• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewenangan Kurator Ventris Untuk Mewakili Kepentingan Anak Dalam Kandungan Janda Dari Pernikahan Siri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46 PUUVIII 2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kewenangan Kurator Ventris Untuk Mewakili Kepentingan Anak Dalam Kandungan Janda Dari Pernikahan Siri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46 PUUVIII 2010"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Sesuai dengan kodratnya manusia mempunyai naluri untuk tetap mempertahankan generasi atau keturunannya. Dalam hal ini tentunya hal yang tepat untuk mewujudkannya adalah dengan melangsungkan perkawinan. Perkawinan1 merupakan satu-satunya cara guna membentuk keluarga, oleh sebab itu perkawinan mutlak diperlukan dan menjadi syarat terbentuknya sebuah keluarga, sehingga masyarakat membutuhkan suatu peraturan hidup bersama dalam ikatan perkawinan yang membuat mereka merasa aman dan terjamin dalam melaksanakan hubungan ikatan perkawinan tersebut.2 Menurut Idris Ramulyo dikatakan bahwa dipandang dari segi hukum, maka perkawinan itu merupakan perjanjian, karena cara mengatur ikatan tersebut telah diatur terlebih dahulu, yaitu dengan akad nikah dan rukun atau syarat tertentu, dan cara untuk memutuskan ikatan tersebut juga telah diatur sebelumnya.3

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat UU No. 1 Tahun 1974) ditegaskan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

1Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, mendefenisikan perkawinan sebagai ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, sedangkan dalam Pasal 2 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Perkawinan, disebutkan bahwa perkawinan merupakan akad yang sangat kuat ataumiitsaagan gholidhanuntuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

2Hilman Hadikusuma,Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang Hukum Adat,Hukum Agama, CV. Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm. 108.

(2)

kepercayaannya itu”, dan dalam ayat (2) disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan ketentuan ini, dapat disimpulkan bahwa untuk sahnya perkawinan, maka selain harus sah berdasarkan agama, juga harus didaftarkan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan yang berwenang, sehingga perkawinan mempunyai kekuatan hukum dan dapat dibuktikan atau peristiwa perkawinan itu telah diakui oleh negara. Hal ini penting artinya demi kepentingan suami isteri itu sendiri, anak yang lahir dari perkawinan serta harta yang ada dalam perkawinan tersebut.

Tujuan pencatatan perkawinan ini dilakukan agar perkawinan yang berlangsung tersebut mempunyai kekuatan hukum yang kuat dan pasti, yang mengakibatkan timbulnya hak-hak dan kewajiban antara suami-isteri, anak yang dilahirkan menjadi anak yang sah, hak dan kewajiban orang tua terhadap anaknya, hak saling mewarisi antara suami-isteri dan anak-anak dengan orang tua, dan bagi anak perempuan seorang ayah berhak menjadi wali nikahnya.4Menurut Abdurrahman dan Ridwan Syahrani, jika suatu perkawinan tidak dicatat, sekalipun perkawinan tersebut sah menurut ajaran agama atau kepercayaan, perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara, begitu pula akibat yang timbul dari perkawinan itu,5 sedangkan salah satu tujuan dari perkawinan adalah untuk mendapatkan anak dan akibat dari perkawinan adalah tanggung jawab orang tua terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan.

4 Mohd. Idris Ramulyo (2), Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hlm. 248.

(3)

Kewajiban suami isteri terhadap anak tersebut lebih rinci diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disingkat KHI), bahwa suami wajib menanggung sesuai peng-hasilannya, nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak, biaya pendidikan bagi anak,6 sebaliknya kewajiban isteri adalah menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya,7 sedangkan kewajiban suami dan isteri adalah memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.8

Selain perkawinan yang dicatatkan, dalam kehidupan masyarakat ada praktik perkawinan yang tidak dicatatkan, yang dikenal dengan istilah perkawinan siri.9 Pengertian perkawinan siri yang berkembang dalam masyarakat saat ini adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh kedua mempelai dengan memenuhi rukun dan syarat-syarat perkawinan menurut ketentuan Hukum Agama, tetapi proses perkawinan tersebut tidak dilakukan di hadapan pegawai pencatat perkawinan, dan tentunya perkawinan tersebut tidak tercatat dalam daftar catatan perkawinan di Kantor Pencatatan Perkawinan, serta tidak memiliki surat nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah.10

6Pasal 80 ayat (4) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. 7Pasal 83 ayat (2) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. 8Pasal 77 ayat (3) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. 9Kata siri itu sendiri berasal dari bahasa Arab yang artinya sesuatu yang rahasia atau tertutup. Lihat Ahmad Sarwanto,Perkawinan Tidak Dicatatkan, Cipta Karya, Jakarta, 2013, hlm. 193.

(4)

Dalam pergaulan hidup masyarakat Indonesia sering terjadi perkawinan siri yang tidak tercatat di Kantor Pencatat Nikah dan nikah yang dicatat tetapi disembunyikan dari orang lain, karena khawatir terganggu bagi keluarganya,11 dan pernikahan seperti ini tidak sesuai dengan hadist rasul, karena rasul menyuruh masyarakat yang menikah untuk mengumumkan pernikahannya dengan walimah (kenduri/syukuran).12 Selain karena harus mengeluarkan biaya adminitrasi yang cukup besar, ada berbagai alasan seseorang melaksanakan perkawinan siri, antara lain:13 1. karena sudah bertunangan untuk menghindari perselingkuhan dan perzinahan, lebih

baik melakukan nikah siri, dan dalam kasus ini biasanya terjadi karena salah satunya masih sekolah atau kuliah;

2. untuk menghemat ongkos dan menghindari prosedur administrasi yang dianggap berbelit-belit (seperti: syarat-syarat administrasi dari RT, Lurah, KUA, izin isteri pertama, izin Pengadilan Agama, izin atasan jika PNS/anggota TNI/Polri dan sebagainya);

3. karena calon isteri terlanjur hamil di luar nikah;

4. untuk menghindari tuntutan hukum oleh isterinya di belakang hari, karena perkawinan yang tidak dicatat oleh KUA, tidak dapat dituntut secara hukum di Pengadilan, dan biasanya kasus ini terjadi pada perkawinan untuk yang kedua kali (poligami);

5. untuk menghapus jejak oleh isteri pertama, sekaligus untuk menghindari hukuman administratif yang dijatuhkan oleh atasan bagi mereka yang berstatus PNS/anggota TNI/Polri yang melakukan perkawinan kedua kalinya;

6. salah seorang dari calon pengantin (biasanya pihak perempuan) belum cukup umur melakukan perkawinan melalui KUA; dan

7. alasan lain yang bersifat khusus, seperti di beberapa daerah yang telah menjadi tradisi melakukan perkawinan siri sebelum menikah di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (KUA), adanya sikap orang tua atau wali yang menganggap bahwa ia memiliki hak dan kewajiban menikahkan anaknya (perempuan) dengan pasangan dicarikan tanpa meminta persetujuan anaknya.

11Mardani,Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011, hlm. 17.

12Ali Uraidy, “Perkawinan Siri dan Akibat Hukumnya Ditinjau dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974”,Jurnal Hukum Universitas Abdurachman Saleh,Volume X-No. 2, Situbondo, 2012, hlm. 983.

(5)

Perkawinan siri pada prinsipnya perkawinan yang dilakukan di luar ketentuan hukum perkawinan yang berlaku positif di Indonesia, walaupun keabsahannya menurut Hukum Islam tidak terganggu, karena dalam hal ini hanya menyangkut masalah administratif saja, tetapi akibat tidak dicatatkan maka suami isteri tersebut tidak memiliki bukti otentik bahwa mereka telah melangsungkan pernikahan tersebut sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum (no legal force), dan perkawinan tersebut tidak dilindungi oleh hukum, bahkan dianggap tidak sah/never existed.14

Sebagaimana yang diketahui bahwa perkawinan dapat putus karena 3 (tiga) peristiwa, yaitu: (1) kematian; (2) perceraian; dan (3) atas Putusan Pengadilan. Ketiga peristiwa hukum yang menyebabkan putusnya tali perkawinan memiliki implikasi hukum masing-masing. Berkaitan dengan kedudukan anak, akibat hukum putusnya perkawinan yang disebabkan oleh kematian, menimbulkan hubungan hukum berupa hak dan kewajiban atas pembagian tirkah (harta warisan), baik dalam bentuk wasiat, maupun dalam bentuk warisan dan hak kesejahteraan lainnya. Adapun akibat hukum putusnya perkawinan yang disebabkan oleh perceraian baik cerai talak, maupun cerai gugat menimbulkan hubungan hukum berupa hak nafkah, hadhanah, perwalian dan kesejahteraan lainnya, baik materiil maupun immateriil. Oleh sebab itu, hak-hak anak secara umum, baik anak yang lahir dari perkawinan yang sah, maupun yang tidak sah senantiasa melekat tidak hanya pada saat dilahirkan, tetapi melekat ketika sejak dalam kandungan hingga terlahir ke dunia sampai usia dewasa (matang).

(6)

Perkawinan yang sah dan dicatat memberikan kejelasan kedudukan anak di mata hukum, seperti tertuang dalam Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974, yang menentukan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai anak akibat dari perkawinan yang sah. Begitu juga sebaliknya akibat hukum terhadap anak dari perkawinan yang tidak dicatatkan yang diperoleh dari perkawinan tersebut seperti yang tertuang dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, yang menentukan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

(7)

jika suami meninggal dunia, maka anak dan janda dari suami yang meninggal dunia tetap mendapatkan hak waris dari harta yang ditinggalkan almarhum suaminya.

Terhadap perkawinan yang tercatat, maka berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUH Perdata), anak yang masih dalam kandungan ibunya juga mempunyai hak untuk waris dari almarhum ayahnya. Terkait dengan hak waris anak yang masih dalam kandungan ibunya ini, dalam Pasal 348 KUH Perdata disebutkan bahwa jika setelah suami meninggal dunia, isteri menerapkan, atau setelah dipanggil secara sah untuk itu, mengaku bahwa ia sedang mengandung, maka Balai Harta Peninggalan harus jadi pengampu atas buah kandungan itu dan wajib mengadakan segala tindakan yang perlu dan yang mendesak guna menyelamatkan dan mengurus harta kekayaannya, baik demi kebaikan anak bila ia lahir hidup maupun demi kebaikan semua orang yang berkepentingan.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 348 KUH Perdata tersebut, dapat dimaknai bahwa Balai Harta Peninggalan (BHP) berkewajiban melakukan segala urusan untuk menjamin hak-hak anak dalam kandungan. Kedudukan BHP disini adalah sebagai wali dari anak yang masih dalam kandungan janda yang ditinggal mati suami atau dikenal dengan istilah “kurator ventris”, tetapi kedudukan BHP sebagai kurator hanya terbatas pada kewajibannya untuk mengurus harta anak yang diperoleh dari proses pewarisan.

(8)

sebagai kurator ventris dari anak yang masih dalam kandungan seorang janda, sementara perkawinan orang tuanya tidak tercatat?”

Memperhatikan ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata, maka BHP hanya dapat mewakili kepentingan anak yang masih dalam kandungan janda dari perkawinan orang tuanya yang tercatat, sedangkan terhadap perkawinan yang tidak tercatat (perkawinan siri), maka BHP tidak dapat menjadi kurator ventris terhadap anak. Dalam kaitannya pertanyaan di atas, perlu kiranya dirujuk Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010, yang menyebutkan bahwa:

1. Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.

2. Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.

(9)

apabila terbuktikan bahwa anak tersebut mempunyai hubungan darah dengan ayahnya (secara biologis). Akibat putusan Mahkamah Konstitusi ini, tentunya dapat pula menimbulkan pertanyaan yuridis terkait kedudukan kuratos ventris untuk mewakili kepentingan anak dari perkawinan perkawinan siri, sedangkan anak dalam kandungan janda terbukti mempunyai hubungan biologis dengan ayahnya. Oleh sebab itu, menarik kiranya untuk dilakukan penelitian yang terkait dengan kewenangan kurator ventris untuk mewakili kepentingan anak dalam kandungan janda dari pernikahan siri pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan pokok permasalahan yang akan diteliti dan dibahas secara lebih mendalam pada penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana kewenangan kurator ventris untuk mewakili kepentingan anak dalam kandungan janda dari pernikahan siri?

2. Bagaimana pertimbangan hukum dalam Putusan Mahmakah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010 terkait dengan hubungan keperdataan anak dalam kandungan janda dari pernikahan siri?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang ditetapkan, maka penelitian ini bertujuan untuk:

(10)

2. Mengetahui pertimbangan hukum di dalam Putusan Mahmakah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terkait dengan hubungan keperdataan anak dalam kandungan janda dari pernikahan siri.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut bagi para akademisi maupun masyarakat umum dan dapat memberi memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum, khususnya terkait dengan fungsi Balai Harta Peninggalan dalam lapangan hukum waris dan hukum keluarga, dan termasuk mengenai kedudukan anak dalam kandungan dalam pernikahan siri ditinjau dari hukum perdata.

2. Manfaat Praktis

Pembahasan tesis ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihakyang melakukan pernikahan siri dan memberi masukan kepada para penegak hukum dan pembuat peraturan untuk menyempurnakan kembali peraturan-peraturan di bidang hukum waris dan hukum keluarga, agar tercipta suatu unifikasi hukum di dalam masyarakat.

E. Keaslian Penelitian

(11)

dari pernikahan siri pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, belum pernah dilakukan, sehingga penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan, walaupun ada beberapa penelitian terdahulu yang hampir sama dengan penelitian, tetapi ruang lingkup masalah yang dianalisis berbeda. Adapun penelitian yang hampir sama dengan penelitian ini adalah:

1. Nama : Kartika Janicia Yanti

NIM : 107011079

Program studi : Magister Kenotariatan

Judul tesis : Akibat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap Hubungan Antara Anak dengan Orang Tua dan Ayah Biologisnya

Perumusan masalah: a. Bagaimana hubungan hukum keperdataan antara anak yang dilahirkan di dalam perkawinan yang sah dengan seorang laki-laki lain di mana si ibu tidak menikah dengan ayah biologisnya?

b. Bagaimana hubungan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dengan ayah biologisnya?

2. Nama : Netti

Nim : 09701168

(12)

Judul Tesis : Tinjauan Yuridis Siri Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

Perumusan Masalah: a. Bagaimana kedudukan pernikahan siri menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?

b. Bagaimana akibat hukum pernikahan siri di tinjau dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam?

c. Bagaimana sikap pengadilan Agama Kelas I A Medan terhadap nikah siri?

3. Nama : Ayu Yulia Sari

NIM : 097011052

Program Studi : Magister Kenotariatan

Judul Tesis : Analisis Yuridis Kedudukan Anak Luar Nikah Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dan KHUPerdata.

Perumusan Masalah: a. Bagaimana kriteria anak di luar nikah dalam Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata? b. Bagaimana kedudukan anak di luar nikah berdasarkan

(13)

c. Bagaimana akibat hukum anak di luar nikah berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata?

F. Kerangka Teoritis dan Konsepsi

1. Kerangka teoritis

Kerangka teori merupakan susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis menjadi landasan, acuan dan pedoman untuk mencapai tujuan,15 sedangkan teori adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut, tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalamanempiris.16

Menurut Shorter Oxford Dictionary, teori mempunyai beberapa definisi yang salah satunya lebih tepat sebagai suatu disiplin akademik “suatu skema atau sistem gagasan atau pernyataan yang dianggap sebagai penjelasan atau keterangan dari sekelompok fakta atau fenomena suatu pernyataan tentang sesuatu yang dianggap sebagai hukum, prinsip umum atau penyebab sesuatu yang diketahui atau diamati,17 maka teori hendaknya meliputi semua pernyataan yang disusun dengan sengaja yang dapat memenuhi kriteria yaitu:18

a. Pernyataan itu harus abstrak, yaitu harus dipisahkan dari praktik-praktik sosial yang dilakukan. Teori biasanya mencapai abstraksi melalui pengembangan konsep teknis yang hanya digunakan dalam komunitas sosiologis dan sosial;

15 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 72-73.

16M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 27. 17Malcom Walters, Modern Sociological Theory, Sage Publications, 1994, hlm. 2, dalam H. R. Otje Salman dan Anton F. SusantoTeori Hukum, P.T. Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm. 21

(14)

b. Pernyataan itu harus tematis. Argumentasi tematis tertentu harus diungkapkan melalui seperangkat pernyataan yang menjadikan pernyataan itu koheren dan kuat; c. Pernyataan itu harus konsisten secara logika. Pernyataan-pernyataan itu tidak boleh

saling berlawanan satu sama lain dan jika mungkin dapat ditarik kesimpulan dari satu dan lainnya;

d. Pernyataan itu harus dijelaskan. Teori harus mengungkapkan suatu tesis atau argumentasi tentang fenomena tertentu yang dapat menerangkan bentuk substansi atau eksistensinya;

e. Pernyataan itu harus umum pada prinsipnya. Pernyataan itu harus dapat digunakan dan menerangkan semua atau contoh fenomena apapun yang mereka coba terangkan;

f. Pernyataan-pernyataan itu harus independen. Pernyataan itu tidak boleh dikurangi hingga penjelasan yang ditawarkan para partisipan untuk tingkah laku mereka sendiri;

g. Pernyataan-pernyataan itu secara substansi harus valid. Pernyataan itu harus konsisten tentang apa yang diketahui dunia sosial oleh partisipan dan ahli-ahli lainnya. Minimal harus ada aturan-aturan penerjemahan yang dapat meng-hubungkan teori dengan ilmu bahkan pengetahuan lain;

Terkait dengan fungsi maupun kegunaan teori dalam suatu penelitian sebagaimana dijelaskan di atas, maka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah Teori Kepastian Hukum yang didukung dengan Teori Keadilan.

Menurut pandangan Thomas Aquinas, suatu hukum disebut adil jika hukum tersebut dapat berfungsi efektif dalam menjamin atau melindungi hak-hak subjek yang diaturnya, termasuk yang diatur dalam hukum positif, keadilan merupakan kehendak yang kekal di antara satu satu orang dan sesamanya untuk memberikan segala sesuatu yang menjadi haknya, defenisi ini memberikan gambaran hubungan antara “hak dan keadilan” hak yang dimiliki setiap manusia.19 Dalam keadaan yang demikian kepastian hukum sangat diperlukan untuk menjalankan peraturan secara konsisten. Cara dan

(15)

memperlakukan seseorang atau masyarakat dengan adil, maka peraturan hukum akan sangat membantu anggota masyarakat karena hukum diterapkan secara pasti dan konsisten.

Menurut Jan Michiel Otto, untuk menciptakan kepastian hukumnya harus memenuhi syarat-syarat, yaitu:20

a. Ada aturan hukum yang jelas dan konsisten;

b. Instansi pemerintah menerapkan aturan hukum secara konsisten, tunduk dan taat terhadapnya;

c. Masyarakat menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan hukum tersebut;

d. Hakim-hakim yang mandiri, tidak berpihak dan harus menerapkan aturan hukum secara konsisten serta jeli sewaktu menyelesaikan sengketa hukum;

e. Putusan pengadilan secara konkret dilaksanakan.

Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali men-dapatkan perlakuan yang tidak adil di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.

Terkait Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, maka untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum bagi hak-hak anak, maka harus dimaknai bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan, mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

(16)

Dikaitkan dengan permasalahan anak yang masih dalam kandungan ibunya, dan mengingat banyaknya praktik masyarakat yang melakukan pernikahan siri, maka dibutuhkan kepastian hukum dalam menyelesaikan setiap permasalahan hak-hak anak dalam kandungan dengan berpedoman pada kebijakan atau aturan-aturan yang ditetapkan pemerintah maupun aturan-aturan yang ada dalam masyarakat.

Teori Kepastian Hukum sangat relevan digunakan untuk mengkaji Putusan Mahkamah Konstitusi 46/PUU-VIII/2010, terkait persoalan anak luar kawin. Mahkamah Konstitusi memberikan hak anak luar kawin untuk dapat membuktikan keberadaan dirinya dengan ilmu pengetahuan mempunyai hubungan dengan ayahnya, dan jika terbukti maka memiliki hak-hak yang sama dengan hak-hak anak yang sah lainnya dan terhadap anak yang masih dalam kandungan yang berasal dari pernikahan siri juga harus mendapatkan kepastian hukum terhadap hak-haknya.

Dalam pendekatan Teori Keadilan yang digunakan, maka keadilan hanya dapat dipahami, jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya.21 Hans Kelsen dalam bukunyageneral theory of law and state, berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat

(17)

menemukan kebahagian di dalamnya.22 Lebih lanjut Hans Kelsen mengemuka-kan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang bersifat subjektif, walaupun suatu tatanan yang adil dianggap bahwa suatu tatanan bukan kebahagian setiap perorangan, melainkan kebahagian sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok, yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa atau pembuat hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan yang patut dipenuhi, seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan. Kebutuhan-kebutuhan manusia yang mana yang patut diutamakan, maka hal ini dapat dijawab dengan menggunakan pengetahuan rasional, yang merupakan sebuah pertimbangan nilai, ditentukan oleh faktor-faktor emosional dan oleh sebab itu bersifat subjektif.23

2. Kerangka Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menggabungkan teori observasi, antara abstrak dengan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.24

Suatu konsepsi pada hakikatnya merupakan pengarah atau pedoman yang lebih konkrit dari Kerangka Teoritis (Tinjauan Pustaka), yang sering kali masih bersifat abstrak, tetapi suatu kerangka konsepsi kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak,

22Hans Kelsen,General Theory of Law and State, Penerjemah Rasisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung, 2011, hlm. 7.

23Ibid.

(18)

sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional yang akan menjadi pegangan konkrit di dalam proses penelitian.25

Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian tesis perlu didefenisikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi agar secara operasional dapat dibatasi ruang lingkup variabel dan dapat diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditentukan. Konsep itu adalah sebagai berikut: a. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga yang bahagia dan kekal) berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.26.

b. Ahli waris adalah setiap orang atau manusia yang berkepentingan atas peristiwa wafatnya seseorang yang berhubung dengan adanya suatu harta kekayaan yang tersedia untuk dipergunakan akan keperluan keselamatan masyarakat.27

c. Anak adalah seorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan28.

d. Janda adalah janda dari seorang lelaki yang meninggal dunia, pantas mendapat perhatian dan ternyata diperlakukan secara istimewa dalam tiga lingkungan hukum, yaitu hukum adat, hukum islam, dan hukum perdata.29.

e. Waris adalah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.30

25Satjipto Raharjo,Ilmu Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 298. 26Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

(19)

f. Pewaris adalah menunjukkan orang yang meneruskan harta peninggalan ketika hidupnya kepada waris atau orang yang setelah wafat meninggalkan harta peninggalan yang diteruskan kepada waris.31

g. Harta warisan adalah segala harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang berupa semua harta kekayaan dari yang meninggal dunia setelah dikurangi dengan semua hutangnya.32

h. Kurator ventris adalah pengurus yang mewakili kepentingan hukum janin yang masih berada di dalam kandungan janda dari perkawinan siri apabila kepentingan menghendakinya.33

i. Mahkamah Konstitusi adalah lembaga tinggi negara yang dibentuk sebagai pengawal dan penafsir Undang-Undang Dasar yang bertujuan untuk menjamin tidak ada produk hukum lagi yang keluar dari koridor konstitusi sehingga hak konstitusional warga negara dapat terjaga.34

j. Perkawinan siri adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di Kantor Pegawai Pencatat Nikah (KUA).35

G. Metode Penelitian

Secara etimologi metode diartikan sebagai jalan atau cara melakukan atau mengerjakan sesuatu, metode berasal dari bahasa Yunani “methodos” yang artinya

30Hilman Hadikusuma,Op. Cit., hlm. 21 31Ibid, hlm. 17.

32

Ali Afandi,Hukum Waris,Hukum Keluarga,Hukum Pembuktian, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm. 7. 33Ibid, hlm. 8

34D.Y. Witanto,Op. Cit., hlm. 220.

(20)

“jalan menuju”, bagi kepentingan ilmu pengetahuan. Metode merupakan titik awal menuju proposisi-proposisi akhir dalam bidang pengetahuan tertentu.36

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya, selain itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.37

Pemilihan metode yang baik untuk suatu penelitian tergantung kepada sasaran penelitian, bahan yang tersedia, kondisi yang meliputi kegiatan penelitian, dan terutama jenis informasi yang diperlukan. Sehubungan hal ini, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini, dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Sifat Penelitian

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, maksudnya adalah dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang kewenangan kurator ventris untuk mewakili kepentingan ank dari pernikahan siri pasca putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010. Analisis dilakukan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh dan akan dilakukan secara cermat bagaimana menjawab permasalahan dalam menyimpulkan suatu solusi sebagai jawaban dari permasalahan tersebut.

(21)

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dimana pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji ketentuan perundang-undangan yang berlaku di bidang tanggung jawab sosial yang terdapat di dalam UU No. 1 Tahun 1974, KUH Perdata, dan juga dalam KHI dan Fiqih Islam, khususnya mengenai perkawinan siri dan kewenangan kurator ventris untuk mewakili kepentingan anak dalam kandungan janda dari pernikahan sirih pasca putusan Mahkamah Konsistusi No. 46/PUU/VIII/2010.38

3. Alat Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan salah satu tahapan dalam proses penelitian yang sifatnya mutlak untuk dilakukan, karena data merupakan sumber yang akan diteliti. Pengumpulan data difokuskan pada pokok permasalahan yang ada, sehingga dalam penelitian tidak terjadi penyimpangan dan kekaburan dalam pembahasannya. Pengumpulan data dalam penelitian ini mempergunakan data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan (library research).

Studi kepustakaan merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan membaca bahan-bahan hukum yang ada relevansinya dengan topik pembahasan atau masalah yang akan diteliti, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier. Penelitian ini juga didukung dengan wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Kelas II A Dumai dan seorang Pegawai BHP Medan yang dalam penelitian ini memiliki kapasitas sebagai informan dan narasumber.

(22)

4. Sumber (Jenis) Data

Penelitian ini jenis data yang diperlukan, yaitu data skunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen publikasi, artinya data sudah dalam bentuk jadi,39atau data kepustakaan yang dikenal dengan bahan hukum dalam yang terdiri dari 3 (tiga) kelompok, yaitu:

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari Perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim,40antara lain: Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

b. Bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi tentang hukum yang merupakan dokumen-dokumen teks, buku-buku, jurnal-jurnal hukum dan termasuk komentar-komentar atas putusan pengadilan.41

c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya, misalnya: Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.

Selain data sekunder sebagaimana tersebut di atas, penelitian ini juga dilengkapi dengan data primer yang diperoleh dari hasil wawancara dengan responden yang berasal dari Pengadilan Agama Kelas II A Dumai dan Balai Harta Peninggalan Medan.

39I Made Wirartha,Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Skripsi dan Tesis, Andi, Yogyakarta, 2006, hlm. 34.

(23)

5. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasi dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.42 Analisis data merupakan salah satu yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam rangka memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti. Sebelum analisis dilakukan, terlebih adahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang ada untuk mengetahui validitasnya.

Penelitian ini dimulai dengan mengidentifikasikan hukum positif di bidang hukum keluarga khususnya dalam hal kewenangan kurator ventris untuk mewakili kepentingan anak dalam kandungan janda dari pernikahan siri dan peraturan perundang-undangan lainnya yang mempunyai hubungan erat dengan hukum keluarga di antaranya adalah UU No. 1 Tahun 1974, KUH Perdata dan KHI. Data yang diperoleh baik dari studi kepustakaan maupun wawancara pada dasarnya merupakan data tataran yang dianalisis secara kualitatif, yaitu setelah data terkumpul kemudian dituangkan dengan bentuk uraian logis sistematis, selanjutnya dianalisis untuk memperoleh kejelasan penyelesaian masalah. Penarikan kesimpulan dilakukan secara deduktif, yaitu dari hal yang bersifat umum menuju hal yang bersifat khusus, yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti dari peraturan-peraturan atau prinsip-prinsip umum menuju penulisan yang bersifat khusus.

Referensi

Dokumen terkait

pada silabus, modul, lembar kerja siswa (LKS), rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), modul, dan soal evaluasi disisipkan aspek NEP ( New Ecological Paradigm

Daya tarik wisata pantai yang menempati prioritas utama dalam pengembangan adalah Pantai Marina didasarkan pada skor potensi gabungan tertinggi, disusul dengan

kesempatan dari dokter spesialis karena dokter spesialis tidak selalu berada di lingkungan rumah sakit/ UGD selama 24 jam, maka untuk tindakan medik yang dilakukan atas

Kriteria unjuk kerja merupakan bentuk pernyataan yang menggambarkan kegiatan yang harus dikerjakan untuk memperagakan hasil kerja/karya pada setiap elemen

[r]

[r]

Dengan membawa semua dokumen asli yang di Upload pada tahap pemasukan dokumen penawaran dan 1 Rangkap Salinan Dokumen, serta dokumen-dokumen lain yang dipersyaratkan

Murid akan dapat melakukan kemahiran bola sepak dalam permainan kecil dan sebagai aktiviti riadah.. NILAI Semangat pasukan -Kerjasama ABM Bola sepak Bola jaring