• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Kualitas Hidup Penderita Dispepsia Dengan Non-Dispepsia pada Mahasiswa FK USU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbandingan Kualitas Hidup Penderita Dispepsia Dengan Non-Dispepsia pada Mahasiswa FK USU"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1. Anatomi Dan Fisiologi Lambung 2.1.1. Anatomi

Lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat dibawah diafragma. Dalam keadaan kosong lambung berbentuk tabung J, dan bila penuh berbentuk seperti buah alpukat raksasa. Kapasitas normal lambung 1 sampai 2 liter. Secara anatomis lambung terbagi atas fundus, korpus dan antrum pilorus. Sebelah atas lambung terdapat cekungan kurvatura minor, dan bagian kiri bawah lambung terdapat kurvatura mayor. Sfingter kedua ujung lambung mengatur pengeluaran dan pemasukan. Sfingter kardia atau sfingter esofagus bawah, mengalirkan makanan yang masuk kedalam lambung dan mencegah refluks isi lambung memasuki esofagus kembali. Daerah lambung tempat pembukaan sfingter kardia dikenal dengan nama daerah kardia. Disaat sfingter pilorikum berelaksasi makanan masuk kedalam duodenum, dan ketika berkontraksi sfingter ini akan mencegah terjadinya aliran balik isis usus halus kedalam lambung (Sain, 2008).

Menurut Sain (2008) lambung terdiri dari empat lapisan: o Lapisan peritoneal luar yang merupakan lapisan serosa. o Lapisan berotot yang terdiri atas 3 lapisan:

 Serabut longitudinal, yang tidak dalam dan bersambung dengan

otot esophagus.

 Serabut sirkuler yang palig tebal dan terletak di pylorus serta

membentuk otot sfingter, yang berada dibawah lapisan pertama.  Serabut oblik yang terutama dijumpai pada fundus lambunh dan

berjalan dari orivisium kardiak, kemudian membelok kebawah melalui kurva tura minor (lengkung kelenjar).

(2)

o Lapisan mukosa yang terletak disebelah dalam, tebal, dan terdiri atas banyak kerutan/ rugae, yang menghilang bila organ itu mengembang karena berisi makanan. Ada beberapa tipe kelenjar pada lapisan ini dan dikategorikan menurut bagian anatomi lambung yang ditempatinya. Kelenjar kardia berada dekat orifisium kardia. Kelenjar ini mensekresikan mukus. Kelenjar fundus atau gastric terletak di fundus dan pada hampir selurus korpus lambung. Kelenjar gastrik memiliki tipe-tipe utama sel. Sel-sel zimognik atau chief cells mensekresikan pepsinogen. Pepsinogen diubah menjadi pepsin dalam suasana asam. Sel-sel parietal mensekresikan asam hidroklorida dan faktor intrinsik. Faktor intrinsik diperlukan untuk absorpsi vitamin B 12 di dalam usus halus. Kekurangan faktor intrinsik akan mengakibatkan anemia pernisiosa. Sel-sel mukus (leher) ditemukan dileher fundus atau kelenjar-kelenjar gastrik. Sel-sel ini mensekresikan mukus. Hormon gastrin diproduksi oleh sel G yang terletak pada pylorus lambung. Gastrin merangsang kelenjar gastrik untuk menghasilkan asam hidroklorida dan pepsinogen. Substansi lain yang disekresikan oleh lambung adalah enzim dan berbagai elektrolit, terutama ion-ion natrium, kalium, dan klorida.

Persarafan lambung sepenuhnya otonom. Suplai saraf parasimpatis untuk lambung dan duodenum dihantarkan ke dan dari abdomen melalui saraf vagus. Trunkus vagus mempercabangkan ramus gastrik, pilorik, hepatik dan seliaka. Pengetahuan tentang anatomi ini sangat penting, karena vagotomi selektif merupakan tindakan pembedahan primer yang penting dalam mengobati tukak duodenum (Sain, 2008).

(3)

lambung dan mengkordinasi aktivitas motoring dan sekresi mukosa lambung (Sain, 2008).

Seluruh suplai darah di lambung dan pankreas (serat hati, empedu, dan limpa) terutama berasal dari daerah arteri seliaka atau trunkus seliaka, yang mempecabangkan cabang-cabang yang mensuplai kurvatura minor dan mayor. Dua cabang arteri yang penting dalam klinis adalah arteri gastroduodenalis dan arteri pankreas tikoduodenalis (retroduodenalis) yang berjalan sepanjang bulbus posterior duodenum. Tukak dinding postrior duodenum dapat mengerosi arteria ini dan menyebabkan perdarahan. Darah vena dari lambung dan duodenum, serta berasal dari pankreas, limpa, dan bagian lain saluran cerna, berjalan ke hati melalui vena porta (Sain, 2008).

Gambar 2.1. Anatomi Lambung (Tortora & Gerald, 2009)

2.1.2. Fisiologi

(4)

 Sekresi, yaitu kelenjar dalam mukosa lambung mensekresi 1500 –

3000 mL gastric juice (cairan lambung) per hari. Komponene utamanya yaitu mukus, HCL (hydrochloric acid), pensinogen, dan air. Hormon gastrik yang disekresi langsung masuk kedalam aliran darah.

 Mencerna makanan secara kimiawi yaitu dimana pertama kali

protein dirobah menjadi polipeptida

 Absorpsi, secara minimal terjadi dalam lambung yaitu absorpsi air,

alkohol, glukosa, dan beberapa obat.

 Pencegahan, banyak mikroorganisme dapat dihancurkan dalam

lambung oleh HCL.

 Mengontrol aliran chyme (makanan yang sudah dicerna dalam lambung) kedalam duodenum. Pada saat chyme siap masuk kedalam duodenum, akan terjadi peristaltik yang lambat yang berjalan dari fundus ke pylorus.

2.2. Dispepsia 2.2.1. Pengertian

Menurut Sain (2008) dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan keluhan refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi asam lambung kini tidak lagi termasuk dispepsia. Batasan dispepsia terbagi atas dua yaitu

 Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik

sebagai penyebabnya.

 Dispepsia non organik, atau dispepsia fungsional, atau dispepsia

non ulkus (DNU), bila tidak jelas penyebabnya.

2.2.2. Etiologi

(5)

2. Pengaruh obat-obatan yang dimakan secara berlebihan dan dalam waktu yang lama.

3. Alkohol dan nikotin rokok. 4. Stres.

5. Tumor atau kanker saluran pencernaan.

2.2.3. Insiden

Dispepsia merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering ditemui dokter dalam praktek sehari-hari. Diperkirakan hampir 30% kasus yang dijumpai pada praktek umum dan 60% pada praktek gastroenterologi merupakan dispepsia. Prevalens terjadinya dispepsia di Amerika Serikat tahun 1994 mencapai 26% sedangkan di Inggris 41%. Di Inggris dan Skandinavia pada tahun 1999 dilaporkan angka prevalensi dispepsia berkisar 7 – 41%. Di Indonesia pada tahun 1998 proporsi dispepsia pada klinik kesehatan sehari-hari 20%. (Harahap, 2010) Menurut Sigi, di negara barat prevalensi yang dilaporkan antara 23 dan 41 %. Sekitar 4 % penderita berkunjung ke dokter umumnya mempunyai keluhan dispepsia. Didaerah asia pasifik, dispepsia juga merupakan keluhan yang banyak dijumpai, prevalensinya sekitar 10 – 20 % (Sain, 2008).

2.2.4. Faktor Risiko

Menurut Sain (2008) faktor risiko dispepsia terdiri dari: 1. Sekresi asam lambung

2. Helicobacter pylori 3. Dismotilitas

4. Ambang rangsang persepsi 5. Disfungsi autonom

6. Aktivitas mioelektrik lambung 7. Peranan hormonal

(6)

10.Faktor genetik

2.2.5. Manifestasi Klinis

Menurut Sain (2008) faktor manifestasi klinis dispepsia terdiri dari: 1. Nyeri perut (abdominal discomfort)

2. Rasa perih di ulu hati

3. Mual, kadang-kadang sampai muntah 4. Nafsu makan berkurang

5. Rasa lekas kenyang 6. Perut kembung

7. Rasa panas di dada dan perut

8. Regurgitasi (keluar cairan dari lambung secara tiba-tiba)

2.2.6. Klasifikasi

Menurut Sain (2008) faktor klasifikasi dispepsia terdiri dari:

1. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai penyebabnya.

2. Dispepsia non organik, atau dispepsia fungsional, atau dispepsia non ulkus (DNU), bila tidak jelas penyebabnya.

2.2.7. Patofisiologi

Dari sudut pandang patofisiologis, proses yang paling banyak dibicarakan dan potensial berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam lambung, infeksi Helicobacter pylori, dismotilitas gastrointestinal,dan hipersensitivitas viseral. Ferri et al. (2012) menegaskan bahwa patofi siologi dispepsia hingga kini masih belum sepenuhnya jelas dan penelitian-penelitian masih terus dilakukan terhadap faktor-faktor yang dicurigai memiliki peranan bermakna, seperti di bawah ini (Sain, 2008)

(7)

Kasus dispepsia fungsional umumnya mempunyai tingkat sekresi asam lambung, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin, yang rata-rata normal. Diduga terdapat peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut. (Abdullah & Gunawan, 2012)

2.2.7.2. Helicobacter Pylori

Infeksi Helicobacter pylori (Hp) mempengaruhi terjadinya dispepsia fungsional. Penyelidikan epidemiologi menunjukkan kejadian infeksi Hp pada pasien dengan dispepsia cukup tinggi, walaupun masih ada perbedaan pendapat mengenai pengaruh Hp terhadap dispepsia fungsional. Diketahui bahwa Hp dapat merubah sel neuroendokrin lambung. Sel neuroendokrin menyebabkan peningkatan sekresi lambung dan menurunkan tingkat somatostatin. (Mustawa, 2012)

2.2.7.3. Dismotilitas

Selama beberapa waktu, dismotilitas telah menjadi fokus perhatian dan beragam abnormalitas motorik telah dilaporkan, diantaranya keterlambatan pengosongan lambung, akomodasi fundus terganggu, distensi antrum, kontraktilitas fundus postprandial, dan dismotilitas duodenal. Beragam studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional, terjadi perlambatan pengosongan lambung dan hipomotilitas antrum (hingga 50% kasus), tetapi harus dimengerti bahwa proses motilitas gastrointestinal merupakan proses yang sangat kompleks, sehingga gangguan pengosongan lambung saja tidak dapat mutlak menjadi penyebab tunggal adanya gangguan motilitas. (Abdullah & Gunawan, 2012)

2.2.7.4. Ambang Rangsang Persepsi

(8)

semua gangguan fungsional dan dilaporkan terjadi pada 30-40% pasien dengan dispepsia fungsional. (Abdullah & Gunawan, 2012)

Mekanisme hipersensitivitas ini dibuktikan melalui uji klinis pada tahun 2012. Dalam penelitian tersebut, sejumlah asam dimasukkan ke dalam lambung pasien dispepsia fungsional dan orang sehat. Didapatkan hasil tingkat keparahan gejala dispeptik lebih tinggi pada individu dispepsia fungsional. Hal ini membuktikan peranan penting hipersensitivitas dalam patofisiologi dispepsia. (Abdullah & Gunawan, 2012)

2.2.7.5. Disfungsi Autonom

Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proksimal lambung sewaktu menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang. (Abdullah & Gunawan, 2012)

2.2.7.6. Aktivitas Mioelektrik Lambung

Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan elektrogastrografi terdeteksi pada beberapa kasus dispepsia fungsional, tetapi peranannya masih perlu dibuktikan lebih lanjut. (Abdullah & Gunawan, 2012)

2.2.7.7. Peranan Hormonal

Peranan hormon masih belum jelas diketahui dalam patogenesis dispepsia fungsional. Dilaporkan adanya penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal. Dalam beberapa percobaan, progesteron, estradiol, dan prolaktin memengaruhi kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit gastrointestinal. (Abdullah & Gunawan, 2012)

2.2.7.8. Diet Dan Faktor Lingkungan

(9)

terhadap distensi lambung yang diinduksi oleh infus lemak ke dalam duodenum. Gejalanya pada umumnya adalah mual dan perut kembung. (Rudy Dwi Laksono, 2011)

2.2.7.9. Psikologis

Adanya stres akut dapat memengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah pemberian stimulus berupa stres. Kontroversi masih banyak ditemukan pada upaya menghubungkan faktor psikologis stres kehidupan, fungsi autonom, dan motilitas. Tidak didapatkan kepribadian yang karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsional ini, walaupun dalam sebuah studi dipaparkan adanya kecenderungan masa kecil yang tidak bahagia, pelecehan seksual, atau gangguan jiwa pada kasus dispepsia fungsional. (Abdullah & Gunawan, 2012)

2.2.7.10. Faktor Genetik

Genetik merupakan faktor predisposisi pada penderita gangguan gastrointestinal fungsional. Faktor genetik dapat mengurangi jumlah sitokin antiinflamasi (Il-10, TGF-β). Penurunan sitokin antiinflamasi dapat menyebabkan peningkatan sensitisasi pada usus. Selain itu polimorfisme genetik berhubungan dengan protein dari sistem reuptake synaptic serotonin serta reseptor

polimorfisme alpha adrenergik yang mempengaruhi motilitas dari usus.

Insiden keluarga yang mengalami gangguan fungsional gastrointestinal berhubungan dengan potensi genetik. Perbedaan pada kelenjar axis hipotalamus pituitary adrenal menjadi hasil temuan yang menarik. Pada pasien gangguan

gastrointestinal fungsional terjadi hiperaktifitas dari axis hypothalamus pituitarity adrenal. (Mustawa, 2012)

2.2.7.11. Hipersensitivitas Viseral

Hipersensitivitas viseral merupakan suatu distensi mekanik akibat

(10)

penyakit gastrointestinal fungsional. Fenomena ini berdasarkan mekanisme perubahan perifer. Sensasi viseral ditransmisikan dari gastrointestinal ke otak, dimana sensasi nyeri dirasakan. Peningkatan persepsi nyeri sentral berhubungan dengan peningkatan sinyal dari usus. (Mustawa, 2012)

Peningkatan perangsangan pada dinding perut menunjukkan disfungsi pada aktivitas aferen. Secara umum terganggunya aktivitas serabut aferen

(11)

Gambar 2.2. Mekanisme Dispesia Akibat Stres. (Mustawa, 2012)

2.2.8. Pencegahan

Pola makan yang normal dan teratur, pilih makanan yang seimbang dengan kebutuhan dan jadwal makan yang teratur, sebaiknya tidak mengkomsumsi makanan yang berkadar asam tinggi, cabai, alkohol, dan pantang rokok, bila harus makan obat karena sesuatu penyakit, misalnya sakit kepala, gunakan obat secara wajar dan tidak mengganggu fungsi lambung. (Sain, 2008).

2.2.9. Penatalaksanaan Medik

2.2.9.1. Penatalaksanaan Non Farmakologis

(12)

b. Menghindari faktor resiko seperti alkohol, makanan yang peda, obat-obatan yang berlebihan, nikotin rokok, dan stres

c. Atur pola makan.

Gejala dapat dikurangi dengan menghindari makanan yang mengganggu, diet tinggi lemak, kopi, alkohol, dan merokok. Selain itu, makanan kecil rendah lemak dapat membantu mengurangi intensitas gejala. Ada juga yang merekomendasikan untuk menghindari makan yang terlalu banyak terutama di malam hari dan membagi asupan makanan sehari-hari menjadi beberapa makanan kecil. Alternatif pengobatan yang lain termasuk hipnoterapi, terapi relaksasi dan terapi perilaku. (Mustawa, 2012)

2.2.9.2. Penatalaksanaan Farmakologis 2.2.9.2.1. Antasida

Golongan ini mudah didapat dan murah. Antasida akan menetralisir sekresi asam lambung. Antasida biasanya mengandung natrium bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan magnesium trisiklat. Pemberian antasida tidak dapat

dilakukan terus-menerus, karena hanya bersifat simtomatis untuk mengurangi nyeri. Magnesium trisiklat merupakan adsorben nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2. (Mustawa,

2012)

2.2.9.2.2. Antikolinergik

Kerja obat ini tidak sepsifik, Obat yang agak selektif adalah pirenzepin yang bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan sekresi asam lambung sekitar 28% sampai 43%. Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif. (Mustawa, 2012)

(13)

Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan ini adalah simetidin, ranitidin, dan famotidin. (Mustawa, 2012)

2.2.9.2.4. Proton Pump Inhibitor (PPI)

Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeprazol, lansoprazol, dan pantoprazol. (Mustawa, 2012)

2.2.9.2.5. Sitoprotektif

Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2) selain bersifat sitoprotektif juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal.

Sukralfat berfungsi meningkatkan prostaglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mucus dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif (sile protective) yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian atas. (Mustawa, 2012)

2.2.9.2.6. Golongan Prokinetik

Obat yang termasuk golongan ini yaitu sisaprid, domperidon, dan metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki asam lambung. (Mustawa, 2012)

2.2.9.2.7. Golongan Anti Depresi

(14)

Pengobatan untuk dispepsia fungsional masih belum jelas. Beberapa pengobatan yang telah didukung oleh bukti ilmiah adalah pemberantasan Helicobacter pylori, PPI, dan terapi psikologi. Pengobatan yang belum didukung bukti : antasida, antispasmodik, bismuth, terapi diet, terapi herbal, antagonis reseptor H2, misoprostol, golongan prokinetik, selective serotonin-reuptake inhibitor, sukralfat, dan antidepresan. (Mustawa, 2012)

2.2.10. Test Diagnostik

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menyingkirkan adanya kelainan organik, pemeriksaan untuk dispepsia terbagi pada beberapa bagian

Pemeriksaan laboratorium, biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urin. Jika ditemukan leukositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung lemak pada pemeriksaan tinja kemungkinan menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita dispepsia ulkus sebaiknya diperiksa derajat keasaman lambung. Jika diduga suatu keganasan, dapat diperiksa tumor marker seperti CEA (dugaan karsinoma kolon), dan CA 19-9 (dugaan karsinoma pankreas). (Mustawa, 2012)

Barium enema untuk memeriksa saluran cerna pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan atau mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita makan. (Mustawa, 2012)

(15)

Pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto polos abdomen, serologi H. pylori, urea breath test, dan lain-lain dilakukan atas dasar indikasi. (Mustawa, 2012)

2.3. Batasan Kualitas Hidup

Kualitas hidup adalah keadaan yang dipersepsikan terhadap keadaan seseorang sesuai konteks budaya dan sistem nilai yang dianutnya, termasuk tujuan hidup, harapan dan niatnya. (Elvina, 2011)

Dikutip dari kualitas hidup menurut Jennifer J. Clinch, Deborah Dudgeeon dan Harvey Schipper dalam Elvina (2011), Kualitas hidup mencakup:

a. Gejala fisik

b. Kemampuan fungsional (aktivitas) c. Kesejahteraan keluarga

d. Spiritual e. Fungsi sosial

f. Kepuasan terhadap pengobatan (termasuk masalah keuangan) g. Orientasi masa depan

h. Kehidupan seksual, termasuk gambaran terhadap diri sendiri i. Fungsi dalam bekerja

2.4. Hubungan Kesehatan dengan Kualitas Hidup

Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis (UU no.23/1992 tentang kesehatan). Kesehatan adalah kebutuhan dasar dan modal utama untuk mencapai kualitas hidup yang terbaik. (Elvina, 2011)

2.5. Hubungan Dispepsia dengan Kualitas Hidup

(16)

Gambar

Gambar 2.1. Anatomi Lambung (Tortora & Gerald, 2009)
Gambar 2.2. Mekanisme Dispesia Akibat Stres. (Mustawa, 2012)

Referensi

Dokumen terkait

Data sheet dari citra parasit malaria plasmodium falcifarum ini akan dilakukan uji coba dengan menggunakan Support Vector Machine (SVM) dengan menggunakan aplikasi weka

GIS HOTEL DI KOTA MEDAN|Tanggal Hosting 21 Juli 2015 | Jam 22:41:16

Bahwa sesuai ketentuan dalam Pasal 90 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan

Meskipun tegangan sensor ini dapat mencapai 30 volt akan tetapi yang diberikan kesensor adalah sebesar 5 volt, sehingga dapat digunakan dengan catu daya tunggal

NURUL HIKMAH KECER DASUK SUMENEP Bahasa Indonesia.

Penyakit akut dan kronis pada saat kehamilan seperti infeksi saluran urinari, hipertensi, preeklampsia, dan diabetes adalah faktor resiko yang paling sering menyebabkan bayi

Sebagai informasi bagi guru mengenai perbedaan pemahaman konseppeserta didik sebelum dan setelah pembelajaran, baik dari nilai tes, tugas (LKS) maupun hasil obsevasi

 Entitas anak tidak dikonsolidasi tetapi sebagai investasi dengan metode ekuitas.  Pajak menggunakan konsep pajak terutang bukan pajak tangguhan..  Mengacu pada praktik