BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Kerajaan Aceh adalah Kerajaan Islam yang berdiri pada awal abad ke-XVI. Kerajaan Aceh merupakan hasil dari penyatuan kerajaan-kerajaan kecil dari pantai Utara hingga Barat Aceh1. Kerajaan Aceh juga termasuk ke dalam lima besar kerajaan Islam pada masa itu. Yaitu, Kerajaan Turki Usmaniyah di Istanbul, Kerajaan Islam Maroko di Afrika Utara, Kerajaan Islam Isfaham di Timur
Tengah, Kerajaan Islam Ikra di India dan Kerajaan Aceh Darussalam di Asia
Tenggara2
Penguasa tertinggi di kerajaan Aceh adalah seorang sultan. Kerajaan Aceh
banyak mengalami kegemilangan, terlebih masa kepemimpinan Sultan Iskandar
Muda, antara lain berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan di pantai Timur dan
Barat Sumatera. Di bidang pemerintahan, usaha yang dilakukan oleh Sultan
Iskandar Muda antara lain membentuk unit-unit pemerintahan .
3
Unit pemerintahan terkecil adalah gampong
.
4
1
Ismail Sunny, Bunga Rampai Tentang Aceh, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1980, hlm. 31.
atau desa di Jawa yang dipimpin oleh seorang yang dinamakan keucik. Gabungan dari beberapa gampong disebut Mukim yang dipimpin oleh seorang yang dinamakan imeum mukim,
2
Ibid., hlm. 208. 3
K.F.H. Van Langen, Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 2002, hlm. 11.
4
sedangkan gabungan mukim disebut nanggroe/kenegerian5 yang dipimpin oleh seorang uleebalang6
Uleebalang juga disebut raja kecil, khusus di Aceh Besar
nanggroe-nanggroe ini digabungkan lagi dalam bentuk sagi/sagou .
7
. Uleebalang diangkat oleh Sultan melalui sarakata (surat pengangkatan) yang telah dibubuhi cap sikureung (cap sembilan)8
5
Dalam penelitian ini untuk istilah kenegerian penulis akan menggunakan kata nanggroe karena kata tersebut yang lebih sering digunakan rakyat Aceh untuk menyebut kenegerian.
. Sarakata berisi batas-batas daerah yang dipimpin dan pemberian kekuasaan yang sangat luas juga sebagai tanda bahwa mereka adalah wakil sultan di daerahnya masing-masing, serta sebagai tanda bahwa mereka
6
Sejauh ini pengertian uleebalang masih memunculkan beragam pendapat. (a). uleebalang adalah gelar yang diberikan kepada kepala atau panglima balatentara yang menunjukkan, bahwa dalam peperangan ia harus bertindak selaku kepala untuk memimpin pasukan-pasukan bersenjata di dalam daerah gabungan Mukimnya. Lihat K.F.H. Van Langen, Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 2002, hlm. 13. (b). Definisi lain mengenai uleebalang adalah yang dipertuan dinegeri masing-masing dan merupakan kepala wilayah par excellence, maka disebut Raja dari wilayah masing-masing. Snouck juga menambahkan makna uleebalang adalah panglima tentara. Lihat Snouck Hurgronje, Aceh Di Mata Kolonialis, Jakarta:Yayasan Soko Guru, 1985, hlm. 99. (c). Pendapat lain mengatakan uleebalang adalah kepala pemerintahan daerah sendiri otonom dan pemangku hukum adat di daerahnya. Dan beliau menyangkal pendapat yang mengatakan uleebalang adalah kepala laskar. Lihat A.K. Jakobi, Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949 Dan Peranan Teuku Hamid Azwar Sebagai Pejuang, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1998, hlm. 39. (d). Selain itu definisi uleebalang adalah penguasa lokal yang memerintah secara tradisional di Aceh hingga 1946. Lihat Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997, hlm. 540. Terlepas dari semua pendapat tersebut yang dimaksud penulis mengenai pengertian uleebalang di sini adalah sebagai kepala-pemimpin nanggroe yang otonom karena fungsi mereka selanjutnya bukan hanya sebagai panglima perang saja melainkan menjadi penguasa di segala bidang
7
Abdul Rani Usman, Sejarah Peradaban Aceh, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003, hlm. 44.
8
mengakui berada di bawah kekuasaan sultan. Namun tak jarang juga terdapat permusuhan antar sesama uleebalang mengenai batas daerah kekuasaannya dan juga mengenai merebut hati rakyatnya9
Sejarah terbentuknya uleebalang disusun berdasarkan adat meukuta alam, atau yang dikenal dengan sebutan adat poteumeureuhom pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636)
.
10
. Tugas utama uleebalang adalah (a) menjaga negeri/nanggroe. (b) menjalankan segala perintah sultan dalam penangkapan orang-orang yang ingkar akan keputusan hukum dan adat. (c) mengadakan laskar pertahanan negeri11
Pada masa kesultanan peran uleebalang sangat besar, misalnya dalam hal peperangan, perang penaklukan pada zaman Iskandar Muda yang menaklukkan Asahan, Johor dan Malaka dan juga perang-perang lainnya
.
12
. Uleebalang merupakan wakil sultan di negerinya masing-masing (nanggroe). Ketika seorang uleebalang meninggal dan Sultan mendengar kabar tersebut, maka Sultan mengirimkan uang sejumlah 30-40 real kepada ahli waris uleebalang guna untuk biaya pemakaman, kenduri dan lain sebagainya13
9
Ridwan Azward, Aksi Poh Kaphe, Atjeh Moorden Di Aceh, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi Dan Informasi Aceh, 2002, hlm. 41.
.
10
Bachtiar Aly, Dalam Seminar Hari Jadi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Yang Ke-36. Banda Aceh 1995.
11
H.M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara Jilid 1, Medan: Pustakan Iskandar Muda, 1961, hlm. 334.
12
Mansyur Amin, Kelompok Elite Dan Hubungan Sosial Dipedesaan, Jakarta: Pustaka Grafika Kita, 1988, hlm. 14.
13
Uleebalang mempunyai otoritas yang besar terhadap pengelolaan negerinya. Bahkan, uleebalang memonopoli hasil bumi seperti lada, beras dan pinang14. Uleebalang juga merupakan pemilik modal (peutua pangkai) yang meminjamkan uang kepada para petani (aneuk seunoubok) melalui perantara (peutua seuneubok)15
Uleebalang mendapatkan keuntungan dari fungsinya sebagai kepala adat.
Yaitu mereka mendapat hak 10% dari warisan yang dibagikan kepada yang berhak, mendapatkan satu ringgit dari setiap perahu yang memasuki sungai di wilayah kekuasaannya
yang dipercayai oleh uleebalang.
16
dan lain sebagainya. Dengan kedudukan semacam itu uleebalang mempunyai kekayaaan, seperti pada kasus uleebalang di Pidie yang
memiliki setengah persawahan dari luas sawah di daerah yang dipimpinnya17
“apabila orang Eropa membicarakan soal makanan maka mereka akan sangat heran karena sifatnya yang sederhana, mereka cukup makan sedikit nasi dan hampir setiap hari hanya makan nasi, mereka yang kaya (Orang kaya/uleebalang) makan dengan sedikit ikan dan sedikit sayuran dan memakai yang menyebabkan kedudukan ekonomi masyarakat dan uleebalang sangatlah timpang. Perbedaan yang terjadi antara rakyat dan uleebalang seperti yang digambarkan oleh Denys Lombard sebelum kedatangan Belanda
14
Anthony Reid, Sumatera Revolusi dan elite tradisional, Jakarta: Komunitas Bambu, 2012, hlm. 22.
15
Mansyur Amin, op.cit., hlm. 18. 16
Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah Perang Aceh 1873-1912, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987, hlm. 41.
17
sepotong kain sutera yang longgar di atas pundak sedangkan orang biasa telanjang dari pinggang ke atas18
Berbagai perbedaan kehidupan antara uleebalang dan rakyat terlihat semakin jauh berbeda setelah masuk pengaruh Belanda di Aceh. Gambaran kehidupan uleebalang setelah Belanda masuk dituliskan oleh Hamka dam bukunya Kenang-Kenangan Hidup “....Raja-raja (uleebalang) hidup dengan mewah, dengan kereta bagus, dengan rumah indah, memakai alat radio, hidup secara Belanda. Sedangkan rakyat Aceh sendiri karam dalam kebodohan, kekurangan pendidikan dan kemiskinan”. Sebagian uleebalang juga sudah menggunakan sendok dan garpu untuk makan, sedangkan sebelumnya menggunakan tangan
19
Kontak pertama antara orang Belanda dengan kerajaan Aceh terjadi pada 21 Juni 1599. Ketika sebuah kapal dagang Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman dan saudaranya Fredrick de Houtman tiba di pelabuhan Aceh dengan 2 buah kapal de leeuw dan de leeuwin20. Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan peperangan dengan Kerajaan Aceh21
18
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Jakarta: Balai Pustaka, 1986. Hlm. 68.
. Belum genap satu tahun Belanda memerangi Aceh, Belanda sudah mulai menyusun strateginya untuk
19
Munawiah, Birokrasi Kolonial di Aceh 1903-1942, Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2007, hlm. 158.
20
Antony Reid, 2012, op.cit., hlm. 23. 21
menaklukkan Aceh. Salah satunya dengan mengadakan hubungan dengan uleebalang. Hubungan ini dilakukan tepatnya mulai tahun 187422
Dengan cara membuat perjanjian dengan Belanda dan mengakui kedaulatan Belanda. Dengan demikian uleebalang tidak akan membantu sultan lagi dalam memerangi Belanda dan Aceh pun dengan mudahnya dapat ditaklukkan, kemudian uleebalang menjadi basis pengaruh Belanda di Aceh
.
23
.
Hal ini dilakukan juga karena Belanda menyadari bahwa uleebalang sebagai
sumber kekuatan perlawanan rakyat Aceh24
Secara tidak langsung dan lambat-laun, sebagai akibat dari hubungan
Belanda dengan uleebalang, maka uleebalang akan terpengaruh atau bahkan
mengikuti kehidupan Belanda. Misalnya, memasukkan anak-anak mereka ke lembaga sekolah milik pemerintahan Hindia-Belanda. Pada tahun 1900 beberapa
putra uleebalang dari Idi Rayeuk telah dikirim untuk mengikuti pendidikan di
Kuta Raja, sebagian dikirim ke Bukit Tinggi dan sebagian lagi ke Bandung .
25
Anak-anak yang bukan keturunan uleebalang menuntut ilmu masih secara
tradisional, seperti di dayah (pesantren) yang didirikan oleh ulama. Mereka yang
masih menganut nilai tradisi beranggapan dosa hukumnya jika mempelajari
huruf-huruf latin yang didapatkan di sekolah milik pemerintahan Hindia-Belanda.
Sebagian dari uleebalang juga telah membangun rumah yang besar, memiliki
.
Departemen pendidikan dan kebudayaan, op.cit., hlm. 102. 25
mobil bagus, memiliki pesawat radio, makan menggunakan sendok garpu,
biasanya masyarakat Aceh makan menggunakan tangan dan lain-lain26
Hal yang sama juga terjadi di nanggroe Samalanga. Masa pemerintahan Hindia-Belanda, keresidenan Aceh dibagi kedalam 5 afdeeling
.
27
. Kelima afdeeling dipecah lagi menjadi onderafdeeling yang terdiri dari beberapa nanggroe atau disebut dengan zelfbestuur. Nanggroe Samalanga berada dibawah
onderafdeeling Bireuen. Selain Samalanga, Jeumpa dan Peusangan juga
merupakan nanggroe dibawah onderafdeeling Bireuen yang berada di bawah Afdeeling Noordkust van Atjeh28
Uleebalang pertama yang mengepalai nanggroe Samalanga adalah Tun
Seri Lanang
.
29
, Tun Sri Lanang memerintah dari tahun 1615-165930. Beliau sangat berperan dalam kesejahteraan rakyat di nanggroe Samalanga, dengan cara mengembangkan perkebunan yang memang telah ia bangun sebelum dianggkat menjadi uleebalang Samalanga31
26
Ibid., hlm. 158.
. Pada masa pemerintahannya, ia berhasil menjadikan Samalanga sebagai pusat pengembangan Islam di kawasan Utara Aceh. Tun Sri Lanang juga dikenal sebagai pujangga Melayu karyanya yang terkenal adalah Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu).
27
Kruisheer A., Atjeh, Weltevreden: Visser en Co. 1913. Kelima afdeeling itu adalah Grooet Atjeh, Noordkust Van Atjeh, Oostkust Van Atjeh, Westkust Van Atjeh Dan Alaslanden, hlm. 282-296.
28
Ibid., hlm. 285. 29
Pocut Haslinda Syahrul, Tun Seri Lanang dan Terungkapnya Akar Sejarah Melayu Setelah Empat Abad, Jakarta: Pelita Hidup Insani, 2008, hlm. 93.
30
Ibid., hlm. 5. 31
Uleebalang Samalanga yang menandatangani perjanjian dengan Belanda
tahun 187732 adalah Teuku Chik Raja Bugis. Isi perjanjian itu antara lain: (a) saya menyatakan landschap Samalanga menjadi bagian dari wilayah dari Hindia-Belanda di bawah keagungan kerajaan Hindia-Belanda yang diwakili oleh Gubernur-Jenderal sebagai tuan yang sah. (b) saya akan memerintah negeri saya dengan kebenaran, menjaga perdamaian dan keamanan serta melindungi dan memajukan perdagangan, industri, pertanian dan pelayaran33
Setelah perjanjian tersebut banyak keistimewaan yang diberikan Belanda kepada uleebalang seperti mendapatkan gaji bulanan dari pemerintahan Hindia-Belanda. Dan mereka juga diberi otonomi dalam berdagang. Uleebalang di nanggroe Samalanga juga telah menjelma menjadi pengusaha, pada 1934
uleebalang Samalanga juga mendirikan pabrik penggilingan padi sebagai milik
pribadi
dan lain-lain.
34
Dalam kegiatan perdangangan, mereka menarik 5% dari ekspor dan impor barang seperti lada dan pinang. Ekspor dari Samalanga berkembang baik karena letak pelabuhannya strategis, hingga cukup menguntungkan keperluan tersebut
.
35
32
M. Nur El Ibrahimy, TGK. M. Daud Beureueh, Peranannya dalam Pergolakan di Aceh, Jakarta: Gunung Agung, 1982, hlm. 78.
. Hal ini membuat uleebalang sebagai penguasa mengalami keuntungan yang sangat besar dan pada akhirnya berpengaruh terhadap kehidupan mereka.
33
Overeenkomsten Met de Zelfbesturen In Het Gouvernement Atjeh En Onderhoorigheden, S.I: Departement van Binnenlandsch Bestuur. 1913. hlm. 1.
34
A.K. Jakobi, op.cit., hlm. 47. 35
Sama seperti tempat lain dalam menaklukkan nusantra bukan hanya di
Aceh sistem ini dijalankan oleh Belanda namun juga di Jawa, seperti yang
diuraikan Denys Lombard. Bahwa Belanda berusaha membina hubungan yang
baik dengan mereka (bangsawan), dengan mengangkat mereka menjadi pembantu
yang setia, para bangsawan ini akhirnya menjadi pendukung kepentingan
Belanda. Sebagai imbalan tertinggi, mereka terpengaruh sampai batas tertentu dan
mengikuti gaya hidup/ kebudayaan para penakluk mereka36
1.2. Rumusan Masalah
. Dari latar belakang
yang telah diuraikan di atas adapun permasalahan yang akan diungkapkan dalam
tulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kehidupan sosial uleebalang Samalanga 1873-1946?
2. Bagaimanakah akhir kedudukan uleebalang Samalanga?
1.3. Fokus Penelitian
Kajian tentang kehidupan uleebalang masih langka, namun studi tentang
Aceh relatif banyak, baik yang dikerjakan oleh sarjana luar negeri maupun sarjana
Aceh sendiri. Dengan banyaknya studi tentang Aceh tentunya menambah
khasanah kekayaan intelektual untuk menerangkan uleebalang, maka dalam
konteks ini penulis akan memfokuskan secara khusus pada penelitian kehidupan
sosial uleebalang di nanggroe Samalanga 1873-1946.
Tahun 1873 dipilih sebagai skope temporal sebagai awal berkuasanya
Belanda di Aceh, yang secara politik dan kultural menyebabkan pergeseran sistem
36
kehidupan uleebalang. Sementara tahun 1946 merupakan tahun berakhirnya
kekuasaan uleebalang di Aceh.
1.4. Tujuan Penelitian
1. Menganalisis kehidupan sosial uleebalang Samalanga 1873-1946
2. Menganalisis akhir kedudukan uleebalang Samalanga
1.5. Manfaat Penelitian
Mengingat studi mengenai kehidupan sosial uleebalang Samalanga sama
sekali belum ada yang meneliti. Tulisan ini diharapkan bisa menjadi koleksi bagi
para pembaca untuk memperkaya khasanah sumber penelitian mengenai
kehidupan sosial uleebalang di Aceh. Hasil kajian ini diharapkan juga bisa
menjadi acuan bagi peneliti selanjutnya mengenai kehidupan sosial uleebalang
Aceh.
1.6. Kajian Sebelumnya
Kajian terhadap uleebalang telah banyak dilakukan. Tapi, masih sedikit mengupas secara mendalam kehidupan uleebalang, mulai dari kehidupan keseharian, gaya hidup, pendidikan yang ditempuh dan lain-lain. Dalam kajian
tersebut hanya difokuskan pada uleebalang sebagai pemimpin adat ataupun
konflik antara uleebalang dan ulama.
Dari beberapa studi mengenai uleebalang, karya yang terkait dengan tema
ini adalah karya Gazali, Interelasi Umara dan Ulama Dalam Menata Kehidupan
Sosio Keagamaan Di Aceh Darussalam Era Sultan Iskandar Muda 1607-1636,
tradisional di Aceh. Yaitu, ulama dan uleebalang. Ulama merupakan pemimpin
dibidang kerohanian masyarakat Aceh. Banyak ulama Aceh mendirikan dan
sekaligus sebagai pengajar di lembaga pendidikan yang disebut dengan dayah
atau pesantern di Jawa. Ulama memiliki peran penting dalam perkembangan
masyarakat Aceh. Bahkan, di istanana pun ulama berperan sebagai penasihat
sultan dalam urusan agama.
Uleebalang memiliki peran dalam hal urusan duniawi. Seperti dalam
urusan perang maka tugas uleebalang lah yang menyediakan pasukan perang.
Dalam segala tindakannya uleebalang haruslah menurut keinginan sultan.
Kerjasama antara uleebalang dan ulama terlihat dari struktur pemimpin di Aceh.
Uleebalang sebagai pemimpin sebuah nanggroe dan ulama selaku imeum mukim.
Kedudukan ulama berada dibawah uleebalang.
Uraian ulama dan uleebalang diatas terbatas hanya pada zaman
pemerintahan Iskandar Muda. Atau zaman sebelum masuk pengaruh Belanda ke
Aceh. Namun, walau demikian studi ini dapat dijadikan rujukan dalam memahami
kedudukan uleebalang pada awal berdirinya.
Studi mengenai uleebalang pada zaman setelah kedatangan Belanda
pernah diteliti oleh Muhammad Gade Ismail, Seuneubok Lada, Uleebalang dan
Kumpeni, Perkembangan Sosial Ekonomi di Daerah Batas Aceh Timur
1840-1942, (disertasi belum terbit, 1991). Karya ini mengenai perkebunan lada di Aceh
Aceh Timur oleh seorang yang awalnya juga berasal dari masyarakat yang
kedudukannya sama dengan masyarakat yang lainnya.
Namun lambat laun kedudukannya berubah menjadi uleebalang di daerah
yang tadinya dibuka menjadi perkebunan telah memenuhi syarat untuk dijadikan
sebagai sebuah nanggroe. Tulisan ini juga mengkaji sistem perekonomian
uleebalang. Juga banyak membahas tentang konflik antar uleebalang yang
memperebutkan daerah kekuasaan, karena tidak ada tapal batas wilayah yang jelas
antara satu nanggroe dengan nanggroe yang lainnya.
Penetrasi kekuatan Hindia-Belanda terhadap Aceh Timur, menyebabkan
Belanda menguasai nanggroe-nanggroe di Aceh Timur secara politik dan
ekonomi. Cara yang digunakan Belanda menguasai nanggroe-nanggroe di luar
Aceh Besar termasuk juga Aceh Timur dilakukan dengan berbagai cara yaitu,
yang pertama dengan jalan diplomasi, blokade pantai dan menggunakan kekuatan
militer. Dalam hal ini Van Switen menggunakan cara penaklukkan dengan
mengadakan perjanjian tertulis dengan uleebalang Aceh Timur. Namun tidak
semua uleebalang menerima dengan sukarela semua perjanjian tersebut.
Uleebalang yang menerima kerjasama dengan Belanda memiliki tujuan
tertentu. Yaitu, demi politik ekonomi mereka. Jika mereka tidak mau bekerja
sama dengan Belanda secara tertulis, maka pantai di daerah kekuasaan mereka
akan di jaga ketat oleh Belanda, sehingga mereka tidak bisa mengekspor hasil
bumi mereka seperti lada. Hal-hal seperti inilah yang merupakan awal dari
Terkait dengan karya yang kedua, kajian lain adalah karya Munawiah,
Birokrasi Kolonial Di Aceh 1903-1942, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2007). Studi ini bertutur tentang uleebalang sebagai kepala nanggroe setelah jatuhnya
kerajaan Aceh. Setelah kerajaan Aceh jatuh maka uleebalang mempunyai otoritas
yang semakin mengakar dan semakin kuat terhadap daerah kekuasaannya. Karena
sesungguhnya daerah yang mereka kuasai itu sebelum ditaklukkan atau dilebur ke
dalam kerajaan Aceh merupakan daerah kekuasaan mereka secara sah.
Uleebalang tidak bekerja sendiri. Mereka bersekutu dengan pemerintah
Hindia Belanda dalam menjalankan kekuasaannya. Persekutuan ini yang membuat
uleebalang semakin dianggap oleh rakyat sebagai antek-antek Belanda, karena
setelah Belanda mulai menguasai pantai-pantai di luar Aceh Besar, Belanda tidak
serta-merta menghancurkan kepemimpinan tradisional yang telah ada, karena
uleebalang merupakan kaki tangan Belanda dalam menjalankan roda
pemerintahannya di Aceh.
Tujuan utama Belanda memasukkan kalangan uleebalang ke dalam
struktur pemerintahan kolonial melalui pendidikan. Selain karena program politik
etis, juga untuk tujuan agar muncul kalangan elite baru yang menganut sistem
nilai Belanda. Artinya mereka akan terpengaruh oleh kehidupan dan
kebiasaan-kebiasaan yang dijalankan Belanda, dalam berbagai hal yang mereka anggap
sebagai sesuatu yang modern dan merupakan sebuah kemajuan.
Melalui uleebalang juga sedikit demi sedikit memberikan penjelasan
pendidikan yang mereka berikan tidak bertentangan dengan hukum atau syari’at
Islam. Kajian seperti ini sangat dibutuhkan penulis dalam mengurai perubahan
atau pengaruh Barat yang terjadi di nanggroe Samalanga.
Studi berikutnya, yaitu yang membahas tentang uleebalang di nanggroe
Samalanga yang terdapat dalam buku karya Sudirman. Bireuen Kota Juang
1945-1949 (Banda Aceh: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Aceh, 2010).
Studi ini menggambarkan keadaan Bireuen yang termasuk ke dalam Afdeeiling
Nordkust Van Atjeh masa pemerintahan Belanda dan juga Jepang.
Pada masa pemerintahan Jepang juga masih mengikuti pola pemerintahan
masa kekuasaan Belanda. Yaitu dengan menggunakan golongan uleebalang,
perbedaan hanya saja terletak pada unit pemerintahan yang dalam penyebutannya
menggunakan bahasa Jepang. Pada masa Belanda disebut dengan afdeeling
Jepang menggantinya dengan sebutan bunshu, onderafdeeling diganti dengan
sebutan gun.
Tulisan ini juga mengkaji nanggroe-nanggroe yang berada di
Onderafdeeling Bireuen, yaitu nanggroe Peusangan, Jeumpa dan nanggroe
Samalanga. Namun kajian ini diungkap secara umum saja dan juga tidak
membicarakan kehidupan para pemempin nanggroe-nanggroe tersebut.
Konsentrasi tulisan ini lebih terpusat pada masa perang kemerdekaan. Uleebalang
Samalanga yang berperan penting dalam perang kemerdekaan di Aceh Timur
adalah Teuku Hamid Azwar dan T. M. Samalanga, sama halnya seperti dalam
perang dan kepala suatu nanggroe saja tanpa mengupas kehidupan sosial
uleebalang.
Selain itu kajian yang lain yang mengulas mengenai nanggroe Samalanga
adalah karya Pocut Haslinda, Tun Sei Lanang dan Terungkapnya Akar Sejarah
Melayu Setelah Empat Abad. Penulis adalah keturunan ke-8 dari uleebalang
pertama di Samalanga. Beliau banyak mengupas tentang uleebalang Samalanga.
Namun, sangat disayangkan walaupun beliau berada dalam ranah kaum yang
berkuasa tersebut, beliau tidak sedikitpun menulis tentang kehidupan sosial
kelompoknya, dan hanya menulis dalam konteks uleebalang sebagai pemimpin
perang di nanggroe Samalanga.
Tulisan ini juga memberitakan uleebalang pertama yang berkuasa di
Samalanga yang berasal dari tanah melayu bernama Tun Sri Lanang. Tanah
Melayu ini sebagai daerah taklukan kerajaan Aceh masa pemerintahan sultan
Iskandar Muda. Politik yang dijalankan Iskandar Muda yang menyebabkan
banyak orang-orang melayu dipindahkan ke Aceh, istri dari Iskandar Muda juga
berasal dari tanah melayu, yaitu dari daerah Pahang. Yang di Aceh dikenal dengan
nama Putroe Phang. Inilah sebagai asal-usul uleebalang Samalanga yang
berkebangsaan Melayu.
Selain karya-karya di atas karya lain yang juga mengupas tentang
uleebalang yang bisa dijadikan acuan dalam kajian ini yaitu, karya Ibrahim
Alfian, Perang di Jalan Allah 1873-1912, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 1987).
Aceh. Secara umum juga mengupas partisipasi uleebalang dalam menghadapi
perang dengan Belanda. Misalnya menjadi pemimpin dalam mengadakan
perlawanan terhadap Belanda.
Buku ini juga menguraikan sistem pemerintahan tradisional di Aceh mulai
dari bentuk gampong hingga nanggroe. Khusus di Aceh Besar ditambah dengan
adanya bentuk atau unit pemerintahan yang dinamakan Sago. Masing-masing dari
semua unit pemerintahan tersebut memiliki pemimpinnya dan urutan terbesar dan
yang paling berkuasa adalah Sultan yang membawahi uleebalang, namun
uleebalang mempunyai otoritas yang sangat besar dalam wilayah pemerintahan
yang disebut nanggroe.
Dalam karya ini juga banyak dikisahkan kedudukan uleebalang sebagai
panglima perang. Namun, setelah dalam/kraton/istana dikuasai oleh Belanda.
Maka timbul keberagaman sikap dan perbuatan dari nanggroe-nanggroe yang
dipimpin oleh uleebalang. Di samping uleebalang yang turut melawan Belanda
terdapat juga uleebalang yang mengangkat bendera Belanda dengan masksud
supaya dalam menjalankan ekspor-impor tidak mendapat gangguan. Demikianlah
gambaran dalam buku tersebut dengan tidak sedikitpun mengkaji gaya hidup
uleebalang.
Terakhir studi yang terkait dengan tema ini adalah karya K.F.H Van
Langen, Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan (Banda Aceh: Pusat
Dokumentasi dan Informasi Aceh, 2002). Karya ini menjelaskan secara rinci
pusat pemerintahan kerajaan Aceh. Sistem pemerintahan masa kesultanan Aceh
relatif hirarkis dengan kekuasaan terbesar berada di tangan sultan. Dimana Aceh
besar dibagi kepada tiga sagi/sagoe37
Mengenai pengangkatan dan pergantian uleebalang juga dijelaskan disini.
Sedikit banyaknya semua yang berlaku di Aceh Besar juga berlaku di seluruh
daerah Aceh dan bisa dijadikan penulis sebagai dasar untuk meneliti uleebalang
di nanggroe Samalanga, selain menguraikan uleebalang Langen juga
menguraikan pemimpin yang lain yaitu pemimpin keagamaan atau disebut dengan
ulama.
yang dipimpin oleh panglima sagoe.
1.7. Landasan Teoritis dan Pendekatan
Penelitian ini selain memakai ilmu sejarah juga memakai pendekatan
antropologi dan juga sosiologi. Pendekatan antropologi diperlukan karena
pendekatan ini dapat menyingkap nilai-nilai yang mendasari prilaku tokoh
sejarah, status dan gaya hidup, sistem kepercayaan yang mendasari pola hidup dan
lain sebagainya38
Ditinjau secara sosiologis, kehidupan sosial berlangsung dalam suatu
wadah yang disebut masyarakat .
39
37
Sagi/sagoe merupakan federasi dari beberapa mukim dan sebutan ini khusus hanya untuk daerah Aceh Besar
. Pandangan ini selain menunjuk pada suatu
satuan masyarakat yang besar, misalnya masyarakat desa, masyarakat kota atau
38
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993, hlm. 4.
39
masyarakat Indonesia. Dan di sisi lain, juga bisa menunjuk pada satuan
masyarakat yang kecil, misalnya keluarga, sekolah, organisasi dan lain-lain.
Menurut Talcott Parsons, kehidupan sosial itu harus dipandang sebagai
sebuah sistem sosial40. Artinya, kehidupan tersebut harus dilihat sebagai suatu
keseluruhan atau totalitas dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling
berhubungan satu sama lain, saling tergantung dan berada dalam suatu kesatuan.
Dan kemudian akan tumbuh hubungan timbal balik antar individu dan antar
kelompok atau sebaliknya41
Kehidupan sosial juga diartikan sebagai suatu sistem. Maka, kehidupan
tersebut diibaratkan sebagai suatu lingkaran yang mencakup pada tiga bidang.
Yaitu: bidang politik, ekonomi dan sosial. Di dalam bidang sosial tersebut,
termasuk bidang pendidikan, kesehatan dan lain-lain yang tidak dapat dimasukkan
kedalam bidang politik dan ekonomi .
42
. Kehidupan sosial juga didefenisikan
sebagai interaksi sosial. Interaksi sosial hanya akan terjadi apabila terdapat kontak
sosial dan komunikasi43. Proses interaksi sosial akan menimbulkan
kelompok-kelompok sosial, kebudayaan, lembaga-lembaga sosial, stratifikasi sosial,
kekuasaan dan wewenang44
40
Ibid., 124
.
41
Soerjono Soekanto, Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat, Jakarta: Raja Grafindo Persada 1993, hlm. 45.
42
Ibid., hlm. 46. 43
Zainul Pelly, Sosiologi, Medan: Fakultas Hukun Universitas Sumatera Utara: 1985, hlm. 77.
44
Masyarakat sebagai wadah dari sistem kehidupan sosial bersifat dinamis.
Artinya unsur-unsur dalam kehidupan sering berubah-ubah. More (1967), dalam
(J. Dwi Narwoko) berpendapat, perubahan sosial sebagai suatu perubahan penting
dalam struktur sosial, pola-pola perilaku dan sistem interaksi sosial, termasuk
didalamnya perubahan norma, nilai dan fenomena kultural45. (Herbert spencer,
Agust Comte dan emile durkhem) berpendapat bahwa, pada dasarnya setiap
masyarakat, walau secara lambat laun pasti akan bergerak, berkembang dan
akhirnya berubah dari struktur sosial yang sederhana menuju ke yang lebih
kompleks maju dan modern46
Kehidupan sosial yang tergambar pada masyarakat Samalanga, merupakan
sistem sosial yang saling berkaitan antara politik sosial dan ekonomi. Hubungan
timbal balik tersebut terjalin antar berbagai kelompok, individu dan juga golongan
penguasa. Agar dapat memenuhi kebutuhan hidup, maka antar kelompok saling
ketergantungan. Kelompok masyarakat yang memiliki mata pencarian sebagai
nelayan memiliki hubungan ekonomi dengan masyarakat yang berladang.
. Penyebab terjadinya perubahan sosial antara
lainmekanisme konflik, adanya elite kreatif, kekuatan internal/eksternal dan
lain-lain.
Nelayan yang menghasilkan ikan akan menjual hasil tangkapannya kepada
masyarakat yang membutuhkan ikan. Begitu juga sebaliknya, beras yang
merupakan hasil ladang akan dijual kepada nelayan. Hubungan timbal balik antar
sesama masyarakat juga terbangun dalam bidang lain. Seperti, gotong royong
45
J. Dwi Narwoko, op.cit., hlm. 362. 46
mengerjakan/menggarap ladang, gotong royong membangun tempat tinggal
(rumah), juga dalam upacara adat (kenduri) dan lain sebagainya. Hubungan sosial
seperti ini diatur dalam hukum dan adat Aceh47
Uleebalang merupakan elit tradisional Aceh yang memimpin secara turun
temurun. Lester G. Seligman dalam buku Elite dan Modernisasi mengatakan bahwa di dalam sistem yang sangat tradisional seperti Yaman dan Arab Saudi faktor-faktor yang sedemikian ascriptif seperti hubungan kekeluargaan dan tata urutannya menjadi syarat untuk memerintah dan melegitimasi seleksi suatu peranan
. Hubungan timbal balik juga
terjadi antara masyarakat dan penguasa, yaitu uleebalang.
48
Sejalan dengan hal di atas pada masyarakat tradisional terdapat hubungan patron-client yang menempatkan seorang pemimpin sebagai patron dan client.
Hubungan patron-client bersifat tradisional dan biasanya bersifat konservatif dan loyal
. Hal ini terbukti pada sistem pada pemerintahan uleebalang secara turun-menurun. Jika seorang uleebalang meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh anak sulungnya (laki-laki). Begitu juga seterusnya hingga anak cucu.
49
47
Muhammad Husen, Adat Aceh, Banda Aceh: Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1970. hlm. 116.
. Dalam studi ini uleebalang dianggap sebagai patron dan rakyat sebagai client. Rakyat menambatkan loyalitasnya kepada uleebalang dan acap kali
masyarakat Aceh bergotong-royong mengerjakan pekerjaan pribadi uleebalang (di
48
Lester G. Seligman, Elit dan Modernisasi, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1989, hlm. 20.
49
luar tugasnya sebagai pemimpin adat). Seperti mengerjakan/membajak sawah pribadi milik uleebalang50
Sebagai client rakyat tidak bisa menolak semua perintah uleebalang. Karena mereka menganggap bahwa uleebalang adalah pemimpinnya dan harus memenuhi segala keinginannya. Di dalam tradisi Jawa klasik dikenal dengan hubungan kawula-gusti yang merupakan suatu ikatan antara perintah dan kepatuhan tanpa syarat
dan membuat pagar rumah uleebalang.
51
. Hubungan patron-client juga tergambar pada loyalitas masyarakat Jawa terhadap raja bagaikan anak panah dan si pemanah52
Hubungan sosial lainnya juga terbangun antara masyarakat dan uleebalang. Seseorang yang bisa mendapatkan kedudukan sebagai uleebalang juga tidak terlepas dari dukungan rakyatnya. Uleebalang yang dianggap sukses dan berhasil adalah uleebalang yang memiliki banyak pengikut. Uleebalang juga memerlukan rakyatnya untuk membantunya menyelesaikan tugasnya sebagai pemimpin, uleebalang akan menunjuk beberapa orang sebagai perwakilannya pada tingkat gampong dan mukim.
. Yang si pemanah bebas memanahkan anak panah kearah yang dikehendakinya.
Hubungan sosial lainnya yang erat antara uleebalang dan rakyat adalah pada sistem ekonomi. Masyarakat Samalanga yang menggantungkan hidupnya pada sawah-sawah yang terdapat di Samalanga, memiliki kewajiban untuk
50
Antony Reid, 2012, op.cit., hlm. 23. 51
Heater Sutherland, Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi, Jakarta: Sinar Harapan, 1983, hlm. 76.
52
memberikan pajak sawahnya kepada uleebalang, jika tidak maka mereka tidak diberikan izin untuk menggarap dan mengerjakan sawah. Dan disisi lain, uleebalang juga bergantung kepada pajak yang diberikan oleh rakyatnya. Karena
banyak orang yang menggantungkan hidupnya pada uleebalang. seperti janda-janda, fakir-miskin, yatim-piatu dan juga para musafir yang tinggal (menumpang) di kediaman uleebalang.
Selain sebagai pemimpin tradisional yang memiliki hak keistimewaannya sebagai pemangku adat, uleebalang juga sebagai seorang pengusaha di nanggroe-nya masing-masing. Segala sektor perekonomian dikuasai oleh uleebalang, seperti
ekpor-impor barang, penjualan hasil bumi (lada dan pinang) dan berbagai kegitan lainnya yang mendatangkan hasil bagi uleebalang. Dan dapat disimpulkan bahwa golongan uleebalang adalah golongan yang memiliki tingkat ekonomi yang paling tinggi pada masing-masing nanggroe-nya.
Uleebalang yang memiliki tingkat ekonomi yang lebih tinggi dari pada masyarakatnya membuat mereka memiliki kehidupan yang lebih mewah dari pada masyarakatnya. Sebagai golongan penguasa, mereka juga mudah mengakses hal-hal yang dianggap baru dan dengan mudah mereka bisa mengaplikasikan hal-hal baru tersebut ke dalam kehidupannya. Pendidikan misalnya, golongan uleebalang memberikan pendidikan yang lebih modern kepada putra-putrinya. Yaitu sekolah modern yang didirikan oleh pemerintahan Hindia-Belanda.
bidang politik dan ekonomi. Setelah Belanda berkuasa di Samalanga, Belanda mulai merubah sistem pemerintahannya dan mengikut sertakan uleebalang sebagai bagian dari pemerintahan Hindia-Belanda. Dalam sistem pemerintahan yang baru, uleebalang tidak memiliki kewajiban yang penuh lagi terhadadap Sultan Aceh.
Sistem ekonomi dibenahi oleh pemerintah Hindia-Belanda. Mereka mendirikan kas-kas keuangan pada beberapa onderafdeling, dan mewajibkan kepada setiap uleebalang untuk bekerja sama mengelola hasil bumi dari nanggroe-nya. Uleebalang akan diberika gaji oleh pemerintah Hindia Belanda setiap bulan. Sarana dan prasarana yang menunjang tujuan pemerintah Hindia-Belanda juga mulai di bagun di Aceh dan juga di Samalanga.
Perubahan bukan hanya terjadi pada bidang politik dan ekonomi saja. Namun, terjadi juga pada kehidupan pribadi atau tatanan hidup uleebalang. misalnya, uleebalang Samalanga memiliki rumah yang berbentuk seperti rumah orang-orang Belanda. bukan seperti rumah panggung atau rumah adat Aceh. perabotan-perabotan di dalam rumah uleebalang Samalanga juga menyerupai perabotan orang-orang Belanda, yang terdiri dari lampu hias, bangku, meja dan lain sebagainya.
menaiki sepeda untuk sekedar bermain-main dengan anak-anak lain yang seusianya.
Pada dasarnya perubahan sosial yang terjadi pada kalangan uleebalang berpengaruh positif bagi perkembangan masyarakat Aceh secara umum. Namun, di sisi lain masyarakat menganggap bahwa budaya yang baru dan modern itu akan menghilangkan adat istiadat dan budaya bangsa Aceh. Dengan demikian penjelasan teoritikal di atas dapat digunakan menganalisa kehidupan sosial
uleebalang di Samalanga.
1.8. Metodelogi Penelitian
Metode penelitian yang digunakan untuk menyelesaikan tulisan ini yaitu
menggunakan metode sejarah. Terdiri dari heuristik, kritik atau verifikasi,
interpretasi atau penafsiran dan historiografi53. Heuristik yaitu tahap sebagai
pengumpulan data yang dikumpulkan oleh penulis dari berbagai tempat. Sumber
data penelitian terbagi kepada dua yaitu sumber primer dan sumber sekunder54
Sumber-sumber primer diperoleh oleh peneliti dari Arsip Nasional
Republik Indonesia. Dari penelusuran sumber arsip dan dokumen, penelitian ini
menempatkan tulisan berikut sebagai sumber primer. Antara lain: Memori van
Overgave (MvO) dari Jongejans: Land en Volk van Atjeh Vroeger en Nu. MvO
tersebut menjelaskan keadaan Aceh secara umum. Misalnya pendidikan,
perkebunan, sistem keagamaan dan juga pemerintahan tradisional yang dikuasai .
53
Sugeng Priyadi, Sejarah Lokal, Konsep Metode dan Tantangannya, Yogyakarta: Ombak, 2012, hlm. 67.
54
oleh uleebalang.Tulisan di atas menarasikan keadaan seluruh Aceh, dan juga
termasuk Samalanga. Sehingga tulisan ini dapat dijadikan rujukan dalam menulis
mengenai kehidupan sosial uleebalang Samalanga.
De Expeditie Naar Samalanga, tulisan tersebut memberikan informasi
mengenai penaklukan Samalanga. Kemudian menggambarka peranan uleebalang
sebagai pemimpin dan juga sebagai komando pasukan perang. Uleebalang
Samalanga mampu mengatur pasukan perang Samalanga tidak terlepas dari
kerjasama uleebalang dengan ulama Samalanga. Keduanya mampu bekerjasama
melawan kolonial Belanda.
Algemeene Secretarie Grote Bundel No. 2431 dan No.8850 memberikan
informasi mengenai kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh uleebalang
Samalanga. Atjeh Zaken No. 01168, 01242 dan 01942 juga menginformasikan
mengenai keadaan uleebalang Samalanga. Overeenkomsten Met De Zelfbesturen
In Het Gouvernement Atjeh En Onderhoorigheden. Tulisan ini merupakan
penjelasan tentang kerajaan-kerajaan kecil atau Nanggroe di Aceh yang mengadakan perjanjian dengan pihak Belanda.
Julius Jacob, Het Familie En Kampongleven Op GrootAtjeh: Eene Bijdrage Tot De Ethnografie Vaan Noord Sumatra. Tulisan ini menguraikan
tentang keluarga dan kehidupan di kampung atau desa. Dan cukup lengkap mengupas tentang kebiasaan atau adat orang Aceh dan juga karakter orang Aceh, yang dianggap bisa memberikan membantu sedikit jawaban terhadap isu penelitian penulis.
J. J. W. E. Verstege, De Samalangan-Schilderij Te Amsterdam: Beschouwd In Hare Wordingsgeschhiedenis, Hare Warden En Betekenis, Vooral
Voor Het Nederlandsch-Indische Leger. Doup. A. Generaal J.B Van Heutsz In
1900-1901, Peusangan, Samalanga, Bateeilek. Atjeh: Verzameling Van Bulletins
Loopende Van 13 April 1873 Tot 27 Februari 1880. Ketiga sumber ini berisi
tentang peranan uleebalang dalam peristiwa penaklukan yang dilakukan oleh pihak Belanda terhadap benteng-benteng yang berada di sekitar kenegerian Samalanga.
Mededeelingen Betreffende De Atjehsche Onderhoorigheden, tulisan ini
banyak menginformasikan tentang silsilah keluarga uleebalang yang memimpin di Samalanga. Perselisihan antara keluarga uleebalang, dimana di antara kerabat dekat uleebalang Samalanga saling memperebutkan kepemimpinan mukim yang berada di bawah kekuasaan nanggroe Samalanga, bahkan untuk mendapatkan mukim yang diinginkan, jalan kerjasama dengan Belanda pun terpaksa ditempuh.
Selain sumber-sumber primer, penulis juga memerlukan sumber sekunder,
sekunder dikumpulkan oleh penulis dengan mengunjungi beberapa perpustakaan
seperti: Perpustakaan Tengku Luckman Sinar, Perpustakaan Universitas Sumatera
Utara, Perpustakaan Kota Medan, Perpustakaan Ali-Hasjmy, Badan Pelestarian
Sejarah dan Nilai Tradisional Aceh, Pusat dokumentasi Dan Informasi Aceh.
Sumber yang diperoleh berupa buku, koran, jurnal dan lain sebagainya.
Buku-buku yang penulis temukan dari beberapa tempat diatas antara lain:
karya Van ‘T Veer, Paul. Perang Aceh Kisah Kegagalan Snouck Hurgronye,
Jakarta: Grafiti. Gade Ismail, Muhammad. Seuneubok Lada, Uleebalang dan
Kumpeni, Perkembangan Sosial Ekonomi di Daerah Batas Aceh Timur
1840-1942. A. K. Jakobi. Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi
Kemerdekaan 1945-1949 Dan Peranan Teuku Hamid Azwsar Sebagai Pejuang,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan buku-buku lainnya yang memberikan informasi mengenai uleebalang. Selain buku tersebut, masih banyak lagi buku-buku lainnya yang bisa membantu penulis menyempurnakan penelitian ini.
Di samping sumber primer dan sekunder, penelitian ini juga melakukan
studi lapangan dengan tekhnik wawancara. Wawancara merupakan tekhnik
pengumpulan data dengan menggunakan pertanyaan secara lisan kepada subyek
penelitian55
55
Ibid., hlm. 171.
. Wawancara dilakukan kepada tiga orang keturunan uleebalang
Samalanga. Informasi yang didapatkan dari wawancara ini antara lain: uleebalang
memiliki rumah khas Aceh dan juga rumah yang berbentuk sama dengan rumah
milik orang-orang Belanda. silsilah keluarga uleebalang juga penulis dapatkan
Setelah data dan sumber telah terkumpul, maka tahap selanjutnya adalah
melakukan kritik terhadap kumpulan sumber tersebut. Kritik terbagi ke dalam dua
bagian, yaitu kritik interen dan kritik eksteren. Kritik eksteren merupakan
aktivitas untuk menganalisis sumber yang berkenaan dengan judul dan
mempertanyakan keotentikan sumber56
Selanjutnya, kritik interen yaitu mencermati sumber dengan
membandingkan dengan sumber atau dengan data yang lain dan selanjutnya
mempertanyakan kredibilitas sumber
. Sejauh analisa yang dilakukan oleh
penulis terhadap sumber-sumber yang telah diperoleh, penulis menyimpulkan
bahwa sumber tersebut cukup kuat untuk dijadikan sumber penulisan.
57
1.9. Sistematika Penulisan
. tahap selanjutnya yaitu Historiografi.
Merupakan penulisan sejarah dari sumber-sumber yang telah dikumpulkan.
Penulisan dilakukan secara sistematis, sesuai dengan teori-teori penulisan ilmiah.
Keseluruhan tulisan ini akan dirangkai kedalam beberapa bagian sebagai berikut:
Hasil penelitian ini disusun ke dalam enam (6) bab. Bab 1 merupakan pendahuluan, latar belakang masalah, rumusan masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian sebelumnya, landasan teoritis dan
pendekatan dan metodelogi penelitian.
Bab II akan menjelaskan mengenai kondisi Samalanga pada masa
kerajaan, baik itu mengenai geografi dan demografi. Sistem pemerintahan juga
dibahas dalam bab ini. Mengingat Samalanga adalah salah satu daerah yang telah
56
Sugeng Priyadi, op.cit., hlm. 68. 57
dijadikan sebagai bagian dari kerajaan Aceh, Samalanga sebuah nanggroe yang
dipimpin oleh seorang uleebalang, maka sosial ekonomi dan juga simbol-simbol
yang melekat pada uleebalang juga perlu kiranya dibahas.
Bab III akan mengkaji tentang awal Belanda memasuki daerah Samalanga,
Belanda menggunkan cara blokade pantai dan juga dengan cara peperangan.
Hingga akhirnya uleebalang menyerah dengan menandatangani perjanjian
mengakui kedaulatan Belanda, kemudian Belanda mulai merubah sistem
pemerintahan di Aceh dan juga membangun sarana prasarana, yang akhirnya akan
mempengaruhi kehidupan uleebalang.
Bab IV akan mengkaji kehidupan uleebalang Samalanga dan juga
keturunannya. Mulai dari pendidikan yang diberikan uleebalang kepada
putera-puterinya, dan juga bagaimanakah rumah tinggal uleebalang, setelah Belanda
masuk, dan segala kebiasan-kebiasaa uleebalang setiap harinya, karena
sesungguhnya uleebalanglah yang ikut dalam arus modernisasi yang dibawa oleh
Belanda.
Bab V akan mengkaji mengenai akhir dari kepemimpinan uleebalang di
Aceh. Dimulai dari hubungan antara uleebalang dan ulama yang berselisih, dan
karena uleebalang sudah memimpin secara tidak adil dan menyakiti hati
rakyatnya, hingga akhirnya kekuasaannya pun diturunkan hingga pengurusan
Bab VI merupakan bagian terakhir yang akan menyimpulkan hasil
penelitian tesis dan akan menjawab semua permasalahan pada rumusan masalah