• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemitraan Pemerintah dan Masyarakat Lokal dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Pantai Utara Kota Surabaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kemitraan Pemerintah dan Masyarakat Lokal dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Pantai Utara Kota Surabaya"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

147

KEMITRAAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT LOKAL DALAM PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI PANTAI UTARA KOTA

SURABAYA

Jose Maria Da Conceicao Freitas

(Program Magister Ilmu Administrasi Universitas Dr. Soetomo Surabaya email: josemaria@yahoo.com)

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan kemitraan antara pemerintah Kota Surabaya dengan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan mangrove di Pantai Utara Kota Surabaya. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa kemitraan antara pemerintah Kota Surabaya dengan masyarakat lokal (pendekatan co-management) memberikan nilai posistif dalam pengelolaan hutan mangrove. Masyarakat yang mendapatkan manfaat dari hutan mangrove tersebut ikut serta dalam menetapkan keputusan dalam pengelolaan yang mempengaruhi kesejahteraan mereka, sedangkan pemerintah menerima manfaat dari berkurangnya kewajiban mengelola. Selain itu pendekatan co-management juga dapat meningkatkan rasa memiliki dalam masyarakat, sehingga ada kemauan sendiri untuk memelihara hutan mangrove. Namun dalam hal ini, beberapa tindak lanjut yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya antara lain: Pemerintah Kota Surabaya perlu membagi kewenangan masing-masing yang jelas berdasarkan aturan formal, pemerintah memberdayakan masyarakat setempat terkait dengan pengelolaan hutan mangrove, serta perlu dibentuk sebuah lembaga yang berwenang dalam pengelolaan sumber daya berupa tanaman pelindung pantai sebagai mitra kolaborasi pemerintah Kota Surabaya yang dapat mewakili masing-masing kepentingan (pengelolaan hutan mangrove) dan diakui oleh masyarakat.

(2)

PARTNERSHIP BETWEEN GOVERNMENT AND LOCAL COMMUNITY ON MANGROVE FOREST MANAGEMENT IN THE NORTH COAST CITY

OF SURABAYA

ABSTRACT

The purpose of this study was to determine and describe the partnership between of Surabaya government with local communities on mangrove forests management in the North Coast Surabaya. This research is conducted by qualitative descriptive method. Based on the research results, it is known that the partnership between the government of Surabaya with the local community (co-management approach) provide positive value on the mangrove forests management. People who benefit from the mangrove forest participate in determining management decisions that affect their well-being, while the government got benefits from reduced liability manage. In addition, co-management approach could increase the sense of belonging in the community, so there was a will of its own to preserve mangrove. But in this case, several steps that needs to be done by local government, among others: local government divided each authority were clearly based on formal rules; local government empower local communities associated with mangrove forest management, as well as set up an authorized institution in the management of resources such as beach protection as partners with Surabaya government on collaboration who could represent their respective interests (mangrove forest management) and recognized by the community.

Keyword: partnership, government, local community, mangrove forest

PENDAHULUAN

Pihak yang memiliki wewenang khusus mengenai hutan di Indonesia yaitu Badan Umum Milik Negara (BUMN) yang disebut Perum Perhutani atau disebut juga dengan Perusahaan Umum Kehutanan Negara. Perhutani yang diberi tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan kegiatan pengelolaan hutan negara. Di setiap pulau di Indonesia memiliki hutan sebagai tempat perlindungan dari bencana alam, salah satunya di pulau Jawa. Di Pulau Jawa perhutani terbagi di provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten. Pengelolaan sumber daya hutan di pulau Jawa dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat desa sekitar hutan, secara kelompok dan

(3)

kelembagaan. Sesuai dengan visi dan misi perusahaan serta paradigma baru pengelolaan (Budiadi, 2012).

Sebagai negara yang kaya akan keanekaragaman jenis hayati; Indonesia memiliki berbagai jenis vegetasi yang beberapa diantaranya membentuk kawasan hutan yang spesifik. Salah satunya adalah hutan mangrove. Luas hutan mangrove menurut Departemen Kehutanan dan Perkebunan dalam Majalah Kehutanan Indonesia edisi -4/III/2000 disebutkan tinggal 8,5 juta hektar, yang terdiri dari 3,7 juta hektar dalam kawasan hutan dan 4,8 juta hektar diluar kawasan hutan. Dari luasan tersebut 6,3 juta hektar atau 74% sudah dalam keadaan rusak, dinyatakan oleh Menkimpraswil (1998) bahwa luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari 5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993), telah terjadi penurunan hutan mangrove + 50% dari total luasan semula. Sementara itu, kebutuhan antar sektor pembangunan juga mendesak keberadaan tipe hutan ini seperti perikanan tambak, pertanian tanaman pangan, pemukiman dan peruntukan lainnya. Perubahan fungsi lahan secara besar-besaran tersebut memberikan dampak negatif pada wilayah pantai, antara lain: abrasi, intrusi, pencemaran lingkungan pada daerah pesisir Kortodiharjo, 2008).

Sebagai salah satu kota yang memiliki kawasan hutan mangrove maka Pemerintahan kota Surabaya juga harus mereformulasi kebijakan ekologis kota yang selama ini tampak tidak memperhatikan pelestarian dan fungsi lingkungan. Terjadinya konversi atau perubahan fungsi Hutan Mangrove pada kawasan sempadan pantai di Kota Surabaya terkait erat dengan beberapa aspek seperti penyusunan rencana Hutan Mangrove yang kurang melibatkan masyarakat kota, status pemilikan lahan yang sebagian besar milik masyarakat, kurangnya sosialisasi rencana Hutan Mangrove kawasan pantai serta lemahnya pengawasan pemanfaatan ruang oleh Pemerintah Kota terutama dalam bentuk pemberlakuan kebijakan insenti dan disinsentif bagi masyarakat yang lahannya terkena kawasan konservasi.

Beberapa dampak dari adanya konversi hutan mangrove ini adalah tumbuhnya pemukiman kumuh. Hal ini menyebabkan timbulnya berbagai masalah lain seperti, abrasi dan penyusutan hutan bakau; pencemaran lingkungan pantai oleh limbah domestik; semakin berkurangnya ruang terbuka publik untuk aktifitas olahraga, berinteraksi sosial antar warga, permainan anak-anak, dan aktifitas sosial lainnya. Namun, berrbagai pendekatan pengelolaan lingkungan yang telah dilakukan cenderung tidak merespon perubahan kondisi sosial politik yang ada. Hal ini karena pengelolaan lingkungan di Indonesia masih

(4)

menggunakan dua pendekatan yang masing-masing mempunyai kelemahan yaitu, state-based dan community-based.

Beberapa kelemahan dari kedua pendekatan tersebut adalah adanya fakta bahwa pola top down dalam pendekatan state-based tidak mampu menggerakkan inisiatif dan partisipasi komunitas. Lebih jauh, pendekatan state-based juga dikritik tidak akomodatif pada kearifan dan kultur masyarakat lokal. Pendekatan ini cenderung menekankan pada cara-cara akademik formal dalam merespon persoalan lingkungan, kurang menekankan pada kapasitas komunitas dan stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan lingkungan (Sudharto,20001;Hammel,1996;Mitchell,2000). Sedangkan, pendekatan community-based juga mempunyai kelemahan karena pendekatan cenderung mengesampingkan peran pemerintah. Pengalaman dengan banyak pendekatan community-based menunjukkan bahwa pendekatan ini tidak selalu dapat mengembangkan pengelolaan lingkungan dalam jangka panjang dan berskala luas (Lee,1994).

Oleh karena itu, pengelolaan hutan mangrove di Pantai Utara kota Surabaya memerlukan perhatian khusus dari pemerintah kota Surabaya dengan melibatkan peran masyarakat lokal. Hal ini bertujuan agar pengelolan hutan mangrove tersebut tepat sasasaran dan berdaya guna bagi kedua belah pihak. Dalam hal ini, kemitraan antara pemerintah dan masyarakat lokal ini dapat dilakukan dengan cara pendekatan co-management. Pendekatan ini dapat menutupi kelemahan-kelemahan dalam pada pendekatan state-based dan community-based. Pengelolaan hutan mangrove yang diambil alih oleh pemerintah kota Surabaya secara mandiri pada kenyataannya mengakibatkan beberapa efek yang kurang menguntungkan bagi lingkungan sekitar. Sehingga, pemerintah kota Surabaya perlu betmitra dengan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan mangrove tersebut. Masyarakat lokal akan dilibatkan dalam setiap tahapan pembangunan yaitu perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian. Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah kemitraan antara masyarakat dan pemerintah dalam pengelolaan Hutan Mangrove di Pantai Utara Kota Surabaya?” Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan kemitraan antara masyarakat dan pemerintah dalam pengelolaan Hutan Mangrove di Pantai Utara Kota Surabaya.

LANDASAN TEORETIS Hutan Mangrove

(5)

Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000). Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga: Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2000).

Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove.

Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis spesies mangrove (Hutching and Saenger, 1987 dalam Idawaty, 1999). Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1967 dalam Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah.

Pendekatan State Based

Pendekatan state-based merupakan komitmen pemerintah terhadap partisipasi masyarakat sangat terbatas yang ditunjukkan dengan rendahnya alokasi

(6)

budget yang digunakan untuk menggerakkan partisipasi masyarakat dalam hal ini tanggung jawab untuk membentuk partisipasi masyarakat seringkali dibebankan secara tumpang tindih, sehingga akan memperlemah fisibilitas dan efektifitas upaya suatu badan pemerintah (Gilbert dan Ward,1984). Van Meter dan Van Horn (Abdul Wahab, 1997), memandang implementasi kebijakan sebagai those actions by publik or provide individuals (or group) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decision (tindakan-tindakan yang oleh individu–individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan). Selain Van Meter dan Van Horn, model top-down dikemukakan juga oleh Mazmanian dan Sabatier (dalamHamel, 1996) kedua tokoh ini meninjau implementasi dari kerangka analisisnya. Model top-down yang dikemukakan oleh kedua ahli ini dikenal dan dianggap sebagai salah satu model top-down paling maju, Karena keduanya telah mencoba mensintesiskan ide–ide dari pencetus teori model top-down dan bottom-up menjadi enam kondisi bagi implementasi yang baik, yaitu:

a. Standar evaluasi dan sumber yang legal

b. Teori kausal yang memadai, sehingga menjamin bahwa kebijakan memiliki teori yang akurat bagaimana melakukan perubahan

c. Integrasi organisasi pelaksana, guna mengupayakan kepatuhan bagi pelaksana kebijakan dan kelompok sasaran

d. Para implementator mempunyai komitmen dan keterampilan dalam menerapkan kebebasan yang dimilikinya guna mewujudkan tujuan kebijakan

e. Dukungan dari kelompok–kelompok kepentingan dan kekuatan dalam hal ini legislatif dan eksekutif

f. Perubahan kondisi sosial ekonomi yang tidak menghilangkan dukungan kelompok dan kekuasaan, atau memperlemah teori kausal yang mendukung kebijakan tersebut

Pendekatan State-based tersebut juga kurang memberikan kesempatan/ kekuasaan kepada masyarakat untuk memiliki bagaimana mereka harus terlibat, bagaimana sumber daya dialokasikan/ bagaimana keputusan kunci harus dibuat (Gilbert dan Ward,1984), sehingga dalam pelaksanaan seringkali mengalami kegagalan/hambatan yang disebabkan oleh pendekatan yang tidak fleksibel, lemahnya kapasitas kelembagaan, kurang tepatnya design dan implikasi serta kurangnya partisipasi mayarakat (Davidson dan Pelternburg,1993; utomo,1997 dan Slingsby,1986). Strategi yang berdasarkan pada state-based bukan suatu alternatif, terlebih bila ditujukan pada suatu kasus dengan kompleksitas

(7)

permasalahan yang tinggi, maka kurang tepat dan relatif tidak memenuhi sasaran dalam implementasinya (Hamel,1996)

Pendekatan Community Based

Strategi pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat yang secara internasional dikenal sebagai community based mulai populer pada pertengahan 1980-an untuk mereplikasi kesuksesan konservasi lahan milik komunal oleh masyarakat pedesaan (Child, 2005). Di Indonesia, community based mulai berkembang pada akhir 1990-an pada akhir rezim Suharto dengan munculnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Desentralisasi Keuangan (Armitage, 2005). Strategi tersebut diperkenalkan sebagai pendekatan sosial ekonomi, politik, dan lingkungan (Pomeroy, 1996). Child & Lyman (2005) mendefinisikan community based sebagai sebuah proses dimana para landholder memperoleh akses dan menggunakan haknya atas sumber daya alam; perencanaan yang kolaboratif dan transparan dan berpartisipasi dalam pengelolaan sumber daya alam; serta memperoleh keuntungan finansial maupun keuntungan lainnya dari keterlibatan mereka. Landholder dalam pengertian ini, termasuk milik pribadi, swasta, dan komunal. Pengertian tersebut menyiratkan keharusan transfer ekonomi dan politik, sumber daya bernilai tinggi seperti hidupan liar atau kehutanan, dan perubahan dari terpusat menjadi kontrol masyarakat.

Menurut USAID (2009), terdapat tiga prinsip yang mendasari keberhasilan pelaksanaan community based , yaitu: (1) Kepastian atas kepemilikan sumber daya alam; (2) Akses untuk memanfaatkan secara langsung sumber daya alam maupun keuntungan lain atas pemanfaatan sumber daya alam tersebut; dan (3) Pemberian wewenang untuk mengawasi pengelolaan sumber daya tersebut. Prinsip-prinsip tersebut dikembangkan oleh Nhantumbo et al. (2003) menjadi model community based dengan lima pilar utama, yaitu wewenang untuk mengambil keputusan, akses terhadap teknologi, akses terhadap sumber daya, akses terhadap dana, dan kontrol atas sumber daya. Model tersebut dimodifikasi oleh Isyaku, Chindo & Ibrahim (2011) dengan lima pilar community based, yaitu: kolaborasi stakeholders, sistem kepemilikan lahan, dana yang memadai, informasi dan diseminasi, serta penguatan kapasitas.

Pendekatan community-based juga mempunyai kelemahan karena pendekatan cenderung mengesampingkan peran pemerintah. Masyarakat juga bergerak sendiri dalam pengelolaan lingkungan sehingga tidak ada arahan dan pengetahuan teknis yang dibutuhkan yang diberikan dari Pemerintah sehingga dalam pelaksanaan tidak terprogram dengan baik. Pendekatan community-based mengandung arti bahwa komitmen pemerintah terhadap partisipasi masyarakat sangat terbatas yang ditunjukkan dengan rendahnya alokasi budget yang

(8)

digunakan untuk menggerakkan partisipasi masyarakat dalam hal ini tanggung jawab untuk membentuk partisipasi. Menurut Lee (1994), pendekatan community based memiliki beberapa kelemahan, yaitu: (1) Lemahnya institusi lokal, terutama kurangnya mekanisme resolusi konflik; (2) Keterbatasan informasi dan teknologi; dan (3) kurangnya sistem pendukung seperti informasi pasar, peningkatan kapasitas, keahlian teknis, fasilitas kredit dan kebijakakan. Keterbatasan-keterbatasan tersebut, masih menurut Lee (1998) diperlukan lembaga perantara dari luar untuk memberikan dukungan kepada masyarakat dalam memobilisasi sumber daya yang dimiliki dan memperoleh akses sumber daya dari luar sehingga dapat meningkatkan kapasitas untuk meningkatkan kondisi lingkungan dan kehidupan mereka.

Kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat (Co-management)

Kemitraan(Co-management) dalam masyarakat Indonesia merupakan hal yang tidak asing karena dalam kehidupan sehari-hari kita mengenal gotong royong, partisipasi masyarakat dan sebagainya. Dalam manajemen modern baik dalam pengembangan sumberdaya manusia maupun pengembangan kelembagaan kemitraan merupakan salah satu strategi yang biasa ditempuh untuk mendukung keberhasilan implementasi manajemen modern. Kemitraan tidak sekedar diterjemahkan sebagai sebuah kerjasama, akan tetapi memiliki pola strategis dalam mewujudkan keberhasilan suatu Dalam perspektif administrasi publik, Osborne dan Plastrik (Mustopadidjaja, 2003) menjelaskan bahwa proses kerjasama pemerintah dengan pihak swasta dan/atau masyarakat dapat dilakukan dengan menggunakan 2 (dua) metode sebagai berikut:

1. Teknik penalaran strategis dalam penetapan kebijakan melalui pengkajian pilihan-pilihan strategis (prior option review). Metode ini bertujuan untuk menentukan apakah fungsi-fungsi atau jenis-jenis urusan pelayanan umum tertentu yang selama ini dibiayai dan diselenggarakan oleg pemerintah masih diperlukan atau tidak, dan apakah dengan demikian penyelenggaraan pelayanan umum tersebut perlu dipertahankan atau sebaliknya dialihkan saja kepada pihak swasta/masyarakat. Selanjutnya hasil dari Prior Option Review (POR) yaitu model-model kerjasama sebagai berikut:

b. Kebijakan penghapusan c. Swastanisasi

d. Kemitraan

e. Kontrak kerja/karya f. Marketing testing

(9)

2. Teknik analisis barang publik dan barang privat (public and private goods). Model ini memudahkan dalam melakukan penilaian terhadap suatu fungsi pemerintahan atau jenis layanan tertentu, serta menentukan kebijakan model kelembagaan atau pola kerjasama yang terbaik untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan atau jenis layanan tersebut. Dengan teknik analisis ini akan diperoleh gambaran tentang banyak sedikitnya peranan pemerintah terhadap penyelenggaraan fungsi pemerintahan atau jenis layanan tertentu. Semakin kecil intervensi pemerintah dibutuhkan dalam suatu layanan tertentu, maka semakin besar peluang kerjasama/kemitraan antara sektor publik dengan swasta.

Pendekatan Co-management adalah merupakan alternatif yang potensial untuk mengisi kelemahan dari pendekatan State-based dan Community-based dalam pengelolaan hutan mangrove di pesisir pantai utara Surabaya, dimana pendekatan Comanagement didasarkan pada kebersamaan dan kemitraan yang diyakini tepat untuk mengarah pada pembangunan berkelanjutan. Co-management atau pengelolaan bersama merupakan paradigma yang sedang berkembang dengan pesat dalam pengelolaan sumber daya alam dimana hutan mangrove merupakan lahan konservasi yang perlu pengelolaan bersama (kemitraan) antara pemerintah, masyarakat dan stake holder. Co-management juga dinamakan pengelolaan kolaboratif, pengelolaan partisipatif atau pengelolaan berbasis masyarakat. Pengelolaan partisipatif didasarkan pada tiga bagian utama (Wells, et al.,1992): 1. Semua pemangku kepentingan (stakeholder) diberi kesempatan untuk terlibat

aktif dalam pengelolaan. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin komitmen dan partisipasi mereka dan untuk menampung pengetahuan, aspirasi dan pengalaman mereka dalam pengelolaan.

2. Pembagian peran dan tanggung jawab di dalam pengelolaan berbeda-beda tergantung kondisi khusus dari tiap kawasan. Dalam beberapa kasus, kewenangan lebih banyak pada lembaga masyarakat, pada kasus yang lain kewenangan lebih banyak pada instansi pemerintah.

3. Kerangka kerja pengelolaan tidak hanya untuk tujuan ekologis konservasi, melainkan juga mencakup tujuan-tujuan ekonomi, social dan budaya. Perhatian khusus perlu diberikan terhadap kebutuhan mereka yang tergantung terhadap sumberdaya, keseimbangan dan partisipasi.

Manfaat adanya co-management menurut Wiyanto (pada Workshop Pemberdayaan Masyarakat Pasca Proyek, 2004) akan terwujud bila selaras dengan proses dan tujuannya,yaitu:

1. Untuk pengembangan ekonomi dan sosial yang bertumpu pada prakarsa dan kemampuan masyarakat

(10)

2. Untuk mengalihkan kewenangan dalam menetapkan keputusan pengelolaan sumber daya/Hutan Mangrove

3. Sebagai cara untuk mengurangi terjadinya perselisihan melalui keikutsertaan seluruh pihak yang terlibat secara demokratis.

Pemanfaat sumber daya menerima manfaat dengan ikut serta dalam menetapkan keputusan dalam pengelolaan yang mempengaruhi kesejahteraan mereka, sedangkan pemerintah menerima manfaat dari berkurangnya kewenangan. Pemerintah juga akan menetapkan hak dan kewenangan atas hukum yang setara dan mengalihkan sebagian kewenangannya.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan suatu sistem untuk memecahkan suatu persoalan yang terdapat didalam suatu perancanaan penelitian. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran sistematis kondisi aktual tentang pantai mangrove, yang khususnya diarahkan untuk pendekatan kemitraan yang melibatkan Pemerintah, masyarakat dan stakeholder dalam perencanaan dan pengelolaan Hutan Mangrove. Menurut Nazir (2009), metoda penelitian merupakan satu kesatuan sistem dalam penelitian yang terdiri dari prosedur dan teknik yang perlu dilakukan dalam suatu penelitian. Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan, metode penelitian yang dipakai adalah deskriptif kualitatif.

Sumber data yang diperoleh dalam penelitian ini berasal dari data primer dan data sukender. Data primer dalam penelitian antara lain hasil wawancara dengan beberapa nara sumber yaitu seorang nelayan (Bapak Rudi), seorang penduduk setempat (Bapak Romli), Dinas Kuhatanan Dan BAPEDALDA Provinsi Jawa Timur. Sedangkan data sekunder berasal dari dokumen-dokumen mauoun data-data yang mendukung penelitian ini. Fokus dalam penelitian adalah bagaimana kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat lokal (Co-management) dalam pengelolaan Hutan Mangrove di pantai utara kota Surabaya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Pesisir Pantai Utara Surabaya

Status hutan mangrove di sepanjang Pesisir Pantai Utara Surabaya diambang kepunahan. Terancamnya keberadaan mangrove dikarenakan berbagai macam faktor; diantaranya (1) desakan kepentingan pengembangan kawasan industri, (2) pemukiman serta (3) budidaya perikanan payau. Pada wilayah yang menjadi lokasi penelitian ini diketahui bahwa kondisi lahan pesisir pantai sudah

(11)

mengalami konversi lahan yang sangat besar, sehingga perlu penanganan cepat guna menanggulangi rusaknya hutan mangrove. Pemerintah juga belum mengelola wilayah pesisir secara maksimal. Hal tersebut dapat diketahui melalui informasi dari masyarakat sekitar pesisir pantai. Hasil dari wawancara singkat diketahui bahwa mayoritas masyarakat tidak mengetahui adanya peranan pemerintah dalam mengelola pesisir pantai Surabaya. Salah seorang masyarakat Romli menyebutkan bahwa:

“Pemerintah sangat jarang bahkan tidak pernah memberikan kontribusi terhadap pengelolaan di wilayah ini. Semua kegiatan yang ada di pesisir ini adalah kegiatan warga sehari-hari. Tidak ada program khusus dari pemerintah.” (Hasil wawancara, 10 Mei 2014)

Pernyataan tersebut juga dipertegas oleh seorang penduduk nelayan Bapak Rudi yang mengatakan bahwa;

“Mangrove di sini tumbuh dari dulu, tetapi sekarang sudah mulai rusak dan hilang. Tetapi tidak pernah ada kegiatan dari pemerintah yang secara langsung memperbaiki kerusakan mangrove.” (Hasil wawancara, 10 Mei 2014)

Instansi Bapedal provinsi memang telah mengimplementasikan program „Mangrove-visasi‟ di area pantai Tambak Langon dengan menanam pohon bakau, tetapi kegiatan penanaman bakau tersebut kurang optimal serta tidak dilanjutkan dengan kegiatan pengawasan. Hal tersebut menyebabkan tanaman bakau yang tingginya terlalu rendah (± 50 cm) dapat dengan mudah terbawa arus ombak, sehingga kegiatan penanaman dinilai sia-sia dan hanya membuang-buang waktu, tenaga serta biaya. Pencemaran lingkungan akibat kegiatan industri yang tidak mengelola limbahnya secara baik juga menjadi permasalahan pokok di pesisir pantai, karena sebelum ke muara di daerah hulu banyak industri yang membuang limbah di sungai-sungai. Semua permasalahan lingkungan tersebut timbul sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk dan pembangunan. Pertumbuhan penduduk dan pembangunan tersebut telah mengakibatkan kerusakan sumber daya alam baik pesisir maupun laut. Oleh karena itulah dibutuhkan peran serta masyarakat dalam mengelola lingkungan, khususnya lingkungan di wilayah pesisir.

Partisipasi Masyarakat dalam Mengelola Lingkungan

Partisipasi dapat didefinisikan sebagai keterlibatan mental pikiran dan emosi seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut bertanggungjawab kepada usaha yang bersangkutan. Partisipasi merupakan

(12)

cara yang efektif membangun kemampuan masyarakat untuk pengelolaan program pembangunan guna memenuhi kebutuhan. Partisipasi juga didefinisikan sebagai kesediaan untuk membentu keberhasilan setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan sendiri. Dengan demikian partisipasi merupakan keterlibatan seseorang baik mental maupun emosi dan mengarahkan orang-orang agar turut mendukung situasi organisasinya, dalam arti mengembangkan inisiatif dan kreativitasnya dalam mencapai sasaran kelompok, agar manusia bertanggung jawab atas kelompoknya (Haryani, 2001). Partisipasi berarti peran serta seseorang atau kelompok masyarakat dalam proses pembangunan baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan dengan memberi masukan pikiran, tenaga, waktu, keahlian, modal dan atau materi, serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Partisipasi dapat dapat pula diartikan bahwa kelompok mengenal masalah mereka sendiri, mengkaji pilihan mereka, membuat keputusan, dan memecahkan masalahnya (Sutarto, 1991). Melalui definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa partisipasi adalah keterlibatan aktif dari seseorang, atau sekelompok orang (masyarakat) secara sadar untuk berkontribusi secara sukarela dalam program pembangunan dan terlibat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring sampai pada tahap evaluasi.

Partisipasi masyarakat yang dimaksud dalam tulisan ini merupakan tingkat kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan pesisir pantai tanpa ada tekanan dan paksaan dari pihak manapun. Terkait dengan permasalahan lingkungan pantai, masyarakat diharapkan tidak hanya menjadi obyek tetapi juga dapat menjadi subyek dalam program-program pengelolaan lingkungan, sehingga akan tumbuh perasaan memiliki dan dengan sukarela akan menjaga sekaligus mengelola lingkungan dengan baik. Bentuk partisipasi dalam mengelola lingkungan dapat dilakukan mulai dari proses perencanaan hingga operasional mengelola lahan pesisir pantai. Partisipasi masyarakat dalam mengelola lingkungan pesisir merupakan suatu aset sumber daya manusia yang harus dimanfaatkan secara maksimal guna memelihara hutan mangrove.

Kebijakan Dinas Kuhatanan Dan BAPEDALDA Provinsi

Jawa Timur melalui Dinas Kehutanan dan BAPEDALDA Provinsi telah melakukan pengelolaan dan pengawasan Pesisir pantai dengan berbagai upaya agar wilayah Jawa Timur dapat menciptakan perlindungan lahan mangrove sesuai dengan UU No.24/1992. Akan tetapi sejauh ini hutan mangrove disepanjang Pantai Utara Jawa Timur diambang kepunahan. Terancamnya Keberadaan mangrove dikarenakan desakan kepentingan pengembangan kawasan industri, pemukiman dan budidaya perikanan payau. Ketiga hal ini, dipicu oleh belum

(13)

ditetapkannya Rencana Tata Ruang Wilayah Regional Pesisir Pantai Utara Jawa Timur, sehingga banyak dijumpai kasus-kasus perbedaan peruntukkan antar Kabupaten/kota dan antara Pemerintah Kabupaten/kota dengan Pemprov Jatim seperti kasus Teluk Lamong.

Perbedaan penetapan peruntukkan wilayah Pesisir membawa dampak buruk terhadap keberadaan Mangrove. Di Sidoarjo keberadaan mangrove dilindungi oleh Perda 17 Tahun 2003 tentang Kawasan lindung yang menetapkan sepanjang 400 meter pada daerah pasang surut merupakan kawasan lindung, untuk lebih melindungi mangrove dalam Perda ini juga diatur tentang sanksi 5 Juta rupiah bagi penebangan mangrove pada kawasan lindung, dengan kebijakan ini mangrove di Sidoarjo dapat dikatakan relatif terlindungi. Hal ini berbeda dengan hutan mangrove di Wilayah Kota Surabaya yang sebagian besar diubah menjadi kawasan pengembangan real estate dan budidaya perikanan Payau di Pesisir Timur serta pengembangan kawasan industri dan Pergudangan untuk Kawasan Surabaya Utara. Lebih parah lagi di wilayah Gresik dimana sebagian besar hutan mangrovenya telah direklamasi menjadi kawasan pergudangan dan industri. Perbedaan peruntukkan di ketiga wilayah Kabupaten/Kota tersebut membawa dampak buruk terhadap kualitas lingkungan pesisir.

Mengingat besarnya potensi dan ancaman terhadap kelestarian fungsi ekosistem mangrove, Pemprov Jatim telah mengambil dua langkah startegis yaitu: (1) Eksplorasi potensi dan daya dukung ekosistem pesisir khususnya ekosistem mangrove di Pantura Jatim mengingat pentingnya peran ekosistem ini dalam mendukung budidaya perairan payau dan menunjang kualitas lingkungan estuari (kawasan yang terpengaruh oleh sungai dan laut). Di dalamnya termasuk melakukan:

a. Inventarisasi Keanekaragaman hayati flora/fauna pesisir dan Keanekaragaman budaya, kearifan tradisional dan hukum adat,

b. Melakukan studi pemanfaatan dan fungsi/daya dukung mangrove.

(2) Pemerintah Propinsi mengambil peran dominan dalam penyelamatan kawasan pesisir dengan menetapkan Tata Ruang dan Peruntukkan Pesisir Regional Jawa Timur hal ini mendesak dilakukan karena saat ini setiap daerah kabupaten/kota cenderung memanfaatkan kawasan pesisir hanya untuk meningkatkan pendapatan daerah.

Dalam mengelola lingkungan pesisir pantai Pemerintah kota tahun 2006 baru membuat rancangan Peraturan Daerah tentang mengelola pantai, sehingga apabila melakukan kegiatan pengelolaan lingkungan pantai Pemerintah Surabaya mempunyai payung hukum dalam pengawasan hutan mangrove. Pemerintah juga

(14)

akan melakukan kabijakan dengan penegakan hukum bagi masyarakat yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam kawasan pesisir pantai. Selama ini memang Pemerintah Kota Surabaya hanya mengendalikan pesisir menggunakan RTRW dan RTRK diwilayah pesisir akan tetapi tidak ada penindakan tegas terhadap pelanggaran bagi masyarakat. Produk pengelolaan nantinya juga ditunjang oleh penelitian dengan data akurat tentang studi dalam pengelolaan pantai, sehingga masyarakat dapat mengetahui bagian yang dapat dikembangkan, dipelihara serta bagian wilayah yang dimanfaatkan dalam mengelola kawasan pesisir di masa yang akan datang.

Kemitraan antara Pemerintah Kota Surabaya dengan Masyarakat Lokal (Co-management) dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Pantai Utara Kota Surabaya

Sebagaimana penjabaran di muka, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan mangrove merupakan suatu aset sumber daya manusia yang harus dimanfaatkan secara maksimal guna memelihara kelestarian hutan mangrove. Dalam hal ini masyarakat diharapkan tidak hanya menjadi obyek melainkan dapat menjadi subyek dalam program-program pengelolaan lingkungan. Dengan demikian akan tumbuh perasaan memiliki dan dengan sukarela akan menjaga dan mengelola lingkungan dengan baik.

Undang-undang No.23/1997 menjelaskan bahwa salah satu tugas pemerintah adalah membentuk suatu kemitraan bersama-sama masyarakat dan dunia usaha dalam pengelolaan lingkungan. Dukungan dari pihak pemerintah sebagai lembaga formal dalam proses menuju kemitraan sangat diperlukan mengingat pemerintah sebagai lembaga yang mempunyai otoritas dalam menentukan kebijakan suatu wilayah pemerintahan yang transparan dan tidak berpihak akan mendorong terciptanya kemitraan yng baik. Walaupun dalam kemitraan kedudukan aktor pelakunya sejajar, namun dukungan dari pemerintah merupakan dorongan/motivasi terbentuknya kemitraan.

Dari kenyataan tersebut diperlukan upaya dari Dinas Kehutanan Propinsi Jatim dan Pemerintah Kota Surabaya dengan cara merubah strategi pengelolaan lingkungan pantai tersebut dengan menerapkan pola pendekatan Co-management (kemitraan) karena masyarakat juga menghendaki adanya pengelolaan pantai secara maksimal. Pendekatan co-management merupakan langkah yang dapat memberikan ruang bagi keterlibatan masyarakat untuk ikut mengelola kawasan hutan mangrove. Pada dasarnya selama ini masyarakat memahami pentingnya pelestarian hutan mangrove, akan tetapi keterbatasan dana dan tidak teraspirasinya pendapat masayrakat menyebabkan pemahaman mereka hanya sebatas aspirasi

(15)

semu. Oleh karena itulah perlu adanya optimalisasi peran sumber daya manusia yang ada, salah satunya mengajak masyarakat sebagai mitra dalam melestarikan hutan mangrove di pesisir pantai utara Surabaya.

Hal tersebut dapat diketahui oleh pendapat seorang warga Bapak Romli, yang mengutarakan keinginannya untuk ikut serta dalam mengelola wilayah hutan mangrove menyatakan bahwa:

“Masyarakat disini sebenarnya mau jika harus ngopeni (merawat) bakau, tetapi kami juga susah. Untuk memenuhi kebutuhan hari-hari saja sulit, bagaimana bisa mendapatkan uang tambahan untuk melihara bakau.” (Hasil wawancara, 10 Mei 2014)

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa kendala utama masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove adalah biaya. Faktor biaya tersebut juga menjadi kendala bagi pemerintah jika harus menanggung sendiri biaya pengelolaan serta perbaikan wilayah pesisir mengingat anggaran yang dimiliki pemerintah lebih banyak difokuskan pada bidang kesehatan dan pendidikan. oleh karena itulah diperlukan upaya lain yaitu dengan menggandeng para pengusaha. Perlu disadari pula bahwa pengusaha juga termasuk bagian masyarakat yang harus berpartisipasi sekaligus bertanggungjawab dalam pengelolaan wilayah hutan mangrove. Hal tersebut menjadi kewajiban bagi pengusaha karena secara tidak langsung pengusaha (termasuk pemilik gudang) di wilayah pantai utara Surabaya menjadi subjek yang menyebabkan rusaknya hutan mangrove. Oleh sebab itu pengusaha di sekitar area hutan mangrove harus bersedia membantu apabila Pemerintah Kota memfasilitasi kegiatan pengelolaan hutan mangrove serta mempertanggungjawabkan setiap bentuk kegiatan usahanya yang menjadi penyebab kerusakan hutan mangrove.

Pola dari co-management (kemitraan) juga melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan rencana tindak kerja, pelaksanaan dan pertanggungjawabannya sebagai salah satu respon terhadap dominasi pendekatan pembangunan model top down. Di dalam Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan dalam mengelola sumberdaya alam. Bila mengacu pada kebijakan sebelumnya dengan mengelola sumberdaya alam secara top-down atau terpusat pada pemerintahan (government based) hal tersebut sering mengalami kegagalan dan selanjutnya seyogyanya diubah dengan bekerjasama dengan masyarakat untuk menciptakan suatu pengelolaan kemitraan/partisipatif. Tetapi karena paradigma ini masih baru dan belum mapan, maka perlu dikaji secara mendalam dan serius dampak positif dan negatifnya. Untuk mewujudkan hal tersebut pemerintah memerlukan mitra

(16)

kolaborasi yang berupa sebuah lembaga yang dapat mewakili dan diakui oleh masyarakat.

SIMPULAN DAN SARAN

1. Simpulan

Sebagai paradigma yang masih baru mengenai pengelolaan Hutan Mangrove pantai dengan pendekatan Co-management, pengkajian tentang keberhasilan dan kegagalan dalam pendekatan pengelolaan kemitraan tersebut pada masyarakat sangat penting untuk membangun kebersamaan. Dari hal tersebut kemudian dilakukan perumusan ide dan masalah dalam pegelolaan bahwa perlu dilakukan kombinasi top-down dan bottom-up, dimana ide dan masalah pengelolaan dari masyarakat dan Pemerintah dipertemukan/dikomunikasikan agar tercapai kesepahaman bersama terhadap masalah perencanaan dan solusinya. Sehingga dalam hal ini, kemitraan antara pemerintah setempat dengan masyarakat lokal sangat penting dilakukan dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan hutan mangrove di Pantai Utara Kota Surabaya. Pendekatan tersebut yang nantinya akan menggabungkan pendekatan antara state based dan community based yang saling berkolaborasi. Pemanfaat sumber daya (masayarakat lokal) menerima manfaat dengan ikut serta dalam menetapkan keputusan dalam pengelolaan yang mempengaruhi kesejahteraan mereka, sedangkan pemerintah menerima manfaat dari berkurangnya kewenangan. Pemerintah juga akan menetapkan hak dan kewenangan atas hukum yang setara dan mengalihkan sebagian kewenangannya.

2. Saran

a. Pemerintah Kota Surabaya perlu membagi kewenangan yang jelas berdasarkan aturan formal terkait dengan kemitraannya dengan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan mangrove.

b. Pemerintah perlu memberdayakan masyarakat setempat terkait dengan pengelolaan hutan mangrove. Sehingga, pengelolaannya diharapkan dapat tepat sasaran dan tepat guna.

c. Perlu dibentuk sebuah lembaga yang berwenang dalam pengelolaan sumber daya berupa tanaman pelindung pantai sebagai mitra kolaborasi pemerintah Kota Surabaya yang dapat mewakili masing-masing kepentingan (pengelolaan hutan mangrove) dan diakui oleh masyarakat.

(17)

DAFTAR PUSTAKA

Armitage, Derek. (2005). „Adaptive Capacity and Community-Based Natural Resources Management‟, Environmental Management, 35 (3): 703- 715. Child, Brian, (2005). „Principles, Practice, and Result of CBNRM in Southern

Africa‟, in Brian Child & Martha West Lyman (ed), Natural Resources as Community Assets, Sand County Foundation, Wisconsin.

Child, Brian and Martha West Lyman. (2005). ‟Introduction‟, in Brian Child and Martha West Lyman (ed), Natural Resources as Community Assets, Sand County Foundation, Wisconsin.

Gilbert, Alan et al. (1984). Community Antisipation in Upgrading Irreguler Sattlement The Comumunity Response. World Development. Vol.12.No.8 page 769-782.

Haryani, S. (2001). Komunikasi Bisnis. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.

Isyaku, Usman, Murtolo Chindo dan Mukhtar Ibrahim 2011, „Assesing Community-based Natural Resources Management at Lake Naivasha, 1 (1): 106-116.

IUCN - The Word Conservation Union. (1993). Oil and Gas Exploration and Production in Mangrove Areas. IUCN. Gland, Switzerland.

Lee, F. Yok Shiu. (1998). „Intermediary Institution, Community Organizations, and Urban Environment Management: The Case of Three Bangkok Slum‟, World Development, 26 (6): 993-1011.

Mustopadidjaja. (2003). Paradigma-paradigma Pembangunan: Model, Strategi, dan Kebijakan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan. Jakarta: Pressindo.

Nazir, Mohamad. (2009). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia

Nhantumbo, Isilda, Simon Norfolk, Joao Pereira 2003, „Community-based natural resource management in Mozambique: A theoretical or practical strategy for local sustainable development? The case study of Derre Forest Reserve‟. Sustainable livelihoods in Southern Africa Research paper 10, Institute of Development studies, Brighton.

Nybakken, J.W. (1992). Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Alih bahasa oleh M. Eidman., Koesoebiono., D.G. Bengen., M. Hutomo., S. Sukardjo. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

(18)

Pomeroy, Robert S. (1996). „Community Based and Co Management Institutions for Sustainable Coastal Fisheries Management in Southeast Asia‟, Ocean & Coastal Management, 27(3): 143-162.

Santoso, N. (2000). Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengembangan Sistem Pengawasan Ekosistem Laut Tahun 2000. Jakarta, Indonesia.

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Sutarto. (1991). Dasar-Dasar Komunikasi Administrasi. Yogyakarta: Duta Wacana.

USAID. (2009). Environment Guidelines for Small-Scale Activities in Africa(EGSSAA): Community-Based Natural Resources Management (CBNRM), USAID, diakses 8 Januari 2015, http://www.encapafrica.org/EGSSAA/cbnrm.pdf

Wiyanto (pada Workshop Pemberdayaan Masyarakat Pasca Proyek,2004) Takashi Inoguchi, Edward Newman et al. 2001. Kota dan Lingkungan: Pendekatan Baru Masyarakat Berwawasan Ekologi, Pengantar: Eko Budihardjo. Jakarta: LP3ES.

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, pengetahuan yang diperoleh mahasiswa pada perkuliahan akan terasa kurang bermanfaat bila tidak disertai dengan suatu pengalaman lapangan yang dapat

Penelitian yang dilakukan Rio Sihombing (2012) bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh efektifitas modal kerja yang di ukur dengan perputaran modal kerja

memasang uang di tengah (pot) sebesar Rp.500,- kemudian 1 (satu) bungkus kartu domino sebanyak 28 (dua puluh delapan) lembar tersebut digocok terlebih dahulu, dan setiap

Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana persepsi warga net pengguna Twitter pengikut akun Wariman terhadap seksualitas. Akun Twitter @Wariman_ adalah akun Twitter

Program kerja pada dasarnya merupakan upaya untuk mengimplementasikan strategi organisasi. Program merupakan penjabaran rinci tentang langkah-langkah yang diambil untuk

Pasca dirilisnya hasil keputusan rapat FOMC yang baru akan mempertimbangkan melakukan tappering off pada Januari 2014 dan masih mempertahankan tingkat suku bunga rendahnya membuat

Sebagai penutup, dengan posisi IHSG yang tinggal menyisakan minus 3,10 persen secara year to date hingga akhir pekan lalu (18/12), optimisme bahwa IHSG

Sebagian besar perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah menggunakan teknologi yang memadai dalam melakukan distribusi panen kelapa sawit.Diantara teknologi ini dengan