apa yang telah di sumbangkan oleh Islam, mulai dari al-Qur`an hingga kaum modernis saat ini, kepada keseluruhan masalah yang dikaji

(16)

disiplin-Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018

disiplin ilmu modern? (2) Seberapa besar sumbangan Islam tersebut dibanding ilmu-ilmu Barat? Sejauh mana tingkat pemenuhan, kekurangan serta kelebihan khazanah Islam dibanding wawasan dan lingkungan disiplin ilmu modern?. (3) Jika ada bidang masalah yang sedikit disentuh, atau bahkan di luar jangkauan khazanah Islam, ke arah mana ilmuan Islam harus mengisi kekurangan, merumuskan kembali permasalahannya dan memperluas cakrawala wawasan disiplin ilmu tersebut.

Langkah 6. Penilaian Kritis Terhadap Disiplin Ilmu Modern : Tingkat Perkembangannya Di Masa Kini. Setelah mendiskripsikan dan menganalisis berbagai sisi dan relevansi antara khazanah Islam dan Barat, sekarang melakukan analisa kritis terhadap masing-masing ilmu dilihat dari sudut Islam. Inilah langkah utama dalam Islamisasi ilmu. Di sini ada beberapa hal yang harus dijawab. Benarkah disiplin ilmu tersebut telah memenuhi visi pelopornya? Benarkah ini telah merealisasikan peranannya dalam upaya mencari kebenaran? Sudahkah disiplin ilmu tersebut memenuhi harapan manusia dalam tujuan hidupnya? Sudahkah ilmu tersebut mendukung pemahaman dan perkembangan pola ciptaan Ilahi yang harus direalisasikan? Jawaban atas berbagai persoalan ini harus terkumpul dalam bentuk laporan mengenai tingkat perkembangan disiplin ilmu modern dilihat dari perspektif Islam[30]. Jawaban-jawaban harus terkumpul dan di pecahkan dengan perbaikan, penambahan, perubahan atau penghapusan Islami.

Langkah 7. Penilaian Kritis Terhadap Khasanah Islam : Tingkat Perkembangannya Dewasa Ini. Yang dimaksud khazanah Islam adalah al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Namun, ini tidak berarti bahwa kedua sumber tersebut harus menjadi objek kritik atau penilaian. Status ilahiah al Quran dan sifat normatif sunnah adalah ajang yang tidak diperdebatkan. Akan tetapi, interpretasi muslim terhadap keduanya yang historis kontekstual boleh dipertanyakan, bahkan harus selalu dinilai dan dikritik berdasarkan prinsip-prinsip dari kedua sumber pokok tersebut.Relevansi pemahaman manusiawi tentang wahyu Ilahi diberbagai aspek persoalan manusia harus dikritik dari tiga sudut. (1) Wawasan Islam sejauh yang dapat ditarik dari sumber-sumber wahyu beserta bentuk kongkretnya dalam sejarah kehidupan Rasulullah SAW, para sahabat dan keturunanya. (2) Kebutuhan umat manusia

(17)

Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018

saat ini. (3) Semua disiplin ilmu modern yang diwakili oleh disiplin ilmu tersebut. Apabila khazanah Islam tidak relevan lagi, harus dilakukan koreksi terhadapnya dengan usaha-usaha yang sesuai masa kini. Sebaliknya, jika relevan, khazanah Islam perlu dikembangkan dan disosialisasikan.

Langkah 8. Survei Permasalahan Yang Dihadapi Umat Islam. Langkah berikutnya adalah mengadakan survei terhadap berbagai problem intern di segala bidang. Problem ekonomi, sosial dan politik yang sedang dihadapi dunia Islam ini sebenarnya tidak berbeda dengan gunung es dari kelesuhan moral dan intelektual yang terpendam. Untuk bisa mengidentifikasi semuanya dibutuhkan survei empiris dan analisa kritis secara konprehensif. Kearifan yang terkandung dalam setiap disiplin ilmu harus dimanfaatkan untuk memecahkan problem umat Islam. Tidak seorang muslimpun boleh membatasi ilmunya dalam satu titik yang hanya memuaskan keinginan intelektulitasnya, lepas dari realitas, harapan dan aspirasi umat Islam.

Langkah 9. Survei Permasalahan Yang Dihadapi Umat Manusia. Sudah menjadi bagian dari wawasan dan visi Islam bahwa tanggung-jawabnya yang tidak terbatas pada kesejahteraan umat Islam saja, tetapi juga menyangkut kesejahteraan seluruh umat manusia di dunia dengan segala hiterogenitasnya, bahkan mencakup seluruh alam semesta (rahmat li al-alamin). Dalam beberapa hal, umat Islam memang terbelakang dibanding bangsa lain, tetapi dari sisi ideologis, mereka adalah umat yang paling potensial dalam upaya proses integralisasi antara kesejahteraan, religius, etika dan material.

Langkah 10. Analisa Kreatif Dan Sintesa. Setelah memahami dan menguasai semua disiplin ilmu modern dan disiplin keilmuan Islam tradisonal, menimbang kelebihan dan kelemahan masing-masing, setelah menentukan relevansi Islam dengan dimensi-dimensi pemikiran ilmiah tertentu pada disiplin-disiplin ilmu modern, mengidentifikasi problem yang dihadapi umat Islam dalam lintasan sejarah sebagai hamba sekaligus khalifah, dan setelah memahami permasalahan yang dihadapi dunia, maka saatnya mencari lompatan kreatif untuk bangkit dan tampil sebagai protektor dan developer peradaban manusia.

Sintesa kreatif yang akurat harus dibuat di antara ilmu-ilmu Islam tradisional dan disiplin ilmu-ilmu modern untuk dapat mendobrak stagnasi

(18)

Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018

intelektual selama beberapa abad. Khazanah ilmu-ilmu Islam harus terkait dengan hasil-hasil ilmu modern dan harus mulai menggerakkan barisan depan pengetahuan sampai cakrawala lebih jauh dari apa yang bisa diprediksikan oleh ilmu modern. Sintesa kreatif ini harus mampu memberikan solusi tuntas bagi permasalahan dunia, di samping permasalahan yang muncul dari harapan Islam. Apa harapan Islam di setiap bidang kehidupan, dan bagaimana sintesa baru tersebut menggerakan umat Islam maupun umat manusia ke arah terwujudnya harapan tersebut. Jika diketahui relevansi ilmuilmu Islam untuk topik tertentu dan setelah diketahui pula ciri khas permasalahan yang dihadapi, pilihan mana yang harus diambil.Apa kriteria yang digunakan bahwa Islam relevan dengan persoalan yang dihadapi. Bagaimana metodenya. Bagaimana tata kerjanya, alat evaluasi dan pertanggung-jawaban atas teorinya?

Langkah 11. Penuangan Kembali Disiplin Ilmu Modern Ke Dalam Kerangka Islam. Secara operasional, para intelektual muslim tidak akan mencapai sepakat tentang solusi suatu persoalan, karena perbedaan backgraund masing-masing. Ini tidak dilarang bahkan dibutuhkan sehingga kesadaran mereka menjadi lebih kaya dengan berbagai macam pertimbangan. Secara faktual, umat Islam abad pertengahan mampu menciptakan dinamika karena Islam bisa menjadi wadah untuk menampung segala macam ide dan gagasan baru yang mempresentasikan nilai-nilai Ilahiyah.

Berdasarkan wawasan-wawasan baru tentang makna Islam serta pilihan-pilihan kreatif bagi realisasi makna tersebut, maka ditulislah buku-buku daras untuk perguruan tinggi, dalam semua bidang ilmu. Inilah puncak dari gerakan islamisasi pengetahuan. Namun, penulisan buku-buku daras ini sendiri bukan pencapaian final, melainkan justru baru sebagai permulaan dari sebuah perkembangan peradaban Islam dimasa depan. Buku-buku daras hanya sebagai pedoman umum bagi perkembangan selanjutnya. Karena itu, essei-essei yang mencerminkan dobrakan pandangan bagi setiap topik dan cabang ilmu harus pula ditulis sebagai “wawasan latar belakang” atau “bidang relevansi” yang dari sana diharapkan akan muncul wawasan baru Islam bagi masing-masing cabang ilmu modern.

(19)

Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018

Langkah 12. Penyebaran ilmu-ilmu yang telah diislamiskan..Adalah suatu kesiasiaan apabila karya-karya yang berharga tersebut hanya dinikmati oleh orang-orang tertentu atau dalam kalangan terbatas. Maka yang pertama, sudah seharusnya karya yang dibuat berdasarkan LillahiTa’ala adalah menjadi milik seluruh umat Islam. Yang kedua, karena produk itu dihasilkan demi Allah SWT dan membawa wawasan Islam, maka tentu saja yang diharapkan lebih dari sekedar memberikan informasi. Membuat pembaca menjadi alat untuk maju dan berjaya dengan nama Allah SWT mencapai apa yang belum dicapai umat Islam. Yang ketiga, digarapkan hasil dari rencana kerja disajikan disemua perguruan tinggi Muslim dunia sebagai bacaan wajib di fakultas yang sesuai.

Selain itu, alat-alat bantu untuk mempercepat program Islamisasi ilmu pengetahuan, pertama, perlu sering dilakukan seminar dan konferensi yang melibatkan berbagai ahli dalam bidang keilmuan untuk memecahkan persoalan disekitar pengkotaan antar disiplin ilmu pengetahuan. Kedua, lokakarya untuk pembinaan staf. Setelah sebuah buku pelajaran dan tulisan pendahuluan ditulis sesuai dengan aturan 1 sampai 12 di atas, maka diperlukan staf pengajar yang terlatih. Para ahli yang membuat produk tersebut harus bertemu para staf pengajar untuk mendiskusikan sekitar praanggapan tak tertulis, dampak-dampak tak terduga dari teori, prinsip dan pemecahan masalah yang dicakup buku tersebut. Selain itu, dalam pertemuan tersebut harus pula dijajaki sekitar persoalan metode pengajaran yang diperlukan untuk memahami buku-buku yang dimaksud, sehingga para staf pengajar dapat terbantu dalam upayanya mencapai tujuan akhir secara lebih efisien28.

F. Kesimpulan

Oleh karena itu, Gulshami mengelompokkan reaksi intelektual Muslim tersebut menjadi 4 (empat) aliran besar, yaitu; 1) kelompok yang menolak, 2)

28

Islamisasi-ilmu-pengetahuan?page=all.https://www.kompasiana.com/srimaulida55802df411937355190285 d4/Kamis, 20 September 2018.

(20)

Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018

kelompok yang menerima, 3) kelompok yang menyaring, dan 4) kelompok yang mengkombinasikan.

Kelompok pertama; merupakan kelompok minoritas yang enggan bersentuhan dengan sains modern, karena menganggap sains modern bertentangan dengan ajaran Islam. Bagi mereka, masyarakat Islam harus mengikuti ajaran Islam dengan ketat dan mengharuskan ummat Islam memiliki sainsnya sendiri.

Kelompok kedua; intelektual Islam yang mengadopsi secara total sains modern. Mereka menganggap bahwa menguasai sains modern merupakan sumber utama pencerahan yang sejati dan satu-satunya solusi untuk melepaskan dunia Islam dari stagnasi.

Kelompok ketiga; sejumlah ilmuan muslim yang mengakui peran sentral sains modern terhadap kemajuan Barat dan menganjurkan asimilasi sains modern, meskipun tetap menaruh perhatian terhadap masalah-masalah keagamaan. Kelompok ini terdiri dari mayoritas intelektual Muslim yang terbagi dua yaitu; 1) pemikir Muslim yang memandang sains modern sebagai kelanjutan dari sains yang dihasilkan peradaban Islam masa lalu, mereka menganjurkan umat Islam mempelajari sains modern agar dapat menjaga independensi mereka dan melindunginya dari kritisisme kaum orientalis dan sejumlah intelektual Muslim yang sekuler, dan 2) sejumlah pemikir Muslim yang berusaha melacak semua penemuan sains yang penting di dalam Al-Quran dan Hadits, motif mereka adalah untuk menunjukkan keselarasan sains modern dengan ajaran Islam, serta berusaha membuktikan bahwa temuan-temuan sains modern dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai aspek keimanan. Mereka meyakini bahwa hasil temuan yang dicapai oleh sains modern telah disebutkan terlebih dahulu oleh Al-Quran dan Hadits Nabi.

Kelompok keempat; para filosof Muslim yang membedakan antara penemuan sains modern dengan pandangan filosofisnya. Karena itu, meskipun mereka menganjurkan pencarian rahasia-rahasia semesta melalui eksperimen dan teori-teori ilmiah, mereka juga bersifat kritis terhadap berbagai penafsiran empiristik dan materialistik yang mengatas namakan sains. Bagi mereka, pengetahuan ilmiah memang dapat mengungkapkan beberapa aspek dunia fisik, namun sains saja tidak dapat memberikan

(21)

Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018

gambaran sempurna tentang realitas. Oleh karena itu, sains harus dikombinasikan dengan cara pandang dunia Islam agar dapat memperoleh gambaran komprehensif mengenai realitas itu sendiri.29

Untuk dapat memahami cakupan wawasan Islam setiap kata perlu adanya analisa dengan latar belakang sejarah dan kaitan antara masalah yang dibahas dengan berbagai bidang kehidupan manusia. Analisa historis ini dapat memperjelas berbagai wilayah wawasan Islam itu sendiri. Namun, analisa ini tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Harus dibuat daftar urut prioritas, dan yang paling penting adalah bahwa prinsip-prinsip pokok, masalah-masalah pokok dan tema-tema abadi, yakni tajuk-tajuk yang mempunyai kemungkinan relevansinya kepada permasalahan masa kini harus menjadi sasaran strategis penelitian dan pendidikan Islam.Tahap ini bertujuan untuk untuk mengenal lebih jauh tentang konstruksi khazanah Islam dan mendekatkan karya-karya khazanah Islam kepada para sarjana didikan barat, sehingga diketahui secara lebih jelas jangkauan gagasannya.

Penuangan Kembali Disiplin Ilmu Modern Ke Dalam Kerangka Islam. Secara operasional, para intelektual muslim tidak akan mencapai sepakat tentang solusi suatu persoalan, karena perbedaan backgraund masing-masing. Ini tidak dilarang bahkan dibutuhkan sehingga kesadaran mereka menjadi lebih kaya dengan berbagai macam pertimbangan. Secara faktual, umat Islam abad pertengahan mampu menciptakan dinamika karena Islam bisa menjadi wadah untuk menampung segala macam ide dan gagasan baru yang mempresentasikan nilai-nilai Ilahiyah

Dalam rangka mempercepat program Islamisasi ilmu pengetahuan, pertama, perlu sering dilakukan seminar dan konferensi yang melibatkan berbagai ahli dalam bidang keilmuan untuk memecahkan persoalan disekitar pengkotaan antar disiplin ilmu pengetahuan. Kedua, lokakarya untuk pembinaan staf. Setelah sebuah buku pelajaran dan tulisan pendahuluan ditulis sesuai dengan aturan 1 sampai 12 di atas, maka diperlukan staf pengajar yang terlatih. Para ahli yang membuat produk tersebut harus bertemu para staf pengajar untuk mendiskusikan sekitar

29

Lihat Mehdi Gulshami, “Sikap dan Pandangan Filosofis Muthahhari Terhadap Sains

Modern”, Makalah, disampaikan pada Seminar International Pemikiran Murtadha

Muthahhari, in memoriam: 25 Tahun Syahidnya Sang Ulama Filsuf, (Jakarta, 8 Mei 2004), h. 1 – 2

(22)

Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018

praanggapan tak tertulis, dampak-dampak tak terduga dari teori, prinsip dan pemecahan masalah yang dicakup buku tersebut. Selain itu, dalam pertemuan tersebut harus pula dijajaki sekitar persoalan metode pengajaran yang diperlukan untuk memahami buku-buku yang dimaksud, sehingga para staf pengajar dapat terbantu dalam upayanya mencapai tujuan akhir secara lebih efisien.

Daftar Pustaka

Al-Frauqi, Ismail, Dialog Tiga Agama Besar, Surabaya: Pustaka Progressif, 1994 Ali, M. Amir, Removing the Dichotomy of Sciences: A Necessity for The Growth of

Muslims. Future: A Journal of Future Ideology that Shapes Today the World Tomorrow

Arifin, M.H., Ilmu Pendidikan Islam (Suatu Pendekatan Teoritis Dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner), Jakarta : Bumi Aksara. 1996 Assegaf, Abd. Rachman, Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan

Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, Jakarta: Rajawali Press, 2011 Baalbaki, Rohi, Al-Mawrid: A Modern Arabic-English Dictionary,Beirut : Dar

el-Ilm Lilmalayin,1995, Cet. VII,

Berghout, Abdel Aziz, “Toward Islamic Framework for Worldview Studies: Preliminary Theorization”, Berastagi, 2012.

Kartanegara, Mulyadhi, “Islamization of Knowledge and itsImplementation: A Case Study of Cipsi”, Berastagi, 2012

Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Jakarta: Penerbit: Teraju, 2005,

Mahzar, Armahedi “Integrasi Sains dan Agama: Model dan Metodologi”, dalam Zainal Abidin Bagir, dkk (eds.), Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi Bandung: MMU, 2005.

Suprayogo, Imam, “Membangun Integrasi Ilmu dan Agama: Pengalaman UIN Malang”. Zainal Abidin Bagir (ed)., Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi, Bandung: Mizan, 2005.

Suprayogo, Imam. Perubahan Pendidikan Tinggi Islam: Refleksi Perubahan IAIN/STAIN Menjadi UIN. Malang: UIN Press. 2008.

(23)

Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018

Suprayogo. Imam, Reorientasi Pendidikan Agama di Universitas Islam. Dalam Menghidupkan Jiwa Ilmu. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kompas-Gramedia, 2014.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh frekuensi pencucian terhadap kualitas bakso ikan Gabus serta menentukan frekuensi pencucian yang tepat dan

Hasil tersebut sama halnya dengan hasil penelitian yang menyebutkan bahwa peng- gunaan polyethylene film merupakan best practice dalam perawatan mata pada pasien yang

Metode analisis data yang digunakan adalah perhitungan Break Even Point dalam unit dan Rupiah, Hasil penelitian yang diperoleh adalah: Secara keseluruhan

Antarmuka sistem ini terdiri dari empat bagian, yaitu button zoom in/ zoom out untuk melakukan pembesaran dan pengecilan pada tampilan peta, button cari shortest path untuk

bawah kurva, maka pada metode Sugeno agregasi bawah kurva, maka pada metode Sugeno agregasi berupa singleton-singleton. • Pada kasus model Sugeno orde-nol, output setiap kaidah

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Komputer pada Program Studi

5 Tahun 2010 menyebutkan bahwa infrastruktur merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan sosial yang berkeadilan

Kerjasama-kerjasama lintas batas yang dilakukan oleh Kosovo dengan Albania, dan Macedonia juga membantu Kosovo dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi mereka, selain