• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Toksisitas Akut Limbah Cair Industri Tahu Terhadap Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji Toksisitas Akut Limbah Cair Industri Tahu Terhadap Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum)"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum)

Ikan bawal air tawar merupakan ikan ekonomis penting, baik pada tingkat benih sebagai ikan hias maupun pada tingkat dewasa sebagai ikan konsumsi. Sebagai ikan hias, disamping mempunyai bentuk tubuh yang khas dan warna yang menarik (sehingga disebut red belly), juga dapat berenang cepat dan mudah dipelihara dalam akuarium. Sedangkan sebagai ikan konsumsi, ikan ini sangat digemari masyarakat karena mempuyai daging yang tebal dan gurih, serta cepat pertumbuhannya (Haetami, dkk., 2005).

(2)

Gambar 2. Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum)

Klasifikasi dan tatanama ikan bawal air tawar menurut Kottelat, dkk., (1993) adalah sebagai berikut:

Filum : Chordata Subfilum : Craniata Kelas : Pisces Subkelas : Neopterigii Ordo : Cypriniformes Subordo : Cyprinoidea Famili : Characidae Genus : Colossoma

Spesies : Colossoma macropomum

(3)

berukuran kecil. Oleh karena itu pembesaran ikan bawal sebaiknya dilakukan secara monokultur di kolam air tenang tanpa pergantian air, kolam air mengalir (kolam air deras) dan jala apung yang dipasang di pinggir waduk atau danau (Yulianti 2007).

Bawal air tawar menjadi ikan hias boleh dibilang wajar karena bentuk tubuhnya cukup unik, pipih seperti ikan discus. Selain itu, warnanya menarik, gerakannya mempesona dan mempunyai sifat bergerombol bila dipelihara dalam jumlah banyak. Oleh karenanya, ikan ini terutama yang masih kecil sering dipelihara dalam akuarium yang dipajang dalam rumah. Menjadi ikan konsumsi, bawal pun juga boleh dibilang wajar karena pertumbuhannya cepat dan dapat mencapai ukuran besar (500gram) (Arie, 2000).

Kualitas Air Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum)

Mutu Air adalah kondisi kualitas air yang diukur dan atau diuji berdasarkan parameter tertentu dan metoda tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air. Sedangkan baku mutu lingkungan adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/ atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup (Purwanta, 2013).

(4)

kadar logam), dan parameter biologi (keberadaan plankton, dan bakteri) (Syauqi, 2009). Ikan bawal air tawar termasuk tidak banyak menuntut lingkungan bagus sebagai media hidupnya. Ikan ini mampu bertahan pada perairan yang kondisinya jelek sekalipun, namun akan tumbuh dengan normal dan optimal pada perairan yang sesuai dengan persyaratan habitatnya. Kisaran kualitas air yang optimal untuk ikan bawal air tawar dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kualitas air yang optimal untuk ikan bawal air tawar (Colossoma

Macropomum).

Parameter Nilai Sumber

Suhu 27-290C

Oksigen Terlarut 2,4-6 mg/l Djarijah (2001) Karbondioksida Maksimal 5,6 mg/l

pH 7-8

Amoniak Maksimal 0,1 mg/l

Nitrit Maksimal 1 mg/l Effendi (2003)

Alkalinitas 50-300 mg/l CaCO3 Sumber : Syauqi (2009)

Limbah Cair Industri Tahu

(5)

berasal dari bekas pencucian kedelai, perendaman kedelai, air bekas pembuatan tahu dan air bekas perendaman tahu (Agung dan Hanry, 2009).

Limbah industri tahu pada umumnya dibagi menjadi dua bentuk limbah, yaitu limbah padat dan limbah cair. Limbah padat pabrik pengolahan tahu berupa kotoran hasil pembersihan kedelai (batu, tanah, kulit kedelai, dan benda padat lain yang menempel pada kedelai) dan sisa saringan bubur kedelai yang disebut dengan ampas tahu. Limbah padat yang berupa kotoran berasal dari proses awal (pencucian) bahan baku kedelai dan umumnya limbah padat yang terjadi tidak begitu banyak (0,3)% dari bahan baku kedelai. Limbah cair pada proses produksi tahu berasal dari proses perendaman, pencucian kedelai, pencucian peralatan proses produksi tahu, penyaringan dan pengepresan/pencetakan tahu. Sebagian besar limbah cair yang dihasilkan oleh industri pembuatan tahu adalah cairan kental yang terpisah dari gumpalan tahu yang disebut dengan air dadih. Cairan ini mengandung kadar protein yang tinggi dan dapat segera terurai. Limbah ini sering dibuang secara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu sehingga menghasilkan bau busuk dan mencemari lingkungan (Kaswinarni, 2007).

(6)

Karakteristik Limbah Cair Industri Tahu

Suhu buangan industri tahu berasal dari proses pemasakan kedelai. Suhu yang meningkat di lingkungan perairan akan mempengaruhi kehidupan biologis, kelarutan oksigen dan gas lain, kerapatan air, viskositas, serta tegangan permukaan. Suhu limbah cair yang dihasilkan dari proses pencetakan tahu 30°C-35°C dan sekitar 80°C-100°C dari air bekas merebus kedelai. Senyawa-senyawa organik di dalam air buangan tersebut dapat berupa protein, karbohidrat, lemak dan minyak. Senyawa-senyawa berupa protein dan karbohidrat memiliki jumlah yang paling besar yaitu 40%-60% dan 25%-50% sedangkan lemak 10%. Komponen terbesar dari limbah cair tahu yaitu protein (N-total) sebesar 226,06- 434,78 mg/l, sehingga masuknya limbah cair tahu ke lingkungan perairan akan meningkatkan total nitrogen di perairan tersebut (Husni dan Esmiralda, 2010).

Beberapa karakteristik limbah cair industri tahu yang penting antara lain : 1. Padatan tersuspensi , yaitu bahan-bahan yang melayang dan tidak larut dalam

air. Padatan tersuspensi sangat berhubungan erat dengan tingkat kekeruhan air, semakin tinggi kandungan bahan tersuspensi tersebut maka air akan semakin keruh.

2. Biochemical Oxygen Demand (BOD), merupakan parameter untuk menilai jumlah zat organik yang terlarut serta menunjukkan jumlah oksigen yang diperlukan oleh aktivitas mikroba dalam menguraikan zat organik secara biologis di dalam limbah cair. Limbah cair industri tahu mengandung bahan-bahan organik terlarut yang tinggi.

(7)

mengoksidasi seluruh material baik organik maupun anorganik yang terdapat dalam air. Jika kandungan senyawa organik dan anorganik cukup besar, maka oksigen terlarut di dalam air dapat mencapai nol sehingga tumbuhan air, ikan dan hewan air lainnya yang membutuhkan oksigen tidak memungkinkan hidup.

4. Nitrogen – total (N-Total) yaitu fraksi bahan-bahan organik campuran senyawa kompleks antara lain asam-asam amino, gula amino dan protein (polimer asam amino). Dalam analisis limbah cair, N-Total terdiri dari campuran N-organik, N-Amonia, nitrat dan nitrit. Nitrogen organik dan nitrogen amonia dapat ditentukan secara analitik menggunakan metode Kjeldahl, sehingga lebih lanjut konsentrasi total keduanya dapat dinyatakan sebagai Total Kjeldahl Nitrogen (TKN). Senyawa-senyawa N-Total adalah senyawa-senyawa yang mudah terkonversi menjadi amonium (NH4+) melalui

aksi mikroorganisme dalam lingkungan air atau tanah.

5. Derajat keasaman (pH). Air limbah industri tahu sifatnya cenderung asam pada keadaan asam ini akan terlepas zat-zat yang mudah menguap. Hal ini mengakibatkan limbah cair industri tahu mengeluarkan bau busuk (Husin, 2008).

Mortalitas

(8)

per dikali satuan. Mortalitas khusus mengekspresikan pada jumlah satuan kematian per 1000 individu per tahun, hingga rata-rata mortalitas sebesar 9.5 berarti pada populasi 100.000 terdapat 950 kematian per tahun. Mortalitas berbeda dengan morbiditas yang merujuk pada jumlah individual yang memiliki penyakit selama periode waktu tertentu (Daelami, 2001).

Apabila pada perairan terdapat limbah organik dengan kadar yang cukup tinggi maka kadar oksigen terlarut cepat sekali mengalami pengurangan. Keadaan perairan dengan kadar oksigen terlarut yang sangat rendah maka akan berbahaya bagi organisme akuatik. Polutan toksik dapat mengakibatkan kematian (letal) maupun bukan kematian (sub letal), misalnya terganggunya pertumbuhan, tingkah laku dan karakteristik morfologi berbagai organisme akuatik (Bosman dkk, 2013).

Polutan toksik dapat mengakibatkan kematian (lethal) maupun bukan kematian (sub-lethal), misalnya terganggunya pertumbuhan, tingkah laku, dan karakteristik morfologi berbagai organisme akuatik. Polutan toksik ini biasanya berupa bahan – bahan yang bukan bahan alam,misalnya pestisida, detergen, dan bahan artifisial lainnya (Effendi, 2003).

(9)

Rudiyanti dan Astri (2009) menyatakan bahwa ikan yang terkena racun bahan pencemar dapat diketahui dengan gerakan hiperaktif, menggelepar, lumpuh dan kemudian mati. Secara klinis hewan yang terkontaminasi racun memperlihatkan gejala stress bila dibandingkan dengan kontrol, ditandai dengan menurunnya nafsu makan, gerakan kurang stabil, dan cenderung berada di dasar. Hal ini diduga sebagai suatu cara untuk memperkecil proses biokimia dalam tubuh yang teracuni, sehingga efek lethal yang terjadi lebih lambat.

Uji Pendahuluan (Nilai Kisaran)

Uji pendahuluan dilakukan untuk menentukan batas kisaran kritis (critical range test) yang menjadi dasar dari penentuan konsentrasi yang digunakan dalam uji lanjutan atau uji toksisitas sesungguhnya, yaitu konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian terbesar mendekati 50% dan kematian terkecil mendekati 50% (Husni dan Esmiralda, 2010).

(10)

Uji Toksisitas

Uji toksisitas dilakukan untuk mengevaluasi konsentrasi bahan kimia dan durasi pemaparan yang dibutuhkan agar dihasilkan kriteria efek. Efek dari suatu bahan kimia bisa jadi tidak signifikan dimana organisme perairan dapat melakukan seluruh aktivitasnya secara normal, dan hanya dengan keberadaan stress lingkungan (contoh : perubahan dalam pH, DO, dan suhu) bahan kimia tersebut menimbulkan dampak buruk yang terdeteksi dengan baik. Efek buruk juga dapat ditimbulkan oleh terjadinya interaksi antara bahan kimia minoritas (yang tidak terdeteksi pada awal uji) dengan bahan kimia utama yang diuji, walaupun tanpa kehadiran stress lingkungan. Uji toksisitas dilakukan untuk mengukur tingkatan respons yang dihasilkan oleh level spesifik dari suatu stimulus (konsentrasi bahan uji kimia) (Tahir, 2012).

Penelitian toksisitas sangat penting untuk mengetahui batas toksisitas dan konsentrasi aman, sehingga akan ada kerugian minimum untuk biota air kedepannya. Di antara beberapa penelitian tentang toksisitas, bioassay yang merupakan salah satu metode yang paling umum digunakan dalam studi lingkungan akuatik dengan organisme yang sesuai. Penggunaan ikan sebagai bioassay karena ikan dapat beradaptasi terhadap kondisi laboratorium serta ketersediaan mereka melimpah dan tingkat bervariasi kepekaan terhadap zat beracun (Damayanty dan Nurlita, 2013).

(11)

toksikologi perairan. Uji tersebut berfungsi untuk mengetahui apakah effluent

yang masuk ke badan air penerima mengandung senyawa toksik dalam konsentrasi tertentu menyebabkan kematian hewan uji yang dinyatakan dalam nilai LC50. Hewan uji yang digunakan adalah ikan karena dapat menunjukkan reaksi terhadap perubahan fisik air maupun terhadap senyawa pencemar terlarut dalam batas konsentrasi tertentu (Husni dan Esmiralda, 2010).

Uji toksisitas akut adalah suatu pengujian untuk menetapkan potensi toksisitas akut LD50, menilai berbagai gejala toksik, spektrum efek toksik, dan mekanisme kematian. Tujuan uji toksisitas akut adalah untuk mendeteksi adanya toksisitas suatu zat, menentukan organ sasaran dan kepekaannya, memperoleh data bahayanya setelah pemberian suatu senyawa secara akut dan untuk memperoleh informasi awal yang dapat digunakan untuk menetapkan tingkat dosis yang diperlukan untuk uji toksisitas selanjutnya (Soeksmanto dkk, 2010).

Uji toksisitas dibedakan menjadi uji toksisitas akut, subkronik, dan kronik. Uji toksisitas akut dirancang untuk menentukkan Lethal dose atau disingkat LD50 suatu zat. LD50 didefinisikan sebagai dosis tunggal suatu zat yang secara statistik diperkirakan akan membunuh 50% hewan percobaan (Assagaf dkk, 2013).

(12)

menyebabkan 50% kematian hewan uji (LC50) dalam waktu yang relatif pendek (Esmiralda, 2010).

Uji toksisitas akut merupakan uji yang dirancang untuk mengevaluasi toksisitas relatif dari suatu bahan kimia terhadap organisme perairan tertentu dalam suatu pemaparan jangka pendek terhadap berbagai konsentrasi bahan kimia uji. Kriteria efek yang paling umum digunakan adalah kematian (pada ikan), ketiadaan gerakan/immobility dan kehilangan keseimbangan (pada avertebrata), dan pertumbuhan (pada alga). Uji toksisitas akut dapat dilakukan dengan suatu jangka waktu pemaparan yang telah ditentukan (time-dependent test) untuk mengestimasi LC50 24 jam atau LC50 96 jam atau mengestimasi EC50 48 jam. Akan tetapi, uji toksisitas akut juga dapat dilakukan dengan batas waktu pemaparan yang tidak ditentukan sebelumnya (time independent test) (Tahir, 2012).

(13)

Uji toksisitas secara kuantitatif dapat ditinjau dari lamanya waktu, yang dapat diklasifikasikan menjadi toksisitas akut, sub akut, dan kronis. Toksisitas akut adalah efek total pada dosis tunggal dalam 24 jam pemaparan. Toksisitas akut bersifat mendadak, waktu singkat, biasanya reversibel. Dosis merupakan jumlah racun yang masuk ke dalam tubuh. Besar kecilnya dosis menentukan efek secara biologi (Ramdhini, 2010).

Toksisitas akut adalah efek total yang didapat pada dosis tunggal/multiple dalam 24 jam pemaparan. Toksisitas akut sifatnya mendadak, waktu singkat, biasanya reversibel, yang secara statistik dapat menyebabkan kematian 50% dari hewan percobaan, dinyatakan dengan LC50. Nilai LC50 sangat berguna untuk menentukan klasifikasi zat kimia sesuai dengan toksisitas relatifnya (Retnomurti, 2008).

LC50

(14)

Parameter Kualitas Air

Untuk menghindari terjadinya wabah penyakit akibat kualitas air yang tidak baik, sebaiknya air yang akan dimanfaatkan untuk memelihara ikan dianalisis terlebih dahulu. Pemeriksaan air ditujukan terhadap sifat fisika, kimia, dan keadaan biota air lainnya, khususnya makhluk hidup yang berpotensi mengganggu kehidupan ikan, baik berupa pemangsa (predator), penyaing (kompetitor), ataupun jasad penyebab penyakit (pathogen). Dengan demikian, air yang digunakan benar-benar layak bagi kehidupan ikan yang akan dipelihara (Daelami, 2001).

1. Oksigen terlarut

Oksigen yang diperlukan biota air untuk pernapasannya harus terlarut dalam air. Oksigen merupakan salah satu faktor pembatas, sehingga bila ketersediaannya di dalam air tidak mencukupi kebutuhan biota budidaya, maka segala aktivitas biota akan terhambat. Kebutuhan oksigen pada ikan mempunyai kepentingan pada dua aspek, yaitu kebutuhan lingkungan bagi spesies tertentu dan kebutuhan konsumtif yang tergantung pada metabolisme ikan. Perbedaan kebutuhan oksigen dalam suatu lingkungan bagi ikan dari spesies tertentu disebabkan oleh adanya perbedaan struktur molekul sel darah ikan, yang mempengaruhi hubungan antara tekanan parsial oksigen dalam air dan derajat kejenuhan oksigen dalam dalam sel darah (Kordi dan Tancung, 2007).

2. Suhu

(15)

Perubahan suhu ini dampaknya akan tampak jelas terutama bila terjadi perubahan dari dingin ke panas. Dampak yang jelas terlihat adalah stress dengan gejala ikan berenang melonjak-lonjak, mengapung dan bernafas di permukaan, serta terjadi kematian bila hal tersebut berlangsung relatif lama. Kisaran suhu yang baik bagi kepentingan budidaya ikan adalah antara 25-32 0C. Kisaran suhu ini umumnya terjadi di daerah beriklim tropis, seperti Indonesia. Dengan demikian, Indonesia mempunyai kondisi yang menguntungkan untuk usaha budidaya ikan (Daelami, 2001). Suhu air mempengaruhi kelarutan oksigen. Kenaikan temperatur dapat menyebabkan menurunnya kelarutan oksigen di perairan. Apabila ikan mengalami kekurangan oksigen maka sistem fisiologis dalam tubuhnya tidak akan berfungsi dengan baik sehingga dapat menyebabkan stres (Sipahutar, dkk., 2013). 3. Derajat keasaman (pH)

Keadaan pH yang dapat mengganggu kehidupan ikan adalah pH yang terlalu rendah (sangat asam) atau sebaliknya terlalu tinggi (sangat basa). Setiap jenis ikan akan memperlihatkan respon yang berbeda terhadap perubahan pH dan dampak yang ditimbulkannya berbeda (Daelami, 2001).

4. Amoniak

(16)

Gambar

Tabel 1. Kualitas air yang optimal untuk ikan bawal air tawar  (Colossoma                Macropomum)

Referensi

Dokumen terkait

Lingkup pembahasan adalah hubungan hukum dalam penerbitan obligasi, bentuk perlindungan hukum dan upaya perlindungan yang dapat dilakukan oleh pemegang obligasi

Pasal 2 ayat (1), (2) dan (3) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2009 tentang Pedoman Tata Cara Penghitungan, Penganggaran dalam APBD, Pengajuan, Penyaluran, dan

Peraturan Kepala BKPM RI Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal. Peraturan Kepala BKPM Nomor 15 Tahun 2015 tentang Pedoman dan Tata Cara

In this method, the handheld devices using GPS technology to provide the location of the users, e.g., smart phone, is used as the positioning equipment; an emergency

Dalam tugas akhir ini akan dilakukan perancangan bejana tekan vertikal dan simulasi pembebanan eksentrik pada nozzle dengan studi kasus pada separator kluster

prestasi belajar siswa MI Darussalam Ngentrong Tulungagung. : Tidak ada pengaruh media audio visual terhadap motivasi dan. prestasi belajar siswa MI Darussalam Ngentrong

setelah dilakukan pengurangan karyawan rata-rata beban kerja menjadi 94.89% dengan jumlah karyawan yang optimal adalah 3 orang.. Pada

Skripsi berjudul Studi Buta Warna pada Siswa Sekolah Dasar di Kecamatan Kaliwates Kabupaten Jember, telah diuji dan disahkan Oleh Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan