• Tidak ada hasil yang ditemukan

ETOS KERJA DALAM ISLAM docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ETOS KERJA DALAM ISLAM docx"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Nama : Marsita Purwanti Ningsih NIM : K7614029

Prodi : Pend. Eko PTN MaKul : Pend. Agama Islam

ETOS KERJA DALAM ISLAM

Etos berasal dari bahasa Yunani yang berarti sesuatu yang diyakini, cara berbuat, sikap serta persepsi terhadap nilai bekerja. Sedangkan Etos Kerja Muslim dapat didefinisikan sebagai cara pandang yang diyakini seorang muslim bahwa bekerja tidak hanya bertujuan memuliakan diri, tetapi juga sebagai suatu manifestasi dari amal sholeh dan mempunyai nilai ibadah yang luhur. Dalam al-Qur’an dikenal kata itqon yang berarti proses pekerjaan yang sungguh-sungguh, akurat dan sempurna. (An-Naml : 88). Etos kerja seorang muslim adalah semangat untuk menapaki jalan lurus, dalam hal mengambil keputusan pun, para pemimpin harus memegang amanah terutama para hakim. Hakim berlandaskan pada etos jalan lurus tersebut sebagaimana Dawud ketika ia diminta untuk memutuskan perkara yang adil dan harus didasarkan pada nilai-nilai kebenaran, maka berilah keputusan (hukumlah) di antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjuklah (pimpinlah) kami ke jalan yang lurus (QS. Ash Shaad : 22)

Etos kerja, jika dikaitkan dengan agama berarti sikap atau pandangan atau semangat manusia terhadap kerja yang dilakukan, yang dipengaruhi oleh nilai-nilai yang agama yang dianutnya.

Konsep Etos Kerja Islami Ayat Pertama :

Al-Qur’an memandang bekerja keras adalah sangat penting sama dengan jihad. Hal ini di antaranya terdapat dalam An-Nisa’: 95.

Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai ‘uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.

Ayat Kedua:

Bahwa bekerja giat (memiliki etos kerja tinggi) adalah manifestasi dari kekuatan iman seseorang, sebagaimana firman Allah SWT Q.S Al Taubah ayat 105 berikut:

(2)

Ayat ini didahului dengan ayat sebelumnya yang menjelaskan tentang perintah untuk bersedekah, kemudian perintah untuk bertaubat. Setelah mereka bertaubat, maka Allah memerintahkan untuk beramal dalam bentuk bekerja yang baik dan bermanfaat bagi dirinya maupun bagi orang lain. Allah berjanji, bahwa setiap amal perbuatan yang dilakukannya akan dilihat dan diberikan penilaian oleh Allah dan orang-orang yang beriman. Allah menjanjikan setiap amal kebaikan yang dilakukan akan diberikan balasan kebaikan oleh Allah.[21]

Ayat yang memiliki pengertian hampir sama dengan firman Allah SWT diatas yang menunjukkan bahwa bekerja adalah manifestasi kekuatan iman, yaitu firman Allah yang berbunyi Q.S. az-Zumar ayat 39 :

Katakanlah: Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu masing-masing. Sesungguhnya akupun bekerja, maka kelak kamu akan mengetahui.

Ayat diatas adalah perintah (amar) dan karenanya mempunyai nilai hukum “wajib” untuk dilaksanakan. Siapapun mereka yang secara pasif berdiam diri tidak mau berusaha untuk bekerja, maka dia telah menghujat perintah Allah, dan sadar atau tidak, sesungguhnya orang tersebut telah menggali kubur kenistaan bagi dirinya.

Sebagaimana juga ditegaskan oleh hadis Nabi Saw:

ننعع هنع لا ىضر ممازعحن ننبب منيكنحع نبعع هنيبنأع نبعع مماشعهن انعثعددعحع بميبهعوو انعثعددعحع لعيعنامعسبإن نوبب ىسعومو انعثعددعحع ملسو هيلع لا ىلص ىدنبنندعلا لعاقع

ىلعفبسدولا دنيعلبا نعمن رميبخع ايعلبعولبا دويعلبا

رنهبظع نبعع ةنقعدعصدعلا رويبخعوع ، لووعوتع نبمعبن أبدعبباوع ،

هولدعلا هنننغبيو ننغبتعسبيع نبمعوع ، هولدعلا هوفدععنيو فبفنعبتعسبيع نبمعوع ، ىننغن .

] 25 [

“Bahwa Nabi Saw bersabda: tangan diatas lebih baik dari tangan dibawah dan dahulukanlah orang-orang yang menjadi tanggunganmu…..”

Rasulullah bersabda :

Artinya: “Tiada seorang pun yang makan makanan yang lebih baik dari pada makan yang diperoleh dari hasil dari keringatnya sendiri. Sesungguhnya Nabi Allah Daud AS itu pun makan dari hasil karyanya sendiri.

(3)

Ayat Ketiga:

Etos kerja tinggi tidak sama sekali terkait persoalan gender (laki-laki atau perempuan), yang membedakan adalah dasar pengabdiannya yaitu dorongan keimanan yang shahih, sebagaimana firman Allah SWT QS An-Nahl: 97:

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan.

Ayat diatas mengemukakan tentang prinsip keadilan dalam beramal, yaitu tanpa membedakan seseorang dengan yang lain kecuali atas dasar pengabdiannya. Prinsip itu adalah: barang siapa yang mengerjakan amal saleh, apapun jenis kelaminnya, baik laki-laki maupun perempuan, sedang dia adalah mukmin yakni amal yang dilakukannya lahir atas dorongan keimanan yang shahih, maka sesungguhnya pasti akan Kami berikan kepadanya masing-masing kehidupan yang baik di dunia inidan sesungguhnya pasti akan kami beri balasan kepada mereka semua di dunia dan di akhirat dengan pahala yang lebih baik dan berlipat ganda dari apa yang telah mereka kerjakan.[27]

Firman Allah SWT: ( نمؤم وهو ) wa huwa mu’min/sedang dia adalah mukmin, menggarisbawahi syarat mutlak bagi penilaian kesalehan amal. Keterkaitan amal saleh dan iman menjadikan pelaku amal saleh melakukan kegiatannya tanpa mengandalkan imbalan segera, serta membekalinya dengan semangat berkorban dan upaya beramal sebaik mungkin.[31]

Ayat keempat:

Meskipun Allah mewajibkan bagi setiap manusia untuk bekerja, namun Allah tidak menghendaki seseorang bekerja di luar batas kemampuan yang dimilikinya. Orang-orang yang beriman akan senantiasa memohon dan menggantungkan dirinya kepada Allah dan pertolongan dari Allah SWT. Ini relevan dengan firman Allah QS. Al Baqarah ayat 286 : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. beri ma’aflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”

Di samping itu, al-Qur’an juga menyebutkan bahwa pekerjaan merupakan bagian dari iman, pembukti bahwa adanya iman seseorang serta menjadi ukuran pahala hukuman, Allah SWT berfirman:

(4)

Pengertian ini memperhatikan empat macam pekerja :

a. al-Hirafiyyin; mereka yang mempunyai lapangan kerja, seperti penjahit, tukang kayu, dan para pemilik restoran. Dewasa ini pengertiannya menjadi lebih luas, seperti mereka yang bekerja dalam jasa angkutan dan kuli.

b. al-Muwadzofin: mereka yang secara legal mendapatkan gaji tetap seperti para pegawai dari suatu perusahaan dan pegawai negeri.

c. al-Kasbah: para pekerja yang menutupi kebutuhan makanan sehari-hari dengan cara jual beli seperti pedagang keliling.

d. al-Muzarri’un: para petani.

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai salah seorang diantara kamu yang melakukan pekerjaan dengan itqon (tekun, rapi dan teliti).” (HR. al-Baihaki). Nilai suatu pekerjaan tergantung kepada niat pelakunya yang tergambar pada firman Allah SWT agar kita tidak membatalkan sedekah (amal kebajikan) dan menyebut-nyebutnya sehingga mengakibatkan penerima merasa tersakiti hatinya.

“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya Karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian…” (al-Baqarah : 264)

Etika kerja dalam Islam yang perlu diperhatikan adalah

1. Adanya keterkaitan individu terhadap Allah sehingga menuntut individu untuk bersikap cermat dan bersungguh-sungguh dalam bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik dengan relasinya.

2. Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan.

3. Tidak memaksakan seseorang, alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja, semua harus dipekerjakan secara professional dan wajar.

4. Tidak melakukan pekerjaan yang mendurhakai Allah yang ada kaitannya dengan minuman keras, riba dan hal-hal lain yang diharamkan Allah.

5. Professionalisme dalam setiap pekerjaan

Etos Kerja Muslim didefenisikan sebagai sikap kepribadian yang melahirkan keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiaannya, melainkan juga sebagai suatu manifestasi dari amal sholeh. Sehingga bekerja yang didasarkan pada prinsip-prinsip iman bukan saja menunjukkan fitrah seorang muslim, melainkan sekaligus meninggikan martabat dirinya sebagai hamba Allah yang didera kerinduan untuk menjadikan dirinya sebagai sosok yang dapat dipercaya, menampilkan dirinya sebagai manusia yang amanah, menunjukkan sikap pengabdian sebagaimana firman Allah, “Dan tidak Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”, (QS. adz-Dzaariyat : 56).

(5)

Setiap muslim selayaknya tidak asal bekerja, mendapat gaji, atau sekedar menjaga gengsi agar tidak dianggap sebagai pengangguran. Karena, kesadaran bekerja secara produktif serta dilandasi semangat tauhid dan tanggung jawab merupakan salah satu ciri yang khas dari karakter atau kepribadian seorang muslim. Tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk menjadi pengangguran, apalagi menjadi manusii yang kehilangan semangat inovatif. Karena sikap hidup yang tak memberikan makna, apalagi menjadi beban dan peminta-minta, pada hakekatnya merupakan tindakan yang tercela.

Seorang muslim yang memiliki etos kerja adalah mereka yang selalu obsesif atau ingin berbuat sesuatu yang penuh manfaat yang merupakan bagian amanah dari Allah. Dan cara pandang untuk melaksanakan sesuatu harus didasarkan kepada tiga dimensi kesadaran, yaitu : dimensi ma’rifat (aku tahu), dimensi hakikat (aku berharap), dan dimensi syariat (aku berbuat).

:لعاقع ب ?و يعطبأع بنسبكعلباع يدوأع لعئنسو ملسو هيلع لا ىلص يدعبنندعلاع ندعأع هنع لا يضر عمفنارع ننبب ةعععافعرن نبعع :

} ,

مكناحعلباع هوحعحدعصعوع ،روازدعبعلباع هواوعرع رموروببمع عميببع لدوكووع هندنيعبن لنجوردعلاع لومععع

Dari Rifa’ah Ibnu Rafi’ r.a. bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya: Pekerjaan apakah yang paling baik?. Beliau bersabda: “Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap jual-beli yang bersih”. (HR Al-Bazzar dan dishahihkan oleh al-Hakim)

Dari hadist di atas dapat kita lihat bahwa Islam sangat menghargai kerja keras, kreatifitas maupun inovasi yang dihasilkan melalui tangan seseorang dalam melakukan pekerjaan. Islam juga mengharuskan setiap pekerjaan dilakukan secara mabrur, yakni dilakukan dengan kejujuran, kejelasan dan sesuai dengan syariat.

Aspek Pekerjaan dalam Islam

Aspek pekerjaan dalam Islam meliputi empat hal yaitu : 1. Memenuhi kebutuhan sendiri

Islam sangat menekankan kemandirian bagi pengikutnya. Seorang muslim harus mampu hidup dari hasil keringatnya sendiri, tidak bergantung pada orang lain. Hal ini diantaranya tercermin dalah hadist berikut :

Dari Abu Abdillah yaitu az-Zubair bin al-Awwam r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Niscayalah jikalau seseorang dari engkau semua itu mengambil tali-talinya – untuk mengikat – lalu ia datang di gunung, kemudian ia datang kembali – di negerinya – dengan membawa sebongkokan kayu bakar di atas punggungnya, lalu menjualnya,kemudian dengan cara sedemikian itu Allah menahan wajahnya – yakni dicukupi kebutuhannya, maka hal yang semacam itu adalah lebih baik baginya daripada meminta-minta sesuatu pada orang-orang, baik mereka itu suka memberinya atau menolaknya.” (Riwayat Bukhari)

(6)

pekerjaan-pekerjaan lainnya. Para sahabat juga memberikan contoh bagaimana mereka bersikap mandiri, selama sesuatu itu bisa dia kerjakan sendiri maka dia tidak akan meminta tolong orang lain untuk mengerjakannya. Contohnya, ketika mereka menaiki unta dan ada barangnya yang jatuh maka mereka akan mengambilnya sendiri tidak meminta tolong lain.

2. Memenuhi kebutuhan keluarga

Bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang menjadi tanggungannya adalah kewajian bagi seorang muslim, hal ini bisa dilihat dari hadist berikut :

Rasulullah saw bersabada, “Cukuplah seseorang dianggap berdosa jika ia menelantarkan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya”. (HR. Ahmad, Abu Daud dan al-Hakim). Menginfaqkan harta bagi keluarga adalah hal yang harus diutamakan, baru kemudian pada lingkungan terdekat, dan kemudian lingkungan yang lebih luas.

3. Kepentingan seluruh makhluk

Pekerjaan yang dilakukan seseorang bisa menjadi sebuah amal jariyah baginya, sebagaimana disebutkan dalam hadist berikut :

Dari Anas, Rasulullah saw bersabda, “tidaklah seorang mukmin menanam tanaman, atau menabur benih, lalu burung atau manusia atau hewan pun makan darinya kecuali pasti bernilai sedekah baginya. (HR Bukhari)

4. Bekerja sebagai wujud penghargaan terhadap pekerjaan itu sendiri

Islam sangat menghargai pekerjaan, bahkan seandainya kiamat sudah dekat dan kita yakin tidak akan pernah menikmati hasil dari pekerjaan kita, kita tetap diperintahkan untuk bekerja sebagai wujud penghargaan terhadap pekerjaan itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari hadist berikut :

Dari Anas RA, dari Rasulullah saw, beliau bersabda, “Jika hari kiamat terjadi, sedang di tanganmu terdapat bibit tanaman, jika ia bisa duduk hingga dapat menanamnya, maka tanamlah. (HR Bukhari / Kitab Adab al-Mufrad)

Kualitas Etik Kerja

(7)

Berikut ini adalah kualitas etik kerja yang terpenting untuk dihayati : 1) Ash Sholah (baik dan bermanfaat)

Islam hanya memerintahkan atau menganjurkan pekerjaan yang baik dan bermanfaat bagi kemanusiaan, agar setiap pekerjaan mampu memberi nilai tambah dan mengangkat derajat manusia baik secara individu maupun kelompok. “Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya.” (al-An’am: 132)

2) Al Itqon (Kemantapan atau perfectness)

Kualitas kerja yang itqan atau perfect merupakan sifat pekerjaan Tuhan (baca: Rabbani), kemudian menjadi kualitas pekerjaan yang islami (an-Naml: 88). Rahmat Allah telah dijanjikan bagi setiap orang yang bekerja secara itqan, yakni mencapai standar ideal secara teknis. Untuk itu, diperlukan dukungan pengetahuan dan skillyang optimal.

Dalam konteks ini, Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah atau mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih. Suatu keterampilan yang sudah dimiliki dapat saja hilang, akibat meninggalkan latihan, padahal manfaatnya besar untuk masyarakat. Karena itu, melepas atau menterlantarkan ketrampilan tersebut termasuk perbuatan dosa. Konsep itqanmemberikan penilaian lebih terhadap hasil pekerjaan yang sedikit atau terbatas, tetapi berkualitas, daripadaoutput yang banyak, tetapi kurang bermutu (al-Baqarah: 263).

3) Al Ihsan (Melakukan yang terbaik atau lebih baik lagi)

Kualitas ihsan mempunyai dua makna dan memberikan dua pesan, yaitu sebagai berikut. Pertama, ihsan berarti ‘yang terbaik’ dari yang dapat dilakukan. Dengan makna pertama ini, maka pengertian ihsan sama dengan ‘itqan’. Pesan yang dikandungnya ialah agar setiap muslim mempunyai komitmen terhadap dirinya untuk berbuat yang terbaik dalam segala hal yang ia kerjakan.

Kedua ihsan mempunyai makna ‘lebih baik’ dari prestasi atau kualitas pekerjaan sebelumnya. Makna ini memberi pesan peningkatan yang terus-menerus, seiring dengan bertambahnya pengetahuan, pengalaman, waktu, dan sumber daya lainnya. Adalah suatu kerugian jika prestasi kerja hari ini menurun dari hari kemarin, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits Nabi saw. Keharusan berbuat yang lebih baik juga berlaku ketika seorang muslim membalas jasa atau kebaikan orang lain. Bahkan, idealnya ia tetap berbuat yang lebih baik,hatta ketika membalas keburukan orang lain (Fusshilat :34, dan an Naml: 125)

4) Al Mujahadah (Kerja keras dan optimal)

(8)

Mujahadah dalam maknanya yang luas seperti yang didefinisikan oleh Ulama adalah ”istifragh ma fil wus’i”, yakni mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang ada dalam merealisasikan setiap pekerjaan yang baik. Dapat juga diartikan sebagai mobilisasi serta optimalisasi sumber daya. Sebab, sesungguhnya Allah SWT telah menyediakan fasilitas segala sumber daya yang diperlukan melalui hukum ‘taskhir’, yakni menundukkan seluruh isi langit dan bumi untuk manusia (Ibrahim: 32-33). Bermujahadah atau bekerja dengan semangat jihad (ruhul jihad) menjadi kewajiban setiap muslim dalam rangka tawakkal sebelum menyerahkan (tafwidh) hasil akhirnya pada keputusan Allah (Ali Imran: 159, Hud: 133).

5) Tanafus dan Ta’awun (Kompetisi dan tolong menolong)

Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyerukan persaingan dalam kualitas amal solih. Pesan persaingan ini kita dapati dalam beberapa ungkapan Qur’ani yang bersifat “amar” atau perintah. Ada perintah “fastabiqul khairat”(maka, berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaikan) (al-Baqarah: 108). Begitu pula perintah “wasari’u ilaa magfirain min Rabbikum wajannah” `bersegeralah lamu sekalian menuju ampunan Rabbmu dan surga` Jalannya adalah melalui kekuatan infaq, pengendalian emosi, pemberian maaf, berbuat kebajikan, dan bersegera bertaubat kepada Allah (Ali Imran 133-135).

Kita dapati pula dalam ungkapan “tanafus” untuk menjadi hamba yang gemar berbuat kebajikan, sehingga berhak mendapatkan surga, tempat segala kenikmatan (al-Muthaffifin: 22-26). Dinyatakan pula dalam konteks persaingan dan ketaqwaan, sebab yang paling mulia dalam pandangan Allah adalah insan yang paling taqwa(al Hujurat: 13). Semua ini menyuratkan dan menyiratkan etos persaingan dalam kualitas kerja.

6) Mencermati Nilai Waktu

Jika kita melihat mengenai kaitan waktu dan prestasi kerja, maka ada baiknya dikutip petikan surat Khalifah Umar bin Khatthab kepada Gubernur Abu Musa al-Asy’ari ra, sebagaimana dituturkan oleh Abu Ubaid, ”Amma ba’du. Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan itu terletak pada prestasi kerja. Oleh karena itu, janganlah engkau tangguhkan pekerjaan hari ini hingga esok, karena pekerjaanmu akan menumpuk, sehingga kamu tidak tahu lagi mana yang harus dikerjakan, dan akhirnya semua terbengkalai.” (Kitab al-Amwal, 10)

Lima Prinsip Kerja Seorang Muslim

Berikut adalah lima prinsip kerja seorang muslim: a. Kerja, Aktivitas, dan Amal

Kerja, aktivitas, amal dalam Islam adalah perwujudan rasa syukur kita kepada nikmat Allah SWT.

(9)

b. Berorientasi Pada Pencapaian

Seorang Muslim hendaknya berorientasi pada pencapaian hasil: hasanah fi ad-dunyaa dan hasanah fi al-Akhirah

رانملا باذع انقو ةنسح ةرخلا يفو ةنسح ايندملا يف انتآ انبمر لوقي نممم مهنموو

“Dan di antara mereka ada orang yang bendo'a: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka’”, (QS. Al-Baqarah : 201).

c. Berkarakter al-Qawiyy dan al-Amiin

Dua karakter utama yang hendaknya kita miliki, yaitu: al-Qawiyy dan al-Amiin.

نيمأللا يموقلا ترجأتسا نم ريخ نمإ هرجأتسا تبأ اي امههادحإ تلاق

Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya", (QS.

Al-Qashash: 26).

Al-Qawiyy merujuk kepada: reliability, dapat diandalkan. Juga berarti, memiliki kekuatan fisik dan mental (emosional, intelektual, spiritual). Sementara al-Amiin, merujuk kepada integrity, satunya kata dengan perbuatan alias jujur, dapat memegang amanah.

d. Kerja Keras

Ciri pekerja keras adalah sikap pantang menyerah; terus mencoba hingga berhasil. Kita dapat meneladani ibunda Ismail AS Sehingga seorang pekerja keras tidak mengenal kata gagal (atau memandang kegagalan sebagai sebuah kesuksesan yang tertunda).

e. Kerja Cerdas

(10)

Ciri-Ciri Etos Kerja Muslim

 Hidup berhemat dan efisien  Ikhlas

 Jujur

 Memiliki komitmen → Tekad dan keyakinan, tidak mudah menyerah  Istiqomah

 Berdisiplin → berhati-hati dan tanggungjawab dalam kerja

 Konsekuen dan berani menghadapi tantangan

 Memiliki sikap percaya diri  Kreatif

 Bertanggungjawab → kerja sebagai amanah

 Mereka bahagia karena melayani/ menolong

 Memiliki harga diri

 Memiliki jiwa kepemimpinan  Berorientasi ke masa depan  Memiliki jiwa wiraswasta  Memiliki insting bertanding  Mandiri (Independent)

 Kecanduan belajar dan haus mencari ilmu

(11)

Referensi

Dokumen terkait

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik

Allah Azza Wa Jalla.Berfirman :Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupunperempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan

Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki- laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik

"Barangsiapa yang mengerjakan amal sholeh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[839] dan