• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peningkatan Keterampilan Menceritakan Kembali Cerita Anak melalui Teknik Story Telling dengan Media Flash Card pada Siswa Kelas VII-C SMP Islam Sudirman Sumowono Kabupaten Semarang Tahun Pelajaran 2008 2009 -

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peningkatan Keterampilan Menceritakan Kembali Cerita Anak melalui Teknik Story Telling dengan Media Flash Card pada Siswa Kelas VII-C SMP Islam Sudirman Sumowono Kabupaten Semarang Tahun Pelajaran 2008 2009 -"

Copied!
228
0
0

Teks penuh

(1)

PENINGKATAN KETERAMPILAN MENCERITAKAN KEMBALI

CERITA ANAK MELALUI TEKNIK

STORY TELLING

DENGAN MEDIA

FLASH CARD

PADA SISWA KELAS VII-C SMP ISLAM SUDIRMAN SUMOWONO

KABUPATEN SEMARANG TAHUN PELAJARAN 2008/2009

SKRIPSI

diajukan untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan

oleh:

Nama

: Nurul Aini

NIM

: 2101405079

Program Studi: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Jurusan

: Bahasa dan Sastra Indonesia

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

(2)

ii

SARI

Nurul, Aini

. 2009.

Peningkatan Keterampilan Menceritakan Kembali Cerita

Anak melalui Teknik Story Telling dengan Media Flash Card pada Siswa

Kelas VII-C SMP Islam Sudirman Sumowono Kabupaten Semarang Tahun

Pelajaran 2008/2009. Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia,

Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I:

Drs. Bambang Hartono, M.Hum., Pembimbing II: Dra. Suprapti, M.Pd.

Kata Kunci

: menceritakan kembali cerita anak, teknik story telling, media

flash card

Keterampilan menceritakan kembali merupakan salah satu kompetensi

dasar yang harus dimiliki oleh siswa. Berdasarkan wawancara yang telah

dilakukan oleh peneliti terhadap guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP Islam

Sudirman Sumowono serta observasi langsung yang dilakukan oleh peneliti,

menunjukkan keterampilan siswa dalam menceritakan kembali cerita anak masih

rendah. Faktor penyebab rendahnya keterampilan tersebut terdiri atas faktor

internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari siswa, sedangkan faktor

eksternal berasal dari metode yang digunakan guru dalam pembelajaran serta

minimnya ketersediaan media pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu, peneliti

berusaha untuk mencari solusi terhadap masalah-masalah tersebut melalui

pengajaran menceritakan kembali cerita anak menggunakan teknik dan media

baru, yaitu teknik story telling dengan media flash card.

Masalah dalam penelitian ini adalah seberapa besar peningkatan

keterampilan menceritakan kembali cerita anak dan bagaimanakah perubahan

sikap dan perilaku siswa kelas VII-C SMP Islam Sudirman Sumowono dalam

pembelajaran menceritakan kembali cerita anak menggunakan teknik story telling

dengan media

flash card? Tujuan penelitian ini mendeskripsi peningkatan

keterampilan menceritakan kembali cerita anak dan perubahan sikap serta perilaku

siswa kelas VII-C SMP Islam Sudirman Sumowono dalam pembelajaran

menceritakan kembali cerita anak menggunakan teknik story telling dengan media

flash card tahun pelajaran 2008/2009.

Teori yang menunjang penelitian ini (1) teori pembelajaran berbicara

dengan teknik story telling yang diterapkan oleh Nurhayati dalam jurnal penelitian

dan (2) teori pemakaian media flash card yang diterapkan Arsyad sebagai upaya

untuk merangsang imajinasi siswa. Penelitian ini berupaya memadukan teknik

story telling dan media flash card agar lebih memotivasi siswa serta memudahkan

siswa dalam pembelajaran.

(3)

iii

teknik story telling dengan media

flash card. Pengumpulan data pada siklus I dan

siklus II menggunakan teknik tes dan nontes. Instrumen yang digunakan adalah

tes esai perintah menceritakan kembali cerita anak, sedangkan instrumen nontes

yang digunakan berupa pedoman observasi, jurnal, dan wawancara. Hasil

penelitian dianalisis dengan teknik kuantitatif dan kualitatif.

Dalam penelitian siklus I diperoleh hasil menceritakan kembali cerita anak

37,20% atau baru sekitar 16 siswa dikategorikan tuntas, sedangkan nilai rata-rata

klasikal siklus I mencapai 61,74. Sementara itu, pada siklus II 81,40% atau 34

siswa dikategorkan tuntas, sedangkan nilai rata-rata klasikal mencapai 72,79.

Dengan demikian, terjadi peningkatan kategori ketuntasan 44,2%, sedangkan nilai

rata-rata klasikal meningkat sebesaer 17,89% dari siklus I ke siklus II.

Peningakatan keterampilan menceritakan kembali ini juga diikuti dengan

perubahan sikap dan perilaku siswa kearah positif. Pada siklus II siswa terlihat

senang dan bersemangat dalam pembelajaran. Selain itu, siswa semakin aktif dan

antusias dalam mengikuti seluruh rangkaian pembelajaran. Dari hasil penelitian

keterampilan menceritakan kembali cerita anak di atas, dapat disimpulkan bahwa

kemampuan siswa mengalami peningkatan setelah mengikuti proses pembelajaran

menggunakan teknik

story telling dengan media

flash card dan perilaku siswa

mengalami perubahan dari perilaku negatif menjadi perilaku positif.

Saran yang dapat diberikan dari data hasil penelitian ini adalah agar guru

bahasa Indonesia menggunakan teknik story telling serta media flash card sebagai

alternatif pembelajaran menceritakan kembali cerita anak. Bagi siswa hendaknya

mengikuti kegiatan pembelajaran menceritakan kembali cerita anak dengan

bersemangat dan berperilaku positif sehingga siswa dapat bercerita dengan baik

dan menarik.

(4)

iv

PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan

Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri

Semarang

pada hari

: Senin

tanggal

: 10 Agustus 2009

Panitia Ujian Skripsi

Ketua,

Sekretaris,

Prof. Dr. Rustono, M.Hum.

Drs. Haryadi, M.Pd.

NIP 195801271983031003

NIP 196710051993031003

Penguji I,

Tommi Yuniawan, S.Pd., M.Hum.

NIP 197506171999031002

Penguji II,

Penguji III,

(5)

v

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke Sidang Panitia

Ujian Skripsi.

Semarang, Juli 2009

Pembimbing I,

Pembimbing II,

Drs. Bambang Hartono, M.Hum.

Dra. Suprapti, M.Pd.

(6)

vi

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar hasil karya

saya sendiri, bukan jiplakan dari karya orang lain, baik sebagian maupun

seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini

dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, Juli 2009

(7)

vii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto:

1.

“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum apabila meraka

tidak merubah nasibnya sendiri” (QS: Ar Ra’du, ayat 11).

2.

“Sesungguhnya kami telah telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka)

bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala

sesuatu”(QS: Al Kahfi, ayat 84).

3.

Setiap ada kekusahan pasti ada kebahagiaan, setiap ada kesukaran pasti akan

ada kemudahan.

4.

Iringilah perjalan hidup kita dengan ikhtiar dan doa.

Persembahan:

Skripsi ini saya persembahkan kepada:

1.

Bapak dan ibuku tercinta yang senantiasa mendukung dan mengiringi setiap

langkah hidupku dengan doa.

(8)

viii

PRAKATA

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt karena

dengan segala cinta dan kasih-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari izin dan dukungan berbagai pihak.

Oleh karena itu, perkenankanlah penulis mengucapkan rasa hormat dan terima

kasih kepada:

1.

Dekan Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang yang telah

memberikan izin penelitian;

2.

Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan izin

dalam penyususnan skripsi ini;

3.

Drs. Bambang Hartono, M.Hum., sebagai Pembimbing I dan Dra. Suprapti,

M.Pd., sebagai Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan

pengarahan dalam penyususnan skripsi ini;

4.

Bapak dan ibu dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas

Negeri Semarang;

5.

Keluarga besar SMP Islam Sudirman Sumowono Kabupaten Semarang

yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian;

6.

Abangku yang menjadi motivator dan semangat dalam hidupku;

7.

Segenap keluarga yang selalu memberikan dorongan untuk maju;

8.

Seluruh pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini yang tidak

dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para

pembaca.

Semarang, 2009

Penulis,

(9)

ix

DAFTAR ISI

SARI ...

i

PENGESAHAN KELULUSAN ...

iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ...

iv

PERNYATAAN ...

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...

vi

PRAKATA ...

vii

1.2

Identifikasi Masalah ...

6

1.3

Pembatasan Masalah ...

8

1.4

Rumusan Masalah ...

9

1.5

Tujuan Penelitian ...

10

1.6

Manfaat Penelitian ...

10

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka ... 12

2.2

Landasan Teori ... 15

2.2.1 Keterampilan Menceritakan Kembali ...

15

2.2.1.1 Hakikat Menceritakan Kembali ... 15

2.2.1.2 Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Menceritakan Kembali .. 19

2.2.2 Cerita Anak ... 23

2.2.2.1 Pengertian Cerita Anak ... 23

2.2.2.2 Unsur-Unsur Cerita Anak ... 27

2.2.2.3 Kriteria Pemilihan Cerita Anak ... 33

(10)

x

2.2.4 Media Flash Card ... 36

2.2.4.1 Hakikat Media ... 37

2.2.4.2 Flash Card ... 41

2.2.5 Pembelajaran Menceritakan Kembali Cerita Anak melalui Teknik

Story Telling dengan Media Flash Card ... 44

2.2.5.1 Teknik Story Telling dengan Media Flash Card dalam

Pembelajaran Menceritakan Kembali Cerita Anak ... 44

2.2.5.2 Tahap Pembelajaran Menceritakan Kembali Cerita Anak melalui

Teknik Story Telling dengan Media Flash Card ... 46

2.3

Kerangka Berpikir ... 49

2.4

Hipotesis Tindakan ... 52

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian ... 53

3.1.1 Prosedur Tindakan Kelas Siklus I ... 54

3.1.2 Prosedur Tindakan Kelas Siklus II ... 59

3.2 Subjek Penelitian ... 63

BAB VI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1

Hasil Penelitian ... 76

4.1.1 Prasiklus ... 76

(11)

xi

4.1.2.1 Hasil Tes Siklus I ... 78

4.1.2.2 Hasil Nontes Siklus I ... 89

4.1.2.3 Refleksi Siklus I ... 101

4.1.3 Hasil Penelitian Siklus II ... 104

4.1.3.1 Hasil Tes Siklus II ... 105

4.1.3.2 Hasil Nontes Siklus II ... 114

4.1.3.3 Refleksi Siklus II ... 128

4.2

Pembahasan ... 130

4.2.1 Peningkatan Keterampilan Menceritakan Kembali Cerita Anak

Siswa Kelas VII-C SMP Islam Sudirman Sumowono ... 131

4.2.2 Perubahan Sikap dan Perilaku Siswa Kelas VII-C SMP Islam

Sudirman Sumowono ... 134

BAB V PENUTUP

5.1

Simpulan ... 141

5.2

Saran ... 142

DAFTAR PUSTAKA ... 144

(12)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Skor Penilaian Bercerita ... 67

Tabel 2 Kriteria Penilaian Bercerita ... 68

Tabel 3 Kriteria Menceritakan Kembali Cerita Anak ... 70

Tabel 4 Rincian Perolehan Nilai Tiap Siswa ... 71

Tabel 5 Hasil Tes Keterampilan Menceritakan Kembali Cerita Anak

Siklus I ... 78

Tabel 6 Hasil Tes Menceritakan Kembali Cerita Anak Aspek Kelancaran

Bercerita ... 82

Tabel 7 Hasil Tes Menceritakan Kembali Cerita Anak Aspek Alur

Cerita ... 83

Tabel 8 Hasil Tes Menceritakan Kembali Cerita Anak Aspek Diksi... 84

Tabel 9 Hasil Tes Menceritakan Kembali Cerita Anak Aspek Kesesuaian

dengan Topik ... 85

Tabel 10 Hasil Tes Menceritakan Kembali Cerita Anak Aspek

Penampilan ... 87

Tabel 11 Hasil Observasi Siklus I ... 89

Tabel 12 Hasil Tes Keterampilan Menceritakan Kembali Cerita Anak

Siklus II ... 105

Tabel 13 Hasil Tes Menceritakan Kembali Cerita Anak Aspek Kelancaran

Bercerita ... 108

Tabel 14 Hasil Tes Menceritakan Kembali Cerita Anak Aspek Alur

Cerita ... 110

Tabel 15 Hasil Tes Menceritakan Kembali Cerita Anak Aspek Diksi ... 111

Tabel 16 Hasil Tes Menceritakan Kembali Cerita Anak Aspek Kesesuaian

dengan Topik ... 112

Tabel 17 Hasil Tes Menceritakan Kembali Cerita Anak Aspek

Penampilan ... 113

(13)

xiii

Tabel 19 Ketuntasan dan Peningkatan Keterampilan Menceritakan Kembali

Cerita Anak pada Siklus I dan Siklus II ... 132

Tabel 20 Perolehan Nilai dan Peningkatan Keterampilan Menceritakan

(14)

xiv

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 1 Persentase Ketuntasan Tes Keterampilan Menceritakan

Kembali Cerita Anak Siklus I ...

79

Diagram 2 Hasil Tes Keterampilan Menceritakan Kembali Cerita Anak

Siklus I ...

81

Diagram 3 Persentase Ketuntasan Tiap Aspek Keterampilan Menceritakan

Kembali Cerita Anak Siklus I ...

88

Diagram 4 Persentase Ketuntasan Tes Keterampilan Menceritakan

Kembali Cerita Anak Siklus II ... 107

Diagram 5 Hasil Tes Keterampilan Menceritakan Kembali Cerita Anak

Siklus II ... 107

Diagram 6 Persentase Ketuntasan Tiap Aspek Keterampilan Menceritakan

Kembali Cerita Anak Siklus II ... 114

Diagram 7 Peningkatan Nilai Keterampilan Menceritakan Kembali

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Proses Penelitian Tindakan Kelas ... 54

Gambar 2 Kegiatan pada saat Peneliti Menerangkan Materi ... 91

Gambar 3 Kegiatan Siswa saat Dikelompokkan dan Pemberian Contoh

Media ... 92

Gambar 4 Kegiatan pada saat Siswa Membaca ... 93

Gambar 5 Kegiatan Siswa Membuat Ringkasan dan Melengkapi

Gambar ... 93

Gambar 6 Kegiatan Siswa Bercerita di Dalam Kelompok ... 94

Gambar 7 Kegiatan Siswa Bercerita di Depan Kelas ... 94

Gambar 8 Kegiatan Peneliti Menerangkan Materi ... 118

Gambar 9 Kegiatan Siswa Membaca dan Membuat Ringkasan ... 119

Gambar 10 Kegiatan Siswa Bercerita, Bertanya, dan Mencatat ... 120

Gambar 11 Kegiatan Siswa Bercerita di Depan Kelas ... 120

Gambar 12 Kegiatan Siswa Membaca Teks Cerita ... 137

Gambar 13 Kegiatan Siswa Membuat Ringkasan ... 137

Gambar 14 Kegiatan Siswa dalam Kelompok ... 138

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 RPP Siklus I ... 146

Lampiran 2 RPP Siklus II ... 150

Lampiran 3 Pedoman Observasi Siklus I ... 154

Lampiran 4 Pedoman Observasi Siklus II ... 155

Lampiran 5 Pedoman Jurnal Siswa Siklus I ... 156

Lampiran 6 Pedoman Jurnal Siswa Siklus II ... 157

Lampuran 7 Pedoman Jurnal Guru Siklus I ... 158

Lampiran 8 Pedoman Jurnal Guru Siklus II ... 159

Lampiran 9 Pedoman Wawancara Siklus I ... 160

Lampiran 10 Pedoman Wawancara Siklus II ... 161

Lampiran 11 Teks Cerita Anak Siklus I ... 162

Lampiran 12 Teks Cerita Anak Siklus II ... 171

Lampiran 13 Daftar Nama Siswa Kelas VII-C SMP Islam

Sudirman Sumowono ... 177

Lampiran 14 Daftar Nilai Tes Menceritakan Kembali Cerita Anak ... 178

Lampiran 15 Hasil Tes Menceritakan Kembali Cerita Anak Siklus I ... 180

Lampiran 16 Hasil Tes Menceritakan Kembali Cerita Anak Siklus II ... 182

Lampiran 17 Hasil Observasi Siklus I ... 184

Lampuran 18 Hasil Observasi Siklus II ... 185

Lampiran 19 Hasil Wawancara Siklus I... 186

Lampiran 20 Hasil Wawancara Siklus II... 188

Lampiran 21 Hasil Jurnal Guru Siklus I ... 191

Lampiran 22 Hasil Jurnal Guru Siklus II... 192

Lampiran 23 Hasil Jurnal Siswa Siklus I... 193

Lampiran 24 Hasil Jurnal Siswa Siklus II... 194

Lampiran 25 Contoh Hasil Jurnal Siswa Siklus I... 195

Lampiran 26 Contoh Hasil Jurnal Siswa Siklus II... 198

Lampiran 27 Contoh Media Siklus I ... 202

(17)

xvii

Lampiran 28 Surat Pengangkatan Dosen Pembimbing Skripsi ... 228

Lampiran 28 Surat Permohonan Izin Penelitian FBS Unnes ... 229

Lampiran 30 Surat Keterangan Selesei Penelitian ... 230

Lampiran 31 Surat Keterangan Selesai Bimbingan ... 231

(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di era globalisasi yang syarat dengan persaingan dan perkembangan IPTEK, manusia dituntut untuk selalu aktif dalam segala hal. Berpikir cepat dan kritis serta mempunyai intelektual yang tinggi. Bahasa sebagai sarana komunikasi sangat diperlukan dalam hal tersebut. Bahasa dapat meningkatkan intelektual seseorang dan kemampuan bersastra seseorang. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa yang mengajarkan manusia untuk dapat berkomunikasi secara efektif sesuai dengan etika yang berlaku baik secara lisan maupun tulisan sangatlah diperlukan.

(19)

Keterampilan berbicara merupakan keterampilan mengungkapkan isi hati, gagasan, pemikiran secara lisan kepada orang lain. Dalam berbicara tidak hanya berkaitan dengan apa yang dikatakan oleh seseorang, tetapi juga bagaimana cara penyampaiannya. Hal ini berkaitan dengan tujuan utama dalam berbicara adalah lawan bicara memahami maksud informasi yang disampaikan.

Meskipun keterampilan berbicara merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang perlu dimiliki oleh seseorang, tetapi keterampilan ini bukanlah warisan turun-temurun. Perlu adanya pelatihan sejak dini dan pengarahan intensif agar seseorang terampil berbicara. Terampil berbicara bukanlah hal yang mudah dimiliki oleh seseorang. Banyak orang yang terampil menuangkan ide-idenya dalam bentuk tulisan, tetapi sering kali kurang terampil dalam menuangkan ide secara lisan.

Keterampilan berbicara merupakan modal utama dalam kegiatan berkomunikasi. Kemampuan mengkomunikasikan ide, isi hati, gagasan, atau pesan mustahil dapat seseorang peroleh jika tidak terampil dalam berbicara. Keterampilan berbicara merupakan modal utama dalam berkomunikasi dalam masyarakat. Kenyataannya orang yang pandai berbicara sangat dibutuhkan dalam masyarakat baik dalam acara formal maupun nonformal. Dengan demikian, peningkatan keterampilan berbicara perlu mendapatkan perhatian yang serius.

(20)

berdiskusi, serta bermain peran. Dalam implementasi di sekolah terkadang pembelajaran berbicara sering dikesampingkan. Hal ini dikarenakan pembelajaran berbicara memakan waktu banyak dan berbicara menjadi hal yang mudah. Padahal keterampilan tersebut merupakan salah satu aspek berbahasa yang sama pentingnya dengan aspek yang lain. Oleh kerena itu, pembelajaran berbicara perlu ditingkatkan seiring dengan peningkatan aspek kebahasaan yang lain.

Tingkat keberhasilan pembelajaran berbicara berkaitan dengan tingkat kemampuan pengajar, respon maupun tingkat penerimaan pengetahuan oleh peserta didik, metode dan teknik yang digunakan dalam pembelajaran, serta media atau alat yang digunakan dalam pembelajaran. Semua komponen tersebut saling berkaitan. Selain itu, untuk mencapai keberhasilan pembelajaran berbicara perlu mendapat penanganan yang intensif.

Dalam standar kompetensi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMP atau MTs kelas VII aspek berbicara menyatakan bahwa siswa harus mampu menceritakan kembali cerita anak yang dibaca (Depdiknas 2005:4). Untuk mencapai kompetensi dasar tersebut siswa tidak hanya dijejali dengan teori mengenai karya sastra prosa, tetapi siswa diajak mengapresiasi karya sastra. Apresiasi dilakukan dengan siswa diajak membaca dan memahami karya sastra tersebut kemudian menceritakan kembali cerita yang dibaca.

(21)

memerlukan juga sebuah kebiasaan yang terus-menerus dan berulang-ulang sehingga akan mempengaruhi tingkat kemampuan siswa dalam menceritakan kembali.

Keterampilan menceritakan kembali merupakan bagian dari pembelajaran bercerita. Inti pembelajaran ini adalah siswa mampu menyampaikan cerita yang dibacakan secara runtut dan ekspresif. Selain itu, pendengar mampu memahami isi ceritanya. Oleh karena itu, tugas utama guru adalah bagaimana siswa memahami isi cerita dan mampu menuangkapkan kembali secara lisan.

Berdasarkan wawancara dengan guru Bahasa dan Sastra Indonesia kelas VII di SMP Islam Sudirman Sumowono, diperoleh simpulan bahwa pembelajaran menceritakan kembali cerita anak yang dibaca masih mengalami banyak hambatan. Pernyataan tersebut, diperkuat dengan observasi secara langsung di kelas dalam pembelajaran menceritakan kembali. Dari wawancara dan observasi ditemukan fakta bahwa siswa kurang antusias untuk bercerita serta kurang lancar dalam bercerita. Hal ini dikarenakan siswa kurang memahami isi bacaan yang dibacanya. Selain itu, siswa kurang memiliki keberanian untuk bercerita sehingga mereka cenderung saling menuding satu sama lain untuk bercerita. Padahal untuk mencapai kompetensi dasar tersebut hal utama yang harus dimiliki siswa adalah pemahaman terhadap isi bacaan dan keberanian.

(22)

Sementara itu, persoalan lain yang dihadapi siswa dalam pembelajaran menceritakan kembali cerita anak adalah kejenuhan dalam pembelajaran. Pembelajaran biasanya dilakukan dengan cara siswa membaca cerita anak di dalam buku paket kemudian beberapa siswa menceritakan kembali di depan kelas. Dengan demikian, hanya beberapa siswa yang telah dilatih untuk bercerita sementara yang lain hanya sebagai pendengar. Hal ini menyebabkan motivasi siswa dalam pembelajaran kurang.

Kondisi sekolah juga menjadi faktor kurang berhasilnya pembelajaran. SMP Islam Sudirman Sumowono merupakan salah satu sekolah swasta yang berada di kawasan Kabupaten Semarang. Sekolah tersebut sebagian besar orang tua murid merupakan dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Oleh karena itu, penyediaan sarana dana prasarana pendidikan sulit dihimpun dari orang tua siswa. Selain itu, sekolah pun memiliki keterbatan saran dan prasarana pembelajaran yang memadahi. Padahal sarana dan prasarana pembelajaran dapat memudahkan pembelajaran. Oleh karena itu, perlu adanya upaya penyediaan sarana dan parasarana (media pembelajaran) sederhana yang mampu membangkitkan semangat siswa serta memudahkan siswa dalam mengikuti pembelajaran.

(23)

bukan menjadi faktor tunggal karena siswa juga harus memiliki keberanian dan kepercayaan diri dalam bercerita. Sebagai pencerita tidak hanya lancar bercerita saja tetapi juga harus ekspresif.

Untuk mengatasi problematika dalam pembelajaran menceritakan kembali cerita anak yang dibaca tersebut diperlukan sebuah metode maupun teknik pembelajaran yang integratif yakni memadukan beberapa aspek keterampilan berbahasa serta diperlukan suatu media yang mampu memudahkan siswa bercerita. Oleh karena itu, dalam penelitian ini menitik- beratkan pada peningkatan keterampilan menceritakan kembali cerita anak menggunakan teknik story telling dan mengunakan media flash card.

1.2 Identifikasi Masalah

(24)

Sementara itu, faktor eksternal yang ikut andil dalam permasalahan ini adalah (a) metode dan teknik yang digunakan dalam pembelajaran menceritakan kembali cenderung monoton yakni siswa membaca cerita dan bercerita di depan kelas, (b) sarana dan prasarana pembelajaran seperti media pembelajaran kurang memadahi. Padahal dengan ketersediaan media akan memudahkan siswa menerima pembelajaran yang disampaikan. (c) masyarakat sekitar yang sering menggunakan bahasa ibu (bahasa Jawa).

Rasa grogi dan kurang percaya diri dalam bercerita menjadi masalah klasik dalam bercerita di depan orang banyak. Siswa belum terbiasa berbicara di depan orang banyak sehingga siswa mengalami banyak kasulitan untuk bercerita di depan kelas.

Pemahaman siswa dalam memahami isi bacaan dirasakan masih kurang. Akar dari persoalan tersebut adalah motivasi siswa untuk membaca kurang. Selain itu, siswa kurang memahami hal-hal yang penting dalam bacaan tersebut.

Kejenuhan siswa terhadap pembelajaran sering terjadi dalam dunia pendidikan. Hal ini terjadi karena pembelajaran yang monoton. Pemakaian teknik, model, dan metode pembelajaran yang kurang variatif menyebabkan kejenuhan pada siswa. Sebenarnya hal tersebut dapat diantisipasi dengan pemakaian media. Namun, keterbatasan media sering menjadi pemicu kurangnya pemanfaatan media dalam pembelajaran.

(25)

serta ada pula yang berhenti ditengah jalan dalam bercerita karena tidak hafal urutannya. Dalam pembelajaran ini siswa cenderung menghafalkan kalimat dalam bacaan bukan memahami isi dan runtutan ceritanya. Oleh karena itu, siswa kurang lancar dalam bercerita dan kurang runtut.

Kebiasaan masyarakat sekitar menggunakan bahasa daerah menjadi penyebab siswa kurang pandai menggunakan bahasa Indonesia. Selain itu, perbendaharaan kosa kata siswa menjadi rendah.

Faktor internal dan eksternal tersebut menyebabkan keterampilan siswa dalam menceritakan kembali cerita anak masih rendah. Oleh karena itu, diperlukan penanganan yang serius terhadap persoalan tersebut.

1.3 Pembatasan Masalah

Teknik dan media pembelajaran merupakan salah satu solusi untuk memudahkan pembelajaran. Oleh karena itu, penelitian ini memfokuskan pada teknik story telling dan media flash card untuk meningkatkan keterampilan siswa dalam bercerita.

Teknik story telling ini berorientasi pada pembelajaran secara berkelompok. Dengan demikian, teknik story telling ini diharapkan mampu meningkatkan kepercayaan diri dalam siswa karena mereka mendapat kesempatan untuk berlatih berbicara secara merata.

(26)

mengalami kebosanan, maka teknik story telling ini dirasakan cocok dipergunakan. Hal ini dikarenakan prosedur pelaksanaan teknik ini setiap anggota kelompok mendapatkan materi cerita yang berbeda sehingga siswa tetap antusias dan tidak mengalami kebosan karena mendengarkan cerita yang sama. Selain itu, pembagian peran dalam kelompok mampu meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran karena siswa tidak hanya mendengarkan saja tetapi harus mampu mengajukan pertanyaan dan mencatat isi cerita serta pertanyaan yang diajukan.

Sementara itu, media flash card pada dasarnya adalah media gambar yang disajikan dalam bentuk kartu-kartu. Media ini merupakan ilustrasi dari cerita yang dibaca. Selain dalam bentuk gambar-gambar, media ini juga memuat sedikit ringkasan cerita. Ringkasan singkat yang ada di dalam media tersebuat dibuat oleh siswa. Kegiatan menuliskan ringkasan diharapkan panguasaan siswa tentang cerita yang dibaca semakin meningkat. Media ini dapat memudahkan siswa dalam bercerita, serta memberikan daya tarik siswa agar merasa senang dengan pembelajaran menceritakan kembali.

Pada intinya penggunaan teknik story telling dengan media flash card ini bertujuan agar siswa termotivasi untuk memahami isi cerita karena ingin menceritakan kepada orang lain. Setelah itu, siswa mampu menuangkan pemahaman terhadap bacaan dalam bentuk ringkasan. Siswa juga mampu menceritakan kembali cerita yang dibaca secara lisan dengan media flash card.

(27)

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah peningkatan keterampilan menceritakan kembali cerita anak melalui teknik story telling dengan media flash card pada siswa kelas VIIC SMP Islam Sudirman Sumowono?

2. Bagaimana perubahan sikap dan perilaku siswa kelas VIIC SMP Islam Sudirman Sumowono dalam pembelajaran menceritakan kembali cerita anak melalui teknik story telling dengan media flash card?

1.5 Tujuan Penelitian

Senada dengan rumusan masalah tersebut, penelitian ini bertujuan sebagai berikut :

1. mendeskripsi peningkatan keterampilan menceritakan kembali cerita anak melalui teknik story telling dengan media flash card pada siswa kelas VIIC SMP Islam Sudirman Sumowono?

2. mendeskripsi perubahan sikap dan perilaku siswa kelas VIIC SMP Islam Sudirman Sumowono dalam pembelajaran menceritakan kembali cerita anak melalui teknik story telling dengan media flash card?

1.6 Manfaat Penelitian

(28)

menambah khasanah keilmuan bahasa Indonesia, khususnya pembelajaran menceritakan kembali cerita anak.

Secara praktis, penelitian ini dapat bermanfaat khususnya bagi siswa dan guru. Bagi siswa, penelitian ini dapat menumbuhkan minat siswa dalam membaca. Selain itu, dapat mendorong siswa untuk memiliki kredibilitas tinggi saat bercerita sehingga siswa memiliki kepercayaan diri saat berbicara di depan umum.

(29)

12

BAB II

LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Pustaka

Penelitian tentang keterampilan berbicara telah dilakukan oleh mahasiswa maupun dosen dalam penyusunan skipsi, jurnal, dan desertasi. Skipsi yang berjudul Peningkatan Keterampilan Berbicara melalui Diskusi pada Siswa Kelas 2A SLTP

Bhakti Praja Sumur Panggang, Tegal oleh Karyati Tahun 2000 membahas tentang keefektivan metode diskusi dalam meningkatkan keterampilan berbicara. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa teknik diskusi sangat efektif untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa, terbukti dengan peningkatan nilai rata-rata siswa dari 6,56 menjadi 7, 016 atau meningkat sebesar 4,56 %.

Sementara itu, Mujingtyas tahun 2000 dalam sksipsi berjudul Upaya Peningkatan Kemampuan Menceritakan Kembali Cerpen dengan Pola Latihan

Berjenjang Siswa Kelas II MTs Tuan Sukolongu, Kabupaten Pati Tahun Ajaran

1999/2000 berusaha meningkatkan kemampuan menceritakan kembali cerpen

(30)

Dalam jurnal yang berjudul Penerapan Teknik Story Telling dalam Upaya Meningkatan Kemampuan Berbicara Siswa Sekolah Dasar oleh Nurhayati dan L. Ratnawati tahun 2005 dapat ditarik kesimpulan bahwa teknik story telling mampu meningkatkan kemampuan berbicara siswa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai rata-rata pratindakan hanya 43, sedangkan nilai rata-rata pada siklus I meningkat menjadi 63 dan rata-rata nilai siklus II meningkat menjadi 81. Sementara pada siklus III meningkat lagi menjadi 83. dengan demikian sudah jelas bahwa teknik story telling mampu meningkatkan keterampilan berbicara (Nurhayati 2005).

Skripsi yang berjudul Peningkatan Keterampilan Bercerita Menggunakan Media Boneka pada Siswa Kelas VII-G SMP N 4 Pemalang Tahun Ajaran 2006/2007

oleh Denok Wijayanti tahun 2007 yang meneliti tentang kefektifan media boneka untuk memudahkan siswa dalam bercerita. Berdasarkan data penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran bercerita menggunakan media boneka mengalami peningkatan sebesar 7,8%. Pada siklus I keberhasilan pembelajaran mencapai 73,4%. Adapun pada siklus II mencapai 81,2%.

Menurut Dewi Setyawan dalam skripsinya yang berjudul Penggunaan Media Strip melalui Komponen Pemodelan untuk Meningkatkan Keterampilan Berbicara

Siswa Kelas VII-C SMP N 2 Rangkit Banjarnegara Tahun Ajaran 2006/2007 berusaha

(31)

Berdasarkan kajian pustaka di atas, dapat diketahui bahwa penelitian

tindakan kelas tentang berbicara memiliki persamaan, penelitian yang

dilakukan sama-sama mengenai keterampilan berbicara, hanya saja berbeda

dalam penggunaan teknik, metode, bahkan pendekatan yang bervariasi dalam

upaya untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa. Setiap penelitian

mempunayi kebaruan dalam hal cara sehingga hasilnya pun berbeda. Namun

demikian, penelitian tersebut mempunyai tujuan yang sama, yaitu

meningkatkan keterampilan berbiacara siswa. Terkait dengan

penelitian-penelitian yang sudah dilakukan, penelitian-penelitian tersebut dapat digunakan sebagai

panduan bagi peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

Dalam skripsi ini, peneliti menerapkan pembelajaran menceritakan

kembali cerita anak melalui teknik

story telling dengan media

flash card

sebagai tindak lanjut dan pelengkap penelitian sebelumnya. Penelitian ini

berbeda dengan penelitian sebelumnya karena menerapkan teknik dan media

pembelajaran. Meskipun inti dalam teknik dan media ini sama dengan

penelitian sebelumnya yaitu untuk meningkatkan keberanian siswa dalam

berbicara. Selain itu, penelitian ini diharapkan mampu lebih meningkatkan

keaktivan siswa dalam pembelajaran serta mengurangi kesulitan siswa dalam

belajar. Penelitian ini mengkaji mengenai peningkatan keterampilan

menceritakan kembali cerita anak serta meneliti mengenai perubahan sikap

dan perilaku siswa selama proses pembelajaran berlangsung.

(32)

Dalam landasan teori ini penulis menguraikan teori-teori yang dikemukakan para ahli dari berbagai sumber untuk mendukung penelitian ini. Landasan teori tersebut terdiri atas keterampilan menceritakan kembali, cerita anak, teknik story telling, media flash card, pembelajaran menceritakan kembali melalui teknik story

telling dengan media flas card.

2.2.1 Keterampilan Menceritakan Kembali

Menceritakan kembali merupakan bagian dari pembelajaran berbicara. Pada dasarnya pembelajaran ini merupakan pembelajaran yang integral karena tidak hanya melibatkan keterampilan berbicara saja, tetapi melibatkan keterampilan membaca dan mendengarkan. Berikut ini dipaparkan mengenai hakikat keterampilan menceritakan kembali dan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menceritakan kembali.

2.2.1.1 Hakikat Keterampilan Menceritakan Kembali

Menikmati sebuah cerita mulai tumbuh pada seorang anak semenjak ia mengerti akan peristiwa yang terjadi di sekitarnya dan setelah memorinya mampu merekam beberapa kabar berita. Seorang anak, dengan usianya yang masih muda akan lebih tertarik mendengarkan cerita anak. Namun, seiring bertambahnya usia anak akan mulai menikmati cerita melalui kegiatan membaca.

(33)

yang selalu dia dengar atau yang pernah dia baca. Anak berusaha mengingat-ingat jalan cerita dan tokoh-tokoh dalam cerita tersebut, kemudian merangkainya manjadi sebuah cerita. Dengan kegiatan ini secara otomatis kemampuan imajinasi dan kreativitas siswa dapat terlatih.

Berdasarkan uaraian di atas berarti siswa telah melakukan kegiatan menceritakan kembali. Pada dasarnya kegiatan menceritakan kembali merupakan kengiatan mengungkapkan kembali apa-apa yang dibaca maupun yang didengar. Kegiatan menceritakan kembali dapat diimplementasikan secara lisan atau secara tulisan. Kegiatan menceritakan kembali secara tulis, identik dengan kegiatan menuliskan kembali cerita. Sementara itu, kegiatan menceritakan kembali secara lisan, identik dengan kegiatan bercerita.

Dalam pembahasan ini lebih menekankan pada menceritakan kembali secara lisan. Hal ini senada dengan ungkapan Majid (2001:55) yakni sebaiknya, kita tidak menggunakan pengungkapan nonlisan, karena pertama, pengungkapan nonlisan lebih sulit dipahami siswa daripada pengungkapan secara lisan; kedua, kegiatan itu dimaksudkan untuk memperbaiki bahasa dan gaya bahasa para siswa

(34)

Kegiatan menceritakan kembali merupakan bagian dari kegiatan bercerita. Keduanya merupakan kegiatan menceritakan sesuatu hal atau peristiwa. Namun, kegiatan menceritakan kembali harus melalui tahap membaca atau menyimak terlebih dahulu agar bisa bercerita. Sementara itu, kegiatan bercerita tidak harus melalui tahapan membaca atau menyimak, tetapi lewat pengalaman atau kejadian yang dialami mampu menciptakan sebuah cerita. Dengan demikian untuk merumuskan konsep menceritakan kembali diambil dari konsep bercerita.

Bercerita merupakan kegiatan menuturkan perbuatan, pengalaman, atau kejadian-kejadian baik yang sungguh-sungguh terjadi maupun rekaan belaka (KBBI 1999:186).

Menurut Heri Hidayat dalam Ella Faridati Zen (2008) bercerita dikatakan sebagai aktivitas menuturkan sesuatu yang mengisahkan tentang perbuatan, pengalaman atau suatu kejadian yang sungguh-sungguh terjadi maupun hasil rekaan. Bercerita dikatakan sebagai menuturkan, yaitu menyampaikan gambaran atau deskripsi suatu kejadian.

(35)

Sementara itu, Subyantoro (2007:14) mengartikan bercerita sebagai suatu kegiatan yang disampaikan oleh pencerita kepada siswanya, ayah dan ibu kepada anak-anaknya, juru bercerita kepada pendengarnya. Bercerita juga merupakan suatu kegiatan yang bersifat seni, karena erat kaitannya dengan bersandar kepada kekuatan kata.

Menurut Majid (2001:28) pencerita adalah pemindahan cerita atau penyampaiannya kepada penyimak atau pendengar. Sementara itu, bercerita merupakan seni yang alami sebelum menjadi sebuah keahlian. Pendongeng yang alami cenderung lebih kuat dari pada pendongeng yang mengikuti sekolah/kursus. Jaman dahulu orang yang bercerita disebut tukang cerita dan pelipur lara, sementara saat ini disebut pencerita.

Berdasarkan beberapa pendapat mengenai bercerita, maka bercerita adalah seni menuturkan perbuatan, pengalaman, atau kejadian-kejadian yang dialami, dirasakan, dilihat serta sesuatu yang dibaca oleh pencerita kepada pendengar. Sementara itu, menceritakan kembali merupakan bercerita dari sesuatu yang dibaca atau yang didengarkan. Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa menceritakan kembali merupakan seni menuturkan sesuatu yang dibaca dan didengar yang dilakukan pencerita untuk pendengarnya.

(36)

(story reading). Meskipun banyak teknik dalam bercerita, tetapi dalam bercerita hal yang utama yaitu keruntutan cerita.

Menurut Moeslikhatoen dalam artikel “Teknik Bercerita dalam Bimbingan Konseling” oleh Ella Faridati Zen (2008), beberapa teknik bercerita, antara lain yaitu: 1) Bercerita dengan membaca buku cerita, 2) Bercerita dengan menggunakan ilustrasi gambar, 3) Bercerita dengan menggunakan papan flannel, 4) Bercerita dengan menggunakan media boneka, 5) Bercerita dengan dramatisasi, 6) Bercerita dengan memainkan jari tangan.

Beberapa teknik bercerita yang menggunakan berbagai alat peraga atau media dapat diterapkan dalam kegiatan menceritakan kembali. Sementara itu, teknik bercerita dengan membacakan cerita kurang cocok untuk kegiatan menceritakan kembali. Hal ini dikarenakan teknik bercerita tersebut tidak melalui tahap mengungkapkan kembali. Penggunaan media atau alat peraga mampu mempermudah pencerita dalam mangungkapkan kembali cerita yang dibaca atau didengar.

2.2.1.2 Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Menceritakan Kembali

(37)

Persyaratan yang perlu diperhatikan dalam bercerita adalah: (1) penguasaan dan penghayatan cerita, (2) penyelarasan dengan situasi dan kondisi, (3) pemilihan dan penyusunan kalimat yang tepat, (4) pengekspresian yang alami, dan (5) keberanian (Haryadi dan Zamzani 1997 : 62).

Adapun menurut Riris dalam laporan karya wiyata menyebutkan ada tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian dalam bercerita, yaitu: a) orang yang bercerita; meliputi penampilan, gerak tubuh, ekspresi, dan pilihan kata, b) keseluruhan cerita; meliputi pendahuluan, perubahan, fokus, dan penutup, serta c) pengaturan tempat dan suasana; pengaturan tersebut dimaksudkan agar terjadi kontak antara pencerita dengan pendengar serta tercipta suasana nyamanan.

Rothlin dalam Haryadi (1997:63) mengemukakan beberapa persiapan yang perlu diperhatikan dalam menyampaikan suatu cerita, yaitu (1) membaca cerita berkali-kali, (2) menganalisis plotnya untuk menetapkan pendahuluan, kesimpulan, dan urutannya, (3) menganalisis cerita untuk menetapkan tindakan, konflik, dan klimaks, (4) memperhatikan petualangan kata dan frasa, (5) memvisualisasikan karakter pelaku, (6) memvisualisasikan setting untuk menetapkan perasaan, (7) menyertakan gestur, pengekspresian, serta suara, (8) membuat kerangka cerita, (9) praktik bercerita di depan cermin, (10) menggunakan tepe recorder untuk berlatih, (11) menyimpan kerangka cerita dalam sebuah file sebagai bahan referensi masa mendatang.

(38)

tersebut, memahami pesan khusus cerita yang akan disampaikan, memahami dengan baik karakter tokoh-tokoh dalam cerita, dan membuat catatan kecil hal-hal penting dalam cerita.

Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan saat bercerita menurut Majid adalah (1) tempat cerita, bercerita bisa dilakukan di dalam kelas maupun di luar kelas yang dianggap baik untuk bercerita. (2) Posisi duduk, pendengar harus dikondisikan senyaman mungkin serta posisi pencerita jangan monoton. (3) Bahasa cerita, bahasa yang digunakan merupakan bahasa yang mudah dipahami pendengar. (4) Intonasi suara, intonasi dalam bercerita harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi alur atau plot cerita. Selain itu, pencerita harus bersuara nyaring. (5) Pemunculan tokoh, saat bercerita harus memperhatikan tokoh-tokoh dan karakter tokoh dalam cerita. (6) Pencerita diharapkan mampu membawa emosi jiwa pendengar ke dalam cerita. (7) Peniruan suara, pencerita mampu membedakan suara masing-masing tokoh. (8) Pencerita harus mampu memahami emosi pendengar. (9) Menghindari ucapan spontan dan pengulangan kata yang berlebihan.

(39)

Yang tidak kalah pentingnya pencerita harus menggunakan efek suara yang tepat.

Dengan demikian pembelajaran menceritakan kembali merupakan pembelajaran bercerita dari cerita yang dibaca atau didengar. Dalam pembelajaran menceritakan kembali cerita yang diceritakan tidak harus persis dengan cerita aslinya, tetapi tidak boleh menyimpang dari srtuktur cerita secara utuh. Selain itu, dalam menceritakan kembali harus menggunakan efek suara dan ekpresi yang tepat. Pembelajaran menceritakan kembali dapat mendorong siswa untuk lebih kreatif.

Berdasarkan uraian di atas untuk melatih siswa dalam menceritakan kembali harus memperhatikan dua hal, yaitu: pracerita dan saat bercerita. Hal-hal yang perlu dilakukan pracerita yaitu: (1) memahami isi cerita dan memahami karakter tokoh, (2) latihan bercerita yang intensif dan latihan olah vokal, (3) menyiapkan alat atau media apabila diperlukan, (4) menghafalakan garis besar cerita atau membuat catatan atau ringakasan cerita, serta (5) memahami kondisi pendengar.

(40)

2.2.2 Cerita Anak

Cerita anak merupakan salah satu bagian dari karya sastra. Cerita anak bukan sekedar bacaan anak-anak, tetapi memiliki manfaat yang besar bagi anak. Cerita anak dapat digunakan untuk hiburan serta untuk memberikan pendidikan moral pada anak. berikut ini pemaparan mengenai pengertian cerita anak, unsur-unsur cerita anak, dan kriteria pemilihan cerita anak.

2.2.2.1 Pengertian Cerita anak

Perkembangan kejiwaan yang terjadi pada anak-anak dapat dipengeruhi oleh beberapa aspek, salah satunya adalah cerita anak. Cerita anak merupakan bentuk salah satu karya sastra bergenre prosa. Manfaat utama dari cerita anak adalah memberikan hiburan dan kegembiraan kepada anak.

Cerita yang baik adalah yang mampu menyenangkan anak-anak serta mampu memberikan nilai-nilai pendidikan. Pada dasarnya cerita anak terdiri atas kata ”cerita” dan ”anak”. Cerita adalah karangan yang menuturkan perbuatan, pengalaman, atau penderitaan orang; kejadian tsb (baik yang sungguh-sungguh terjadi maupun yang hanya rekaan belaka) dalam KBBI (2005:210).

(41)

sedangkan Kennji mengartikannya sebagai peristiwa yang terjadi berdasarkan urutan waktu yang disajikan dalam sebuah karya fiksi.

Yudha menganggap bahwa cerita adalah suatu proses kreatif anak-anak. Dalam proses perkembangannya, dongeng senantiasa mengaktifkan tidak hanya aspek-aspek intelektual; tetapi juga aspek kepekaan, kehalusan budi, emosi, seni, fantasi, dan imajinasi; tidak hanya mengutamakan otak kiri, tapu juga otak kanan.

Anak adalah insan muda praremaja yang dalam perkembangan fisik dan kepribadiannya diperlukan aneka hal agar kelak menjadi insan dewasa yang tangguh dan bertanggung jawab demi diri dan masyarakatnya (Sugihastuti 1996:1).

Menurut Zuchdi dan Budiasih (1997:84) cerita anak dapat berbentuk fabel (cerita binatang), legenda (cerita sal-usul daerah), dan cerita rakyat. Cerita binatang biasanya digunakan untuk pendidikan moral, legenda digunakan untuk mengajarkan konsep-konsep dan baik digunakan di kelas rendah, sementara cerita rakyat digunakan untuk menerangkan suatu masyarakat, sejarah, dan gejala alam.

(42)

lain cerita anak harus bercerita tentang kehidupan anak-anak dengan segala aspek yang mempengaruhinya.

Menurut Tarigan (1995:5) cerita anak-anak adalah cerita yang mencerminkan perasaan dan pengalaman anak-anak masa kini, yang dapat dilihat dan dipahami melalui mata anak-anak. Cerita anak adalah media seni, yang mempunyai ciri-ciri tersendiri sesuai dengan selera penikmatnya. Tidak seorangpun pengarang cerita anak-anak sanggup berkarya dengan mengabaikan dunia anak-anak. Cerita anak di masyarakat sering dikenal dengan dongeng. Menurut Herman R.N dongeng termasuk jenis cerita pendek kolektif kesusastraan lama.

Sugihastuti (1996:70) manyatakan bahwa cerita anak-anak adalah media seni, yang mempunyai ciri-ciri tersendiri sesuai dengan selera penikmatnya. Tidak seorang pengarang cerita anak-anak pun yang sanggup berkarya dengan mengabaikan duni anak-anak. Meskipun cerita anak-anak diciptakan oleh orang dewasa, tetapi merupakan ekspresi diri anak-anak lewat idiom-idiom bahasa anak-anak.

(43)

Berdasarkan uraian tersebut cerita anak adalah sastra anak yang berupa prosa yang mengisahkan peristiwa atau pengalaman berdasarkan urutan waktu yang benar-benar dialami oleh seseorang atau dapat juga berupa rekaan atau imajinasi ang mengisahkan seputar dunia anak-anak.

Cerita anak yang ada dalam masyarakat ada berbagai macam dan ragam. Menurut Andi Yudha (2007:85) menggolongkan cerita anak atau dongeng ke dalam beberapa macam yaitu (1) dongeng tardisonal; merupakan dongeng yang berkaitan dengan cerita rakyat dan biasanya turun-temurun. Dongeng ini sebagaian besar berfungsi untuk melipur lara dan berisi semangat kepahlawanan. (2) Dongeng futuristik atau fantasi (Modern); dongeng yang mengisahkan tentang masa depan. (3) Dongeng pendidikan; dongeng yang diciptakan dengan suatu misi pendidikan badi dunia anak-anak. (4) fabel; dongeng yang mengisahkan kehidupan binatang yang digambarkan bisa bicara seperti manusia. (5) Dongeng sejarah; dongeng yang berkaitan dengan peristiwa sejarah. (6) dongeng terapi (Traumatic Healing); dongeng yang diperuntukkan badi anak-anak korban bencana atau anak-anak yang sakit.

(44)

namun tidak dianggap suci. Tokoh dalam cerita adalah manusia, walaupun adakalanya manusia tersebut memiliki sifat luar biasa dan dibantu oleh makhluk ajaib. Dongeng adalah prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi dan tidak terikat ruang dan waktu.

Sementara itu, cerita anak yang tergolong fantasi modern adalah cerita yang ditulis oleh seorang pengarang. Cerita anak modern terdiri atas beberapa jenis yaitu (1) dongeng-dongeng modern yang banyak mengabil elemen-elemen cerita rakyat, (2) fantasi ilmiah, dan (3) cerita-cerita fantasi lain mengenai binatang atau manusia, robot, dan sebagainya.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas maka cerita anak digolongkan ke dalam dua jenis yaitu, cerita anak tradisonal dan cerita anak modern. Cerita anak tradisional terdiri atas fabel, legenda, dan cerita rakyat. Sementara itu, cerita modern terdiri atas dongeng modern, fantasi ilmiah, dan cerita fantasi.

2.2.2.2 Unsur-unsur Cerita Anak

(45)

diri sendiri, pengalaman orang lain, atau berasal dari imajinasi pengarang (Haryadi dan Zamzani 1997:81).

Senada dengan hal tersebut, Korrie Layun Rampan (2009) mengungkapkan bahwa struktur cerita anak tidak berbeda jauh dengan struktur fiksi dewasa. Oleh karena itu, susun bangun cerita mulai dari tema, alur, penokohan, latar, dan gaya harus terkandung pula dalam cerita anak yang hendak disajikan.

Beberapa pendapat tersebut hampir sama dengan pandapat Riris K.T. Sarumpaet. Sarumapet (2009) menyatakan bahwa aspek struktur yang menentukan sebuah bangun cerita anak sesuai pemaparan adalah sebagai berikut.

1.

Alur

Dalam cerita fiksi kita tahu bahwa bangun yang menentukan atau mendasarinya adalah alur. Alurlah yang menentukan sebuah cerita menarik atau tidak. Dan hal penting dari alur ini adalah konflik. Karena konfliklah yang menggerakkan sebuah cerita. Konflik pula yang bisa menyebabkan seseorang menangis, tertawa, marah, senang, jengkel ketika membaca sebuah cerita.

(46)

cerita secara linier, artinya peristiwa-peristiwa diceritakan berdasarkan urutan waktu terjadi. Sementara itu, alur flashback atau sorot balik dan maju mundur atau campuran yang cenderung menampilkan peristiwa masa lalu atau digunakan penulis untuk menginformasikan peristiwa yang telah terjadi sebelumnya. Biasanya alur sorot balik ini dijumpai pada bacaan anak yang lebih tua dan biasanya akan membingungkan anak-anak di bawah usia sembilan tahun karena masih sulit dicerna oleh pikiran anak-anak.

2.

Tokoh

Tokoh adalah "pemain" dari sebuah cerita. Tokoh yang digambarkan secara baik dapat menjadi teman, tokoh identifikasi, atau bahkan menjadi orang tua sementara bagi pembaca. Peristiwa tak akan menarik bagi anak, jika tokoh yang digambarkan dalam cerita tidak mereka gandrungi.

Tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerita anak-anak adalah anak-anak dan dapat pula orang dewasa, tetapi tokoh utamanya adalah anak-anak, sedangkan tokoh utamanya selain tokoh anak-anak, ada juga tokoh remaja, dewasa, dan orang tua (Subyantoro 2007:13). Sementara itu, Zuchdi dan Budiasih (1997:82) menyatakan bahwa tokoh-tokoh binatang merupakan bagian penting dari sastra anak-anak. Dengan demikian tokoh-tokoh yang dihadirkan dalam cerita anak tidak hanya tokoh manusia, tetapi tokoh binatang juga sering dimunculkan.

(47)

Waktu yang menunjukkan kapan sebuah cerita terjadi dan tempat di mana cerita itu terjadi menunjukkan latar sebuah cerita. Misalnya dalam cerita kesejarahan, penciptaan waktu yang otentik ini sangatlah penting untuk memahami sebuah cerita.

Sementara itu, Zuchdi dan Budiasih (1997:82) menyatakan bahwa latar atau setting cerita biasanya diartikan tempat dan waktu terjadinya cerita. Latar tidak hanya menggambarkan tempat dan waktu, tetapi juga menggambarkan cara tokoh-tokoh cerita hidup dan aspek kultural lingkungan.

Latar cerita dalam cerita anak bervariasi dapat dilakukan di mana saja baik di kota maupun di desa. Namun, latar cerita anak harus jelas dan mudah dipahami oleh anak-anakm atau sesuai dengan jangkauan pikiran anak-anak.

4.

Tema

Menurut Zuhdi dan Bidiasih (1997:84) menyatakan bahwa tema cerita merupakan konsep abstrak yang dimasukkan pengarang ke dalam cerita yang ditulisnya. Oleh karena itu, tema cerita anak harus disesuaikan dengan perkembangan kejiwaan anak-anak. Tema yang digunakan dalam cerita anak biasanya seputar dunia anak-anak yakni seputar hubungan anak-anak dengan alam dan orang lain.

(48)

tokoh-tokoh cerita. Tentu saja buku yang ditulis dengan baik akan menyampaikan pesan moral, tetapi juga harus bercerita tentang sesuatu, dari mana pesan itu mengalir. Dengan cara itu, tema disampaikan kepada anak secara tersamar.

Jadi, jika nilai moral hendak disampaikan pada anak, tema harus terjahit dalam bahan cerita yang kuat. Dengan demikian, anak dapat membangun pengertian baik atau buruk tanpa merasa diindoktrinasi.

5.

Gaya

Gaya bahasa juga menjadi perhatian dalam cerita anak. Menurut Sugihastuti (1996:70) bahasa cerita anak merupakan wujud dari sebuah proses dialektik yang bertolak dari idiom dunia berpikirnya dalam usaha dan perjalanannya menjadi orang dewasa. Seiring perkembangan ciri-ciri bahasa anak, seorang pengarang cerita anak harus mau menciptakan karya mereka dalam semangat bahasa anak-anak. Senada dengan hal tersebut Majid (2001:26) mengatakan para pengarang cerita anak hendaknya memilih kata-kata yang mudah diucapkan dan dipahami oleh anak-anak. Dengan demikian bahasa yang digunakan dalam cerita anak harus disesuaiakn dengan perkembangan bahasa anak. Sebaiknya bahasa yang digunakan menggunakan kata-kata yang sederhana dan konkret, kalimatnya disusun pendek agar mudah dicerna oleh anak-anak.

(49)

dengan cerita itu. Karena kita tahu bahwa pilihan kata akan menimbulkan efek tertentu.

Hal lain adalah masalah kalimat. Kalimat dalam cerita anak-anak haruslah lugas, tidak bertele-tele, dan tidak harus menggunakan kalimat tunggal. Kita bisa menggunakan kalimat kompleks asalkan logis dan langsung mengarah kepada apa yang ingin disampaikan.

6.

Amanat

Amat sebuah cerita, khususnya dalam cerita anak sangat penting diperlukan. Hal ini dikarenakan lewat amat yang ada didalam cerita pembelajaran budi pekerti dan moral dapat disisipkan dalam cerita tersebut. Menurut Subyantoro (2007:12) cerita anak yang unggul itu anatara lain mengandung nilai personal dan nilai pendidikan bagi pembacanya.

7.

Pusat

Penceritaan

Berkaitan dengan pusat penceritaan atau pint of view, pengarang dapat memilih gaya diaan atau gaya akuan. Gaya diaan dipilih pengarang apabila ia menghendaki berada di luar cerita. Sementara itu, gaya akuan dipilih apabila pengarang ingin memberi gambaran kepada pembaca seolah-olah peristiwa itu dialami sendiri oleh pengarangnya. Dalam cerita anak, gaya diaan tampaknya lebih banyak digunakan daripada gaya akuan.

(50)

Untuk memilih sebuah bacaan atau cerita anak yang baik harus memeperhatikan keenam unsur-unsur yang terkandung dalam cerita anak. Namun, Endraswara (2003) meneturkan hal-hal yang penting yang harus dipertimbangkan dalam memilih dongeng atau ceriat, anatara lain:

(1) tuntutan keinginan peserta didik. Hal ini menunjuk pada kesesuaian dongeng dengan harapan. Dongeng yang menurut pandangan pengajar menarik belum tentu mengasyikkan bagi peserta didik. Oleh karena itu, dalam pemilihan dongeng sebaiknya peserta didik ikut terlibat, sementara pengajar hanya menyediakan alternatif dongeng.

(2) kondisi peserta didik dan lingkungan sekitar. Pemilihan dongeng sebaiknya merupakan dongeng yang berada di sekitar peserta didik.

(3) nilai atau pesan dongeng sangat penting. Hal ini dikarenakan, sering terdapat dongeng-dongeng yang baik, ceritanya bagus, gaya bahasanya lancar, enak didengar, tetapi mengandung budaya kekerasan. Hal ini tak berarti budaya kekerasan harus tabu bagi peserta didik, melainkan pendongeng harus mampu mengemas dongeng tersebut agar peserta didik mampu memamhami budaya kekerasan, tetapi sadar akan akibatnya. Sementara itu, ada beberap hal yang perlu diperhatikan dalm memilih dongeng yang digunakan di setiap jenjang pendidikan, anatara lain:

(a) dongeng yang digunakan cukup menghibur dan memuat budi pekerti tertentu sehingga dongeng yang dapat merusak moral sebaiknya dihindari,

(51)

(c) dongeng sebaiknya yang cair, mengalir secara alami, tidak terlalu menggurui dan mudah dicerna,

(d) dongeng yang dipilih sebaiknya bervariasi, tidak mudah ditebak jalan ceritanya dan bukan membodohi audience.

Dengan demikian, untuk memilih sebuah cerita atau dongeng yang baik tidak hanya memperhatikan unsur-unsur cerita yang menarik saja, tetapi harus sesuai dengan peserta didik dan juga harus mengandung nilai manfaat.

2.2.3 Teknik Story Telling

Bercerita (story telling) merupakan keterampilan mendasar yang dimiliki oleh setiap orang. Keterampilan ini bersandar pada kemampuan untuk mengingat dan berbicara, yang merupakan kemampuan-kemampuan mendasar yang dimiliki di awal tahap perkembangan manusia. Karena sederhananya kemampuan yang harus dimilikinya, bercerita dapat dijadikan sarana pengajaran yang praktis dan efektif.

(52)

Dalam proses pembelajaran teknik story telling dapat digunakan untuk lebih mengaktifkan siswa artinya semua siswa tidak ada yang pasif dalam pembelajaran atau hanya sebagai pendengar setia. Semua siswa memiliki tugas masing-masing dalam pembelajaran ini. Selain itu, pembelajaran ini tidak membosankan bagi siswa karena masing-masing siswa dalam kelompok mendapatkan cerita yang berbeda.

Secara garis besar pembelajaran menceritakan kembali cerita anak dengan teknik story telling dilakukan dengan cara-cara siswa dibagi dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari tiga siswa, satu siswa sebagai pencerita, satu siswa sebagai penanya, dan satu siswa sebagai pencatat pertanyaan. Berikutnya siswa diberikan cerita yang berbeda-beda dalam satu kelompok. Siswa membaca cerita yang dibagikan. Setelah membaca siswa mencertakan kembali cerita yang dibaca dalam kelompok tersebut. Siswa lain menyimak cerita tersebut, setelah selasai menyimak siswa mengajukan pertanyaan dan ada yang bertugas mencatat pertanyaa. Kegiatan ini dilakukan secara bergiliran. Dengan demikian, siswa berfungsi sebagai pencerita, penanya, dan pencatat. Setelah semua selesai bercerita mereka bertiga membuat rangkuman cerita-cerita yang disimaknya.

(53)

jarang berbicara. Suasana dalam kelompok kecil lebih memungkinkan siswa berani berbicara.

2.2.4 Media Flashcard

Dalam kegiatan belajar mengajar lebih efektif apabila menggunakan media dan media tersebut tidak harus media yang canggih saja, melainkan media yang lebih sederhana buatan guru sendiri. Dalam melaksanakan kegiatan proses pembelajaran menceritakan kembali cerita anak, penulis menggunakan media flash card. Berikut ini dipaparkan mengenai hakikat media dan flash card.

2.2.4.1 Hakikat Media

(54)

Sadiman dkk. (1990:7) mengungkapkan bahwa media adalah

segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari

pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan,

perhatian dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses

belajar terjadi.

Suparno dalam Setyawati (2007:22) media adalah suatu alat yang

dipakai oleh saluran (channel) untuk menyampaikan suatu pesan

(message) atau informasi dari suatu sumber (resource) kepada

penerimanya (receiver). Pembelajaran adalah sebuah proses komunikasi

antara pembelajar, pengajar dan bahan ajar. Secara sederhana media

pembelajaran merupakan media yang digunakan dalam proses

belajar-mengajar.

Media adalah segala sesuatu yang dapat diindra yang berfungsi

sebagai perantara / sarana / alat untuk proses komunikasi (proses belajar

mengajar). Sementara itu, media instruksional

education (media

pembelajaran) adalah sarana komunikasi dalam proses belajar mengajar

yang berupa perangkat keras maupun perangkat lunak untuk mencapai

proses dan hasil instruksional secara efektif dan efisien serta tujuan

instruksional dapat dicapai dengan mudah.

(55)

yang mempunyai fungsi menyampaikan pesan (Bovee 1997). Media

pembelajaran adalah sebuah alat yang berfungsi untuk menyampaikan

pesan pembelajaran. Komunikasi tidak akan berjalan tanpa bantuan sarana

penyampai pesan atau media.

Dengan demikian media pembelajaran adalah segala sesuatu atau

alat yang digunakan untuk mempermudah penyampaian informasi dalam

proses belajar mengajar sehingga tujuan pembelajaran tercapai.

Media pembelajaran yang baik harus memenuhi beberapa syarat.

Media

pembelajaran

harus

meningkatkan

motivasi

pembelajar.

Penggunaan media mempunyai tujuan memberikan motivasi kepada

pembelajar. Selain itu, media juga harus merangsang pembelajar

mengingat apa yang sudah dipelajari selain memberikan rangsangan

belajar baru. Media yang baik juga akan mengaktifkan pembelajar dalam

memberikan tanggapan, umpan balik dan juga mendorong mahasiswa

untuk melakukan praktek-praktek dengan benar.

(56)

terakhir adalah kegunaan. Semakin banyak tujuan pembelajaran yang bisa

dibantu dengan sebuah media semakin baiklah media itu.

Menurut Rohani (1997:29-30) untuk memilih atau menggunakan

suatu media instruksional edukatif perlu memperhatikan hal-hal berikut:

(1) biaya yang lebih murah, (2) kesesuaiannya dengan metode

instruksional, (3) kesesuaiannya dengan karakteristik peserta didik, (4)

pertimbangan praktis, (5) ketersediaan media tarsebut. Sementara itu,

Kasmadi memaparkan empat kriteria pemilihan media yang baik yaitu:

produksi, peserta didik, isi, dan guru.

Arsyad (2002:75-76) mengungkapkan enam kriteria pemilihan

media yang baik, yaitu (1) sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai; (2)

tepat untuk mendukung isi pelajaran yang sifatnya fakta, konsep, prinsip,

atau generalisasi; (3) praktis, luwes, bertahan; (4) guru terampil

menggunakannya; (5) pengelompokan sasaran; dan (6) mutu teknis.

(57)

Media pendidikan mempunyai kegunaan-kegunaan yaitu (1)

memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis, (2)

mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera, (3) mengatasi sifat

pasif siswa, (4) memberikan perangsang, pangalaman, dan persepsi yang

sama (Sadimin dkk. 1990:16).

Hal tersebut senada dengan pendapat Wagiran (2006)

menyatakan bahwa secara garis besar fungsi media ada enam hal, yaitu :

(1) memperjelas penyajian pesan; (2) mengatasi keterbatasan ruang,

waktu, dan daya indra; (3) menghindari verbalisme; (4) mengatasi sifat

pasif siswa; (5) Mengatasi keterbatasan pengalaman; (6) Memberikan

pengalaman menyeluruh dari yang konkret ke abstrak.

Fungsi media pembelajaran yang pokok menurut Sudarso dan

Eveline (2007:6-7) mencakup dua hal yaitu untuk memberikan

pengalaman yang konkret kepada siswa dan sebagai sarana komunikasi

dan interaksi antara siswa dengan media tersebut, dan merupakan sumber

belajar yang penting. Secara lebih luas diungkapkan ada delapan fungsi

media pembelajaran, yaitu: (1) memberikan pengetahuan tentang tujuan

belajar; (2) memotivasi siswa; (3) menyajikan informasi; (4) merangsang

diskusi; (5) mengarahkan kegiatan siswa; (6) melaksanakan latihan dan

ulangan; (7) menguatkan belajara; (8) memberikan penglaman simulasi.

(58)

diharapkan mamapu memberikan pengalaman bagi siswa atau peserta

didik sehingga mengalami perubahan perilaku dalam kawasan kognitif,

afektif maupun psikomotorik sesuai dengan tujuan pembelajaran.

2.2.4.2

Flash Card

Flash card adalah alat untuk membantu anak mengembangkan

kemampuan bercerita. Dengan melihat gambar dan distimulus pertanyaan,

Anak diharapkan dapat berkembang kemampuan bercerita, berkhayal, dan

alur

logikanya.

Flash

card

berguna

untuk

membantu

anak

mengembangkan kemampuan bahasanya, baik lisan ataupun tulisan

(eMagazine Sekolah Rumah 2009).

Flash card merupakan salah satu bentuk media visual.

Flash

card

merupakan media yang berbentuk kartu kecil yang berisi gambar,

teks, atau tanda simbol yang mengingatkan atau menuntun siswa kapada

sesuatu yang berhubungan dengan gambar tersebut.

Flash card biasanya

berukuran 8x12 cm, atau dapat disesuaikan dengan besar kecilnya kelas

yang dihadapi (Arsyad 2002:119-120).

Flash card dapat digunakan

sebagai petunjuk dan rangsangan bagi siswa untuk memberikan respon

yang diinginkan.

(59)

berukuran 25X30 cm. Gambar-gambarnya dibuat menggunakan tangan

atau foto, atau memanfaatkan gambar/foto yang sudah ada yang

ditempelkan pada lembaran-lembaran

flash card. Gambar-gambar yang

ada pada

flash card merupakan rangkaian pesan yang disajikan dengan

keterangan setiap gambar yang dicantumkan pada bagian belakangnya.

Flash card merupakan media visual yang berbentuk kartu-kartu

yang berisi gambar dan pesan singkat. Media ini cocok digunakan dalam

kelompok kecil.

Flash card memiliki kelebihan dibandingkan media yang lain

yaitu:

(a) Mudah di bawa-bawa; dengan ukuran yang kecil flash card dapat disimpan di tas bahkan di saku, sehingga tidak membutuhkan ruang yang luas, dapat digunakan di mana saja, di kelas ataupun di luar kelas.

Gambar

Tabel 21 Perbandingan Hasil Observasi Siklus I dan Siklus II .................. 135
Gambar 1 Proses Penelitian Tindakan Kelas
Tabel 1. Skor Penilaian Bercerita
Tabel 2. Kriteria Penilaian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Memiliki arti gaya rambat energi listrik yang dialirkan oleh tiga bidang usaha utama yang digeluti perusahaan yaitu : pembangkitan, penyaluran, dan distribusi

Temperatur udara dengan variasi ketinggian 100 cm memiliki temperatur udara yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan temperatur udara pada ketinggian 50 cm. Temperatur udara

Metode analisis yang digunakan adalah analisis regresi dengan pendekatan konfirmatori menggunakan software Analisys Of Moment Structure (AMOS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa:

Berdasarkan Berita Acara Penetapan Nomor : 6/PPBJ/PSP3LPKA/BLHKP/2012 tanggal 24 September 2012, dengan ini kami mengumumkan sebagai pemenang untuk paket Pengadaan Kotak

8 Aku akan menjual anak-anakmu laki-laki dan perempuan kepada orang-orang Yehuda dan mereka akan menjual anak-anakmu itu kepada orang-orang Syeba, kepada suatu bangsa yang jauh,

Oleh karena itu perlu dilakukan suatu penelitian untuk membuat suatu prototipe generator induksi yang dapat menghasilkan tegangan dan frekuensi dalam batas- batas kualitas

Huruf c: Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Guru telah memahami struktur Kurikulum 2013, seperti Kompetensi Inti, Kompetensi Dasar, Mata Pelajaran, dan Beban Belajar; (2)