Written by:
Umiyati Haris, S.IP.
Pendahuluan
Setiap negara di dunia memiliki sejarah dinamika sistem politik. Sistem politik
biasa berbeda antara satu masa pemerintahan dengan masa pemerintahan selanjutnya. Hal tersebut memang lumrah terjadi ketika pengaruh internal dan eksternal suatu negara berubah setiap waktu. Kebijakan luar negeri dan kebijakan
dalam negeri ditetapkan oleh suatu negara berdasarkan kepentingan dan kebutuhan nasional dan mempertimbangkan kondisi politik luar negeri pada saat itu. Sehingga,
kebijakan suatu negara pada masa perang berbeda dengan kebijakan pada masa menghadapi krisis pangan.
Seperti halnya kebijakan perubahan yang diterapkan oleh Mikhail Gorbachev di
Uni Soviet melalui Glasnost dan Perestroika yang menuntut adanya keterbukaan dalam sistem politik dan restrukturisasi ekonomi Soviet yang memburuk akibat
ketidaksesuaian penerapan ideologi negara. Sehingga, hal tersebut terlihat berdinamika dalam proses transisi perubahan sistem politiknya.
Begitu pula halnya dengan Indonesia yang memiliki dinamika transisi sistem
politik dan partai politik dari suatu masa kepemimpinan ke masa kepemimpinan selanjutnya. Kebijakan diambil dan diterapkan berdasarkan kondisi politik luar negeri
dan kepentingan nasional Indonesia pada saat tertentu. Dalam pembahasan selanjutnya akan dijelaskan mengenai pandangan kebijakan Glasnost dan Perestroika dalam transisi sistem politik dan partai politik Indonesia.
Perubahan fundamental terjadi ketika Mikhail Gorbachev berkuasa. Tekanan-tekanan ekonomi akibat mengabaikan kebutuhan ekonomi sipil memaksa Gorbachev untuk melahirkan new thinking (Navoye Nyscheleniye) dalam kebijakan
luar negerinya. Munculnya pemikiran baru dalam kebijakan luar negeri Uni Soviet pada masa Mikhail Gorbachev memiliki implikasi penting, yaitu membuka jalur
diplomasi untuk membicarakan masalah-masalah dunia secara multilateral terutama dengan Amerika Serikat; peredaan Perang Dingin; pengurangan bantuan ekonomi dan militer terhadap negara-negara klien; toleransi bagi negara-negara satelit di
Eropa Timur termasuk Jerman Timur untuk menentukan perubahan politik sendiri dan komitmen serius untuk mengurangi perlombaan senjata nuklir.
Terdapat lima elemen penting dari pemikiran baru Gorbachev mengenai politik luar negerinya (Navoye Nyscheleniye), diantaranya sebagai berikut:
1. Pandangan baru dalam pemikiran politik untuk menyelesaikan persoalan
dunia;
2. Mewaspadai ancaman nuklir bagi dunia;
3. Mengembangkan saling ketergantungan internasional;
4. Mengembangkan konsep keamanan Soviet yang tidak lagi unilateral, namun multilateral;
5. Meredakan ketegangan hubungan antara timur dan barat.
Pemikiran politik luar negeri Gorbachev tersebut berbanding terbalik dengan
kebijakan yang diterapkan oleh Presiden Uni Soviet sebelum Gorbachev berkuasa, dimana Uni Soviet menekankan politik luar negeri dengan karakteristik ekspansi teritorial dan superioritas militer yang strategis dalam kebijakan negara.
pengalaman Gorbachev sewaktu kecil yang hidup di negara perang dan faktor yang kedua datang dari kondisi internal Soviet. Pengalaman Gorbachev sewaktu kecil yang hidup di negara perang, yang kemudian membentuk kepribadian Gorbachev
menjadi seorang yang cinta damai. Faktor kedua adalah tujuan Gorbachev mengambil kebijakan Glasnost dan Perestroika adalah untuk menyelamatkan
keadaan dalam negeri Uni Soviet yang mengalami collapse di berbagai bidang. Menurutnya, kehidupan rakyat Soviet tidak akan berjalan baik jika sistem yang diterapkan oleh ideologi mereka adalah ideologi komunis. Ideologi komunis
menekankan bahwa dari tiap orang dituntut hasil kerja sesuai kemampuannya, tetapi kepadanya hanya diberi apa yang menjadi kebutuhannya.
Sehingga, Gorbachev mengambil beberapa kebijakan menurut porsinya masing-masing. Kebijakan Glasnost dan Perestroika diterapkan untuk mengatasi keadaan di dalam negeri Uni Soviet, sedangkan kebijakan politik luar negeri Navoye
Nyscheleniye diterapkan untuk memperbaiki wibawa Soviet di dunia internasional.
Kebijakan Glasnost dan Perestroika merupakan kebijakan perubahan bagi
seluruh bidang yang diterapkan di Uni Soviet. Memandang hal tersebut, transisis sistem politik dan partai politik di Indonesia yang juga berdinamika dapat dipandang melalui kebijakan Gorbachev.
Glasnost merupakan kebijakan keterbukaan dan Perestroika merupakan
kebijakan restrukturisasi ekonomi untuk merombak sistem politik di Uni Soviet.
Perubahan sistem politik Soviet juga terlihat pada sistem politik dan partai politik di Indonesia. Dimulai pada pemilu pertama pada tahun 1955, dimana dinamika partai politik tertinggi berada pada pemilu tahun ini yang didasarkan pada model-model
paguyuban. Antusias dan aspirasi masyarakat tinggi dalam mengikuti pemilu. Jadi,
tersebut disebabkan karena peserta pemilu yang terdiri dari perorangan memiliki keinginan untuk merebut kekuasaan, serta didukung dengan belum adanya undang-undang yang mengatur tentang syarat nama partai.
Pada Demomrasi Terpimpin 1959, semua partai politik harus tunduk pada
presiden. Karena semua hal dipimpin oleh presiden, termasuk pengaturan partai. Banyak konsep yang dikembangkan, antara lain gotong royong; perubahan sosial dan politik. Ciri khas Demokrasi Terpimpin adalah monarki, karena ada hal-hal
tertentu dimana keluarga presiden yang diutamakan.
Pada masa Orde Baru, muncul Golonga Karya sebagai salah satu peserta
pemilu. Secara kultural dan dinamik, Golkar adalah partai besar karena menggabungkan partai yang sulit menyatu karena hal pemimpin partai. Selain itu, masa Orba juga terdapat fusi partai menjadi 3 partai politik. Sepanjang era
kepemimpinan orde baru, Golkar selalu menang dalam pemilu dan merupakan partai yang berkuasa. Sehingga muncul era reformasi yang membawa bentuk sistem
politik dan pemilu yang terbuka, terutama bagi partai-partai politik.
Pada era reformasi, kedudukan Golkar masih kuat di daerah-daerah yang dipegang oleh bangsawan daerah. Namun, jumlah suara Golkar mengalami
penurunan dari PDIP. Adapun partai komunis (buruh) tidak memperoleh kursi pada masa reformasi. Pada masa ini, muncul partai baru, seperti PAN yang berupaya
membangkitkan politik perdaban dan berupaya masuk ke pemerintahan. Selain itu, kehadiran partai Demokrat sangat penting dengan banyaknya elit politik yang bergabung dalam partai tersebut. Selain itu ada PKS yang berupaya untuk mengejar
Era Reformasi menunjukkan kebijakan Glasnost dan Perestroika dalam trnasisis sistem politik dan partai politik di Indonesia. Pada era Reformasi, kran demokrasi dan kebebasan berpendapat dibuka seluas-luasnya. Sehingga setiap orang berhak
untuk ikut serta dalam partai politik dan mendirikan partai politik. Oleh karena itu, banyak aliran ideologi partai politik yang berkembang di era Reformasi seperti:
Demokrat (Nasionalis religius); Golkar (Kekaryaan); PKB (Kebangsaan); PDIP, Hanura, Gerindra (Nasionalis); PKS (Islam Terbuka); PPP (Islam); PAN (Islam Nasionalis).
Penutup
Kebijakan keterbukaan Glasnost dan Perestroika yang diterapkan di Uni Soviet dapat digunakan untuk melihat transisi sistem politik dan partai politik di Indonesia. Transisi sistem politik dan partai politik pada masa Reformasi
menunjukkan adanya kebijakan keterbukaan bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk bergabung dalam kegiatan politik dan kebebasan mengeluarkan pendapat.
Sehingga, berbagai macam aliran ideologi partai politik muncul dan mengadopsi nilai-nilai internal bangsa Indonesia maupun pengaruh dari eksternal, seperti pengaruh liberal dan komunis. Sehingga, partai politik pada era Reformasi tidak
hanya selalu dimenangkan oleh satu partai politik dengan meraih suara dominan dan menduduki kekuasaan. Dalam era Reformasi, setiap partai politik berhak