• Tidak ada hasil yang ditemukan

T2 752014027 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T2 752014027 BAB III"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

58 BAB III

EKSPRESI SPIRITUAL DI DALAM TATO

3.1Pengantar

Kulit tubuh menjadi sasaran yang menarik untuk melakukan tato dimana

identitas pribadi dan perbedaan budaya dilukiskan. Modifikasi tubuh ini telah

populer dan meningkat dari sekedar praktek kebudayaan subkultur marjinal

hingga menjadi sesuatu yang diadopsi secara aktif oleh gabungan orang-orang

dari latar belakang sosial berbeda-beda sejak awal tahun 1990-an hingga saat ini.

Pertatoan, meskipun demikian, di kalangan kebudayaan tertentu dipandang bukan

sebagai proyek modifikasi, melainkan sebagai proyek mutilasi. Hal ini merujuk

pada pertimbangan kesehatan, sehingga sebagian orang di dalam masyarakat

memandang itu sebagai sesuatu yang ekstrim.

Peneliti menemukan bahwa modifikasi tubuh ini sangat populer di

kalangan generasi muda, yang sangat mencintai tubuh, dan senang

mempersembahkan daya ciptanya melalui tubuh. Tato menjadi sebuah ungkapan

dari energi dan semangat orang-orang bertato, sehingga tidak sedikit dari mereka

yang melibatkan pemikiran-pemikiran filosofis dalam sebuah tato. Percakapan

dengan para responden menggali kebanggaan mereka untuk berekspresi melalui

tubuh, dan mengungkapkan sebuah pengalaman spiritual melalui tato-tato mereka.

Menato tubuh mereka menjadi media mengungkapkan penderitaan, masa-masa

sukar, kenangan dari peristiwa yang ingin mereka kenang, dan kecintaan mereka

(2)

59

Tato, di kota yang dikenal dengan kebebasan untuk mengekspresikan

seni seperti Yogyakarta, akan tetapi masih memiliki orang-orang yang belum

menerima tato sepenuhnya. Hal ini ditandai dengan tidak terbatasnya lapangan

pekerjaan yang menerima para responden bertato. Peneliti akan memaparkan

bagaimana pandangan para responden mengenai tato dan maknanya bagi diri

pribadi, serta kisah para responden bertato dalam interaksi sosial dengan sesama,

melalui penyajian hasil wawancara dengan delapan orang responden bertato

berikut ini.

3.2Sampel

Sampel terpilih melalui teknik pengambilan sampel berantai (snow ball

sampling), yakni yang dilakukan secara berantai dengan meminta info kepada

orang yang telah diwawancarai atau dihubungi sebelumnya. Sampel yang terdiri

dari 8 orang laki-laki yang memiliki tato masing-masing lebih dari dua,

berpartisipasi dalam penelitian ini. Para responden berusia antara 19-25 tahun,

yang berprofesi sebagai mahasiswa dan karyawan yang bekerja di kota

Yogyakarta, dan belum menikah. Kriteria inklusi ialah memiiki tato yang bersifat

konsepsi atau yang tidak bersifat goresan tanpa makna.

3.3Prosedur

Orang-orang yang memenuhi kriteria didekati dan diminta untuk

berpartisipasi. Empat orang dari para responden (Dn, Ab, Ad, dan Ph) mengambil

tempat pertemuan di sebuah kafe yang waktu pelayanannya buka selama 24 jam,

(3)

60

Yogyakarta, dua responden (Nc dan Rf) mengambil tempat pertemuan di sebuah

Indomaret daerah seputaran belakang kampus Universitas Sanata Dharma dan

Universitas Negeri Yogyakarta, dan dua responden lainnya (Nr dan Rm)

mengambil tempat pertemuan di daerah Jalan Kaliurang. Informasi mengenai

identitas para responden diperoleh dan dicatat oleh penulis dengan mengajukan

pertanyaan sebelum merekam wawancara.

Wawancara dilaksanakan di tempat dan pada waktu yang telah disetujui

oleh responden sebelumnya. Semua wawancara direkam dengan ponsel pribadi

peneliti. Para responden terlibat dalam beragam situasi kehidupan, sehingga

waktu untuk melakukan wawancara harus dilakukan dengan pemberitahuan dan

pertanyaan mengenai kesediaan responden terlebih dahulu. Durasi wawancara

berkisar antara 10-30 menit dan berlangsung hingga tidak ada lagi pertanyaan

yang dapat dikembangkan.

Masing-masing responden, setelah memperoleh persetujuan yang jelas,

diminta untuk menjawab secara verbal pertanyaan-pertanyaan, mengenai alasan

para responden untuk menato dirinya, mengenai kemungkinan-kemungkinan yang

menginspirasi mereka, mengenai pengalaman tentang reaksi keluarga dan

masyarakat hingga pada pemahaman para responden terhadap tato dalam

(4)

61 3.4Hasil

3.4.1 Ab (19 tahun), karyawan kafe

Responden Ab mulai berpikir untuk bertato pada usia12 tahun. Sejak

pertama kali berpikir untuk bertato, responden menganggap tato sebagai

kenang-kenangan dari dunia menuju kematian. Tato pertama didapatkan oleh responden

pada usia 14 tahun, yang waktu itu sebagai pelarian dari masalah yang dialaminya

yakni keluarga yang kurang harmonis. Bertato menjadi caranya untuk

menunjukkan protesnya terhadap orangtuanya, dan mengekspresikan dirinya,

sebagai pengalaman rasa kekecewaannya bertumbuh di dalam keluarganya. Itu

sebagai cara untuk menunjukkan bahwa dirinya tetap tidak terpengaruh dengan

situasi kedua orang tuanya. Pengalaman yang digambarkan lewat tato, menurut

keyakinan responden, membimbingnya kepada kelanjutan hidupnya sendiri.

Ya sudahlah, aku begini saja. Sebenarnya aku begini. Aku benar-benar ingin menjadi aku saja.

Ketika orangtuanya tetap dalam kondisi yang tidak bersahabat satu

terhadap yang lain, responden memilih untuk tetap menjadi apa yang diinginkan

oleh dirinya. Menato tubuh memang berawal dari sebuah ungkapan rasa sakit hati

atau kekecewaan terhadap orangtuanya, semacam ungkapan untuk menunjukkan

pembalasan terhadap apa yang dialaminya, akan tetapi tato yang dipilihnya

mengantarkannya kepada perubahan cara berpikir tersebut. Tato menjadi sebuah

kenangan atas apa yang telah dilaluinya, yang terlihat pada tato pertamanya

menceritakan perihal kecintaanya terhadap ibunya. Cinta tersebut disimbolkan

dalam sebuah tato bunga mawar.

Setiap orang terkejut melihat tatonya, di awal mula responden bertato,

(5)

62

sekarang keluarga sudah terbiasa.” Hal yang sama, akan tetapi, tidak terjadi pada hubungan sosialnya dimana masyarakat di sekitarnya tidak mempermasalahkan

tubuhnya yang bertato.

Untung aku berkumpul dengan orang-orang yang open-minded (berpikiran terbuka), dimana mereka melihat tato sebagai seni bukan

melihat dengan anggapan “ini orang jahat”.

Responden, meskipun demikian, tetap menyadari bahwa di beberapa tempat di

Indonesia, mungkin saja akan dicap sebagai orang yang tidak baik. Menurutnya,

masih banyak orang yang sama sekali tidak memahami bagaimana tato dapat

menjadi sebuah simbol untuk dikenang dan memotivasi diri sendiri dan orang

lain.

Responden berniat untuk menempatkan kutipan-kutipan menarik dan

bermakna di dadanya, dengan maksud hendak menyampaikan pesan terhadap

orang lain. “Itu soal keresahanku sendiri terhadap orang-orang yang berada di

dalam ‘lingkaran’.” Responden berniat untuk memotivasi orang-orang tersebut

dan dirinya sendiri melalui tato. “Seperti penyemangatku sendiri, motivasiku”. Responden berharap orang-orang akan menghampirinya dan berkomunikasi

terhadap dirinya ketika melihat tato yang dimilikinya.

(Tato) bukan untuk pamer, tapi untuk kunikmati, suatu saat mungkin orang lain melihat, menemukan kutipan-kutipan tersebut dan penasaran terhadap tato-tato tersebut. Pada akhirnya mereka akan berbicara kepadaku, dan aku akan menjelaskannya. Tato itu kenangan, bukan seni. Seni ada tempatnya. Kalau di badan, untuk diri pribadi, untuk mengenang dan dikenang.

Responden tidak melihat tato sebagai sebuah seni. Baginya, tato

merupakan sebuah kenangan yang akan dapat dibawa sampai mati. Perspektif

awal responden terhadap tato, yang semula merupakan pelarian dari kekecewaan

(6)

63

sebuah kenangan yang dapat diabadikan di dalam tubuh. Itu seperti harta

kekayaan yang akan dapat dibawa sampai mati, sehingga menurutnya, jika

seseorang menyenangi kutipan atau kata-kata mutiara tertentu, sebaiknya

seseorang tersebut mengabadikannya juga di tubuh sebagai pengingat dan

motivasi dalam menjalani hidup sehari-hari.

Tato merupakan sarana untuk mengenal dan dikenal oleh orang lain. Itu

sebabnya ia berniat memotivasi orang-orang dengan pandangan-pandangannya

mengenai hidup atau kutipan-kutipan motivatif lainnya, supaya setiap orang yang

melihatnya mendekat dan menjalin sebuah komunikasi dengan dirinya untuk

saling mengenal. Keinginan ini juga mengandung harapan supaya orang-orang

yang belum menerima tato dapat membuka diri untuk mengenal tato.

Berikut adalah tiga dari tato-tato yang dimilikinya.

a. b.

Gambar a adalah Khamsa/ Tangan Fatimah dan Sigil Sulaiman/ Seal of

Solomon, sedangkan gambar b adalah Symbol of Theosophic (Simbol Teosofis).

Khamsa1 adalah sebagai tanda perlindungan terhadap orang-orang dan hal-hal

(7)

64

yang negatif dan jahat. “Dulu, di bangsa Arab, tangan Fatimah banyak digantung di dalam rumah sebagai perlindungan dari apapun, dari hal buruk, perilaku buruk,

dan orang-orang yang buruk.” Sigil Sulaiman juga dimaksudkan sebagai tanda

perlindungan dari orang-orang yang jahat. Simbol tersebut merupakan sihir baik

(white magic) yang dimaksudkan untuk melindungi.

Sebenarnya Sulaiman bisa memerintahkan apa saja di sekitarnya, menurut kepercayaan Islam. Salomo memiliki mujizat untuk memerintah semua makhluk (manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan). Catatan-catatan terdahulu menceritakan bahwa dia membuat sebanyak tiga puluhan simbol dari sihir baik (white magic) dan sihir jahat (black magic). Sihir baik untuk hal-hal positif, sedangkan sihir jahat untuk memerintah jin-jin dan setan-setan.

Menurutnya, simbol-simbol tersebut akan berfungsi jika diniatkan

dengan sungguh-sungguh. Semua dimulai dari diri sendiri. Responden mengakui

telah mempersiapkan dirinya sebelum menerima tato tersebut diaplikasikan ke

dalam kulitnya. Responden melakukan semacam ritual, termasuk membakar dupa,

sebagai niat untuk membuat kedua simbol tersebut memiliki kekuatan untuk

melindungi. Responden meyakini bahwa simbol-simbol tersebut akan berfungsi

jika diniati dan diyakini, sehingga dalam melakukannya harus sakral. “Aku sendiri

benar-benar memilih tempat tato yang bisa membuat tato itu dengan sakral.” Tidak hanya melakukannya dengan sakral, responden juga menentukan terlebih

dahulu tempat yang menurutnya dapat menghadirkan nuansa sakral tersebut.

Symbol of Theosophic(simbol teosofis) merupakan sebagai wadah

bertemunya orang-orang yang haus akan hal-hal spiritual, namun terlepas dari

membahayakan, dan mengucapkan rumusan yang mengandung kata Khamsa, misalnya khamsa fi

‘ayni-k (lima di mata Anda). Gerakan ini seharusnya mengirim kejahatan pada sumbernya, namun karena tidak selalu mungkin mudah untuk melakukannya, mengucapkan rumus dalam pikiran tetap juga merupakan kekuatan profilaksis tertentu, dan dalam hal apapun memiliki kekuatan kutukan.

(8)

65

agama. Truth (kebenaran) menjadi agama yang dianut bersama oleh responden

dan komunitasnya yang menganut keyakinan tersebut.

Agama kita ‘truth’(kebenaran). Kita mencari apa saja yang bisa kita cari dalam hal spiritual dan kita bagi ke orang-orang sekitar. Poin hidupku itu, mencari. Apapun itu aku coba, mungkin besok atau nanti.

Bagi responden, kebenaran dan kejujuran mengantarkan pada pencarian

akan hal yang bersifat spiritual dan transenden. Ketika menemukannya baik di

dalam dirinya sendiri maupun dalam interaksi dengan orang lain, responden akan

membagikannya kembali kepada orang lain, salah satunya melalui tato atau

kutipan-kutipan maupun pandangan mengenai hidup yang ditampilkannya dalam

tato. Hal tersebut didasarkan pada pemikirannya bahwa hidup adalah persoalan

mencari sesuatu di luar diri pribadi dan berbagi sesuatu dengan orang lain.

3.4.2 Dn (23 tahun), mahasiswa Desain Komunikasi Visual

Berbeda dengan responden Ab yang tidak melihat tato sebagai sebuah

seni, responden Dn justru melihat tato sebagai sebuah seni. Responden Dn

mengaku takut melihat orang bertato saat pertama kali, bahkan juga saat pertama

kali menato tubuhnya. Hal yang membuat responden Dn berpikir untuk memiliki

tato pertama kali ialah keinginannya dan kecintaannya terhadap seni rupa. “Pada

dasarnya aku orang gambar, senang menggambar, badan jadi gambar juga.”

Responden berasumsi bahwa menggambar atau melukis tidak terbatas pada kertas

atau kanvas. Tubuh merupakan kanvas untuk menorehkan gambar-gambar.

(9)

66

Responden telah bertato selama tiga tahun, dan tato pertamanya

didapatkan pada usia 20 tahun. Tidak pernah ada yang menginspirasi responden

untuk memiliki tato saat pertama kali. Dorongan itu murni karena keinginannya

sendiri. Responden mengungkapkan bahwa ada sebagian orang menggunakan tato

untuk mengintimidasi kaum preman atau mungkin malah ingin menonjolkan sisi

buruk di dalam dirinya.

Ketika kamu bertato untuk menyampaikan keindahan tubuhmu, dan mengapresiasi sense of art(rasa seni) yang ada pada dirimu, maka itulah yang disebut tato sebagai seni. Perkara lain, ketika kamu bertato untuk mengintimidasi kaum yang selama hidupnya diracuni bayangan tato (para preman), maka dalam hal ini tato digunakan sebagai alat intimidasi,

atau bahkan hasrat akan “ke-preman-an” diri.

Sejauh responden memiliki tato, belum pernah responden mengalami

respon negatif dari masyarakat. Responden mengaku belum menunjukkan tubuh

bertatonya kepada keluarga, dan memang memungkinkan baginya untuk

menutupi tatonya dengan pakaian. Tato adalah sebuah kenikmatan tersendiri yang

cukup dirasakan oleh dirinya sendiri. “Aku tidak berharap keluarga menerima.

Tato itu kenikmatan pribadi.” Teman-temannya bahkan menganggap tubuh bertato yang responden miliki sebagai sebuah hal yang biasa dimiliki sebagai

mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI). “Wah, anak ISI, bertato.” Memang bukan hal yang luar biasa di kalangan mahasiswa seni untuk memiliki tubuh yang

bertato. Perspektif mereka terhadap seni mungkin mempengaruhi pola pikir

tersebut.

Menurut responden, tato adalah modifikasi tubuh dan tidak ada yang

salah bagi sebagian orang bertato yang tidak memiliki konsep apa-apa dalam

(10)

67

Tato itu seperti seseorang menggambar, seperti seseorang yang

melakukan ‘piercing’, atau sesederhana seseorang yang mewarnai

rambut. Tato untuk (sekedar) kesenangan itu tidak masalah, yang penting tahu mengapa bertato.

Kesadaran dalam mengambil keputusan untuk menato tubuh menjadi hal

penting, menurut responden, sebab menato tubuh bukanlah sebuah hal yang

mudah untuk diputuskan. Seseorang perlu mempertimbangkan rasa sakit yang

akan dialami dalam proses pembuatannya.

Berikut adalah dua dari tato-tato yang dimilikinya.

c. d.

Masing-masing merupakan Segitiga Prinsip (gambar c) dan Black Sun/

Matahari Hitam (gambar d). Segitiga prinsip tersebut merupakan desain hasil

kreativitas responden sendiri. Tiga segitiga yang dirangkai oleh sebuah lingkaran

sebagai rumusan keseimbangan dan keselarasan. Segitiga di sudut puncak

mengarah ke kepala, dua segitiga yang menjadi kakinya masing-masing mengarah

ke jantung dan lengan, yang berarti bahwa pikiran, tindakan, dan hati (perasaan)

harus berjalan beriringan.

Bagi responden, tindakannya dimulai dari lengan atau tangannya, itu

sebabnya salah satu kaki segitiga tersebut mengarah ke lengannya yang

(11)

68 menggambar, jadi perbuatanku di tangan.” Tato black sun(matahari hitam),

terinspirasi dari sebuah simbol yang diletakkan dalam lantai Puri Wewelsburg di

Jerman selama era Nazi. Sering ditemukan di kalangan okultisme Neopaganisme

di Jerman.2 Tato matahari dapat memiliki banyak arti. Matahari pernah dipuja

oleh banyak budaya di masa lalu dan dianggap sebagai dewa, jauh sebelum para

ilmuwan menemukan bahwa itu adalah bintang. Peneliti berpendapat bahwa

beberapa orang menyenangi tato matahari karena memandang matahari sebagai

hal yang benar-benar dapat diandalkan. Matahari akan terbit dan akan terbenam,

sehingga itu bisa menjadi simbol cahaya setiap kali langit tampak gelap, atau

menjadi simbol harapan dalam waktu kesusahan.

3.4.3 Ad (24 tahun), mahasiswa Pariwisata

Responden Ad berpikir untuk memiliki tato sejak umur 18 tahun, dan

menato tubuhnya pertama kali pada umur 19 tahun. Hal pertama yang

membuatnya tertarik untuk bertato adalah ketertarikannya terhadap seni. Menurut

responden, tato adalah seni itu sendiri.

Waktu itu masih SMA udah ingin bertato, begitu tamat SMA baru menato.Orang bertato itu suka melihat orang bertato juga, karena dia merasa penasaran dan terdorong untuk bertanya apakah ada filosofinya atau sekedar iseng. Jadi pada awalnya ya karena memang menyukai seni.

2The Black Sun (Jerman: sonnenrad = roda matahari), tidak ada yang mengetahui persis makna simbol ini, dan tidak ada catatan mengenai nama yang dikaitkan dengan itu, bahkan oleh Heinrich Himmler, sang pemimpin SS yang meletakkan simbol tersebut di dalam lantai Puri Wewelsburg. Simbol matahari sendiri secara umum mewakili kemenangan, hidup, dan kebaikan, dan simbol matahari dengan titik pusat, bagi mereka, sering mewakili persatuan dan sentralitas juga. Semua makna ini cocok, baik dalam ideologi Nazi maupun pandangan dunia, yakni kesatuan ras tunggal berpusat di sekitar partai kuat dan pemimpin menang atas yang lebih rendah, yang menindas, ras yang jahat, merangkul pemenuhan kehidupan dan kebaikan seperti yang

didefinisikan oleh Nazi. Catherine Beyer, ‘Black Sun’ dalam

(12)

69

Sebelum menato tubuhnya, perihal rasa sakit yang akan diterima saat

mengalami prosesnya dan akibat setelah memiliki sebuah tato, sudah terpikirkan

oleh responden, akan tetapi responden melalui tatonya, ingin menyampaikan

bahwa seni adalah sesuatu yang indah. Akibat yang akan diterima oleh responden

karena memiliki tubuh bertato juga telah dipikirkan oleh responden, akan tetapi

hal tersebut tidak membuatnya berhenti.

(Saya) mungkin akan tidak mendapat pekerjaan, dan mungkin akan dikucilkan oleh keluarga karena bertato. Mau tidak mau, saya harus terima resiko itu.Seni itu indah. Don’t judge a book from the cover (jangan menilai seseorang dari penampilan luarnya).

Responden berharap supaya orang lain yang melihat orang bertato seperti

dirinya tidak segera menganggap dirinya sebagai orang yang tidak baik. Pada

awalnya, keluarga responden tidak menerima keputusannya untuk menato tubuh,

namun sekarang hal tersebut tak lagi menjadi penolakan. Responden

membuktikan bahwa tato bukanlah simbol yang berkaitan dengan preman, dan

menjadi suatu kebanggaan bagi dirinya ketika orang-orang memandangnya karena

tubuhnya yang bertato, terutama di tengah-tengah orang-orang yang tidak bertato.

“Saya bangga jika orang-orang melihat saya, bahwa hanya saya yang bertato di

antara mereka.” Ada kenikmatan yang ditemukannya dalam identitasnya sebagai orang bertato, yakni bahwa dirinya dapat mengalihkan perhatian orang lain oleh

karena tato yang dimilikinya. Itu sebabnya, penting baginya untuk memiliki

tato-tato yang bermakna positif.

Responden mengalami tanggapan yang negatif dari teman-teman seiman,

akan tetapi reaksi dari beberapa teman sesama muslim yang menyayangkan

keputusannya untuk bertato tersebut tidak dianggap serius olehnya. Responden

(13)

70 sekali tidak bermakna oleh karena tubuhnya telah ‘dikotori’ oleh tato. Responden

pernah mengalami sebuah peristiwa ketika hendak beribadah di mesjid, dimana

orang lain melihat tatonya ketika sedang berwudhu. Orang lain yang melihat

tersebut mengatakan bahwa wudhunya tidak sah karena tatonya. Berdasarkan

pengalaman responden, selama ini orang-orang yang mencibir dirinya karena

bertato adalah mereka yang memiliki tingkat pendidikan lebih rendah

dibandingkan dirinya. Orang yang memandang negatif tentang tato, menurut

perkiraan responden, adalah sekitar dua dari sepuluh orang yang ditemuinya.

Teman-teman muslim sering memberitahu saya bahwa wudhu saya tidak sah. Saya cuma berpikir, mengapa memberitahu saya yang sudah bertato?

Hal tersebut, meskipun demikian, tidak membuatnya mundur atau

berhenti untuk menato tubuhnya. Keyakinannya tentang Tuhan menjadi

kekuatannya. Menurut responden, Tuhan berkuasa atas dirinya dan senantiasa

baik dalam kehidupannya. Hal ini tergambarkan dalam salah satu tatonya, God is

Good/ Tuhan itu baik (gambar e), yang tergurat di pergelangan tangannya.

(14)

71

Tato tersebut menjadi pengingat bagi dirinya sendiri untuk mencintai

Tuhan dan pengingat akan kebaikan Tuhan di dalam kehidupannya, yang

menyiratkan hubungan imannya terhadap Tuhan. Rasa syukurnya kepada Tuhan

diungkapkan oleh responden dengan tato. Responden mengandalkan Tuhan dalam

hidupnya, itu sebabnya responden menuliskan sebuah kutipan yang disenanginya

ke dalam kulitnya sebagai tato. Sewaktu-waktu, tato tersebut akan mengingatkan

dirinya tentang kebaikan Tuhan.

Saya bertato, tapi masih memiliki Tuhan. Saya bertato itu bukan karena asal-asalan atau karena ikut tren, melainkan karena saya cinta kepada Tuhan.

Bagi responden, bertato itu menambah kepercayaan dirinya.“Bagi saya,

memiliki tato itu membuat saya menjadi percaya diri, saya seperti memiliki

kekuatan.” Responden berpikir, seandainya dirinya dilahirkan dalam kebudayaan suku Mentawai atau Dayak, kemungkinan orang-orang tidak akan

mempermasalahkan tatonya.

Saya kan dari Sunda, jadi tidak ada keharusan (tradisi) bertato, justru ingin bertato. Pernah berpikir untuk memiliki orangtua angkat dari suku Dayak supaya dapat memiliki tato tradisi mereka.

Responden mengaku tertarik dengan tato-tato tradisional, misalnya tato

yang dimiliki masyarakat suku Dayak. Responden menyatakan keinginannya

memiliki tato-tato yang bermakna spiritual yang dimiliki oleh masyarakat suku

Dayak, misalnya yang melambangkan kekuatan. Hal ini juga yang memotivasi

dirinya untuk memiliki salah satu tato khas suku Dayak, berupa gelang seperti

yang terlihat pada gambar f.

Gambar f juga merupakan tato yang terinspirasi oleh pemain sepak bola

(15)

72

hingga membuatnya ingin memiliki tato yang sama. Ini untuk mengungkapkan

rasa kagumnya terhadap sang idola. Tidak hanya itu, responden yang juga bekerja

sebagai koki tersebut, sangat mengidolakan seorang koki yang selalu percaya diri

dengan penampilan tubuh bertatonya. Itu sebabnya, untuk menambahkan rasa

percaya dirinya juga sebagai seorang koki, maka responden berkeinginan untuk

menato tubuhnya lebih banyak lagi.

3.4.4 Ph (25 tahun), mahasiswa Seni Murni dan karyawan kafe

Sejak awalnya, tidak ada yang membuat responden Ph berpikir untuk

menato tubuhnya, situasi tempat tinggalnya yang dihuni oleh teman-temannya

yang bertato, mengantarkannya pada keputusan untuk menato tubuhnya.

Tidak pernah berpikir untuk bertato, tidak ada rencana. Gara-gara dulu serumah bersama teman-teman dan hanya saya yang tidak bertato.

Ketertarikan responden untuk memiliki tato menjadi semakin kuat ketika

dirinya mengetahui makna dan cerita yang terkandung pada tato-tato tersebut.

Saat berpikir untuk membuat tato, responden merasa perlu memikirkan sebuah

desain yang bermakna dan sedapat mungkin memiliki kesatuan dengan dirinya.

Tato adalah cerita. Hal tersebut yang kemudian menginspirasi responden untuk

menato tubuhnya.

Tato teman-teman punya statement (pernyataan) yang ingin dikenang secara abadi. Apapun itu, entah dia ingin mengenang momen ataupun mengenang sesuatu yang melambangkan dirinya, sesuatu yang dia suka, sesuatu yang berharga buat dia.

Tato pertama didapatkan oleh responden saat berusia 23 tahun, dan sudah

menyiapkan konsep untuk tato tersebut jauh sebelum responden menato tubuhnya,

(16)

73

dimilikinya terlihat, semua tertutupi oleh pakaiannya. Ada salah satu tato yang

membuatnya tidak ingin mempertunjukkan tato-tatonya, yakni tato Swastika

(gambar g).

Swastika kan identik dengan Nazi, makanya ada orang-orang bule yang melihat dengan pandangan heran, seolah berkata, “mengapa orang Asia ini bertato simbol Nazi”.

Berikut adalah tiga dari tato-tato yang dimilikinya.

g. h.

Swastika3, oleh responden dianggap sebagai gambar yang hidup, dan

ingin mensugesti diri agar chakra hatinya dapat lebih menerima hidup. Itu seperti

memberi kekuatan tersendiri dan menggerakkan pikiran dan tindakannya.

Swastika kan pada dasarnya berarti peace (damai) dan harmony (keselarasan). Itu makanya saya tempatkan di dekat hati saya. Digambarkan bersama dengan ‘mandala lotus’ juga, jadi secara spiritual saya percaya sebagai mahasiswa seni bahwa gambar itu hidup. Saya ingin cakra hati saya setidaknya disimbolkan dengan sesuatu supaya saya bisa lebih menerima hidup itu sendiri.

3Simbol swastika bukan hanya sebagai tanda yang penuh harapan atau menguntungkan. Simbol tersebut, dan doa-doa serta praktek-praktek yang berhubungan dengan swastika dimaksudkan untuk memurnikan tempat ritual, melindungi seseorang dari roh jahat, penyakit, dan kemalangan, mengundang kedamaian, kemakmuran dan kemujuran ke dalam rumah, tubuh, dan pikiran seseorang. Kata swastika sendiri pada dasarnya bekaitan dengan kesehatan, dimana di dalamnya terdapat kekayaan, dan sumber kemurnian, kebahagiaan, dan kebaikan bersama.

(17)

74

Gambar h merupakan Open Triad (di pundak kiri) dan Triquetra (di

pundak kanan) yang merupakan lambang imajinasi dan talenta, dimana kedua hal

tersebut diinginkan oleh responden untuk menjadi sayap untuk menjalani

kehidupannya. Baginya, tato menjadi hidup ketika dimasukkan kedalam kulit.

“Ketika kita menato, kita membuka jalur darah berarti kita memberi darah ke tinta

tersebut dan itu membuatnya (tato) menjadi hidup.”

Responden dapat menduga keluarganya akan tidak dapat menerima

tubuhnya yang bertato. Jika suatu saat dirinya akan menujukkan tato-tato tersebut,

ada keinginan untuk mengungkapkan kepada orang-orang bahwa tubuhnya adalah

haknya.

Saya dilahirkan di dalam keluarga yang syar’i. Bertato nanti membuatmu masuk neraka, mereka masih beranggapan seperti itu. (Namun) ini badan saya, pilihan saya.

Pendapat responden tersebut mengungkapkan bahwa bagaimana

pandangan orang lain termasuk keluarga, terhadap tubuhnya yang bertato, tidak

akan mengambil haknya atas kepemilikan terhadap tubuhnya sendiri. Tidak ada

penyesalan di dalam dirinya atas tubuh yang bertato sebagai seorang beragama,

bagi responden, bukan manusia yang berhak menghakimi seseorang untuk dapat

masuk surga. Responden benar-benar menyadari apa yang dilakukannya terhadap

tubuhnya, dan menyadari konsekuensi apa yang akan diterimanya sebagai reaksi

dari orang-orang yang melihat tubuh bertatonya suatu saat, akan tetapi responden

lebih memilih berserah kepada Tuhan sebagai Hakim yang memiliki wewenang

untuk membenarkan atau menyalahkan akan apa yang telah dilakukannya

(18)

75 3.4.5 Nc (19 tahun), karyawan distro

Responden Nc berpikir untuk bertato pertama kali pada ketika dirinya

masih duduk di SMP kelas 1. Pada saat itu sama sekali belum pernah mengetahui

sebelumnya bahwa menato itu sakit, namun responden sudah melihat tato itu

sebagai sebuah seni.

kalau bagi saya sendiri, tato itu seni, soalnya keluarga memang notabene ada yang bertato, piercing, sekalipun anak kecil. Jadi, dulu waktu masih kecil sudah ditindik.

Keluarganya sudah tidak asing lagi dalam hal modifikasi tubuh. Menurut

pengakuan responden, sudah menjadi ciri khas keluarganya melakukan modifikasi

tubuh semacam tindik dan tato. “Tato bagi keluarga kami bukan sesuatu hal yang

tabu.” Hal yang berbeda hanya responden dapatkan dari kakeknya yang merupakan orang Jawa dan anggota ABRI, akan tetapi responden menanggapi hal

itu dengan memberi pengertian ke kakeknya bahwa tato bukanlah representasi

kriminalitas.

Mbah saya (anggota) ABRI, tidak bisa melihat orang bertato. (Beliau) langsung mengomel dan memberikan pedang. Kalau tidak dipotong, digores pakai silet (bagian tubuh yang bertato). Kulitnya terkelupas

semua.Saya sampaikan ke Mbah saya, “sorry, ini bukan zaman dulu. Sekarang zaman sudah berbeda. Walaupun kita bertato, ini seni bukan

lambang premanisme lagi”.

Kecintaanya pada memasak dan kegemarannya terhadap seorang koki

bernama Juna, yang merupakan seorang yang bertato, menjadi inspirasi responden

untuk memiliki tubuh bertato. Tato pertamanya ialah nama responden sendiri.

“Kenapa nama sendiri, ini untuk mengatakan bahwa seumur hidup nama saya ini,

tidak akan bisa diganti.” Responden menempatkan tato pertamanya di bagian tubuh yang dekat dengan tulang, untuk menikmati rasa sakit saat pertama kali

(19)

76

Sayangnya, di dalam lingkungan masyarakat, responden tidak banyak

menemukan dukungan terhadap dirinya yang bertato, termasuk kekasihnya

sendiri. Menurut responden, kekasihnya tidak suka dirinya menato tubuhnya

karena alasan kesehatan. Ia tidak yakin bahwa para seniman tato menjaga sanitasi

dan sterilitas alat-alat yang dibutuhkan untuk menato. Mengatasi hal tersebut,

seringkali responden harus membeli sendiri jarum dan tinta yang dibutuhkan.

Kalau orang Jawa bilang, tato itu membuat nama keluarga jadi jelek, dan ada pula yang mengatakan kalau tato itu nakal. (Tapi) bagi saya, tato yaitu inspirasi saya dan seni. Saya mau curahkan (goreskan) di mana pun, itu kan kesakitan saya. Pacar saya tidak suka saya bertato, makanya kalau saya mau menambah tato harus beritahu (minta izin) dulu ke dia.

Responden mengaku sudah pernah mencoba menjelaskan kepada

orang-orang lain mengenai tatonya, dan alasan responden menato tubuhnya.

Sudah pernah beritahu ke orang-orang, bahwa menato itu bukan sembarangan. Jadi, tato-tato ini semua ada maknanya. Kalau mau diceritakan satu per satu mungkin panjang ceritanya, apalagi saya mengusung semuanya ini full dari etnik Kalimantan. Bapak saya orang Dayak soalnya.

Memang hal tersebut terlihat dari tato-tato yang dimiliki oleh responden.

Dua di antaranya seperti yang terlihat pada gambar berikut.

(20)

77

j.

Gambar i merupakan Kepala Rusa yang mengapit sebuah Dream Catcher

(Penangkap Mimpi) dan gambar j merupakan Cincin, tato khas suku Dayak. Tato

di lengan (gambar i), merupakan konsep responden sendiri. Terinspirasi dari

Sinterklas yang menunggangi kereta rusa untuk membagikan hadiah-hadiah

kepada anak-anak di hari Natal. Responden berharap menjadi media penolong

bagi Sinterklas (seperti halnya rusa), yang dapat berbagi kasih kepada anak-anak.

Dream catcher (penangkap mimpi) di atas kepala rusa dimaksudkan sebagai

pengabul harapan. Responden berharap dapat memberi kebahagiaan kepada

banyak anak-anak melalui perbuatan dan karyanya, dan untuk harapannya itu, ia

mengikatnya dengan simbol penangkap mimpi. Tujuannya jelas, yakni supaya

responden dapat mencapai harapannya tersebut.

Konsep pertama dari sinterklas. Sinterklas mempunyai rusa untuk ditunggangi. Saya benar-benar ditunggangi oleh Sinterklas itu. Sinterklas itu kan baik, memberi hadiah sama anak-anak. Di situ kan ada dream catcher, penangkap mimpi, biar mimpinya terkabul. Puji Tuhan, kalo ada rezeki, saya menyetor (menyumbang) ke panti asuhan dan segala macam (panti) untuk anak-anak yang pada dasarnya dari kelas menengah ke bawah.

Ada ciri khas lain yang responden tempatkan dalam gambar tato tersebut,

(21)

78

tanduk berjumlah tiga, dan beberapa pola ruas garis berjumlah tiga. Pola tersebut

mewakili dirinya sendiri yang merupakan anak ketiga dari orangtuanya.

Ya ini saya sendiri. Saya anak ketiga, jadi tato ini benar-benar menunjukkan identitas saya sendiri.

Sebuah segitiga kecil, yang merupakan lambang satanis terletak di bawah

gambar kepala rusa tersebut, yang dimaksudkan oleh responden sebagai

representasi konsep kehidupan tanpa agama yang terbagi-bagi.

Yang namanya agama buat saya sendiri itu tidak ada. Agama itu cuma di tengah (semacam media), lalu kenapa kita tidak langsung ke atas. Jadi yang di tengah itu ditembus, langsung ke atas.

Tato di jari manis (gambar j), didapat oleh responden ketika berkunjung

ke Kalimantan dengan proses pengerjaannya adalah secara tradisional

(hand-tapping). Itu merupakan sebuah tanda cincin adat.

Rasanya (sakit) empat kali lipat dari menato dengan mesin.: bagi orang sana (Dayak), ini semacam gelang. Kalau menikah kan ada gelang atau cincin. Ini seperti melambangkan cincin.

Responden mengalami beberapa pengalaman pahit selama bertato.

Ketika melamar pekerjaan, responden mengalami penolakan sebanyak tiga kali.

Persoalan tersebut sempat terpikirkan olehnya bahwa akan menjadi tidak mudah

untuk melamar pekerjaan dengan tubuh bertato.

Tato lupa ditutup. Yang paling fatal (tidak bisa ditutup) yang di jari: pilihan lain mungkin, dapat kerjaan tetap lalu bertato, tapi kita tatoan (sambil) kita bekerja, pasti ada batu yang di tengah, pasti ada yang licin, ada yang benar-benar kokoh.

Bekerja dengan tubuh bertato memiliki hambatan-hambatan yang

terkadang tidak dapat diduga, artinya sewaktu-waktu responden mungkin akan

(22)

79

Pariwisata di UGM, responden juga mengalami penolakan di tempat-tempat yang

menjadi sasaran praktek kerja lapangannya.

Pertama kali PKL di Jogja, udah sulit diterima karena tato. Lalu pergi ke Semarang, sama juga. Banyak orang bertato di Jogja, tapi ditutupi. Itu membuat hati saya seperti tergores. Untuk apa menato jika bukan untuk diperlihatkan? Kalau kamu ingin menato, untuk apa harus di badan (bagian tertutup), itu kan sama saja tidak kelihatan, makanya saya buat di tangan. Ini ciri khas saya.

Menurut responden, ketika seseorang bertato, ia tidak harus

menutupinya. Mengapa orang-orang bertato harus menutupinya, mungkin karena

orang lain memandang itu sebagai sesuatu yang buruk.

Tato itu aib. Saya bertemu dengan salah seorang rekan di tempat kerjaan,

dia bilang, “sesama orang bertato, kita jaga aib kita supaya tidak

kelihatan orang-orang”.

Penolakan-penolakan di lingkungan pekerjaan menghadirkan

pengalaman terburuk bagi responden yakni ketika diminta untuk segera menikah

oleh kekasihnya.

Pacaran udah empat tahun. Pacar udah ingin menikah. Mau tidak mau harus bicara dengan kedua orangtuanya. Saya belum berani. Belum siap. Itu pun kendala dengan tato. Orangtuanya memang sudah tahu saya bertato, tetapi saya kan belum ada pekerjaan yang tetap.

Sebenarnya responden tidak takut bahwa dirinya akan tidak mendapat

pekerjaan. Satu-satunya yang menjadi kekuatan responden adalah keyakinannya

terhadap Tuhan. Responden mengungkapkan telah bekerja di dua tempat berbeda

yang tidak mempermasalahkan tubuh bertatonya, yakni di sebuah kafe ketika ia

menjadi seorang koki, dan di sebuah toko distro di mana ia masih bekerja sebagai

pegawai di sana sampai sekarang.

(23)

80

tahun di Bali. Bekerja di sini (Yogyakarta) hanya sebagai batu loncatan, cita-cita saya adalah berbisnis kafe. Entah itu di Bali atau di Lombok.

Responden bertekad untuk mendirikan kafe sebagai usaha bisnisnya.

Cita-cita tersebut sudah dimilikinya sejak responden masih SMP. Bagi responden,

membuka usaha sendiri merupakan peluang bagi seseorang bertato untuk dapat

bekerja tanpa mengalami penolakan, dan tanpa keharusan untuk menutupi diri

dari identitas tubuh yang bertato. Setiap orang bertato berhak untuk menampilkan

tubuhnya yang bertato, sebab tato telah menjadi bagian dari diri orang tersebut.

3.4.6 Rf (27 tahun), barista

Responden Rf melihat tato sebagai sebuah seni dan sudah menato

tubuhnya sejak tahun 2008.

Aku suka seni, dalam artian bukan ikut-ikutan, yang mengatakan bahwa tato itu style. Aku memang melihat itu seni. Ketika lihat orang bertato, aku memandangnya sebagai seni.

Responden menato tubuhnya atas dasar sense of art (rasa seni) yang

dimilikinya, sehingga tidak ingin terpengaruh oleh orang bertato lainnya untuk

menato.

Tentunya udah pernah melihat orang bertato sebelumnya, tapi tidak menjadi inspirasi juga, karena aku ingin punya tato tapi tanpa terinspirasi siapa pun. Aku yakin, tatoku tidak sama dengan tato mereka, walaupun sama, garisnya pun akan berbeda. Tubuh adalah kanvas: tato menjadikan tubuh sebagai kanvas, namun kembali lagi kepada setiap orang ingin menjadikannya kanvas seperti apa.

Bagi responden, menato dengan terinspirasi oleh diri sendiri lebih

memberikan ciri khas tersendiri yang menunjukkan identitasnya sendiri. Hal ini

dapat dilihat dari tiga di antara tato-tato yang dimilikinya. Responden mencoba

(24)

81

untuk mereka dapat selamanya bersatu. Tato-tato tersebut juga menunjukkan

betapa pentingnya anggota keluarga mereka di dalam hidupnya. Responden juga

secara khusus menggambarkan bukti cintanya terhadap kedua orangtuanya

sebagai tato yang digambarkan dalam kanji Jepang untuk ‘ayah’ dan ‘ibu’, yang

masing-masing ditempatkan pada lengan kanan dan kirinya.

k.

l.

Gambar k merupakan Simbol Anggota Keluarga. Rasa cinta kepada

keluarga digambarkan dengan garis-garis melingkar di lengan, dimana garis hitam

pertama adalah melambangkan ayahnya, dan garis magenta di sebelahnya

melambangkan ibunya yang sudah meninggal. Empat garis hitam berikutnya

melambangkan mereka 4 bersaudara laki-laki, dan garis merah terakhir adalah

(25)

82

Ini mungkin desainnya cuma garis-garis, tetapi artinya dalam sampai

artis tatonya bilang, “Mas, kamu bagaimana bisa berpikir seperti itu?”ya

masalahnya aku kepikiran saja, makanya aku mau membuat seperti itu. ini keluargaku. Aku bikin garis begini. Ini kan ada magenta dan merah. Ini Papaku (sambil menunjuk pada garis hitam yang pertama), ini dua perempuan di rumahku (sambil menunjuk pada garis magenta dan merah). Kenapa magenta, ini (karena) Mamaku sudah almarhumah. Ini kami empat saudara laki-laki, yang adik bungsuku sendiri perempuan (sambil menunjuk pada empat garis hitam dan merah setelah garis magenta). Dulu aku mau buat garis satu begini, buat jadi satu. Soalnya kita utuh satu keluarga. Aku berpikir, ternyata tidak bisa, karena mamaku sudah meninggal, dan kita lahir dan akan pergi (meninggal) sendiri-sendiri.

Gambar l merupakan kanji Jepang Papa (lengan kiri) dan Mama (lengan

kanan). Tato tersebut merupakan gambaran rasa cintanya terhadap kedua

orangtua.

Kanji mama di kanan, dan kanji papa di kiri. Sepasang: papa dan mama. Semacam tanda yang menunjukkan bahwa orangtua kita sepasang.

Pilihan kanji itu sendiri adalah saran dari salah seorang teman responden,

dan oleh karena responden sendiri ingin menuangkannya dalam wujud yang

sederhana tidak rumit, maka kanji tersebut menjadi pilihannya untuk

melambangkan ayah dan ibunya.

Saat memiliki tato, responden mengaku ibunya terkejut melihatnya

bertato, dan mengungkapkan kekhawatiran terkait masa depannya.

Kata mama, “itu permanen atau apa, kamu kenapa bertato begini padahal belum selesai kuliah. Bagaimana nanti kamu mencari kerja?” Pokoknya

tato itu lebih mengarah ke yang negatif.

Responden telah mencoba memberi keterangan terhadap keluarganya

bahwa tidak ada niat jelek dalam keputusannya untuk menato tubuhnya, dan itu

membawa perubahan terhadap cara pandang mereka. Tidak ada perihal keberatan

lagi mengenai tato dari anggota keluarganya, tinggal pandangan orang lain di

(26)

83

Tapi ya aku coba mengarahkan, (tato) tidak seperti itu (negatif).

Orangtuaku mengatakan,” ya kamu bertato, itu hakmu. Apapun persepsi

orang tentang tatomu ya akan dikembalikan ke kamu”.

Responden berasumsi bahwa orang-orang yang menganggap tato sebagai

sesuatu yang buruk dan kriminal adalah orang-orang yang berpendidikan rendah.

Masyarakat di Sumatra, sudah terpilah orang yang menganggap tato itu seni dan orang yang menganggap tato itu jelek. Maaf kata, mungkin pendidikannya kurang dan jarang keluar dari daerah itu, makanya beranggapan tato itu kriminal karena setahu mereka, tato itu identik dengan orang-orang yang keluar dari penjara, yang ditato dan ditandai dengan ciri khas penjara.

Menurut responden, orang berpendidikan sekali pun, yang masih

memandang negatif mengenai tato, misalnya di tempat kerja, kurang bersosialisasi

dengan banyak orang. Dapat dikatakan, kurang membuka diri mereka untuk

berhubungan dengan orang lain (yang bertato) di luar kalangan mereka sendiri.

“Aku bisa mempersepsikan bahwa mereka hanya mengambil ilmu saja di kampus, tidak berbaur dengan banyak orang.”

Ketika bertemu dengan orang-orang di lingkungan keagamaan,

responden mengaku bahwa tanggapan orang lain terhadapnya tidak menjadi hal

mutlak yang dapat menentukan ibadahnya benar atau tidak.

Saya pernah ke mesjid dengan pakaian terbuka (memperlihatkan tato). Yang mengatakan wudhu saya tidak sah, saya beranggapan, siapa yang bisa memutuskan bahwa itu tidak sah? Kamu Tuhan? Doaku diterima atau tidak, itu bukan kamu yang memutuskan. Walaupun kamu habib atau ustadz sekalipun, kamu tidak berhak menghakimi. Menurutku, kalau habib yang benar-benar ilmu agamanya dalam, dia tidak akan semena-mena menyatakan itu, dia akan memilih bagaimana bahasa (tutur kata) yang baik, tidak semudah itu menghakimi.

Responden menyadari bahwa tato bukanlah produk luar negeri ataupun

(27)

84

sendiri juga memiliki, sehingga menurutnya agak membingungkan mengetahui

sebagian dari orang-orang di Indonesia memandang negatif soal tato.

Indonesia sendiri kan terkenal dengan tato dari Mentawai dan Dayak. Orang luar negeri sendiri, yang belajar antropologi, masuk ke Indonesia untuk bertanya (belajar) tentang tato Mentawai.

Di lingkungan pekerjaan, responden mengaku belum pernah ditolak.

Baginya, bekerja adalah persoalan passion (gairah) bukan mencari untuk diterima.

Responden tidak ingin orang lain, terutama yang berada di dunia kerja

memandang negatif terhadap orang-orang bertato seperti dirinya.

Aku tidak pernah mendaftar kerjaan, tapi ada konsultan yang mengajak aku bekerja di perusahaannya dia. Aku bekerja di sana, tidak sampai setahun, aku memilih resign, karena atasanku main uang kotor (korupsi) terhadap uang pajak dan reklamasi di perusahaan. Aku orang bertato, tapi aku tidak mau makan uang haram.

Diri sendiri menjadi kekuatan untuknya tetap tampil sebagai orang yang

bertato. Menurut responden, seseorang sebaiknya tidak perlu menghakimi

sebelum memberi diri untuk mendekat dan berkomunikasi dengan dirinya.

Diriku sendiri menjadi kekuatan untuk aku tetap tampil sebagai pribadi yang bertato. Tidak ada orang lain. Kenapa aku bertato ya atas kemauanku sendiri. Tidak dipaksa orang. Tato-tato saya murni merupakan seni dan ada momen dan arti tersendiri. Aku bertato, ya ini aku. Terserah kalian mempersepsikan aku itu seperti apa. Yang tahu (diriku) itu aku. Kalau mau tahu lebih dalam, tanya. Kalau tidak tahu ya tanya.

Setiap orang bebas mengekspresikan dirinya dalam hal apapun, alangkah

baik jika satu terhadap yang lain dapat menjalin komunikasi yang baik, supaya

terhindar dari prasangka yang buruk. Menurut responden, tidak semua orang yang

menggunakan tato adalah buruk dan jahat, orang-orang yang menilai demikian

hendaknya mendekat dan berkomunikasi terhadap mereka. Komunikasi

(28)

85

dapat menyadari bahwa stigma tersebut telah membangun sebuah diskriminasi di

antara orang-orang tersebut dan orang-orang bertato.

3.4.7 Nr (26 tahun), bekerja

Responden Nr menato tubuhnya pertama kali pada tahun 2012 atas dasar

keinginannya dan ketertarikannya terhadap tato. “Senang melihat orang bertato.

Kelihatannya bagus.” Inspirasinya muncul dari salah seorang temannya yang

merupakan seniman tato.

Dia (temannya) juga punya tato. Sempat bertanya, itu sakit atau tidak. Ternyata sakit. Cuma setelah menato, justru ingin menambah lagi.

Tato pertama yang dialaminya semakin memotivasi responden untuk

menato lebih banyak lagi. Rasa sakit yang dialami ketika menato tidak membuat

responden berhenti untuk menato, justru ingin menato lebih banyak lagi. Saat

pertama menato, responden hanya memilih gambar yang disukainya, namun

seiring waktu berjalan, responden mulai berpikir untuk membuat tato yang

merupakan hasil inspirasinya sendiri.

Dari pertama (tertarik) melihat gambarnya, lalu setelahnya gambar buat sendiri (inspirasi sendiri) kemudian minta teman untuk mengerjakan. Tato itu cerita. Setiap gambarnya ada cerita-ceritanya sendiri.

Keluarga responden tidak langsung menerima dirinya yang bertato,

mereka menunjukkan rasa keberatan mereka. “Awal-awal mempunyai tato

memang tidak diterima, justru dimarahi.” Hal tersebut tidak berlangsung lama, dimana keluarga pada akhirnya menerima keputusannya untuk menato tubuhnya.

(29)

86

menampilkan karya-karya seni yang bagus dalam tato yang diaplikasikan ke

tubuhnya.

Ada rasa menyesal ketika responden mulai mencari lowongan pekerjaan.

Responden mengalami penolakan.

Awalnya kalau mendaftar di PT-PT itu susah, karena butuhnya yang

‘bersih’ begitu kan. Sehat jasmani rohani. Menyesal juga sih. Ya mau

bagaimana lagi, sudah ada (tatonya) ya tambah lagi.

Penyesalan yang sempat dialami responden tidak serta merta

membuatnya berhenti menato, justru bertekad mencari pekerjaan yang lebih

menerima orang-orang bertato seperti dirinya.

Ada, pasti ada aja kok yang mau menerima orang-orang bertato. Tidak sedikit kafe yang mau menerima orang-orang bertato menjadi pegawai. Perusahaan-perusahaan pastinya rata-rata tidak mau menerima ya. Kalau tidak ada (pekerjaan), bisa aja dengan membuka usaha sendiri.

Berikut adalah salah satu tato yang dimiliki oleh responden.

m.

Gambar m merupakan Ikan Koi, sebagai simbol keberuntungan yang

membawa kekayaan dan kemakmuran. Responden memilih gambar tersebut untuk

mencapai keberuntungan, selain karna ikan koi merupakan tato yang terkenal dari

(30)

87

Tato tersebut memiliki kualitas maskulin yang khas seperti kekuatan dan

keberanian. Ikan koi di Cina dikenal dengan kisah yang menceritakan upaya ikan

tersebut untuk berenang ke hulu Sungai Kuning, tetapi hanya beberapa hari,

ikan-ikan tersebut mampu untuk berenang melewati suatu titik yang disebut “dragon

gate” (gerbang naga). Legenda mengatakan bahwa koi yang berhasil melalui gerbang tersebut dihargai dengan berubah menjadi naga4, sehingga untuk alasan

ini koi juga adalah simbol dari tekad dan kemauan yang kuat untuk berhasil.

Mereka yang memiliki tato tersebut diyakini akan diikuti oleh keberuntungan

maupun nasib baik, yang dibawa oleh tato itu sendiri.

3.4.8 Rm (21 tahun), wiraswasta

Responden Rm menato tubuhnya pertama kali saat masih duduk di kelas

2 SMA. Responden mengaku tertarik melihat orang yang bertato, dan ingin

memulai kesempatan pertama dengan sebuah tato temporer. “Sempat berpikir

untuk membuat tato temporer, tapi akhirnya sadar bahwa tato temporer itu bukan

tato.” Keputusannya untuk menato semakin diperkuat oleh kekagumannya pada

tato temannya sendiri. Mengikuti jejak temannya, maka responden pun menato.

“Waktu itu iseng-iseng saja, tanya teman, “itu sakit tidak?” Ketika tahu kalau itu

sakit, tetap saja aku mau buat.”

Salib menjadi desain pertama yang menarik perhatian responden.

“Soalnya sederhana.” Pada awalnya, responden hanya memiliki sebuah gambar

salib, namun beberapa tahun kemudian menambah desain seperti rantai pada salib

tersebut sehingga menjadi sebuah gambar Rosario seperti yang terlihat dalam

4ADP, ‘Arti di Balik 5 Motif Tato Jepang Paling Populer’ dalam

(31)

88

gambar n berikut. Responden terinspirasi oleh desain salib yang sederhana, dan

ingin menjadikannya sebagai pegangan dalam kehidupan pribadi. “Rosario itu

ibarat tasbih bagi orang Katolik, ya ini buat pegangan saya.”

n.

Tidak ada pengalaman yang tidak menyenangkan dari respon

orang-orang lain terhadap tatonya. Keluarganya mau tidak mau tetap menerima

responden, sebab apa yang diperbuat responden terhadap tubuhnya tidak dapat

dikembalikan seperti sedia kala.

Mereka biasa saja (tanggapannya). Aku tidak mau urus, tapi mungkin

juga karena tatoku tidak terlihat ‘nakal’.: keluarga ya terima-terima saja, sudah terlanjur.

Pernah ada yang menyampaikan kepadanya bahwa menato itu tidak

dibenarkan bagi orang Kristen dan Katolik,5 namun tidak menjadi sebuah

persoalan penting bagi responden. Responden menganggap tato sebagai seni,

sehingga responden menginginkan orang-orang lain juga dapat melihat bahwa tato

tidak mutlak sebagai tanda kejahatan, sekalipun memang ada yang sengaja

memperlihatkan tato untuk menimbulkan persepsi negatif.

(32)

89

Tidak semua orang bertato itu jahat. Beda-beda sih, ada yang cuma memperlihatkan bahwa tato itu jagoan. Kalau aku tidak.

Responden juga tidak perlu mengalami kesulitan dalam mencari

pekerjaan. Menurutnya, bekerja itu adalah menjadi manajer bagi diri sendiri.

Tidak pernah tahu akan susah mencari kerjaan karena tato. Aku tidak berniat kerja ikut orang. Ingin kerja sendiri. Usaha sendiri.

Bagi responden, memiliki tato untuk niat yang baik, dalam hal ini bukan

untuk menampilkan sebuah kenakalan, bukanlah sebuah masalah. Orang-orang

yang tidak menerima tato sekalipun, menurut responden, akan dapat mengubah

perspektif negatif ketika melihat orang-orang dengan tato yang filosofis atau

religius sekalipun.

3.5Kesimpulan

Hasil temuan di lapangan menunjukkan bahwa tidak ada responden yang

berpikir untuk memiliki tato pertama kali secara tidak sengaja. Semua responden

telah tertarik untuk memiliki tato pada usia muda, lima di antaranya bahkan sudah

berpikir untuk membuat tato sejak usia remaja.Inspirasi para responden beragam,

yakni dari pengalaman pahit (satu orang responden), keinginan sendiri (dua orang

responden), idola (dua orang responden), tato itu sendiri (satu orang

reponden), dan teman (dua orang responden).

Alasan terkuat para responden menato adalah kecintaan terhadap seni.

Hampir seluruh responden menerima tato sebagai seni. Tato dipandang sebagai

sebuah karya seni yang bermakna. Tubuh adalah kanvas yang dapat digunakan

untuk menorehkan gambar-gambar. Tato-tato tersebut memiliki makna dan peran

(33)

90

buruk atau negatif. Tubuh para responden sendiri dijadikan sebuah display

(pameran) untuk menunjukkan jati diri para responden, dan menjadi media untuk

menyampaikan cerita.

Para responden berfokus pada tato sebagai hal positif yang dapat

memberikan sense positif terhadap diri mereka sendiri, dan bagi orang lain yang

melihatnya. Sayangnya, tidak semua orang dapat memandang tato dan pemiliknya

secara positif. Orang-orang bertato, berdasarkan teori dan temuan di lapangan,

dipandang baik secara positif maupun negatif. Orang-orang yang memandang

mereka secara positif akan tertarik untuk mengetahui cerita di balik pembuatan

tato si pemiliknya, sekalipun orang-orang tersebut tahu bahwa pembuatannya

harus melewati rasa sakit, sedangkan orang-orang yang memandang mereka

secara negatif, hanya akan melihat rasa sakit dari pembuatan tato itu sendiri dan

menganggap keputusan untuk memberi diri ditato sebagai penyerahan diri

terhadap proses yang mengancam kesehatan fisik.

Tato dianggap sebagai indikasi akan pilihan terhadap sebuah ‘gaya hidup

yang tidak biasa’.Ketika berpapasan dengan orang lain, orang-orang akan melihat

penampilan tubuh seseorang, dan tato adalah ‘sesuatu’ yang melekat pada tubuh

secara tidak natural dan bersifat permanen. Hal seperti tersebut bagi sebagian

masyarakat dianggap tidak sehat dan dengan demikian, bagi mereka yang tidak

bertato, para responden bertato dianggap sebagai orang-orang yang “tidak

normal”.

Memang tidak semua responden mengalami penolakan maupun persepsi

negatif dari orang lain, dimana lingkungan dan kebudayaan tempat mereka berada

(34)

91

orang lain ketika melihat para penggemar tato tersebut ialah sesuatu yang

berkaitan dengan preman. Orang-orang yang memiliki tato adalah preman.

Mereka mirip dengan narapidana yang melakukan tindakan kriminal. Orang yang

memandang buruk terhadap para responden akan menjauhi mereka atau

menghindari mereka. Di lingkungan keagamaan, para responden kerap mendapat

tatapan sinis yang menunjukkan keheranan karena seseorang yang bertato berada

di lingkungan tersebut. Responden dianggap tidak layak beribadah oleh karena

tubuhnya bertato.

Di lingkungan keluarga dan masyarakat, para responden juga mengalami

persepsi awal yang tidak membenarkan bertato sebagai suatu hal yang boleh dan

layak dilakukan. Para responden mengalami ekspresi kekecewaan. Prasangka

buruk yang diterima dari orang terdekat dirasa lebih menyakitkan dibandingkan

dari orang lain. Hal tersebut membuat sebagian responden harus

menyembunyikan tatonya dari keluarga, atau dengan menempatkannya pada

bagian-bagian tubuh yang tertutupi pakaian, terlebih jika tato tersebut dapat

menyakiti perasaan anggota keluarga. Beberapa responden, akan tetapi, akhirnya

mengalami perubahan perspektif terhadap cara pandang akan tato di dalam

keluargaya.

Di lingkungan pekerjaan pun demikian. Hampir semua lapangan

pekerjaan tidak menerima orang-orang bertato sebagai karyawan. Ada banyak

lapangan pekerjaan yang tidak menerima orang-orang bertato sebagai pekerjanya.

Orang-orang dengan tato pada bagian tubuh yang terlihat lebih sedikit

dipekerjakan dibandingkan dengan orang-orang dengan tato pada bagian tubuh

(35)

92

tempat-tempat tersembunyi menjadi pertimbangan bagi para responden. Sebagian

besar dari mereka bekerja di kafe-kafe dan distro yang tidak mempermasalahkan

tato di tubuh mereka, dan ada salah seorang responden yang diterima bekerja

sebagai koki. Sebagian responden berpendapat masih ada pekerjaan yang masih

bisa diusahakan sendiri, bahkan ada yang memang berniat untuk tidak bekerja

bagi orang lain.

Para responden berpendapat bahwa tubuh mereka adalah milik mereka,

maka menatonya menjadi hak sepenuhnya bagi mereka. Kenyataan bahwa orang

bertato belum diterima sepenuhnya di lingkungan sosial, oleh para responden,

diterima sebagai hal yang biasa dan sebagai resiko yang memang harus diterima

sebagai komunitas yang berada di tengah-tengah masyarakat yang bukan

berbudaya tato dan bukan merupakan penggemar tato.

Para responden memilih untuk menato tubuh dengan makna-makna

positif bagi dirinya sendiri dan orang lain untuk menunjukkan kepada orang-orang

bahwa tato bukanlah sesuatu hal yang negatif. Mereka berniat mengubah cara

pandang orang-orang yang masih memandang tato sebagai hal negatif, dengan

tetap menjaga diri sebagai pribadi yang baik dan sopan (tanpa

perbuatan-perbuatan kriminal). Gambar-gambar tato yang dimiliki para responden

mengungkapkan gambaran spiritual mereka.

Tato adalah cerita. Oleh karena tubuh adalah display (pameran) untuk

menampilkan hiasan-hiasan, maka akan ada banyak cerita yang dapat mereka

lukiskan pada tubuh mereka. Selalu ada cerita yang dapat dilukiskan sepanjang

perjalanan hidup. Para responden mengutarakan betapa mereka ingin

(36)

93

menjadi alat komunikasi yang memungkinkan adanya interaksi orang lain

terhadap diri mereka. Cerita itu sendiri merupakan representasi spiritual dari para

responden, bukan merupakan pembalasan terhadap pengalaman buruk yang

Gambar

Gambar a adalah Khamsa/ Tangan Fatimah dan Sigil Sulaiman/ Seal of
Gambar f  juga merupakan tato yang terinspirasi oleh pemain sepak bola
Gambar i merupakan Kepala Rusa yang mengapit sebuah Dream Catcher
gambar kepala rusa tersebut, yang dimaksudkan oleh responden sebagai
+4

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Selain menggunakan saluran transmisi, metode penyesuaian impedansi dapat pula dilakukan dengan menggunakan rangkaian yang terdiri dari komponen L dan C dalam

Karena dalam penelitian ini spesifikasi mesin tidak ada modifikasi pada setingan maupun komponen mesin, semua dibiarkan dalam kondisi standar, bila dilakukan

Naskah kirim ulang sudah kami terima hari ini, untuk melengkapi naskah yang pernah dikirimkan ke kami sekitar Pebruari 2012.. Naskah tsb masih menunggu giliran untuk direview oleh

Rekaman arsip merupakan teknik pengumpulan data baik data historis maupun data saat ini. Dalam penelitian ini dapat berupa data statsitik Kecamatan dalam Angka

Hasil kali elementer A  hasilkali n buah unsur A tanpa ada pengambilan unsur dari baris/kolom yang sama...

Dengan demikian, rumusan masalah pada laporan ini adalah bagaimana aplikasi PCA untuk mengetahui apa saja indikator yang mempengaruhi tingginya tingkat Corruption Index

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, perlakuan pemberian Mabar Fine Compost berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah ginofor, jumlah cabang utama, jumlah

Sehubungan dengan semakin meluasnya profesi di Indonesia maka alangkah baiknya kita dalam menjalankan suatu profesi membutuhkan suatu perjanjian asuransi