BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Semua berawal dari abad kesembilan belas yang membuka lembaran
sejarah kegilangan di jerman dengan kelahiran seorang tokoh hebat dunia yang
memiliki pengauh yang kuat terhadap sejarah kehidupan manusia. Kekuatan
pengaruh intelektualnya telah menjadi fenomena global abad kedua puluh karena
gagasan pemikiran filsafatnya tidak hanya dijadikan sekadar rujukan ilmiah saja,
tetapi segala ide dan teori-teori Marxisme digerakan dalam bentuk tindakan yang
realistik bersesuaian dengan sekarang.
Salah satu sumbangan besarnya adalah konsep perjuangan kelas yang
menjadi pedoman bagi kaum buruh untuk bangkit mempertahankan hak dan
kebebasan mereka yang terus menjadi kuda tunggangan kaum para kapitalis.
Ajaran Marxisme telah dijadikan pegangan perjuangan kaum buruh hampir di
seluruh dunia. Sebagai sebuah ideologi, Marxisme merupakan inspirasi bagi
sebahagian besar gerakan pembebasan sosial dan berangsur-angsur menjadi
gerakan politik sosial diberbagai negara.
Konsep Historical Materialsm dan Dialectic Materialism merupakan
ideologi utama yang melahirkan konsep kelas, hubungan antara kelas dan
perjuangan kelas dalam gagasan pemikiran Marxisme. Marx meneliti sejarah
rangkaian tahap perkembangan ekonomi manusia meliputi kaidah-kaidah
mengeluarkan poduk keperluan hidup dalam menentukan segala perubahan
kehidupan manusia1. Kedua, faktor sosial karena Marx menggambarkan sifat semula menjadi manusia yang suka bergaul. Namun faktor sosial tidak lengkap
tanpa terhubung terus dengan faktor ekonomi karena kehidupan sosial manusia
tidak akan bertahan lebih lama melainkan manusia menghasilkan barang atau
produk untuk memenuhi kebutuhan dan keperluan hidup dalam masyarakt
sekelilingnya.2
1
A.Z.Abidin.1968.”Bahasa Komunisme.” Jakarta:Bulan Bintang.
2 Indriaty Ismail dan Mohd Zuhaili Kamal Basir.2012.”Karl Marx dan Perjuang Kelas Sosial ”.international
Jurnal of islamic Thought Vol.1. hal.28
Marx mengakui bahwa manusia lahir dalam zaman yang bebeda-beda,
justru itu cara dan hubungan pengeluaran turut melalui tahap perkembangan
kuasa-kuasa produksi meterial yang berbeda-beda setiap cara pengeluaran
digambarkan dengan penguasaan kuasa produktif yang khusus dan satu bentuk
hubungan sosial yang awalnya berfungsi untuk membangunkan kuasa
tersebut.aspek hubungan dalam hubungan tersebut adalah hubungan harta yang
akan mewujudkan kelas-kelas sosial. Kemudian, muncul dua kelas utama
berasaskan berdasarkan jenis-jenis harta yang mempengaruhi pengeluaran
kebutuhan hidup. Salah satu kelas akan menguasai harta tersebut, dimana kelas
yang satu lagi dijadikan dan digunakan untuk menghasilkan kekayaan daripada
Hubungan antara manusia dan alam yang saling bertukar-tukar dan
dikendalikan melalui cara pengeluaran khusus telah menghasilkan cara-cara dan
keperluan-keperluan baru bagi memenuhi kebutuhan masyarakat. Marx
menyifatkan organisasi baru atau kelas buruh bukanlah organisasi politik, tetapi
lebih bersifat demokratik supaya manusia benar-benar menjadi penguasa keatas
institusi-institusi yang mereka cipta sendiri. Organisasi tersebut juga bukan
bersifat anarki karena tidak memiliki kekuasaan politik, tetapi ia akan menguasai
sistem masyarakat yang baru. Organisasi tersebut akan dipimpin oleh seorang
ketua atau koordinator yang dilantik dari kalangan angota-anggotanya sendiri.
Hasilnya ia akan menyumbang kepada kemajuan industri tanpa terikat dengan
sistem kapitalisme yang hanya menguntungkan sebelah pihak saja.
Di indonesia sendiri, dinamika gerakan buruh dapat dilihat sebagai refleksi
dari kecenderungan dari ikatan etnis, agama dan ideologi. Situasi itu kemudian
diperkuat dengan alasan bahwa pembentukan serikat buruh pada dasarnya sangat
difasilitasi oleh solidaritas yang muncul karena persamaan nasib, pengalaman dan
perjuangan.3
3
Iskandar Tedjasukmana.2008.”watak politik gerakan serikat buruh”.hal.135-146
Sejak negara ini didirikan, bangsa indonesia telah menyadari bahwa
pekerjaan nerupakan kebutuhan asasi warga negara sebagaimana diamanatkan
dalam pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Hal
tersebut berimplikasi pada kewajiban negara untuk memfasilitasi warga negara
perlu perencanaan matang dibidang ketenagakerjaan untuk mewujudkan
kewajiban negara tersebut.4
Serikat pekerja yang merupakan mitra kerja bagi pengusaha, aktivitas yang
dilakuka tidak hanya memperjuangkan kepentinagan anggota untuk peningkatan
kesehjateraannya, tetapi juga membantu peningkatan partisipasinya dalam rangka
menjaga kelangsungan dan pengembangan usaha perusahaan. Dengan
demikian,kehadiran serikat pekerja/buruh diperusahaan tidak menambah masalah
bagi perusahaan, tetapi juga dapat membantu menyelesaikan masalah yang
dihadapi perusahaan, khususnya yang berkaitan dengan peningkatan disiplin dan
etos kerja. Hal ini sekaligus dapat menghilangkan pandangan negatif terhadap
serikat kerja/buruh, tetapi kehadirannya membawa angin segar yang sangat
diperlukan dalam pertumbuhan usaha.5
Perlu disadari bahwa tingkat kesehjateraan materil yang tinggi belum
menjamin tidak timbulnya masalah dalm hubungan kerja. Salah satu sarana yang
penting dalam mengatasinya adalah melalui komunikasi, yang teratur di segala
tingkat. Oleh karena itu, agar komunikasi yang telah berjalan dengan baik ini
dikembagkann dalam bentuk kelembagaan sebagai forum komunikasi dan
konsultasi di perusahaan.6
Perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang demikian
cepat membawa dampak timbulnya persaingan usaha yang begitu ketat dan terjadi
4
Adrian Sutedi.2009.”Hukum Perburuhan”.Jakarta:Sinar Grafika.Hal.1-2 5 Ibid..
6
di semua ini. Lingkungan yang sangat kompetitif ini menuntut usaha untuk
menyesuaikan dengan tuntutan pasar yang memerlukan respons yang cepat dan
fleksibel dalam meningkatkan pelayanan terhadap pelanggan. Untuk diperluka
suatu perubahan struktural dalam pengelolaan usaha dengan memperkecil rentang
kendali manajemen, dengan memangkas sedemikian rupa sehingga dapat menjadi
lebih efektif,efisiensi, dan produktif. Dalam kaitan itulah dapat dimengerti bahwa
kalau kemudian muncul kecenderungan outsourcing, yaitu memborongkan satu
bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri
kepada perusahaan lain yang kemudian disebut perusahaan penerima pekerja.7
7 Muzni Tambuasi,”Pelaksanaan Outsurcing Ditinjau dari Aspek Hukum Ketenagakerjaan tidak
Mengaburkan Hubungan Industrial ” ,dalam informasi Hukum Vol.1 Tahun VI,2004.
Persaingan dalam dunia bisnis antar perusahaan membuat perusahaan
harus berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas penciptaan produk dan
jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya. Dengan adanya konsentrasi
terhadap kompetensi utama perusahaan, akan dihasilkan sejumlah produk dan jasa
yang memiliki kualitas dan daya saing di pasaran, akan tetapi disisi lain
perusahaan sulit untuk melakukan efisiensi sehingga biaya produksi tetap tinggi.
Untuk mengurangi resiko maka timbul pemikiran di dalam dunia usaha untuk
menerapkan sistem outsourcing. Dimana dengan sistem ini perusahaan dapat
menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang
Kecenderungan beberapa perusahaan untuk memperkerjakan karyawan
dengan sistem outsourcing pada saat ini, umumnya dilaterbelakangi oleh strategi
perusahaan untuk melakukan efisiensi biaya produksi (cost production). Dengan
menggunakan sistem outsourcing ini, pihak perusahaan berusaha untuk
menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang
bekerja diperusahaan yang bersangkutan. Berdasarkan hukum ketenagakerjaan,
istilah outsourcing sebernarnya bersumber dari ketentuan yang tedapat dalam
pasal 64 Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang
menyatakan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagan pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan
atau penyediaan jasa pekerja yang dibuat secara tertulis.8
Pemborongan pekerjaan (outsourcing) adalah penyerahan sebagian
pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan kepada perusahaan penerima
pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan secara tertulis. Dalam pelaksanaannya
perusahanan penerima pekerjaan daapt pula meyerahkan lagi sebagian pekerjaan
yang diterima dari perusahaan pemberi pekerjaan ke perusahaan penerima
pekerjaan lain yang tidak berbadab hukum. Dalam hal seperti ini apabila
perusahaan penerima pekerjaan yag tidak berbadan humum tersebut tidak
memenuhi hak-hak pekerja atau buruh atau saytr-syarat kerja dalam hubungan
kerja, maka kewajiban tersebut berarih menjadi tanggungjawab perusahaan yang
8
berbadan hukum. Oleh kareana itu, perjanjian pemborongan pekerjaan wajib
memuat ketentuan-ketentuan yang menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh
dalam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.9
Beberapa praktisi hukum ketenagakerjaan sebenarnya banyak yang
mengkr itik sistem outsourcing ini, karena secara legal formal perusahaan pemberi
kerja tidak bertanggung jawab secara langsung terhadap pemenuhan hak-hak
karyawan yang bersangkutan. Praktik sehari-hari outsourcingselama ini diakui
lebih banyak merugikan pekerja/buruh, karena hubungan kerja selalu dalam
bentuk tidak tetap/kontrak(perjanjian kerja waktu tertentu),upah lebih
rendah,jaminan sosial kalaupun ada hanya sebatas minimal, tidak adanya job
securityserta tidak adanya jamnan pengembangan karier, dan lain-lain. Dengan
demikian memang benar kalau dalam keadaan seperti itu dikatakan praktik
outsourcingakan menyengsarakan pekerja/buruh dan membuat kaburnya
hubungan industrial.10
Ada beberapa persoalan yang dialami oleh pekerja/buruh outsourcing.
Pertama, tidak ada kejelasan mekanisme dengan siapa buruh berstatus outsourcing
ini harus melakukan perundingan, apakah dengan pihak yayasan yang
menyalurkan atau dengan perusahaan. Kedua, posisi buruh berstatus outsourcing
ini lemah, sebab tidak memungkinkan baginya untuk melakukan perundingan
bersama atau terliba dalam serikat buruh.
9 Maimun.2007.”Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar”.Jakara:PT.Pradnya Paramita.Hal 147-149 10
Dalam beberapa tahun terakhir ini pelaksanaan outsourcingdikaitkan
dengan hubungan kerja, sangat banyak dibicarakan oleh pelaku proses produksi
barang maupun jasa dan oleh pemerhati. Oleh karena outsorcing banyak
dilakukan dengan sengaja untuk menekan biaya pekerja/buruh (labour cost)
dengan perlindungan dan syarat kerja yang diberikan jauh dibawah dari yang
seharusnya diberikan sehingga sangat merugikan pekerja/buruh. Pelaksanaan
outsorcing yang demikian dapat menimbulkan keresahan pekerja/buruh dan tidak
jarang diikuti dengan tindakan mogok kerja, sehingga maksud diadakannya
outsourcing seperti yang disebutkan diatas menjadi tidak tercapai, karena
terganggunya proses produksi barang maupun jasa.
Persentase bahwa penggunaan tenaga kerja kontrak (outsorcing) pada
perusahaan nasional dan multinasional skala menengah ke atas di indonesia
diperkirakan mencapai 80% dari total kebutuhan tenaga kerja, hal ini bisa dilihat
dari data yang dipublikasikan oleh BPS (Badan Pusat Statistik 2014) situasi
pekerja februari 2014, dimana 43,3 juta penduduk atau 36,7 persen dari total
pekerja adalah pekerja tetap sehingga 73,4 peren dari total pekerja adalah pekerja
tidak tetap. Mengacu pada data tersebut, dengan demikian terdapat jumlah besar
pekerja di indonesia yang berstatus kontrak atau tidak tetap.11
Problematika outsorcing di indonesia semakin parah seiring dilegalkannya
praktik outsourcing dengan Undang-undang No 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan yang banyak menuai kontroversi itu. Di tengah kekhawatiran
11
masyarakat akan lahirnya kembali bahaya kapitalisme, pemerintah justru
melegalkan praktik outsourcing yang secara ekonomi dan moral merugikan
pekerja/buruh. Kontroversi itu berdasarkan kepentingan yang melatarbelakangi
konsep pemikiran dari masing-masing subjek. Bagi yang setuju berdalih bahwa
outsourcing bermanfaat dalam pengembangan usaha, memacu tumbuhnya
bentuk-bentuk usaha baru (kontraktor) yang secara tidak langsung membuka lapangan
pekerjaan bagi para pencari kerja, dan bahkan di berbagai negara praktik seperti
ini bermanfaat dalam hal peningkatan pajak, pertumbuhan dunia usaha,
pengentasan pengangguran dan kemiskinan serta meningkatkan daya beli
masyarakat, sedangkan bagi perusahaan sudah pasti, karena setiap kebijakan
bisnis tetap berorientasi pada keuntungan.12
Indikasi lemahnya perindungan hukum bagi pekerja/buruh dapat dilihat
dari problematika outsourcingyang akhir-akhir ini menjadi isu nasional yang
aktual. Problematika outsourcingmemang cukup bervariasi seiring akselerasi
penggunaannya yang semakin marak dalam dunia usaha, sementara regulasi yang
ada belum terlalu memadai untuk mengatur outsourcingyang tengah berjalan
dikehidupan ekonomi dengan hegemoni kapiltalisme finansial yang tidak
memandang pekerja buruh sebagai subjek produksi yang patut dilindungi,
melainkan sebagai objek yang dapat dieksplotasi. Kontroversi ini berdasarkan
kepentingan yang melatarbelakangi konsep pemikiran dari masing-masing subjek.
Bagi yang setujuh berdalih bahwa outsourcingbermanfaat dalam pembangunan
12
usaha, memacu tumbuhnya bentuk-bentuk usaha baru yang secara tidak langsung
membuka Lapangan pekerjaan bagi para pencari kerja, dan bahkan diberbagai
negara praktik sepeerti ini bermanfaat dalam hal peningkatan pajak,pertumbuhan
dunia usaha, pengentasan pengangguran dan kemiskinan serta meningkatkan daya
beli masyarakat. Sedangkan bagi perusahaan sudah pasti karena setiap kebijakan
bisnis tetap berorientasi pada setiap keuntungan.
Legalisasi outsourcing memang bermasalah jika ditinjau dari hal
berlakunnya hukum secara sosiologis yang berintikan pada efektivitas hukum,
karena berlakunya hukum didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh
mereka kepada siapa hukum tadi tertuju. Nyatanya legalisasi sistem outsourcing
ditolak oleh sebagian besar masyarakat, karena bertentangan dengan progresivitas
gerakan pekerja/buruh dan serikat pekerja/buruh yang selama ini menghendaki
perbaikan kualitas secara signifikan terhadap pemenuhan standar hak-hak dasar
mereka.13
Dalam konteks ini pemerintah harus segera mencari solusi bagaimana
meminimalisir dampak negatif dari praktik outsourcing. Karena dalam waktu
yang lama memang telah terjadi persepsi yang keliru bahwa perusahaan yang
bergerak dibidang outsourcinghanyalah kepentingan pengusaha dan pemilik
modal saja. Kenyataannya, masyarakat mempunyai kepentingan atas kinerja
perusahaan dalam hal menyediakan produk dan jasa, menciptakan kesempatan
13
kerja dan meyerap pencari kerja. Pemerintah sendiri berkepentingan agar
masyarakat dapat sejahterah sehingga ada rasa damai dan aman.14
14
Adrian Sutedi.op.cit.,hal 30-31.
Kebijakan pemerintah pada prinsipnya memiliki dampak yang nyata
kepada masyarakat secara khusus disini adalah pekerja/buruh. Pekerja/buruh
selanjutnya menyatakan sikap kepada kebijakan tersebut, apakah dapat diterima
karena memberi dampak yang baik ataupun menolak dengan alasan adanya
kerugian yang akan ditimbulkan dari kebijakam outsourcing ini. Setiap para
pekerja yang memiliki sikap sama terhadap kebijakan tersebut akan menyatukan
aspirasi mereka dengan membentuk suatu kelompok buruh yang akan menjadi
kekuatan bagi mereka dalam melakukan sebuah perlawanan.
Salah satu kelompok buruh itu adalah Gabungan Serikat Buruh Indonesia.
Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) yang dalam bahasa inggrisnya “
FEDERATION OF INDONESIAN TRADE UNION” disahkan pada tanggal 26
Mei 2015 dalam kongres Nasional ke III GSBI pada 23-27 Mei 2015 di Jawa
Barat, merupakan kelanjutan dari Gabungan Serikat Buruh Independen yang
didirikan, dibentuk dan dideklarasikan pada 21 Maret 1999 di Jakarta. GSBI
adalah organisasi pusat perjuangan buruh dari berbagai macam bentuk organisasi
serikat buruh sektoral (jenis produksi) dan Non sektoral yang independen, militan,
GSBI dibentuk sebagai alat perjuangan kaum buruh dalam menuntut dan
merebut hak-hak demokratis kaum buruh meliputi hak sosial ekonom dan hak
politik. Perjuangan GSBI diarahkan untuk tercapainya perbaikan-perbaikan dan
pemenuhan hak-hak buruh di dua level yaitu ditempat kerja ( pabrik, perkebunan,
dan atau jawatan-jawatan baik swasta ataupun pemerintah) dan ditingkat kebijkan
pemerintah disetiap tingkatan (kabupaten/kota,provinsi dan pusat).
Perjuangan-perjuangan sosial ekonomi yang di gerakan, GSBI meyakin akan berkembang
menjadi perjuanga politik yang menuntut adanya perubahan sistem ekonomi,
politik, sosial dan kebudayaan yang lebih adil dan demokratis.
GSBI merupakan organisasi perjuangan buruh yang menolak segala
bentuk diskriminasi berdasarkan ras, etnik, agama, bahasa, gender, dan
kebangsaan dalam organisasi dan gerakan buruh serta masyarakat negara bangsa.
Untuk mencapai kebebasan kaum buruh dari penindasan dan penghisapan kaum
kapital serta pembebasan seluruh rakyat indonesia dari belenggu dominasi
imperialisme dan sisa-sisa feodalisme ( perubahan sosial, ekonomi, politik, militer
dan kebudayaan yang lebih adil dan demokratis), GSBI meyakini bahwa gerakan
organisasi buruh harus kuat dan penting untuk menggalang kerjasama perjuangan
seluas-luasnya dengan golongan tertindas lainnya.
Tuntutan penghapusan sistem outsourcing bukan saja datang dari kaum
pekerja/buruh atau serikat buruh tetapi juga dari pemerhati masalah
ketenagakerjaan seperti prabowo subianto yang pernah mengusulkan agar sistem
manusiawi karena mengeksploitasi buruh”. Bahkan dala kesempatan lain, Aliansi
Buruh Menggugat (ABM) dan Front Perjuangan Rakyat (FPR) pada saat
peringatan Hari Buruh Sedunia (may day) Tahun 2012 melontarkan isu “hapuskan
sistem kontrak dan outsourcing” ABM memandang sistem buruh kontrak dan Alih
Daya (outsourcing) menyengsarakan kaum pekerja/buruh, sistem mana telah
membuat status para buruh semakin tidak jelas sehingga bisa terputus hubungan
kerjanya kapan saja pengusaha mau.
Sebagai gambaran pada tahun 2006 sampai 2007 berbagai serikat buruh
serenatak melakukan perlawananya diberbagai kota berhasil menentang rencana
pemerintah untuk merevisi UU No.13 Tahun 2003 tersebut. Kemudian hingga
tanggak 3 Oktober 2012, merupakan tanggal yang monumental dalam sejarah
gerakan buruh indonesia pasca kediktatoran rezim orde baru, karena pada saat itu
beberapa serikat buruh turun ke jalan untuk menuntut penghapusan sistem kerja
outsourcing, penolakan upah murah dan pelaksanaan jaminan sosial. Aksi protes
dan perlawanan buruh pun masih mempersoalan hal yang serupa, seolah kurang
lengkap jika sebuah gerakan menanggalkan isu tersebut yakni sistem outsourcing.
Mengenai hal ini dalam setiap momentum gerakan buruh, isu outsourcingseolah
selalu menjadi yang pertama dan utama dalam setiap aksi buruh.15
Signifikansi dari peristiwa-peristiwa seperti diatas memperlihatkan adanya
peningkatan resistensi dan militansi buruh yang selama ini mengalami berbagai
kerugian baik secara ekonomi maupu sosial. Membicarakan gerakan buruh dan
15
berbagai resistensinya sangat menarik, karena hal itu menyangkut dengan sebuah
upaya peningkatan kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Dengan
demikian terjadinya resistensi menurut suriadi (2008), dapat disebabkan oleh tiga
faktor, yaitu: pertama, faktor sosio-psikologis, kedua, faktor sistem budaya yang
sudah tidak sesuai lagi tatanan nilai dan norma yang telah terinternalisasi dalam
tatanan kehidupan para buruh. Ketiga, faktor struktural yang adanya kondisi
struktural (sosial politik) yang memungkinkan buruh mempunyai ruang gerak
untuk memanisfestasikan dalam berbagai aspirasinya.16
Dari beberapa penjelasan sebelum-sebelumnya di atas, persoalan reaksi
buruh beserta resistensi lainnya saat ini meruapakan persolan yang serius dan
memerlukan refleksi secara mendalam oleh semua pihak. Kenyataan tersebut Resistensi buruh pun kerap kali muncul terhadap perubahan kebijakan,
karena banyak permasalahan yang akan timbul pada saat perubahan akan
dilakukan. Menurut Piderit menjelaskan bahwa resistensi merupakan sebagai
respon negatif pekerja ketika menghadapi perubahan yang berasal dari tiga
dimensi yaitu komponen afektif, komponen kognitif, dan komponen perilaku.
Komponen afektif melihat bagaimana perasaan ketika terjadi perubahan,
kemudian komponen kognitif mengarah pada pikiran ketika terjadi perubahan,
dan komponen perilaku yang mencakup tindakan yang memberi respon pada
perubahan.
secara langsung menimbulkan berbagai pemikiran yang berhubungan dengan
adanya keadaan yang dapat dikategorikan sebagai sesuat yang luar biasa sedang
terjadi didalam diri buruh yang tidak lagi mampu dimediasi dengan cara yang
selama ini dilakukan. Hal ini sekaligus menunjukan bahwa masalah yang ada
disekitar buruh tidak serta merta dapat dipahami sekedar sebagai kenyataan sosial
semata, melainkan juga persoalan hak dan kewajiban yang dihiraukan. Oleh
karena itu, berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk menganalisis
fenomena perlawanan buruh tersebut yang nantinya akan dituangkan dalam
skripsi yang berjudul “Resistensi Buruh Terhadap Kebijakan Sitem Outsourcing”.
1.2.Rumusan Masalah
Permasalahan yang dihadapi diberbagai negara terkhusus di negara-negara
berkembang yaitu salah satunya adalah kesulitan dalam mencari lapangan
pekerjaan hingga sistem kerja yang kurang memihak kepada pekerja kasar yang
sudah melekat kuat dikalangan masyarakat. Pengusaha atau pemilik modal selalu
melihat buruh sebagai budak yang mereka pekerjakan dengan upah seadanya
sesuai kemampuan pengusaha, sehingga tidak jarang upah buruh dipangkas
bahkan ditunda pembayarannya. Buruh dipaksa untuk bekerja dengan sistem yang
membuat mereka tidak memiliki pilihan dalam hak bekerja yang pada akhirnya
para pekerja hanya dianggap robot.
Keadaan buruh yang terus-menerus seperti inilah pada akhirnya
telah menciptakan sistem yang sangat merugikan parah pekerja/buruh. Buruh
disini merasa tertindas dan tidak mengerti apa yang harus dilakukan selain
melawan secara nyata dengan aksi-aksi turun kejalan menyampaikan keresahan
kepada pemerintah.
Salah satu sistem yang merugiakan para buruh adalah sitem outsourcing.
Sistem ini mengarahkan pengusaha untuk tidak lagi memakai secara penuh kinerja
kaum buruh di perusahaan melainkan memakai pekerja alih daya atau pemborong
yang murah dan tanpa adanya jaminan kerja. Perlawanan-perlawanan yang
dilakukan oleh kaum buruh terhadap pengusaha ini disebut sebagai resistensi
kaum buruh. Resistensi ini biasanya dalam hal penolakan terhadap kebijakan
dalam dunia kerja yang merugikan kaum buruh. Berdasarkan uraian tersebut,
penulis merumuskan pertanyaan “Bagaimana Perlawanan Buruh Terhadap Sistem Outsourcing?”“ dengan studi kasus pada Gabungan Serikat Buruh Indonesia di kota Medan”.
1.3.Batasan Masalah
Pada penelitian ini perlu adanya pembatasan masalah terhadap
permasalaahn yang akan dibahas. Batasan masalah berfungsi agar suatu penelitian
lebih fokus pada tujuan utama dan terarah dalam membahas permasalahan yang
diteliti sehingga daapt menghasilkan suatu karya ilmiah yang dapat memberikan
disini adalah : penelitian berfokus kepada gejolak kaum buruh terutama pada
Gabungan Serikat Buruh Indonesia terhadap sistem outsourcing di kota Medan.
1.4. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mendeskripsikan bagaimana sikap Gabungan Serikat Buruh
Indonesia terhadap sistem outsourcing di kota Medan.
2. untuk mengetahui kerugian yang diciptakan sistem outsourcing terhadap
kaum pekerja/buruh.
3. Untuk mendeskripsikan hasil yang didapat dari perlawan buruh terhadap
kebijakan outsourcing
1.5. Manfaat Penelitian
1. secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan
pemahaman yang jelas dan kajian teoritik dalam hal resistensi buruh
terhadap sistem outsourcing.
2. secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah
perbendaharaan referensi penelitian sosial bagi departemen ilmu politik,
fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
3. bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi atau
sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan kuhususnya dalam hal
dalam memperjuangkan hak-hak kerjanya yang dibatasi oleh kebijakan
sistem outsourcing.
4. secara pribadi, penelitian ini mampu mengasah kemampuan peneliti
dalam melakukan sebuah proses penelitian yang bersifat ilmiah dan
memberikan pengetahuan yang baru bagi peneliti sendiri. Kemudian
penelitian ini juga berguna sebagai syarat dalam menyelesaikan tugas
skripsi.
1.6. Kerangka Teori dan Konsep
Landasan teori perlu ditegakkan agar penelitian mempunyai dasar yang
kokoh dan bukan sekedar perbuatan yang sifatnya hanya coba-coba (trial and
error). Adanya landasan teoritis merupakan cara ilmiah untuk medapatkan data,
teori adalah seperangkat konsep, asumsi, dan generalisasi yang dapat digunakan
untuk mengungkapkan dan menjelaskan perilaku dalam berbagai organisasi.
Berdasarkan rumusan di atas, maka dalam bagian ini penulis akan
mengemukakan teori, pendapat, serta gagasan yang akan menjadi titik tolak
landasan berpikir dalam penelitian ini, yaitu :
1.6.1. Buruh
Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lain. Dalam definisi tersebut terdapat dua unsur yaitu
lain. Hal ini berbeda dengan defiisi tenaga kerja yaitu setiap orang yang mampu
melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/jasa, baik untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun masyarakat.
Pekerja/buruh merupakan bagian dari tenaga kerja yaitu tenaga kerja yang
bekerja di dalam hubungan kerja, dibawah perintah pemberi kerja (bisa
perorangan,pengusaha,badan hukum, atau badan lainnya) dan atau jasanya dalam
bekerja yang bersangkutan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Dengan kata lain, tenaga kerja disebut sebagai pekerja/buruh bila ia melakukan
pekerjaan di dalam hubungan kerja dan dibawah perintah orang lain dengan
menerima uah atau imbalan dalam bentuk lain.
Istilah pekerja atau buruh secara yuridis sebenarnya adalah sama dan tidak
ada perbedaan diantara keduanya. Kedua kata tersebut dipergunakan dan
digabungkan menjadi “pekerja/buruh” dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan untuk menyesuaikan dengan istilah “serikat pekerja/serikat
buruh” yang terdapat dalam UU No 21 Tahun 2000 yang telah digunakan
sebelumnya. Pada zaman Hindia Belanda istilah buruh hanya diperuntukan bagi
orang-orang yang melakukan pekerjaan tangan atau pekerjaan kasar seperti
kuli,tukang,mandor,dan lain-lain yang di dunia barat dikenal dengan istilah blue
Belanda dinamakan pegawai dan diberi kedudukan sebagai priyayi dan di dunia
barat dikeal dengan istialah white collar.17
a. Buruh harian, buruh yang menerima upah berdasarkan hari masuk
kerja
Buruh dalam Pasal 1 angka 2 UU No 13 Tahun 2013 Tentang
ketenagakerjaan memiliki pengertian setiap orang yang bekerja dengan menerima
upah atau imbalan dalam bentuk lain. Buruh terdiri dari beberapa macam yaitu
b. Buruh kasar, buruh yang menggunakan tenaga fisiknya karena tidak
mempunyai keahlian dibidang tertentu
c. Buruh musiman, buruh yang bekerja hanya pada musim-musim
tertentu
d. Buruh pabrik, buruh yang bekerja di pabrik-pabrik
e. Buruh tambang, buruh yang bekerja di pertambangan
f. Buruh tani, buruh yang menerima upah dengan bekerja di kebun di
sawah orang lain
g. Buruh terampil, buruh yang mempunyai keterampilan di bidang
tertentu
h. Buruh terlatih, buruh yang sudah dilatih untuk keterampilan di bidang
tertentu18
17 Maimun.2007.op.cit.Hal.11-13.
Pendapat lain menyebutkan buruh diartikan sebagai orang yang bekerja
dibawah perintah orang lain, dengan menerima upah karena telah melakukan
pekerjaan di perusahaan.19
a. Penyerahan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan kepada perusahaan
lain untuk dikerjakan di tempat perusahaan lain tersebut; atau
Kemudian Muchtar Pakpahan mengatakan buruh
adalah mereka yang bekerja dan menggantungkan hidupnya dari gaji dan
mendapat upah dari jasa atau tenaga yang dikeluarkannya. Jadi, siapapun yang
bekerja dan mendapatkan gaji, mereka adalah buruh . orang yang bekerja di ban
rumah sakit, perusahaan sawit atau tebu, jurnalis, swalayan, toko atau dimanapun
adalah buruh.
1.6.2. Alih Daya atau Outsourcing
Istilah outsourcing tidak ditemukan secara langsung di dalam ketentuan
Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Di dalam pasal 64
Undang-undang No 13 Tahun 2003 hanya dikemukakan bahwa “perusahaan dapat
menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan pada perusahaan lainnya melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerjaan/buruh yang
dibuat secara tertulis. Outsourcing, melalui ketentuan pasal 64 di atas dapat
dikelompokan dalam dua bagian yaitu:
19
b. Penyediaan jasa tenaga kerja oleh perusahaan penyedia jasa tenaga
kerja yang dipekerjakan pada perusahaan lain yang membutuhkan.20
Outsourcing adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian dari
suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan penyedian jasa outsourcing).
Hal-hal yang didelegasikan dalam outsourcing adalah suatu fungsi dan proses
bisnis tertentu untuk disisipkan dalam opersaional bisnis perusahaan secara
keseluruhan.21Pengertian outsoucing (Alih Daya) secara khusus didefinisikan oleh Maurice F Greaver II, pada bukunya Strategic Outsourcing, A Structured
Approach to Outsourcing: Decisions and intiatives, dijabarkan “strategic use of
outside parties to perform activities, traditionally handled by internal staff and
respurces.” (sebagai strategi atau tindakan mengalihkan beberapa aktivitas
perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak).22
Bila merujuk secara cermat pada ketentuan pasal 64, 65, dan 66
Undang-undang No 13 Tahun 2003, Outsorcing adalah pemborongan suatu pekerjaan yang
penunjang yang terpisah dari kegiatan utama suatu perusahaan berdasarkan
perjanjian tertulis kepada perusahaan lain. Berdasarkan pemahaman tersebut maka
dapat dipahami bawasanya outsorcing berbeda dengan pengertian Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (PWKT).23
20
Suria Ningsih, 2011, “Mengenal Hukum Ketenagakerjaan”, Medan;USU Press,Hal.88-89. 21
Prin Mahadi, ‘outsorcing’: Komoditas Politikkah? Ketua II Asosiasi Pengusaha Alih-Laksana Indonesia (APALINDO) Semarang.
22Ibid.,hal.57 23
Hal yang mendasari mengapa pekerja/buruh outsourcing harus tunduk
pada peraturan perusahaan (user) atau pemberi kerja adalah :
a. Pekerja/buruh tersenut bekerja ditempat/lokasi perusahaan pemberi
kerja
b. Standard Operetional Procedures (SOP) atau aturan kerja perusahaan
pemberi kerja harus dilaksanaka olehpekerja/buruh, dimana semua hal
itu tercantum dalam perauturan perusahaan pemebri kerja
c. Bukti tunduknya pekerja/buruh adalah pada Memorandum of
Understanding (MoU) antara perusahaan PJTK dengan perusahaan
pemberi kerja, dalam hal yang menyangkut norma-norma kerja, waktu
kerja dan aturan kerja.
Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, tidak semua pekerjaan
dapat dikerjakan oleh tenaga alih daya. Dapat dkatakan, sistem alih daya
merupakan salah satu cara yang diberikan oleh undang-undang bagi perusahaan
untuk dapat memenuh kebutuhan akan tenaga kerja yang sudah berpengalaman.
Alih daya atau Outsourcingdalam perundang-undangan ketenagakerjaan diartikan
sebagai penyerahan pelaksanaan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain.
Beberapa keuntungan yang diperoleh perusahaan jika menggunakan jasa
tenaga alih daya :24
1. Mengurangi biaya untuk pelatihan karyawan;
24
2. Mendapatkan karyawan yang berkompeten di bidangnya;
3. Lebih mudah dalam hal penggajian sebab gaji tidak diberikan kepada
tenaga alih daya, tetapi kepada perusahaan penyedia alih daya;
4. Lebih mudah dalam hal melakukan pemutusan hubungan kerja;
5. Secara umum, biasanya kualitas dari pekerja yang disediakan oleh
perusahaan alih daya lebih baik dari yang dimiliki oleh perusahaan.
Berdasarkan studi para ahli manajemen yang dilakukan sejak tahun 1991,
termasuk survey yang dilakukan terhadap lebih dari 1200 perusahaan,
outsoucing institute mengumpulkan sejumlah alasan mengapa
perusahaan-perusahaan melakukan praktik outsourcing terhadap aktivitas-aktivitasnya dan
potensi keuntungan apa saja yang diharapkan. Potensi keuntungn atau
alasan-alasan tersebut antara lain :25
a. Meningkatkan fokus perusahaan
b. Memanfaatkan kemampuan kelas dunia
c. Mempercepat keuntungan yang diperoleh dari reengineering
d. Membagi resiko
e. Sumberdaya sendiri dapat digunakan untuk kebutuhan-kebutuhan lain
f. Memungkinkan tersedianya dana kapital
g. Menciptakan dana segar
h. Mengurangi dan mengendalikan biaya operasi
i. Memperoleh sumber daya yang tidak dimiliki sendiri
25
j. Memecahkan masalah yang sulit dikendalikan atau dikelola sendiri.
Disamping beberapa keuntungan dari praktek outsourcing sebagaimana
dimaksud di atas, terdapat beberapa kerugian yang bisa diidentifikasi dari
outsourcing, antara lain :26
a. Keberlanjutan mendapatkan pekerjaan yang tidak pasti
Perusahaan hanya mampu menampung para pekerja yang mengikatkan diri
pada perusahaan outsourcing mereka, namun tidak serta merta langsung
dijadikan pekerja tetap dari perusahaan. Penugasan mereka menunggu
permintaan dari perusahaan yang menerima (perusahaan pengguna)
mereka bekerja.
b. Sistem Kontrak
Dengan sistem kontrak akan menyulitkan mereka dalam menetukan masa
depan. Sistem kontrak akan berjalan sesuai dengan tanggal berlaku atau
masa berlaku sesuai yang diperjanjikan awal. Maka dari itu kontrak tidak
memberikan jaminan bagi kehidupan pekerja outsourcing dimasa datang.
c. Tidak adanya serikat pekerja
Tidak adanya serikat pekerja membuat pekerja kesulitan di saat terjadi
perselisihan hubungan industrial baik antara perusahaan dan pekerja,
maupun antara pekerjadan pekerja. Mereka hanya mengandalkan atasan
dan Human Resources and Development (HRD) sebagai penengah dalam
penyelesaian perselisihan tersebut.
26
Pada pasal 64 UU No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, termuat hal
sebagai berikut:”perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dimuat secara tertulis.
Perusahaan pengguna jasa tenaga alih daya tidak dapat mengunakan tenaga
alih daya secara keseluruhan terhadap opersional perusahaan, sebab hal ini
secara jelas dibatasi oleh UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
sebagai berikut :27
a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi
pekerjaan;
c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Adapun persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat mengunakan tenaga alih
daya yang tidak berkaitan langsung dengan proses produksi sebagai berikut:
a. Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh
b. Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana
dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 dan/atau
27
perjanjuan kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan
ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c. Perlindungan upah dan dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta
perselisihan yang timbul menjadi tanggungjawab perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh; dan
d. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan
lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat
secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang.
1.6.3. Resistensi
Tema mengenai resistensi atau perlawanan menjadi sesuatu yang menarik
bagi para ilmuwan sosial. Di akhir tahun 1980-an, resistensi menjadi trend dalam
menelaah kasus-kasus yang mudah diamati serta bersifat empiris. Bagi para
peneliti sosial, resistensi dianggap berciri kultural, sebab ia muncul melalui
ekspresi serta tindakan keseharian masyarakat. Analisa resistensi sendiri terhadap
suatu fenomena banyak melihat hal-hal yang ada dalam keseharian masyarakat
baik berupa kisah-kisah, tema pembicaraan, umpatan, serta pujian-pujian, dan
perilaku lainnya sehingga resistensi menjadi gayung bersambut dalam keilmuan
sosial.28
Dikalangan ilmuwan sosial, resistensi terkadang dimaksudkan dalam
paradigma konflik, padahal keduanya memiliki bentuk yang berbeda.
Lazimnya resistensi menjadi titik tengah dari dinamika teori konflik Marxian
dan teori konflik Non-Marxian. Jika konflik masih berkutat pada frame teoritis
dalam melihat realitas, maka resistensi menekankan pada aspek empiris serta
melakukan senstizing atau dialog secara kreatif terhadap realitas sosial.29
Sejarah resistensi memang bermula pada khazanah antropologi karena
memang gagasan tersebut berada pada posisi di tengah-tengah antara
pemikiran Marxisme dalam antropologi dan pemikiran antropologi simbolik
yang lebih berorientasi pada kebudayaan atau yang memilikisensivitas
buda ya. Dalam keilmuan sosiologi bermula ketika terjadi kritik internal oleh
mazhab Frankfurt Jerman, sosiologi dikritik karena saintismenya, karena
menjadikan metode ilmiah sebagai tujuan itu sendiri, selain itu sosiologi juga
dituduh melanggengkan status quo sehingga keilmuwan ini tidak mampu
menyumbangkan hal-hal bermakna bagi perubahan politik yang dapat
melahirkan “masyarakat yang adil dan manusiawi”.30
29
Yusran Darmawan,”Resistensi dalam Kajian Antropologi.”
30 George Ritzer dan Douglas J.Goodman,”Teori Sosiologi:Dari Teori Sosiologi Klasik sampai
James Scoot dalam studinya Weapon of the weak: Everyday forms of
Peasant Resistance tentang petani di malaysia. Menurutnya selama ini telah
banyak bermunculan literatur mengenai bentuk-bentuk resistensi yang dipakai
oleh petani. Berbeda dengaan sebelumnya, scoot mencoba mengobservasi
serta mendeskripsikan tentang merasakan serta tingkahlaku masyarakat miskin
di perkampungan Malaysia yang menjadi sebuah kerangka sosial kehidupan
mereka dalam melakukan kegiatan perkalawanan. Scoot mebuat tiga level
perbedaan atas resistensi:
a. ketika tingkat ekonomi makro dan proses perpolitikan diberikan kepada
petani namun hal tersebut jauh dari kerangka sosial yang diharapkan oeleh
para petani.
b. Investasi pemerintah yang kurang melakukan observasi terhadap norma
dalam kehidupan masyarakat sekitar.
c. Terdiri dari peristiwa lokal dan kondisi perasaan serta pengalaman dari
masing-masing individu.31
Resistensi dalam studi James Scoot yaitu fokus pada bentuk-bentuk
perlawanan yang sebenarnya ada dan terjadi disekitar kita dalam kehidupan
sehari-hari, ia menggambarkan dengan jelas bagaimana bentuk perlawanan
kaum minoritas lemah. Mereka tidak punya kekuatan dalam melakukan
penolakan terbuka ternyata mempunyai cara lain dalam menghindari
31
intervensi dari negara dan perusahaan. Menurut Scoot terdapat beberapa
bentuk resistensi yaitu:
a. resistensi tertutuo (simbolis atau ideologis) yaitu gossip,fitnah,penolakan
terhadap kategori-kategori yang dipaksakan kepada masyarakat, serta
penarikan kembali rasa hormat kepada pihak penguasa.
b. Resistensi semi-terbuka (proses sosial atau demonstrasi)
c. Resistensi terbuka, merupakan bentuk resistensi yang terorganisasi,
sistematis dan berprinsip. Manifestasi yang digunakan dalam resistensi
adalah cara-cara kekerasan (violent) seperti pemberontakan.32
1.7. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
penelitian dengan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan deskriptif,
dimana penelitian merupakan suata cara dalam memecahkan suatu masalah
berdasarkan fakta, dan data-data yang ada. Sehingga penelitian ini
memberikan gambaran yang detail mengenai suatu gejala atau fenomena
melalui fakta-fakta yang akurat.33
32
Andi Suriadi,”Resistensi Masyarakat Dalam Pembangunan Infrastruktur Pedesaan,” Komunitas Vol.4, no 3,(November 2008)hal.54-55
33
1.7.1 Metodologi Penelitian
Berdasarkan uraian serta penjelasan tujuan penelitian maupun kerangka
dasar teori sebelumnya, peneliti memiliki tujuan metodologis yaitu deskriptif.
Penelitian deskriptif adalah langkah-langkah melakukan reinterpretasi objektif
tentang fenomena-fenomena sosial yang terdapat dalam masalah yang diteliti.
Jenis penelitian ini tidak sampai mempersoalkan jalinan hubungan antara
variabel yang ada, tidak dimaksud untuk menarik generalisasi yang
menjelaskan variabel-variabel yang menyebabkan suatu gejala atau kenyataan
sosial. Karenanya pada penelitian deskriptif tidak menggunakan atau tidak
melakukan pengujian hipotesa (seperti yang dilakukan pada penelitian
ekspalatif) berati tidak dimaksud untuk membangun dan mengembangkan
teori.34
34 Sanafiah Faisal.1995.”Format Penelitian Sosial Dasar-dasar Aplikasi”. Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada.Hal.20
1.7.2. Jenis Penelitian
Studi ini pada dasarnya bertumpuh pada penelitian kualitatif. Aplikasi
penelitian kualitatif ini adalah konsekuensi metodologis dari penggunaan
metode deskriptif. Bogdan dan Taylor menjelaskan bahwa metode kualitatif
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan dan deskkriptif berupa
Penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau
preoses penjaringan informasi, dari kondisi sewajarnya dalam kehidupan suatu
objek dihubungkan dengan pemecahan masalah, baik dari sudut pandang
teoritis maupun praktis. Dari pengertian diatas jelaslah bahwa penelitian
kualitatif bersifat induktif, karena tidak dimulai dari hipotesa sebagai
generalisasi, untuk diuji kebenarannya melalui pengumpulan data yang
bersifat khusus.35
1. Data Primer
1.7.3. Lokasi Penelitian
Pada penelitian ini, lokasi penelitian yang akan dijadikan sebagai sumber
penelitian yaitu di kota Medan, Sumatera Utara.
1.7.4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan dari penelitian
ini, penulis akan melakukan teknik pengumpualan data dengan menggunakan
teknik pengumpulan data sebagai berikut:
Penggunaan data primer dilskukan melalui wawancara dengan
pihak-pihak yang berkaitan dan memiliki kapabilitas terhadap masalah yang
35
diteliti yaitu pihak Gabungan Serikat Buruh Indonesia di kota Medan.
Dalam wawancara, peneliti akan bertanya langsung kepada informan
ataupun narasumber yang dianggap sesuai dengan objek penelitian serta
meakukan tanya jawab secara langsung kepada informan yang terkait
dengan penelitian ini.
2. Data Sekunder
Selain data primer, penulis juga akan melakukan telaah pustaka
(libraryresearch). Pengumpulan data sekunder ini dilakukan dengan
mencari data dan informasi melalui buku, jurnal, dan lainnya yang
berkaitan dengan penelitian ini. Selain penulis juga akan mencari referensi
tambahan melalui artikel dalam majalah,koran dan lainnya.
1.7.5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan oleh penulis adalah dengan
menggunakan analisa deskriptif kualitatif dengan tujuan untuk memperoleh
keluaran (output) dari hasil yang ingn dicapai dari proses penelitian. Data yang
sudah terkumpul, baik data primer maupun data sekunder akan diolah dan
kemudian dianalisis untuk dapat diambil kesimpulan sebagai hasil dari penelitian.
Selain itu, penelitian ini bersifat deskriptif yang betujan memberikan
melalui wawancara dan dokumentasi kemudian disusun, dianalisis dan disajikan
untuk memperoleh gambaran sistematis tentang kondisi dan situasi yang ada.
Data-data tersebut diolah dan dieksplorasi secara mendalam yang selanjutnya
akan menghasilkan kesimpulan yang menjelaskan masalah yang akan diteliti.
1.7.6. Sistematika Penulisan
Untuk mendapat gambaran yang terperinci, dan untuk mempermudah isi
daripada skripsi ini, maka penulis membagi sistematika penulisan kedalam empat
bab, yaitu:
BAB I: Pendahuluan
Dalam bab ini berisi tentang latar belakang masalah, pokok permasalahan
yang akan dibahas, pembatasab masalah yang akan diteliti, tujuan mengapa
diadakan penelitian ini, manfaat penelitian dan metode penelitian serta kerangka
teori yang akan menjadi landasan pembahasan masalah.
BAB II: Deskripsi Lokasi Penelitian
Pada bab ini akan diuraikan tentang gambaran dari lokasi penelitian di
BAB III: Analisis Resistensi Buruh Terhadap Sistem Outsourcing
Pada bab ini data dan informasi disajikan dan dianalisis secara sistematis
berdasarkan penelitian yang dilakukan
BAB IV: Penutup
Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, yang berisi
kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian yang telah dilakukan, lalu
berisikan saran-saran yang akan diharapkan memberi manfaat bagi lembaga atau