FILM BIOPIC MUSISI
Fakta Sejarah atau Usaha Pengkultusan?
- Sandy Allifiansyah -
Tulisan ini pernah dimuat dalam webzine houtskools.com tahun 2015
Mana yang lebih penting bagi Anda, musik atau musisi yang membawakan
musik tersebut? Jawaban dari pertanyaan ini seringkali berkelindan satu sama
lain. Musik dalam konteks budaya populer, tidak bisa lepas dari aktor, atau
orang-orang yang memainkannya. Sering kita sebut mereka sebagai musisi. Nama-nama
seperti Bob Marley, John Lennon, James Brown, Ray Charles, Ian Curtis bahkan
Kurt Cobain, adalah para mendiang yang sosoknya bertendensi lebih besar dari
musik yang mereka bawakan.
Umat mereka tidak terbayangkan jumlahnya, alunan lagu yang mereka
gubah masih terdengar lantang, poster mereka masih bertebaran, artikel dan
ulasan mengenai perjalanan karier mereka masih laris ditulis oleh para jurnalis,
bahkan diluar jurnalis musik sekalipun. Mengapa? Karena mereka adalah
sosok-sosok karismatik yang berhasil melampaui musik itu sendiri. Kehadiran mereka
tidak lagi dimaknai berdasarkan tangga nada, melainkan sebuah produk budaya
dan simbolisasi generasi.
Berbicara musik dalam paradigma berpikir industri, maka perbincangan kita
tidak akan bisa lepas dari medium-medium lain yang beredar disekitarnya. Mulai
dari radio hingga televisi. Bahkan kini internet turut ambil bagian dalam
melestarikan peninggalan-peninggalan para musisi kenamaan berikut segala
mistifikasi tentang mereka. Namun, fenomena pelembagaan diri para musisi kini
tersaji dalam bentuk yang paling canggih, lengkap dengan segala atribut audio
dan visual. Medium tersebut adalah film biopic. Melalui medium tersebut, sang
seniman notasi balok dapat dihadirkan kembali dengan beragam pengkultusan,
mulai dari representasi hingga subjektifitas sang sutradara.
Terdapat beragam kepentingan dalam genre ini. Kendati sering
pernah lepas dari kritikan, terutama yang berasal dari para sejarawan, kritikus
film, hingga kolega terdekat sang tokoh. Terbatasnya durasi menjadi kendala.
Tidak mungkin bisa menghadirkan keseluruhan peristiwa-peristiwa yang pernah
dialami tokoh tersebut ke dalam keselurahan isi film. Cara tebang pilih inilah
yang sering menjadi titik lemah.
Film berjudul Ray (2004) adalah salah satu contoh biopic yang sukses
menghadirkan kembali sosok Ray Charles. Musisi tuna netra serba bisa itu
berhasil diperankan dengan baik oleh Jamie Foxx hingga berbuah Oscar. Cerita
sukses ini bukan berarti berbanding lurus dengan minimnya kritikan. Momen saat
Ray Charles bergelut dengan depresi
dan narkotika, dianggap kritikus
sebagai bagian yang hiperbolis.
Satu lagi film biopic musisi yang
sukses menampilkan seorang legenda
adalah film Walk The Line (2005).
Bercerita tentang Johnny Cash, film ini
diganjar Golden Globe dan Grammy.
Joaquin Phoenix bak dua mata sisi saat
memerankan sosok Johnny Cash yang
wafat pada 2003, dua tahun sebelum
film ini dirilis. Joaquin dianggap tidak
optimal saat memerankan Cash ketika
berada diatas panggung dan menyanyikan lagu-lagu kenamaannya. Banyak lagu
di film ini yang direkam ulang dan dinyanyikan oleh Joaquin sendiri. Di antaranya
“Folsom Prison Blues”, “I Walk The Line”, “Cocaine Blues” dan lain sebagainya.
Penampilan Joaquin lesu, atau mungkin aura Cash terlalu besar sehingga
lagu-lagu tersebut hanya bisa dibawakan olehnya seorang.
Polemik tarik ulur cocok tidaknya seorang aktor dan aktris memerankan
sosok musisi besar, menjadi ganjalan tersendiri bagi kelangsungan proses film
biopic. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, musisi ini lebih besar dari
muka sang musisi tetap sulit untuk diganti dan direpresentasikan ke dalam bentuk
yang lain. Bisa jadi itulah yang menjadi penyebab Hollywood kerap kelimpungan
dalam mencari sosok ideal untuk memerankan seorang musisi besar. Tidak heran
bila Taylor Swift masih diragukan apakah ia sanggup berperan sebagai Joni
Mitchell dalam sebuah biopic tentang biduan tersohor dari genereasi bunga.
Usaha menghadirkan kembali tokoh-tokoh ini sebenarnya adalah sekelumit
perjuangan orang-orang yang mengakui bahwa dirinya telah menjadi bagian dari
tokoh tersebut, bahkan tak jarang mengaguminya. Contoh paling nyata adalah
ketika Anton Corbijn, fotografer sekaligus fans Joy Division, menjadi sutradara
film Control (2007). Sebuah biopic tentang Ian Curtis, frontman Joy Division,
band asal Inggris yang dianggap sebagai salah satu pionir gerakan post-punk.
Sosok Ian Curtis yang gelap, dingin, tatapan matanya yang kosong, hingga depresi
akan epilesi hingga berujung bunuh diri, diperankan dengan apik oleh Sam Riley.
Film ini mendapatkan apresiasi dari Peter Hook, bassist Joy Divison yang
mengatakan bahwa Control lebih akurat bila dibanding 24 Hour Party People
(2002).
Melawan Pengkultusan & Mistifikasi
Fakta membuktikan bahwa film biopic tidak selalu menampilkan
mereka-mereka yang telah tiada. Film biopic tentang Bob Dylan berjudul I’m Not There (2007) adalah contoh sahih paling populer. Film yang dibintangi oleh Christian
Bale dan Heath Ledger bercerita tentang momen-momen kunci dalam karier Bob
Dylan. Mulai dari bertemu dengan The Beatles, hingga menjadi seorang martir
rock ‘n roll. Plot dari film ini tergolong unik, karena menampilkan narasi yang terpotong-potong dan representasi Dylan yang berbeda-beda dari masa ke masa.
Hadir pula biopic yang belum lama ini rilis, berjudul Straight Outta Compton
(2015). Bercerita soal kelompok hip-hop legendaris N.W.A yang digawangi oleh
Dr. Dre dan Ice Cube. Dalam film ini kita bisa melihat naik turunnya karir
Masih hidup tidaknya seorang musisi saat biopic tentangnya dirilis, bukan
merupakan persoalan utama. Masalah penafsiran sutradara, narasi, dan metafora
di dalamnya adalah titik yang perlu dicermati. Pada dasarnya, masyarakat dalam
konteks luas, membutuhkan tontonan. Mereka perlu sosok-sosok panutan, tak
jarang pula dinabikan. Maka tidak heran bila kisah-kisah superhero selalu laris
dipasaran. Superhero itulah yang terepresentasi dalam sosok seorang musisi.
Lewat musik, mereka menjadi seorang pendakwah massa yang disegani, bahkan
kerap mengubah jalan hidup orang-orang yang mengikutinya. Hal ini menjadi
sasaran empuk industri film untuk memanfaatkan pengaruh dan karisma mereka
untuk disajikan dalam kisah-kisah visual berwujud biopic. Bahkan ada pula yang
hanya menyajikan sepotong awal perjalanan hidup sang musisi karistmatik. Film
Nowhere Boy (2009)
yang berkisah tentang
John Lennon kala
remaja adalah salah
satu contohnya.
Walaupun begitu,
ada pula pihak yang
tidak nyaman dengan
kondisi dinabikannya
sang musisi oleh banyak orang, bahkan hingga ditasbihkan lewat biopic. Film
Montage of Heck (2015) yang bercerita tentang Kurt Cobain adalah contoh dari
penolakan itu. Adalah sang putri, Frances Bean Cobain, yang berujar “saya ingin mempersembahkan Kurt sang pria biasa.” Terlalu naif jika menyebut film ini
sebagai biopic murni. Pasalnya, film berdurasi 2 jam 12 menit ini, berisi banyak
footage asli Cobain yang belum pernah terpublikasi, dan disajikan dengan alur
Taktik semacam ini
disutradarai oleh Kevin MacDonald ini bisa dikategorikan sebagai film semi
biopic dan dokumenter. Sebab, terdapat beragam footage Bob Marley pribadi,
lengkap dengan dialog-dialognya. Kendati masih ada pula aktor-aktor yang
berperan sebagai orang-orang dekat Marley semasa hidup.
Film biopic sejatinya tidak hanya becerita tentang musisi tersebut sebagai
objek tunggal. Namun juga mempertegas konteks zaman saat itu. Pada Great
Balls of Fire! (1989), selain melihat perjalanan karier seorang Jerry Lee Lewis,
kita bisa menyaksikan bagaimana rock „n roll dibesarkan dan tumbuh kembang di
zamannya. Atau perkembangan musik psikedelik dan lahirnya album monumental
Pet Sounds, lewat Love & Mercy (2014) yang menjadikan The Beach Boys dan
Brian Wilson sebagai fokus cerita.
Alhasil, apapun jenis film tentang mengangkat tentang sejarah, unsur drama
dan rekayasa fiktif tetap tidak bisa dibuang begitu saja. Film biopic musisi sudah
menjadi bagian dari sebuah industri budaya populer. Bila sang musisi juga
merupakan bagian dari industri budaya populer itu sendiri, maka simbiosis
mutualisme pasti akan terjadi. Semua pihak akan berusaha untuk mencari
biasa. Bila kebenaran film biopic dipertanyakan, maka penyataan dari George
Custen (1992) adalah jawabanya : “Kebenaran sebuah film biopic bukan diukur
dari apakah yang tersaji pada film itu sesuai dengan fakta. Tetapi berdasar pada
apakah film yang tersaji dipercaya sebagai kenyataan oleh khalayaknya.”
Lantas, siapa lagi musisi yang Anda nantikan kemunculannya dalam balutan
biopic?