• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Sindrom Depresi pada Lanjut Usia di Puskesmas Darussalam, Kota Medan Tahun 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Sindrom Depresi pada Lanjut Usia di Puskesmas Darussalam, Kota Medan Tahun 2015"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Depresi

2.1.1. Definisi depresi

Menurut WHO, depresi merupakan gangguan mental yang ditandai dengan munculnya gejala penurunan mood, kehilangan minat terhadap sesuatu, perasaan bersalah, gangguan tidur atau nafsu makan, kehilangan energi, dan penurunan konsentrasi (World Health Organization, 2010).

2.1.2. Gejala depresi menurut Tomb (2004): 1. Gambaran emosi

- Mood depresi, sedih atau murung - Iritabilitas, ansietas

- Anhedonia, kehilangan minat - Kehilangan semangat

- Ikatan emosi berkurang

- Menarik diri dari hubungan interpersonal - Preokupasi dengan kematian

2. Gambaran kognitif

- Mengkritik diri sendiri, perasaan tidak berharga, rasa bersalah - Pesimis ,tidak ada harapan, putus asa

- Perhatiannya mudah teralih, konsentrasi buruk - Tidak pasti dan ragu-ragu

- Berbagai obsesi

- Keluhan somatik (terutama pada orangtua) - Gangguan memori

(2)

- Penurunan berat badan atau penambahan berat badan - Retardasi psikomotor

- Agitasi psikomotor - Libido terganggu

- Variasi diurnal yang sering 4. Tanda-tanda depresi

- Berhenti dan lambat bergerak

- Wajah sedih dan selalu berlinang air mata - Kulit dan mulut kering

- Konstipasi

2.1.3. Klasifikasi Depresi menurut Revisi Teks edisi IV dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-IV-TR) dalam R. Yulianti

(2006) :

1. Gangguan depresi mayor unipolar dan bipolar 2. Gangguan mood spesifik lainnya

- Gangguan distimik depresi minor

- Gangguan siklotimik depresi hipomanik saat ini atau baru saja berlalu (secara terus menerus selama 2 tahun)

- Gangguan depresi atipikal - Depresi postpartum - Depresi menurut musim

3. Gangguan depresi akibat kondisi medik umum dan gangguan depresi akibat zat

(3)

2.1.4. Patofisiologi

Struktur neokortikal bagian dorsal merupakan hipometabolik dan struktur limbik bagian ventral merupakan hipermetabolik saat seseorang mengalami depresi. Jalur frontostriatal dalam otak memediasi afek positif yang berkenaan dengan antisipasi, dan abnormalitas yang terjadi dapat mengakibatkan ketidakmampuan dalam mengantisipasi insentif, sehingga menyebabkan predisposisi terjadinya depresi. Bagian medial kiri dari korteks orbitofrontal teraktivasi sebagai respon terhadap reward dan bagian kanan korteks orbitofrontal berespon terhadap punishment. Selanjutnya bagian anterior cingulate gyrus berhubungan dengan struktur otak, dimana fungsi-nya sering terganggu pada depresi. Perigenual cingulate menghubungkan antara fungsi yang sedang berlangsung dan informasi yang berhubungan dengan konsekuensi yang akhirnya menyebabkan motivasi. Dorsal cingulate memonitor respon dan memodulasi perhatian dan fungsi eksekutif dalam kolaborasi-nya dengan korteks bagian dorsolateral (Alexopoulos, 2005).

Disfungsi pada frontostriatal bisa menjadi predisposisi terjadinya depresi pada usia lanjut. Disfungsi eksekutif, yang merupakan gambaran klinis abnormalitas frontostriatal, sering terjadi pada depresi yang mengenai lanjut usia dan menetap setelah kejadian simtom terkait mood. Sebagai tambahan, kelainan pada subkortikal yang menekan jalur frontostriatal sering bertambah berat dengan adanya depresi dan disungsi eksekutif. Volume yang rendah pada struktur frontostriatal telah terbukti menyebabkan depresi pada usia lanjut, seiring dengan hiperintensitas pada struktur subkortikal dan hubungan bagian frontal. Abnormalitas makromolekular di genu dan splenium dari corpus callosum, bagian kanan nukleus kaudatus, dan putamen sering ditemukan pada orang lansia dengan depresi. Penurunan pada glia di subgenual anterior cingulate dan abnormalitas neuron di korteks dorsolateral juga sudah diteliti pada pasien yang mengalami depresi (Alexopoulos, 2005).

(4)

melambatnya, sedikitnya dan respon yang tidak stabil terhadap antidepresan (Alexopoulos, 2005).

Abnormalitas pada white matter berhubungan dengan disfungsi eksekutif dan hasil yang buruk pada depresi di kehidupan akhir/depresi pada lanjut usia. Hipometabolisme pada bagian anterior dari cingulata telah dilaporkan pada pengobatan depresi berat yang resisten, sementara hipermetabolisme timbul pada pasien depresi dengan respon pengobatan yang baik. Meningkatnya amplitudo gelombang negatif pada frontal bagian kiri setelah respon terhadap tugas inhibisi, sebuah fungsi yang dimediasi oleh cingulata bagian anteriortelah diprediksi terhadap perubahan yang terbatas atau melambat pada depresi tipe berat pada individu lanjut usia yang diobati dengan citalopram (Alexopoulos, 2005).

Abnormalitas pada amigdala mungkin merupakan predisposisi terhadap depresi. Amigdala memediasi emosi sebagai respon terhadap stimulus yang aversive dan memberi sinyal yang bertanggung jawab pada perilaku coping dan aktivitas otonom (Alexopoulos, 2005).

Perubahan yang berkaitan dengan usia dan berhubungan dengan persepsi emosional dapat berkontribusi terhadap terjadinya depresi dan apatis. Stroke dan kelainan subkortikal dapat merusak hubungan antara amigdala, nuklues thalamus bagian medial dorsal, dan orbital, dan korteks prefrontal medial, mempredisposisi depresi (Alexopoulos, 2005).

Sebagai tambahan, hiperkortisolemia, dimana meningkat saat penyakit medis yang kronis, berhubungan dengan meningkatnya aktivitas amigdala, menimbulkan pelepasan kortisol dan depresi. Pada episode awal terjadinya depresi berat, pasien mempunyai volume amigdala yang besar dibandingkan mereka yang menderita depresi berulang atau dalam kontrol yang sehat. Peningkatan aktivitas pada bagian otak ini berkaitan dengan simtom depresi dan emosi negatif, dan mungkin sebagai hasil dari inhibisi yang tidak adekuat dari prefrontal bagian sentral (Alexopoulos, 2005).

(5)

terjadinya depresi, karena volume dari strukturnya berkurang saat episode awal depresi berat. Walaupun demikian, beberapa tidak setuju dengan teori ini. Meskipun begitu, penurunan dari volume hipoccampus berhubungan dengan durasi depresi pada masa hidup-nya (Alexopoulos, 2005).

Selebihnya, penurunan volume hipoccampus telah dilaporkan setelah episode awal depresi berat meski pasien menerima antidepresan. Abnormalitas hipoccampus sesuai dengan populasi lanjut usia, semenjak struktur nya secara khusus rentan terhadap bertambahnya usia dan perubahan yang berhubungan dengan usia. Selebihnya, regio hipoccampus CAI dan subiculum rentan terhadap iskemik dan hiperkortisolemia, sebagai hasil dari stress dan penyakit medis yang kronis (Alexopoulos, 2005).

2.1.5. Etiologi Depresi dalam Wade C. (2008) 1. Faktor Genetik

Penelitian yang dilakukan terhadap anak-anak yang diadopsi dan anak-anak kembar mendukung pemikiran yang menyatakan bahwa depesi berat merupakan suatu gangguan yang bersifat turun temurun (Bierut et. al., 1999). Para ahli kemudian berusaha mencari gen-gen yang sepertinya terlibat, meskipun sepertinya hampir tidak mungkin terdapat sebuah gen tunggal yang dapat menyebabkan depresi yang serius. Seperti pada kasus gangguan stres pasca trauma, predisposisi genetik harus berinteraksi dengan peristiwa yang penuh tekanan untuk dapat menghasilkan suatu gangguan.

(6)

tiap orang tua) mengalami depresi yang sangat serius setelah melewati suatu situasi yeng penuh tekanan (seperti kehilangan pekerjaan, mengalami kecelakaan yang menyebabkan cacat, kematian salah seorang anggota keluarga, atau mengalami tindakan kekerasan saat masa kanak-kanak).

Sementara hanya 17% dari mereka yang memiliki dua gen dengan bentuk yang panjang yang akan mengalami depresi, meskipun mereka mengalami stres yang sama dengan mereka yang memiliki dua gen dengan bentuk yang pendek. Mereka yang memiliki satu gen dengan bentuk yang panjang dari salah satu orang tua dan satu gen dengan bentuk yang pendek dari orang tua yang lainnya (33%), memiliki tingkat kerentanan terhadap depresi yang berbeda di antara mereka yang memiliki dua gen dengan bentuk yang pendek maupun dua gen dengan bentuk yang panjang.

Gen dapat menyebabkan seseorang mengalami depresi dengan cara mempengaruhi tingkat serotonin dan saraf penghantar lainnya yang terdapat di otak. Gen juga dapat mempengaruhi produksi dari hormon stress, kortisol, yang pada dosis tertentu dapat mengakibatkan kerusakan pada hipoccampus dan amygdala (Sapolsky, 2000; Sheline, 2000).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Center for Epidemiologic Studies Depression Scale, Sweden, sebanyak 16% lansia yang kembar bersaudara terkena depresi dan 19% menunjukan gejala somatis. Faktor genetik ini hanya sedikit berpengaruh terhadap gejala depresi yang terjadi (Gatz et al., 1992). Depresi berat pada lanjut usia ditemukan lebih banyak pada wanita dibandingkan pria (Krause, 1986). Penelitian yang dilakukan oleh Hazzard, pada tahun 1999 mencoba untuk menjelaskan maksud dari pernyataan ini, dimana pada laki-laki ditemukan lebih cepat meninggal dan mortalitas tersebut lebih sering dipengaruhi oleh faktor genetik.

(7)

MTHFR (methylene tetrahydrofolate reductase) pada pasien lansia yang

memiliki depresi berat.

2. Pengalaman hidup

Salah satu pengalaman yang sering kali menyebabkan seseorang

menjadi depresi, adalah peristiwa kekerasan. Kekerasan domestik juga

memiliki kontribusi pada banyaknya jumlah kasus depresi yang dialami

wanita. Meskipun wanita yang mengalami depresi lebih sering memiliki

hubungan dengan tindakan kekerasan, keterlibatan dalam hubungan

dengan tindakan kekerasan akan meningkatkan kadar depresi dan

kecemasan yang mereka miliki- namun menariknya, hal ini tidak terjadi

pada pria (Ehrensaft, Moffitt, & Caspi, 2006).

Wanita juga lebih sering mengalami tindakan kekerasan masa

kanak-kanak dibandingkan pria, sehingga meningkatkan resiko depresi

masa dewasa pada wanita (Weiss, Longhurst, & Mazure, 1999). Sebagai

tambahan, kondisi kehidupan yang dimiliki seseorang, seperti peranan

yang mereka miliki, status, tingkat kepuasan terhadap pekerjaan dan

keluarga, dapat mempengaruhi kecenderungan depresi yang dialami

seseorang. Dibanding wanita, pria lebih sering menikah dan bekerja penuh

waktu, suatu kombinasi peran yang sangat terasosiasi dengan kesehatan

mental dan tingkat depresi yang rendah (Brown, 1993). Dibanding pria,

wanita lebih sering hidup dalam kemiskinan dan mengalami penderitaan

yang disebabkan oleh diskriminasi, dan sumber tambahan dari depresi

(Belle & Doucet , 2003).

Adanya stress yang menumpuk selama masa hidup dapat

menyebabkan peningkatan sekresi kortisol yang mengakibatkan kerusakan

pada neuron di dalam hippocampus (Sapolsky, 1996). Gejala depresi dapat

(8)

menyebabkan penurunan faktor pertumbuhan di dalam otak (Sheline,

2003) dan penurunan neurogenesis (Gould et al. 1999). Stress dini dapat menyebabkan hipersensitifitas terhadap stress yang bersifat permanen, disregulasi aksis Hipotalamus Pituitary Adrenal (HPA) dan pengulangan episode pada depresi yang berat dan permanen (Heim et al. 2000).

3. Kehilangan hubungan yang bermakna

Faktor ketiga adalah kehilangan hubungan penting. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya depresi pada individu yang rentan. Banyak dari mereka yang mengalami depresi memiliki riwayat perpisahan dan kehilangan, baik pada masa lalu, maupun pada masa sekarang; insecure attachment; dan penolakan oleh orang tua (Nolan, Flynn & Garber, 2003; Weisman, Markowitz, & Klerman, 2000).

Dalam suatu penelitian ditemukan hubungan yang erat antara kejadian hidup yang berat (contoh: kematian teman dekat, penyakit kronis pada orang didekatnya, penyakit berat yang dimiliki-nya sendiri) dan kesulitan dalam bidang sosial (penyakit yang diderita oleh orang yang dekat dengan pasien, rumah tangga, pernikahan dan hubungan keluarga) dengan awal terjadinya depresi berat pada masa tua (Murphy, 1982).

Pada suatu penelitian cross-sectional dan longitudinal, kehilangan teman dekat menunjukan adanya hubungan dengan gejala depresi pada

(9)

4. Hormonal

Hubungan penurunan hormon serotonin dalam depresi ini dapat

diamati melalui tritiated imipramine binding (TIB) dalam platelet lansia.

Pada lansia dengan depresi berat ditemukan adanya penurunan yang

signifikan pada lokasi ikatan tersebut dibandingkan subyek normal dan

subyek yang menderita penyakit Alzheimr. Tapi kapasitas ikatan tersebut

tidak mengalami penurunan (Nemeroff et al. 1988 dalam Dan dan Celia

2005).

Sekresi corticotrophin-releasing factor (CRF) telah menunjukan

adanya hubungan dengan kejadian depresi. CRF me-mediasi gangguan

tidur dan nafsu makan, menurunkan libido, dan perubahan psikomotor

(Arborelius et al., 1999 dalam Dan dan Celia, 2005).

Normal-nya, kadar CRF menurun seiring bertambahnya usia

(Gottfries, 1990 dalam Dan dan Celia, 2005). Penuaan berhubungan

dengan peningkatan respon dehydroepiandrosterone sulfate (DHEA-S)

terhadap CRF (Luisi et al., 1998 dalam Dan dan Celia, 2005). Kadar

DHEA yang rendah juga menunjukan hubungan dengan peningkatan

kejadian depresi dan peningkatan gejala depresi pada wanita lansia yang

tinggal di panti jompo (Yaffe et al. 1998 dalam Dan dan Celia, 2005).

Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Liverman & Blazer

pada tahun 2004, kadar testosteron lebih rendah pada pria lansia yang

memiliki kelainan distimik dibandingkan pria yang tidak memiliki gejala

depresi. Pada wanita, substitusi hormon telah menunjukan adanya

peningkatan dalam mood (Sherwin & Gelfand, 1998 dalam Dan dan Celia,

2005). Perubahan anatomis menunjukan adanya hubungan dengan

disregulasi endokrin dan juga gejala depresi pada lansia. Sebagai contoh,

gejala depresi tidak hanya menunjukan adanya hubungan dengan atrofi

hippocampus, tapi depresi juga diduga menyebabkan atrofi hipokampus

(Sheline et al. 1996; Sapolsky, 2001; Steffens et al., 2002 dalam Dan dan

(10)

2.1.6. Faktor Resiko

1. Ketidakmampuan Fisik

Penelitian yang dilakukan oleh Martin dan Nandini (2003) dengan cara menggabungkan 20 penelitian prospektif mengenai faktor-faktor resiko terhadap kejadian depresi pada lanjut usia. Dalam penelitian ini mengindikasikan adanya lima faktor resiko yang berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian depresi pada lansia, salah satunya adalah faktor ketidakmampuan (Cole dan Dendukuri, 2003)

2. Penyakit Kronis

Sindrom depresi yang terjadi pada akhir kehidupan seseorang sering terikut dalam konteks penyakit medis dan kelainan neurologi. Diagnosis depresi dapat ditegakan jika terdapat mood depresi atau anhedonia pada pasien yang telah didiagnosa penyakit yang berhubungan dengan depresi (Alexopoulos et al., 2002). Sekitar seperempat dari individu yang memiliki infark miokard atau seseorang yang sedang menjalani kateterisasi pada jantung-nya mempunyai depresi yang berat, dan 25% lain-nya memiliki depresi ringan. Sekitar setengah dari pasien yang memiliki penyakit jantung koroner dan depresi yang berat akan mengalami paling sedikit satu kali episode

depresi yang berat, dan 50% dari mereka yang memiliki depresi yang berat pada masa katerisasi jantung akan berlanjut mengalami depresi setahun setelah prosedur tersebut dilaksanakan (Carney dan Freedland, 2003).

(11)

arteriosklerosis dan obesitas, demineralisasi tulang, dan terjadi

peningkatan atrofi sel otak(Alexopoulos et al., 2002 ; Luber, Meyers, Williams-Russo et al., 2001). Allostatic menandakan peningkatan aktivitas adrenokortikal, meningkatkan kosentrasi Insulin Growth Factor (IGF)-1, dan inisiasi respon inflamasi, telah dilaporkan pada pasien yang memiliki depresi berat (McEwan, 2003).

Gejala atau sindrom depresi sering terdapat pada individu yang terkena demensia. Point prevalence dari depresi yang berat sekitar 17% pada pasien dengan penyakit Al-zheimr (Wraggdan Jeste,1989) dan lebih tinggi pada pasien dengan demensia sub-kortikal (Sobin dan Sacheim,1997).

Penyakit cerebrovascular dapat merupakan predisposisi, presipitasi dari sindrom depresi. Hal ini berdasarkan pada komorbiditas dari sindrom depresi yang diikuti dengan lesi dalam cerebrovascular dan faktor resiko cerebrovascular dan fakta bahwa depresi sering berkembang setelah stroke (Alexopoulos, 1997; Krishnan, Hays, Blazer, 1997). Orang lansia yang memiliki depresi dan masalah vaskular memiliki disabilitas yang lebih tinggi dan fungsi kognitif yang bermasalah dibandingkan mereka yang depresi tapi tidak memiliki kelainan di vascular (Robinson, 2003).

Literatur Internasional mengobservasi bahwa gejala depresi

merupakan faktor resiko independen dalam peningkatan mortalitas (Krishnan et al., 1997; Bottino, 2003; Steffens et al., 2006). Selebihnya, hubungan antara depresi dan faktor resiko kardiovaskular disebut juga depresi vaskular (Krishnan et al., 1997), yang secara umum berhubungan dengan respon terhadap ketidakpuasan pengobatan medis (Barcelos et al., 2007).

(12)

perasaan bersalah dibandingkan orang lansia yang memiliki depresi

tanpa ada masalah dalam vaskular-nya (Alexopoulos et al., 1997). Obat-obat yang digunakan dalam pencegahan penyakit serebrovaskular dapat menurunkan resiko depresi yang disebabkan masalah dalam vaskular. Selebihnya, anti-depresan seperti dopamine atau norepinefrin lebih disukai pada depresi karena masalah vaskular dan anti depresan yang bersifat menghambatpemulihan iskemik seperti penghambat adrenergik lebih baik dihindari (Krishnan, Hays, Blazer, 1997; Alexopoulos, 1997).

Hipertensi juga berhubungan dengan peningkatan resiko terjadi-nya depresi berat (Rabkin et al., 1983). Dalam suatu penelitian yang menggunakan subyek sebanyak 139 lansia, ditemukan 54% diantaranya saat pemeriksaan neuroimaging memiliki kriteria untuk diagnosis iskemik vaskular di subkortikal (Taylor et al., 2003 dan Krishnan et al. , 2004).

Depresi pada vaskular berhubungan dengan hiperintensitas pada white matter, dimana pada scan Magnetic Resonance Imaging (MRI) ditemukan daerah yang putih di dalam parenkim otak (Krishnan et al. 1997; Guttmann et al. 1998). Lesi ini yang menyebabkan kerusakan pada jalur white-matter dan menyebabkan kerusakan sirkuit saraf yang berhubungan dengan kejadian depresi (Taylor et al. 2003).

Pada depresi vaskular, lesi yang terletak pada bagian depan white matter berhubungan dengan peningkatan rasio myoinositol– creatinine dan choline–creatinine. Perubahan ini yang menyebabkan perubahan biologis pada jaringan glia, yang berdampak terhadap aktivitas sinaps (Kumar et al. 2002).

(13)

demensia merupakan penyebab gejala depresi pada lansia (Hays et al.

1997; Bruce, 2001). 3. Kematian Pasangan

Depresi karena kehilangan cenderung memiliki jangka waktu yang lebih pendek dibanding depresi karena faktor lain. Selama tahun pertama sejak lansia mengalami kehilangan teman dekat, 10-20% dari pasangan yang selamat tersebut memiliki gejala depresi yang makin kuat, yang secara umum tetap ada jika tidak diobati (Alexopoulos dalam Sadavoy, Jarvik, Grossberg, Meyers, 2004).

Lansia memiliki kecenderungan lebih rendah dalam mengalami depresi dibandingkan dewasa muda pada satu bulan pertama masa lajang. Prevalensi depresi yang berat akan berlanjut meningkat selama dua tahun setelah lansia tersebut kehilangan teman dekat (Zisook, Schuchter, Sledgedalam Schneider, Reynolds, Lebowitz, Friedhoff, 1994).

4. Fungsi kognitif

Secara kognitif orang dewasa lebih cenderung untuk mengalami depresi daripada mereka yang tidak memiliki demensia (Steffens et al., 2009) 30-50% lansia dengan penyakit Alzheimer menderita gejala depresi. Meskipun demikian, prevalensi depresi

menurun dengan keparahan penyakit Alzheimer (Steffens & Potter, 2007).

5. Faktor Dukungan Sosial

(14)

Pada keadaan tidak ada lingkungan sosial yang ramah, reaksi

sistem-sistem tersebut meningkat dan bisa berdampak buruk terhadap

kesehatan dan umur panjang, mempengaruhi terjadinya suatu penyakit

(Seeman, Mc Ewen, 1996 dalam Valeria et al., 2013).

Salah satu penyakit yang berhubungan dengan dukungan sosial

adalah depresi, dimana prevalensi-nya mencapai 37% di pelayanan

kesehatan primer (Li, Friedman, Conwell, Fiscella, 2007 dalam Valeria

et al., 2013). Kondisi ini berhubungan dengan penurunan kualitas

hidup, angka komorbiditas yang tinggi dan mortalitas yang tinggi.

Dukungan sosial melindungi individu dari konsekuensi terkena depresi

dengan cara mengurangi efek negatif tekanan sosial. Terdapat

hubungan timbal balik antara kejadian gejala depresi dengan besar-nya

jejaring sosial (Pinto et al., 2006 dalam Valeria et al., 2013).

Dimensi yang bisa diidentifikasi: dukungan materi, yaitu akses

pelayanan yang diberikan kepada orang pada saat dia membutuhkan

dan sumber materi, termasuk bantuan keuangan; dukungan afektif,

yang berkaitan dengan ekspresi cinta dan kasih sayang; dukungan

emosional, berkaitan dengan empati, kepercayaan, penghargaan dan

ketertarikan; dukungan informasi, mengenai akses individu untuk

melakukan konsul, saran dan bimbingan; dan interaksi sosial yang

positif, mengacu dengan adanya orang yang membuat dia bergembira

dan relaks (Sherbourne, Stewart, 1991 dalam Valeria et al., 2013).

Analisis multivariat mendemonstrasikan hubungan antara

dukungan sosial dengan kelainan mood. Individu yang tidak

mengalami depresi cenderung memiliki dukungan sosial yang

memuaskan. Rata-rata skor dukungan sosial yang diobservasi dalam

penelitian ini konsisten dengan penelitian lain dimana ia

mendemonstrasikan rasio likelihood depresi yang lebih rendah pada

orang dengan dukungan sosial yang lebih tinggi dibandingkan mereka

dengan dukungan soial yang rendah. Di Korea, dengan menggunakan

(15)

pada kelompok dengan dukungan sosial yang rendah sebanyak tiga

kali lebih banyak dibanding kelompok dengan dukungan sosial yang

tinggi, sementara di Thailand, hubungan antara depresi dengan

kapasitas fungsional dimodifikasi dengan tingkat dukungan sosial yang

ada (Suttajit et al, 2011 dalam Valeria et al., 2013).

Penelitian dengan menggunakan sampel yang berusia antara

55-85 tahun, yang berjumlah 2.823 orang dan menggunakan data yang

di follow up selama 13 tahun sejak awal terjadinya depresi.

Didapatkan bahwa responden dengan dukungan sosial yang rendah

lebih sering mengalami depresi dan laki-laki menunjukan prevalensi

depresi yang lebih tinggi dibandingkan wanita (Sonnenberg et al., 2013 dalam Valeria et al., 2013) .

Melchiorre et al., menginvestigasi hubungan antara dukungan sosial, demografi, sosio-ekonomi, variabel kesehatan dan

penganiayaan orang tua dalam penelitian metode cross sectional pada 4.467 orang yang tidak menderita demensia dan berusia antara 60-84

tahun yang tinggal di tujuh Negara Eropa. Mereka memferivikasikan

bahwa orang yang memiliki skor depresi rendah merupakan indikasi

adanya dukungan sosial yang tinggi (Melchiorre et al. 2013 dalam Valeria et al., 2013).

Pada suatu komunitas penelitian di Hong Kong, dukungan

sosial yang buruk dan gejala depresi menunjukan adanya hubungan

(termasuk besarnya jaringan sosial yang dimiliki, kualitas jaringan

sosial tersebut, frekuensi kontak sosial, dan dukungan emosional) (Chi

& Chou, 2001 dalam Dan dan Celia, 2005).Dalam suatu penelitian

longitudinal, dukungan sosial yang buruk menyebabkan beberapa

gejala depresi setelah 3-6 tahun follow up (Henderson et al. 1997 dalam Dan dan Celia, 2005). Jaringan sosial yang buruk menyebabkan

insidensi depresi berat pada penelitian yang menggunakan 875 sampel

lansia yang tidak mengalami depresi dan di follow up selama 3 tahun.

(16)

6. Faktor Jenis Kelamin

Prevalensi depresi berat dan depresi tidak berat lebih banyak

pada wanita dibandingkan pria. Perbedaan tingkat depresi berdasarkan

jenis kelamin ini telah dilaporkan selama tiga dekade (Parker dan

Brotchie,2010 dalam Hyun et al., 2013). Respon terhadap terapi

dengan menggunakan obat dan tidak menggunakan obat juga

menunjukkan perbedaan dalam jenis kelamin (Parker dan Brotchie,

2010 dalam Hyun et al., 2013).

Dewey et al., (1993) dalam Zunzunegui (1998) menemukan

bahwa wanita lansia dua kali lebih banyak dibandingkan pria dalam

terdiagnosa secara psikiatri. Wanita memiliki kadar depresi dan gejala

ansietas yang lebih tinggi, sementara pria lebih sering memiliki

masalah dalam perilaku dan kebiasaan minum alkohol (Sarasola et al.

1992 dalam Zunzunegui, 1998). Sebuah penelitian kesehatan mental

pada orang dewasa di Cantabria menyatakan bahwa prevalensi gejala

depresi pada wanita dua kali lebih tinggi dibandingkan pria (Vazquez

Barquero et al. 1992 dalam Zunzunegui, 1998).

Aktivitas wanita terbatas dari lingkuan luar-nya. Tanggung

jawab sosial mereka dihubungkan dengan peran mereka sebagai

spouses, ibu, bibi dan nenek. Akhirnya, kontak sosial mereka dengan

lingkungan di luar keluarga menjadi jarang (Zunzunegui, 1998).

Wanita mempunyai faktor resiko yang lebih tinggi pada gejala

depresi: status sosial-ekonomi mereka lebih rendah, kesehatan mereka

buruk, dan mereka memiliki dukungan emosional dan kemampuan

mengontrol yang rendah dan memiliki beberapa aktivitas sosial yang

lebih sedikit dibandingkan pria ( Zunzunegui, 1998).

Kekuatan dari hubungan antara faktor resiko dan prevalensi

gejala depresi sama pada pria dan wanita, menyatakan bahwa tidak ada

perbedaan dalam dugaan perbedaan antar kelamin ( Zunzunegui,

(17)

Hubungan antara jenis kelamin dan gejala depresi masih

signifikan setelah semua faktor resiko di beri kontrol (Zunzunegui,

1998).

Barry et al. (2008) dalam Ricardo (2010) mengobservasi

kemungkinan depresi yang lebih besar, gejala yang persisten dan laju

mortalitas yang rendah pada wanita lansia di Amerika dibandingkan

pria. Weissman dan Klerman (1997) dalam Ricardo (2010)

menyatakan prevalensi yang lebih besar ditemukan pada wanita dapat

dijelaskan secara metodologi, psikopatologi, dan sosial. Keadaan

janda, isolasi sosial, dan penurunan estrogen dapat menyebabkan

peningkatan prevalensi depresi pada wanita (Almeida, 1999 dalam

Ricardo et al. 2010).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Beekman et al. (1999),

sepuluh penelitian mengenai clinically significant depressive symptoms

(CSDS) yang menggunakan kalkulasi odds ratio ditemukan prevalensi

CSDS yang lebih besar pada wanita lansia (Ferreira et al. 2010).

7. Faktor Kepribadian

Orang dengan psikologi yang rentan mengalami depresi, seperti

contoh, Neuroticsm. Pada lansia yang memiliki depresi berat, pikiran

pesimis dapat menyebabkan ide bunuh diri setahun kemudian. Lansia

yang pernah melakukan usaha bunuh diri, lebih tidak terbuka

dibandingkan orang dengan usia muda (Katon, Lin, Von, Korff et al.,

1994 dalam George, 2005).

Penelitian terbaru menemukan bahwa lansia dengan gangguan

personalitas empat kali lebih berisiko terkena gejala depresi (Morse

dan Lynch, 2004 dalam Dan dan Celia, 2005 ).

Pada suatu penelitian cross-sectional dan penelitian

longitudinal, neurotism telah menunjukan adanya hubungan dalam

kejadian gejala depresi pada lansia (Henderson et al. 1993, 1997;

(18)

rendah lebih sedikit menyebabkan kelainan depresi dibandingkan

subyek dengan kadar neurotism yang tinggi (Oldehinkel et al., 2001 dalam Dan dan Celia, 2005). Suatu penelitian longitudinal di

Amsterdam, adanya depresi berat dan depresi ringan dan gejala depresi

yang menetap lebih dari tiga tahun berkaitan dengan kontrol di lokus eksternal (Beekman et al., 2001 dalam Dan dan Celia, 2005). Kemampuan mengontrol emosi berhubungan dengan penurunan gejala

depresi pada lansia dan dampak disabilitas akibat gejala depresi (Jang

et al. 2002 dalam Dan dan Celia, 2005). Self-efficacy melalui efeknya dalam dukungan sosial menyebabkan efek langsung terhadap

pencegahan gejala depresi (Holahan & Holahan, 1987 dalam Dan dan

Celia, 2005).

8. Faktor Keturunan

Adanya perubahan dalam struktur otak, faktor keturunan dapat

menjadi predisposisi sindrom depresi pada masa akhir kehidupan.

Dalam penelitian yang dilakukan di komunitas dengan menggunakan

subyek lansia yang kembar, ditemukan keturunan memiliki variasi

gejala depresi sebanyak 18%. Lansia dengan gejala depresi lebih

sedikit memiliki saudara-nya yang juga depresi dibandingkan pasien

muda yang depresi (Gatz, Pedersen, Plomin, Nesselrade, McClearn,

1992 dalam George, 2005).

Riwayat pribadi atau riwayat keluarga yang memiliki kelainan

depresi mempengaruhi insidensi depresi setelah stroke daripada akibat

dari lesi vaskular (Brodaty, Luscombe, Parker, et al., 2001 dalam George, 2005).

Tanda genetik untuk depresi pada masa akhir kehidupan belum

diidentifikasi. Meskipun demikian, hasil suatu penelitian pada orang

yang kembar menunjukan bahwa adanya hubungan antara reseptor

(19)

tidak berhubungan dengan depresi pada lansia yang kembar (Jansson,

Gatz, Berg, et al., 2003 dalam George, 2005).

Adanya alel apolipoprotein-E merupakan faktor resiko

penyakit Alzheimr dan penyakit cerebrovascular (Saunders, Hulette,

Welsh-Bohmer, 1996 dalam George, 2005), yang juga berhubungan

dengan kondisi depresi pada masa akhir kehidupan (Kuller,

Shemanski, Manolio, 1998 dalam George, 2005). Pasien dengan onset

depresi berat yang lama memiliki frekuensi yang lebih tinggi dalam

mutasi C677T dari enzim methylene tetrahydrofolate reductase

daripada lansia yang sehat (Blazer, Burchett, Fillenbaum, 2002 dalam

George, 2005). Penemuan ini menyatakan bahwa predisposisi genetik

terhadap depresi pada masa akhir kehidupan dimediasi oleh lesi

vaskular (Hickie, Scott, Naismith et al., 2001 dalam George, 2005).

9. Faktor Aktivitas Fisik

Barcelos-Ferreira et al. (2009) mengamati bahwa peningkatan

pemburukan kognitif dan fungsional, dan latihan fisik yang lebih

sedikit dapat menyebabkan peningkatan prevalensi Clinically

Significant Depressive Symptoms (CSDS) pada lansia. Dalam suatu

penelitian systematic review mengenai prevalensi depresi pada lansia

yang tinggal di komunitas, Beekman et al. (1999) dalam Ricardo et al.

(2010) mengelompokkan prevalensi depresi ringan dan berat menjadi

ketegori yang disebut Clinically Significant Depressive Syndromes dan

menemukan prevalensi sebanyak 13,5%. Hasil penelitian ini mirip

dengan prevalensi yang ditemukan oleh Barcelos-Ferreira et al. (2009).

10.Faktor Usia

Menurut Blazer (1994) dalam Ricardo et al. (2010) lansia

cenderung untuk memiliki prevalensi depresi berat yang lebih rendah

dan prevalensi gejala depresi yang lebih banyak dibanding dewasa

(20)

depresi dibandingkan dewasa muda sehingga deteks depresi pada

lansia lebih rendah (Hasin dan Link, 1988 dalam Ricardo et al. 2010).

Selain itu, mortalitas dan resiko terkena penyakit demensia

meningkat seiring bertambahnya usia, dan dapat mempengaruhi

depresi pada lansia karena adanya hubungan antara depresi dan resiko

terkena demensia. Kemungkinan dirawat di rumah sakit lebih banyak

yang pada akhirnya dapat menyingkirkan pasien ini dari komunitas

(Barcelos-Ferreira et al., 2010)

Diantara penelitian yang dievaluasi dalam penelitian ini, hanya

dua yang menjelaskan hubungan signifikan antara peningkatan usia (≥

75 years) dengan prevalensi yang lebih tinggi (Maciel dan Guerra,

2006; Castro-Costa et al., 2008 dalam Ricardo et al., 2010). Sementara

dua penelitian lain menyatakan adanya kebalikan dimana pada lansia

dengan usia yang lebih muda (≤ 65 years) lebih terlihat gejala-nya

(Lebr˜ao and Laurenti, 2005; Blayet al., 2007 dalam Ricardo et al.,

2010).

11.Faktor sosial-ekonomi

Dalam suatu penelitian cross-sectional, krisis pendapatan

berhubungan dengan tingkatan gejala depresi (Black et al. 1998b

dalam Dan dan Celia, 2005). Sosial-ekonomi yang tidak baik

berhubungan dengan prevalensi dan menyebabkan gejala depresi yang

menetap selama lebih dari 2-4tahun pada sampel lansia yang diambil

dari panti jompo (Mojtabai & Olfson, 2004 dalam Dan dan Celia,

(21)

2.1.7. Dampak Depresi pada Lansia

Berdasarkan penelitian secara longitudinal dan di follow up selama 6 tahun

yang dilakukan oleh Pennix et al., ketidakmampuan fisik dibagi menjadi dua,

yaitu ketidakmampuan dalam aktivitas sehari-hari dan ketidakmampuan dalam hal

mobilitas. Hasilnya, sebanyak 36,1% responden lansia yang menderita depresi

memiliki ketidakmampuan dalam aktivitas sehari-hari dan sebanyak 29,3%

responden lansia yang tidak menderita depresi memiliki ketidakmampuan dalam

aktivitas sehari-hari. Sementara pada responden lansia yang memiliki depresi,

ditemukan sebanyak 67,3% memiliki ketidakmampuan dalam mobilitas.

Sebanyak 48,3% responden lansia yang tidak memiliki depresi. Dibandingakan

subyek yang tidak depresi, mereka yang menderita depresi cenderung untuk

memiliki aktivitas fisik yang sedikit (Pennix et al. 1999).

Depresi berat merupakan faktor resiko independen terjadinya mortalitas

pada pria lansia. Peningkatan resiko dalam semua penyebab mortalitas diobservasi

pada pasien dengan depresi yang tidak bersifat berat dan mungkin tidak berkaitan

dengan depresi tapi berkaitan dengan kemungkinan kondisi komorbid lain pada

lansia tersebut (Jeong et al., 2013)

Tingkah laku kesehatan yang buruk bisa menyebabkan mortalitas yang

banyak pada pasien dengan depresi berat. Kejadian depresi telah menunjukan

adanya hubungan likelihood dengan merokok, konsumsi alkohol, penyalahgunaan

obat-obat-an, dan kompliansi terapi yang buruk dengan penyakit komorbid yang

ada (Roeloffs et al., 2001; Dierker et al., 2002; Kim et al., 2010 dalam Hyun et

al., 2013).

Disamping itu, depresi berat secara langsung menyebabkan mortalitas

pada pria lansia. Dalam penelitian dengan menggunakan analisis multivariat,

dibandingkan kontrol yang tidak depresi, pasien dengan depresi berat menunjukan

sekitar empat kali lebih berisiko terhadap kejadian semua penyebab mortalitas

pada lansia, setelah mengontrol bermacam pendisposisi pada pria lansia (Jeong et

al. 2013).

Mekanisme biologis seperti pada disregulasi neuro-hormonal dan

(22)

banyak pada pasien dengan depresi berat: pasien dengan depresi berat

menunjukan adanya disregulasi pada sistem saraf otonom dan aksis

hipotalamus-pituitari-adrenal meskipun secara medis mereka normal (Carney et al., 2002;

Sherwood et al., 2007 dalam Hyun et al., 2013).

Depresi berat sering disertai dengan peningkatan kadar sitokin

pro-infamasi seperti interleukin-6, C-reactive protein, dan tumor necrosis factor-alpha

(Carney et al., 2002; Sherwood et al., 2007 dalam Hyun et al., 2013). Depresi

berat juga telah diketahui memiliki faktor resiko independen pada penyakit

kardiovaskular dan penyakit kanker (Pratt et al., 1996; Gross et al., 2010 dalam

Hyun et al., 2013).

Penelitian preliminar terbaru melaporkan bahwa depresi berat

berhubungan dengan percepatan pemendekan telomere (Simon et al., 2006 dalam

Hyun et al., 2013).

Ide bunuh diri, sering terjadi pada individu dengan depresi yang berat,

terjadi lebih sering pada lansia di Australia dengan dukungan sosial yang tidak

stabil (Vanderhorst, McLaren, 2005 dalam Valeria et al., 2013).

2.1.7.1 Perbedaan Jenis Kelamin dalam dampak Depresi

1. Peningkatan mortalitas penyakit cardio-cerebrovascular dalam depresi

berat mungkin berkaitan dengan mortalitas yang lebih tinggi pada pria

dibandingkan wanita. Depresi berhubungan dengan morbiditas dan

mortalitas pada stroke (Pan et al., 2011 dalam Hyun et al., 2013) dan

penyakit jantung iskemik (Jiang, 2008 dalam Hyun et al., 2013).

Penyakit pada vaskular ini sering terjadi pada lansia. Penurunan

testosteron dalam usia juga dapat meningkatkan mortalitas dalam

penyakit kardiovaskular pada pria. Hal ini disebabkan karena

testosteron dapat menurunkan densitas lipoprotein dalam darah dan

meningkatkan lipoprotein dengan densitas yang rendah (Viña et al.,

2005 dalam Hyun et al., 2013).

2. Depresi telah dihubungkan dengan stress oksidatif secara umum (Irie et

(23)

al., 2013), dan kerusakan oksidatif memegang peranan dalam

mengurangi usia hidup (Johnson et al., 1999 dalam Hyun et al., 2013).

Pria memiliki kadar enzim bersifat protektif yang lebih rendah

dibandingkan dengan wanita. Enzim protektif tersebut adalah

superoksida dismutase dan katalase. Sehingga tingkat kerusakan

oksidatif lebih tinggi pada pria (May, 2007 dalam Hyun et al., 2013).

3. Pria yang depresi lebih sering melakukan bunuh diri dibandingkan

wanita yang depresi (Hawton, 2000; Oquendo et al., 2001 dalam Hyun

et al., 2013). Upaya bunuh diri pada pria lebih mematikan dibandingkan

wanita dan perbedaan ini lebih jelas pada usia tua (Dombrovski et al.,

2008 dalam Hyun et al., 2013).

4. Perbedaan jenis kelamin pada penderita depresi berat mempengaruhi

dalam perbedaan perilaku hidup yang berbahaya terhadap kesehatan

dan kematian akibat kecelakaan. Depresi sering disertai dengan masalah

dalam minum alkohol dan mengemudi yang tidak benar (Wingen et al.,

2006; Kim et al., 2009; Jeong et al., 2012b dalam Hyun et al., 2013).

2.1.8. Gambaran Umum Puskesmas Darussalam

2.1.8.1. Sejarah

Puskesmas Darussalam merupakan salah satu puskesmas yang menjadi

pusat pembangunan, pembinaan, dan pelayanan kesehatan. Puskesmas ini

melayani kesehatan masyarakat di dua kelurahan yaitu : Kelurahan Sei Putih Barat

dan Kelurahan Sei Sikambing. Puskesmas ini mulai dibangun sejak tahun 1965

dan diresmikan oleh KDH Sumatera Utara, Bapak Marah Halim. Sejak tahun

1997, Puskesmas Darussalam mendapat predikat kualitas asuransi (jaminan mutu)

yaitu tercapainya pelayanan kesehatan secara optimal dan sesuai standar.

(24)

2.1.8.2. Data Geografis dan Demografis

Puskesmas Darussalam terletak di jalan Darussalam No.40,

Kelurahan Sei Sikambing D, Kecamatan Medan Petisah, Kodya Medan dengan

batas-batas wilayah sebagai berikut :

- Sebelah Timur : Berbatas dengan Petisah Hulu - Sebelah Selatan : Berbatas dengan Babura Sunggal

- Sebelah Barat : Berbatas dengan Kelurahan Sei Sikambing D - Sebelah utara : Berbatas dengan Sei Agul

Puskesmas ini mencakup : 2 kelurahan, 23 lingkungan, 5455 Kepala

Keluarga dengan jumlah penduduk 20.870 jiwa dan kepadatan penduduk 6,84%.

Pada tahun 2013, jumlah total lansia di 2 kelurahan Puskesmas

Darussalam adalah sebanyak 2086 jiwa.

Dengan perincian:

- Kelurahan Sei Putih Barat = 1166 jiwa - Kelurahan Sei Sikambing D = 920 jiwa

2.1.8.3. Data Jumlah Lansia di Puskesmas Darussalam

Berikut jumlah lansia yang mendapatkan pelayanan kesehatan lansia di

wilayah kerja Puskesmas Darussalam pada tahun 2014 :

- Kelompok umur 60-69 tahun Laki-laki = 239 orang

Perempuan = 559 orang

- Kelompok umur >70 tahun Laki-laki = 295 orang

(25)

2.1.8.4. Program Puskesmas Darussalam Medan

Puskesmas Darussalam Medan telah melaksanakan 7 Program Prioritas

Kota Medan:

1. Promosi Kesehatan

2. Kesehatan Lingkungan

3. Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga Berencana

4. Perbaikan Gizi masyarakat

5. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular

6. Pengobatan

7. Pencatatan dan Pelaporan (Kota Medan)

Dan ditambah 11 Pengembangan yakni:

8. Usaha Kesehatan Sekolah

9. Usaha Kesehatan Gigi dan Mulut

10.Usaha Kesehatan Jiwa

11.Usaha Kesehatan Mata

12.Usaha Kesehatan Usia Lanjut

13.Laboratorium Sederhana

14.Usaha Kesehatan Olahraga

15.Usaha Pengobatan tradisional

16.Usaha Kesehatan Kerja

17.Usaha Perawatan Kesehatan Masyarakat

18.Farmasi

2.1.9. Kuesioner Geriatric Depression Scale

Geriatric Depression Scale (GDS) adalah kuesioner yang digunakan untuk

melakukan screening adanya depresi. Kuesioner GDS ini dapat digunakan oleh

orang yang sehat, memiliki penyakit medis dan memiliki kekurangan fungsi

kognitif yang ringan maupun sedang. GDS memiliki sensitivitas 92% dan

(26)

Pada suatu penelitian yang membandingkan antara bentuk 30 pertanyaan

GDS dan 15 pertanyaan GDS, kedua bentuk tersebut sukses dalam menentukan

apakah seseorang depresi atau tidak mengalami depresi dengan korelasi tinggi

yaitu (r=84, p <0,01) ( Sheikh dan Yesavage, 1986). Kuesioner versi bahasa

Indonesia ini sudah di validasi oleh Martina W.S. Nasrun dan Tjut Meura Salma

Oebit pada tahun 1998.

Versi panjang dari GDS yaitu terdiri dari 30 pertanyaan dimana peserta

dimintakan untuk menjawab ya atau tidak sebagai rujukan bagaimana perasaan

mereka selama satu minggu terakhir. Dari 30 butir pertanyaan, 20 buah

diantaranya (2, 3, 4, 6, 8, 10, 11, 12, 13, 14, 16, 17, 18, 20, 22, 23, 24, 25, 26, 28)

mengindikasikan adanya depresi ketika dijawab positif (ya), sedangkan 10 buah

pertanyaan lainnya (pertanyaan nomor 1, 5, 7, 9, 15, 19, 21, 27, 29, 30)

mengindikasikan depresi ketika dijawab negatif (tidak). Skor >11 lansia

mengindikasikan adanya depresi. Skor ≤11 mengindikasikan tidak adanya depresi.

2.1.10.Kuesioner Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia

Montreal Cognitive Assessment (MoCA) dapat menilai fungsi berbagai

domain kognitif dalam waktu sekitar 10 menit. MoCA terdiri dari 8 ranah kognitif

meliputi: fungsi eksekutif, kemampuan visuospasial, atensi dan konsentrasi,

memori, bahasa, konsep berfikir, kalkulasi dan orientasi. MoCA tes pertama kali

dikembangkan di institusi klinik Quebec Kanada pada tahun 2000 oleh

Nasreddine Ziad S, MD. Tes MoCA telah diterjemahkan ke banyak bahasa. Di

Indonesia, perangkat ini sudah di validasi oleh Husein N., Lumempouw S., Ramli

Y., Herqutanto melalui penelitian yang dilakukan di RS Dr. Cipto

Mangunkusumo. Uji validitas yang dilakukan dengan metode transcultural World

Health Organization (WHO) dan uji realibilitas test-retest dilakukan dengan

statistik K (Kappa). Skor tertinggi adalah 30 poin, sementara skor 26 keatas

dianggap normal. Cut off point MoCA berdasarkan berbagai studi di luar negeri

adalah 26 (Nasreddine Z, Kanada; Smith T, Inggris; dan beberapa penelitan

(27)

dibandingkan dengan Mini Mental Status Examination (MMSE). Dalam

mendeteksi MCI, tes MoCA dianggap lebih sensitif dan lebih tinggi

Referensi

Dokumen terkait

Setelah mengamati gambar dan membaca teks, siswa mampu menjelaskan karakteristik ruang dan pemanfaatan sumber daya alam untuk kesejahteraan masyarakat dari

The proposed method aims to re-extract high quality tie points by using information from the result of first photogrammetric pro- cessing to improve the precision of pose estimation

The collected ground truth data was loaded in system and this data was used as base for demarcation of area of interest (AOI) and.. signature set for generation of signature

Guru meminta siswa untuk menuliskan satu kata sulit di potongan kertas kecil dan menempelkannya di papan tulis (bisa juga guru meminta siswa menyampaikan kata sulit kemudian guru

Tim Proyek Hana Women of Hope Albania (Ledi, Enkelejda, dan Arta) pada saat mereka memberikan dorongan dan doa bagi orang Kristen terisolasi tersebar di seluruh Albania dan

Khusus untuk wilayah laut kedaulatan suatu negara tidak bersifat mutlak artinya kedaulatan atas kekuasan negara atas wilayah laut dalam pengelolaan dan pemanfaatannya

Perlu ditambahkan taman kota (berkelompok), jalur hijau pada jalan - jalan lokal, dan peningkatan penghjauan di sekitar pemukiman (pekarangan rumah). 13 Seberang Ulu 1 Tipe

Faktor Risiko Paritas dengan Kejadian Anemia pada Ibu Hamil Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang memiliki paritas berisiko lebih banyak menderita