Sebuah folikel ovarium terdiri atas sebuah oosit yang dikelilingi oleh satu
atau lebih sel folikel, atau sel granulosa. Folikel yang terbentuk selama kehidupan
janin-folikel primordial- terdiri atas sebuah oosit primer yang dibungkus selapis
sel folikel gepeng. Sejak pubertas, sekelompok kecil folikel primordial memulai
proses harian yang disebut pertumbuhan folikel. Pertumbuhan folikel dirangsang
oleh FSH. Berikut adalah tahapan pertumbuhan folikel:
a. Pertumbuhan oosit yang paling pesat terjadi selama awal pertumbuhan
folikel dimana intinya membesar, mitokondria bertambah banyak dan
tersebar merata di dalam sitoplasma; retikulum endoplasmanya membesar
dan kompleks golgi bermigrasi sampai berada tepat di bawah permukaan
sel. Sel-sel folikel membelah melalui mitosis dan membentuk selapis sel
kuboid; folikel ini sekarang disebut folikel primer.
b. Sewaktu folikel tumbuh, terutama karena sel-sel granulosa bertambah
besar dan banyak, folikel berpindah ke daerah korteks yang lebih dalam.
Cairan (liquour folliculi) mulai mengumpul diantara sel-sel folikel.
Celah-celah kecil yang mengandung cairan ini menyatu, dan sel-sel granulosa
mengatur diri membentuk rongga yang lebih besar, yaitu antrum. Folikel
ini sekarang disebut folikel sekunder atau folikel antrum.
c. Selama sel-sel granulosa menyusun diri membentuk antrum, sebagian sel
lapisan ini berkumpul di daerah tertentu pada dinding folikel. Kelompok ini membentuk „bukit‟ kecil di sel, yaitu kumulus ooforus, yang menonjol ke bagian dalam antrum dan mengandung oosit. Sebagian sel granulosa
mengelilingi oosit dan membentuk korona radiata. Folikel ini disebut
dengan folikel matang (Graaf).
Saat terjadi lonjakan kadar LH dalam darah, aliran darah melalui ovarium
meningkat dan protein plasma merembes keluar dan menimbulkan edema. Terjadi
pelepasan prostaglandin, histamin, vasopresin, dan kolagenase setempat yang
menyebabkan sebagian kecil daerah dinding folikel menjadi lemah akibat
degradasi kolagen tunika albuginea, iskemia, dan kematian sejumlah sel.
2.2 Kista Ovarium
Kista ovarium adalah kantung berisi cairan atau bahan semi-solid yang terdapat di ovarium (Ammer, 2009). Kista ovarium terbagi atas kista
fisiologis/fungsional dan kista patologi. Kista ovarium fisiologis disebabkan oleh
karena kegagalan folikel pecah atau regresi. Beberapa jenis kista fungsional
adalah kista folikuler, kista korpus luteum, kista teka lutein, dan luteoma
kehamilan (Hadibroto, 2005). Kista patologi/ kista neoplastik yang jinak dapat
dibagi menjadi kistadenoma ovari serosum, kistadenoma ovarii musinosum,
kistosum ovarii simpleks dan kista dermoid (Falcone dan Hurd, 2007).
Gambar 2.3 Kista Ovarium
Sumber: Vorvick,2012
2.2.1 Jenis-Jenis Kista Ovarium
2.2.1.1 Kista Ovarium Fungsional (Non-Neoplastik)
Kista ovarium fungsional disebabkan oleh karena kegagalan folikel pecah
atau regresi. Kista ini biasanya akan menyusut setelah beberapa waktu (setelah
1-3 bulan), hingga dokter yang mencurigai terbentuk kista menganjurkan penderita
kelahiran, namun dapat kembali berulang pada kehamilan berikutnya
(Cunningham, et al., 2010)
Gambar 2.5 Luteoma Kehamilan
Sumber: (Uthman, 2010)
c. Kista Folikular
Kista ini disebabkan oleh karena kegagalan ovulasi oleh karena gangguan
pelepasan gonadotropin hipofise. Bila dilihat secara histologi, kista folikuler
dilapisi oleh lapisan dalam berupa sel granulosa dan di lapisan luar berupa
sel-sel teka interna. Cairan yang terdapat di dalam folikel yang tidak sel-seluruhnya
terbentuk tidak dapat diresorbsi sehingga menyebabkan pembesaran dari kista
folikuler. Biasanya jenis kista ini tidak menimbulkan gejala, meskipun
ketidakteraturan haid, perdarahan diluar haid, bahkan torsi dapat terjadi. Bila
ukuran kista telah membesar maka dapat menyebabkan nyeri panggul, dispareuni.
Ukuran kista <6cm dilakukan observasi selama tiga siklus haid tanpa pengobatan
untuk melihat regresi kista tersebut. Bila setelah observasi tidak didapati adanya
regresi kista atau ukuran kista semakin membesar maka dilakukan terapi operatif
(Hadibroto, 2005).
Secara makroskopis, kista ini tembus cahaya, berdinding tipis dan terisi
cairan jernih sampai kuning muda. Secara histologis, dinding kista dibentuk oleh
f. Kista Stein-Leventhal
Kista Stein Leventhal (Polycystic Ovary Syndrome) sering menyebabkan
ketidakteraturan menstruasi pada wanita usia reproduksi. Kadar Luteinizing
Hormone (LH) meninggi yang menyebabkan folikel terstimulasi tanpa
menghasilkan telur. Folikel tersebut mengalami lutenisasi yang mengakibatkan
produksi testosteron ovarium dan secara tidak langsung mengubah kadar estrogen.
Kista terbentuk di dalam ovarium karena ovarium tidak dapat melepaskan sebuah
telur pun dan kemudian terjadi hiperplasia sel teka. Kista kecil-kecil yang banyak
dapat dilihat di dalam ovarium pada pemeriksaan ultrasonografi pelvis. Setiap
kista berdiameter <8mm dengan peningkatan stroma sentral yang menyebabkan
gangguan hormonal yang bertanggung jawab sebagai penyebab kombinasi
beberapa gejala berikut: anovulasi kronis, kelebihan androgen yang menyebabkan
penampilan hirsutisme, jerawat, hiperinsulinemia, hiperestrogenemia,
hiperprolaktinemia, peningkatan berat badan, pembesaran ovarium, dan
infertilitas. Penyakit ini dapat muncul saat menarche, setelah terapi androgen, atau
setelah mengalami stress pada jangka waktu lama (Sinclair, 2010).
Gambar 2.9 Polycystic Ovary
Sumber: American Society for Reproductive Medicine
2.2.1.2 Kista Ovarium Neoplastik
Kista ovarium patologi atau neoplastik dapat diklasifikasikan dalam
bentuk jinak maupun ganas. Adapun yang dibahas pada bagian ini adalah kista
ovarium neoplastik bagian yang jinak.
a. Kista Dermoid
Kista dermoid mewakili 25% dari semua neoplasma ovarium. Teratoma ini
bervariasi ukurannya mulai dari diameter beberapa milimeter hingga 25cm dan
bersifat bilateral pada 10-15% kasus. Strukturnya biasanya merupakan struktur
kistik kompleks dan mengandung unsur-unsur dari ketiga lapisan sel germinal
(endoderm, mesoderm, ektoderm). Sebanyak 1-2% akan mengalami transformasi
ke arah keganasan (Norwitz, Errol, John Schorge, 2008).
Tumor mengandung elemen ektodermal, mesodermal dan entodermal.
Lumen dari kista dermoid ini mengandung material sebasea dan rambut (Hoskins,
2005).
Gambar 2.10 Kista Dermoid
b. Kistadenoma Ovarii Serosum
Jenis ini lebih sering terjadi bila dibandingkan dengan musinosum, tetapi
ukurannya jarang sampai besar sekali. Dinding luarnya dapat menyerupai kista
musinosum. Pada umumnya kista ini berasal dari epitel permukaan ovarium
(germinal ephitelium). Isi kista cair, kuning, dan kadang coklat karena bercampur
darah. Kistoma ovarii serosum ini merupakan kista unilokular atau multilokular
dengan 10-20 % bersifat bilateral.
Kistoma ovarii serosum biasanya ditemukan pada usia antara 30 sampai 40
tahun. Sekitar 60% jinak, 15% dengan potensi keganasan rendah, dan 25% ganas
(Robbins, 2013).
Gambar 2.11 Kistoma Ovarii Serosum
Sumber: Netter, 2008
c. Kistadenoma Ovarii Musinosum
Kistoma ovarii musinosum atau kistadenoma musinosa adalah kista yang
bersifat multilokular, berlobus-lobus, dan memiliki permukaan halus. Lesi
bilateral jarang ditemukan. Lesi ini dapat menjadi sangat besar, kadang-kadang
mencapai berat >50kg. Secara mikroskopik, tampak kista berdinding selapis atau
dua lapis sel columnar. Sel epitel membengkak dan sitoplasma berisi musin,
sehingga mendorong inti sel ke basal. Bila sel pecah, musin tercurah ke dalam
lumen kista (Norwitz, 2008).
Kista ovarium jenis ini di dalam banyak aspek analog dengan tumor serosa
dan perbedaannya bahwa epitel terdiri atas sel penghasil musin yang serupa
dengan yang ditemukan pada mukoendoserviks. Delapan puluh persen tumor ini
bersifat jinak, 10% memiliki potensi keganasan yang rendah, sisanya ganas atau
kistadenokarsinoma (Robbins, 2013).
Gambar 2.12 Kistoma Ovarii Musinosum
d. Kistoma Ovarii Simpleks
Kistoma ovarii simpleks memiliki permukaan yang halus, biasanya
bertangkai, seringkali bilateral, dan dapat menjadi besar. Dinding kista tipis dan
cairan di dalam kista jernih, serous dan berwarna kuning. Terapi terdiri atas
pengangkatan kista dengan reseksi ovarium. Pemeriksaan histologik diperlukan
untuk mengetahui apakah ada keganasan (Maimunah, 2005).
2.2.2 Faktor Resiko Kista Ovarium
Pada wanita usia remaja, faktor resiko seperti menstruasi pertama
(menarche) yang datang lebih awal, siklus menstruasi yang panjang atau
oligomenorrhea dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya kista ovarium.
Kebalikannya, resiko akan turun jika menstruasi pertama muncul diatas usia 14
tahun (Odds Ratio 0.4), siklus pendek dan teratur (<26 hari), dan pasien obesitas
(OR 0.5). Faktor resiko akan meningkat dua kali lipat dengan riwayat menstruasi
yang tidak teratur (OR 1.9). Pemakaian tembakau juga menjadi salah satu faktor
resiko terjadinya kista ovarium dimana terjadi peningkatan faktor resiko dua kali
lipat bagi mereka yang merokok (Sultan, 2004).
Penggunaan kontrasepsi oral diketahui menjadi faktor proteksi, wanita
yang menggunakan obat kontrasepsi hampir tidak pernah mengalami kista
ovarium fungsional (Carlson, Eisenstat, Ziporyn, 2004).
Faktor resiko terjadinya kista ovarium termasuk nulliparitas (belum pernah
melahirkan), paritas yang rendah, tidak pernah menggunakan kontrasepsi oral, dan
kecenderungan genetik yang diturunkan termasuk mutasi BRCA1, BRCA2, atau
p53 (Wahl, 2007).
2.2.3 Gejala Klinis dan Diagnosis Kista Ovarium
Menurut Manuaba, 2009 dalam bukunya „Buku Ajar Ginekologi‟, gejala dan tanda klinik kista ovarium adalah sebagai berikut:
a. Gejala akibat pertumbuhan: timbul rasa berat di abdomen bagian
bawah, mengganggu miksi atau defekasi. Tekanan tumor dapat
menimbulkan obstipasi atau edema pada tungkai bawah.
b. Gejala akibat perubahan hormonal. Ovarium merupakan sumber
hormon utama wanita, sehingga bila terjadi tumor menimbulkan
gangguan terhadap pola menstruasi.
c. Gejala klinis akibat komplikasi yang terjadi pada tumor
1. Perdarahan intra-tumor. Keadaan ini akan menimbulkan gejala
klinis nyeri abdomen mendadak dan memerlukan tindakan yang
cepat.
2. Perputaran tangkai. Tumor bertangkai sering terjadi perputaran
tangkai, secara perlahann sehingga tidak banyak menimbulkan
rasa nyeri abdomen. Perputaran tangkai mendadak menimbulkan
nyeri abdomen mendadak dan segera memerlukan tindakan
medis.
3. Infeksi tumor. Terjadi infeksi kista ovarium sehingga
menimbulkan gejala badan panas, nyeri pada abdomen dan
mengganggu aktivitas sehari-hari.
4. Robekan dinding kista. Pada torsi tangkai kista, ada kemungkinan
terjadi robekan sehingga isi kista tumpah ke dalam ruangan
abdomen. Robekan yang terjadi pada dinding kistosum ovarii
musinosum dapat menyebabkan keluarnya cairan musin yang
mengisi rongga perut yang menyebabkan perlengketan dalam
rongga perut.
5. Degenerasi ganas kista ovarium. Keganasan kista ovarium yang
sering dijumpai adalah kista pada usia sebelum menarke dan kista
pada usia di atas 45 tahun.
Pembesaran pada abdomen bagian bawah merupakan salah satu keluhan
yang mendorong wanita untuk melakukan pemeriksaan. Tumor ovarium dapat
diperiksa tentang konsistensi, besar permukaannya, dan sebagainya. Di samping
itu perlu dilakukan diagnosis banding:
a. Kehamilan: terlambat bulan, gejala hamil muda, terasa gerakan janin
atau balotemen, hasil pemeriksaan laboratorium mendukung
kehamilan.
b. Subserosa mioma bertangkai.
Dengan Ultrasonografi (USG), diagnosis banding antara kista ovarium,
kehamilan, atau subserosa mioma uteri dapat dibedakan dengan jelas.
2.2.4 Penatalaksanaan Kista Ovarium
Tatalaksana kista ovarium tergantung usia pasien, ukuran kista, dan
gejalanya. Kista berukuran kecil pada pasien muda yang belum mencapai
menopause tidak membutuhkan treatment. Dokter akan melakukan follow pada
pasien ini untuk memastikan kista akan menghilang dengan sendirinya. Kista jenis
ini adalah kista fungsional yang akan menyusut/ regresi dalam waktu beberapa
bulan. Wanita yang sering menderita kista ovarium fungsional dapat
menggunakan pil KB. Pil KB akan menyebabkan perubahan pada ovarium
sehingga mencegah kista untuk berkembang. Kista berukuran besar dan
mempunyai gejala serius, atau kista pada wanita post-menopause perlu diangkat
segera untuk meringankan gejala dan memastikan tidak terjadi suatu proses
keganasan. Kista dapat diangkat dengan cara laparaskopi atau laparatomi (The
Patient Education Institute, 2011).
Menurut Hadibroto, 2005 untuk menghindari kemungkinan terjadinya
resiko keganasan dari massa di ovarium yang menjalani prosedur laparoskopi,
maka harus didapati kriteria sebagai berikut:
a. Pasien tidak memiliki riwayat kanker pada keluarga
b. Pasien dengan usia reproduksi
c. Ukuran massa <5cm
d. Pemeriksaan sonografi didapati massa yang unilateral, unilokuler,
dengan batas yang tipis.
e. Tumor marker (CA-125) normal.
Kontraindikasi laparoskopi dalam penanganan kista ovarium adalah
sebagai berikut:
a. Wanita pasca-menopause dengan kista ovarium multilokuler sebaiknya
dilakukan ooforektomi.
b. Bila pada pemeriksaan preoperatif dijumpai tanda tanda keganasan.
Komplikasi penggunaan laparoskopi:
a. Kemungkinan keluarnya cairan dari kista yang pecah sehingga akan
menimbulkan penyebaran sel-sel kanker pada kista yang dicurigai
ganas. Untuk menghindarinya, sebaiknya sebelum pelaksanaan
operasi, dilakukan pemeriksaan klinis dan penunjang secara
menyeluruh.
b. Pembuluh darah terutama yang terdapat pada dasar kista harus
dikoagulasi untuk menghindari perdarahan yang banyak durante
operasi. Bila terjadi perdarahan yang tidak dapat dikontrol operasi
dilanjutkan dengan laparotomi.
c. Bila terjadi perembesan darah dari permukaan dalam ovarium setelah
dilakukan pelepasan dinding kista, dapat terjadi hematoma. Untuk
mencegah hal ini maka harus dilakukan irigasi dan tindakan
hemostasis.
d. Adanya cairan endometrioma, kisttadenoma musinosum atau kista
dermoid yang keluar ke rongga peritoneal dapat dibersihkan dengan
melakukan irigasi dengan cairan NaCl fisiologis sebanyak 4-5 liter.
e. Komplikasi yang mungkin terjadi pada tindakan laparaskopi adalah
adanya perlengketan. Untuk mencegah timbulnya perlengketan, maka
tindakan operasi harus secara cermat dan dapat dimasukkan cairan
2.2.5 Prognosis Kista Ovarium
Prognosis kista ovarium jinak sangat baik. Sekitar 70-80% kista folikular
akan mengalami regresi secara spontan.
Pasien hamil yang memiliki kista ovarium dengan ukuran diameter kurang
dari 6cm mempunyai resiko keganasan kurang dari 1%. Kebanyakan dari kista ini
akan hilang pada minggu 16-20 kehamilan. Pada pasien post-menopause dengan
kista unilokular, resiko keganasan terjadi pada 0.3% kasus (Helm, 2014).
2.3 Prevalensi
Prevalensi adalah proporsi subyek yang sakit pada suatu waktu tertentu
(kasus lama dan kasus baru). Walaupun istilah prevalensi sering dihubungkan
dengan penyakit, tetapi dapat juga diartikan sebagai bukan penyakit, misalnya
prevalensi dari faktor resiko, atau faktor lain yang akan diteliti. Prevalensi sering
digunakan oleh perencana kesehatan untuk mengetahui penyakit yang banyak
terdapat dalam suatu pusat kesehatan (Sastroasmoro dan Ismael, 2011).
Prevalensi berbeda dengan insidensi. Jika indikator insiden dalam
perhitungan digunakan untuk mencari penderita baru, maka pada prevalensi justru
untuk penyakit baru maupun lama. Jelasnya pada prevalensi denominatornya
adalah semua kasus, tidak peduli baru atau lama (Ryadi, Slamet, Wijayanti, 2011).
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi meningkat atau
menurunnya prevalensi di suatu daerah. Pengaruh peningkatan dan penurunan
faktor-faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut (Ryadi, Slamet, Wijayanti,
2011).
2.3.1 Faktor yang Mempengaruhi Kenaikan Prevalensi
a. Kelangsungan penyakit lama (waktu berlangsung lama).
b. Kelangsungan hidup penderita tanpa pengobatan lama.
c. Penderita baru meningkat (peningkatan insiden).
d. Terdapat in-migration of cases.
e. Out-migration of healthy people meningkat.
f. Meningkatnya in-migration of susceptible people.
g. Fasilitas diagnostik yang makin meningkat.
2.3.2 Faktor yang Mempengaruhi Penurunan Prevalensi
a. Kelangsungan penyakit pendek (waktu berlangsungnya pendek).
b. Case Fatality Rate meningkat.
c. Kasus baru berkurang (insiden penyakit menurun).
d. Terdapat peningkatan in-migration of healthy people.
e. Out-migration of cases yang berhasil meningkat. f. Angka pengobatan yang berhasil meningkat.
g. Sistem pelaporan yang makin cepat dan baik hingga pengobatan