BAB III
HAK DERIVATIF PEMEGANG SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS
A. Hak Derivatif Sebelum Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007
Meskipun Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) hanya
memiliki 21 (dua puluh satu) pasal yang mengatur tentang perseroan terbatas,
tetapi hal tersebut dianggap cukup baik untuk menjadi dasar hukum terhadap
suatu perseroan terbatas saat itu. Hal ini disebabkan pasal-pasal Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) tersebut diambil dari Kitab Undang-Undang-Undang-Undang
Hukum Dagang (KUHD) negeri Belanda berdasarkan asas pemberlakuan hukum
untuk negeri jajahan (asas korkondansi). Dan sebagaimana diketahui Belanda juga
memiliki hukum yang mirip-mirip dengan sistem hukum prancis, yang kala itu
merupakan peraturan-peraturan hukum yang modern di Eropa.85
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) berdasarkan
pasal 36 hanya disebutkan bahwa sebelum perseroan terbatas didirikan, maka akta
pendiriannya harus dimintakan pembenaran kepada Gubernur Jenderal atau
pejabat yang ditunjuk untuk itu. Dari ketentuan ini masalah pengesahan pada
dasarnya sama dengan pembenaran. Hanya masalah kapan Perseroan terbatas itu
memperoleh status badan hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
85
(KUHD) tidak ditegaskan.86
1. Saham utama
Apabila tidak ada ketentuan lain dalam akta
pendirian, maka tiap pemegang saham mempunyai hak dan kewajiban yang sama.
Ada kalanya kepada beberapa pemegang saham diberikan hak-hak yang lebih
banyak, misalnya hak suara berganda, keuntungan yang terjamin, ataupun hak
bersuara dalam hal pengangkatan pengurus. Pemegang saham jenis yang pertama
dinamakan pemegang saham biasa dan pemegang dari jenis yang kedua
dinamakan pemegang saham utama.
Saham utama ada beberapa macam:
2. Saham utama kumulatif
3. Saham utama belaba.
Saham utama dapat memberikan hak khusus, diantaranya sebagai berikut:
a) Hak suara berganda;
b) Dari keuntungan, terlebih dahulu diberikan kepada pemegangnya suatu
persentase dari keuntungan,
c) Hak bersuara dalam hal meminjam uang.
Saham utama kumulatif memberikan hak-hak yang lebih banyak lagi. Apabila di
akhir suatu tahun tidak tercapai persentase dividen yang dijamin, maka di akhir
tahun berikutnya kekurangan itu harus dipenuhi lebih dahulu sebelumnya kepada
pemegang saham yang lain dapat dibayar dividen.
86
Pada saham utama berlaba hak-haknya lebih banyak lagi. Selain daripada
keuntungan yang dijamin ia memberikan juga hak atas sebagian dari apa yang
dinamakan laba lebih. Saham perseroan dapat dikeluarkan bernama dan pada
pembawa. Penyerahan saham pada pembawa dilakukan dengan pindah tangan.
Penyerahan saham bernama dilakukan sebagai berikut :
a) Pemegang yang lama dan pemegang yang baru memberitahukan dengan
perantaraan jurusita kepada pengurus perseroan, atau
b) Pemegang yang lama dan pemegang saham yang baru mendaftarkan
pemberitahuan dalam register perseroan dan menanda tanganinya.
Pemegang dari saham yang belum disetor penuh, jika ia menjual sahamnya,
masih bertanggung jawab untuk menyetor penuh sahamnya, kecuali jika pengurus
perseroan membebaskannya. Dalam hal saham-saham dikeluarkan tidak atas
nama, akan tetapi pada pembawa, acapkali terjadi, bahwa pemilik saham yang
sebenarnya menyerahkan beberapa saham kepada orang luar untuk datang
menghadiri rapat dan mengemukakan dirinya sebagai pemegang saham dan ikut
bersuara dalam rapat. Perbuatan yang demikian, menjadi boneka, sudah tentu
tidak dapat diterima.87
Para pemegang saham yaitu pengusaha dan pemilik perseroan, di dalam
Perseroan Terbatas pengusaha baru terbentuk dengan berkumpulnya para
pemegang saham di dalam RUPS. Pemegang saham ini memiliki
kewajiban-kewajiban dan hak-hak yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
87
(KUHD). Kewajiban-kewajiban ini diatur dalam pasal 40, 42 dan 43 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), serta hak-hak pemegang saham yang
diatur dalam pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
Hak suara para pemegang saham diatur dalam Anggaran Dasar perseroan
yang berdasar pada pasal 54 (baru) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHD), yaitu dengan perubahan berdasar Undang-Undang Nomor 4 tahun 1971
(lembaran negara 1971-20). Pemegang saham berhak menuntut dan menggugat
pembatalan keputusan RUPS, yang bertentangan dengan undang-undang, hukum
ataupun Anggaran Dasar. Pemegang saham juga berhak menerima bagian yang
seimbang dengan saldo untung pada saat selesainya pemberesan, sesudah
bubarnya perseroan. Jadi hak-hak pemegang saham ialah :
1) Hak atas sebagian dari keuntungan perseroan sesuai dengan jumlah
nilai sahamnya (pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHD).
2) Berwenang untuk menhadiri RUPS, berbicara, dan hak pemungutan
suara (pasal 55 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHD)).
3) Berwenang menuntut kepada Pengadilan tentang kebatalan dari
keputusan RUPS yang bertentangan dengan undang-undang, hukum
4) Hak-hak lainnya yang ditetapkan di dalam anggaran dasar.88
5) Membantah pembicaraan usul-usul perubahan anggaran dasar jika hal
ini tidak diumumkan atau tidak diberi kesempatan yang cukup untuk
memeriksa usul-usul perubahan itu. Yang dapat mengajukan bantahan
dalam rapat pemegang saham tentang perubahan anggaran dasar, ialah
mereka yang bersama-sama mewakili paling sedikit 1/10 (satu
persepuluh) modal yang ada pada rapat tersebut.
6) Mendapat pembayaran kembali saham-saham yang telah dibayar
penuh, jika perseroan dibubarkan, dari jumlah kekayaan yang tersisa
setelah hutang-hutang perseroan dilunasi. Kalau jumlah ini tidak
mencukupi untuk membayar kembali harga nominal saham-saham
yang telah disetor, maka hanya dikembalikan sebagian dari jumlah itu
yang seimbang. Jika setelah dibayarkan kembali harga nominal, masih
terdapat sisa, maka sisa ini dibagikan kepada pemegang-pemegang
saham menurut bandingan turut sertanya dalam modal.
7) Memanggil rapat umum luar biasa, jika pengurus dan komisaris
menolak hal ini. Yang dapat mengumpulkan rapat umum luar biasa ini
hanya mereka yang ikut serta dalam model perseroan paling
sedikit1/10 (satu persepuluh) bagian, atau mungkin dengan bagian
yang lebih kecil kalau ini ditentukan dalam anggaran dasar.
88
8) Memanggil rapat umum setelah diberi kuasa oleh presiden pengadilan,
jika pengurus atau komisaris tidak memenuhi kewajibannya untuk
memanggil rapat umum paling sedikit sekali setahun.
9) Menerima dividen untuk tiap-tiap saham yang ia memiliki.
10)Hak enquete, ialah hak untuk menyuruh seorang ahli yang netral untuk
mengadakan penyelidikan tentang kebijaksanaan pengurus dan tentang
jalannya usaha. Hak ini hanya dapat dilangsungkan oleh mereka yang
bersama-sama sedikit-sedikitnya mempunyai 1/5 (satu perlima) bagian
dalam modal yang ditempatkan. 89
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) sebelum berlakunya
Undang-Undang Perseroan Terbatas, pernah mengatur upaya untuk melindungi
pemegang saham minoritas melalui Pasal 54 ayat (4) Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang (KUHD) yang mengatur mengenai pembatasan banyaknya suara
yang berhak dikeluarkan oleh pemegang saham, dapat diatur dalam Akta
Pendirian, dengan ketentuan bahwa seorang pemegang saham tidak dapat
mengeluarkan lebih dari 6 (enam) suara apabila modal perseroan terbagi kurang
dari 100 (seratus) saham. Ketentuan ini dapat menjadi tidak efektif bila pemegang
saham mayoritas mempergunakan boneka sebagai pemegang saham.90
89
Rochmat Soemitro, Perseroan Terbatas dengan Undang-Undang Pajak Perseroan,
(Bandung : PT Eresco, 1979), hal 40-41. 90
Chatamarrasjid Ais, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum Perusahaan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004), Hal. 30.
Pada
dasarnya, semua rapat pemegang saham harus diadakan di tempat kedudukan
perseroann kecuali jika semua pemegang saham hadir atau diwakili, rapat dapat
RUPS yang sah, perlu diperhatikan kuorum rapat yang biasanya ditentukan
sekurang-kurangnya lebih dari 50% dari seluruh jumlah saham yang telah
dikeluarkan, dan unutk mengambil keputusan yang sah dalam RUPS, diperlukan
persetujuan sekurang-kurangnya suara terbanyak kecuali jika untuk rapat itu
khusus ditentukan lain di dalam Anggaran Dasarnya.
Setiap pemegang saham mempunyai Hak Bersuara dalam RUPS yang
mana ketentuannya diatur dalam pasal 54 (lama) Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (KUHD). Di dalam pasal 54 (lama) Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (KUHD), hak bersuara bagi pemegang saham ditentukan sebagaimana
berikut :
1) Hak suara pada persero (pemegang saham) harus diatur dalam akta
pendiriannya dengan pedoman :
A) Apabila modal perseroan terdiri dari seratus buah saham atau lebih,
maka tiap-tiap pemegang saham paling banyak mengeluarkan
enam suara baginya.
B) Bila modal perseroan itu terdiri kurang dari seratus saham, maka
tiap-tiap pemegang saham hanya boleh mengeluarkan paling
banyak tiga suara.
2) Direksi dan Dewan Komisaris di dalam pemungutan suara tidak boleh
bertindak sebagai pemegang kuasa dari pemegang saham. Rationya,
RUPS itu diadakan justru untuk mengontrol pekerjaan mereka. Jadi
dari para pemegang saham maka keputusan RUPS tersebut dapat
dipengaruhi.
Ketentuan dari pasal 54 (lama) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHD) tersebut di dalam perkembangannya dianggap kurang memuaskan, maka
diadakan perubahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1971 yang
mulai berlaku sejak tanggal 29 Maret 1971 dan berbunyi sebagai berikut :
1) Hanya para pemegang saham yang berhak mengeluarkan suara. Setiap
pemegang saham sekurang-kurangnya berhak mengeluarkan satu
suara. Ketentuan yang menyebutkan hanya pemegang saham saja yang
berhak untuk bersuara di RUPS ini merupakan suatu ketentuan untuk
menghindari adanya pemegang saham kedok.
2) Dalam hal modal perseroan terbagi dalam saham-saham dengan harga
nominal yang sama, maka setiap pemegang saham berhak
mengeluarkan suara sebanyak jumlah saham yang dimilikinya.
3) Dalam hal modal perseroan terbagi dalam saham-saham dengan harga
nominal yang berbeda, maka setiap pemegang saham berhak
mengeluarkan suara sebanyak kelipatan dari harga nominal saham
terkecil dari perseroan, terhadap keseluruhan jumlah harga nominal
saham yang yang dimiliki pemegangnya, sedangkan sisa suara yang
belum mencapai satu suara tidak diperhitungkan.
4) Pembatasan mengenai banyaknya suarayang berhak dikeluarkan oleh
pemegang saham dapat diatur di dalam akta pendirian, dengan
lebih dari enam suara apabila modal perseroan terbagi dalam seratus
saham atau lebih, dan tidak dapat mengeluarkan lebih dari tiga suara
apabila modal perseroan terbagi dalam kurang dari seratus saham.
5) Tidak seorang pengurus atau komisaris pun diperbolehkan bertindak
sebagai kuasa di dalam pemungutan suara.
Dari dua bunyi ketentuan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa pasal
54 (lama) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) menganut sistem Hak
Suara Terbatas. Sedangkan pada pasal 54 (baru) Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (KUHD) berdasar perubahan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1971 mengandung dua sistem hak suara, yaitu:
A) Hak Suara Terbatas; terdapat pada ayat keempat.
B) Hak Suara Tak Terbatas; pada ayat kesatu, kedua dan ketiga.91
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1971, kemungkinan
adanya “pemegang saham kedok” yang berpura-pura pemegang saham, padahal
pemegang saham orang lain, misalnya pada saham atas tunjuk, dapat dihindari.
Pemegang saham kedok ini biasanya bertindak untuk kepentingan hak suara
pemegang saham yang banyak. Tetapi hak suaranya dibatasi oleh pasal 54 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), Keputusan rapat pemegang saham
dianggap sah apabila dipenuhi ketentuan-ketentuan berikut ini92
1) Cara dan tenggang waktu pemanggilan para pemegang saham;
:
91
R.T. Sutantya Rahardja Hadhikusuma. Op. Cit., hal. 69-71. 92
2) Cara pengambilan keputusan (suara terbanyak, atau suara terbanyak
khusus);
3) Tidak melanggar undang-undang, anggaran dasar, hukum tidak tertulis.
B. HAK DERIVATIF DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007
Hak derivatif atau derivative action merupakan pengakuan atas perlindungan
pemegang saham dari kesalahan manajemen korporasi. Dalam bahasa yang sedikit
hiperbolik, pengadilan Amerika dalam perkara Cohen v. Beneficial Industrial
Loan Corp. Menyatakan bahwa, the shareholder derivative action is the chief
regulator of corporate governance. Dengan kata lain, Common law system
menyatakan bahwa direksi tidak dapat menyampingkan kepentingan pemegang
saham dalam kepentingan korporasi, sekalipun hanya pemegang saham minoritas,
karena pemegang saham memiliki senjata yang diakui oleh hukum untuk
memperjuangkan kepentingannya tersebut, meskipun ia hanya pemegang saham
minoritas. derivative action adalah gugatan yang dibawa oleh pemegang saham
korporasi kepada direksi korporasi dengan menggunakan nama dan untuk
kepentingan dari korporasi tersebut.
Kata derivative dalam konteks ini ditujukan untuk memperlihatkan bahwa hak
untuk menggugat tidak dimiliki sebagai pihak dalam perkara, tetapi sebagai
turunan dari korporasi. Hak untuk menggugat ini dikatakan sebagai turunan
merugikan pemegang saham secara pribadi, tetapi kesalahan tersebut juga
merugikan korporasi.93
Gugatan hak derivatif merupakan gugatan kekecualian (abnormal), sebab
dalam kasus-kasus normal, maka yang bertindak sebagai pihak yang mewakili
perseroan bukan pemegang saham, melainkan pihak direksi atau yang
dikuasakan/didelegasikan oleh direksi, seperti yang biasanya ditentukan dalam
anggaran dasar. Namun demikian, dalam sejarah hukum perusahaan terdapat
berbagai usaha untuk menerobos prinsip perwakilan perusahaan oleh direksi
tersebut, karena dalam kasus-kasus tertentu, prinsip tersebut dianggap tidak adil
bagi golongan pemegang saham tertentu. Dengan alasan seperti ini, kemudian
dalam sejarah hukum perseroan, untuk memfasilitasi terwujudnya keadilan bagi
semua pihak, termasuk kepada seluruh pemegang saham dari suatu perseroan,
sedikit demi sedikit mulailah diakui kewenangan pemegang saham untuk
mewakili kepentingan perseroan dalam membawa perkara ke pengadilan.94
1. tirani mayoritas.
Besarnya perlindungan yang diberikan oleh Undang-Undang Peseroan
Terbatas pemegang saham minoritas tetap mengalami kesulitan untuk mewakili
kepentingan Perseroan Terbatas. Hal ini disebabkan karena :
2. konsep locus standi atau hak untuk mewakili Perseroan Terbatas di
Pengadilan.
93
Freddy harris dan Teddy Anggoro, Op. Cit., hal. 69-70. 94
Oleh karena itu, diciptakanlah Derivative Action atau hak derivatif, yaitu Hak
yang diberikan atau dimiliki pemegang saham minoritas agar dapat melakukan
tindakan tertentu dalam menjaga atau mewakili perseroan terhadap tindakan organ
lainnya dalam Perseroan Terbatas bila kepentingan perseroan dirugikan. Jadi hak
derivatif merupakan hak secara eksklusif yang hanya diberikan kepada pemegang
saham minoritas untuk menggugat Perseroan Terbatas dengan melakukan
tindakan tertentu, dalam rangka menjaga atau mewakili minimal satu persepuluh
bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah atau jumlah yang
lebih kecil yang ditentukan oleh Anggaran Dasar.95
1. Teori Prosedur Kekecualian
Hukum sampai membenarkan adanya gugatan atas nama perseroan yang
dilakukan pemegang saham, padahal yang berhak mewakili perseroan adalah
pihak direksinya. Untuk itu, dalam ilmu hukum perusahaan dikenal 2 (dua) teori
sebagai berikut:
Teori ini mengajarkan bahwa memberikan hak kepada pemegang
saham unntuk membawa perkarake pengadilan hanya merupakan
kekecualian dari prinsip hukum yang berlaku umum. Diberikan hak
untuk mengajukan gugatan kepada pemegang saham atas nama
perseroan tersebut karena kerugian kepada perseroan secara tidak
langsung juga merugikan pihak pemegang saham.
2. Teori Prosedur Berwatak Ganda (Duel Nature Proceeding)
95
Teori prosedur berwatak ganda sebenarnya merupakan teori asal atau
bentuk prototipe dari gugatan derivatif ini. Teori prosedur berwatak
ganda tersebut, yang juga sudah diterima secara meluas dalam praktek
mengajarkan bahwa gugatan derivatif merupakan suatu bentuk
kombinasi dari 2 (dua) cause of action, yaitu:
a) Gugatan dari pemegang saham individu kepada perseroan agar
perseroan memperbaiki kerugian atau mengajukan gugatan
terhadap pihak yang telah melakukan kerugian terhadap perseroan;
dan
b) Gugatan oleh perseroan kepada pihak yang telah melakukan
kerugian terhadap perseroan.96
Tentang bagaimana hakikat dari suatu gugatan derivatif dapat terbaca dalam
kutipan berikut ini :
Dapat dikatakan bahwa gugatan derivatif merupakan suatu gugatan
perdata yang diajukan oleh satu atau lebih pemegang saham yang bertindak untuk
dan atas nama perseroan (jadi bukan untuk kepentingan pribadi pemegang saham),
gugatan mana diajukan terhadap pihak lain (misalnya direksi) karena telah
melakukan tindakan yang merugikan perseroan, sungguhpun untuk kepentingan
prosedural, pihak perseroan kadang-kadang menjadi pihak tergugat. Jadi, gugatan
derivatif ini merupakan gugatan kekecualian (abnormal), sebab dalam kasus-kasus
normal, maka yang bertindak sebagai pihak yang mewakili perseroan bukan
pemegang saham, melainkan pihak direksi atau yang dikuasakan/didelegasikan
96
oleh direksi, seperti yang biasanya ditentukan dalam anggaran dasarnya. Karena
itu pula, maka gugatan derivatif sebenarnya merupakan kekecualian dari prinsip
proper plaintiff, yakni suatu prinsip hukum yang mengajarkan bahwa gugatan
untuk menuntut ganti rugi karena adanya kerugian terhadap suatu perusahaan
terbatas hanya dapat dilakukan oleh perusahaan itu sendiri, yang dalam hal ini
diwakili oleh direksi. Pihak pemegang saham tidak berwenang untuk mengajukan
gugatan tersebut. “Adanya derivative action di samping personal right,
tampaknya dapat dijadikan ajang perjuangan dalam mengatasi prinsip satu saham,
satu suara yang cenderung lebih menguntungkan kelompok pemegang saham
mayoritas.”
Tentu saja tidak untuk semua pemegang saham minoritas dapat diberikan
hak untuk mengajukan gugatan derivatif. Masing-masing negara memberikan
batasan tertentu kepada pemegang saham untuk dapat melaksanakan haknya itu.
Sering disebut-sebut bahwa gugatan derivatif sebenarnya merupakan suatu
penyimpangan dari hukum perseroan yang normal yang memberikan hak untuk
mewakili kepentingan perseroan kepada pihak pemegang saham tanpa perlu
formalitas legalisasi korporasi, tetapi terjadi demi hukum. Jika misalnya direksi
memiliki kepentingan agar gugatan tidak diajukan, atau gugatan harus diajukan
terhadap dirinya direksi sebagai lawan perkara, maka dalam keadaan seperti itu,
besar kemungkinan pihak direksi yang seharusnya membawa gugatan untuk dan
atas nama perseroan tidak mau mengajukan gugatan. Dalam hal seperti itu,
gugatan derivatif adalah menjadi jawaban yang tepat, di mana pihak pemegang
tindakan direksi tersebut sudah merupakan penipuan (fraud), penekanan
(oppression), unfair prejudice, atau beritikad tidak baik, sehingga dapat membawa
kerugian terhadap para pemegang saham, terutama pemegang saham minoritas.97
1) Gugatan pemegang saham yang menggunakan lembaga derivative action
yang telah diuraikan di atas, pemegang saham bertindak untuk dan atas
nama perseroan berdasarkan pasal 97 ayat 6, pasal 114 ayat 6 dan pasal
138 ayat 1, 2, dan 3, serta pasal 144 ayat 1.
Dalam sistem hukum positif di Indonesia, khususnya dalam
Undang-Undang Perseroan Terbatas, gugatan hak derivatif tersebut terdapat pada pasal 97
ayat 6, pasal 114 ayat 6 dan pasal 138 ayat 1, 2, dan 3, serta pasal 144 ayat (1).
Berkaitan dengan gugatan pemegang saham perseroan, perlu dibedakan adanya 3
(tiga) jenis gugatan yang diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, yaitu
seperti berikut.
2) Gugatan pemegang saham yang bersifat gugatan keperdataan untuk
memperrtahankan hak yang diatur dalam pasal 61 ayat 1, yang
menyatakan setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap
perseroan ke pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan
perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan yang wajar sebagai
akibat keputusan rapat umum pemegang saham, direksi atau komisaris.
Gugatan ini tidak termasuk derivative action karena tidak
mengatasnamakan perseroan, tetapi mengatasnamakan diri pemegang
saham.
97
3) Gugatan pemegang saham berkaitan dengan penyelenggaan rapat umum
pemegang saham yang diatur dalam pasal 79 ayat 2, yang menyatakan
bahwa penyelenggaraan rapat umumm pemegang saham sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 dapat dilakukan atas permintaan 1 (satu) pemegang
saham atau lebih yang bersama-sama mewakili 10% bagian dari jumlah
seluruh saham dengan hak suara yang sah atau suatu jumlah yang lebih
kecil sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar perseroan yang
bersangkutan. Mengenai izin ketua pengadilan negeri untuk
penyelenggaraan rapat umum pemegang saham serta penunnjukan ketua
rapat diatur dalam pasal 80 ayat 1 sampai 8.98
Tidak semua gugatan yang diajukan oleh pemegang saham dari suatu
perseroan dapat digolongkan sebagai gugatan derivatif. Sebab, masih banyak
model gugatan lain yang dilakukan oleh pemegang saham yang tidak
tergolong ke dalam gugatan derivatif. Contoh gugatan pemegang saham yang
bukan gugatan derivatif adalah sebagai berikut:
1) Gugatan Langsung (Direct Action)
2) Gugatan Kelompok (Class Action)
3) Gugatan Representatif (Representative Action).
Meskipun sama-sama diajukan oleh pemegang saham, tetapi jika dilihat
dari segi siapa yang diwakilinya, maka gugatan langsung (Direct Action)
merupakan kontras dari gugatan derivatif. Jika pada gugatan derivatif gugatan
98
diajukan kepada pihak yang telah merugikan perseroan, diajukan oleh pemegang
saham yang bertindak untuk dan atas nama perseroan, maka pada gugatan
langsung, pihak pemegang saham mengajukan gugatan juga terhadap pihak yang
telah merugikan perseroan, tetapi pemegang saham tersebut bertindak untuk dan
atas namanya sendiri (bukan untuk dan atas nama perseroan). Karena gugatan
langsung ini ditujukan untuk kepentingan pemegang saham itu sendiri, maka
terhadap gugatan langsung ini sering disebut juga dengan istilah gugatan
individual (individual action). Namun demikian, banyak juga kasus di mana
teerdapat kerugian perseroan dan kerugian pemegang saham secara
bersama-sama, sehingga sangat sulit untuk menentukan apakah lebih tepat diajukan
gugatan derivatif atau gugatan langsung.
Contoh-contoh dari gugatan langsung adalah sebagai berikut:
1) Gugatan untuk mendapatkan dividen (meskipun ini dapat juga dibawa
dengan gugatan derivatif).
2) Gugatan untuk memeriksa pembukuan dan catatan perusahaan.
3) Gugatan untuk meminta dicatat peralihan saham dalam pembukuan
perseroan.
4) Gugatan untuk meminta diberikannya preemptive rights.
5) Gugatan untuk meminta pelaksanaan hak veto.
6) Gugatan terhadap pencegahan terjadinya tindakan yang tergolong ke
dalam doktrin ultra vires.
7) Gugatan karena adanya wanprestasi terhadap perjanjian antar pemegang
8) Gugatan karena adanya wanprestasi terhadap perjanjian prainkorporasi.
9) Gugatan yang terbit dari kontrak antara perseroan dengan pribadi
pemegang saham.
10) Gugatan untuk meminta dibubarkannya perseroan. Sungguhpun begitu,
pembubaran perseroan juga dapat diminta melalui suatu gugatan derivatif.
11)Gugatan terhadap direksi yang menjual atau membeli secara melawan
hukum atas saham milik pemegang saham perseroan.
12)Gugatan karena adanya perbuatan melawan hukum terhadap orang-orang
atau properti dari pemegang saham.
13)Gugatan terhadap trustee yang melakukan cedera janjinya.
14)Gugatan untuk mencegah penerbitan saham baru dengan tujuan untuk
mengubah pengontrolan perseroan.
15)Gugatan terhadap satu-satunya pemegang saham yang lain, karena dengan
gugatan derivatif justru akan menguntungkan satu-satunya pemegang
saham lain tersebut.
Sementara itu, contoh dari gugatan derivatif yaitu sebagai berikut:
1) Gugatan untuk mendapatkan dividen (meskipun terhadap hal tersebut
dapat juga dibawa dengan gugatan langsung), karena dapat saja tidak
memberikan dividen itu bertujuan untuk menekan pemegang saham
minoritas, sehingga dalam hal ini lebih tepat diajukan gugatan langsung.
2) Gugatan ganti kerugian karena terjadinya tindakan yang tergolong ke
dalam doktrin ultra vires.
4) Gugatan untuk mencegah dilakukannya penyimpangan dari fiduciary duty
oleh direksi, pegawai perusahaan atau pemegang saham pengendali.
5) Gugatan untuk mencegah dilakukannya perbuatan yang dapat merugikan
perseroan oleh pihak ketiga di luar perseroan.
6) Gugatan ganti kerugian akibat perbuatan yang merugikan perseroan oleh
pihak ketiga di luar perseroan.
7) Gugatan ganti kerugian atau perolehan profit dari adanya perbuatan breach
of duty terhadap perseroan.
8) Gugatan yang terbit dari kontrak antara perseroan dengan pihak ketiga.
9) Gugatan yang membubarkan perseroan karena kesalahan dari direksi.
Jika dibandingkan dengan gugatan langsung (direct suit) dan gugatan kelompok
(class action), ada beberapa keuntungan dari suatu gugatan derivatif, yaitu sebagai
berikut:
1. Menghindari Gugatan Berkali-kali
Salah satu keuntungan dengan sistem-sistem derivatif ini adalah bahwa
dengan gugatan derivatif (seperti juga dengan gugatan kelompok), dapat
dihindari terjadinya gugatan berkali-kali (multiple suits) oleh pemegang
saham terhadap hal yang sama. Karena tiu, ada konsekuensi yuridis dari
suatu gugatan derivatif, yakni konsekuensi terhadap tidak dapat diajukan 2
(dua) kali terhadap hal yang sama (ne bis in idem, res judicata). Dalam hal
ini, asal saja pengadilan sudah memutuskan terhadap pokok perkaranya,
maka gugatan derivatif sekali lagi (oleh pemegang saham yang lain) sudah
perangkatnya sedemikian rupa, sehingga pihak pemegang saham yang lain
dapat mengetahui dan berpartisipasi maksimal dalam gugatan derivatif
tersebut. Misalnya dibuka kesempatan seluas-luasnya kepada pemegang
saham lain untuk menjadi co-penggugat (joinder) dalam suatu gugatan
derivatif.
2. Tidak Merugikan Kreditur Perseorangan
Gugatan derivatif, di samping bermanfaat bagi pemegang saham,
bermanfaat juga bagi kepentingan pihak kreditur perseroan. Sebab seluruh
hasil yang didapat dari gugatan derivatif tersebut akan menjadi milik
perseroan. Sementara hasil yang diperoleh dari gugatan langsung atau
gugatan kelompok akan menjadi milik dari pemegang saham, di mana
dalam hal ini pihak kreditur tidak dapat menikmatinya. Karena itu dapat
dikatakan bahwa hasil dari gugatan langsung atau kelompok memiliki
unnsur-unsur dividen (yang tentunya hanya dapat dinikmati oleh pihak
pemegang saham).
Namun demikian, dalam hal-hal tertentu, terhadap suatu kejadian memang
dapat diajukan, baik gugatan langsung maupun gugatan derivatif. Untuk itu,
dalam perkembangannya ilmu hukum memberikan beberapa pedoman yuridis
sebagai berikut:
1. Pengisuan Saham Tanpa Memberikan Preemptive Right
Jika terjadi pengisuan saham tanpa memberikan preemptive rights kepada
pemegang saham yang berhak sesuai dengan anggaran dasar perseroan,
dirugikan adalah pihak pemegang saham yang memiliki preemptive rights
tersebut, bukan perseroan. Akan tetapi, jika hal tersebut terjadi dalam
suatu perusahaan publik, maka hal tersebut dapat merupakan objek
gugatan derivatif karena tersangkut dengan konsekuensi yang luas yang
dapat merugikan perseroan.
2. Pemberian Dividen Secara Tidak Layak
Jika terjadi pemberian dividen yang tidak layak, maka terdapat hal tersebut
dapat diajukan gugatan derivatif, karena keadaan seperti itu merugikan
perseroan.
3. Merger untuk Mendilusikan Hak Suara Pemegang Saham Tertentu
Terhadap proposal merger atau tindakan restrukturisasi perseroan lainnya
yang bertujuan untuk menimbulkan dilusi suara dari pemegang saham
dalam melakukan voting, maka terhadaap tindakan tersebut dapat diajukan
gugatan langsung, karena yang dirugikan dalam hal ini adalah pihak
pemegang saham, bukan perseroan.
4. Penggunaan kekuasaan Direksi untuk Menekan Harga Saham
Jika para direksi berkonspirasi dalam menggunakan kekuasaannya untuk
menjatuhkan harga saham di pasar, sehingga para direksi dapat membeli
saham dengan harga di bawah pasar, terhadap hal tersebut dapat diajukan
gugatan langsung, karena dalam hal tersebut tidak terdapat adanya
kerugian perseroan.
Jiak direksi melanggar prinsip fiduciary duty, misalnya jika dilakukan
penempatan aset perseroan secara tidak layak, terhadapnya dapat
dilakukan gugatan derivatif, karena dengan tindakan tersebut akan
merugikan perseroan itu sendiri. Dalam hal ini motif tidak dianggap
relevan dalam hukum. Dapat saja dilakukan tindakan yang tidak layak
tersebut dengan motif agar pihak pemegang saham akhirnya menjual
saham-sahamnya, dalam hal seperti itu pun gugatan yang layak tetap
gugatan derivatif, bukan gugatan langsung.
Dengan memperhatikan berbagai kebaikan dan kelemahan dari suatu gugatan
derivatif, maka hukum perseroan memberikan beberapa pedoman yurudis jika
mau diterapkannya gugatan semacam itu. Pedoman yuridis tersebut adalah
sebagai berikut:
1) Gugatan derivatif diterapkan jika dengan gugatan langsung akan
menyebabkan timbulnya gugatan berkali-kali oleh pemegang saham yang
berlainan terhadap hal yang sama.
2) Gugatan derivatif diterapkan jika dengan gugatan langsung akan
merugikan kepentingan kreditur.
3) Gugatan derivatif diterapkan jika dengan gugatan langsung akan
menyebabkan distribusi yang tidak adil terhadap pihak-pihak stake holder.
Selain dari gugatan derivatif dan gugatan langsung oleh pemegang saham,
dalam ilmu hukum perusahaan juga dikenal apa yang disebut dengan “gugatan
gugatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang dalam suatu
kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama, gugatan mana
dilakukan secara hukum (tanpa perlu surat kuasa) yang dianggap dilakukan untuk
dan atas nama seluruh anggota kelompok tersebut. Apabila gugatan kelompok
diajukan oleh pemegang saham, berarti pemegang saham tersebut secara hukum
(tanpa perlu surat kuasa) dianggap mewakili seluruh kelompok pemegang saham
yang mempunyai kepentingan yang sama.
Karena itu, secara tipikal, suatu gugatan kelompok yang dilakukan oleh
pemegang saham termasuk dalam golongan gugatan langsung (direct action,
direct suit). Sebab gugatan tersebut dilakukan untuk kepentingan para pemegang
saham yang mempunyai kepentingan yang sama dan pada prinsipnya bukan untuk
kepentingan perseroan seperti dalam gugatan derivatif. Meskipun demikian, suatu
gugatan derivatif mengandung juga unsur-unsur gugatan kelompok. Bukankah
ketika diajukan gugatan derivatif yang dalam hal ini dilakukan untuk kepentingan
perseroan, maka kepentingan perseroan tersebut juga pada prinsipnya merupakan
kepentingan seluruh pemegang sahamnya. Dalam hal ini, jika ada perbuatan yang
merugikan perseroan, berarti juga merugikan pihak pemegang saham, yakni
dengan berkurangnya nilai rill dari sahamnya. Karena itu, dalam banyak kasus,
dalam suatu kasus didalamnya terdapat, baik unsur gugatan derivatif maupun
unsur gugatan kelompok, meskipun umumnya diterima prinsip bahwa suatu
gugatan derivatif tidak dapat dialihkan menjadi gugatan langsung hanya
semata-mata karena alasan berkurangnya nilai rill dari harga sahamnya yang diakibatkan
Di samping itu, dalam ilmu hukum perseroan dikenal juga apa yang
disebut dengan “gugatan representatif” (representative action) yang juga diajukan
oleh pemegang saham dari suatu perseroan. Gugatan representatif tersebut
merupakan gugatan yang diajukan untuk mewakili (tanpa surat kuasa)
kepentingan pihak lain dalam perseroan. Dengan demikian, gugatan langsung
(direct action) dari pemegang saham bukanlah gugatan representatif karena pihak
pemegang saham yang mengajukan gugatan tersebut hanya dilakukan untuk
kepentingan diri sendiri dari pemegang saham tersebut. Akan tetapi, baik gugatan
derivatif maupu gugatan kelompok (class action) termasuk ke dalam golongan
gugatan representatif. Sebab, dalam gugatan derivatif, pihak pemegang saham
yang mengajukan gugatan sebenarnya bertindak untuk dan atas nama pihak lain,
dalam hal ini untuk kepentingan perseroan, sementara dalam gugatan kelompok,
pihak pemegang saham yang mengajukan gugatan bertindak untuk dan atas nama
seluruh pemegang saham yang mempunyai kepentingan yang sama.99
1. Membayar ganti rugi, yang terdiri dari unsur-unsur kerugian, biaya dan
bunga.
Seperti biasanya untuk kasus-kasus perdata lainnya, maka dalam gugatan
derivatif dapat juga dituntut hal-hal sebagai berikut:
2. Dipaksa utuk berbuat sesuatu.
3. Dipaksa untuk tidak berbuat sesuatu.
99
Secara prinsip, karena gugatan derivatif dilakukan untuk dan atas nama
perseroan, maka seluruh manfaat dari gugatan tersebut, terutama ganti rugi, akan
diberikan kepada perseroan sebagai badan hukumnya, sungguhpun yang menjadi
penggugat adalah salah satu atau lebih dari pemegang sahamnya. Namun
demikian, prinsip hukum bahwa hasil ganti rugi yang didapati dari suatu gugatan
derivatif harus diberikan kepada perseroan, terdapat berbagai kekecualian.
Kekecualian-kekecualian diberikan oleh hukum tersebut bermaksud untuk
menjaga agar prinsip keadilan tetap terjaga dalam perseroan yang bersangkutan.
Kekecualian-kekecualian tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ganti rugi diberikan bukan kepada perseroan, melainkan kepada
pemegang saham penggugat. Misalnya, jika hanya 1 (satu) pemegang
saham yang telah dirugikan, tidak ada kepentingan kreditur yang
dirugikan, dan pihak yang melakukan kesalahan masih mengontrol
periusahaan.
2. Ganti rugi diberikan bukan kepada perseroan, melainkan kepada beberapa
pemegang saham secara prorata. Misalnya, dilakukan dalam hal-hal
sebagai berikut:
a. Jika pemegang saham yang bersalah masih mengontrol perseroan dan
memberikan ganti rugi kepada perseroan akan jatuh juga ke tangan
pemegang saham pengontrol tersebut.
b. Jika pemegang saham mayoritas masih dipegang oleh mereka yang
tidak dapat mengajukan gugatan derivatif karena keterlibatannya atau
c. Jika perseroan dalam proses likuidasi.
d. Jika pembagian secara pro rata di antara beberapa pemegang saham
akan merupakan pembagian yang adil di antara beberapa pemegang
saham dengan situasi yang berbeda.
e. Jika tergugat ingin menjual saham pengontrolnya kepada pihak lain
secara tidak benar.100
100
BAB IV
PELAKSANAAN HAK PEMEGANG SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS
A. Syarat- syarat adanya hak derivatif dalam perseroan terbatas
Pasal 97 ayat (6) memberi hak kepada pemegang saham mengajukan
gugatan kepada Pengadilan Negeri terhadap anggota direksi yang melakukan
kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan pelaksanaan pengurusan Perseroan,
hak itu timbul apabila kesalahan atau kelalaian itu ,menimbulkan kerugian pada
Perseroan, gugatan diajukan pemegang saham atas nama perseroan, bukan atas
nama pemegang saham sendiri. Dalam hal ini undang-undang sendiri memberi
kedudukan hukum (legal standing) atau legal persona standi in judicio
menggugat anggota Direksi yang melakukan kesalahan atau kelalaian mewakili
Perseroan tanpa memerlukan surat kuasa khusus dari perseroan atau RUPS
maupun dari pemegang saham yang lain.
Syarat kuantitas yang harus dipenuhi pemegang saham agar sah memiliki
legal standing atas nama Perseroan menggugat anggota Direksi yang salah atau
lalai melakukan pengurusan, harus dipenuhi kuantitas tertentu, yakni pemegang
saham mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh
saham dengan hak suara, kurang dari jumlah tersebut belum sah memiliki legal
standing untuk mengajukan gugatan dan tuntutan terhadap anggota Direksi
dimaksud.101
101
Di Indonesia, syarat timbulnya hak gugat derivatif adalah karena
semata-mata adanya kerugian bagi perseroan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
kecurangan yang dilakukan oleh direksi terhadap pemegang saham minoritas tidak
menimbulkan hak gugat derivatif jika tidak menimbulkan kerugian perseroan,
yang ada adalah hak menggugat personal dari pemegang saham saja. Jika
dibandingkan dengan common law system yang yang dianut Inggris, Amerika
Serikat, Australia, dan New Zealand. Yang mensyaratkan adanya fraud on the
minority di samping adanya kerugian bagi korporasi sehingga bisa dilakukan
derivative action.
Di dalam melakukan gugatan derivatif Undang-Undang Perseroan
Terbatas juga telah diatur jumlah minimal bagian saham dari pemegang saham
minoritas untuk dapat melakukan gugatan derivatif tersebut. Berdasarkan
Undang-Undang Perseroan Terbatas, ditentukan bahwa pemegang saham minoritas yang
berwenang adalah pemegang saham yang memiliki paling sedikit satu persepuluh
bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara. Hal ini berbeda dengan
derivative action dalam common law system yang tidak menentukan batas
minimal jumlah saham yang dimiliki pemegang saham minoritas agar dapat
melakukan gugatan derivatif. Sepanjang nyata-nyata terjadi actual fraud terhadap
pemegang saham mayoritas atau merugikan korporasi, maka gugatan akan
diproses pengadilan.
Sebenarnya, pengaturan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas ini
dapat dipahami, dimana pembuat undang-undang sepertinya hendak menghindari
beritikad baik dan tidak serius, sehingga bertujuan hanya untuk menggangu
jalannya pengurusan perseroan. Oleh karena itu, batasan minimal satu persepuluh
bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, oleh pembuat undang-undang
dirasakan sebagai jaminan bahwa gugataan derivatif yang dilakukan oleh
pemegang saham minoritas adalah dengan itikad baik dan hanya untuk
kepentingan perseroan.102
Unsur yuridis yang utama dari suatu gugatan derivatif adalah sebagai
berikut103
a) Adanya gugatan.
:
b) Gugatan tersebut tentunya diajukan ke pengadilan.
c) Gugatan tersebut diajukan oleh pemegang saham dari perseroan.
d) Pemegang saham mengajukan gugatan untuk dan atas nama perseroan.
e) Pihak yang digugat selain pihak perseroan, biasanya direksi perseroan
tersebut.
f) Sebabnya diajukan gugatan tersebut karena adanya suatu kegagalan dalam
perseroan atau kejadian yang merugikan perseroan yang bersangkutan.
g) Karena diajukan untuk dan atas nama perseroan, maka segala hasil dari
gugatan tersebut menjadi milik perseroan, sungguhpun yang mengajukan
gugatan adalah pemegang saham.
102
Feddy harris, Op. Cit., hal. 75-76. 103
Salah satu persyaratan lain dari gugatan derivatif, yang sebenarnya merupakan
persyaratan klasik adalah bahwa pihak pemegang saham yang menggugat
haruslah pemegang saham pada saat perbuatan salah satu tersebut terjadi, yang
disebut dengan contemporaneous ownership. Dengan demikian pihak pemegang
saham yang memegang saham setelah kejadian salah tersebut, tidak berhak
mengajukan gugatan derivatif, meskipun dia masih berhak untuk menikmati ganti
rugi terhadap perusahaan tersebut, asalkan dia merupakan pemegang saham pada
saat putusan pengadilan dijatuhkan. Hal ini dikatakan persyaratan klasik, karena
ketentuan-ketentuan tersebut sudah banyak ditinggalkan, misalnya seperti yang
terjadi dalam praktek di USA.
Di samping persyaratan klasik tentang contemporaneous ownership
tersebut, persyaratan lain yang umum diberlakukan adalah bahwa pihak pemegang
saham yang membawa gugatan ke pengadilan haruslah pemegang saham pada
saat dan selama sidang gugatan derivatif tersebut berlangsung. Logika dari
ketentuan ini adalah bahwa pihak yang tidak lagi pemegang saham tidak akan
maksimum lagi untuk memperjuangkan hak-hak perusahaan.104
Karena yang mengajukan gugatan derivatif adalah pihak pemegang saham,
sedangkan gugatan tersebut ditujukan untuk kepentingan perseroan, maka pihak
pemegang saham yang mengajukan gugatan derivatif tersebut disebut dengan
istilah guardian ad litem terhadap perusahaanya. Dalam hal ini, ketika ada
gugatan derivatif tersebut, yang menjadi penggugat atau tergugat umumnya bukan
perseroan, sungguhpun ada sistem hukum yang mengharuskan perseroan
104
perusahaan tetap sebagai pihak dalam gugatan tersebut, sehingga pihak perseroan
akan menjadi pihak yang hanya bersikap pasif saja, dan baru bereaksi jika ada
hal-hal yang bisa merugikan perseroan. Dalam hal-hal seperti ini, pihak perseroan disebut
sebagai “tergugat nominal” dengan sedikit kesempatan untuk membela diri, jika
dalam berjalannya proses tersebut terdapat hal-hal yang dianggap merugikan
perseroan.
Karena pemegang saham penggugat bukan mewakili dirinya sendiri,
melainkan mewakili perseroan dalam mengajukan suatu gugatan derivatif, maka
terdapat beberapa karakteristik khusus dari suatu gugatan, yaitu sebagai berikut:
a) Sebelum dilakukan gugatan, sejauh mungkin dimintakan (demand) yang
berwenang (direksi) untuk melakukan gugatan untuk dan atas nama
perseroan sesuai ketentuan dalam anggaran dasarnya.
b) Pihak pemegang saham yang lain sejauh mungkin dimintakan juga
partisipasinya dalam derivative action, mengingat gugatan tersebut juga
untuk kepentingannya.
c) Harus diperhatikan juga kepentingan stake holder yang lain, pihak pekerja
dan kreditur. Karena itu, bukan hanya pemegang saham penggugat yang
harus didengar oleh pengadilan. Misalnya, dalam adanya settlement di
pengadilan, apabila settelement tersebut cukup layak dan diterima oleh
banyak pihak, pengadilan seyogianya harus mengabulkan settlement
tersebut, meskipun katakanlah pihak pemegang saham penggugat
d) Tindakan penolakan gugatan derivatif berdasarkan alasan ne bis in idem
tidak boleh merugikan kepentingan pihak stake holder yang lain.
e) Harus dibatasi bahkan dilarang penerimaan manfaat oleh pemegang saham
yang ikut terlibat dalam tindakan yang merugikan perseroan terhadap
mana gugatan derivatif diajukan, yakni manfaat dari ganti rugi yang
diberikan terhadap gugatan derivatif tersebut.
f) Seluruh manfaat yang diperoleh dari gugatan derivatif menjadi milik
perseroan.
g) Sebagai konsekuensinya, maka seluruh biaya yang diperlukan dalam
gugatan derivatif mesti ditanggung oleh pihak perseroan.
Contoh dari gugatan derivatif adalah jika seorang atau lebih pemegang saham
mengajukan gugatan untuk memaksa direksi perseroan tersebut mengganti
kerugian kepada perseroan atas kesalahannya dalam mentransfer milik perseroan
secara tidak benar.105
105
Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law & Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, Op. Cit., Hal. 76
Disamping itu, pihak pemegang saham dapat mengajukan
gugatan derivatif, bukan saja terhadap tindakan yang dilakukan direksi/komisaris
pada masa pemegang saham (penggugat) tersebut sudah menjadi pemegang
saham, melainkan pihak pemegang saham dapat juga mengajukan gugatan
derivatif tersebut kepada tindakan-tindakan perseroan yang sudah dilakukan
sebelum pihak pemegang saham (penggugat) tersebut masuk ke dalam perusahaan
sebagai pemegang saham. Logikanya adalah karena ganti rugi yang akan
didapatkan oleh perusahaan akibat adanya wanprestasi dari perusahaan tersebut
perusahaan. Namun demikian, tidak untuk semua kerugian perusahaan dapat
diajukan gugatan derivatif.106
1. Prinsip Kemandirian Badan Hukum
Seperti telah disebutkan bahwa dalam suatu gugatan derivatif, pihak yang
mewakili perseroan untuk mengajukan gugatan adalah pemegang saham, bukan
direksi seperti dalam kasus-kasus yang normal. Sehingga, pembedaan antara
gugatan derivatif dengan gugatan langsung oleh pemegang saham akan mendapat
dukungan dari prinsip-prinsip umum dalam hukum perseroan sebagai berikut:
Sebagaimana diketahui bahwa suatu perseroan terbatas adalah suatu badan
hukum. Ini berarti suatu badan hukum, perseroan terbatas memiliki
kekayaan yang terpisah dengan kekayaan pribadi dari pemegang saham.
Karena itu, terhadap suatu kepentingan perseroan, tidak boleh diajukan
gugatan untuk kepentingan pemegang sasham, seperti dalam suatu gugatan
langsung oleh pemegang saham.
2. Prinsip Fiduciary Duty dari Direksi
Hukum perseroan kontemporer mengajarkan bahwa kepada direksi
dibebankan tugas yang disebut dengan fiduciary duty. Doktrin fiduciary
duty ini mengharuskan direksi perseroan untuk memimpin perseroan
dengan sebaik mungkin dan melindungi sebaik mungkin kepentingan
perseroan, yang di dalamnya secara tidak langsung termasuk juga semua
kepentingan stake holder termasuk kepentingan para pemegang saham.
Karena itu, sesuai dengan tugas fiduciary duty ini, seyogiayanya di pundak
106
direksilah terletak kewajiban untuk memperhatikan dengan
sungguh-sungguh kepentingan segenap stake holder, termasuk mewakili perseroan
di pengadilan untuk mewujudkan kepentingan seperti yang menjadi objek
gugatan derivatif itu. Bahwa kemudian pihak pemegang saham yang
bertindak untuk mewakili perseroan, maka kepada pemegang saham
tersebut pun dibebankan tugas fiduciary duty tersebut.
3. Hak Kreditor Perseroan untuk lebih Didahulukan
Suatu hal yang prinsip dalam perseroan adalah pihak kreditor harus lebih
diutamakan daripada pemegang saham. Hal ini kelihatan dengan jelas,
misalnya dalam hal pembagian aset-aset perseroan ketika perseroan
tersebut pailit atau dilikuidasi. Seperti juga prinsip subordinated loan dari
pemegang saham dibandingkan dengan loan dari pihak luar perseroan
yang tidak subbordinated itu. Apabila pemegang saham dapat mengajukan
gugatan langsung, yakni gugatan untuk dan atas nama dirinya sendiri,
berarti seluruh hasil yang didapatkan dari gugatan derivatif tersebut
menjadi milik pemegang saham penggugat tersebut. Namun, dengan
dibenarkan diajukannya suatu gugatan derivatif oleh pemegang saham, ini
berarti hasil dari gugatan tersebut menjadi milik perseroan, yang dalam hal
ini berarti terhadapnya bukan hanya pemegang saham yang berhak,
melainkan juga krediturnya.
Karena gugatan derivatif diajukan pemegang saham bukan untuk
kepentingannya sendiri, melainkan untuk kepentingan perseroan, maka sudah
ditanggung oleh pihak perusahaan, termasuk fee pengacara. Akan tetapi, prinsip
menanggung biaya gugatan oleh perseroan ini hanya layak diberlakukan terhadap
putusan-putusan dari gugatan derivatif sebagai berikut:
1) Putusan membawa keuntungan yang substansial bagi perseroan.
2) Putusan memerintahkan direksi atau pegawai lainnya untuk menghentikan
tindakan yang tidak layak bagi perseroan.107
Dalam suatu gugatan derivatif, terdapat para pihak sebagai berikut:
1) Pihak Penggugat;
2) Pihak Tergugat; dan
3) Pihak yang Kepentingannya Diwakili oleh Penggugat.
Berikut ini penjelasan bagi masing-masing pihak tersebut, yaitu sebagai berikut:
1. Pihak Penggugat dalam Gugatan Derivatif
Pihak penggugat dalam suatu gugatan derivatif adalah 1 (satu) atau lebih
pemegang saham yang bersangkutan. Agar pemegang saham dapat
mengajukan gugatan derivatif, dalam ilmu hukum korporat dikenal apa
yang disebut “doktrin kepemilikan kontemporer” (Contemporary
Ownership Rule).
Yang diajarkan oleh doktrin kepemilikan kontemporer adalah bahwa
pemegang saham dari suatu perseroan tidak dapat mengajukan gugatan
derivatif kecuali:
107
a) Jika dia merupakan pemegang saham dari perusahaan tersebut pada
saat terjadinya transaksi yang menimbulkan gugatan tersebut.
b) Jika dia menjadi pemegang saham melalui peralihan saham demi
hukum, misalnya karena warisan, dari pemegang saham yang
memegang saham pada saat terjadinya transaksi yang menimbulkan
gugatan tersebut.
c) Jika dia tidak telah melepaskan sahamnya pada saat gugatan dilakukan.
Tujuan dari diberlakukannya doktrin kepemilikan kontemporer
adalah untuk menghindari terjadinya pembelian gugatan. Maksudnya agar
jangan ada pihak yang sengaja membeli saham dari suatu perseroan hanya
dengan maksud untuk mengajukan gugatan derivatif tersebut. Hal seperti
ini dipandang tidak pantas dalam dunia hukum dan dianggap melanggar
prinsip-prinsip keadilan.
Konsekuensi-konsekuensi yuridis dari penerapan doktrin
kepemilikan kontemporer adalah sebagai berikut:
a) Apabila pemegang saham penggugat mengalihkan sahamnya kepada
pihak lain sementara gugatan derivatifnya masih berlangsung, maka
dia kehilangan haknya untuk tetap mempertahankan posisinya selaku
penggugat.
b) Dalam hal merger, jika pemegang saham penggugat telah menjual
sahamnya (cash out) dalam rangka merger tersebut, sehingga dia tidak
dia juga kehilangan posisinya selaku penggugat. Sebaliknya, apabila
pemegang saham penggugat tetap harus memegang saham dalam
perusahaan hasil merger, maka dia tetap dipertahankan haknya sebagai
penggugat untuk kepentingan perusahaan hasil merger.
Karena pihak penggugat dalam suatu gugatan derivatif adalah salah
satu atau lebih pemegang saham, maka pihak kreditur tidak dapat
mengajukan suatu gugatan derivatif. Demikian juga pihak direksi atau
pegawai perseroan tidak dapat mengajukan gugatan deivatif. Akan
tetapi, ada perbedaan pendapat tentang masalah apakah pemegang
convertible bonds dapat mengajukan gugatan derivatif atau tidak.
2. Pihak Tergugat dalam Gugatan Derivatif
Adapun yang menjadi pihak tergugat dalam suatu gugatan derivatif adalah
pihak manapun yang telah merugikan perseroan. Pihak terrgugat tersebut
terdiri dari:
a) Pihak ketiga (luar perusahaan)
b) Pihak direksi perseroan
c) Pihak pegawai perseroan selain direksi
d) Pihak pemegang saham mayoritas
3. Pihak yang Kepentingannya Diwakili oleh Penggugat
Pihak yang mempunyai kepentingan dalam gugatan derivatif adalah
perseroan itu sendiri, meskipun gugatan tersebut diajukan oleh pemegang
(direct suit), sebab dengan gugatan langsung, pemegang saham yang menjadi
penggugat tersebut mewakili bertindak untuk dan atas nama perseroan, maka
pihak pemegang saham penggugat tersebut oleh hukum dianggap mempunyai
fiduciary duty terhadap perusahaan maupun terhadap pemegang saham lain yang
mempunyai kepentingan yang sama.
Namun demikian, seperti telah disebutkan bahwa karena yang mengajukan
gugatan derivatif adalah pihak pemegang saham, sedangkan gugatan tersebut
ditujukan untuk kepentingan perseroan, maka pihak pemegang saham yang
mengajukan gugatan derivatif tersebut ddisebut dengan istilah guardian ad litem
terhadap perusahaannya. Dalam hal ini, ketika ada gugatan derivatif tersebut, yang
menjadi penggugat atau tergugat umumnya bukan perseroan, sunggunhpun ada
sistem hukum yang mengharuskan perusahaan tetap sebagai pihak dalam gugatan
tersebut, sehingga pihak perseroan akan menjadi pihak yang hanya bersikap pasif
saja, dan baru bereaksi jika ada hal-hal yang bisa merugikan perseroan. Dalam hal
seperti ini, pihak perseroan disebut sebagai “tergugat nominal” (nominal
defendant), dengan sedikit kesempatan untuk membela diri, jika dalam
berjalannya proses tersebut terdapat hal-hal yang dianggap dapat merugikan
perseroan.
Sering menjadi persoalan yuridis apakah perseroan sebagai tergugat
nominal dan direksi mungkin sebagai tergugat, dapat menahan dokumen-dokumen
perseroan jika hal tersebut dimintakan oleh pemegang saham penggugat dalam
suatu proses gugatan derivatif. Ini persoalan yang dilematis dalam hukum. Sebab,
perseroan dan direksi dalam posisinya selaku direksi bukan bertindak untuk
kepentingan diri sendiri, melainkan harus bertindak untuk kepentingan perseroan.
Namun di lain pihak hal tersebut ada terkait dengan masalah hubungan dan
informasi kerahasiaan antara pengacara dengan kliennya.
Dalam hal ini, umumnya sektor yuridis mencoba mencari win-win solution,
dengan memperkenankan dan memberikan hak kepada pihak pemegang saham
untuk mendapatkan informasi, tetapi dengan batasan-batasan tertentu. Ketentuan
yang umum adalah bahwa informasi tersebut baru merupakan haknya pihak
pemegang saham manakala informasi yang bersangkutan memang “relevan”
untuk diterimanya. Di Amerika Serikat misalnya, “standar relevansi” terhadap
informasi perseroan untuk dapat diberikan pemegang saham penggugat dalam
suatu gugatan derivatif yang sudah diterima secara meluas adalah sebagaimana
terdapat dalam kasus yang menjadi pedomannya, yaitu Garner v. Wolfinbarger
(1968). Standar untuk relevansi (untuk mendapatkan goodcause) menurut kasus
tersebut adalah sebagai berikut:
a) Jumlah pemegang saham yang meminta informasi tersebut.
b) Persentase saham yang dimiliki oleh pemegang saham yang meminta
informasi tersebut.
c) Itikad baik dari pemegang saham yang meminta informasi.
d) Sifat dari gugatan tersebut.
e) Sejauhmana informasi yang bersangkutan bagi pemegang saham tersebut.
f) Sejauhmana informasi tersebut dapat diperoleh dari pihak lain di luar
g) Sifat tindakan yang menerbitkan gugatan, misalnya apakah kesengajaan
(perdata), kelalaian (perdata), atau perbuatan pidana.
h) Apakah informasi tersebut hanya untuk kepentingan prosedural
semata-mata.
i) Akankah pembukaan informasi tersebut berbahaya bagi perseroan karena
termasuk ke dalam golongan “rahasia dagang”.
j) Apakah informasi tersebut termasuk ke dalam informasi rahasia untuk
keperluan independensi perseroan.
k) Pandangan minoritas dalam keputusan Garner tersebut memberikan
kriteria apakah pemegang saham penggugat dengan gugatannya berusaha
untuk mencari ganti rugi untuk dirinya sendiri atau untuk perseroan.108
Hal-hal yang harus diperhatikan penggugat sehingga gugatan tidak ditangkis oleh
tergugat yaitu:
1. Diskualifikasi penggugat
Pada prinsipnya semua pemegang saham oleh hukum diperkenankan untuk
mengajukan gugatan derivatif untuk dan atas nama perseroan. Inilah
adalah hukum secara umumnya. Akan tetapi, hukum juga harus
mempertimbangkan unsur-unsur kepantasan dan keadilan. Karena itu,
terdapat beberapa kekecualian dari hukum pada umumnya tersebut. Yakni
ada beberapa pemegang saham yang oleh hukum tidak dapat diberikan
wewenang untuk dapat mengajukan gugatan derivatif untuk dan atas nama
108
perseroannya. Termasuk di antara pemegang saham yang tidak berhak
mengajukan gugatan derivatif adalah sebagai berikut:
a. Pemilik saham bernoda (dirty stock, tainted shares)
Yang dimaksud dengan saham bernoda ini adalah saham yang
dipegang oleh pemegang saham di mana pihak pemegang saham
tersebut sebenarnya ikut serta atau ikut menyetujui terjadinya transaksi
yang menyebabkan diajukannya gugatan derivatif tersebut. Pemegang
saham seperti ini tidak pantas mengajukan derivatif suit.
b. Pernerima transfer saham bernoda
Jika ada pihak yang menerima saham bernoda tersebut, dalam arti dia
sendiri tidak terlibat dalam transaksi yang menyebabkan diajukannya
gugatan derivatif tersebut, dia juga tidak berhak untuk mengajukan
gugatan derivatif, meskipun dia merupakan pihak penerimma transfer
yang beritikad baik sekalipun. Sebab, saham tersebut memang tidak
bersih (bernoda).
2. Tidak memenuhi persyaratan prosedural
Suatu gugatan derivatif juga dapat dibatalkan karena alasan-alasan tidak
terpenuhinya persyaratan prosedural. Termasuk ke dalam alasan
prosedural misalnya:
a. Tidak terlebih dahulu memberikan uang jaminan terhadap biaya
perkara di negara yang hukumnya mewajibkan hal yang demikian.
b. Tidak terrlebih dahulu memperingatkan/meminta direksi terlebih
derivatif dilakukan, jika hal tersebut diwajibkan oleh hukum di negara
yang bersangkutan. Kecuali jika peringatan/permintaan tersebut tidak
mungkin dilakukan, misalnya dalam hal direksi tersebut yang menjadi
tergugat karena telah melakukan tindak pidana penipuan atau
penggelapan.
c. Tidak terlebih dahulu meminta pemegang saham lainnya untuk ikut
mengajukan gugatan derivatif tersebut, jika hal tersebut diwjibkan oleh
hukum di negara yang bersangkutan untuk kewajiban meminta
pemegang saham yang lain seperti itu, sistem hukum di Amerika
Serikat umumnya mengharuskan kewajiban tersebut, kecuali dalam
hal-hal yang memang permintaan tersebut tidak mungkin dilakukan,
seperti dalam hal pemegang sahamnya terlalu banyak misalnya,
sementara hukum di Inggris umumnya tidak mengharuskan
dilakukannya permintaan tersebut.
3. Tangkisan dengan alasan substantif
Banyak alasan yuridis yang bersifat substantif yang dapat diajukan oleh
pihak tergugat dalam suatu gugatan derivatif. Misalnya alasan-alasan
sebagai berikut:
a. Alasan kadaluwarsa untuk mengajukan gugatan.
b. Alasan Business Judgement Rule dari direksi, yang dalam hal ini
kebijaksanaan dari direksi tidak dapat diuatak-atik oleh siapapun,
c. Khususnya bagi transaksi yang sifatnya “dapat dibatalkan”
(vertietigebaar), “jadi bukan yang batal demi hukum” (nietig) tersedia
pula tangkisan dari tergugat bahwa transaksi tersebut telah diratifikasi
oleh direksi atau pemegang saham.109
Didalam gugatan derivatif yang diatur dalam Undang-Undang Perseroan
Terbatas, pengaturan gugatan derivatif sangat bersifat umum. Pasal 97 ayat (6)
dan Pasal 114 ayat (6) hanya mensyaratkan bahwa gugatan derivatif dapat
dilakukan oleh pemegang saham minimal 10% terhadap direksi/komisaris yang
karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan. Tidak
disyaratkan misalnya gugatan derivatif baru dapat dilakukan jika pihak
perusahaan tidak mau mengajukan sendiri gugatannya, sebagai disyaratkan di
beberapa negara lain. Undang-Undang Perseroan Terbatas juga tidak memberikan
kewenangan kepada pemegang saham untuk mewakili perseroan sebagai tergugat,
jika direksi tidak mau mewakilinya. Di samping itu, Undang-Undang Perseroan
Terbatas memberikan kewenangan kepada pemegang saham minoritas manakala
gugatan tersebut hanya ditujukan kepada direksi atau komisaris saja.
Tertutup kemungkinan jika gugatan ditujukan terhadap pihak-pihak lain,
seperti pihak kreditur, pemegang saham mayoritas, dan lain-lain. Sebagaimana
diketahui bahwa di dalam setiap sistem hukum, terhadap eksistensi doktrin
gugatan derivatif terdapat batasan-batasan dari ruang jelajah berlakunya.
Diberlakukannya pembatasan-pembatasan terhadap gugatan derivatif antara lain
109
dimaksudkan agar terdapat juga keadilan bagi stake holders yang lain dalam
perseroan selain dari pihak pemegang saham. Misalnya, perwujudannya berupa
perlindungan kepada pihak kreditur atau pekerja perseroan. Jadi, bukan hanya hak
pemegang saham melulu yang mesti dipertimbangkan oleh hukum. Dalam sistem
hukum di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Perseroan Terbatas yang
namanya gugatan derivatif dibatasi dengan cara hanya memberikan kemungkinan
diajukannya gugatan tersebut kepada direksi dan komisaris saja. Tertutup
kemudian pengajuan gugatan derivatif kepada pihak-pihak lain, seperti terhadap
pihak ketiga diluar perseroan, atau terhadap pihak pemegang saham mayoritas
misalnya.110
B. Pelaksanaan hak derivatif
Mengenai peran derivative action, terdapat berbagai macam perbedaan
pendapat dari berbagai ahli mengenai apakah peranan penting dari adanya hak
menggugat pemegang saham dengan nama derivative action tersebut. Perbedaan
tersebut dapat dilihat sebagai berikut, menurut Jhon C. Coffe dan Donald E.
Schwarts, derivative action memainkan peranan penting dalam mencegah direksi
dari pelanggaran kewajiban dan hukuman atas pelanggaran tersebut. Menurut
Oliver C. Schreiner, yang dicegah dari derivative action adalah manajemen yang
tidak jujur dari direksi. Sedangkan Thomas P. Kinney berpendapat bahwa yang
dicegah adalah perilaku yang salah (wrongful behavior) dari direksi. Berbeda
dengan yang lainnya George T. Washington berpendapat bahwa peranan
110
derivative action adalah untuk memberikan perlindungan yang seimbang bagi
minority shareholder.111
Dari berbagai pendapat mengenai peranan derivative action ini, pendapat
dari The 1993 Companies and Securities Advisory Committee Report on a
Statutory derivative action adalah pendapat yang berhasil menyatukan berbagai
macam perbedaan pendapat tersebut, yaitu dengan menggunakan istilah
“achieving managerial accuntability” sebagai kegunaan dari adanya shareholder
derivative action. Lebih komprehensif, Ian M. Ramsay dan Benjamin B. Saunders
menyatakan bahwa peranan derivative action adalah menjamin corporate
governance yang efektif yang di dalamnya terdapat aspek akuntabilitas.112
Dalam perkara Foss v. Hrbottle, Richard Foss dan Edward Starkie Turton
sebagai minority shareholders dari Victoria Park Company menggugat lima
orang direksi korporasi yang terdiri atas Thomas Harbottle, Joseph Adshead,
Dalam common law system, pengakuan atas hak gugat derivasi ini pertama
kali dikenal dengan konsep trust ketika konsep korporasi modrn belum dikenal
dalam common law system. Saat itu, perkara yang pertama adalah Robinson v.
Smith pada tahun 1832. Dalam perkara ini Chancellor Reuben H. Walworth
mengatakan bahwa beneficiary dapat membawa gugatan atas nama (on behalf)
trust terhadap faithless trustee yang menolak bertindak untuk kepentingan trust
dan melakukan kecurangan. Adapun derivative action yang dipahami dewasa ini
diakui sebagai reaksi dari Foss v. Harbottle principles.
111
Freddy Harris dan Teddy Anggoro, Op. Cit., hal. 70. 112
Henry Byrom, Jhon Westhead dan Richard Bealey karena telah menjual 180 acres
tanah yang sebelumnya dibeli pada bulan September 1835 diatas harga pasar dan
telah mengagunkan properti korporasi dengan harga tidak layak. Dalam perkara
ini, Vice Chancellor Sir James Wigram menyatakan bahwa “the corporation
should sue in its own name and in its corporate character, or in the name of
someone whom the laws has appointed to be its representative.” Dengan kata lain,
bahwa yang berhak untuk menggugat korporasi adalah korporasi itu sendiri
sebagai subjek hukum itu sendiri sebagai subjek hukum atau individu yang oleh
hukum ditunjuk sebagai representasi korporasi. Oleh karena itu, gugatan
penggugat ditolak oleh pengadilan Inggris.113
Merujuk pada perkara Foss v. Hrbottle tersebut, Justice Jenkins L. Dalam
perkara Edward v. Halliwell, memecah Foss v. Harbottle principles tersebut
menjadi dua aturan, yaitu proper plaintiff rule dan internal management-simple
mayority rule. Proper plaintiff rule diartikan sebagai perbuatan salah terhadap
korporasi bukan merupakan perbuatan yang salah bagi pemegang saham. Atas
kesalahan tersebut yang berhak menggugat adalah korporasi itu sendiri. Hal ini
sejalan dengan separate legal entity doctine yang pertama kali diperkenalkan
dalam perkara Salomon v. A. Salomon Co. sedangkan internal
management-simple mayority rule adalah bahwa pengadilan tidak akan mencampuri internal
management dari suatu korporasi sepanjang tindakan manajemen didasarkan pada
kewenangan yang dimilikinya, sekalipun terjadi kesalahan. Jika mayoritas
pemegang saham menerima kesalahan tersebut menjadi tanggung jawab
113
korporasi, maka pengadilan tetap tidak dapat mencampuri urusan tersebut. Hal ini
sejalan dengan internal affairs doctine yang pertama kali diperkenalkan dalam
perkara Burland v. Earle.
Meskipun didasari pada corporate law principles, pada perkembangannya
kedua rule tersebut dirasakan menimbulkan ketidakadilan bagi pemegang saham,
khususnya pemegang saham minoritas, karena suatu perhatian penting dari
corporate law adalah mengenai ukuran antara kontrol dan akuntabilitas. Dalam
korporasi publik yang besar, direksi memiliki signifikan discretion dalam
menjalankan bisnis korporasi. Diskresi yang sangat luas ini, secara efektif
diartikan sebagai kontrol manajemen atas korporasi. Kontrol ini dapat membawa
direksi pada tindakan untuk kepengtingannya sendiri ketimbang kepentingan
pemegang saham. Konsekuensinya, banyak aturan mengenai korporasi yang
berusaha menjamin akuntabilitas dari direksi tanpa menggangu kewenangan
diskresi yang dimiliki direksi. Salah satunya adalah pengaturan derivative action.
Dari pemasalahan tersebut, berkembanglah pengecualian-pengecualian dari
Foss v. Harbottle principles, yang diungkapkan oleh hakim Jenskins L. dalam
perkara Edward v. Halliwell yang telah disampaikan sebelumnya. Pengecualian
tersebut terdiri atas berikut ini.114
1. The ilegal or ultra vires exception
Ketika tindakan direksi adalah ilegal atau ultra vires terhadap
korporasi.dalam keadaan ini pemegang saham dapat menggugat atas nama
114
sendiri untuk membatasi atau menghentikan tindakan direksi tersebut.
Karena tindakan ilegal dan ultra vires tidak akan disahkan oleh mayoritas
pemegang saham.
2. The special majority exception
Dimana tindakan korporasi disetujui dengan cara yang biasa yaitu
persetujuan mayoritas pemegang saham sedangkan anggaran dasar
mensyaratkan berbeda, yaitu harus dengan persetujuan pemegang saham
minoritas di dalamnya (special majority ). Dalam keadaan ini, pemegang
saham dapat menggugat atas nama pribadi atas pelanggaran anggaran
dasar tersebut. Penerapan exception ini terdapat dalam perkara Baillie v.
Oriental Telephone Co. Ltd., dan Cotter v. National Union of Seamen.
Pengadilan mengizinkan pemberlakuan aturan ini karena telah terjadi
pelanggaran anggaran dasar oleh korporasi tanpa adanya kesempatan
untuk mengembalikan kerugian pemegang saham minoritas.
3. The personal right exception
The personal right exception ini merupakan pengecualiaan dari Foss v.
Harbottle principles, tetapi tidak dapat diterapkan dengan derivative
action sama seperti dua pengecualiaan sebelumnya. Karena jika tejadi
pelanggaran terhadap hak-hak personal pemegang saham, maka pemegang
saham itu sendiri yang berhak menggugat korporasi yang merugikannya.
4. The fraud on the minority exception
Ketika terjadi tindakan yang dihitung sebagai kecurangan terhadap