• Tidak ada hasil yang ditemukan

Etika Komunikasi Di Ruang Publik : Kajian Tentang Cyberharassment Di Jejaring Sosial Path

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Etika Komunikasi Di Ruang Publik : Kajian Tentang Cyberharassment Di Jejaring Sosial Path"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERSPEKTIF/PARADIGMA PENELITIAN

2.1 Paradigma Penelitian

Manusia memiliki paradigma tersendiri dalam memaknai sebuah realitas. Pengertian paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahahami kompleksitas dunia nyata. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut ddan praktisinya. Paradigma menunjukkan sesuatu yang penting, absah, dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan kepada praktisinya apa yang harus dilakukantanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau epistemologis yang panjang (Mulyana, 2003:9).

Paradigma pada wilayah riset penelitian sebenarnya merupakan seperangkat konstruksi cara pandang dalam menetapkan nilai-nilai dan tujuan

penelitian. Meskipun tidak bisa disetarakan dengan seperangkat teori semata, paradigma memberikan arah tentang bagaimana pengetahuan harus didapat dan

teori-teori apa yang seharusnya digunakan dalam sebuah penelitian. Paradigma bisa juga berarti sebuah ideologi berpikir dan sekaligus praktek sekelompok komunitas orang yang menganut suatu pandangan yang sama atas realitas, mereka memiliki seperangkat aturan dan kriteria yang sama untuk menilai aktivitas penelitian dan sekaligus mengguanakan metode yang serupa (Narwaya, 2006:108).

Pada hakikatnya, paradigma memberikan batasan-batasan tertentu apa yang harus dikerjakan, dipilih, dan di prioritaskan dalam sebuah penelitian. Pada aspek lain, paradigma akan memberi rambu-rambu tentang apa yang harus dihindari dan tidak digunakan dalam sebuah penelitian (Nasrwaya, 2006:109).

(2)

Konstruktivisme tidak bertujuan mengerti realitas, tapi hendak melihat bagaimana kita menjadi tahu akan sesuatu. Boleh juga dikatakan bahwa “realitas” bagi konstruktivisme tidak pernah ada secra terpisah dari pengamat.

Pengamat mengetahui bukan realitas yang berdiri sendiri, melainkan kenyataan sejauh dipahami oleh yang menangkapnya. Menurut Saphiro, ada banyak benyak kenyataan dan masing-masing terbentuk pada kerangka dan

interksi pengamat dan objek yang diamati (Ardianto, 2007:80).

Manusia pada hakekatnya adalah makhluk yamg selalu berinteraksi dengan manusia lainnya. Terkadang manusia ketika interaksi sosialnya disadari maupun tidak sering menampakkan fenomena-fenomena yang berupa simbol-simbol dan mempunyai banyak pemaknaan yang beragam antar individu. Fenomena berupa simbol-simbol dapat ditangkap dan dimaknai di masyarakat merupakan refleksi dari fenomena interaksionisme simbolis. Pemaknaan tersebut didasarkan pada pemaknaan atas seusatu yang dihadapinya lewat proses yang disebut self-indication. Proses self-indication adalah proses komunikasi pada diri individu yang dimulai dari mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna tersebut.

Dalam konsep kajian komunikasi, teori konstruksi sosial bisa disebut berada diantara teori fakta sosial dan defenisi sosial. Dalam teori fakta sosial struktur sosial yang eksislah yang penting. Manusia adalah produk dari masyarakat. Tindakan dan persepsi manusia ditentukan oleh struktur yang ada dalam masyarakat. Institusional, norma, struktur, dan lembaga sosial menentukan

individu manusia. Sebaliknya adalah teori defenisi sosial, manusialah yang membentuk masyarakat. Manusia digambarkan sebagai identitas yang otonom.

Melakukan pemaknaan dan membentuk masyarakat, menyusun institusi dan norma yang ada. Teori kontruksi sosial berada diantara keduanya (Eriyanto 2004:13).

(3)

penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak diluar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya dimana individu melalui respon-respon terhadap stimulus dalam dunia kognitifnya. Dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang realtif bebas di dalam dunia sosialnya.

Pandangan konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang memisahkan subjek dari objek komunikasi. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilhat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai pengumpan pesan. Positivime meyakini bahwa pengetahuan harus merupakan representasi ( gambaran atau ungkapan ) dari kenyataan dunia yang terlepas pengamat ( objektivisme ). Pengetahuan dianggap sebagai kumpulan fakta. Konstruktivisme menegaskan bahwa pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar mengerti. Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah konstruksi kita sendiri. ( Ardianto, 2007 : 154 )

Manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak diluar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya dimana individu berasal. Manusia secara aktif dan kreatif mengembangkan dirinya melalui respons-respons terhadap stimulus dalam dunia kognitifnya. Karena itu paradigma defenisi sosial tertarik terhadap apa yang ada dalam pemikirn manusia tentang proses sosial, terutama para pengikut interaksi simbolik. Dalam proses sosial, individu manusia

dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya ( Bungin, 2003 : 3 ).

(4)

kesemuanya itu tercakup dalam fakta sosial yaitu tindakan yang menggambarkan struktur dan pranata sosialnya ( Bungin, 2003 : 2 ).

Menurut Hidayat dalam perspektif ontologi paradigma kontruktivitas, realitas merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial ( Bungin, 2003 : 3 ).

Konstruktivisme diihat sebagai sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia reaitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang disekitarnya. Individu kemudian membangun sendiri pengetahuan yang sudah ada sebelumnya, yang oleh Piager disebut dengan skema/skemata. Dan konstruksi semacam inilah yang oleh Peter L. Berger dan Luckman, disebut dengan kontruksi sosial ( Bungin, 2008 : 14 ).

2.2 Kajian Penelitian

Setiap Penelitian memerlukan kejelasan berfikir dalam memecahkan atau menyoroti masalah-masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang membuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti (Nawawi, 42: 2012). Teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, konstrak, definisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena (sosial) secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara konsep (Arif dkk, 14: 2001).

Fungsi teori dalam riset adalah membantu periset menerangkan fenomena sosial atau fenomena alami yang menjadi pusat perhatiannya (Krisyantono,

42:2008).

2.2.1 Komunikasi

(5)

Menurut Wilbur Schramm (1982), tanpa komunikasi tidak mungkin masyarakat terbentuk dan sebaliknya tanpa masyarakat tidak mungkin manusia mengembangkan komunikasi. (Cangara, 1998:1-2).

Menurut Harold D. Lasswell ada 3 penyebab mengapa manusia perlu berkomunikasi, yaitu :

 Hasrat manusia untuk mengontrol lingkungannya. Melalui komunikasi

manusia dapat mengetahui peluang-peluang yang ada untuk dimanfaatkan, dipelihara dan menghindar pada hal-hal yang mengancam sekitarnya. Melalui komunikasi manusia dapat mengetahui suatu kejadian atau peristiwa. Bahkan, melalui komunikasi manusia dapat mengembangkan pengetahuannya, yakni belajar dari pengalamannya maupun informasi yang mereka terima dari lingkungannya.

 Upaya manusia untuk berdaptasi dengan lingkungannya. Proses kelanjutan

suatu masyarakat sesungguhnya bergantung bagaimana masyarakat itu bisa beradaptasi dengan lingkungannya. Penyesuaian disini bukan saja

terletak pada kemampuan manusia memberi tanggapan terhadap gejala alam seperti, banjir, gempa bumi, dan musim yang mempengaruhi perilaku manusia, tetapi juga lingkungan masyarakat tempat manusia hidup dalam tantangan. Dalam lingkungan seperti ini diperlukan penyesuaian, agar manusia dapat hidup dalam suasana yang harmonis.

 Upaya untuk melakukan transformasi warisan sosialisasi. Suatu

masyarakat yang ingin mempertahankan keberadaannya, maka anggota masyarakatnya dituntut untuk melakukan pertukaran nilai, perilaku, dan peranan. Misalnya bagaimana orangtua mengajarkan tata krama

bermasyarakat yang baik kepada anaknya. Bagaimana media massa menyalurkan hati nurani khalayaknya, dan bagaimana pemerintah dengan

kebijaksanaan yang dibuatnya untuk mengayomi kepentingan anggota masyarakat yang dilayaninya. (Cangara, 1998:2-3)

(6)

berkomunikasi dengan baik akan memberi pengaruh langsung pada struktur keseimbangan seseorang dalam bermasyarakat.

Roger Fidler (2003), mengemukakan garis waktu (timeline) perkembangan jenis komunikasi manusia dari waktu ke waktu yang kemudian diistilahkan dengan „mediamorfosis‟, yaitu sebagai berikut :

 Mediamorfosis besar ke-I (komunikasi bahasa lisan)

Bukti-bukti fisik dari para arkeolog telah menunjukkan bahwa manusia telah memiliki kemampuan komunikasi lisan sejak 90000 tahun lalu, meskipun tidak ada catatan kapan ini berawal. Kemampuan manusia berkomunikasi lisan satu sama lain dibuktikan dengan data anatomis yang diambil dari tengkorak manusia pada saat itu. Selain itu, lukisan di dinding-dinding goa juga menunjukkan bahwa mereka juga ingin mencurahkan ide pikiran mereka kepada orang lain melalui gambar-gambar sederhana karena memang pada saat itu manusia belum mengenal aksara dan sistem bahasa.

 Mediamorfosis besar ke-II (komunikasi bahasa tulisan)

Cikal bakal tulisan telah ditemukan sejak 45 abad yang lalu oleh bangsa mesir, bangsa mesir awalnya membuat tulisan di kertas yang menggunakan daun papirus basah yang ditumbuk dan kemudian dikeringkan, baru setelah itu bangsa cina mengembangkan teknologi kertas.

Orang arab menggunakan kertas sebagai alat untuk menyebarkan agama Islam ke seluruh penjuru dunia kala itu. Baru setelah tahun 1440an Johann Gutenberg membuat mesin cetak yang menjadi awal perkembangan komunikasi manusia.

Pada 1890-1920 setelah dunia telah mengenal media cetak, jenis komunikasi massa ini amat diminati dan mencapai zaman keemasannya. Banyak perusahaan pers dunia bermunculan kala itu, para penguasa pun berlomba-lomba menggunakan media cetak sebagai alat propaganda yang ampuh, para pengusaha penerbitan besar dapat dengan mudah meggulingkan tokoh politik karena meraih dukungan rakyat melalui surat kabar yang mereka miliki.

(7)

perkembangan yang pesat sejak dimulainya televisi sebagai medium komunikasi yang paling lengkap, karena menggabungkan realitas lisan dan tulisan serta realitas visual yang lebih atraktif.

 Mediamorfosis besar ke III (komunikasi bahasa digital)

Saat ini, komunikasi manusia tergantikan dengan penggunaan medium yang lebih maju. Penggunaan komputer, internet, teknologi telepon serta seluler satelit memungkinkan manusia berkomunikasi dengan mudah. Percakapan antara manusia tidak lagi harus berhadap-hadapan atau bertatap muka. Hal ini dimulai dengan masuknya penetrasi teknologi digital dalam proses komunikasi. Sehingga dapat disebut dengan komunikasi digital.

Dengan teknologi digital manusia dapat berkomunikasi dengan lancar walaupun jarak memisahkan mereka dalam skala antar benua atau antar planet. Seseorang dapat menggunakan teknologi teleconference untuk mengefisiensi waktu dan tempat. (Amir dkk, 2006:5-14)

2.2.1.1 Aksioma Komunikasi

2.2.1.1.1 Komunikasi adalah transmisi dan penerimaan informasi, aksioma ini bersifat kuantitatif dan penelitiannya dipengaruhi oleh teori Shannon dan

Weaver.

2.2.1.1.2 Komunikasi adalah penggenerasian (pemanfaatan) makna,

informasi yang diberikan tidak harus sama dengan informasi yang diterima.Informasi mungkin sedikit tapi mengandung makna yang luas dan banyak. Orang yang menerima informasi banyak belum tentu memahami informasi itu, mungkin disebabkan kurang adanya intentionality (perhatian). 2.2.1.1.3 Komunikasi adalahperilaku individual, komunikasi sebagai rangkaian stimulus verbal dan nonverbal dari individu dan respon-respon. Komunikasi itu diucapkan sendiri-sendiri

(8)

2.2.1.1.5 Komunikasi manusia adalah unik, manusia hanyalah pengguna simbol. Masalah pokok aksioma ini ditunjukkan pada retorika.

2.2.1.1.6 Komunikasi manusia adalah bentuk dari komunikasi binatang, prilaku simbolik seperti bahasa adalah hasil olah otak dan ini dimiliki juga binatang seperti dolpin dan simpanse. Beberapa atribut komunikasi manusia dapat diturunkan dari prilaku binatang.

2.2.1.1.7 Komunikasi adalah prosessual (dinamis), komunikasi itu berproses adalah sesuatu yang benar (tidak terbantah). Suatu pernyataan paling sedikit memiliki dua tujuan : (1), komunikasi mencakup interaksi variabel di dalam sebuah sistim. (2), komunikasi adalah transaksi antara simbul-pengguna dalam dinamika dan perubahan artiseperti konteks waktu dan irreversible (jika sudah dikeluarkan tidak bisa ditarik lagi).

2.2.1.1.8 Komunikasi adalah statis, aksioma ini diambil dari model linguistic. Parole adalah bahasa yang dinamis dan berubah-ubah seperti bahasa pasaran, sedangkan language adalah statis, tetap seperti pada grammar.

2.2.1.1.9 Komunikasi adalah kontekstual, setiap konteks keadaan secara kritis dapat mempengaruhi arti sebuah pesan. Ada dua macam yang memaksa suatu arti itu dipengaruhi oleh konteksnya : (1), Konteks komunikatif yang meliputi gaya bahasa, penampilan sikap, dan tanggapan atas perhatian. (2), Konteks aspek situasional yang meliputipemahaman terhadap peran sosial, batasan teritorial, dan pengetahuan.

2.2.1.1.10 Komunikasi adalah non-kontekstual, pandangan liberal tentang

komunikasi juga mencakup variasi sinyal biologis. Refleks biologi itu sama saja (tidak bergantung pada keadaan, tempat dll – nonkontekstual)

2.2.1.1.11 Manusia tidak dapat tidak berkomunikasi, setiap manusia pasti berkomunikasi meskipun hanya dengan dirinya sendiri. Dalam aksioma ini tidak diperhatikan apakan komunikasi itu intensional atau tidak.

2.2.1.1.12 Manusia dapat tidak berkomunikasi, dalam aksioma ini unsur intensional menjadi yang paling urgen dalam komunikasi.

(9)

komunikasi sikap, nilai-nilai kehidupan dapat bergeser atau bahkan berubah sama sekali. Komunikasi adalah penyebab utama dari setiap perubahan yang terjadi di masyarakat.

2.2.1.1.14 Komunikasi adalah salah satu diantara kekuatan lain dalam masyarakat dan memiliki kemampuan yang relatif lemah, komunikasi tidak begitu menentukan perubahan yang terjadi, karena ia hanya salah satu faktor dari

penyebab terjadinya perubahan.

2.2.2 Media

Menurut Aristoteles, proses komunikasi dapat dipenuhi melalui 3 unsur, yaitu : siapa yang berbicara, apa yang dibicacarakan, dan siapa yang mendengarkan. Namun kemudian banyak ahli komunikasi menambahkan unsur-unsur dari komunikasi seperti halnya Claude E. Shannon dan Warren Weaver (1949), insinyur listrik yang menyatakan bahwa ada 5 unsur pendukung proses komunikasi, yaitu pengirim, transmitter, signal, penerima, dan tujuan. Ini karena latar belakang mereka dan hasil studi yang mereka lakukan mengenai pengiriman pesan melalui radio dan telepon. (Cangara, 1998:23)

Kemudian, David K.Berlo membuat formula yang kemudian diistilahkan dengan SMCR, Source (pengirim), Messages (pesan), Channel (saluran-media) , Receiver (penerima). Selain itu, Charles Osgood, Gerald Miller, dan Melvin L. De

Fleur juga menambahkan Efek dan Feedback (umpan balik), sebagai pelengkap dalam membangun komunikasi yang sempurna. Kedua unsur ini nantinya lebih banyak dikembangkan pada proses komunikasi antar pribadi dan komunikasi

massa. (Cangara, 1998:23)

Bahkan terakhir Joseph Devito, K Sereno dan Erika Vora yang menilai

faktor lingkungan merupakan unsur yang tidak kalah pentingnya.

Namun, di dalam proses komunikasi ada satu unsur yang menjadi penghubung diantara unsur-unsur komuikasi lainnya, yaitu media.

(10)

Berkat perkembangan teknologi, media pun ikut mengikuti perkembangan zaman. Media massa elektronik tumbuh menjamur dan semakin canggih, dalam hal ini adalah internet. Melaui internet inilah kemudian dikenal media sosial, yang merupakan hasil kombinasi dari komunikasi antar pribadi dan komunikasi massa.

2.2.2.1 New Media

Media Baru adalah istilah yang dimaksudkan untuk mencakup

kemunculan digital, komputer, atau jaringan teknologi informasi dan komunikasi di akhir abad ke-20. Sebagian besar teknologi yang digambarkan sebagai media baru adalah digital, seringkali memiliki karakteristik dapat dimanipulasi, bersifat jaringan, padat, mampat, interaktif dan tidak memihak. Secara sederhana media baru adalah media yang terbentuk dari interaksi antara manusia dengan komputer dan internet secara khususnya. Termasuk di dalamnya adalah web, blog, online social network, online forum dan lain-lain yang menggunakan komputer sebagai medianya.

Menurut para ahli :

 Menurut Everett M. Rogers (Abrar, 2003:17-18) merangkumkan perkembangan media komunikasi ke dalam empat era. Pertama, era

komunikasi tulisan, Kedua, era komunikasi cetak, Ketiga, era telekomunikasi, dan Keempat, era komunikasi interaktif. Media baru adalah media yang berkembang pada era komunikasi interaktif.

 Menurut Ron Rice mendefinisikan media baru adalah media teknologi

komunikasi yang melibatkan komputer di dalamnya (baik mainframe, PC maupun Notebook) yang memfasilitasi penggunanya untuk berinteraksi antar sesama pengguna ataupun dengan informasi yang diinginkan.

 Menurut McQuail, media baru adalah tempat dimana seluruh pesan komunikasi terdesentralisasi; distribusi pesan lewat satelite meningkatkan

(11)

2.2.2.1.1 Pandangan terhadap new media

Pandangan terhadap new media dapat berpengaruh positif dan negatif. Berpengaruh positifnya info dari media sangat mudah dan sangat cepat,dapat di akses di mana pun serta mendapatkannya sangat lah murah. Pengaruh negative new media terhadat manusia adalah info dari media tersebut tanpa batas dan dapat masuknya budaya luar melalui media baru ini,jika tidak di dasarkan kepada ilmu

pengetahuan maka akan menimbulkan hal-hal yang negative terhadap masyarakat.

2.2.2.1.2 Manfaat New Media

 Bidang Sosial

Dalam bidang ini banyak menyita perhatian masyarakat misalnya saja berbagai macam jejaring sosial yang sekarang di minati masyarakat seperti facebook, twitter, skype, yahoo messenger, my space, hello dll. Dengan menggunakan jejaring sosial ini dengan mudah dapat menjalin komunikasid dengan semua user dibelahan dunia manapun.

 Bidang Industri/Dagang

Dalam bidang ini memudahkan bagi siapa pun yang ingin menawarkan/mempromosikan produk tertentu sehingga tidak susah susah untuk membuka toko dan promosi langsung didepan konsumen, melalui new media pedagang dapat mempromosikan produk nya melalui membuka online shop, bisa melalui facebook, twitter atau kaskus.

 Bidang Pendidikan

Dalam bidang ini sangat memudahkan bagi pelajar maupun pengajar dalam mendapatkan materi yang di inginkan. Bisa melalui search engine kita bisa mendapatkan segala informasi, atau dengan fasilitas E-book, fasilitas email juga

(12)

 Bidang Lowongan Kerja

Dalam bidang ini bagi yang ingin mencari pekerjaan cukup searching di internet lalu mendaftar secara online bahkan bisa mengikuti tes masuk secara online juga, tidak perlu lagi susah payah datang dari kantor ke kantor.

2.2.2.1.3 Komponen New Media

Pada new media ada beberapa komponen seperti Pembuat, penyalur dan pemakai juga media yang digunakan agar dapat berhubungan dengan new media, diantaranya adalah sebagai berikut:

Produsen merupakan orang yang menciptakan wadah atau sarana new

media itu sendiri komponen ini berperan sebagai pencipta atau pembentuk new media

Distributor adalah sebuah perantara yang menghantarkan sarana media

atau bisa disebut media yang berfungsi mengahantarkan pemakai untuk memakai sarana itu sendiri

Konsumen adalah orang yang berperan sebagai konsumen sebuah sarana

media atau new media yang berfungsi untuk memakai new media

1. Internet & Web

2. Personal Komputer (PC) / Notebook

3. DVDs (Digital Versatile Disc or Digital Video Disc) 4. VCDs (Compact Discs)

5. Portable Media Player. 6. Mobile Phone

(13)

2.2.2.1.4 Aplikasi New Media

1. Jejaring Sosial

Contoh aplikasi new media dalam bidang jejaring sosial yaitu facebook, twitter, yahoo messenger, my space, skype dll. Aplikasi ini sangat mudah digunakan bagi

masyarakat, fasilitas di jejaring sosial ini adalah bisa update status, upload foto, video call dll. Kelebihan new media seperti ini adalah biaya murah, cepat dan

mudah

2. Online Shop

Produk produk sekarang dengan mudah bisa dipromosikan melalui online shop yang sudah sangat banyak tersebar didunia maya, masyarakat bisa membuat online shop melalui facebook, twitter, blog, website, ataupun kaskus yang bisa menarik perhatian konsumen secara cepat

3. Informasi/Pendidikan

Untuk mencari segala informasi maupun berita yang terkini, dengan adanya new media yaitu biasa menggunakan aplikasi seperti wikipedia, google, televisi analog ataupun website-website lain nya.

2.2.3 Media Sosial

Media sosial menjadi trend baru pada kalangan menengah perkotaan. Dengan media sosial, setiap orang dapat menyatakan pendapatnya secara terbuka tanpa ada sensor dari orang lain. Setiap partisipan bebas membuat status, ataupun memberi komentar terhadap status orang lain.

Selama beberapa dekade, media yang sifatnya one to many telah

menguasai aktivitas di ruang publik. Dengan situasi ini public sphere sering kali berkembang sesuai dengan kepentingan media, bukan kepentingan publik. Media

(14)

Media sosial pun kemudian menjadi salah satu transformasi dalam penerapan public sphere. Media sosial telah memungkinkan setiap warga untuk berpartisipasi dalam berbagai wacana di forum publik. Setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk mengajukan agendanya sendiri, memberikan komentar, maupun argumentasi. Setiap orang memiliki keinginan untuk menyuarakan peristiwa dengan versinya masing-masing. Kemudahan akses

pada media sosial telah memungkinkan setiap orang untuk memiliki medianya sendiri.

Tidak sepenuhnya sempurna seperti halnya interaksi tatap muka tentunya, akan tetapi mampu memberikan bentuk-bentuk baru dalam interaksi yang membawa orang dalam konteks pribadi yang tidak dapat dilakukan oleh media konvensional (Junaedi, 2011).

Banyak akademisi pun mulai berpandangan bahwa era ruang publik secara tatap muka kini telah tergantikan oleh layanan dunia maya. Seperti dituliskan oleh Poster, yang dikutip oleh Martin Lister, dkk bahwasanya era public sphere sebagai percakapan tatap muka jelas telah berakhir. Pertanyaan-pertanyaan mengenai demokrasi mulai sekarang harus memperhitungkan wacana yang tampil dalam format baru (Lister, 2003).

Format baru ini, memungkinkan terjadinya hubungan yang interaktif.Hubungan inilah yang sulit untuk diperoleh melalui format media lainnya seperti media massa. Fenomena interaktivitas ini menurut Howard Rheingold muncul sebagai akibat dari meningkatnya “electronic agora”. Situasi

ini dimulai ketika teknologi telepon telah memungkinkan terjadinya dialog langsung antara individu dalam jarak yang jauh, sementara media massa bekerja

(15)

pencerahan dalam dialog, munculnya „warung kopi elektronik‟ yang mungkin dapat memunculkan seni berbicara, debat, dan pengujian klaim satu sama lain secara diskursif. Kelompok elite maupun industri media massa yang narsis kini harus berjuang untuk mempertahankan aura otoritas mereka dan akan kehilangan daya sebagai gerbang pengetahuan, budaya, dan agenda publik (Goode, 2005) Interaktifitas sendiri dipahami sebagai “urutan aksi dan reaksi” (Van Dijk, 2006: 6).

Interaktivitas terjadi ketika berlangsung komunikasi dua sisi atau dapat pula disebut komunikasi multilateral. Komunikasi multilateral inilah yang kemudian memungkinkan terjadinya percakapan antara partisipan di dunia maya, dan bukan sebuah monolog yang hanya berlangsung dari satu sisi. Percakapan memungkinkan terjadinya saling tukar menukar informasi dari pihak-pihak yang terlibat, sehingga sebuah informasi yang dianggap penting dan perlu mendapat dukungan dari partisipan akan lebih tersebar luas.

Akan tetapi, interaktivitas dalam internet juga bukannya tanpa masalah. Internet, yang menghadirkan lingkungan online memungkinkan setiap partisipan untuk berinteraksi secara penuh dengan seluruh isi dan partisipan yang terlibat di dunia maya. Setiap partisipan bebas untuk mengunduh, mengunggah, menyebarluaskan link di media, bahkan hingga mengolah data di internet dengan versinya sendiri. Dan semuanya dilakukan seperti apa yang dikatakan oleh Stromer-Galley (2000) sebagai “bahkan tanpa berkomunikasi secara langsung dengan orang lain” (Bucy, 2004: 55).

Ragam defenisi media sosial sendiri banyak ditemukan, salah satunya diutarakan oleh Jhon Blossom (Blossom, 2009) yang membuat kategorisasi

defenisi dari berbagai sudut pandang. Adapun defenisi tersebut adalah:

(16)

media sosial. Teknologi yang kini marak digunakan, yaitu format 2.0 bahkan mampu menjangkau skala yang lebih besar lagi, dimana publikasi menjadi lebih mudah, lebih murah (tak jarang malah gratis), dan dapat dilakukan oleh siapa saja.

2. Media sosial memungkinkan individu untuk berkomunikasi dengan kelompok maupun individu-individu lainnya. Khalayak dalam media sosial biasanya saling terhubung satu dengan lainnya, dimana hubungan yang terjalin pada khalayak ini sifatnya setara. Berbeda dengan media massa yang sifatnya “satu untuk banyak”, media sosial bersifat “banyak untuk banyak”. Dalam konteks komunikasi yang “satu untuk banyak”, seseorang atau kelompok tertentu mendesain pesan untuk didistribusikan kepada orang/kelompok lain. Dengan kata lain, kelompok penyebar informasi ini mempunyai otoritas untuk memilah dan membagi informasi apa yang layak dan perlu dikonsumsi oleh khalayak banyak. Sebaliknya, khalayak banyak ini tidak memiliki akses ataupun otoritas untuk menyebarluaskan informasi yang dianggapnya penting dan layak diketahui oleh orang lain. Format seperti ini kita lihat pada media massa, dimana ada sekelompok anggota dewan redaksi yang kemudian memutuskan informasi apa yang layak dibaca ataupun ditonton oleh khalayak. Informasi yang dianggap tidak penting ataupun tidak sesuai dengan agenda redaksi tidak akan disebarluaskan di media yang bersangkutan. Berbeda halnya dengan format “banyak untuk banyak‟, dimana setiap individu bisa saja menyebarluaskan informasi yang dianggapnya penting dan layak kepada orang lain secara simultan. Teknologi web memungkinkan setiap orang membagi informasi dalam waktu bersamaan. Secara

lebih luas, keberadaaan media sosial memfasilitasi kesetaraan bagi setiap individu/ kelompok untuk membagi informasi, dan bercerita sesuai versinya tanpa

ada pengaruh kelompok kepentingan tertentu. Tidak ada kontrol dari kelompok-kelompok berkuasa dalam media sosial, karena setiap individu/kelompok-kelompok yang terlibat dalam komunikasi memiliki otoritas yang sama atas informasi yang dimilikinya.

(17)

sebuah informasi di media sosial bergantung pada seberapa penting informasi tersebut bagi khalayak. Sebuah gagasan atau informasi bisa saja diadopsi oleh banyak orang karena persebarannya di dunia maya sangat luas. Akan tetapi bisa saja sebuah gagasan lainnya tidak memiliki pengaruh luas karena kurangnya ketertarikan khalayak terhadap gagasan/informasi tersebut. Melihat situasi ini, sebenarnya dapat dikatakan bahwa khalayak pada media sosial lebih digdaya

dibandingkan dengan khalayak pada media massa, karena mampu memilah sendiri informasi yang penting untuk disebarluaskan.

Media sosial merupakan media online, dimana pengguna media ini dapat berpartisipasi secara interaktif dengan peserta lain, berbagi, maupun menciptakan isi melalui blog, jaringan sosial, maupun forum. (Junaedi, 2011). Keberadaan media sosial dapat dengan mudah ditemukan di internet. Pengguna dapat memilih media mana yang ingin digunakan sesuai dengan kebutuhannya.

Keberadaan media sosial telah menjadi bagian dari presentasi diri penggunanya. Pengguna media sosial memanfaatkan medium ini sebagai bagian pengungkapan diri, maupun pemikirannya. Lebih jauh, media sosial menjadi bagian penting dalam upaya rekonstruksi identitas dirinya.

Akan tetapi, tidak semua konstruksi diri yang dilakukan pengguna adalah konstruksi yang positif. Salah satu konstruksi diri yang dilakukan oleh pengguna media sosial adalah intimidasi. Pengguna strategi ini menggunakan intimidasi untuk memperoleh kekuasaan. Seperti yang diutarakan oleh Jones (1990), karakteristik umum yang dimiliki adalah ancaman, pernyataan kemarahan, dan

kemungkinan ketidaksenangan (Ardianto, 2007). Pola intimidasi yang dilakukan misalnya dengan menggunakan kalimat-kalimat tertentu yang dapat

mengekspresikan kemarahannya, ataupun menggunakan emoticon-emoticon tertentu yang juga dipahami sebagai ekspresi kemarahan.

2.2.4 Ruang Publik (Public Sphere)

(18)

publik yang egaliter dimana setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dan menyampaikan idenya (Littlejohn, 2009). Dalam perkembangan demokrasi modern, egalitas mencakup seluruh individu warga negara dan tidak terfokus pada kelompok-kelompok kepentingan tertentu. Ragam ide dan gagasan berhak mendapat porsi yang sama di masyarakat. Dalam prakteknya, banyak upaya pembungkaman yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat,

terutama yang mayoritas atas ide-ide yang mereka anggap bertentangan dengan nilai yang mereka anut, terutama ide yang berasal dari kelompok minoritas. Aneka ragam pembungkaman tersebut berlangsung di ruang publik, tempat dimana terjadi percakapan antara kelompok maupun individu masyarakat, baik yang minoritas maupun mayoritas.

Secara defenitif, ruang publik dapat didefenisikan sebagai “ruang yang terletak diantara komunitas ekonomi dan negara tempat publik melakukan diskusi yang rasional, membentuk opini mereka, serta menjalankan pengawasan terhadap pemerintah” (Habermas, dalam Saleh, 2004: 49). Habermas juga menekankan bagaimana “ruang publik dapat dilihat sebagai penyambung jaringan dan jarak yang berlapis” (Couldry, 2007: 80). Keberadaan ragam jaringan budaya yang semakin beragam dalam pertemuan masyarakat dunia dan publik, ditambah jarak yang sepertinya semakin terbatas dikarenakan perkembangan teknologi yang semakin maju menuntut hubungan yang berkualitas untuk menciptakan ketentraman dalam proses interaksi tersebut.

Rouper, seperti dikutip oleh Toulouse (1998) mengungkapkan terdapat

tiga prinsip utama dalam ruang publik, dalam (Saleh, 2004) yaitu:

1. Akses yang mudah terhadap informasi.

(19)

dibicarakan di forum-forum publik. Akan tetapi, keberadaan media massa dalam ruang publik kemudian memunculkan persoalan sendiri ketika kepemilikan media massa terkonsentrasi pada sekelompok kecil pengusaha media. Ditambah pula dengan kepentingan politik para pemilik media yang turut memberi warna dalam isi pemberitaannya.

Hal ini lah yang kemudian membuat ketidaksetaraan dalam politik.

Individu awam tidak memiliki akses yang sama seperti halnya kelompok elite tertentu. Perkembangan terkini dengan adanya internet, lebih menjamin ketersediaan informasi bagi masyarakat serta meminimalisir kemungkinan pengaruh ideologi media dan pemiliknya dalam proses pembentukan opini dalam ruang publik.

2. Tidak ada perlakuan istimewa (privilege) terhadap peserta diskusi (partisipan). Tidak adanya privelege diartikan bahwa setiap anggota masyarakat memiliki kesetaraan dalam proses wicara. Tidak ada kelompok yang lebih dominan atas kelompok lainnya. Inilah yang kemudian akan dijelaskan dalam bagian berikutnya sebagai ekualitas.

3. Peserta/partisipan mengemukakan alasan rasional dalam berdiskusi mencari konsensus. Alasan rasional menjadi syarat penting terwujudnya ruang publik yang baik. Rasionalitas dalam debat akan menjamin bahwasanya debat yang berlangsung adalah debat yang dapat dipertanggungjawabkan dengan sumber informasi yang benar dan tepat, sehingga dapat menghindarkan terjadinya debat kusir ataupun pertarungan emosional antar partisipan.

2.2.4.1 Konsep Legitimasi dalam Ruang Publik

Konsep legitimasi menjadi salah satu ciri penting penerapan ruang publik

(20)

1979: 179). Kelayakan sikap politik ini karena disampaikan beserta dengan kelengkapan fakta yang dapat diyakini kebenarannya.

Dalam percakapan yang melibatkan dua pihak, keberadaan legitimasi menjadi sangat penting karena akan mempengaruhi kepercayaan atas pesan yang disampaikan. Apabila situasinya menunjukkan bahwa jika fakta yang disampaikan oleh salah satu pihak tidak terlegitimasi, maka dengan sendirinya akan

meningkatkan legitimasi pihak yang berlawanan. Dalam percakapan sehari-hari kita akan menemukan banyaknya percakapan yang tidak terlegitimasi, yang menurut Habermas menjadi masalah permanen dalam interaksi di masyarakat.

Apabila dikaitkan dengan konteks pemerintahan, persoalan legitimasi akan berkaitan dengan persoalan-persoalan yang penting dan prinsipil bagi hajat hidup orang banyak. Terganggunya sektor prinsipil ini akan mengganggu sektor-sektor lainnya dan disebut sebagai krisis legitimasi. Apabila berkelanjutan, dapat memancing terjadinya revolusi.

Habermas, sampai era 70-an masih meyakini bahwa legitimasi hanya berkaitan dengan persoalan politik dan pemerintahan. Akan tetapi,dalam perkembangannya ketika persoalan politik semakin tidak terbatas dalam artian tidak lagi hanya menjadi bahasan politisi ataupun elit negara melainkan menjadi bahasan berbagai elemen warga negara, legitimasi pun berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat tersebut. Warga negara biasa pun harus memiliki legitimasi untuk mendapatkan kepercayaan dari lawan wicaranya. Semakin luas dan bebas sebuah ruang publik, maka legitimasi juga harus ada

dalam semua aspek ruang publik tersebut.

Legitimasi berkaitan erat dengan dominasi politik. Semakin besar

(21)

2.2.4.2 Kritik terhadap Konsep Ruang Publik

Gagasan mengenai ruang publik ini banyak mendapat tanggapan dari para ilmuan komunikasi. Habermas sendiri, sesuai dengan gagasan mengenai tindakan komunikatif sebagai bagian dari penerapan ruang publik ideal yang dikembangkannya menerima dengan baik beragam kritik tersebut. Kritik ini sendiri dianggap sebagai bagian dari pengembangan keilmuan ruang publik yang

membangun gagasan tersebut kedepannya. Laclau mengkritik ruang publik sebagai “bentuk universalitas yang naif” (Garnham, 2007: 205). Pendapat Laclau ini didasari pandangan bahwa idealisme dalam ruang publik justru dapat memicu publik untuk memberi pendapat yang dianggap tidak merugikan/disukai dibandingkan dengan pendapat yang jujur tapi disampaikan dengan cara yang menyakitkan. Dengan kata lain, ruang publik ideal ini justru memicu kemunafikan dalam masyarakat itu sendiri.

Kritik lain datang dari Peters Durnham yang menilai bahwa ruang publik ideal itu pun bukannya tanpa bias terhadap proses dialog yang juga menjadi persyaratan penting dalam masyarakat demokratis. Kritik lain muncul dari Garnham dan McKee, yang melihat bahwa gagasan mengenai ruang publik tidak berkontribusi secara langsung terhadap proses demokrasi itu sendiri. Hal ini dikarenakan “pandangan Habermas ini menunjukkan tidak adanya hubungan dengan politik di dunia nyata dan hanya membuat defenisi baru tentang demokrasi sebagai politik representasi dengan format yang santun” (Garnham, 2007: 207).

2.3 Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran merupakan uraian yang bersifat kritis dan memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang dicapai dan dapatntarkan

(22)

dideskripsikan tersebut, selanjutnya dianalisis secara kritis dan sistematis, sehingga menghasilkan sintesa tentang hubungan antar variabel yang diteliti.

Berikut kerangka penelitian dalam bagan :

MEDIA SOSIAL

(PATH)

CYBERHARASSMENT

ETIKA NORMATIF

Referensi

Dokumen terkait

Persamaan (6.9) menyatakan bahwa usaha yang dilakukan oleh gaya luar pada benda sama dengan selisih energi kinetik benda, dan persamaan (6.10) menyatakan bahwa energi gaya

beberapa indikasi interaksi antara jumlah sarang biawak Komodo dan sarang burung Gosong-kaki-merah, sebagaimana diketahui bahwa Loh Lawi merupakan lembah dengan jumlah sarang

Subyek dalam penelitian ini adalah mahasiswi fakultas psikologi di lingkungan Universitas Islam Negeri Malang mulai dari angkatan 2011- 2014 yang pernah melakukan

Perbedaan rata-rata antara produktivitas penebangan dengan teknik berdampak rendah dan rata-rata produktivitas pada metode tree length disebabkan oleh perbedaan

Misalnya tidak ada perincian laporan dana bagi hasil sumber daya alam, tidak melaporkan perolehan dana bagi hasil gas alam tahun 2002; memasukan bagian pajak kendaraan

EtherChannel tipe LACP sebagai rancangan jalur alternatif ( redundancy link ) dan penyeimbang beban kerja dalam jaringan ( load balancing ), serta interVLAN routing tipe

It has opened the door to extensive collaborations between the Architecture and Design Centre (formerly, The Lighthouse), Glasgow, Scotland; La Cambre Architecture School, Brussels,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya persepsi sanksi pajak dan kualitas pelayanan pajak yang mempunyai pengaruh signifikan positif terhadap Kepatuhan Wajib