• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMAHAMAN TENTANG SHEMA SEBAGAI LANDASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMAHAMAN TENTANG SHEMA SEBAGAI LANDASAN"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

PEMAHAMAN TENTANG “SHEMA” SEBAGAI LANDASAN PENDIDIKAN KETUHANAN DAN MORAL KRISTIANI

Midrash: Ulangan 6:1-25

Teguh Hindarto

Baik Yudaisme dan

Kekristenan berbagi kitab suci dan keyakinan yang sama terkait mengenai konsep Ketuhanan dan

Kitab Suci sebagaimana

dikatakan oleh Hans Ucko sbb: “Gereja Kristen, teologi Kristen dan kekristenan secara keseluruhan, tidak terpisahkan dengan umat Yahudi atau

Yudaisme (agama Yahudi). Orang Yahudi dan Kristen memiliki Kitab Suci yang sama. Iman Kristen lahir dari dalam lingkungan Yahudi”1.

1

(2)

Ulangan 6:4-5 dalam

pemikiran Yudaisme disebut

dengan “Shema”, sebuah kredo atau pengakuan iman. Kredo ini berbunyi: “Shema Yisrael, YHWH Eloheinu, YHWH Ekhad. We ahavta et YHWH Eloheika bekol levaveka uvkol nafsheka uvkol meodeka” (Dengarlah, hai orang

Pengakuan keimanan ini

terbagi menjadi tiga bagian:

1. YHWH adalah Tuhan

memberikan keterangan: “The

Shema is declaration of faith, a

pledge of allegiance to One God, an affirmation of Judaism. It is the first prayer that children are taught to say” (Shema, adalah pernyataan iman, ikrar kesetiaan

kepada satu Tuhan, sebuah

penegasan mengenai Yudaisme. Ini merupakan doa yang pertama diajarkan kepada anak untuk

diucapkan)2. Shema diucapkan

saat seorang bayi lahir dan saat seorang mengalami kewafatan. Shema diucapkan saat melaksanakan ibadah harian dan ibadah Shabat.

Namun bagaimana pengakuan

yang terkandung dalam Shema

tersebut dikorelasikan dengan iman Kristen yang berpusatkan pada pribadi, kehidupan dan

ajaran Yesus Sang Mesias

(Yahshua ha Mashiah)?

Bagaimana konsep keesaan

dikorelasikan dengan konsep

ketritunggalan? Bagaimana

keilahian Yesus dikorelasikan

dengan pengakuan bahwa

YHWH adalah Tuhan? 2

(3)

Iman Kristen merumuskan

konsep Ketuhanan dengan

sebutan Tritunggal atau Trinitas.

Rumusan dan istilah ini

merupakan pengungkapan para Bapa Gereja saat mereka harus mempertanggungjawabkan

keimanan mereka terhadap para filsuf kafir yang menentang kekristenan.

Abad 2 Ms merupakan

perpindahan titik berat pola

berteologia, dari teologia

Palestina yang kontemplatif,

menjadi Teologia Hellenis yang

rasionalistik dan metafisik3

Akibatnya, dibutuhkan suatu

penjelasan yang rasional kepada kaum pagan Yunani, mengenai

realitas Tuhan. Bernhard Lohse

memberikan komentar, “Karena itu, sedikitpun tidak mengherankan bahwa gereja terkadang meraba-raba dalam upayanya memformulasikan 3

Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, BPK 1994, hal 51

imannya secara intelrktual dan konseptual kepada (Tuhan) Bapa, (Yesus Sang Mesias) dan Roh Kudus”4. Sejumlah teolog dan Bapa Gereja (Church Fathers)

yang telah lebih dahulu

menggumuli persoalan relasi

ontologis antara Bapa, Putra dan Roh Kudus, adalah Yustinus

martyr, Theophilus dari

Anthiokhia, Adamatinus ,

Origenes, Arius, Athanisius,

Agustinus serta Tertulianus.

Dari sekian teolog yang

merumuskan formula relasi

intologis antara Bapa, Putra dan Roh Kudus, adalah tertulianus.

Beliau merumuskan dalam

bentuk ungkapan Yunani, “Mono Ousia Tress Hypostasis” atau dalam ungkapan Latin, “Una Substantiae Tress Persona”, yang jika diterjemahkan adalah, “Satu Keberadaan Tiga pribadi.

Para teolog modern, berbeda

pendapat menjelaskan istilah

Pribadi (Yun : Hypostasis, Lat : Personae), secara berlainan dan 4

(4)

tanpa penjelasan yang mendalam. Ada yang menamakan, “cara

berada”, “oknum”, “pribadi5

.

Berangkat dari pluralisme

pemahaman yang bertebaran

disekitar istilah Hypostasis atau

Pribadi, maka DR. Budyanto mengusulkan suatu peninjauan kembali terhadap penggunaan

istilah Pribadi dengan

mengatakan: “Karena itu,

menurut hemat penulis, kalau istilah ini pada akhirnya tidak dapat dihindarkan lagi, sebaiknya pengertian yang dipakai untuk istilah pribadi adalah, „suatu keberadaan sadar diri‟ yang maknanya bisa menampung pengertian-pengertian tersebut (cat: “pribadi”, “Cara Berada”,

“Tiga Subyektivitas dalam

Unitas”, dll)… jika pengertian „pribadi‟ itu seperti itu, maka pengertian pribadi yang dipakai sebagai bukti (ketuhanan) seperti

5

Ted Peters, God as Trinity, Westminster, John Knox Press, 1993, p.35

diatas adalah tidak tepat, sebab kata pribadi itu justru dipakai untuk menunjukkan kekhususan dari sifat masing-masing, bukan kesamaan sifat”6.

Hampir semua teolog

mengakui bahwa istilah

“Trinitas/Tritunggal”, tidak terdapat secara literal dalam Kitab Suci. Namun essensi yang

mengarah pada pengertian

tersebut memang terpampang

dalam banyak ayat. DR. Andar

Tobing, mengakui kenyataan

tersebut dan mengatakan: “kita

terpaksa memakai istilah Trinitas itu untuk menolak adjaran-adjaran dan pendapat-pendapat yang salah dan bertentangan dengan isi Alkitab. Biarpun istilah itu tidak sempurna…”7.

6

Mempertimbangkan Ulang Ajaran tentang Trinitas, TPK, 2001, hal 63

7

(5)

Keesaan dan Sifat Trinitaris Nya. Dalam Kitab Kejadian 1:1-3

dikatakan sbb: “Pada mulanya

Tuhan menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Tuhan melayang-layang di atas permukaan air. Berfirmanlah Tuhan: "Jadilah terang." Lalu terang itu jadi”. Patut kita akui ada bahwa dalam diri Tuhan yang esa ada sifat trinitarian bersama Firman dan Roh-Nya namun kita tidak dapat menjumlahkannya karena sifat trinitarian tersebut

bukanlah dalam pengertian

aritmetik (angka) melainkan

metafisik (keagungan).

YHWH, Firman dan Roh-Nya bukanlah tiga melainkan satu, karena Firman dan Roh

berdiam bersama dalam

kekekalan bersama YHWH (Kej

1:1-3, Yoh 1:1). Tidak ada yang lebih dahulu dari yang lain.

YHWH, Firman dan Roh-Nya bukan tiga melainkan satu, karena Firman keluar dari hakikat Bapa (Yoh 8:42) demikianpula Roh Kudus keluar dari hakikat Bapa (Yoh 15:26).

YHWH, Firman dan Roh-Nya bukanlah tiga melainkan

satu, karena Firman tidak

diciptakan melainkan

menyebabkan terciptanya segala sesuatu (Mzm 33:6, Yoh 1:3, Kol 1:16), demikianpula Roh Kudus

menyebabkan setiap ciptaan

menjadi hidup dan bernafas (Ayb 34:14).

YHWH, Firman dan Roh-Nya bukan pula tiga pribadi melainkan satu pribadi dengan tiga karya dan manifestasi kuasa.

Istilah tiga pribadi,

mengandaikan ada tiga realitas Tuhan yang berdiri sendiri dalam kekekalan dan memiliki pribadi yang berbeda. Pemahaman ini akan menimbulkan konsep yang

(6)

dengan monoteisme Yudaik (Ul 6:4-5).

Sekalipun dalam sejarah

karya penyelamatan, Sang

Firman menjadi manusia bernama Yesus (Yahshua) dan Roh Kudus diutus untuk tinggal dalam diri orang beriman dan baik Yesus dan Roh Kudus memiliki pribadi yang khas namun tidak berarti kita harus menjumlahkan masing-masing pribadi menjadi tiga pribadi karena secara hakiki

Tuhan hanya memiliki satu

pribadi.

Tidak disangkal bahwa

Bapa memiliki kepribadian.

Tidak disangkal Sang Firman yang menjadi manusia bernama Yesus (Yahshua-Yeshua) adalah

berpribadi. Demikianlah Roh

Kudus pun berpribadi. Namun sebutan 3 pribadi seharusnya diredefinisi karena istilah tersebut membuat kita telah berusaha

MENJUMLAHKAN

masing-masing pribadi yang sebenarnya satu saja yaitu Yahweh, Firman

dan Roh-Nya. Sejak kekal

Yahweh telah bersama Firman

dan Roh-Nya (Kej 1:1). Ada baiknya kita pahami istilah Ibrani “Ekhad”, “Yakhid”, “Yakhad” ”kesatuan“ (Kej 2:24; 34:16, Kel 12:49)

YAKHAD: Muncul

dalam TaNaKh sebanyak 134

kali. Makna secara literal

”bersama-sama“, ”kesatuan“ (Mik 2:12)

(7)

Bahkan kata KAMI dalam

Kejadian 1:27 tiada lain

menunjuk pada Yahweh, Firman

dan Roh-Nya beserta para

malaikat (sebagai saksi

penciptaan). Kata ganti jamak ANAKHNU dalam Kejadian 1:27 bukan bermakna ada 3 pribadi Tuhan namun ada Tuhan yang Esa yang menciptakan segala sesuatu dengan Firman-Nya dan menghidupkan segala sesuatu

dengan Roh-Nya. Sekalipun

dalam keesaan ada sifat trinitaris Tuhan namun tidak seharusnya kita menyebutnya dengan sebutan 3 pribadi.

Apakah karena saya

menolak penggunaan “pribadi” atau “tiga pribadi” maka saya

dapat dikategorikan sebagai

penganut Sabelianisme? Mari kita lihat definisi Sabelianisme sbb: “Sabellianism, the doctrine of functions, aspects, or manifestations, at least this was

doktrin keesaan menurut Sabelius yang pada Abad Ketiga Masehi menolak bahwa ada Tiga Pribadi dalam Keilahian dan menyatakan bahwa hanya ada satu pribadi dalam tiga fungsi, aspek atau manisfestasi. Sedikitnya bentuk

doktrin ini diterima dalam

rangkaian waktu dan

dihubungkan dengan namanya serta diterima oleh banyak orang hingga hari ini)

(8)

believer, rather than three distinct persons in God Himself”9

(Dalam Kekristenan,

Sabelianisme (juga dikenal

dengan sebutan Modalisme,

Modalistik Monarkhisme atau Modal Monarkisme) merupakan kepercayaan non triniytarian yang

menyatakan bahwa Bapa

Surgawi, Sang Putra yang bangkit dari kematian dan Roh Kudus hanyalah model atau aspek yang berbeda dari satu Tuhan yang

banyak diterima oleh orang

beriman, dibandingkan tiga

pribadi yang terpisah dalam diri Tuhan)

Jika penolakkan terhadap istilah Trinitas dan istilah pribadi

dikategorikan sebagai

Sabelianisme, maka pandangan

teologis yang saya pegang

(penolakkan istilah “pribadi” dan “tiga pribadi” serta istilah “tritunggal) cenderung Sabelianisme. Namun yang saya tolak adalah terminologi atau istilah belaka bukan essensi Tuhan yang Esa namun bersifat

9

http://en.wikipedia.org/wiki/Sabellia nism

Trinitaris tersebut. Dan saya tidak

memiliki pemahaman bahwa

Bapa, Anak dan Roh adalah topeng atau cara berada yang lain

dalam konteks zaman yang

berbeda. Dan saya pun tidak pernah mengatakan bahwa Bapa turut menderita di kayu salib

sebagaimana Anak

(Patripasiamus) mengalami

penderitaan.

Keesaan Dan Sifat Trinitaris Tuhan Dalam Kitab Perjanjian Baru

Dalam sejarah karya

penyelamatan terhadap umat

manusia, Firman YHWH menjadi manusia (Yoh 1:1,14) bernama Yesus (Yahshua, Mat 1:21) dan Roh YHWH diutus untuk tinggal dalam diri orang yang menerima Yesus sebagai Mesias dan Anak Tuhan (Yoh 14:26; 15:26).

Firman yang menjadi manusia

bernama Yesus (Yahshua)

disebut dengan Anak Tuhan (Ibr: Ben Elohim/Yun: Huiou tou Theou) dan Roh YHWH yang

berdiam dalam diri orang

(9)

Penghibur (Ibr: Melits/Yun: Parakletos).

Yesus sebagai perwujudan

Firman yang menjadi manusia

menyebut YHWH dengan

sebutan Tuhan (Ibr: Elohim/Yun:

Theos, Yoh 4:24; 14:1) dan Bapa Sorgawi (Mat 6:9, Yoh 10:30).

Istilah-istilah tersebut

bertebaran dalam Injil Sinoptik (Matius, Markus, Lukas) dan Yohanes serta surat-surat rasuli

(Paul, Yakobus, Petrus,

Yohanes). Gereja mengompilasi

(menyusun) dan merangkai

istilah-istilah yang bertebaran

tersebut menjadi rumusan

doktrinal yang kela disebut

dengan Tritunggal atau Trinitas. Istilah Tritunggal pada dasarnya bukan berbicara mengenai jumlah

atau keberapaan Tuhan

melainkan hubungan hakiki atau kebagaimanaan Tuhan.

Saya mendefiniskan

Tuhan yang Esa yang bersifat trinitaris tersebut dengan istilah Keesaan Bapa, Putra Roh Kudus yang dijabarkan sbb: Tuhan yang Esa dengan Tiga

Karya Ketuhanan, yaitu Mencipta langit dan bumi, yang lazim disebut Bapa. Menebus ciptaan

dari kutuk dosa dan

mengaruniakan kehidupan kekal yang lazim disebut Sang Putra. Membimbing, menyertai dengan sarana Roh-Nya dalam diri orang beriman, yang lazim disebut Roh Kudus adalah predikat/sebutan bagi Tuhan yang berkarya (Mat

Tuhan yang wujud-Nya Roh (Kel 3:15, Yoh 4:24)

(10)

Roh Kudus adalah nama Roh YHWH yang dicurahkan dan diam dalam diri orang beriman pada Yesus (Yoh 14:17)

Mengapa dipergunakan

istilah “Keesaan Bapa, Putra, dan Roh Kudus?” Pertama, istilah Keesaan adalah istilah yang

firmaniah dan secara literal

tertulis dalam TaNaKh dan Kitab Perjanjian Baru. Dalam Kitab Perjanjian Baru, Yesus kembali mengutip “Shema” (Mrk 12:29). Berulang kali, dalam suratnya,

Rasul Paul mengungkapkan

sebutan Bapa, Putra, Roh Kudus bersamaan dengan kata Esa (1 Tim 1:17, 1 Tim 2:5-6, 1 Kor 8:5-6, Gal 3:20), demikian pula Rasul Yohanes menyebutkan mengenai keesaan (Yoh 5:45) serta rasul Yudas (Yud 1:25). Secara literal, istilah “Keesaan” adalah

Firmaniah atau Skriptural.

Dengan menggunakan istilah

“Keesaan” pada Tuhan, maka Yudaisme dan Kekristenan tidak bersebrangan jauh. Jika kita menyembah Tuhan yang satu mengapa kita harus berselisih

mengenai istilah Ketuhanan?

Kedua, makna Keesaan dalam sudut pandang Skriptural adalah bahwa orang beriman harus menyembah kepada satu-satunya Tuhan yang benar, yaitu Bapa, Putra dan Roh Kudus serta bukan kepada Tuhan yang lain. Hanya Dialah fokus ibadah (Ul 6:13), fokus kasih (Ul 11:1), fokus doa (Mzm 143:1), fokus pujian (Mzm 66:2). Jadi, kata

Ekhad”, bukan bermakna

aritmetis semata namun

bermakna metafisik. Tuhan yang mengatasi ruang dan waktu dan

yang satu-satunya berhak

menerima penyembahan.

(11)

yang trinitaris dalam diri Tuhan yang Esa itu.

Dari semua penjelasan di

atas, Kekristenan (sekalipun

menggunakan istilah Tritunggal yang dapat menimbulkan bias

pemahaman) tetap

mempertahankan keesaan Tuhan. Kekristenan tetap menyembah YHWH sebagai Tuhan dan Bapa Surgawi yang Esa di dalam dan melalui Yesus Sang Mesias dan melalui penyertaan Roh Kudus, karena secara hakiki Pra Ada Yesus adalah Sang Firman Tuhan yang telah berada bersama Tuhan dalam kekekalan sebagaimana Roh Kudus adalah Roh YHWH yang sejak awal bersama YHWH. Dua aspek pengakuan terhadap keilahian Yesus dan Roh Kudus yang membuat Yudaisme modern

menolak konsep Ketuhanan

Kekristenan.

Apapun pemahaman

Yudaisme dan Kekristenan

terhadap Tuhan namun Ulangan

6:4-5 merupakan panggilan

bersama bagi dua umat Tuhan

untuk hanya mengakui dan

menyembah serta mengasihi

Tuhan yang Esa yang bernama YHWH (Yahweh). Yudaisme tidak membutuhkan Yesus dan Roh Kudus untuk datang pada YHWH sementara Kekristenan meyakini bahwa YHWH telah

menyatakan diri-Nya melalui

Firman-Nya yang menjadi

manusia Yesus serta mengutus Roh Kudus-Nya untuk tinggal

dalam diri orang beriman,

sehingga pemahaman ini mutlak bagi Kekristenan sebagai bagian dari keimanan dalam Ketuhanan.

Apa Arti Mengasihi YHWH Dengan Segenap Hati, Jiwa, Kekuatan?

Kita tidak diminta hanya mengakui bahwa ada satu Tuhan bernama YHWH dan satu Mesias dan Juruslamat bernama Yesus serta satu Penghibur yaitu Roh

Kudus. Pengakuan bahwa

YHWH adalah Esa hanya akan berhenti dalam ranah abstrak dan logika jika tidak dilanjutkan dengan “mengasihi”. Tuhan

adalah Kasih sebagaimana

(12)

sbb: “sebab Tuhan adalah kasih

(Yun: ho theos agape estin). Kita

diperintahkan untuk mengasihi secara totalitas baik hati, jiwa, pikiran dan kekuatan kita.

Esensi Kasih

Kata Ibrani AHAV ( )

terdiri dari huruf “Alef”, “Heh” dan “Bet”. Huruf “Alef” merupakan huruf pertama dalam abjad Ibrani. Huruf “Alef” melambangkan “keutamaan”, “Sumber segala sesuatu”, “Yang permulaan”. Kemudian huruf

“Heh” melambangkan

“kehidupan”, “dinamika”. Kata “Hayah” bermakna “ada”, “menjadi”. Huruf “Heh” merupakan bagian dari nama YHWH. Adapun huruf “Bet” merupakan lambang “penciptaan” karena kalimat pertama dalam Kejadian 1:1 berbunyi “Beresyit bara Elohim…”. Kajian piktografis atas kata “Ahav” memberikan pemahaman pada kita bahwa kata “Ahav”

merefleksikan karakter,

kepribadian, pikiran dari Tuhan Pencipta yang bernama YHWH,

karena Dialah sumber segala

sesuatu, Dialah kehidupan,

Dialah pula yang menciptakan.

Dalam Kitab Perjanjian Baru, yang merekam tindakan sebatas karakter, kepribadian dan

pikiran YHWH melainkan

keseluruhan tindakan YHWH atas dunia dan manusia, dalam hal menebus ciptaan dari kutuk

dosa yang berujung pada

rusaknya Rupa dan Gambar diri-Nya dalam keberadaan manusia serta kefanaan atau maut yang mengakhiri hidup manusia.

(13)

kasih Tuhan dinyatakan (hepanerote) di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Tuhan telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya” (1 Yoh 4:7-9).

Pola pikir Yunani

cenderung membagi-bagi sesuatu hal menjadi bagian yang kecil. Kata “Kasih” dalam bahasa Yunani dipilah menjadi beberapa

bagian yaitu: AGAPAO, PHILEO,

EROS. Kata “Agape” diartikan sebagai bentuk “kasih yang sejati dan berkorban”. Kata “Phileo” dimaknai sebagai “kasih persahabatan”. Sementara kata “Eros”, bermakna “kasih yang bersifat ungkapan seksual”, “gairah”, “birahi”. Karakter, kepribadian, pikiran dan tindakan nyata Tuhan yang mengasihi manusia diterjemahkan oleh para penyalin Kitab Perjanjian Baru berbahasa Yunani, dengan kata

AGAPAO (agapaw) yang

merefleksikan kasih Tuhan yang sempurna.

Karakteristik Kasih

Kita telah mendapat

penjelasan bahwa kata Ibrani

AHAV dan kata Yunani

AGAPAO yang dilekatkan

terhadap diri YHWH, Tuhan Pencipta dan manusia, menjadi

sebuah kata yang yang

merefleksikan relasi timbal balik dan dinamis serta komunikatif antara YHWH dan umat-Nya

demikian sebaliknya.

Persoalannya, bagaimanakah kita memahami kualitas kasih YHWH

dalam kehidupan sehari-hari?

Dengan kata lain, apakah makna kasih YHWH sebatas dipahami

sebagai tindakan YHWH

mengutus Putra-Nya untuk

melepaskan umat manusia dari kutuk dosa yang berujung maut? Apakah kasih dimaknai sebagai tindakan pasif terhadap orang yang berlaku sewenang-wenang atas diri kita?

Baik TaNaKh maupun Kitab Perjanjian Baru, selalu

menghubungkan kalimat

mengasihi YHWH, sebagai

(14)

diejawantahkan dalam suatu

tindakan ketaatan melakukan

perintah-perintah-Nya sebagaimana dikatakan:

"Haruslah engkau

mengasihi YHWH Tuhanmu, dan melakukan dengan setia kewajibanmu terhadap Dia dengan senantiasa berpegang pada segala ketetapan-Nya, peraturan-Nya dan perintah-Nya” (Ul 11:1).

“Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsa mu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah YHWH” (Im 19:18).

“Hai orang-orang yang mengasihi YHWH, bencilah kejahatan! Dia, yang memelihara nyawa orang-orang yang dikasihi-Nya, akan melepaskan mereka dari tangan orang-orang fasik” (Mzm 97:10)

Dari kutipan ayat-ayat di atas, karakteristik kasih YHWH terejawantah dalam kepatuhan

umat-Nya dalam melakukan

segala perintah-perintah-Nya

dalam firman-Nya. Dengan kata

lain, kasih YHWH harus

diejawantahkan berbanding lurus dengan perbuatan mulia dari umat-umat-Nya. Jika seseorang mengklaim mengasihi YHWH namun tidak mengasihi sesama, tidak membenci kejahatan dan ketidakadilan serta tidak pernah

melakukan

perintah-perintah-Nya, sesungguhnya mereka

belum tinggal dalam kasih

YHWH. Kualitas dan

karakteristik kasih yang dimiliki orang tersebut belum mencapai tahapan AHAVA atau AGAPAO.

Kuasa Kasih

Kebanyakan orang yang tidak mengenal YHWH dan Sang

Mesias serta Torah-Nya,

menganggap kata kasih sebagai

bentuk kelemahan, pasif dan

fatalistik. Namun Kitab

Perjanjian Baru memberikan

(15)

“Tetapi yang terutama: kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa” (1 Ptr 4:8).

“Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih” (1 Yoh 4:18).

Kasih berkuasa

mengampuni dosa seseorang.

Kasih berkuasa mengatasi

ketakutan dalam diri kita. Kasih

sejati yang memiliki kuasa

sebagaimana di atas merupakan jenis kasih yang dinamakan AHAV atau AGAPAO yang bersumber dalam diri YHWH di dalam Yahshua Sang Mesias. Jika kita tinggal dalam kasih-Nya, maka kita tetap berada di dalam

Dia sebagaimana dikatakan:

“Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Tuhan kepada kita. Tuhan adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di

dalam Tuhan dan Tuhan di dalam dia” (1 Yoh 4:16).

Bukti bahwa Kasih adalah suatu kekuatan tidak terbatas yang berdaya kuasa mengalahkan

berbagai kejahatan dan

kelemahan, nampak dalam

peristiwa penyaliban Yesus.

Ketika menjelang ajal, Dia tetap konsisten menyampaikan

kata-kata pengampunan sebagai

refleksi kasih kepada

musuh-musuh-Nya dengan berkata,

“Bapa, ampunilah mereka,

karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan!”. Dalam kesakitan, dalam penderitaan, dalam ajal yang menjelang,

Yesus Sang Mesias tetap

mengeluarkan kata-kata

(16)

Bagaimana Iman Kepada Tuhan Dipelihara Dalam Keluarga?

Ulangan 6:6-9

mengatakan sbb: “Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu”. Orang Yahudi yang menganut Yudaisme

memaknai ayat-ayat tersebut

secara harafiah dengan

mengikatkan kotak kecil dalam

dahi kepalanya dan

mengikatkannya dalam kedua tangannya yang disebut dengan Tefilin. Dan tiap-tiap keluarga Yahudi yang saleh menyematkan

Shema dalam ambang pintu

rumahnya yang disebut Mezuzah.

Ayat di atas merupakan perintah agar kita sebagai orang yang beriman kepada YHWH dan juga kepada Yesus Sang Mesias serta Roh Kudus, mentransferkan keimanan kita kepada anak-anak kita. Setiap momentum adalah kesempatan untuk mengajarkan perihal Tuhan dan kehendak-Nya. Ketika kita sedang bertamasya dan menikmati keindahan alam,

ketika kita sedang melihat

peristiwa kecelakaan yang

memilukan, ketika kita sedang

mengalami kehidupan yang

(17)

merasakan kebahagiaan dalam

hidup, ketika kita sedang

bepergian, semua memiliki

peluang sebagai pelajaran hidup perihal Tuhan dan kehendaknya.

Ketika kita sedang

berkekurangan, kita belajar

mengenai sikap bersyukur dan berserah pada Tuhan dan jangan menyerah pada keadaan serta mencari jalan pintas. Ketika kita melihat keindahan alam, kita

belajar mengenai kekuasaan

Tuhan atas semesta dan

kehidupan kita.

Tuhan menginginkan

umat-Nya mengenal apa yang mereka percayai. Dan apa yang dipercayai harus dipahami oleh keturunannya sebagaimana Dia katakan dalam Ulamngan 6:20-21 sbb: “Apabila di kemudian hari anakmu bertanya kepadamu: Apakah peringatan, ketetapan

dan peraturan itu, yang diperintahkan kepadamu oleh YHWH Tuhan kita? maka haruslah engkau menjawab anakmu itu: Kita dahulu adalah budak Firaun di Mesir, tetapi YHWH membawa kita keluar dari Mesir dengan tangan yang kuat”

(18)

tetapi menyelamatkan rumah-rumah kita." Lalu berlututlah bangsa itu dan sujud

Jongenel, pakar Missiologi

Utrecht Universiteit, dalam

diskusi di depan pendeta-pendeta Jakarta di kantor PGI pada tanggal 11 September 1995

mengatakan sbb: “Eropah kini

menjadi semakin sekuler dan negara yang paling sekuler

adalah negeri

Belanda...penduduk Amsterdam, Ibukota Nederland yang 200 tahun lalu hampir seluruhnya beragama Kristen (99%) sekarang tinggal 10% saja yang dibaptis dan ke gereja, kebanyakan mereka tidak terikat lagi dalam agama atau sudah menjadi sekuler”10

10

Sekularisasi, Ancaman Bagi Semua Agama, Berita Oikumene, September 1995

Studi yang dilakukan di

Inggris (United Kingdom

Christian Handbook,

1998/1990) menghasilkan

statistik bahwa di antara orang-orang dewasa, 11% menjadi pengunjung gereja secara teratur, 15% adalah anggota gereja, 62%

melihat siaran TV Kristen

sedikitnya sekali sebulan, 65% Kristen nominal, 69% percaya bahwa agama dapat memberikan standar hidup masyarakat dan 73% kecewa melihat bahwa standar moral sudah merosot”11

Bagaimana dengan

Indonesia? Kondisi di Indonesia tentu saja belum separah di Eropa dan Amerika namun tantangan di Indonesia adalah perpindahan agama dari Kristen ke Islam yang terus menerus terjadi secara

sistematis (sekalipun terjadi

perpindahan dari Islam ke Kristen yang cukup menggembirakan)

mengintai anak-anak mudah

11

(19)

Kristiani yang tidak terdidik dalam pokok iman dan ibadah.

Oleh karenanya orang tua Kristiani harus memahami apa yang diimaninya. Keimanan atau kepercayaan kepada Tuhan bukan sekedar hafalan terhadap ayat-ayat dalam rumusan logis dan abstrak belaka namun berlanjut dalam hubungan yang pribadi dan

dinamis dengan Tuhan.

Hubungan yang dinamis dan

bersifat pribadi inilah yang

disebut mengasihi dan mengenal Tuhan. Keimanan yang telah kita miliki dan menjadi kekuatan

dalam hidup kita, harus

(20)

INDONESIAN JUDEOCHRISTIANITY INSTITUTE

Indonesian Judeochristianity Institute (IJI) adalah organisasi yang didirikan dengan maksud dan tujuan sbb:

1. Menghadirkan Kekristenan dengan corak Semitik Yudaik sebagai

akar historisnya. Corak Semitik Yudaik tersebut dijabarkan dalam Pokok Keimanan (Akidah/Emunah) dan Tata Peribadatan (Ibadah/Avodah) serta Perilaku Hidup (Akhlaq/Halakah)

2. Mengisi kesenjangan materi terkait Yudaisme sebagai akar

Kekristenan awal, dalam berbagai kajian dan kurikulum Teologi

3. Melakukan berbagai kajian kritis dan teologis terhadap Kitab Suci

dengan pola pikir Ibrani

4. Menghadirkan penafsiran baru terhadap Torah dan relevansinya

terhadap Kekristenan masa kini

5. Melakukan kajian-kajian mengenai hubungan Kekristenan awal

dengan kebudayaan Semitik

(21)

7. Membantu pemerintah dalam pembangunan mental dan spiritual bangsa dalam rangka pembinaan manusia Indonesia seutuhnya

Sebelumnya organisasi ini bernama Forum Studi Mesianika (FSM).

Berdasarkan rapat anggota yang diselenggarakan pada tanggal 29 Juli 2012

lalu, maka Forum Studi Mesianika (FSM) berganti nama menjadi

Indonesian Judeochristianity Institute (IJI).

Indonesian Judeochristianity Institute (IJI) bekerjasama dan berafiliasi dengan Hebraic Root Teaching Institute (HRTI) yang berdomisili di Afrika Selatan dengan pimpinan Prof. Liebenberg.

Salah satu usaha untuk mencapai beberapa tujuan di atas diantaranya adalah menerbitkan buletin berkala sebagai wujud komunikasi dan pembelajaran anggota IJI.

Indonesian Judeochristianity Institute (IJI) Email: derekhatov@gmail.com

Website: www.messianic-indonesia.com (www.hrti.co.za)

Facebook:Messianic Indonesia (Indonesian Judeochristianity Institute)

Referensi

Dokumen terkait

Seperti melakukan kegiatan promosi melalui brosur- brosur tentang Tabungan Mudharabah yang diberikan kepada masyarakat. Menurut analisa penulis tentang promosi melalui

Yohanes juga memberi kesaksian tentang Yesus kepada muridnya bahwa Roh Kudus turun dari langit dan tinggal di atas Dia (Yoh 1:33, 34). Roh dalam Perjanjian Lama

Berdasarkan Firman Tuhan ini, sebagai Pelayan Yesus Kristus, kami memberitakan bahwa Pengampunan Dosa telah berlaku dalam nama Bapa, dan Anak dan Roh Kudus!.

PESAN PENTING: Peningkatan kualitas pendidikan menjadi PR besar yang diamanatkan Wakil Wali Kota Malang Sofyan Edi Jarwoko dalam Konferensi PGRI Kota Malang kemarin

Untuk itu, pada kegiatan pengabdian ini, dikembangkan sebuah sistem basisdata perpustakaan dengan menggunakan SliMS (Senayan Library Management Systems) yang

Oleh karena itu, murid prasekolah dapat dikatakan masih sangat bergantung (dependent) terhadap guru dalam melakukan segala aktifitasnya di kelas. Pengalaman

Alasan proses alokasi dibuat dalam 4 tahapan adalah agar proses penempatan operator lebih sistematis, yaitu dari ditempatkannya terlebih dahulu stasiun kerja

Dalam Yohanes 16:1-4, kita mendapati bahwa di malam perjamuan terakhir Tuhan Yesus bersama dengan para murid-Nya, Tuhan Yesus menyingkapkan tiga hal yang sangat penting tentang