• Tidak ada hasil yang ditemukan

Contoh Opini Esai Populer PERNIKAHAN ANT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Contoh Opini Esai Populer PERNIKAHAN ANT"

Copied!
2
0
0

Teks penuh

(1)

PERNIKAHAN:

Antara Ritus dan Pesta

Mutya Widyalestari, 1106005162 | Ilmu Sejarah | Tugas VI

esta pernikahan (wedding party), upacara pernikahan (wedding ceremony), atau apapun sebutan bagi kedua mempelai yang mengundang tamu dan berbagi kebahagiaan bersama mereka, adalah ibarat kembang api atau pentas teater atau resital piano. Anda melakukan persiapan berbulan-bulan, berdebar, menunggu, dan semuanya diselesaikan, ditentukan hanya dalam lima menit, paling lama dua sampai tiga jam. Setelah itu, kebanyakan orang akan melupakannya, terutama tamu-tamu yang makan gratis atau para vendor yang mesti mengurus pesta lain. Tapi tidak bagi mereka yang menjadi pelakunya. Pasangan suami istri itu, si pembuat kembang api, atau anak kecil yang melakukan resital tadi, selamanya akan mengingat hal tersebut, sebagai kenangan yang membahagiakan atau memalukan.

P

Pernikahan, sama seperti Jakarta Fair atau Java Jazz, adalah lahan hidup bagi banyak orang yang tak terhitung jumlahnya. Entah itu fotografer pra-wedding, katering, salon, tata rias pengantin, penjual kain di Pasar Baru, pengusaha ruang serbaguna hotel ternama, butik, usaha transportasi, sekuriti, organ tunggal, band panggilan, tukang parkir, percetakan, penjual rangkaian bunga di Cikini, kantor pegadaian, bank umum, desainer, toko emas dan perhiasan, agensi perjalanan bulan madu, dan masih banyak lagi. Mereka bekerja by request atau sesuai permintaan. Biasanya jasa mereka tersebar dari mulut ke mulut dan hampir tiap bulan tidak pernah sepi pelanggan. Menjelang tanggal-tanggal baik seperti 11 Nopember 2011 lalu, banyak vendor pernikahan yang bahkan kewalahan menerima pesanan, terutama mereka yang bekerja di jasa penyewaan ruangan gedung-gedung “langganan”.

Jika Anda pernah menonton 27 Dresses, Anda pasti tahu bahwa pernikahan tidak lagi sekadar ritus sakral melainkan sebuah “industri”, “bisnis”, dan lahan “korporasi”. Jutaan, bahkan miliaran uang dihabiskan untuk menjadi Raja dan Ratu sehari di depan kerabat dan kolega. Ini sebetulnya bisa dimaklumi. Manusia secara umum membagi kehidupan menjadi tiga fase penting yakni kelahiran, pernikahan, dan kematian. Sudah sejak zaman dulu, di berbagai belahan dunia ada bermacam-macam kelompok etnis dan kepercayaan yang memeringati ketiga hal tersebut dengan upacara besar-besaran. Semakin tinggi status sosial si empunya acara, semakin heboh pulalah upacara yang dilangsungkan. Jika Anda tidak setuju dengan orang yang menghambur-hamburkan uang untuk menikah, Anda seharusnya juga tidak setuju dengan Rambu Solo masyarakat Toraja, pesta kematian yang terkenal menghabiskan banyak rupiah demi melepaskan orang tersayang ke alam baka. Tapi karena itu sebuah budaya, Anda mungkin berpikiran lain dan mengatakan “ini ya ini”, “itu ya itu”.

Memang kita sering mendapati kasus nyata, orang yang pernikahannya mewah seringkali hidupnya biasa saja, bahkan ada yang masih menumpang di rumah keluarga mempelai wanita. Ini tak lepas dari budaya orang Indonesia. Kalau menikah rasanya “tidak enak” jika tidak mengundang tetangga, kerabat jauh, teman TK, dan siapapun dengan jumlah undangan 200 sampai 400. Jumlah itu belum termasuk suami, anak, teman dekat, dan babysitter si penerima undangan. Bisa dibayangkan betapa berat katering yang harus ditanggung. Pernikahan di gedung atau rumah tak ada bedanya, sama-sama merepotkan dan menguras tenaga. Apalagi, sudah jadi pengetahuan umum, amplop yang diberikan para tamu sama sekali tidak mem-“balikmodal”-kan pengeluaran pesta mempelai. Tidak heran jika banyak kaum “visioner” yang memilih pernikahan sederhana tetapi bisa bulan madu berkelas, kredit rumah dan mobil, serta menabung untuk keperluan anak kelak.

Meski begitu, pameran pernikahan atau wedding fair/expo yang digelar di Grand Hyatt, Balai Kartini, atau JCC selalu dipadati pengunjung. Sekitar 20.000 pasangan muda, gadis-gadis sosialita, sampai ibu-ibu dan mertua yang menginginkan hal terbaik bagi anaknya berdatangan untuk melihat tren gaun pengantin terbaru, foto-foto, atau sekadar menarik kupon doorprize

(2)

Industri pernikahan juga harus mengikuti kemauan calon suami-istri yang semakin hari semakin aneh saja idenya tentang konsep pernikahan idaman. Seiring memudarnya pamor perhelatan di gedung dan depan rumah karena dicap kuno, tempat-tempat eksotis pun ditambahkan dalam daftar. Misalnya saja di pinggir pantai, kelab malam, kapal pesiar, atap gedung kantor, rumah kaca, lapangan golf, bahkan rumah sakit—jika salah satu pengantin tiba-tiba harus rawat inap. Tema-tema pun semakin beragam, seperti pernikahan a la Gipsi, pesta topeng, cap gomeh, rock and roll, gothic, fairy tale, dan masih banyak lagi. Sayangnya, pernikahan bawah air sepertinya belum— atau tak akan pernah ada—karena terlalu “ribet” dan dapat merusak ekosistem laut. Namun, kalau di kolam renang pribadi sepertinya bisa dicoba.

Orang Indonesia sendiri patut bersyukur, sebab kita punya banyak etnis yang jenis pernikahannya macam-macam. Orang Batak misalnya, senang bernyanyi dan menari untuk memeriahkan acara. Atau tengoklah scene akhir film Demi Ucok yang sungguh menginspirasi. Pria Batak menikah dengan wanita Padang. Hasilnya adalah gabungan jamuan babi dan kerbau yang unik dan menyenangkan. Sejalan majunya pola pikir manusia, asimilasi sudah bukan lagi momok, meski tak bisa dipungkiri, masih ada Jawa-jawa sok darah biru yang kolot ingin menikahi anaknya dengan wong Jowo juga, atau siapa pun yang bukan orang Sunda.

Perbedaan umur, partai, profesi, agama, ras, etnis, jenis kelamin, status ekonomi, atau apapun seharusnya jangan diperdebatkan lagi. Pernikahan pun adalah lambang dari tegaknya Hak Asasi Manusia. Sekarang bukan zamannya Siti Nurbaya, Kartini, atau Romeo-Juliet. Menikah bahkan mulai dianggap sebagai “pilihan”, seperti minum susu atau memelihara anjing, yang bebas dilakukan atau tidak dilakukan. Menikah bukan kebutuhan urgent seperti buang air atau berkedip 15.000 kali dalam sehari. Tapi tentu saja, perkataan semacam ini tidak berlaku jika Anda mengencani pangeran kerajaan dan berniat menikahinya. Lady Diana dan Putri Masako adalah beberapa orang yang darinya kita tahu bahwa kehidupan di istana tidak selembut sutra.

Jika kita mencari orang untuk dinikahi, biasanya kita akan mencari persamaan kita dengan si dia, bukan perbedaan. Begitupula yang dilakukan pasangan homoseksual. Tetapi bedanya, atas pertimbangan jenis kelamin yang sama itu, negara kita justru mencerca mereka dan menganggapnya kelainan. Padahal Maret lalu, 16 negara telah melegalkan same-sex mariage dan sampai sekarang tetap menjadi suatu acara yang meriah untuk ditonton dan diliput wartawan. Ini baru tantangan bagi perkawinan sejenis, belum jika SARA-nya yang berbeda.

Apabila Anda pernah menonton Corpse Bride garapan Tim Burton, Anda akan tahu bahwa yang diperdebatkan bukan lagi pernikahan sejenis, beda etnis, atau beda agama, tetapi pernikahan yang menyatukan si hidup dan si mati. Mari kita kesampingkan fakta bahwa di akhir cerita, Victor si manusia tetap menikah dengan Victoria yang juga manusia dan meninggalkan Emily si mayat balas dendam terhadap mantan tunangannya. Selama sesaat, Burton berhasil membangun atmosfer bahwa pernikahan tidak harus tentang persamaan atau perbedaan. Sayangnya, marriage institution

adalah mekanisme rumit di mana pernikahan hanya bisa dirasakan bagi orang yang masih hidup dan mereka harus menyerah terhadap hal itu. Kendati demikian, Corpse Bride telah berusaha menggagalkan satu pasal perjanjian penting pernikahan yakni "till death do us part".

Konstruktivisme yang sebenarnya bukanlah tentang apakah kita harus menikah atau tidak menikah, tetapi benarkah ada aturan untuk menikah? Menikah adalah menikah, adalah penyatuan dua keluarga, adalah pelegalan hubungan seks, tak peduli sesama jenis, beda status, incest, poligami, hidup/mati, bahkan yang lebih ekstrim: manusia dengan selain manusia (binatang atau PC-nya sendiri). Pernikahan adalah tentang keadilan. Tentang hibridisasi sapi Bali betina dengan banteng Jawa Timur. Atau jika Anda masih ingat pelajaran Biologi SMP tentang pembastaran antara mangga berbentuk Bulat rasa Manis (BbKK) dengan mangga berbentuk Lonjong rasa Manis (bbKK).

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas berkat Rahmat dan Hidayah-Nya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan penelitian dan penulisan tesis

bahwa dalam rangka pelaksanaan pemungutan Pajak Mineral Bukan Logam Dan Batuan di Kabupaten Buru serta sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor

Beberapa jam sebelum kelahiran sang induk akan mencabuti bulu di bawah perutnya dan di kumpulkan di kotak sarangnya. Perilaku ini mengindikasikan sang induk sudah akan

Diplomasi ekonomil China di ASEAN dilakukan dengan mengajukan proposal kerjasama perdagangan bebas pada tahun 2000, menarik dan mendorong investasi dari dan ke ASEAN, dan

Akibat pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan, luas RTH (Ruang Terbua Hijau) berbagai Kota di Indonesia semakin berkurang, jauh dari luas optimal yaitu 30%

Terutama dalam kehidupan orang Kristen, puji-pujianmemiliki pengaruh yang sangat besar.Dalam Kekristenan puji-pujian tidak hanya digunakan sebagai hiburan dan

Controller unit bisnis mempunyai dua pimpinan, yaitu corporate controller yang bertanggung jawab pada system pengendalian secara keseluruhan dalam organisasi

Gambar 4 adalah skenario pengujian aplikasi.Rencana pengujian yang dilakukan pada Aplikasi prediksi pengunduran diri mahasiswa di STIKOM UYELINDO Kupang,