• Tidak ada hasil yang ditemukan

Problema Penetapan Awal Bulan Qamariah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Problema Penetapan Awal Bulan Qamariah"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Problema Penetapan Awal Bulan Qamariah

Oleh: Oman Fathurohman SW.*

Abstrak

Dalam beberapa tahun terakhir kaum Muslimin dihadapkan pada suatu kenyataan mesti berhari raya dan berpuasa dengan hari yang kembar. Bagi masyarakat awam kenyataan ini mengindikasikan tiadanya kesatuan di dalam kalangan ummat Islam. Sementara bagi para ahli astronomi khususnya ahli falak, meskipun hal itu diakui merupakan persoalan ummat yang mesti disikapi secara seksama namun demikian dalam dataran keilmuan masih dipandang sebagai suatu hal yang lumrah dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

Dengan semangat ilmiah itulah artikel ini menyajikan berbagai masalah yang berkaitan dengan penetapan awal bulan qamariyah. Disebutkan bahwa ada beberapa aliran yang satu sama lain berbeda pandangan tentang masalah ini. Berangkat dari sinaran nas-nash al-Quran dan hadis Nabi, menurut tulisan ini, masing-masing menyajikan argumentasinya dengan modelnya sendiri-sendiri. Ditegaskan pula, meskipun penyeragaman penentuan awal bulan qamariyah merupakan suatu hal yang nyaris sulit dilakukan tetapi langkah-langkah untuk penyatuan, jika mungkin suatu saat disepakati, bukan merupakan hal yang tertutup untuk dilakukan.

A. Pendahuluan

Masalah penetapan awal bulan qamariah terutama awal bulan Ramadan, Syawwal dan Zulhijjah merupakan persoalan klasik yang senantiasa aktual. Aktualitas yang menyertainya bukan saja terkait dengan persoalan keagamaan tetapi juga terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang Ilmu Falak (Astronomi), disamping masalah sosial kemasyarakatan. Ketiganya terjalin berkelindan, tidak dapat dipisahkan, membuat persoalan ini semakin menjadi kompleks dan menarik untuk dikaji.

Perbedaan pelaksanaan hari raya ‘idul-fitri, ‘idul-adha, serta awal bulan Ramadan di Indonesia sudah sering terjadi. Walaupun hal ini sering menimbulkan kebingungan di masyarakat, namun karena pada umumnya

*Penulis adalah staf pengajar pada Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah

IAIN Sunan Kalijaga. Saat ini sedang menyiapkan penelitian disertasinya di Program Pascasarjana pada IAIN yang sama.

(2)

tingkat toleransi masyarakat muslim cukup tinggi perbedaan tersebut tidak selalu menimbulkan konflik. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan masalah agama yang peka ini bisa memicu keresahan yang mengganggu ketentraman masyarakat bila ada faktor lain yang menyulutnya. Oleh karena itu usaha untuk menghilangkan dampak dari persoalan tersebut harus senantiasa dilakukan, atau jika tidak mungkin menghilangkannya sama sekali, setidak-tidaknya dapat mengurangi.

Mengenai penetapan awal bulan qamariah, termasuk penentuan luas jangkauan berlakunya (matla’), prinsip-prinsipnya telah ditunjukkan baik oleh Qur’an maupun as-Sunnah. Namun karena ayat-ayat al-Qur’an tersebut difahami dengan penafsiran yang berbeda-beda, sementara itu as-Sunnah yang dijadikan pedoman operasional disamping beraneka ragam redaksinya juga masih mungkin diberi pemahaman yang beraneka pula, yang pada gilirannya memunculkan aneka ragam pengertian dan kesimpulan. Sesuai dengan keragaman pemahaman terhadap kandungan al-Qur’an dan as-Sunnah tersebut, kaum muslimin menempuh berbagai cara yang berbeda-beda pula.

Dalam hal penetapan awal bulan qamariah, prinsip-prinsip yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tersebut diapresiasi dan diamalkan dengan cara yang beraneka ragam dengan berbagai variasinya: rukyat, ijtima’, wujudul-hilal, bahkan imkanur-rukyat. Ini merupakan problem yang hingga kini belum dapat diselesaikan, bahkan secara pesimis keragaman itu akan terus berlanjut dan tidak akan pernah selesai.

Begitu pula masalah matla’, sebagai persoalan klasik yang timbul tenggelam, yang memperdebatkan masalah relative-competence hukum, dalam arti apakah keputusan awal bulan qamariah itu berlaku bagi seluas komunitas daerah, negara atau internasional, atau dengan perkataan lain, regional, nasional atau internasional, hingga saat ini masih menjadi perdebatan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pandangan dari segi penggalian hukum dan dali-dalil syari’i yang digunakan.

Dua persoalan di atas –masalah penetapan awal bulan qamariah, khususnya Ramadan, Syawwal dan Zulhijjah, serta masalah matla’- kiranya perlu menjadi perhatian berbagai pihak yang memiliki minat tentang persoalan itu. Berangkat dari kesadaran itu tulisan ini disajikan ke khalayak pembaca, meskipun tidak berpretensi untuk memecahkan masalah tersebut secara tuntas, paling tidak dapat mengajak semua pihak agar memahami secara utuh persoalan disekitar terjadinya perbedaan-perbedaan tersebut. Untuk jangka panjang, upaya-upaya dalam bentuk

(3)

telaah, kajian dan penelitian ulang secara obyektif, mendalam dan seksama dengan dilandasi keikhlasan dan rasa tanggungjawab yang penuh dalam rangka mencari kebenaran ilmiah dan kemaslahatan bagi umat Islam, dapat menjadi agenda penting . Dengan cara demikian, syari’at Islam diharapkan dapat dipahami secara lebih komprehensif. Norma-norma Islam yang baku dan universal dapat dipedomani dan dipertahankan dengan kokoh sedangkan norma-norma yang fleksibel yang umumnya terkait dengan dinamika perubahan sosial dapat dikembangkan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, Islam akan benar-benar dapat dirasakan kemaslahatannya oleh umat Islam sendiri, bahkan mungkin oleh umat manusia secara keseluruhan.

B. Pedoman Syar’i Tentang Awal Bulan Qamariah

Pedoman syar’i tentang awal bulan qamariah bersifat umum, fleksibel dan interpretable. Beberapa ayat al-Qur’an, yang akan segera dipaparkan di muka, tampak banyak memberikan keleluasaan bagi kaum muslimin untuk menentukan kriteria awal bulan qamariah yang dipilih, sesuai dengan hasil pemahaman masing-masing terhadap ayat-ayat tersebut. Dalam ungkapan lain al-Qur’an tidak membelenggu kaum muslimin untuk hanya menggunakan satu kriteria saja dalam penetapan awal bulan Namun demikian patut pula dicatat meskipun di satu sisi keluasan dan keluwesan pedoman yang terkandung dalam al-Qur’an itu memberikan kemudahan tetapi di sisi lain tidak jarang menimbulkan masalah karena membuka peluang besar untuk berbeda pendapat yang terkadang diwarnai dengan ketegangan dan keresahan di tengah-tengah masyarakat. Perbedaan pendapat itu bukan hanya dalam tingkat memberikan interpretasi tekstual terhadap ayat-ayat al-Qur’an tersebut, melainkan juga terhadap nilai-nilai otoritatif dari ayat-ayat itu untuk digunakan dalam penentuan kriteria awal bulan qamariah dan penetapannya.

Mencermati ayat-ayat al-Qur’an, tampaknya hilal atau bulan sabit ditetapkan sebagai fenomena yang sangat penting dalam menetapkan masuknya bulan qamariah. Dengan perkataan lain, ada atau tidak adanya hilal merupakan dasar atau rujukan untuk menentukan sudah masuk atau belumnya bulan baru qamariah. Firman Allah SWT:

(4)

 ها  ه ا س  او ) ة ا : 2:189 (

Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.1

memberikan pengertian bahwa al-ahillah (hilal) atau bulan sabit itu sebagai penentu waktu dan manasik haji.

Apa yang dikatakan al-ahillah, bulan sabit, dalam ayat tersebut menurut astronomi tidak lain adalah merupakan bagian dari fase-fase rembulan yang dikenal dengan crescent,2 atau disebut juga dengan istilah

new moon.3 Dengan perkataan lain, hilal merupakan salah satu bentuk semu

rembulan di antara fase-fase yang dialaminya selama dalam peredarannya mengelilingi bumi dan bersama-sama bumi mengelilingi matahari. Dengan demikian, ayat di atas mengindikasikan bahwa perubahan bentuk semu rembulan merupakan pertanda perubahan waktu.

Kedudukan rembulan dalam peredarannya melintasi rasi-rasi bintang ditunjukkan pula oleh firman Allah SWT:

ه ي(ا )* +,-ا ء/ ,او ار 1ر2و لز ا, )5 د2 ا و با ) + 10:5 ( Artinya: Dia-lah yang menjadikan metahari bersinar dan bulan bercahaya

dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan

perhitungan (waktu).4

Allah SWT, menurut ayat tersebut, telah menentukan manzilah-manzilah bagi rembulan itu. Manzilah-manzilah-manzilah rembulan (moon stations) itu tidak lain kecuali kedudukan rembulan pada saat tertentu terhadap matahari dan bumi. Manzilah itu jumlahnya ada 28 yang senantiasa ditempati oleh rembulan tiap-tiap hari dalam peredarannya mengelilingi bumi. Acuan dari manzilah-manzilah rembulan itu adalah rasi-rasi bintang

1Dewan Penterjemah, Al-Qur’an dan Terjemahnya (ttp: Khadim al-Haramain

asy-Syarifain Fahd ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Sa’ud, 1991), p. 46.

2Baker, Astronomy: A Texbook for University and College Students, edisi ke-5 (New

York: D. Van Nostrand Company, 1953), p. 128.

3Jurdak, Astronomical Dictionary: The Zodiac & Constellations (Beirut: American

Mission Press, 1950), p. 219-220.

(5)

yang dilintasi rembulan dalam peredarnnya menempuh lintasan edarnya (falaknya).5

Perubahan kedudukan rembulan terhadap bumi dan matahari menyebabkan adanya perubahan bentuk semu rembulan yang tampak dari bumi. Bentuk rembulan yang tampak dari bumi itu dalam astronomi dikenal dengan fase-fase rembulan (The Phases of the Moon). Dalam dunia astronomi dikenal empat fase rembulan, yaitu new moon (saat konjungsi, yakni ketika rembulan berada di antara bumi dan matahari, dimana seluruh permukaan rembulan yang terang terkena sinar matahari membelakangi

bumi), first quarter (saat rembulan berkedudukan 90° di sebelah timur

matahari dilihat dari bumi), full moon (saat opposisi, yakni ketika bumi berada di antara rembulan dan matahari, dimana permukaan rembulan yang terang terkena sinar matahari menghadap ke bumi), di Indonesia dikenal dengan bulan purnama, last quarter (saat rembulan berkedudukan 90° di sebelah barat matahari dilihat dari bumi).6

Perubahan bentuk semu rembulan itu disebabkan karena rembulan itu benda gelap, seperti halnya bumi, ia bukan sumber cahaya, ia tidak bersinar sendiri, akan tetapi dapat menerima sinat dan memantulkan sinar yang diterimanya itu ke benda langit lainnya.7 Keadaan rembulan seperti

itu sudah diisyaratkan dalam ayat al-Qur’an di atas. Dalam ayat itu, digunakan kosa kata yang berbeda untuk menunjukkan atau mengekspresikan pengertian cahaya yang memancar dari matahari dan dari rembulan. Tampaknya penggunaan kosa kata “diya’” untuk matahari menunjukkan bahwa matahari bersinar sendiri atau merupakan sumber cahaya. Sedangkan kosa kata “nur” untuk rembulan menunjukkan bahwa rembulan tidak bersinar sendiri atau bukan sumber cahaya, melainkan hanya dapat menerima dan memantulkan sinar yang diterimanya.

Permukaan rembulan yang kelihatan dari bumi adalah permukaan rembulan yang terkena sinar matahari. Perubahan posisi antara bumi, rembulan, dan matahari menyebabkan permukaan rembulan yang terang terkena sinar matahari dan menghadap ke bumi berubah-ubah pula. Karena itulah bentuk semu rembulan yang kelihatan dari bumi itu

5Jurdak, Astronomical Dictionary. p. 220-222. Badan Hisab & Rukyat Dep.

Agama, Almanak Hisab Rukyat (Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981), p. 251.

6Baker, Astronomy. p. 127-128.

(6)

berubah-ubah. Perubahan bentuk semu rembulan itulah yang dijadikan dasar untuk menentukan pengelompokkan waktu ke dalam satuan hari/tanggal, bulan, tahun dan seterusnya. Perubahan posisi rembulan yang relatif konstan itu sekaligus dapat dipastikan perhitungannya.

Dalam hubungannya dengan ayat tersebut, Imam Tantawiy Jauhariy menjelaskan bahwa rembulan itu termasuk salah satu benda langit yang menjadi dasar adanya pembagian waktu, yakni bulan dan minggu. Ia menegaskan bahwa seandainya tidak ada rembulan, niscaya tidak akan

pernah ada bulan dan minggu itu.8

Bentuk semu rembulan yang selalu berubah-ubah itu merupakan siklus yang selalu terjadi berulang-ulang. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT: ,او 1ر2 لز :5; د ن*)آ >2ا ) + : 36:39 (

Artinya: Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia mencapai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia

sebagai bentuk tandan yang tua.9

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa satu siklus peredaran rembulan melalui manzilah-manzilahnya adalah mulai dari keadaan sebagai “bentuk tandan tua” (urjunil-qadim) hingga kembali lagi ke keadaan serupa itu. Ekspresi al-Qur’an demikian ini menunjukkan bentuk semu rembulan yang paling kecil. Bentuk yang paling kecil itu dicapai oleh rembulan di sekitar saat ijtima’ (konjungsi),10 yakni saat dimana antara matahari dan

rembulan mempunyai bujur langit yang sama. Atau dengan perkataan lain, saat kedudukan rembulan berada di antara matahari dan bumi. Yang dimaksud dengan rembulan berada di antara matahari dan bumi bukan hanya berarti berada dalam kedudukan yang benar-benar dalam satu garis pandang dengan matahari, bila dilihat dari bumi. Kalau terjadi yang demikian, berarti terjadi gerhana matahari. Keadaan seperti ini hanya terjadi sesekali saja tidak senantiasa terjadi setiap bulan.

Bagaimana ijtima’ matahari dan rembulan bisa terjadi secara berulang-ulang ? Firman Allah SWT berikut ini menjelaskannya.

A +,-ا B  C نأ كر2F ,ا Aو  ا GHI رCا آو J  J ن  ) + : 36:39 (

8Tantawiy Jauhariy, Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, edisi ke-2 (Mesir:

Mustafa al-Babiy al-Halabiy wa Auladuh, 1350 H), VI: 17.

9Dewan Penterjemah, Al-Qur’an dan Terjemahnya. p. 710.

(7)

Artinya: Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing

beredar pada garis edarnya.11

Ayat ini menguatkan temuan astronomi yang menyimpulkan bahwa peredaran rembulan mengelilingi bumi dalam setiap bulan dan peredaran semu tahunan matahari arahnya sama yaitu sama-sama dari arah barat ke timur. Dari ayat itu dapat diketahui dengan jelas bahwa peredaran rembulan lebih cepat dari peredaran semu tahunan matahari. Oleh karena peredaran keduanya itu berlaku memutar, tidak lurus, maka dalam peredarannya itu matahari selalu terkejar oleh rembulan. Sebaliknya tidak ada kemungkinan bagi matahari untuk mengejar atau mendapatkan rembulan, apalagi mendahuluinya.

Ayat-ayat al-Qur’an di atas mengisyaratkan bahwa penetapan awal bulan qamariah didasarkan atau mengacu kepada bentuk semu rembulan.

Disamping ayat-ayat al-Qur’an di atas, banyak pula hadis Nabi saw. yang dapat dijadikan pedoman dalam penetapan awal bulan qamariah. Secara khusus hadis-hadis itu menerangkan bagaimana orang memulai puasa Ramadan dan kapan mengakhirinya. Juga menerangkan bagaimana mengetahui masuknya bulan Ramadan dan bagaimana pula mengetahui masuknya bulan Syawwal itu. Namun demikian, hadis-hadis itu kerapkali dijadikan pedoman dalam penetapan awal bulan qamariah secara umum.

Hadis-hadis Nabi saw. tersebut antara lain:

A اKF :5; اوF LC ل Aو اوMNF :5; 1وF نOJ >P >Q اور2J R

Artinya: Janganlah kamu berpuasa sebelum kamu melihat hilal dan janganlah pula berbuka (berhari raya fitri) sebelum kamu melihatnya. Jika kamu tidak dapat melihatnya karena mendung

atau tertutup awan maka takdirkanlah (kira-kirakanlah)ia.12

Larangan berpuasa Ramadan dan berhariraya fitri dalam hadis itu, dapat diartikan perintah untuk berpuasa apabila betul-betul telah masuk bulan Ramadan dan berlebaran apabila betul-betul sudah masuk tanggal satu bulan Syawwal. Pertanda masuknya bulan Ramadan dan bulan Syawwal itu menurut hadis di atas adalah hilal atau bulan sabit. Hadis tersebut menegaskan bahwa hilal, sebagaimana telah diuraikan di atas,

11Dewan Penterjemah, Al-Qur’an dan Terjemahnya. p. 710.

(8)

menjadi acuan untuk pentapan awal bulan Ramadan dan awal bulan Syawwal. Bahkan oleh sebagaian kaum muslimin dijadikan dasar untuk penetapan awal bulan qamariah secara keseluruhan.

Hadis lain mengatakan:

اS ا R5ؤ و اوMJا R5ؤ نOJ  P >Q ا ,آJ ة2 ن )U VLV

Artinya: Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah (berhari raya fitri) karena melihatnya. Jika kamu tidak dapat melihatnya karena mendung atau tertutup awan, maka sempurnakanlah

bilangan bulan Sya’ban 30 hari.13

Perintah berpuasa apabila melihat hilal dan berhari raya fitri apabila melihatnya menegaskan bahwa hilal merupakan acuan yang harus dijadikan pedoman dalam penetapan bulan Ramadan dan Syawwal atau bulan qamariah secara keseluruhan. Meskipun dalam hadis ini ditegaskan bahwa pertanda masuknya bulan Ramadan itu tidak semata-mata karena melihat hilal, karena ada klausul yaitu menyempurnakan bulan Sya’ban tiga puluh hari, akan tetapi hal ini masih tetap mengacu kepada hilal. Berdasarkan astronomi, apabila umur bulan sudah 30 hari, maka sudah dapat dipastikan bahwa hilal sudah ada.

Hadis-hadis lain yang memberikan pengertian yang sama, meskipun redaksinya berbeda adalah sebagai berikut:

اذإ >5أر لLCا اKJ اذإو 1,5أر اوMJJ نOJ >P >Q اKJ VLV 

Artinya: Jika kamu melihat hilal berpuasalah dan jika kamu melihatnya berhari rayalah. Jika kamu tidak dapat melihatnya karena

mendung, maka berpuasalah 30 hari14

اذإ 1,5أر KJ ا اذإو 1,5أر اوMJJ نOJ >P >Q او2)J VLV

Artinya: Jika kamu melihat hilal berpuasalah dan jika kamu melihatnya berharirayalah. Jika kamu tidak dapat melihatnya karena

mendung, maka hitunglah 30 hari.15

A اKF   نYر اS R5ؤ و اوMJأ R5ؤ نOJ ; Rود HP ا ,آJ VLV 

Artinya: Janganlah kamu berpuasa sebelum masuk bulan Ramadan, berpuasalah karena melihat hilal dan berharirayalah karena

13Ibid., p. 35.

14Muslim bin Hajjaj bin Muslim an-Naisyaburiy, Sahih Muslim (Beirut: Dar

al-Ma’rifah, t.t.), III: 124.

(9)

melihatnya. Jika kamu tidak melihatnya karena terhalang mendung

atau lainnya, maka sempurnakanlah bilangan bulan itu 30 hari.16

Keseluruhan hadis Nabi saw. di atas menunjukkan bahwa hilal sebagai acuan dalam penentuan awal bulan qamariah.

C. Kriteria Awal Bulan Qamariah

Meskipun al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai pedoman syar’i dengan jelas menjadikan hilal sebagai rujukan dalam penetapan awal bulan qamariah, namun persoalan masih belum terselesaikan. Persoalan tersebut berkaitan dengan kriteria awal bulan qamariah. Maksudnya adalah, keadaan bagaimana yang dapat dijadikan petunjuk bahwa keadaan itu merupakan awal bulan qamariah. Dalam istilah lain, apa yang merupakan pertanda bahwa saat itu sudah mulai masuk bulan baru qamariah.

Mengenai rujukan pokok dalam penetapan awal bulan qamariah tampaknya kaum muslimin telah sepakat untuk menetapkan hilal sebagai dasar rujukan. Namun mengenai kriteria yang digunakan untuk menetapkan kapan awal bulan qamariah dimulai ternyata masih berbeda pendapat. Masing-masing pendapat dipertahankan begitu rupa, baik dalam dataran teori maupun praktek, sehingga pada gilirannya tampak sebagai aliran.

Dalam hal ini secara garis besar ada dua aliran, yaitu aliran rukyat dan aliran hisab. Dari keduanya ini kemudian berkembang kriteria penetapan awal bulan qamariah yang beraneka ragam. Aliran rukyat berpendapat bahwa awal bulan Ramadan, bulan Syawwal, dan bulan Zulhijjah ditentukan oleh terlihat atau tidaknya hilal. Apabila pada saat terbenam matahari tanggal 29 bulan yang sedang berlangsung hilal terlihat, maka mulai malam itu sudah masuk tanggal satu bulan baru. Sebaliknya apabila pada saat terbenam matahari itu hilal tidak terlihat, baik karena mendung atau alasan apapun, maka malam itu masih dinyatakan sebagai hari terakhir dari bulan yang sedang berlangsung. Tanggal satu bulan baru ditetapkan mulai saat terbenam matahari pada keesokan harinya. Dengan perkataan lain, bulan yang sedang berlangsung disempurnakan umurnya menjadi 30 hari. Yang terakhir ini lebih populer disebut “istikmal”. Kriteria

(10)

penetapan awal bulan qamariah seperti ini dikenal dengan “Rukyatul Hilal bil Fi’li”. 17

Kriteria penetapan awal bulan qamariah ini dibangun di atas landasan syar’i, yakni berpedoman kepada hadis-hadis Nabi saw. yang sebagian telah dikutip dalam tulisan ini. Pemahaman secara harfiah terhadap hadis-hadis tersebut jelas tidak akan keluar dari kesimpulan bahwa pertanda sudah masuknya bulan Ramadan dan Syawwal, dengan cara analogi termasuk juga masuknya bulan Zulhijjah atau bahkan bulan-bulan qamariah lainnya, adalah dengan terlihatnya hilal. Kalau tidak, dengan sempurnanya umur bulan 30 hari. Dengan demikian kriteria rukyatul hilal bil fi’li ini mendapat landasan yang kuat dari pernyataan-pernyataan eksplisit hadis-hadis Nabi saw.

Aliran hisab memiliki kriteria yang sangat beragam. Berbagai ragam kriteria itu dapat didudukkan dalam dua macam kriteria besar, pertama “ijtima’ semata-mata” dan kedua “ijtima’ dan posisi hilal pada ufuk”.

1. Ijtima’ semata-mata.

Aliran ini menetapkan bahwa awal bulan qamariah (termasuk Ramadan dan Syawwal) itu mulai masuk pada saat terjadinya ijtima’ (konjungsi) matahari dan rembulan. Para penganut aliran ini mengemukakan adagium yang terkenal:

ع,5*إ ا ت Vإ H C-ا

“Bertemunya dua benda yang bersinar (matahari dan rembulan) merupakan pemisah di antara dua bulan.” Kriteria awal bulan yang ditetapkan oleh aliran Ijtima’ ini sama sekali tidak memperhitungkan rukyat. Artinya tidak mempersoalkan terlihat atau tidaknya hilal. Aliran ini rupa-rupanya lebih menitikberatkan pada penggunaan astronomi murni. Dalam astronomi dikatakan bahwa bulan baru itu terjadi sejak saat matahari dan rembulan dalam keadaan konjungsi (ijtima’). Pada saat itu bentuk rembulan yang terlihat dari bumi dalam bentuk yang paling kecil, atau sama sekali tidak terlihat.18 Jadi logikanya menurut aliran ini, bahwa

pada pokoknya ijtima’ itu adalah pemisah di antara dua bulan qamariah yang berurutan. Waktu yang berlangsung sebelum terjadinya ijtima’

17Lihat Lampiran Keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Tentang

Pedoman Penyelenggaraan Ru’yat bil Fi’li Nomor: 311/A.II.04.d/I/1994 Tanggal 13 Januari 1994 Pasal 1 butir a.

18Saadoe’ddin Djambek, Hisab Awal Bulan, p. 10. Toruan M.S.L., Pokok-Pokok

(11)

termasuk bulan yang sudah berlalu sedangkan waktu yang berlangsung

sesudah ijtima’ termasuk bulan baru.19

Dalam praktek, jarang sekali ditemukan yang secara murni memegangi kriteria ini. Dalam menentukan awal bulan qamariah, aliran ini biasanya mengaitkan saat ijtima’ tersebut dengan fenomena alam lain, sehingga kriteria tersebut di atas menjadi berkembang. Fenomena alam yang dikaitkan dengan saat ijtima’ itu tidak hanya satu, sehingga aliran ijtima’ semata ini, disamping aliran yang menetapkan saat ijtima’ sebagai awal bulan secara mutlak, masih terdapat lagi cabang-cabang aliran yang lebih spesifik lagi.

a. Ijtima’ Qabl al-Gurub

Aliran ini mengaitkan saat ijtima’ dengan saat terbenam matahari. Mereka membuat kriterium “jika ijtima’ terjadi sebelum terbenam matahari maka malam hari itu sudah dianggap bulan baru, sedangkan jika ijtima’ terjadi setelah terbenam matahari maka malam itu dan keesokan harinya

ditetapkan sebagai hari terakhir dari bulan yang sedang berlangsung”20

Aliran ini nampaknya berpegang kepada ketentuan bahwa hari menurut Islam dimulai dari saat terbenam matahari sampai dengan terbenam matahari berikutnya. Menurut aliran ini malam mendahului siang.

Dengan demikian, menurut aliran ini, ijtima’ adalah pemisah di antara dua bulan qamariah, namun oleh karena hari menurut Islam dimulai sejak terbenam matahari, maka kalau ijtima’ terjadi sebelum terbenam matahari, malam itu sudah dianggap masuk bulan baru dan kalau ijtima’ terjadi setelah terbenam matahari maka malam itu masih merupakan bagian akhir dari bulan yang sedang berlangsung.

b. Ijtima’ Qabl al-Fajri

Beberapa orang ahli hisab mensinyalir adanya pendapat yang menetapkan bahwa permulaan bulan qamariah ditentukan oleh saat ijtima’ dan terbit fajar. Mereka menetapkan kriteria bahwa “apabila ijtima’ terjadi sebelum terbit fajar maka sejak terbit fajar itu sudah masuk bulan baru dan apabila ijtima’ terjadi sesudah terbit fajar maka hari sesudah terbit fajar itu

19Muhammad Mansur ibn al-Hamid ibn Muhammad ad-Damiriy (selanjutnya

disebut Muhammad Mansur), Sulam an-Nayyirain fi Ma’rifah al-Ijtima’ wa al-Kusufain (Jakarta: al-Madrasah al-Khairiyyah al-Mansuriyyah, t.t.), p. 11.

20Ibid., p. 10. Marfuddin Kosasih (Kord. Tim), Pedoman Perhitungan Awal Bulan

Qamariyah (Jakarta: Bagian Proyek Pembinaan Administrasi Hukum dan Peradilan Agama, 1983), p. 9.

(12)

masih termasuk hari terakhir dari bulan yang sedang berlangsung.21

Mereka juga berpendapat bahwa saat ijtima’ tidak ada sangkut pautnya

dengan saat terbenam matahari.22

c. Ijtima’ dan Terbit Matahari

Kriterium awal bulan menurut aliran ini adalah “apabila ijtima’ terjadi di siang hari maka siang itu, yakni sejak terbit matahari tersebut, dan malamnya sudah termasuk bulan baru, sebaliknya apabila ijtima’ terjadi di malam hari maka awal bulan dimulai pada siang hari berikutnya”. Bagi

mereka ini siang mendahului malam.23

d. Ijtima’ dan Tengah Hari

Kriterium awal bulan menurut aliran ini adalah “apabila ijtima’ terjadi sebelum tengah hari (jawal) maka hari itu sudah termasuk bulan baru sedangkan apabila ijtima’ terjadi sesudah tengah hari maka hari itu

masih termasuk bulan yang sedang berlangsung”24

e. Ijtima’ dan Tengah Malam

Kriterium awal bulan menurut aliran ini adalah “apabila ijtima’ terjadi sebelum tengah malam maka sejak tengah malam itu sudah masuk awal bulan sedang apabila ijtima’ terjadi sesudah tengah malam maka malam itu masih termasuk bulan yang sedang berlangsung dan awal bulan

ditetapkan mulai tengah malam berikutnya”25

Dari sejumlah aliran tersebut di atas, yang paling banyak pendukungya adalah aliran “Ijtima’ Qabla al-Gurub”. Sedangkan aliran lainnya, kecuali “Ijtima’ Qabla al-Fajri”, tidak begitu dikenal.

Kriteria awal bulan qamariah dengan berbagai ragamnya di atas, tampaknya didasarkan pada pandangan astronomis bahwa penampakan rembulan yang paling kecil dilihat dari bumi adalah pada saat terjadi ijtima’ antara rembulan dan matahari, dan itulah yang dimaksud hilal oleh mereka. Jadi pada sat terjadi ijtima’ itu hilal sudah ada. Hanya saja untuk kepentingan praktis sehari-hari tidak mungkin menetapkan pergantian bulan pada saat terjadi ijtima’ itu, karena ia dapat terjadi kapan saja, bisa

21Ibid.

22Djarnawi Hadikusuma, “Mengapa Muhammadiyah Memakai Hisab?”, Suara

Muhammadiyah, IV (Februari, 1973), p. 22

23Muhammad Mansur, Sulam an-Nayyirain. p. 10-11.

24Ibid.

25Muhammad Falakiy, “Haula Asbab Ikhtilaf Awa’il asy-Syuhur

al-Qamariyyah”, dalam Dirasat Haula Tauhid al-A’yad wa al-Mawasim ad- Diniyyah, (Tunis: Idarah as-Su’un ad-Diniyyah bi Tunis, 1981), p. 66.

(13)

siang dan bisa malam, bisa pagi hari dan bisa pula sore hari, sembarang waktu. Itulah sebabnya maka pergantian bulan itu disesuaikan dengan fenomena yang langsung bisa dirasakan oleh umat manusia yang ada di bumi, misalnya terbenam matahari, terbit fajar, tengah malam, dan terbit matahari.

2. Ijtima’ dan Posisi Hilal di Atas Ufuk

Para pendukung aliran ini mengatakan bahwa awal bulan qamariah (termasuk Ramadan dan Syawwal dimulai sejak saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ dan rembulan (hilal) pada saat itu sudah berada di atas ufuk (horizon). Dengan demikian, secara umum, kriteria yang dijadikan dasar untuk menetapkan awal bulan qamariah oleh para pendukung aliran ini adalah : (a) awal bulan qamariah dimulai sejak saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’, (b) pada saat terbenam matahari tersebut hilal sudah di atas ufuk.

Dalam hal menetapkan awal bulan sejak terbenam matahari, aliran ini sama persis dengan ijtima’ qabla al-gurub. Akan tetapi terdapat perbedaan yang cukup menyolok dalam menetapkan kedudukan rembulan terhadap ufuk. Dalam ijtima’ qabla al-gurub sama sekali tidak memperhatikan kedudukan rembulan (hilal) pada ufuk pada saat terbenam matahari, sedangkan “ijtima’ dan posisi hilal di atas ufuk” selalu memperhatikan kedudukan rembulan terhadap ufuk. Tegasnya, walaupun ijtima’ terjadi sebelum terbenam matahari, pada saat terbenam matahari tersebut belum dapat ditentukan sebagai awal bulan qamariah sebelum diketahui posisi rembulan terhadap ufuk pada saat terbenam matahari itu. Apabila pada saat terbenam matahari itu rembulan sudah berada di atas ufuk maka sejak saat itu mulai masuk bulan baru qamariah sebaliknya pabila pada saat itu rembulan masih di bawah ufuk maka saat itu masih dianggap sebagai hari terakhir dari bulan qamariah yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, yang jadi ukuran adalah Ijtima’ qabla al-gurub dan posisi hilal (rembulan) terhadap ufuk.

Aliran ini kemudian terbagi lagi menjadi empat cabang. Masing-masing memberikan interpretasi yang berbeda terhadap kriterium “posisi rembulan (hilal) di atas ufuk”. Perbedaan interpretasi ini disebabkan oleh dua hal, pertama, ufuk (horizon) yang dijadikan batas untuk mengukur apakah rembulan sudah berada di atas atau masih di bawahnya pada saat terbenam matahari; kedua, berkaitan dengan fisik maupun penampakan

(14)

rembulan yang harus dijadikan ukuran. Karena kedua hal tersebut maka lahirlah empat cabang aliran ini.

a. Ijtima’ dan Ufuk Hakiki

Awal bulan qamariah, menurut aliran ini, dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ dan pada saat itu hilal sudah di atas ufuk hakiki (true horizon). Dimaksud dengan ufuk hakiki adalah lingkaran pada “bola langit” yang bidangnya melalui titik pusat bumi dan tegaklurus pada garis vertikal dari si peninjau.26 Sedangkan posisi atau

kedudukan rembulan pada ufuk adalah posisi atau kedudukan titik pusat rembulan pada ufuk hakiki.

Jelasnya, menurut aliran ini, awal bulan qamariah dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ dan pada saat itu titik pusat rembulan sudah berada di atas ufuk hakiki (true horizon).

b. Ijtima’ dan Ufuk Hissi

Awal bulan qamariah, menurut aliran ini, dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ dan pada saat itu hilal sudah di atas ufuk hissi (astronomical horizon). Dimaksud dengan ufuk hissi adalah lingkaran pada “bola langit” yang bidangnya melalui permukaan bumi tempat si pengamat dan tegak lurus pada garis vertikal dari si pengamat tersebut. Ufuk hissi ini disebut juga “horizon semu” atau “astronomical

horizon”.27 Bidang ufuk hissi ini sejajar dengan bidang ufuk hakiki,

perbedaannya dengan ufuk hakiki terletak pada “beda lihat” (parallax).28

Posisi atau kedudukan rembulan pada ufuk menurut aliran ini adalah posisi atau kedudukan titik pusat Rembulan pada ufuk hissi. Jelasnya menurut aliran ini, awal bulan qamariah dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ dan pada saat itu titik pusat rembulan sudah berada di atas ufuk hissi (astronomical horizon).

Dalam melakukan perhitungan posisi rembulan terhadap ufuk, aliran ini memberikan koreksi parallaks terhadap hasil perhitungan menurut aliran ijtima’ dan ufuk hakiki. Koreksi parallaks ini dikurangkan terhadap hasil perhitungan.

c. Ijtima’ dan Ufuk Mar’i

26Marsito, Kosmografi Ilmu Bintang2 . p. 13.

27Ibid. Richard E. Blumbreg, The Astronomical Almanac (New York: U.S. Naval

Observatory U.S.A., 1999)

(15)

Awal bulan qamariah, menurut aliran ini, dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ dan pada saat itu hilal sudah di atas ufuk mar’i (visible horizon). Dimaksud dengan ufuk mar’i adalah bidang datar yang merupakan batas pandangan mata si pengamat. Makin tinggi mata si pengamat di atas permukaan bumi semakin rendahlah ufuk mar’i ini.29

Lingkaran ufuk mar’i ini nampak sebagai pertemuan antara dinding bola langit dengan permukaan bumi. Oleh karena itu ufuk mar’i ini sering disebut juga dengan “kaki langit”.30 Perbedaan antara ufuk mar’i dengan

ufuk hakiki terletak pada kerendahan ufuk (Dip).31 Posisi atau kedudukan

rembulan pada ufuk menurut aliran ini adalah posisi atau kedudukan pinggir piringan atas rembulan pada ufuk mar’i. Jelasnya, menurut aliran ini, awal bulan qamariah dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ dan pada saat itu pinggir piringan atas rembulan sudah berada di atas ufuk mar’i (visible horizon).

Dalam melakukan perhitungan posisi rembulan terhadap ufuk, aliran ini disamping memberikan koreksi parallaks terhadap hasil perhitungan menurut aliran ijtima’ dan ufuk hakiki, juga memberikan koreksi Kerendahan Ufuk (Dip), Refraksi (R’) dan Semi Diameter (S.D.). Koreksi parallaks ini dikurangkan terhadap hasil perhitungan, sedangkan kerendahan ufuk, refraksi dan semi diameter ditambahkan.32 Aliran ini

didukung dan dikembangkan oleh Saadoe’ddin Djambek, seperti terlihat dalam bukunya Hisab Awal Bulan.

Memperhatikan criteria yang ditetapkan oleh aliran ini, maka dapat pula dikatakan bahwa awal bulan qamariah dimulai pada saat untuk pertama kalinya matahari terbenam labih dahulu dari rembulan. Inilah yang dikenal dengan istilah hisab hakiki wujudul-hilal.33

d. Ijtima’ dan Imkan ar-Ru’yah

Awal bulan qamariah, menurut aliran ini, dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ dan pada saat itu hilal sudah memenuhi syarat untuk memungkinkan dapat dilihat. Dengan demikian, untuk menetapkan masuknya awal bulan qamariah menurut aliran ini terlebih dahulu ditetapkan suatu kaidah mengenai posisi hilal (rembulan)

29Ibid., p. 7.

30Marsito, Kosmografi Ilmu Bintang2. hlm 13.

31Saadoe’ddin Djambek, Hisab Awal bulan. p. 19.

32Ibid., p. 29.

(16)

di atas ufuk yang memungkinkan untuk dapat dilihat. Awal bulan baru itu ditetapkan berdasarkan posisi hilal dengan segala persyaratan yang telah ditetapkan, sehingga pada saat atau beberapa saat setelah terbenam

matahari sesudah ijtima’ orang mungkin dapat melihat hilal tersebut.34

Para ahli hisab yang mendukung aliran ini masih berbeda pendapat dalam menetapkan kriterium hilal yang mungkin dapat dilihat itu. Di kalangan mereka ada yang hanya menetapkan ketinggian hilal saja dan ada pula yang menambah kriterium lain yakni angular distance (sudut pandang) antara rembulan dan matahari. Kedua kriteria tersebut digunakan secara kumulatif. Konferensi internasional tentang penentuan awal bulan qamariah yang diadakan di Turki pada tahun 1978 menetapkan bahwa untuk dapat terlihatnya hilal ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu

ketinggian hilal di atas ufuk tidak kurang dari 05° dan angular distance atau

sudut pandang antara hilal dan Matahari 07° sampai 08°.35

Tentang kriterium ketinggian rembulan, para pendukung aliran ini masih juga berbeda pendapat, ada yang mengatakan 07°, 06° dan 03°,36

demikian pula halnya dengan besarnya sudut pandang antara hilal dengan matahari. Kriteria imkanur-ru’yah ini tampaknya meyakini bahwa apabila posisi hilal sudah memenuhi syarat ketinggian dan angular distance, dalam keadaan cuaca normal sudah dapat dipastikan dapat terlihat, meskipun tidak benar-benar terlihat. Itulah sebabnya ada yang memandang bahwa sistem ijtima’ dan imkan ar-ru’yah ini sebagai jalan tengah antara sistem ru’yah dengan sistem hisab. Meskipun sistem ini termasuk dalam kategori sistem hisab.

D. Cara Mengetahui Masuknya Bulan Qamariah

Cara untuk mengetahui masuknya bulan baru qamariah biasanya mengacu kepada cara untuk mengetahui mulai dan berakhirnya bulan Ramadan. Ayat-ayat al-Qur’an yang sudah dikutip terdahulu tidak menerangkan cara-cara operasional untuk mengetahui awal-awal bulan

34Badan Hisab & Rukyat Dep. Agama, Almanak Hisab Rukyat. p. 100.

35Marfuddin Kosasih (Kord. Tim), Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah. p.

14.

36Muhammad Mansur, Sulam an-Nayyirain. p. 9. Zubair Umar Jailaniy,

al-Khulasah al-Wafiyyah fi al-Falak bi Jadawal al-Lugaritmiyyah (Kudus: Menara Kudus, t.t.), p. 132-133. Muhammad Wardan, Hisab ‘Urfi dan Hakiki. p. 43.

(17)

qamariah. Secara operasional, cara itu tidak ditemukan dalam ayat al-Qur’an. Firman Allah SWT:

,J 2CU >Q C-ا R, J ) ة ا : 2:185 (

Artinya: Maka barangsiapa di antaramu menyaksikan bulan Ramadan itu, berpuasalah.37

Dan firman Allah SWT:

ا CUأ ت ) ) ة ا : 2:197 (

Artinya: (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi (ialah bulan

Syawwal, Zulqa’dah dan Zulhijjah).38

memberikan petunjuk tentang adanya batasan-batasan waktu-waktu ibadah puasa dan ibadah haji, hanya saja ayat-ayat itu masih global, tidak memberikan rincian tentang bagaimana cara mengetahui atau menetapkan sudah dimulainya atau berakhirnya waktu-waktu (bulan-bulan) yang ditentukan itu.

Penjelasan rinci tentang cara bagaimana mengetahui awal atau dimulainya bulan baru qamariah terdapat dalam hadis-hadis Rasulullah saw. Berdasarkan hadis-hadis itu dapat disimpulkan bahwa cara itu ada dua, yaitu rukyat dan hisab.

Pendukung rukyat, sebagaian, menetapkan bahwa penetapan awal bulan Ramadan termasuk dalam kategori ta’abudi, hal yang diatur karena ibadah semata-mata, yang ketentuannya harus berdasarkan nas yang eksplisit tidak boleh ditetapkan atas dasar pertimbangan lain. Oleh karena itu cara untuk mengetahuinya pun harus didasarkan pada nas yang

eksplisit. Hukum-hukum agama semata-mata ditentukan oleh nas.39 Lagi

pula ayat-ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang gerak gerik matahari dan rembulan serta kedudukan dan karakteristiknya tidak ada sangkut pautnya dengan hukum.

Penjelasan rinci tentang cara mengetahui masuknya bulan baru qamariyah itu terdapat dalam hadis-hadis Rasulullah saw. sudah dikutip terdahulu dalam tulisan ini. Menurut hadis-hadis tersebut cara untuk

37Anonim, Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, cetakan ke-3

(Yogyakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah, t.t.), p. 168.

38Dewan Penterjemah, Al-Qur’an dan Terjemahnya. p. 48.

39Muhammad Jamaluddin Qasimiy, Mahasin at-Ta’wil, edisi ke-1 (ttp: ‘Isa

al-Babiy al-Halabiy wa Syurakah, 1957), I: 80. Abd. Karim Kassim, Menentukan Awal/Akhir Puasa Ramadlan dengan Ru’yat dan Hisab (Bandung: P.T. Al Ma’arif, t.t.), p. 18.

(18)

mengetahui awal dan akhir bulan Ramadan hanyalah dengan rukyat. Kalau rukyat tidak berhasil karena terhalang mendung misalnya, maka yang harus dilakukan adalah menyempurnakan umur bulan Sya’ban yang sedang berlangsung 30 hari (itikmal). Istikmal merupakan jalan keluar saja dari cara rukyat yang gagal karena ada faktor yang menghalanginya/ mengganggunya.

Mengenai jalan keluar yang harus ditempuh karena rukyat tidak

berhasil ditegaskan dalam salah satu yang berbunyi: VLV ن )U ة2 ا ,آJ

sebagai penjelasan dari perkataanR اور2J (maka kadarkanlah ia) dalam

hadis yang lain. Namun, penjelasan itu bukan satu-satunya penjelasan melainkan hanya salah satunya saja, penjelasan lain dari kata itu masih ditemukan. Salah satu penjelasan mengatakan bahwa kata berarti juga anggaplah atau kira-kirakanlah hilal telah wujud atau telah ada di balik mendung atau awan itu. Dengan penjelasan ini berarti malam itu dan keesokan harinya sudah masuk bulan baru qamariah, karena hilal sudah dianggap wujud dibalik mendung atau awan. Penjelasan lain adalah hisab, yakni memperhitungkan dengan cermat apakah hilal sudah wujud atau

belum pada saat terbenam matahari itu.40 Penggunaan hisab dalam

pengertian ini tidaklah berdiri sendiri melainkan setelah ternyata rukyat tidak berhasil karena mendung atau cuaca berawan.

Dengan demikian, jalan keluar dari ketidakberhasilan rukyat karena mendung atau sebab lain yang menyebabkan hilal tidak terlihat, sekurang-kurangnya ada tiga, yaitu menyempurnakan bulan yang sedang berlangsung 30 hari, menetapkan bahwa hilal sudah wujud dibalik mendung atau awan, dan menghitung kedudukan rembulan pada saat matahari terbenam. Jalan keluar pertama dan kedua jelas akan menghasilkan perbedaan tanggal selama satu hari, sebab jalan keluar yang pertama menunda masuknya bulan baru qamariah satu hari sedangkan jalan keluar yang kedua justru sebaliknya menetapkan pada hari itu juga ditetapkan sebagai bulan baru qamariah. Jalan keluar yang ketiga ada kemungkinan sama dengan jalan keluar yang kedua, tetapi juga ada kemungkinan sama dengan jalan keluar yang kedua, tergantung kepada hasil perhitungan mengenai kedudukan atau posisi rembulan.

Berbeda dengan sebagian pendukung rukyat, pendukung hisab berpendapat bahwa cara untuk mengetahui masuknya bulan baru

40Djarnawi Hadikusuma, “Mengapa Muhammadiyah Memakai Hisab?”, Suara

(19)

qamariyah dapat dengan menggunakan hisab, baik secara sendirian maupun bersama-sama dengan rukyat. Penggunaan hisab untuk mengetahui masuknya bulan baru qamariah tidak ada bedanya dengan penggunaan rukyat karena keduanya merupakan sarana untuk mengetahui dengan pasti tentang masuknya bulan baru qamariah. Jadi yang diperlukan

adalah masuknya bulan baru qamariah, bukan melihat hilal.41 Ayat-ayat

al-Qur’an yang dikutip di muka, menurut pendukung hisab, mengisyaratkan kebolehan bahkan mengabsahkan penggunaan hisab untuk mengetahui wujud atau tidaknya hilal.

Bagi para ahli hisab, mengetahui wujudnya hilal itu dapat dilakukan dengan cara hisab atau rukyat, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Yang menjadi pedoman pokok dalam menentukan sudah mulai atau belum masuknya bulan baru qamariah, atau dengan perkataan lain, tanda-tanda bahwa bulan baru qamariah sudah masuk bukanlah berhasil atau tidaknya rukyat, dan bukan pula hisabnya itu sendiri, akan tetapi wujudnya hilal.

E. Catatan Akhir

Apabila ayat 39 surat Yasin dan bagian awal dari ayat 40 dari surat yang sama di atas dihubungkan, maka dapat disimpulkan bahwa bulan baru qamariah ditandai dengan didahuluinya matahari yang bergerak lambat oleh rembulan yang bergerak jauh lebih cepat. Atau, oleh karena peredaran keduanya itu berlaku menurut arah dari barat ke timur, maka dapat pula dikatakan bahwa bulan baru qamariah itu dimulai bila rembulan berkedudukan di sebelah timur matahari. Kedudukan rembulan seperti itu dicapai saat setelah rembulan mengejar matahari. Dengan perkataan lain saat setelah terjadi ijtima’ antara rembulan dan matahari.

Dengan interpretasi demikian, maka pandangan yang menyatakan bahwa awal bulan qamariah mulai masuk pada saat terjadinya ijtima rembulan dan matahari mendapat legitimasi syar’i.

Berdasarkan uraian terdahulu, bentuk-bentuk semu rembulan itu ditandai oleh dua unsur. Pertama, bagian permukaan rembulan yang tampak dari bumi disinari matahari. Kedua, kedudukannya di langit. Unsur pertama adalah persoalan pengaruh penyinaran matahari terhadap rembulan, sedangkan yang kedua adalah persoalan posisi rembulan

41A. Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, edisi ke-4 (Bandung:

(20)

terhadap matahari. “Bulan baru” terlihat sebagai sabit tipis dan terbenam setelah matahari terbenam. “Bulan purnama” kelihatan bulat penuh dan terbit di waktu matahari terbenam. “Bulan tua” kelihatan seperti bentuk sabit tipis lagi, tetapi terbit pada dini hari mendahului matahari, atau menjelang tebit matahari. Kedua unsur yang menandai atau mensifati adanya bulan baru itu telah dijelaskan dengan sempurna dalam dua ayat di atas, yakni ayat 39 dan 40 surat Yasin.

Ayat 39 melukiskan pengaruh penyinaran matahari terhadap bulan baru (urjunil-qadim), sedangkan awal ayat 40 menjelaskan kedudukan rembulan dan posisinya terhadap matahari (mendahului matahari). Namun demikian, tidak berarti bahwa penetapan ijtima’ (rembulan mendahuli matahari, bentuk rembulan yang paling kecil) sebagai kriteria masuknya bulan baru qamariah tidak menyisakan persoalan, karena bentuk rembulan pada saat ijtima’ itu sangat sulit diamati, pembatas yang menandakan bahwa rembulan berada di sebelah timur matahari atau matahari baru saja terkejar oleh rembulan tidak jelas, disamping terkesan adanya “pengabaian” terhadap bimbingan syar’i mengenai terlihatnya hilal.

Lanjutan ayat 40 surat Yasin memberikan petunjuk dan bimbingan tentang garis patokan yang harus dipedomani dalam menentukan lahirnya atau masuknya bulan baru qamariah. Rupanya yang dimaksud oleh ayat itu adalah situasi senja hari tatkala matahari terbenam karena pada situasi seperti itu terjadi pergantian siang menjadi malam. Perpindahan siang menjadi malam itu ditentukan oleh terbenamnya matahari. Sedangkan terbenamnya matahari adalah terhadap ufuk atau horizon. Oleh karena itu, berdasarkan ayat ini ada unsure baru yang harus diperhatikan yaitu “garis ufuk”. Ufuk inilah rupanya yang harus dijadikan patokan dalam menentukan apakah rembulan sudah berada di sebelah timur matahari atau sebaliknya ia masih berada di sebelah baratnya. Caranya sangat mudah yaitu dengan menempatkan matahari pada posisi terbenam, lalu ditentukan posisi rembulan. Bila rembulan berkedudukan di atas ufuk itu berarti menunjukkan bahwa rembulan sudah berada di sebelah timur matahari. Situasi demikian menunjukkan menunjukkan bahwa bulan baru qamariah sudah mulai atau dengan kata lain “hilal sudah wujud”. Interpretasi demikian mengukuhkan pandangan bahwa wujudul-hilal atau miladul-hilal adalah merupakan kriteria masuknya bulan baru qamariah.

Kriteria wujudul-hilal atau miladul-hilal oleh sebagaian orang dipandang belum memuaskan karena dirasa belum mengakomodasi ketentuan syara’ yang terkait dengan rukyat, sebagaimana dinyatakan dalam

(21)

hadis-hadis Nabi saw. Sebagian ahli hisab memandang bahwa hadis-hadis Nabi saw. Akan terakomodasi apabila kriteria yang dijadikan pedoman adalah kemunginan terlihatnya rembulan (hilal). Kriteria ini dikenal dengan imkanur-ru’rah. Substansi dari hadis-hadis itu, menurut pandangan ini, bukan terletak pada melihat hilal akan tetapi terletak pada mungkinnya hilal itu dapat dilihat. Dengan perkataan lain, rembulan berada pada posisi atau situasi tertentu sehingga memungkinkan untuk dilihat.

Kriteria imkanur-ru’yah menghadapi persoalan, yaitu mengenai parameter atau indikator yang dapat dijadikan ukuran bahwa rembulan mungkin dapat dilihat. Persoalan ini tidak hanya terkait dengan posisi rembulan di cakrawala tetapi juga berkaitan erat dengan sudut pandang

dari rembulan itu, kuat dan lemahnya cahaya yang

dipancarkan/dipantulkan, kontras hilal terhadap langit sekelilingnya, dan faktor cuaca. Oleh karena itu, para ahli astronomi berbeda-beda dalam memberikan kriteria visibilitas hilal (kemungkinan hilal dapat dilihat).

Para pendukung rukyat memandang bahwa ayat-ayat tersebut tidak ada sangkutpautnya dengan hukum, karena hampir seluruh ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan ketentuan peredaran matahari dan rembulan yang telah ditetapkan Allah SWT. secara pasti itu adalah ayat-ayat kauniah dan termasuk dalam kelompok ayat-ayat makiah, bukan madaniah. Ayat-ayat tersebut diturunkan dalam rangka memperkenalkan tanda-tanda kekuasaan Allah SWT. yang terbentang di langit dan di bumi serta pada seluruh isinya, untuk dijadikan bahan penalaran bagi manusia agar dapat mengakui kekuasaan Allah SWT. sehingga mereka sampai pada keyakinan atau keprcayaan yang kuat terhadap kekuasaan dan keesaan Allah Yang

Maha Pencipta.42 Satu-satunya cara atau kriteria awal bulan qamariah

adalah rukyat, tidak ada yang lainnya.

Bersepakat dalam menentukan masuknya bulan baru qamariah, khususnya Ramadan, Syawwal dan Zulhijjah memang tidak mungkin dapat dicapai dengan mudah. Akan tetapi, tidak berarti bahwa kesepakatan itu mustahil untuk dicapai. Dalam rangka berusaha untuk mencapai kesepakatan itu diperlukan kerja keras atas dasar kebersamaan dan keikhlasan serta dilakukan dengan penuh kearifan. Masing-masing yang ‘bertikai’ harus memahami betul konsep dasar yang dipedomani oleh pihak lain. Persoalan-persoalan yang terkait dengan kriteria bulan baru qamariah dan cara mengetahui argumen-argumen yang dijadikan landasan,

(22)

bahkan persoalan siapa yang berwenang mengambil keputusan harus dipetimbangkan oleh masing-masing pihak dan dipahami secara mendalam serta di telaah secara cermat. Dengan demikian maka persoalan yang dihadapi pun menjadi jelas. Tulisan ini diharapkan menjadi salah satu usaha untuk memperjelas persoalan yang dihadapi.

(23)

Daftar Pustaka

al-Bukhariy, Sahih al-Bukhariy, ttp: Dar wa Matabi’ asy-Syu’ub, 6 jilid, t.t. Jailaniy, Zubair Umar, Khulasah Wafiyyah fi Falak bi Jadawal

al-Lugaritmiyyah, Kudus: Menara Kudus, t.t.

al-Qasimiy, Muhammad Jamaluddin, Mahasin at-Ta’wil, edisi ke-1, ttp: ‘Isa al-Babiy al-Halabiy wa Syurakah, 30 jilid, 1957.

An-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, edisi ke-1, Bairut: Dar al-Fikr, 4 jilid, 1930. At-Tirmiziy, Sunan at-Tirmiziy, edisi ke-3, Beirut: Dar al-Fikr, 6 jilid, 1978. Badan Hisab & Rukyat Dep. Agama, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta:

Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981.

Baker, Rober H., Astronomy: A Texbook for University and College Students, edisi ke-5, New York: D. Van Nostrand Company, 1953.

Blumbreg, Richard E., The Astronomical Almanac, New York: U.S. Naval Observatory USA, 1999.

Dewan Penterjemah, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ttp: Khadim al-Haramain asy-Syarifain Fahd ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Sa’ud, 1971.

Djambek, Saadoe’ddin, Hisab Awal Bulan, Jakarta: Tintamas, 1976.

Hadikusuma, Djarnawi, “Mengapa Muhammadiyah Memakai Hisab?”, Suara Muhammadiyah, Nomor : III, Januari 1973.

Hadikusuma, Djarnawi, “Mengapa Muhammadiyah Memakai Hisab?”, Suara Muhammadiyah, Nomor: IV, Februari 1973.

Hassan, A., Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, edisi ke-4, Bandung: C.V. Diponegoro, 2 jilid, 1977.

Jauhariy, Tantawiy, Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, edisi ke-2, Mesir: Mustafa al-Babiy al-Halabiy wa Auladuh, 30 jilid, 1350 H.

Jurdak, Mansur Hanna, Astronomical Dictionary: The Zodiac & Constel-lations, Beirut: American Mission Press, 1950.

Kassim, Abd. Karim, Menentukan Awal/Akhir Puasa Ramadlan dengan Ru’yat dan Hisab, Bandung: P.T. Al Ma’arif, t.t.

Kosasih, Marfuddin (Kord. Tim), Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah, Jakarta: Bagian Proyek Pembinaan Administrasi Hukum dan Peradilan Agama, 1983.

Marsito, Kosmografi Ilmu Bintang2, Djakarta: PT. Pembangunan, 1960.

Muhammad Falakiy, “Haula Asbab Ikhtilaf Awa’il asy-Syuhur al-Qamariyyah”, dalam Dirasat Haula Tauhid al-A’yad wa al-Mawasim ad- Diniyyah, Tunis: Idarah as-Su’un ad-Diniyyah bi Tunis, 1981.

(24)

Muhammad Mansur ibn al-Hamid ibn Muhammad ad-Damiriy, Sulam an-Nayyirain fi Ma’rifah al-Ijtima’ wa al-Kusufain, Jakarta: al-Madrasah al-Khairiyyah al-Mansuriyyah, t.t.

Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim an-Naisyaburiy, Sahih Muslim, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2 jilid, t.t.

Toruan M.S.L., Pokok-Pokok Ilmu Falak, Semarang: Banteng Timur, 1961. Wardan, Muhammad, Hisab ‘Urfi dan Hakiki, Yogyakarta: Siaran, 1957. Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, cetakan ke-3, Yogyakarta:

Pimpinan Pusat Muhammadiyah, t.t.

Lampiran Keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama tentang Pedoman Penyelenggaraan Ru’yat bil Fi’li Nomor: 311/A.II.04.d/I/1994 Tanggal 13 Januari 1994 Pasal 1 butir a.

Referensi

Dokumen terkait

Artinya Fear of Missing Out memiliki pengaruh sebesar 12% terhsadap kecanduan media sosial, selebihnya kecanduan media sosial dapat dipengaruhi oleh faktor lain

purposive sampling yaitu 100 responden dengan kriteria menggunakan kosmetik Madame Gie, berada di wilayah Soloraya. Berdasarkan Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa

Manfaat perlindungan terhadap Penyakit Kritis Major sebesar 100% dari Uang Pertanggungan, dikurangi dengan manfaat yang bersifat akselerasi yang telah dibayarkan (jika

Walaupun ibu rumah tangga memiliki mental accounting yang tinggi dan lebih berhati-hati terhadap suatu jenis risiko investasi, namun faktor kekuatan budaya di

Sebagai bahan pertimbangan, kami lampirkan proposal Permohonan Bantuan Dana Pembangunan Asrama Putra Yayasan Miftahul Ulum Sindanggalih dengan harapan

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan gaya bahasa retorik yang terdiri atas penegasan dan pertentangan dan majas lokalitas Minangkabau yang terdiri

Dari hasil analitis dan observasi, rembesan yang paling besar terjadi pada tingkat kepadatan tanah 60% dengan tinggi air tampungan 55 cm, sedangkan rem- besan