• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terhadap Perkawinan di Bawah Umur di Kabupaten Luwu Utara (Studi Kasus di Pengadilan Agama Masamba)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Efektivitas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terhadap Perkawinan di Bawah Umur di Kabupaten Luwu Utara (Studi Kasus di Pengadilan Agama Masamba)"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana Hukum (SH) Jurusan Ilmu Hukum

pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Alauddin Makassar

Oleh :

Thariq Kemal AS NIM : 10400114100

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR 2019

(2)

i Mahasiswa yang bersangkutan di bawah ini : Nama : Thariq Kemal AS

NIM : 10400114100

Tempat/Tgl.Lahir : Malangke, 04 September 1996

Jurusan : Ilmu Hukum

Fakultas : Syariah dan Hukum

Alamat : Perumahan Griyah Asri Sakinah Blok. E1 No.14

Judul : Efektivitas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terhadap Perkawinan di Bawah Umur di Kabupaten Luwu Utara ( Studi Kasus di Pengadilan Agama Masamba ) Menyatakan dengan sesungguhnya dan penuh kesadaran bahwa skripsi ini benar adalah hasil karya sendiri. Jika dikemudian hari terukti bahwa ini merupakan duplikat, tiruan, plagiat, ataupun dibuat oleh orang lain, maka skripsi dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum.

Samata, Penyusun,

THARIQ KEMAL AS NIM: 10400114100

(3)
(4)

iii











Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt. Karena atas limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya lah sehingga penulis dapat menyusun dan merampungkan skripsi yang berjudul, “Efektivitas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 terhadap Perkawinan dibawah Umur di Kabupaten Luwu Utara (Studi Kasus) di Pengadilan Agama Masamba”. Skripsi tersebut merupakan tugas akhir dan salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Tak lupa pula kita kirimkan Salawat dan Salam kepada Baginda Muhammad saw. beserta keluarga dan para sahabat-sahabatnya. Karena Nabi Muhammad saw. sebagai Rahmatanlilalamin.

Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Musafir Pababbari, M.Si selaku Rektor Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

2. Bapak Prof. Dr. Darussalam Syamsuddin., M.Ag., sekalu Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negari Makassar beserta Jajarannya.

(5)

3. Bunda Istiqamah, S.H., M.H., selaku Ketua Jurusan Ilmu Hukum dan Bapak Rahman Syamsuddin, S.H., M.H., selaku Sekertaris Jurusan Ilmu Hukum.

4. Bapak Dr. M. Thahir Maloko, M.H.I. dan Bapak Drs. H. Munir Salim, M.H., selaku pembimbing yang senantiasa membimbing Ananda dalam proses penulisan skripsi ini.

5. Bapak Dr. H. Supardin, M.H.I. dan Bapak Ashar Sinilele, S.H., M.H., selakau penguji yang senantiasa memberikan saran dan masukan dalam proses penulisan skripsi ini.

6. Kepala Pengadilan Agama Masamba beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian.

7. Seluruh Dosen Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, terima kasih untuk seluruh didikan, bantuan dan ilmu yang telah di berikan kepada penulis.

8. Seluruh Staf Akademik dan Staf Jurusan, terima kasih atas bantuan yang di berikan kepada penulis selama mengurus segala sesuatunya.

Kemudian Doa dan dukungan moril terbesar baik secara langsung maupun secara tidak langsung selama ini tentu tidak bisa dielakkan berasal dari pihak keluarga maupun sahabat penulis. Yakni:

(6)

1. Kepada kedua orang tua tercinta, ayahanda Aliyas, S.Ag dan ibunda (almah) Sahriwati, S.Ag serta ibunda Rosmiati, S.Ag yang telah menjadi motivator terbesar bagi penulis, telah menjadi panutan penulis yang tak henti-hentinya memberikan doa terbaik kalian, semangat, dan dorongan kepada penulis, terima kasih atas kasih sayang yang tak terhingga kepada penulis selama ini.

2. Kepada saudara(i) Ilham Akbar AS, Aulia Atsari AS, dan Lutfia Atsari AS yang selalu memberikan dukungan dan semangat sehingga itu yang menjadi semangat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Kepada yang terkasih Nur Wahida, terima kasih karena telah hadir menjadi motivator dan penyemangat serta selalu sedia setiap saat penulis membutuhkan bantuan, karenanya penulis tidak pernah merasa kekurangan dan kesulitan.

4. Kepada saudaraku, satu hati, satu rasa, satu jiwa, dan satu kontrakan. terima kasih kepada Anshar Nurdin, S.H., Andi Fathurrahman, S.H., Hamka Barlian, S.H., Ilham M, S.Pd., A. Ashar Arsyad, S.Pd., terima kasih atas sakit hati yang kalian berikan kepada saudaramu ini karna telah meninggalkanku namun itu memberikan pukulan sekaligus semangat untuk penulis. terima kasih pula kepada saudari Dorratul Mahdiyah (kekasih saudara hamka) terima kasih karna telah menginggari janjimu untuk wisuda sama-sama tapi ternyata kamu ingkari. Terimakasih.

(7)

5. Anggota Bau Lucu-lucu yang sudah hilang entah kemana yang telah menjadi saudara, kekasih, dan pujaan hati penulis. Terima kasih kepada Andi Fathurrahman, S.H., Hamka Barlian, S.H., Anshar Nurdin, S.H., Syamsidar, S.H., Ilham Nursaputra, S.H., Marwah Lestri, S.H., terima kasih karena selalu setia memberikan dorongan meskipun tinggal penulis yang belum selesai. Tak lupa pula kepada mama dan bapaknya Syamsidar, S.H., terima kasih atas bantuan yang henti-hentinya di berikan kepada penulis baik secara makanan maupun masukan.

6. Kepada keluarga Ilmu Hukum B 2014, saudara tapi sedarah terima kasih karena telah menjadi saudara penulis, kalian yang terbaik, kalian luar biasa.

7. Keluarga KKN-R Angkatan 57 Desa Sanjai, Kecamatan Sinjai Timur, KAbupaten Sinjai. kepada saudara Abd. Azis, S.Ikom, Ulfa Damayanti, S.H., Fatmawati, S.Ikom., Siksa, S.Ikom., Heni, Alifa Utami. Penulis ucapkan banyak terima kasih atas ukhuwah yang telah terjalin selama ini dan telah memberikan pengaruh besar kepada penulis serta memberikan dorongan dan dukungan kepada penulis.

8. Keluarga Besar PPL Peradilan Pengadilan Agama Pangkep angkatan 2017, terima kasih telah memberikan masukan dan saran kepada penulis.

(8)

Sekali lagi penulis ucapkan banyak terima kasih kepada setiap motivator yang telah memberikan doa maupun dukungan secara langsung ataupun tidak langsung, dan tak lupa penulis haturkan maaf kepada motivar tak sempat penulis sebutkan namanya tapi yakin bahwa penulis tak akan melupakan seorang yang telah memberikan motivasi kepada penulis.

Penulis,

THARIQ KEMAL AS NIM: 10400114100

(9)

viii

DAFTAR ISI

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... i

PENGESAHAN SKRIPSI ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... viii

ABSTRAK ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1-10 B. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus ... 6

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Kajian Pustaka ... 8

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9

BAB II TIJAUAN TEORETIS A. Perkawinan secara Umum ... 11-38 1. Undang-Undang Perkawinan ... 11

2. Pengertian Perkawinan ... 14

3. Tujuan dan Asas-asas Perkawinan ... 19

4. Rukun dan Syarat-syarat Perkawinan ... 23

B. Perkawinan di bawah Umur ... 26

1. Sekilas tentang Perkawinan di bawah Umur ... 26

2. Faktor-faktor yang Menmpengaruhi Perkawinan di bawah Umur 30 3. Problematika Perkawinan di bawah Umur ... 33

4. Undang-Undang Perlindungan Anak ... 37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Lokasi Penelitian ... 39-41 B. Pendekatan Penelitian ... 39

C. Sumber Data ... 39

D. Metode Pengumpulan Data ... 40

E. Instrument Penelitian ... 40

F. Teknik Pengolahan dan Analisi Data ... 41

(10)

BAB IV PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN EFEKTIFITAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERWINAN DI KABUPATEN LUWU UTARA

A. Gambaran Umum tentang Pengadilan Agama Masamba di Kabupaten Luwu Utara... 42-71 1. Kebijakan Pengadilan Agama Masamba ... 45 2. Visi dan Misi Pengadilan Agama Masamba ... 48 3. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Masamba ... 51 B. Efektifitas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terhadap

Perkawinan di Bawah Umur di Kabupaten Luwu Utara ... 54 C. Faktor-faktor yang menyebabkan Perkawinan di bawah Umur di

Kabupaten Luwu Utara ... 60 D. Tahap Analisis Hasil Penelitian tentang Efektifitas Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Bawah Umur di Kabupaten Luwu Utara ... 66 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 72-73 B. Saran ... 73 DAFTAR PUSTAKA ... 74

(11)

x

Judul : EFEKTIFITAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TERHADAP PERKAWINAN DIBAWAH UMUR DI KABUPATEN LUWU UTARA ( Studi Kasus di Pengadilan Agama Masamba Kelas 1B)

Penelitian ini membahas tentang Efektifitas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terhadap perkawinan dibawah umur di Kabupaten Luwu Utara (Studi Kasus di Pengadilan Agama Masamba Kelas 1B). Dapat ditarik tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan memahami tentang efektifitas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan terhadap perkawinan dibawah umur di Kabupaten Luwu Utara, dan untuk mengetahui dan memahami faktor-faktor yang menyebabkan tejadinya perkawinan di bawah umur di Kabupaten Luwu Utara.

Jenis penilitian ini tergolong kualitatif dengan pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis, adapun sumber data penelitian ini adalah sumber data primer dan sekunder (studi kepustakaan dengan cara menelaah buku-buku, literatur dan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan skripsi penulis). Selanjutnya metode pengumpulan data yang digukana adalah wawancara dan dokumentasi.

Penelitian ini dilaksanakan di Pengadilan Agama Masamba dengan melakukan wawancara langsung dengan hakim yang memeriksa dan memutuskan perkara dispensasi perkawinan serta mengambil data di Staff Pengadilan Agama Masamba. Adapun hasil penelitian yang diperoleh dari penelitian tersebut yaitu: 1) Efektivitas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terhadap perkawinan di bawah umur hasilnya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah efektif dalam mengatur terjadinya perkawinan dibawah umur. 2) faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan di bawah umur adalah faktor kekhawatiran orang tua, faktor hamil diluar nikah faktor pendidikan, dan faktor ekonomi.

Implikasi dari penelitian ini untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang akibat terjadinya perkawinan di bawah umur dan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa betapa pentingnya usia minimal untuk melangsungkan perkawinan agar dapat terwujudkan tujan perkawinan tersebut seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu untuk mewujudkan keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa sehingga dapat menjadikan keluarga yang sakinah mawaddah warahmah.

(12)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia dalam perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Dalam membentuk keluarga yang sakinah ma waddatawwarahma perkawinan harus didasari dari cinta yang bernuansa islamiyah dengan memperkuat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Begitupula perkawinan yang dilakukan merupakan suatu yang sangat penting karena dengan adanya ikatan perkawinan akan mengakibatkan keseimbangan hidup seseorang baik secara jasmani, rohani, maupun dari segi sosial.

Perkawinan adalah kontrak social dan kontrak Ketuhanan. Didalamnya merupakan penyatuan dua pribadi yang saling mengikatkan diri dalam hubungan suami-istri, hubungan yang menyatukan antara insan laki-laki (suami) dan perempuan (isteri) dalam hubungan suami isteri tersebut terdapatlah suatu hak dan kewajiban dalam keluarga yang harus dipatuhi untuk mendapatkan kebahagiaan dalam keluarga.

Manusia dalam mengarungi perjalanan kehidupan memerlukan pendamping yang dapat mewujudkan kebahagiaan, kedamaian, dan kenyamanan. Pengaturan mengenai hubungan laki-laki dan perempuan yang merupakan salah satu persoalan dalam kehidupan manusia terdapat dalam undan-undang. Pengaturan itu banyak yang diterapkan dalam berbagai bentuk, mulai dari kriteria, proses perkawinan, larangan dan kewajiban dalam perkawinan.

(13)

Dapat juga diartikan bahwa perkawinan tersebut merupakan peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan seseorang karena dalam perkawinan akan menimbulkan berbagai hal yang dapat menyatukan diri seseorang. Tak lain pula dalam keluarga masing-masing suami isteri begitu pula harta yang telah di peroleh dari suami maupun isteri dapat disatukan dalam keluarga, penyebab lain sehingga adanya perkawinan yakni setiap orang ingin melanjutkan keturunannya.

Menurut agama Islam, perkawinan diisyaratkan sebagai satu-satunya bentuk hidup secara berpasangan yang dibenarkan dan dianjurkan dalam pembentukan keluarga. “Adapun tujuan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 1 adalah membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Maka salah satu prinsip yang digariskan oleh “Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah bahwa calon suami harus telah masak jiwa dan raganya untuk melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan

yang baik dan sehat”.1

Syarat-syarat tentang perkawinan terdapat pada pasal 6 ayat 2 menyatakan

“untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua

puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua”. Sedangkan dalam pasal 7 ayat 1 menyatakan bahwa “perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah

mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur

1

Hasan Bustomi, Pernikahan Dini dan Dampaknya (Tinjauan Batas Usia Umur Perkawinan Menurut Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Indonesia), Yudisia 7, no. 2 (2016): h. 1

(14)

16 (enam belas) tahun”.2

Sedangkan menurut Pasal 1 Udang-Undang No. 23

TAhun 2002 tetntang perlindungan anak ditegaskan “bahwa anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang

masih dalam kandungan”.

Dalam pengertian undang-undang diatas, yang dimaksud pernikahan dibawah umur adalah pernikahan yang dilakukan pada usia yang sangat mudah. Pada masa remaja, anak-anak masih dalam masa peralihan dari masa remaja ke masa dewasa. Pada masa inilah anak tersebut terjadinya percepatan pertumbuhan mulai dari segi pertumbuhan fisik hingga pertumbuhan psikis, jika ditinjau dari fisik maka pertumbuhan anak tersebut patutlah dikatakan orang dewasa karena memang pertumbuhan anak remaja sangatlah signifikan sedangkan jika ditinjau dari segi psikis antara lain sikap dan cara berfikir untuk bertindak maka belum dapat dikatakan dewasa karena tidak adanya kematangan cara berfikir seperti emosi yang belum bisa dikontrol dengan baik, belum memiliki keahlian yang matang dalam menyelesaikan masalah yang terjadi serta belum mempunyai pemikirang yang baik untuk menatap masa depannya sendiri.

Batas usia dalam melangsungkan perkawinan adalah penting atau dapat dikatakan sangat penting. Hal ini disebabkan karena didalam perkawinan menghendaki kematangan psikologis. Usia perkawinan yang terlalu muda dapat mengakibatkan meningkatnya kasus perceraian karena kurangnya kesadaran untuk bertanggung jawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami istri, dan dapat berdampak pula pada pasangan suami istri dan keturunannya.

(15)

Pada dasarnya, Hukum Islam tidak mengatur secara mutlak tentang batas umur untuk melakukan perkawinan hanya saja dalam Islam mengisyaratkan untuk siap dan mampu apabila ingin melangsungkan perkawinan. Allah swt berfirman dalam QS al-Nuur/24: 32.



















Terjemahnya;

“dan kawinkanlah orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”.3

Adapun Hadis Nabi saw, yang menganjurkan laki-laki untuk melakukan perkawinan dengan syarat.

َ ح

َ د

َ

بَ ن

َ نََ

َ ح

َ رلا

َ د

ََ عَ ب

َ عَ ن

راَ ة

َ مَ

َ عَ

َ ن

َ دَ ث

َ ح

َ

َ لا

ََ ق

َ ش

َ عَ م

اَ ل

ا ن ث د ح

َ

َ بًأ

َ نا

َ دَ ث

َ ح

َ

َ ثا

َ غَ ي

َ نَ

ََ ب

َ ص

َ حَ ف

َ

َ رَ بَ ن

َ عَ م

َ ثَ نا

َ يَ زَ ي

َ دَ ق

َ لا

ََ د

َ خَ ل

َ ت

ََ م

َ عَ

َ عَ ل

َ قَ م

َ ةَ

َ د و سلا و

َ عَ ل

َ عَى

َ بَ د

َ الل

ََ ف

َ ق

َ لا

ََ عَ ب

َ د

َ الل

ََ

َ ك

َ مان

َ عَ

َ بنلا

َ

َ ص

َ اللَىل

ََ عَ ل

َ يَ هَ

َ وَ س

َ ملَ

َ بش

ًَبا

َ َلان

َ دَ

َ شَ ي

ًَئ

َ فَا

َ ق

َ لا

ََ لَ ن

َ رَا

َ سَ و

َ لَ

َ الل

َ

َ ص

َ اللَىل

ََ عَ ل

َ يَ هَ

َ وَ س

َ ملَ

َ يَ م

َ عَ ش

َ رَ

َ بشلا

َ با

ََ م

َ نََ

اَ س

َ تَ ط

َ عاَ

َ لاَ ب

َ ءاَ ة

َ فَ لَ ي

َ تَ زَ و

َ جَ

َ فَ ا

َ هنَ

َ غأ

َ ض

ََ لَ ل

َ بَ ص

َ رَ وَ أ

َ ح

َ س

َ نََ

لَ لَ فَ ر

َ ج

ََ وَ م

َ نَ

َ لََ ي

َ سَ ت

َ ط

َ ع

َ فَ عَ ل

َ يَ هَ

َ ب

صل

َ وَ مَ

َ فَ إ

َ هنَ

َ لَ هَ

َ و

َ ج

َ ءاَ

Artinya:

“Umar bin Hafs bin Giyas menceritakan kepada kami, Abi menceritakan

al-A’masy menceritakan kepada saya Umarah dari Abdurrahman bin

Yazid berkata saya masuk bersama ‘Alqamah dan al-Aswad dari Abdullah berkata ketika bersama Nabi SAW. Bersabda: pemuda yang tidak menemukan sesuatu maka beliau bersabda kepada kami: wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mempunyai kemampuan dalam

hal bai’ah, kawinlah. Karena sesungguhnya, pernikahan itu lebih mampu

menahan pandangan mata dan menjaga kemaluan. Dan, barangsiapa belum

3

(16)

mampu melaksanakannya, hendaklah ia berpuasa karena sesungguhnya puasa itu dapat menjadi tameng(gejolak hasrat seksual).”4

Perkawinan dibawah umur sangat menarik untuk dikaji karena pada usia muda masih banyak hal yang belum tentu mereka pahami mengenai pola kehidupan berumah tangga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Di Kabupaten Luwu Utara masih banyak ditemukan adanya praktek perkawinan di bawah umur pada beberapa pasangan usia muda. Dalam prakteknya di Kabupaten Luwu Utara antara teori yang ada dalam Undang-Undang no. 1 tahun 1974 yaitu 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan tidak sinkron dengan praktek dilapangan yaitu mereka melakukan perkawinan pada rata-rata usia 14 tahun sampai 18 tahun.

Kurangnya kesadaran masyarakat dalam memahami tujuan dari perkawinan yang ada dalam Undang-Undang no.1 tahun 1974 tentang perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan terjadinya keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah.

Maka dari itu dalam penulisan skripsi ini, penulis mencoba menjabarkan

tentang “EFEKTIFITAS UNDANG - UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG

PERKAWINAN TERHADAP PROBLEMATIKA PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DI KABUPATEN LUWU UTARA (Studi Kasus di Pengadilan Agama Masamba).”

4

Abdullah Muhammad bin Ismail al Bukhari, Shahih al Bukhari, Juz V. (al Kitab Ilmiyyah : Bairut), h.438

(17)

B. Fokus Penelitian dan Deskripsi Penelitian

1. Fokus Penelitian

Dalam penelitian ini penulis memfokuskan penelitiannya mengenai permasalahan perkawinan di bawah umur di kabupaten Luwu Utara. 2. Deskripsi Penelitian

Untuk memberikan pemahaman yang lebih jelas lagi mengenai skripsi ini maka diperlukan beberapa penjelasan yang berkaitan dengan judul skripsi ini yakni Efektivitas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 terhadap Pekawinan dibawah Umur di Kabupaten Luwu Utara.

a. Perkawinan merupakan suatu ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diatur dalam aturan hukum, baik hukum Islam maupun hukum positif. Sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan mengenai tatacara perkawinan bagi orang Indonesia pada umumnya diatur menurut hukum, hukum agama dan hukum adat masing-masing, setelah berlakunya hukum positif yang mengatur tentang masalah perkawinan yakni Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam Undang-Undang ini diatur dan telah di tetapkan syarat-syaratnya seperti mengenai batasan umus terdapat pada pasal 7 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Yang mengatakan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak laki-laki sudah mencapai usia 19 tahun dan

(18)

b. Perkawinan dibawah umur merupakan perkawinan yang dilakukan sebelum mencapai umur yang telah ditentukan oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 7 ayat 1. Sedangkan menurut Undang-Undang Perlindungan Anak, disebut anak adalah jika ia belum mencapai umur 18 tahun.

c. Perkawinan dibawah umur menimbulkan nilai positif maupun negatif. Nilai positif dalam perkawinan dibawah umur yaitu dapat dilihat dari aspek Agama terhindar dari perzinaan, dari aspek ekonomi dapat membantu keuangan keluarga, dan dari aspek sosial karenan terangkatnya derajat keluarga dan bagi laki-laki yang kaya menikah dengan wanita yang berusia muda meningkatkan prestis danmeningkatkan kepuasan seks. Sedangkan nilai negatif dari perkawinan dibawah umur yakni sulit untuk menyusuaikan diri sehingga tidak dapat mencapai tujuan perkawinan. Secara ekonomipun belum siap, sehingga dapat menimbulkan maslah dalam rumah tangga. Secara sosial bisa terjaadi eksplotasi dan secara psikologis belum siap mental dan bagi perempuan dari aspek kedokteran belum siap untuk reproduksi.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan yang telah dibahas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana efektifitas Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan di Kabupaten Luwu Utara?

(19)

2. Apakah faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan dibawah umur di Kabupaten Luwu Utara?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka berisi uraian sistematis mengenai hasil-hasil penilitian yang pernah dilakukan sebelumnya oleh peneliti terdahulu, jurnal maupun buku yang memiliki keterkaitan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Adapun diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Peneliti Terdahulu

Amalia Najah dalam skripsinya yang berjudul “pernikahan di

bawah umur dan problematikanya (studi kasus didesa Kedung Leper Bangsri Jepara)” melakukan penilitian tentang faktor-faktor pendorong yang menyebabkan perkawinan dibawah umur dan melakukan analisis tentan tinjauan hukum islam maupun undang-undang perkawinan.

Dalam jurnal Zulfiani yang berjudul Kajian Hukum terhadap Perkawinan di bawah Umur Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam jurnal ini membahas tentang batasan umur untuk dapat melangsungkan perkawinan maupun fakto-faktor dan dampak yang terjadi dalam perkawinan di bawah umur.

Dalam jurnal lain yang di kemukakan oleh Hj. Rahmatia HL yang berjudul Studi Kasus Perkawinan di Bawah Umur, yang membahas tentang penyebab terjadinya perkawinan dibawah umur.

(20)

2. Deskripsi Buku

Dalam buku karangan Salim HS, yang berjudul Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), dalam buku ini membahas tentang Esensi perkawinan.

Dalam buku karangan Hilman Hadikusuma, yang berjudul

“Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-undangan, Hukum

Adat, dan Hukum Agama”. Membahas tentang perkawinan menurut

perundang-undangan, Hukum Adat, dan Hukum Agama.

Dalam buku karangan Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan, dengan judul buku Hukum Perdata Islam di Indonesia, yang membahas tentang hukum Islam tentang perkawinan di Indonesia.

Dalam buku Sudarsono, yang berjudul Hukum Perkawinan Nasional dan Buku Subekti, yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Perdata.

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitiam

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah, sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan memahami tentang efektifitas Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan terhadap perkawinan dibawah umur di Kabupaten Luwu Utara.

2. Untuk mengetahui dan memahami faktor yang menyebabkan terjadinya dibawah umur di Kabupaten Luwu Utara.

Sedangkan kegunaan dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut:

1. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pada ilmu pengetahuan hukum umumnya dan pada bidang hukum perdata pada khususnya

(21)

dalam tinjauan efektifitas “Undang-undang No 1 Tahun 1974 terhadap

problematika perkawinan dibawah umur”.

2. Diharapkan dapat membantu perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam ilmu pengetahuan hukum perdata pada umumnya dan hukum perkawinan pada khususnya.

(22)

11

TINJAUAN TEORETIS

A. Perkawinan secara Umum

1. Undang-Undang Perkawinan

Undang-Undang Republik Indonesia No.1 tahun 1974 tentang perkawinan telah disahkan dan ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Jenderal TNI Soeharto di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1974, dan pada hari itu pula undang-undang tersebut diundangkan dan ditandatangani Menteri sekaligus sekretaris Negara RI, Mayor Jenderal TNI Sudarmono, S.H., serta dimuat dalam lembaran Negara Republik Indonesian Tahun 1974 No. 1 dan penjelasannya dimuat dalam tambahan lembaran Negara Republik Indonesia no. 3019. Undang-Undang ini berisi 14 bab dan 67 pasal. Di dalamnya diatur tentang dasar antara lain:

a. Perkawinan;

b. Syarat-syarat perkawinan; c. Hak dan kewajiban suami isteri; d. Harta benda dalam perkawinan; e. Putusnya perkawinan serta akibatnya; f. Kedudukan anak;

g. Hak dan kewajiban orang tua dan anak; h. Perwalian dan ketentua lainnya.

(23)

Untuk melancarkan terlaksananya Undang-Undang tersebut maka pemerintah mengeluarkan PP No. 9 Tahun 1975 tentang

“pelaksanaan UU no. 1-1974. PP no. 9-1975 tersebut dimuat dalam lembaran Negara tahun 1975 nomor 12 dan penjelasannya dalam tambahan lembaran Negara nomor 3050. PP no. 9-1975 itu memuat 10 bab dan 45 pasal yang mengatur tentang Ketentuan Umum, Pencatatan Perkawinan, Tata cara Perkawinan, Pembatalan Perkawinan, Waktu Tunggu, Beristeri lebih dari satu, Ketentuan dan Penutup”.

Ada beberapa hukum yang berlaku di Indonesia sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, antara lain:

a. Hukum yang dianut untuk orang Indonesia yang beragama Islam yaitu hukum agama yang telah diresepsi kedalam hukum adat. Pada umumnya bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam jika melaksanakan perkawinan berlaku ijab kabul antara mempelai pria dangan wali dari mempelai wanita, sebagaimana diatur dalam hukum Islam.

b. Hukum adat yang diberlakukan untuk orang Indonesia. Misalnya bagi orang Bali yang beragama Hindu dimana adat dan agama telah menyatu, maka pelaksanaannya dilaksanakan menurut hukum adat yang serangkaian dengan upacara agama Hindu-Bali yang dianutnya. c. Hukum yang berlaku bagi masyarakat Indonesia yang menganut

Agama Kristen yaitu “Huwelijks Ordonnatice Christen Indonesia (HOCI) S.1933 nomor 74”.

(24)

d. Hukum perdata (KUHper) berlaku bagi orang timur asing dan warga Negara Indonesia yang keturunan asing.

e. Berlakunya hukum adat bagi orang timur asing lainnya ataupun WNI keturunan asing.

f. Bagi orang eropa dan WNI keturunan eropa berlaku Hukum Perdata dan Burgerlijk Wetboek (BW).

Berdasarkan pasal 66 undang-undang No. 1 Tahun 1974. Maka

“ketentuan-ketentuan yang diatur dalam HOCI S.1933-74, begitu pula Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken (RGH) S. 1898 no. 158) dan juga dalam peraturan dalam KUH Perdata (BW) yang mengatur tentang perkawinan atau peraturan lain yang mengatur perkawinan, sejauh telah diatur dalam UU no. 1-1974 yang bertentangan dengan ketentuan UU no.1-1-1974 jelasnya bertentangan dengan ketentuan UUD 1945 (termasuk aturan hukum adat

dan hukum agama) sudah tidak berlaku lagi”. Karena pada dasarnya

undang-undang No. 1 Tahun 1974 telah menimbulkan prinsip-prinsip yang dikandung dalam pancasila dan Undang Undang Dasa Republik Indonesia Tahun 1945.

Adapun prinsip-prinsip yang menurut undang-undang No. 1 tahun 1974 ialah perkawinan bertujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal, perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaanya itu, perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangan, perkawinan berasas monogamy terbuka, calon

(25)

suami istri harus sudah masuk jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan, batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 tahun dan bagi wanita 16 tahun, perceraian dipersulit dan harus dilakukan dimuka sidang pengadilan, serta hak dan kedudukan suami istri.1

2. Pengertian Perkawinan

a. Perkawinan menurut perundang-undangan

Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. Menurut

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”.2

Didalam penjelasan

ditegaskan lebih rinci bahwa sebagai “Negara yang berdasarkan

Pancasila, disebut sila yang pertamanya ialah Ketuhanan yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur bathi/rokhani juga mempunyai peranan penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan

1

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawianan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum agama ( Bandung : Mandar Maju : 2007 ) hal. 4-6

2

(26)

keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan

pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua”.3

Didalam Hukum Islam memandang bahwa perkawinan dapat dibagi menjadi dua aspek yaitu aspek agama dan sosial. Aspek agama menjelaskan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan aspek sosial menjelaskan tetang proses admistrasi. Asser, Scholten, Pitlo, Petit, dan

majelis mengartikan perkawinan adalah “persekutuan antara seorang pria

dan seorang wanita yang diakui oleh Negara untuk hidup

bersama/bersekutu yang kekal” (dalam R Soetojo Prawirohamidjojo,

1988: 35). Esensi pengertian perkawinan yang dikemukakan pakar diatas adalah bahwa perkawinan sebagai lembaga hukum, baik karena apa yang ada didalamnya, maupun karena apa yang terdapat di dalamnya.4

b. Perkawinan menurut Islam

Dalam bahasa arab perkawinan biasa disebut An-Nikah yang bermakna al-wathi dan aldammu wa altadakhul, biasa juga disebut aldammu wa altadakhul yang bermakna bersetubuh, berkumpul, dan akad.

Menurut etimologi para ulama mendefenisikan dalam konteks biologis dan menyebabkan penjelasan dan uraian dari para ulama, antara lain adalah:

3

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional (Jakarta : Rineka Cipta : 2005) hal. 9 4

Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) (Yogyakarta : Sinar Grafika : 2001) hal. 61

(27)

1) Wahbah al-Zuhaily, Perkawinan adalah “Akad yang telah

ditetapkan oleh syari’ agar seorang laki-laki dapat mengambil mamfaat untuk melakukan istimta’ dengan seorang wanita atau

sebaliknya”.

2) Hanafiah “nikah adalah akad yang memberi faedah untuk

melakukan mut’ah secara sengaja”.

3) Menurut Hanabilah, “Nikah adalah akad yang menggunakan lafadz inkah yang bermakna tajwiz dengan maksud mengambil mamfaat untuk bersenang-senang”.

4) Menurut Al-Malibari, “perkawinan adalah sebagai akad yang mengandung kebolehan (ibahat) melakukan persetubuhan yang

menggunakan kata nikah atau tazwij”.5

Perkawinan pada dasarnya hukumnya sunnah, sesuai firman Allah swt. QS Al-Nisa/4: 3 sebagai berikut:





































































































Terjemahnya:

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak yatim, maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat orang, dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil, cukup satu orang.”6

5

Amiur Nuruddin Dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Indonesia (Jakarta : Kencana), h. 38-41

6

Kementrian Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahannya (Bandung: CV Penerbit J-ART, 2014), h. 77.

(28)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah swt. memerintahkan kepada manusia untuk melangsungkan perkawinan dengan berbagai pilihan sehingga tuntutan tersebut tidak bersifat keharusan, karena adanya kebolehan untuk beristri beberapa istri namun harus memiliki sifat adil. Adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. Para ahli fikih menyatakan hukum pernikahan itu ada lima yaitu, wajib, sunnah, makruh dan mubah:7

a) Wajib

Nikah menjadi wajib bagi setiap yang mampu, baik dari hal seksual maupun ekonomi, dan juga tidak takut terjerumus kepada hal-hal yang diharamkan Allah swt.

b) Sunnah

Sunnah bagi setiap orang yang memiliki kemampuan ekonomi dan kesehatan badan, mera aman dari kekejian yang diharamkan Allah swt. dan tidak takut akan berbuat buruk terhadap wanita yang dinikahinya.

c) Haram

Pernikahan dapat dikatakan jika seseorang mengetahui bahwa dirinya tak mampu melakukan aktifitas seks, memberi

7Adil Abdul Mun’im Abu Abbas,

ketika menikah jadi pilihan (Cet. II; Jakarta: Almahira, 2008), h. 23.

(29)

nafkah, atau kewajiban nikah lainnya. Karena pernikahan tersebut mengandung bahaya bagi wanita.

d) Makruh

Bagi seseorang yang mampu menikah tetapi di a khawatir akan menyakiti wanita yang dinikahinya atau menzalimi hak-hak isteri. Pernikahan tersebut dapat dikatakan makruh

e) Mubah

Pernikahan menjadi mubah jika tidak mealakukannya. Pendapat ini dianut olrh imam asy-syafi’I, dia mengatakan

“sesungguhnya hukum pernikahan itu mubah, karena ia merupakan

salah satu bentuk perumusan kenikmatan dan syahwat sehingga ia

tidak berbeda halnya dengan makan dan minum”. Oleh karena itu,

pelaksanaannya tergantung pada kondisi pribadi dan mental masin-masing orang.

c. Perkawinan menurut Adat

Menurut Hukum Adat, perkawinan adalah dapat diartikan

sebagai “perikatan perdata”, disebut juga “perikatan adat” yang

dimana diartikan sebagai hubungan kekerabatan dan hubungan kekeluargaan. Jadi dalam hukum adat bukan hanya hubungan perkawinan yang dikandung tetapi terdapat banyak hal yang patut

diketahui antara lain “hubungan keperdataan serperti hak dan

(30)

kewajiban orang tua, kewarisan, kekeluargaan dan ketetanggaan, dan

keagamaan”.

Ter Haar menyatakan bahwa perkawinan itu adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan martabat dan urusan pribadi, dan begitu pula ia menyangkut urusan agama.

Dalam hukum adat tidak diatur dalam Undang-Undang no. 1 tahun 1974 tentang tata cara perkawinan adat. Dalam arti perkawinan adat memiliki selera dan nilai-nilai budaya dalam masyarakat yang bersangkutan, asal saja tidak bertentangan dengan kepentingan umum, Pancasila, dan UUD 1945. 8

3. Tujuan dan Asas-Asas Perkawinan

Menurut Agama Islam, tujuan perkawinan ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangkah mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan keawajiban anggota keluarga, sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin.

Imam Al-Ghazali dalam Ihyanya tentang faedah melangsungkan perkawinan, maka tujuan perkawinan dikembangkan menjadi lima, yaitu:

a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan

b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya.

8

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundang, Hukum Adat, Hukum Agama ( Bandung : Mandar Maju : 2007) hal.8-10

(31)

c. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.

d. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tenteram atas dasar cinta dan kasih sayang.9

Pasal 1 undang-undang no. 1 tahun 1974 menjelaskan tentang tujuan suatu perkawinan, perkawinan bertujuan untuk “membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

yang Maha Esa”. Oleh karena itu sebagai suami isteri harus bisa saling

menerima dan melengkapi satu sama lain untuk menggapai tujuan perkawinan tersebut.

Setiap orang yang melakukan perkawinan pasti memiliki satu tujuan ataupun cita-cita yang sangat mulia yang ingin melanjutkan keturunannya, oleh karenanya pasangan suami-isteri tersebut pasti memiliki hak dan kewajibannya terhadap anaknya.10

Adapun prinsip-prinsip yang di kemukakan oleh Prof. Hilman Hadikusuma, S.H. dalam bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Keluarga. Dalam buku ini menjelaskan tentang prinsip-prinsip perkawinan antara lain, yaitu:

a. Untuk membentuk keluarga yang berbahagia dan kekal.

9Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat ( Jakarta Timur : Prenada Media 2003), hal 22-24

10Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundang, Hukum Adat, Hukum Agama ( Bandung : Mandar Maju : 2007)hal. 21

(32)

b. Suatu perkawinan sah apabila dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.

c. Undang-undang menganut asas mogogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari satu orang.

d. Undang-undang menganut prinsip bahwa calon suami istri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa barakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur. Berhubungan dengan itu maka undang-undang menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 (Sembilan belas) tahun bagi laki-laki dan 16 (enam belas) tahun bagi perampuan.

e. Undang-undang menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan. f. Hak dan kedudukan suami istri.11

Ada beberapa prinsip perkawinan menurut agama Islam yang perlu diperhatikan agar perkawinan itu benar-benar melaksanakan

11

(33)

tugasnya mengabdi kepada Allah swt. adapun prinsip-prinsip perkawinan dalam Islam adalah sebagai berikut:

a) Memenuhi dan melaksanakan perintah agama.

Sebagai mana telah dijelaskan bahwa perkawinan adalah Sunnah Nabi saw. itu berarti bahwa melaksanakan perkawinan itu pada hakikatnya merupakan pelaksanaan ajaran dari agama.

b) Kerelaan dan persetujuan

Sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang hendak melangsungkan perkawinan itu ialah ikhtiyar (tidak dipaksa).

c) Perkawinan untuk selamanya

Tujuan perkawinan antara lain untuk dapat keturunan dan untuk ketenangan, ketentraman dan cinta serta kasih sayang. Kesemuanya ini dapat dicapai hanya dengan prinsip bahwa perkawinan untuk selamanya, bukan hanya untuk waktu tertentu saja.

d) Suami sebagai penanggung jawab umum dalam rumah tangga

Dalam Islam, tidak selamanya wanita dan pria mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Adakala wanita lebih besar hak dan kewajibannya dari pada pria dan adakalanya pria lebih besar hak dan kewajibannya.12

12

Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat ( Jakarta Timur : Prenada Media 2003), hal. 32-43

(34)

4. Rukun dan Syarat-syarat Perkawinan

Pada dasarnya setiap perkawinan yang dilaksanakan antara laki-laki dan wanita harus memenuhi beberapa syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh undang-undang.

Adapun “syarat-syarat perkawinan yang tercantung pada pasal 6 undang-undang no. 1 tahun 1974”, ialah :

a. Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua belah calon mempelai.

b. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

c. Dalam hal seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

d. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyetakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

(35)

e. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebutkan dalam ayat 2, 3, dan 4 pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat 2, 3, dan 4 pasal ini.

f. Ketentuan tersebut ayat 1 sampai ayat 5 pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan.

Begitu pula menurut undang-undang no. 1 tahun 1974 pasal 7 menjelaskan bahwa:

a. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

b. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang dittunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

c. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat 3 dan 4 undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat 2 pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud pasal 6 ayat 6.13

(36)

Dalam buku Salim HS menjelaskan tentang syarat-syarat perkawinan yang dimaksud dalam pasal 6 dan 7 dalam undang-undang no. 1 tahun 1974 terbagi atas dua yaitu syarat intern dan syarat ekstern. Syarat intern ialah sebagai berikut :

a. Persetujuan kedua belah pihak;

b. Izin dari kedua orang tua apabila belum mencapai umur 21 tahun; c. Pria berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun;

d. Kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin;

e. Wanita yang kawin untuk kedua kalinya harus lewat masa tunggu

(iddah). “Bagi wanita yang putus perkawinannya karena perceraian

masa iddahnya 90 hari dan karena kematian 130 hari”. Sedangkan syarat ekstern ialah sebagi berikut:

a. Harus mengajukan laporan ke Pegawai Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk,

b. Pengumuman yang ditandatangani oleh Pengawai Pencatat yaitu (1) Nama, unsur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon. Di samping itu, disebutkan juga nama istri atau suami yang terdahulu (2) Hari, tanggal, jam, dan tempat perkawinan dilangsungkan.14

14Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) (Yogyakarta : Sinar Grafika : 2001) hal. 62-63.

(37)

B. Perkawinan dibawah Umur

1. Sekilas tentang Perkawinan dibawah Umur

Perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang dilakukan sebelum mencapai usia sebagaimana yang yang terkandung dalam pasal 15 Kompilasi

Hukum Islam (KHI) mengatakan bahwa “untuk kemaslahatan keluarga dan rumah

tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah berusia yang telah ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang no. 1 tahun 1974 bahwa calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun sedangkan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”. Perkawinan yang dilakukan sebelum mencapai usia tersebut dikategorikan sebagai perkawinan di bawah umur.15

Bagi pasangan yang ingin melangsungkan perkawinan tersebut dan telah memperoleh izin dari orang tua maka disyaratkan untuk mengajukan permohonan dispensasi nikah ke Pengadilan Agama setempat, tanpa surat dispensasi dari pengadilan maka KUA tidak berkewajiban untuk menikahkan pasangan tersebut, sebagaimana dalam Firman Allah swt. QS al-Nisa/4: 6:





































































































15Rahmawati HL, “Studi Kasus Perkawinan di bawah Umur”, al daulah 5, no. 1 (2016) h. 6.

(38)























































Terjemahnya:

“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu memakan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan janganlah kamu tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (diantara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabilah kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas (atas persaksian itu).”16

Perkawinan di bawah umur tidak dianjurkan mengingat mereka dianggap belum memilki kemampuan untuk mengelolah harta (rusyd). Selain itu mereka juga belum membutuhkan perkawinan, karena dikhawatirkan tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajiban yang harus dipikul dalam kehidupan sebagai suami istri terutama dalam pengelolaan keuangan rumah tangga. Sedangkan bagi anak perempuan yang masih muda yang sudah janda baik karena bercerai maupun ditinggal mati suaminya, maka wali anak tersebut tidak boleh mengawinkannya kembali demikian pula bagi anak laki-laki sebelum ia baligh.

Maka secara tidak langsung Al Qur’an dan Hadis mengakui bahwa

kedewasaan sangat penting dalam perkawinan. Usia dalam ilmu fiqh ditentukan dengan tanda-tanda yang bersifat jasmani yaitu adanya tanda baligh yaitu

16Kemenrian Agama RI. Al-Quran dan Terjemahannya (Solo: Tiga Serangkai : 2014), h. 78

(39)

sempurnanya umur 15 tahun bagi laki-laki dan haid pada wanita minimal pada umur 9 tahun. Namun para Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan batasan

umur bagi orang yang dianggap baligh. Ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah mengatakan bahwa: “anak laki-laki dan anak perempuan dianggap baligh apabila

telah menginjak usia 15 tahun.” Pendapat ini dikatakan oleh Ulama Syafi’iyyah, sedangkan Ulama Hanabilah mengatakan bahwa “anak laki-laki dianggap baligh

apabila berusia 18 tahun dan 17 tahun bagi anak perempuan”.

Dengan demikian untuk melangsungkan perkawinan cukup sudah mencapai umur yang baligh. Dalam usia ini anak cenderung ingin membangun suatu rumah tangga, untuk menjadi suami sekaligus ayah dari anak-anaknya. Jadi apabilah anak sudah baligh dan sudah ingin menikah maka dapat diberikan kebesan untuk menikah.

Begitupun para ulama membolehkan wali untuk mengawinkan anaknya yang masih di bawah umur ini pada umumnya berlandaskan pada riwayat Abu Bakar ra. mengawinkan anaknya Sitti ‘Aisyah ra. dengan Nabi Muhammad saw.

Nabi Muhammad saw. menikahi Sitti Aisyah pada umur enam tahun tetapi beliau tidak langsung menggauli istrinya, maka Rasulullah menunggu Sitti Aisyah sampai berumur Sembilan tahun. Hadis tersebut sebagai berikut :

اَنَ ثَدَحَو

َ بْخَأ َيََْيَ ُنَب َيََْيَ

َأَنََر

وُب

ِماَشِه ْنَعَةَيِواَعُم

ِنْب

َةَوْرُع

َدَح ُهَل ُظْفَللاو ْيَُْنُ ُنْبااَنَ ثَدَحَو

َدْبَع اَنَ ث

ُة

اَوُه

ُنْب

َناَمْيَلَس

ْنَع ِهْيِبَأ ْنَع ماَشِه ْنَع

اَق َةَشِع اَع

ُِبَنلا ِنَِجوَزَ ت ْتَل

ُتْنِب َنَ َ أَو َملَس َ و ِهْيَلَع َُللَا ىلص

َْيِْنِس َعْسِت ُتْنِب َنَ َأَو ِبِ َنََ ب َ و َْيِْنِس تِس

Artinya :

(40)

“Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya telah mengabarkan kepada kami Abu Mu’awiyah dari Hisyam bin ‘Urwan dan di riwayatkan

dari jalur lain, telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair sedangkan

Lafadznya dari dia, telah menceritakan kepada kami ‘Abdah yaitu Sulaiman dari Hisyam dari Ayahnya dari Aisyah r.a dia berkata,” Nabi SAW.

menikahiku ketika saya berumur 6 tahun, dan beliau memboyongku

(membina rumah tangga denganku) ketika saya berumur 9 tahun”.17

Abu Bakar ra. telah mengawinkan ‘Aisyah dengan Rasulullah saw.

Sewaktu masih anak-anak tanpa persetujuannya terlebih dahulu. Karena pada umur tersebut persetujuannya tidak dapat dianggap sempurna. Namun mengenai

perkawinan ‘Aisyah ra. dengan Nabi Muhammad saw. sebagian ulama

berpendapat bahwa hal tersebut merupakan pengecualian bagi Rasulullah saw. sendiri sebagaimana Rasulullah saw. dibolehkan beristri lebih dari empat orang yang tidak boleh diikuti oleh umatnya.

Pendapat lain juga menyatakan bahwa perkawinan Rasulullah saw.

dengan ‘Aisyah ra. lebih bermotif dakwah dan memberikan kebebasan bagi Abu

Bakar ra. memasuki rumah tangga Rasulullah saw.18

Sesuai Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karenanya para pihak tersebut harus memahami ataupun menjunjung tinggi segala konsekuensi ataupun akibat dalam hubungan perkawinan di bawah umur.

17

Abu Husain an-Nisabury al-Hafidz Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Quraisy, Shahih Muslim, al-Minhaj fiSyarh Sahih Muslim bin Hajjaj, Juz 9 (Beirut: Daral-Fikr,1981), h. 208.

18

Hakam Abbas, Batas Umur Pernikahan Menurut Hukum Islam, bogspot.com, 9 Februari 2014. http://hakamabbas.blogspot.com/2014/02/batas-umur-perkawinan-menurut-hukum.html

(41)

2. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Pernikahan di Bawah Umur

Seiring perkembangan waktu perkawinan di bawah umur semakin banyak terjadi di kalangan masyarakat, terutama masyarakat yang ada di Desa maupun masyarakat kota. Kejadian tersebut disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya faktor internal dan faktor eksternal.

a. Faktor internal

Faktor yang mempengaruhi perkawinan di bawah umur dapat berasal dari internal yakni faktor yang berasal dari dalam individu itu sendiri. Keinginan anak tersebut memilih menikah atas keinginin sendiri karena telah siap mental dalam menghadapi kehidupan berumah tangga. Pasangan tersebut biasanya dikarenakan karna adanya perasaan saling mencintai dan sudah merasa cocok. Oleh karena itu akhirnya membuat keputusan untuk melangsungkan perkawinan meski masih memiliki usia yang terbilang sangat muda tanpa memikirkan akibatnya.

Selain keinginan diri sendiri masih ada faktor yang mempengaruhi anak melakukan perkawinan di bawah umur yakni karna adanya keinginan orang tua. Orang tua memiliki posisi yang paling tinggi dibandingkan sehingga sangat dihormati, ditaati, dan dipatuhi. Ada beberapa alasan orang tua ingin segera menikahkan anaknya diantara adanya rasa takut jika suatu saat anaknya melakukan sesuatu yang membuat malu nama baik orang tua dan orang tua merasa khawatir anaknya akan melakukan hal yang dapat menimbulkan aib karena anaknya berpacaran dengan laki-laki.

(42)

b. Fakor Eksternal

Berdasarkan pengamatan dalam kehidupan masyarakat, maka timbullah faktor eksternal yang menyebabkan terjadinya perkawinan di bawah umur, antara lain :

a. Faktor Ekonomi

Minimnya ekonomi keluarga menyebabkan orang tua menikahkan anaknya di usia muda, daripada menyekolahkan anaknya dijenjang yang lebih tinggi. Orang tua yang memiliki banyak anak cenderung lebih banyak mengalami kesulitan dalam hal ekonomi (keuangan) disbanding mereka yang memiliki sedikit anak.

Biasanya orang tua menikahkan anaknya di usia muda memiliki keterbatasan dalam hal keuangan sehingga orang tua menikahkan anaknya dengan tujuan mengurangi tanggungan orang tua karen kehidupan anaknya mendapatkan kehidupan yang layak.

b. Faktor sosial (hamil diluar nikah)

Banyak anak-anak yang hamil diluar nikah diakibatkan pergaulan budaya bebas yang mereka dapatkan melalui vitur-vitur internet sehingga membuat mereka ingin mencobanya. Pengaruh internet seringkali memuat situs porno atau menampilkan pornografi.

Salah satu faktor terjadinya pergaulan bebas karena kurangnya perhatian orang tua, karena banyak orang tua yang memperlihatkan anaknya pertengkaran antara seorang ibu dan bapak sehingga anak tersebut tidak mampu memikul beban yang terjadi dalam keluarganya.

(43)

c. Faktor pendidikan

Faktor putusnya sekolah yang disebabkan kurangnya tingkat pendidikan masyarakat. Putus sekolah biasanya disebabkan karena ekonomi keluarganya yang kurang baik dan juga pengaruh dari lingkungannya, serta keinginan tersebut untuk tidak bersekolah. Bahkan mereka mengatakan lebih baik bekerja yang dapat menghasilkan uang daripada sekolah yang belum tentu berhasil dan malah mengahabiskan orang tua.

d. Faktor biologis

Faktor biologis ini muncul salah satunya karena faktor media massa dan internet diatas, dengan mudahnya akses informasi tadi, anak-anak jadi mengetauhi hal yang belum seharusnya mereka tahu di usianya. Maka terjadilah hubungan diluar nikah yang biasanya menjadi hamil di luar nikah. Maka mau tidak mau orang tua harus menikahkan anak gadisnya.19

Adapun sebab-sebab utama dari perkawinan di bawah umur menurut RT. Akhmad jayadiningrat, adalah:

a. Keinginan untuk segera mendapatkan tambahan anggota keluarga, tidak adanya pengertian mengenai akibat buruknya perkawinan di bawah umur, baik bagi mempelai itu sendiri maupun keturunannya.

19Zulfiani,“Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Anak di Bawah Umur Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974”, Jurnal Hukum Samudra Keadilan 12, no.2 (2017): h. 7-8

(44)

b. Banyak orang yang tidak mau menyimpang dari ketentuan adat. Kebanyakan orang desa mengatakan bahwa mereka itu mengawinkan anaknya begitu muda hanya karena mengikuti adat kebiasaan saja.20

3. Problematika Perkawinan di Bawah Umur

Pernikahan tidak selalu membawa kebahagiaan apalagi jika pernikahan tersebut dilangsungkan pada usia yang sangat muda. Bagi mereka yang tidak merasa bahagia akan selalu terjadinya pertengkaran bahkan bisa terjadi perceraian. Hal itu akan merugikan kedua belah pihak dan juga masing-masing pihak keluarga, sehingga akan merugikan keharmonisan dengan keluarga masing-masing.

Perkawinan di bawah umur mengesankan bahwa calon suami terlalu terburu-buru untuk melangsungkan perkawinan. Kedua calon mempelai tidak memperhatikan kesiapan fisik dan psikis ataupun modal untuk berumah tangga. Maka dapat menimbulkan dampak dan resiko karena melangsungkan perkawinan di bawah umur, antara lain sebagai berikut :

a. Segi fisik

Dilihat dari segi fisik, pelaku pria belum cukup mampu dibebani suatu pekerjaan yang memerlukan keterampilan fisik untuk memperoleh penghasilan dan mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya. Karena faktor ekonomi merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga. Sedangkan perilaku wanita akan

20Siskawati Thaib, “Perkawinan di Bawah Umur (Ditinjau dari Hukium Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974)”, Lex Privatum 5, no. 9 (2017): h. 6.

(45)

dihadapkan pada pekerjaan rumah tangga yang tentu saja menguras tenaga terutama jika sudah memiliki anak.

b. Segi mental

Pada umumnya, pelaku belum siap untuk bertanggung jawab secara moral pada setiap tanggung jawab. Karena dalam hal mental anak-anak yang belum cukup umur untuk melakukan perkawinan dapat dikatakan masih memiliki mental yang labil dan belum matang untuk berumah tangga.

c. Segi kesehatan

Pasangan yang melakukan perkawinan di bawah umur sangat rentan dan beresiko yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi seperti kematian ibu maupun kematian bayi serta rendanhya derajat kesehatan ibu dan anak dalam proses melahirkan. Wanita di bawah umur tidak masuk dalam usia ideal hamil dan melahirkan melainkan sangat beresiko.

d. Segi kelangsungan rumah tangga

Kedewasaan yang kurang matang, labilnya emosional serta tingginya tingkat kemandirian yang rendah dapat menyebabkan peluang perceraian dalam rumah tangga sangat tinggi. Missal dalam memecahkan masalah yang terjadi dalam rumah tangga dapat berakhir dengan perceraian karena kedewasaan masing-masing belum matang sehingga belum mampu memecahkan masalah tersebut.

e. Segi pendidikan

Semakin muda usia menikah maka semakin rendah pendidikan yang dicapai oleh seorang anak. Perkawinan di bawah umur sering kali

(46)

menyebabkan anak tersebut tidak bersekolah lagi karena ia mempuyai tanggung jawab baru yaitu sebagai istri dan calon ibu atau kepala keluarga dan calon bapak dan akan lebih berperan untuk mengurus rumah tangga maupun akan menjadi tulang punggung keluarga dan kewajiban untuk mencari nafkah.

Dari berbagai penelitian didapatkan bahwa terdapat korelasi antara tingkat pendidikan dan usia saat menikah, semakin tinggi usia anak saat menikah maka pendidikan anak relative lebih tinggi dan demikian pula sebaliknya. Pernikahan di usia dini menurut penilitian UNICEF tahun 2006 tampaknya berhubungan dengan tingkat pendidikan yang rendah.

f. Segi domestic

Ketidaksetaraan jender merupakan konsekuensi dalam perkawinan dibawah umur. Mempelai anak memiliki kapasitas yang terbatas untuk menyuarakan pendapat, menegosiasi keinginan berhubungan seksual, memakai alat kontrasepsi, dan mengandung anak. Demikian pula dengan aspek domestic lainya. Dominasi pasangan seringkali menyebabkan anak rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Misalnya di India kebanyakan terjadi kekerasan dalam rumah tangga terutama pada perempuan berusia 18 tahun.

Perempuan yang mengalami kekerasan tersebut cenderung tidak melakukan perlawanan. Selain itu, perkawinan dengan pasangan yang terpaut jauh usianya meningkatkan resiko keluarga menjadi tidak lengkap akibat

(47)

perceraian dimana usianya yang masih sangat muda, atau menjanda karena pasangan meninggal dunia.

g. Dampak terhadap suami istri

Menurut norma-norma dalam keluarga inti, suami isteri harus bercinta kasih. Cinta kasih harus dibina secara sadar, terutama dalam perkawinan yang diatur oleh orang tua karena pasangan suami isteri yang memiliki usia yang masih sangat muda baru bertemu muka untuk pertama kalinya dalam proses perkawinannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada pasangan suami isteri yang melangsungkan perkawinan usia muda tidak bisa memenuhi atau tidak mengetahui hak dan kewajibannya sebagai suami isteri. Hal tersebut dikarenakan belum matangnya fisik mental mereka sehingga cenderung memiliki sifat keegoisan yang tinggi.

h. Dampak terhadap keturunan

Pasangan yang telah menikah di usia muda atau di bawah umur akan membawa dampak negatif selain berdampak pada pasangan suami-isteri yang melangsungkan perkawinan di bawah umur dan akan berdampak pada keturunannya. Karena bagi wanita yang melangsukan perkawinan di bawah umur 20 tahun apabila hamil akan mengalami gangguan-gangguan pada kandungannya. Perkawinan di bawah umur tentunya berdampak tersendiri sering perselisihan bisa menyebabkan perceraian terbukti banyak perceraian yang terjadi di kalangan rumah tangga pada usia dini, dan seringkali anak yang sudah lahir sebelum perceraian terjadi. Anak-anak itu kemudian dititipkan untuk sementara waktu ataupun untuk selamanya kepada nenek dan

Referensi

Dokumen terkait

This paper aims are to record and identify structure system of Toraja, Minang and Batak Toba houses, especially on roof system in attempts to preserve the

The objective of the research was to know whether there was a correlation between students’ vocabulary mastery and their translation ability at the first semester of eleventh grade

Pelaksanaan Tindakan , pada tahap ini guru menerapkan langkah ilmiah/pendekatan saintifik dan langkah discovery learning , yaitu: (1) guru membuka pelajaran dengan salam,

Hal ini menujukan bahwa pengaruh variabel independen (konsumsi, produksi, harga domesti, harga internasional, nilai tukar) terhadap variabel dependen (impor buah

“Ada metode yang digunakan dalam menanamkan kedisiplinan shalat dhuha pada anak hiperaktif yaitu pertama, pembiasaan, pada langkah ini sekolah memberikan

Indikator secara kualitatif meliputi; proses pembelajaran dengan model Problem based learning dikatakan berhasil jika sebagian siswa menunjukkan keaktifan di kelas,

Untuk mendapatkan makna secara keseluruhan digunakan teori semiotik yang meliputi pembacaan heuristik dan retroaktif atau hermeneutik sehingga didapatkan nilai

Penuntut umum telah mengajukan keberatan atas disumpahnya kedua saksi tersebut karena bertentangan dengan pasal 168 dan 169 KUHAP, namun hakim tetap