• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Sumber Daya Madu Hutan: Studi Kasus Di Desa Keliling Semulung, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Mukhammad Bahtiar.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengelolaan Sumber Daya Madu Hutan: Studi Kasus Di Desa Keliling Semulung, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Mukhammad Bahtiar."

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Pengelolaan Sumber Daya Madu Hutan:

Studi Kasus Di Desa Keliling Semulung, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat Mukhammad Bahtiar

Abstrak

This research is about the management of of forest honey resources in Keliling Semulung. This study used a qualitative approach to get a description of forest resource management honey. The data was collected by the method of literature, participation observations and interviews. My research shows that there are three resources of forest honey that are repak, lalau and tikung. On the third of the forest honey resource, there are three elements of resources, that are land, trees and honeycomb. Management of land and trees and honeycomb on repak, lalau, and tikung, carried in a different way. The ownership rights honeycomb on repak, lalau, tikung are the same being as the owner, while the land and tree tenure is different, Management of the soil, tree and honeycomb on all three the resources the honey is implemented according with the institutions who prevailing in society and institutions which applicable constitute customary rules. This instituions holds an important role in the management of forest honey resources. Keywords : Management, Forest honey, Institutions

Pedahuluan

Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai hutan hujan tropis. Hutan hujan tropis menyimpan keanekaragaman hayati tinggi baik flora maupun faunanya. Keanekaragaman hayati yang tinggi mempunyai manfaat yang besar bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Selain kayu yang menjadi hasil utama hutan, terdapat berbagai hasil hutan lainnya yang dapat dimanfaatkan bagi masyarakat sekitar hutan seperti tanaman hias, madu, rotan, binatang buruan dan lainnya. Hutan merupakan bagian penting yang tidak terpisahkan bagi orang-orang orang yang tinggal di sekitar hutan. Orang-orang yang tinggal di sekitar hutan menjadikan hutan sebagai tempat untuk mencari berbagai kebutuhan kehidupan mereka.

Pulau Kalimantan merupakan salah satu pulau yang memliki hutan tropis yang

kaya dengan keanekaragaman hayati. Seiring berjalannya waktu luas hutan tropis di Pulau Kalimantan semakin menyempit. Tutupan hutan tropis memang masih luas, namun tutupan hutan dengan cepat menurun, mengancam keanekaragaman hayati, penyediaan ekosistem, dan basis ekonomi (Yeager 2008:02). Penyebab langsung dari pengurangan luas ini adalah ekspansi pertanian, ekstraksi kayu dan pembangunan infrastruktur (Sumargo 2011:4). Kemudian menurut Barber (1999:12) perluasan kegiatan penambangan, produksi, dan eksplorasi ke dalam wilayah hutan merupakan salah satu penyebab penggundulan hutan. Kebutuhan kayu bulat untuk pembangunan dan pembukaan lahan sawit menjadikan luas hutan di Kalimantan Barat semakin sempit. Salah satu hutan yang terdapat di Kalimantan Barat yang mengalami penyempitan luas lahannya adalah Hutan Danau Siawan.

(2)

Hutan Danau Siawan terletak di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Kawasan Hutan Danau Siawan mengalami penyusutan luas lahan karena adanya ekstraksi kayu yang dilakukan oleh perusahaan pemegang Hak Pengusahan Hutan (HPH). Hutan di daerah Danau Siawan merupakan bekas dari hak pengusahaan hutan dari PT. Bumi Raya Utama, dan PT Benua Indah. Hak pengusahaan ini antara lain berupa ijin untuk menebang pohon di hutan di sekitar danau Siawan. Selain pihak perusahaan terdapat juga masyarakat yang hidup di sekitar Hutan Danau Siawan yang bergantung pada hasil hutan Danau siawan. Penduduk lokal bekerja dan memenuhi kebutuhan hidupnya dari sumber daya yang terdapat hutan di Danau Siawan. Hutan menyediakan kayu, binatang buruan, rotan, madu yang bernilai ekonomi dan dapat dijual. Danau menyediakan berbagai macam ikan dan berbagai binatang air tawar yang dapat dikonsumsi untuk kebutuhan sehari-hari. Salah satu masyarakat yang bergantung terhadap keberlangsungan Hutan Danau Siawan adalah warga Desa Keliling Semulung.

Desa Keliling Semulung terletak di sekitar kawasan Hutan Danau Siawan. Warga Desa Keliling Semulung banyak yang berkegiatan ekonomi di Hutan Danau Siawan. Kegiatan ekonomi tersebut antara lain mengambil rotan, prupuk, dan kayu yang digunakan untuk membangun rumah. Kegiatan perburuan binatang juga dilakukan di hutan danau Siawan. hasil buruan berupa monyet, bekantan (Nasalis lavartus), babi hutan. Begitu juga dengan kegiatan penangkapan binatang air tawar juga dilakukan di Danau Siawan. Hasil ikan pengangkpan ikan tawar berupa ikan toman (Channa micropeltes),

biawan (Helostonia temminckii), Jelawat (Leptobarbus hoevenii) dan lain-lain. Kegiatan mengambil madu juga merupakan kegiatan yang dilakukan oleh warga Desa Keliling Semulung di Hutan Danau Siawan. Penduduk Desa Keliling Semulung mayoritas beretnis Dayak Kantu’.

Berkaitan dengan penelitian yang pernah dilakukan terhadap masyarakat Dayak Kantu’, Michael Dove (1994) meneliti tentang usaha masyarakat Dayak Kantu’ dalam menghadapi perubahan ekonomi yang berkaitan dengan usaha pengambilan getah karet. Usaha pengambilan getah karet yang dulunya hanya berasal dari pohon karet yang berada di hutan kini telah berubah menjadi pengambilan getah karet melalui perkebunan-perkebunan karet rakyat yang diusahakan oleh suku Dayak Kantu’ sendiri. Tulisan Dove lainnya tentang Suku Dayak Kantu’ ditulis dengan Kammen (1997). Tulian ini berisi tentang pengelolaan wilayah alam pada masyarakat Dayak Kantu’ yaitu berkaitan dengan pandangan masyarakat Dayak Kantu’ mengenai pengelolaan sumber alam dimana mereka di satu sisi mengumpulkan sumber alam yang berasal dari hutan seperti mengumpulkan buahan-buahan, di satu sisi mereka adalah peladang dimana surplus dari hasil tersebut dibagi dengan anggota keluarga dimana kondisi ini bertolak belakang dengan paradigma revolusi hijau yaitu kelebihan dari pertanian digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasar (Dove & Kammen 1997:95). Desa Keliling Semulung yang mayoritas dihuni oleh Suku Dayak Kantu’ memiliki intensitas kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan Hutan Danau Siawan. Ketergantungan terhadap kebutuhan ekonomi seperti pengambilan kayu, rotan, perburuan

(3)

binatang, ikan dan lainnya. Salah satu kegiatan ekonomi yang terkait dengan hutan adalah kegiatan terkait dengan sumberdaya madu. Madu dihasilkan oleh lebah yang bersarang di pohon-pohon di hutan danau Siawan. Sarang lebah ini pada awalnya merupakan sumberdaya yang dapat diakses oleh semua pihak, namun sarang lebah akan berubah menjadi hak milik pribadi bagi orang yang pertama kali menemukannya.

Penelitian terkait sumber madu hutan pernah dilakukan oleh Will De Jong. De Jong (2000) melakukan penelitian pada komuniatas Dayak Mate-Mate di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat dan terhadap orang Melayu di Danau Sentarum yang terletak di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Penguasaan madu yang dilakukan oleh orang Dayak dan Melayu tersebut tekait dengan pohon yang terdapat sumber madu, dan juga terkait dengan penguasaan tanah tempat pohon tersebut berada. De Jong (2000) melakukan penelitian terhadap dua komunitas yaitu Dayak Mate-Mate dan orang Melayu di Danau Sentarum. Pada Dayak Mate-Mate, De Jong meneliti tentang pohon madu (honey tree) yang disebut dengan istilah Sompuat. Sedangkan di masyarakat melayu De Jong melakukan penelitian tentang tikung. Penelitian ini menggambarkan perbedaan aturan pada kedua masyarakat tersebut yaitu jika pada Sompuat jarak yang tidak diperbolehkan untuk diusahakan sepanjang 100 m, maka pada tikung jarak yang tidak diperbolehkan adalah 25 m. Penelitian juga terkait dengan denda bagi yang melanggar namun dengan jumlah denda yang berbeda antara Dayak Mate-Mate dan orang Melayu. Penelitian De Jong mengatakan bahwa penguasaan sumberdaya madu tekait dengan pohon yang terdapat

sumber madu, dan juga terkait dengan penguasaan tanah dimana pohon tersebut berada (2000:631). Terkait dengan penguasaan tanah maka terkait erat dengan tenurial Afiff (2005) mengatakan tenurial dipahami sebagai hubungan relasi, baik berdasarkan legal formal maupun kesepakatan atau kebiasaan yang dipraktekkan masyarakat (adat), diantara orang-orang, baik sebagai individu ataupun kelompok, yang terkait dengan tanah (dan sumber-sumber alam lainnya) Terdapat dua hal yang terkait dengan tenurial yang pertama yaitu Bundle of Rights dan Resource. Schlager dan Ostrom menguraikan Terdapat 5 hak dalam suatu sumber daya yaitu hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, hak pembatasan dan hak pelepasan (1992:250). Sebundel hak (bundle of rights) dan sumberdaya (resource) merupakan dua komponen penting yang dianalisis untuk melihat pesoalan tenurial. Terkait dengan tenurial Peluso melakukan penelitian tentang cara-cara menglaim tanah yang terjadi di Kalimantan Barat.

Penelitian Peluso mengambil kasus di Dayak Salako dalam menglaim tanah leluhurnya dengan melihat bekas-bekas dari tempat tinggal dan pohon-pohon durian yang pernah ditanam nenek moyang mereka. Bekas tempat tinggal tersebut disebut oleh Dayak Salako dengan istilah Timawokng (2005:1-2), adanya bekas tempat tinggal dan pohon-pohon durian itu maka anak keturuanan Dayak Salako dapat menglaim tanah tersebut. Kasus kedua adalah para Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bekerja sama dengan masyarakat adat yang memanfaatkan peta dan titik-titik koordinat pada Global Positioning System (GPS) untuk menglaim tanah. Mereka

(4)

membuat counter mapping untuk menglaim tanah milik mereka.

Hutan sebagai suatu tempat yang menyediakan berbagai sumber daya menjadikannya sebagai tempat yang diperebutkan oleh manusia yang tinggal di sekitarnya. Madu merupakan salah satu komoditas hasil hutan yang bernilai ekonomis sehingga menjadikan orang-orang di sekitar hutan berusaha untuk mendapatkannya.. Terdapat tiga jenis sumber madu hutan, yaitu repak, lalau, dan tikung. Meskipun ketiga sumber madu sama-sama merupakan sarang lebah, namun masyarakat Desa Keliling Semulung memberikan perlakukan yang berbeda terhadap ketiga sarang lebah tersebut. Sarang lebah terletak di pepohonan yang terdapat di hutan. Pepohonan yang berada di hutan terkait erat dengan tanah tempat pohon tersebut berada. Pengelolaan pohon dan tanah menjadi hal penting terkait dengan adanya sumber madu tersebut.

Merujuk pada hal tersebut perlu dilakukan deskripsi etnografi tentang kegiatan pengelolaan sumber daya madu hutan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Keliling Semulung. Deskripsi etnografi juga mencakup kegiatan pengelolaan sumber daya madu hutan, pranata pengelolaan sumber daya madu hutan, dan hak kepemilikan yang terkait dengan sumber daya madu hutan di Desa Keliling Semulung.

Untuk menganalisis pengelolaan sumber daya madu hutan digunakan konsep institution, dan land tenure. Konsep institution digunakan untuk menjelaskan aturan-aturan yang digunakan oleh mayarakat dalam melakukan aktivitas yang tekait dengan sumberdaya madu hutan. Adapun konsep land tenure digunakan untuk menerangkan hak-hak

yang terkait dengan penguasaan lahan dan sumberdaya yang terkait dengan madu hutan.

Institution dalam ilmu antropologi diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah Pranata. Pranata adalah suatu sistem norma atau aturan-aturan yang mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus. Koentjaraningrat (1970) mengatakan pranata paling sedikit dapat dikelompokkan menjadi delapan macam:

1) Pranata yang berfungsi untuk memenuhi keperluan kehidupan kekerabatan yang sering disebut dengan istilah kinship atau

domestic institutions.

2) Pranata-pranata yang berfungsi untuk memenuhi mata pencaharian hidup, memproduksi, menimbun, menyimpan, mendistribusi hasil produksi dan harta yang disebut dengan economic institutions.

3) Pranata-pranata yang berfungsi memenuhi keperluan penerangan dan pendidikan manusia yang disebut educational institutions.

4) Pranata-pranata yang berfungsi memenuhi keperluan ilmiah, menyelami alam semesta sekelilingnya yang disebut

scientific institutions.

5) Pranata-pranata yang berfungsi memenuhi keperluan manusia untuk menghayatkan rasa keindahannya dan untuk rekreasi disebut aesthetic and recreational institutions.

6) Pranata-pranata yang berfungsi memenuhi keperluan manusia untuk berhubungan dengan dan berbakti kepada tuhan atau dengan alam gaib disebut religious

institutions.

7) Pranata-pranata yang berfungsi memenuhi keperluan manusia untuk mengatur dan

(5)

mengelola keseimbangan kekuasaan dalam kehidupan masyarakat disebut

political institutions.

8) Pranata-pranata yang berfungsi memenuhi keperluan fisik dan kenyamanan hidup manusia disebut somatic institutions.

Berdasarkan pengelompokkan di atas pranata yang berfungsi untuk mengatur kegiatan yang terkait dengan pengelolaan sumber daya madu hutan yaitu pranata ekonomi (economic institutions) yang berfungsi untuk memenuhi mata pencaharian hidup, memproduksi, menyimpan, mendistribusi hasil produksi dan harta.

Ostrom (1992:19) mendefinisikan

Institution sebagai seperangkat aturan yang

benar-benar digunakan (aturan-aturan kerja atau aturan-aturan yang dipakai) oleh sejumlah indvidu untuk mengatur kegiatan-kegiatan yang berulang yang mendatangkan hasil sehingga mempengaruhi individu tersebut dan secara potensial mempengaruhi lainnya.

Land tenure mempunyai arti hak atas

tanah atau penguasaan tanah. . Pada objek hak misalnya tanah, seringkali terdapat berbagai hak yang melekat. Hak-hak ini dapat saja dimiliki oleh tidak pada satu orang atau kelompok yang sama. Schlager dan Ostrom (1992:250-251) menyebutnya dengan istilah “bundle of rights” (sebundel hak-hak). Schlager dan Ostrom juga mengatakan bahwa hak-hak ini dapat diuraikan menjadi sebagai berikut:

a. Hak akses dan hak pemanfaatan: hak akses merupakan hak untuk memasuki suatu wilayah tertentu; Hak pemanfaatan adalah hak untuk mengambil sesuatu atau untuk memanen sesuatu hasil alam seperti hak untuk memancing ikan, memanen buah, mengambil air, dan sebagainya;

b. Hak pengelolaan merupakan hak untuk mengatur pola pemanfaatan internal dan merubah sumberdaya dengan membuat perbaikan;

c. Hak pembatasan merupakan hak untuk menentukan siapa saja yang dapat memperoleh hak akses dan siapa yang mempunyai hak untuk memindahkan. d. Hak pelepasan adalah hak untuk menjual

atau menyewakan salah satu atau kedua dari hak-hak kolektif-pilihan di atas.

Sumber data penelitian ini terdiri dari sumber primer dan sumber sekunder. Sumber sekunder berasal dari data-data terkait dengan kondisi hutan, data statistik kabupaten Kapuas Hulu, dan aktifitas yang terkait dengan madu hutan dan data dari penelitian yang terkait dengan madu hutan yang telah ditulis oleh peneliti sebelumnya. Adapun data primer berasal dari wawancara dan pengamatan terhadap informan yang terkait dengan kegiatan pengelolaan madu hutan. Data-data mengenai sejarah desa, ekonomi warga desa juga berasal dari wawancara dan pengamatan terhadap informan

Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakaan metode kualitatif. Penggunaan metode kualitatif karena penelitian ini berusaha untuk mengeksplorasi dan menggambarkan suatu fenomena (Creswell, 2002:75). Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah menggunakan teknik partisipasi observasi. Teknik observasi ini dilakukan dengan cara berada di tempat penelitian dan secara aktif mengambil bagian dalam sebuah interaksi sehingga peneliti mempunyai pengalaman dan pemahaman lebih dekat berkaitan dengan sudut pandang informan (Hume and Mulcock, 2004: xi). Ember dan Ember (dalam Ihromi

(6)

ed, 1996:51) mengatakan teknik observasi merupakan satu-satunya cara yang digunakan oleh peneliti untk memperoleh gambaran mengenai pola budaya yang tidak diutarakan dengan kata-kata. Berada di tempat penelitian untuk melakukan obervasi, mengajukan pertanyaan yang terlihat bodoh namun mendalam, dan menulis apa yang dilihat dan apa yang didengar (Fetterman, 1989: 11). Observasi partisipatori dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang kegiatan para pengumpul dalam melakukan kegiatannya yang berkaitan dengan usaha pengumpulan madu. Berbagai kegiatan mulai dari pembuatan sarang lebah atau pencarian sumber madu baru, pemasangan sarang lebah, pemilihan pohon-pohon yang diperkirakan akan didatangi lebah merupakan kegiatan-kegiatan yang bisa didapatakan dengan cara melakukan observasi secara langsung

Penelitian di Desa Keliling Semulung ini dimulai dari tanggal 10-28 Agustus 2010, 6-21 September, 1-19 Oktober dan 30 oktober-19 November 2010 bersama dengan kegiatan penelitian dan penulisan etnografi yang dilakukan oleh Pusat Kajian Antropologi (PUSKA) Universitas Indonesia tentang kawasan yang akan dijadikan program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD). Penelitian selanjutnya merupakan penelitian yang dilakukan secara mandiri oleh peneliti. Penelitian ini berlangsung pada tanggal 11-25 Februari 2012. Penelitian ini dilakukan oleh peneliti dengan tujuan untuk melengkapi hasil temuan penulis pada penelitian sebelumnya. Penelitian ini dilakukan secara intensif selama 14 hari di Desa Keliling Semulung.

Gambaran Umum Desa Keliling Semulung Desa Keliling Semulung terletak pinggiran sungai Kapuas dengan didominasi tanah dataran rendah. Pada musim banjir hampir seluruh daratan di desa Keliling Semulung terendam oleh air yang berasal dari Sungai Kapuas. Selain Sungai Kapuas, di desa Keliling Semulung juga terdapat sungai-sungai kecil antara lain sungai-sungai Batang Semulung, Sungai Seluan, Sungai Penan, Sungai Manyam, Sungai Semulung Putus, Sungai Laban, Sungai Batang Engkunag, Sungai Mengerih, Sungai Tikung, Sungai Beliung, Sungai Nanga Semulung Siawan, Sungai Tali Seni, Sungai Peramu. Sungai Buya dan lain sebagainya. Di Keliling Semulung juga terdapat danau yaitu Danau Sempinang, Danau Semulung, Danau Baru, Danau Segamuk, dan Danau Siawan,

Secara administratif Desa Keliling Semulung terletak di Kecamatam Embaloh Hilir, Kabupaten Kapuas hulu, Propinsi Kalimantan Barat.

Desa Keliling Semulung terbagi menjadi dua dusun, yaitu Dusun Keliling Semulung dan Dusun Lubuk Semulung. Dusun Keliling Semulung terletak di bagian hulu desa dan Dusun Lubuk Semulung terletak di bagian hilir desa dan kampung Danau Baru yang letaknya ke arah timur laut dari daratan utama desa. Penduduk Desa Keliling Semulung mayoritas beretnis Dayak Kantu’, Dayak Kantu’. Mata pencaharian warga Keliling Semulung sangat beragam dan bergantung dengan kondisi musim yang sedang berlangsung. Pada musim kemarau kebanyakan warga bekerja sebagai penoreh karet, menjelang musim hujan warga pergi ke ladang untuk menanam padi, pada musim hujan warga mencari ikan. Adapun pekerjaan

(7)

sampingan warga antara lain berburu babi Hutan, bekantan (Nasalis lavartus), membuat sarang lebah (tikung) dan mengambil madu hutan, menebang kayu, mengambil rotan, berburu kura-kura dan labi-labi.

Kegiatan Perekonomian Desa Keliling Semulung

Kegiatan ekonomi utama di desa keliling semulung adalah menyadap karet. Getah Karet merupakan salah satu komoditas yang menjadi andalan warga dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Orang semulung menyebut getah karet dengan istilah kulat. Pohon karet yang ditanam di Desa Keliling Semulung adalah pohon karet lokal. Pohon karet baru bisa disadap saat berumur 7-10 tahun. Noreh karet adalah istilah lokal untuk menyebutkan kegiatan menyadap getah pohon karet. Penyadapan karet dilakukan pada pagi hari jam 05-00 sampai 08-00. Pada waktu itulah pohon karet dapat menghasilkan getah dengan maksimal. Getah karet yang disadap dikumpulkan pada batang bambu atau botol yang diletakkan di pohon karet. Getah karet yang berada di botol atau batang bambu baru diambil ketika menyadap getah karet pada keesokan harinya. Getah karet yang telah diambil dari batang bambu atau botol dikumpulkan ke dalam karung untuk disimpan sementara waktu. Warga menyimpan getah karet di dalam air di bawah lanting-lanting milik mereka yang terdapat di pinggiran Sungai Kapuas. Getah karet akan dijual ketika sudah terkumpul hingga 100-300 kg. Beberapa orang menjual getah karet disesuaikan dengan kondisi keuangan. Getah karet yang telah terkumpul dijual kepada pengumpul di desa. Pengumpul karet di Desa Keliling Semulung.

Kegiatan ekonomi utama lainnya adalah menanam padi. Menanam padi

merupakan kegiatan yang membutuhkan banyak orang dan dilaksanakan dengan gotong royong. Istilah untuk menyebut lahan yang ditanami padi adalah ladang. Musim tanam padi di desa Keliling Semulung hanya terjadi sekali dalam setahun. Musim tanam padi dimulai dari bulan juni-juli dan musim panen terjadi pada bulan februari hingga maret. Pada bulan juni-juli warga Desa Keliling Semulung memulai turun ke ladang untuk membersihkan ladang mereka. Ladang dibersihkan dari tanaman-tanaman pengganggu seperti rumput. Orang di Desa Keliling Semulung mengenal dua jenis penanama padi, yaitu padi yang ditanam di ladang kering atau ladang Berpindah (umai kirin), dan padi yang ditanam di tanah rawa atau sawah tadah hujan (umai

paya). Perbedaan kedua jenis penanaman padi

juga berbeda dalam teknik penanamannya dan jenis benih padinya. Penanaman padi pada ladang kering dilakukan dengan teknik Nugal dan bibit yang ditanam adalah bibit padi lokal. Adapun pada sawah tadah hujan teknik penanamannya adalah benih padi disemai terlebih dahulu baru dipindahkan ke sawah tadah hujan.

Musim panen terjadi pada akhir bulan januari hingga awal maret. Sekitar awal bulan januari (waktu panen padi paling cepat) orang-orang di Desa Keliling Semulung sudah memulai memanen tanaman padi mereka. Peralatan yang digunakan untuk panen padi adalah ani-ani, raga, dan karung padi. Ani-ani digunakan untuk memotong dahan padi sehingga hanya sebagian tangkai padi dan bulirnya yang diambil. Raga’ yaitu alat yang terbuat dari yang digunakan untuk menampung sementara padi yang telah diambil. Raga’ ditaruh ditaruh di belakang punggung sambil memotong padi. Karung

(8)

digunakan untuk menampung padi yang akan dibawa ke rumah. Padi yang telah ditampung di raga’’ dipindahkan ke karung untuk kemudian dibawa pulang ke rumah.

Berburu binatang air merupakan salah satu pekerjaan warga Desa Keliling Semulung. Hasil tangkapan utama dari perairan adalah ikan tawar. Hasil tangkapan ikan tawar berupa ikan toman (Channa micropeltes), biawan (Helostonia temminckii), Jelawat

(Leptobarbus hoevenii) dan lain-lain. Alat

tangkap ikan berupa pukat, jala, jermal, dan bubu. Selain ikan binatang air yang jadi buruan adalah labi-labi (Dogania subplana) dan kura (tortoises). Labi-labi dan kura-kura ditangkap dengan alat pancing yang dinamakan rabai.

Kegiatan ekonomi lain Warga adalah pengambilan madu hutan. Pengambilan madu hutan dilaksanakan pada bulan januari hingga februari ketika musim. Terdapat tiga jenis sumber madu di desa keliling semulung yaitu

repak, lalau dan tikung. kegiatan terkait

dengamn pengambilan madu hutan akan dijelaskan pada bagian di bawah ini.

Kegiatan Pemanfaatn Madu Hutan di Desa Keliling Semulung

Madu hutan merupakan salah satu komoditas hasil hutan di Kalimantan. Madu hutan merupakan madu yang dihasilkan oleh lebah yang bersarang di hutan. Penduduk Kalimantan telah mengumpulkan, menggunakan dan mendagangkan madu sebagai salah satu hasil hutan sejak lama (Jong 2000:623). Orang Keliling Semulung mendapatkan madu dari pohon-pohon yang terdapat di hutan. Lebah yang menghasilkan madu tidak bersarang di setiap pohon yang ada di hutan. lebah madu hanya bersarang di pohon-pohon tertentu seperti pohon

Cempedak Air (Artocarpus teysmannii), Rengas (Gluta renghas), Tempurau (Dipterocarpus validus), Keputat (Barringtonia acutangula), Tengelam (Eugenia spp). Lebah madu yang berada di Desa Keliling semulung adalah lebah madu jenis Apis dorsata. Di Desa Keliling Semulung lebah madu dikenal dengan nama Muanyi’. Warga desa Keliling Semulung mengenal tiga istilah sumber madu. pertama adalah repak, kedua lalau dan ketiga tikung. Ketiga sumber madu sama-sama sarang lebah dan terletak di pohon, namun mempunyai penyebutan berbeda sehingga ada perbedaan dalam perlakuan dan penanganannya.

Repak adalah sumber madu yang

terletak di sembarang pohon dan terjadi tanpa campur tangan manusia. Lebah mebuat sarang di pohon tersebut tanpa campur tangan manusia. Pada satu pohon yang disebut repak hanya terdapat 1 sarang lebah.

Lalau adalah sarang lebah yang terjadi

secara alami yang terdapat di pohon-pohon tinggi seperti Pohon Kempas, Tempurau (Dipterocarpus validus), Cempedak Air (Artocarpus teysmanni). lebah datang ke pohon dan membuat sarang secara alami tanpa campur tangan manusia. Dalam satu lalau bisa terdapat 10-60 sarang lebah. tiap sarang lebah dipimpin oleh satu induk lebah.

Tikung adalah sarang lebah yang

dibuat secara sengaja oleh manusia agar lebah mau hinggap dan membuat sarang di tempat yang telah ditentukan oleh pembuat tikung.

Tikung dibuat dari papan kayu yang berbentuk

persegi panjang dengan panjang sekitar 1 meter. Kayu yang digunakan untuk membuat

tikung adalah jenis kayu tertentu seperti jenis

Kayu Cempedak Air, Kayu Medang Keladi, Medang Semat. Kayu dibentuk menjadi tikung

(9)

dengan menggunakan chainsaw. Kayu dibentuk persegi panjang dengan panjang sekitar 1,5-2 meter. Di bagian atas dibentuk menjorok ke dalam sedangkan di bagian bawah papan dibentuk datar. Pada salah satu ujungnya diberi tanda sesuai dengan pemilik

tikung. Satu Petikung bisa membuat hingga

puluhan tikung. Tikung yang sudah jadi ini akan dipasang pada saat musim lebah datang. Musim lebah biasa terjadi pada bulan November-Desember. Warga menandai musim lebah datang dengan melihat musim padi berbunga. Tikung dipasang di pohon keputat (Baringtonia acutangula). Pohon keputat hidup di sekitar sungai dan danau. Pohon keputat yang dijadikan tempat tikung dipilih yang besar, daunnya rimbun tapi tidak terlalu rapat agar lebah bisa melihat tikung dan bersarang di tikung.

Musim panen madu terjadi pada sekitar akhir bulan desember hingga awal bulan februari. Tanda-tanda sumber madu siap diambil madunya adalah lebah sudah terlihat berajajar diatas sarang lebah. Lebah berjajar di atas sarang dan mengerumuni sarang lebah.

Panen madu dilakukan pada malam hari dan tidak pada saat malam bulan purnama karena waktu tersebut lebah tidak mampu melihat dengan jelas daerah sekitarnya sehingga mengurangi resiko tersengat lebah. Alat-alat yang digunakan untuk mengambil madu yaitu: Akar kering yang berfungsi untuk mengusir sarang lebah, derigen yang berfungsi untuk menampung madu, tali untuk mengikat tubuh pemanjat pohon dan untuk menurunkan madu dari atas pohon ke bawah, dan perahu sebagai alat transportasi. Untuk mengambil madu diperlukan paling sedikit dua orang. Satu orang bertindak sebagai pemanjat, dan

satu orang lagi berada di bawah untuk mengumpulkan madu.

Madu di repak bisa diambil dengan 2 orang saja karena pohon repak yang tidak terlalu. Adapun pada lalau madu diambil dengan menggunakan bantuan tangga yang dibuat sedemikian rupa sehingga pemanjat bisa sampai dia atas pohon. Setelah sampai di atas pemanjat menyanyikan lagu yang disebut dengan istilah nimang lalau. nimang lalau berisi pujian untuk lebah agar lebah tidak menyengat dan hasil panen madu melimpah. Lebah diusir dari sarangnya dengan memanfaatkan asap dari akar yang bakar. Setelah lebah tidak lagi di sarang, pemilik madu bisa mengambil madu kemudian diturunkan dengan menggunakan tali. Orang yang berjaga di bawah memindahkan madu ke derigen lainnya dan seterusnya.

Pengambilan madu di tikung

dilaksanakan bersama dengan pemilik tikung lainnya. Pemilik tikung dengan dipimpin oleh ketua tikung melakukan panen madu secara bersamaan pada malam yang telah ditentukan. Pemilik tikung memanen tikung yang terdapat sarang lebah. sarang lebah dipanen bersam dengan induknya. Pada pengambilan madu terkadang ada yang salah mengambil tikung orang lain. Jika mereka salah mengambil

tikung milik orang lain maka mereka dengan

segera harus mengembalikan ke pemiliknya. Madu yang dihasilkan dari repak,

lalau, dan tikung lebih banyak dijual daripada

dikonsumsi pribadi. Madu yang telah diambil dari sarang lebah dijual kepada pengumpul madu. Pengumpul madu ada di desa Keliling Semulung dan Nanga Embaloh. Penentuan terhadap kepada siapa mereka menjual madu tergantung pada keinginan pemilik madu.

(10)

Pertimbangan-pertimbangan dalam menjual madu antara lain jumlah madu, dan harga madu. Jika madu yang dihasilkan dari sumber madu dalam jumlah kecil seperti 5 Kg atau 8 Kg saja maka madu dijual ke warga Desa Keliling Semulung sendiri. Jika hasil madu banyak maka dijual ke pengumpul baik yang berada di Desa Keliling Semulung atau di Nanga Embalah. Harga merupakan salah satu pertimbangan pemilik madu untuk menjual madu kepada pengumpul. Pada bulan februari tahun 2012 harga madu berkisar 60.000-70.000/kg untuk penjualan di desa Keliling Semulung adapun harga di Nanga Embaloh berkisar 65-000-80.000/kg. Pemilik madu lebih memilih untuk menjual kepada pengumpul yang menawarkan dengan harga tinggi.

Pranata Sumberdaya Madu Hutan

Sumber daya madu merupakan aset potensial bagi pemiliknya. Untuk melindungi kepemilikannya terdapat aturan-aturan yang disepakati oleh pemilik sumber daya madu dan warga di sekitar lokasi sumber daya madu. beberapa pranata yang terkait dengan repak,

lalau,dan tikung antara lain :

Repak adalah sumber madu yang

terletak di sembarang pohon dengan jumlah sarang lebah tidak lebih dari tiga. Pohon yang pada musim madu tahun ini menjadi repak belum tentu pada musim depan menjadi repak lagi karena lebah belum tentu membuat sarang pada pohon tersebut. Kepemilikan repak hanya berlangsung ketika terdapat sarang lebah. Setelah sarang lebah diambil maka berakhir pula kepemilikan seseorang terhadap

repak tersebut. Adapun pohon yang menjadi repak status kepemilikannya akan kembali

kepada pemilik lahan jika pohon yang terdapat

repak tersebut berada di kebun milik orang,

atau status kepemilikannya menjadi barang publik jika pohon yang terdapat repak itu berada di lahan yang tidak ada pemiliknya.

Status kepemilkan repak pada pohon yang sama dapat berubah dari tahun ke tahun sesuai dengan penemu repak. Penemu sarang lebah pertama yang berhak untuk mengklaim bahwa sarang lebah (repak) itulah miliknya. Beberapa pranata terkait penemuan repak yaitu pemeberian tanda pada repak dan pembersihan rumput di sekitar repak.

Pemberian tanda pada repak. Pohon yang terdapat repak bisa diketahui status kepemilikannya dengan melihat tanda yang terdapat pada pohon tersebut. Repak yang sudah ada tanda pada pohonnya berarti sudah dimiliki orang lain, sedangkan repak yang belum ada tanda pada pohonnya berarti belum ada pemiliknya. Repak yang sudah ada tanda pada pohonnya kepemilikannya tidak bisa diklaim oleh orang lain, sedangkan repak yang belum ada tanda bisa diklaim kepemilikannya oleh orang yang menemukannya. Tanda pada

repak yang diakui secara bersama adalah

tanda silang. Tanda silang dibuat dari ranting pada pohon yang terdapat pada repak. Tanda silang yang diambil dari dahan pohon yang terdapat repak statusnya lebih kuat dari pada tanda silang yang dibuat dari pohon lain. Ranting yang dibuat menjadi tanda silang diletakkan pada batang pohon dengan diikat kuat-kuat menggunakan rotan atau tali. Ikatan pada tanda silang harus dibuat kuat agar tidak hilang atau terjatuh. Tanda lain yang digunakan untuk menandai kepemilikan repak adalah dengan menuliskan inisial huruf pemiliknya pada batang pohon. Pemberian inisial ini akan memperkuat kepemilikan pada

repak tersebut. Pemberian inisial pada batang

(11)

tanda silang yang telah dibuat jatuh atau hilang. Pemberian tanda silang dan inisial pada pohon ini berfungsi untuk memperkuat status kepemilikan repak pada pohon tersebut.

Pembersihan rumput di sekitar repak. Pembersihan rumput digunakan untuk menandai bahwa repak tersebut rtelah ada pemiliknya. Pembersihan rumput dilakukan dengan menyiangi rumput-rumput yang berada di sekitar pohon. Rumput dan ilalang yang berada di sekitar pohon dibabat habis sehingga terlihat perbedaan antara rumput yang dibiarkan tumbuh liar dan rumput yang telah dibersihkan. Tidak ada kesepakatan berapa luas rumput yang harus dibersihkan di sekitar pohon yang terdapat repak. Hal penting dari pembersihan rumput adalah terkait dengan ketinggian rumput yang terdapat pada tanah yang telah dibersihkan lebih rendah daripada rumput di sekitar pohon yang tidak dibersihkan. Perbedaan tinggi rendahnya rumput ini harus terlihat jelas agar orang lain dapat mengetahui status kepemilikan repak dengan mudah. Jika perbedaan tinggi rendahnya rumput tidak jelas maka bisa terjadi tumpang tindih dalam mengklaim kepemilikan

repak. Tanah di sekitar pohon yang terdapat repak dibersihkan dari rumput dengan

membentuk lingkaran. Bentuk lingkaran ini harus mengelilingi pohon yang terdapat

repak.

Pranata Pemeliharaan Repak

Pemeliharaan repak dilakukan ketika

repak dianggap belum menghasilkan madu

secara maksimal. Pemeliharaan repak hanya berlangsung dari orang pertama kali menemukan repak hingga orang yang menemukan mengambil madu dari repak. Setelah penemu repak mengambil madu maka pohon tersebut tidak bisa lagi diklaim lagi

sebagai repak miliknya. Beberapa penemu

repak langsung mengambil madu dari repak

pada malam harinya ketika repak ditemukan, namun beberapa orang memelihara repak untuk sementara sambil menunggu waktu yang tepat untuk mengambil madu dari repak. Beberapa usaha untuk memelihara repak yaitu dengan menyiangi rumput di sekitar repak dan memeriksa tanda pada pohon yang terdapat

repak.

Membersihkan rumput di sekitar

repak. Rumput di sekitar Repak harus

dibersihkan jika rumput sudah tinggi. Rumput dibersihkan mengikuti apa yang telah dilakukan pada awal kali penemuan repak yaitu dengan melingkari di sekitar pohon. Luas rumput yang disiangi sama dengan luas ketika pertama kali menemukan repak.

Memeriksa Tanda Kepemilikan. Tanda kepemilikan repak harus tetap terdapat pada batang pohon yang terdapat repak. jika tanda hilang atau terjatuh maka pemilik repak harus memasang lagi tanda tersebut. jika tanda pada batang kurang kuat ikatannya maka harus diperkuat lagi baik menggunakan rotan atau tali. Tanda pada batang pohon tidak boleh hilang agar repak yang telah ditemukan tidak diklaim oleh orang lain. Jika tanda tidak terlihat atau tenggelam karena terkena banjir maka pemilik repak harus membuat tanda di batang pohon yang tidak terkena banjir agar

repak tidak diklaim oleh orang lain.

Pranata Penemuan lalau

Lalau adalah sarang lebah yang

terletak di pohon seperti pohon Kempas, Tempurau (Dipterocarpus validus), dan Cempedak Air (Artocarpus teysmannii),. Sarang lebah yang terdapat pada bisa berjumlah puluhan sarang. Lalau biasa ditemukan ketika orang pergi ke hutan untuk

(12)

berburu atau menebang pohon di hutan. Orang-orang yang sedang pergi ke hutan terkadang dengan tidak sengaja menemukan

lalau yang belum ada pemiliknya. Lalau yang

sudah ada pemiliknya dan lalau yang belum ada pemiliknya dapat diketahui dengan melihat tanda-tandanya. Tanda-tanda ini terlihat dengan jelas pada pohon di sekitar

lalau. Tanda-tanda lalau dapat diketahui dari

rumput dan di sekitar pohon yang terdapat

lalau, ranting pada pohon. tanda pada pohon.

Tanda pertama untuk mengetahui lalau ada pemiliknya dan yang belum ada pemiliknya adalah dengan melihat rumput dan pohon di sekitar lalau. Rumput dan pohon yang berada di sekitar lalau yang dimiliki orang telah dibersihkan oleh pemiliknya, sedangkan pada lalau yang belum ada pemiliknya rumput dan pohon belum dibersihkan dan pohon dan rumput tumbuh tidak beraturan.

Tanda kedua adalah ranting di pohon

lalau yang terdapat pada lalau. Lalau yang

ada pemiliknya, ranting pohon yang kecil dibersihkan, sedangkan pada lalau yang belum ada pemiiknya masih terdapat banyak ranting kecil. Tanda ketiga adalah tanda silang pada pohon yang terdapat lalau. Lalau yang ada pemiiknya terdapat tanda silang pada batang pohon yang terdapat lalau, sedangkan pada

lalau yang belum ada pemiliknya tidak

terdapat tanda silang pada batang pohonnya. Tanda lain yang dapat digunakan untuk mengetahui lalau ada pemiliknya dan bukan adalah tanda bekas pengambilan madu di

lalau. Pada lalau yang sudah pernah diambil

madunya terdapat tangga yang digunakan untuk memanjat pohon. Tangga ini akan tetap dibiarkan di pohon. Pada lalau yang belum

ada pemiliknya tidak terdapat tangga yang digunakan untuk mengambil madu.

Lalau biasa ditemukan orang atau

seseorang ketika mereka sedang pergi ke hutan. oleh karena itu orang yang menemukan

lalau harus melakukan hal tertentu agar lalau

tersebut tidak diklaim oleh orang lain. Hal-hal yang harus dilakukan oleh penemu lalau yang belum ada pemiliknya antara lain: membuat tanda pada batang pohon, membersihkan pohon dan rumput dan memberitahukan kepada pemilik lahan atau pihak yang berwenang.

Pemberian tanda pada lalau.

Pemberian tanda pada batang pohon yang terdapat lalau dilakukan dengan membuat tanda silang pada batang pohon yang terdapat

lalau. Pemberian tanda silang ini menggunakan ranting dari pohon tersebut. Ranting yang digunakan sebaiknya berasal dari ranting-ranting kering yang terjatuh dari pohon tersebut, hal ini karena untuk mengambil ranting yang masih terdapat di atas pohon dibutuhkan persiapan khusus karena tingginya pohon yang terdapat lalau. Terkadang tanda silang pada lalau dibuat lebih dari satu tanda untuk mengantisipasi tanda lain yang terjatuh. Tanda silang ini diikat pada batang pohon dengan menggunakan rotan. Tanda silang diikat kuat agar tidak hilang dan terjatuh.

Pembersihan pohon dan rumput di sekitar lalau. Pohon lalau yang baru ditemukan harus dibersihkan dari rumput dan pohon yang berada di sekitarnya. Rumput-rumput di sekitar lalau harus disiangi bersih hingga tampak jelas perbedaan antara rumput yang disiangi dan yang tidak disiangi. Begitu juga dengan pohon-pohon kecil di sekitar

(13)

dengan menggunakan parang, sedangkan untuk pohon yang tidak bisa ditebang dengan parang maka bisa ditebang dengan menggunakan chainsaw. Oleh karena itu untuk membersihkan pohon di sekitar lalau membutuhkan lebih dari satu waktu. Pohon dan rumput di sekitar lalau dibersihkan dengan membentuk lingkaran yang mengitari pohon yang terdapat lalau. Jarak awal penyiangan rumput dan pohon berkisar 5 meter.

Memberitahukan kepada pihak yang berwenang. Pemberitahuan kepada orang lain terkait penemuaan lalau merupakan hal yang sangat diperlukan agar lalau kita mendapatkan pengakuan dari orang lain. Jika lalau kita temukan pada lahan yang telah dimiliki orang lain maka kita harus memberitahukan terlebih dahulu kepada pemilik tanah tersebut. Jika kita menemukan lalau pada tanah yang belum dimiliki orang maka kita harus melapor kepada pihak yang berwenang di daerah tersebut. Pihak yang berwenang dalam hal ini adalah kepala desa dan ketua adat desa. Pemberitahuan kepada kepala desa dan ketua adat bahwa kita menemukan lalau di derah mereka. Jika lalau ditemukan di Desa Keliling Semulung maka penemu lalau harus melaporkan kepada kepala desa dan kepala adat Desa Keliling Semulung. Orang dari desa Keliling Semulung terkadang menemukan

lalau di wilayah desa lain, begitu juga orang

lain bisa juga menemukan lalau di desa Keliling Semulung, dan setiap penemu lalau harus melaporkan lalau yang ditemukannya kepada kepala desa dan ketua adat sesuai dengan wilayah dimana lalau tersebut ditemukan.

Pranata Pemeliharaan Lalau

Pemeliharaan lalau diperlukan agar lalau tidak diklaim oleh orang lain. Lalau mempunyai nilai ekonomis yang tinggi dengan semakin banyaknya sarang lebah yang terdapat pada

lalau. Pemeliharaan lalau dilakukan dengan

membersihkan rumput di sekitar lalau, mengambil madu lalau pada musim panen, dan pewarisan lalau

Pembersihan rumput dan pohon di sekitar lalau Rumput yang mulai tumbuh tinggi di sekitar pohon yang terdapat lalau harus dibersihkan. rumput ini disiangi dengan membentuk pola melingkari pohon lalau sesuai dengan pertama kali lalau ditemukan. Adapun luas lingkaran rumput yang disiang menjadi semakin luas. Jika pada awal menemukan lalau luas rumput yang disiang 5 meter maka pada penyiangan kedua luas rumput yang disiangi menjadi 10 meter. Luas ini akan bertambah hingga maksimal 15 meter sesuai dengan makin lamanya lalau tersebut dimiliki. Pohon-pohon di sekitar lalau yang tumbuh harus ditebang. Penebangan pohon ini dilakukan agar tidak ada pohon di dalam lingkaran tersebut selain pohon yang terdapat

lalau. Penebangan pohon juga dilakukan agar

lebah hinggap dan bersarang kembali pada pohon tersebut.

Mengambil madu pada musim panen. Pengambilan madu pada musim panen madu merupakan salah satu usaha untuk mempertahankan kepemilikan lalau, dengan mengambil madu pada pada saat musim panen madu maka orang lain akan mengetahui bahwa lalau itu ada pemiliknya. Selain tiu juga pada saat melakukan poengambilan madu di lalau dilakukan minimal dengan 3 orang. Beberapa orang pemilik terkadang melakukan pengambilan madu dengan bersama dengan 5

(14)

hingga 8. Dengan banyaknya orang yang mengetahui lalau tersebut maka klaim untuk mempertahankan lalau semakin kuat.

Pewarisan Lalau. Lalau bisa diwariskan oleh pemiliknya kepada keluarganya. Berbeda dengan repak yang tidak bisa diwariskan, Lalau bisa diwariskan secara turun menurun sesuai dengan garis keturunan pemilik lalau. Lalau bisa diwariskan secara turun temurun sehingga terkadang satu pohon lalau bisa dimilik hingga puluhan orang. Pewarisan dilakukan dengan cara memberikan lalau tersebut kepada anak. Anak laki-laki maupun perempuan berhak untuk menerima lalau sebagai harta warisan orang tua. Pewarisan

lalau ini terlihat ketika pembagian madu pada

hasil panen madu pada lalau tersebut. Pembagian madu ini dilakukan dengan merata sesuai dengan jumlah orang yang memilik

lalau setelah dibagi dengan pemanjat Lalau.

pada suatu waktu satu pohon lalau dimiliki oleh puluhan sehingga hasil pembagian madu menjadi sedikit. beberapa orang merelakan hak kepemilikan lalau-nya kepada saudarnya yang ekonominya lebih rendah. Beberapa orang melepaskan hak kepemilikan pada lalau dikarenakan jauhnya lalau dari tempat tinggal mereka.

Pranata terkait Pembuatan Tikung

Tikung dibuat dari papan kayu yang

berbentuk persegi panjang dengan panjang 1 meter. Untuk membuat tikung diperlukan kayu dari pohon-pohon tertentu.. Pembuatan tikung ini mengikuti aturan-aturan tertentu sehingga lebah dapat hinggap pada tikung. Aturan dalam pembuatan tikung terkait dengan pemilihan kayu untuk pembuatan tikung, pemberian tanda pada tikung, pembuatan jalur

untuk lokasi peletakan tikung, pemilihan pohon untuk meletakkan tikung.

Pemilihan kayu untuk pembuatan

tikung. Pemilihan jenis kayu yang akan

digunakan untuk membuat tikung sangatlah penting, karena tidak semua kayu bisa digunakan untuk membuat tikung. Kayu yang digunakan untuk membuat tikung adalah jenis kayu Cempedak Air (Artocarpus teysmannii), Kayu Medang Keladi, Medang Semat. Jenis kayu ini digunakan karena lebah mau hinggap pada kayu jenis tersebut. Kayu yang dipilih adalah kayu yang besarnya minimal satu lingkaran tangan orang dewasa, jika kayu kurang dari ukuran tersebut maka kayu itu tidak cocok untuk digunakan untuk membuat

tikung.

Pemberian tanda pada tikung. Papan-papan kayu yang akan dibuat menjadi tikung harus diberi tanda. Pemberian tanda ini dimaksudkan agar tidak tertukar dengan tikung milik orang lain. Tanda pada tikung biasanya berbentuk huruf abjad yang merupakan inisial dari pemilik tikung. Tanda pada tikung antara satu petikung dengan petikung lainnya berbeda. Tanda ini harus mendapat persetujuan dari ketua tikung. Tanda dibuat pada bagian salah satu ujung dari tikung. Tanda sangat berguna ketika pengambilan madu pada malam hari guna menghindari salah ambil ketika panen madu.

Pembuatan jalur untuk lokasi tikung Setiap pemilik tikung (pe-tikung) harus membuat jalur sendiri dalam menentukan lokasi pepohonan yang akan dijadikan tempat peletakan tikung. Pe-tikung tidak boleh membuat jalur yang sudah dibuat oleh

pe-tikung lain. Pembuatan jalur dilakukan dengan

membuka dahan-dahan yang menghalangi jalur yang akan dijadikan lokasi peletakan

(15)

tikung. Pembuatan jalur tersendiri ini agar tikung milik pe-tikung satu dengan lainnya

tidak tercampur baur. Setiap pe-tikung harus mengingat jalur peletakan tikung-nya sendiri.

Pemilihan pohon untuk peletakan

tikung. Pemilihan pohon yang akan dijadikan

sebagai tempat untuk meletakkan tikung diperlukan agar lebah mau hinggap dan bersarang pada tikung. pohon yang dipilih untuk meletakkan tikung adalah Pohon

Keputat (Barringtonia acutangula). Pohon ini

terletak di pinggir danau. Akar dan batang Pohon Keputat seringkali terendam air danau. Meskipun akar dan batangnya terendam air danau, bagian atas pohon keputat tetap di atas permukaan air. pohon keputat tidak akan mati walaupun terendam air dalam waktu yang lama. Pohon Keputat yang dipilih untuk peletakan tikung adalah Pohon Keputat yang besar, daunnya rimbun tapi tidak terlalu rapat agar lebah bisa melihat tikung dan bersarang di tikung.

Pranata Pemeliharaan Tikung

Tikung dibuat dari papan kayu jenis

tertentu dengan maksud agar lebah mau bersarang pada papan kayu tersebut. Berbeda dengan repak dan lalau yang ditemukan di pohon dan tidak perlu membuatnya maka sebaliknya tikung harus dibuat untuk memilikinya. Dibutuhkan modal untuk pembuatannya sehingga tikung perlu dipertahankan agar sesuai dengan maksud pembuatannya. Pranata dalam memelihara

tikung antara lain dengan membuat tanda pada

jalur menuju lokasi tikung, melakukan panen madu dari tikung, membersihkan tikung dan memperbaiki tikung yang rusak.

Mengingat jalur menuju lokasi tikung. Pemberian tanda pada jalaur lokasi menuju

tikung dilakukan agar pemilik tikung salah

dalam menentukan jalur tikung-nya.

Pemberian tanda dilakukan agar pemilik

tikung mudah mengingat jalur tempat tikung

diletakkan. Pemberian tanda pada jalur lokasi

tikung bisa dilakukan dengan cara menggantungkan kain di pohon-pohon yang menjadi jalur tikung. Pemberian tanda ini akan memudahkan pemilik tikung dalam mencari jalur menuju ke lokasi tikung mereka ketika akan mengambil madu di tikung.

Melakukan panen madu pada tikung. Panen madu di tikung dilakukan pada musim panen madu yang terjadi pada Bulan Januari-februari. Pengambilan madu dari tikung dilakukan bersama-sama dengan seluruh pemilik tikung lainnya. Waktu pengambilan

tikung ditentukan oleh seluruh pemilik tikung

bersama dengan ketua tikung. Pengambilan madu dapat dilakukan pada malam hari selain malam bulan purnama atau bulan sedang bersinar terang. Pengambilan madu secara bersama-sama dilakukan untuk meminimalisir kesalahan dalam pengambilan madu di tikung antara pemilik satu dengan lainnya dan menghindari pencurian tikung. Pengambilan madu secara bersama juga akan memperkuat klaim bagi pemilik tikung jika terjadi perselisihan dengan pemilik tikung lainnya.

Membersihkan tikung. Pembersihan

tikung merupakan salah satu usaha pemeliharaan yang dilakukan oleh pe-tikung.

Tikung dibersihkan dari kotoran-kotoran yang

menempel pada papan tikung. Lumut yang menempel, semut yang bersarang, dan bekas sarang lebah pada tikung dibersihkan dari papan tikung. Pembersihan papan tikung dilakukan agar lebah kembali bersarang pada

tikung tersebut. Jika tidak dibersihkan maka

(16)

Tikung juga akan rusak jika tikung kotor dan

tidak dibersihkan.

Memperbaiki tikung yang rusak.

Tikung yang telah buruk dan rusak kayunya

harus diperbaiki dan diganti dengan papan kayu yang baru. Tikung yang sudah lapuk tidak akan dihinggapi lebah sehingga diperlukan penggantian dengan papan baru agar lebah hinggap kembali ke tikung. Penggantian tikung dengan papan yang baru dilakukan agar jalur dan pohon untuk penempatan tikung dapat dipertahankan. Jika

tikung pada pohon rusak dan kemudian hilang

maka pohon tersebut bisa digunakan oleh pemilik tikung lain.

Pengelolaan Sumber Daya Madu Hutan Pengelolaan repak, lalau dan tikung, terkait erat dengan kepemilikan pohon dan tanah tempat sumber daya madu berada. Pohon dan tanah tempat madu merupakan sumber daya yang dapat dikuasai, diatur dan dimanfaatkan oleh pemiliknya. Sarang Lebah, Pohon dan tanah, merupakan tiga komponen pada sumber daya madu yang dapat dikelola oleh pemiliknya. Repak, lalau dan tikung mempunyai perbedaan hak pengelolaan pada sarang lebah, pohon, tanah, ketiga sumber daya tersebut.

Repak sebagai salah satu sumber madu

dapat terletak di sembarang pohon. Pohon tempat repak berada bisa di tanah milik orang dan bisa berada di tanah yang belum dimiliki orang. Repak yang terletak di tanah milik orang maka orang yang memiliki repak tidak berhak mengklaim pohon dan tanah itu sebagi miliknya. Begitu juga dengan repak yang terdapat di lahan yang belum dimiliki oleh seseorang, pemilik repak juga tidak bisa mengklaim pohon dan tanah tempat repak

berada sebagai miliknya. Pemilik repak hanya berhak memiliki sarang lebah saja. Meskipun pemilik repak tidak memiliki pohon dan tanah dimana repak itu berada, namun pemilik repak masih mempunyai hak untuk memanfaatkan pohon. Hak dalam memanfaatkan pohon yaitu pemilik repak bisa memakai ranting, atau dahan pohon secara terbatas untuk membuat tanda pada pohon tersebut agar repak tidak diambil orang lain.. adapun hak terkait tanah hanya terbatas pada pembersihan tanah dari rumput dengan jarak maksimal sepanjang 5 meter dari pohon. Pemilik repak tidak bisa memanfaatkan tanah untuk bercocok tanam. Batas pengelolaan repak hanya sampai ketika sarang lebah sudah diambil. Ketika sarang lebah sudah diambil oleh pemilik repak maka selesailah hak kepemilikan dan pengelolaan pada repak tersebut.

Pengelolaan dan kepemilikan tanah pada lalau bergantung dengan tempat lalau ditemukan. Lalau yang ditemukan di tanah yang sudah dimiliki orang berbeda dengan

lalau yang ditemukan di tanah yang belum

dimiliki orang. Lalau yang ditemukan di tanah milik orang maka pemilik lalau hanya berhak memiliki sarang lebahnya saja dan tidak berhak mengelola dan memiliki pohon dan tanah tempat lalau berada. Hak yang dimiliki oleh pemilik lalau yang ditemukan di lahan yang telah dimiliki orang lain hanyalah hak untuk menggunakan ranting atau dahan pada pohon untuk membuat tanda dan menggunakan pohon tersebut untuk mengambil lalau. Adapun terkait dengan tanah, pemilik lalau hanya berhak membersihkan rerumputan di sekitar pohon yang terdapat lalau dengan jarak maksimal 5 meter dari pohon lalau. Pemilik lalau tidak berhak untuk menebang pepohonan di sekitar

(17)

pohon lalau. Untuk menghindari konflik dengan pemilik lahan, pemilik lalau bisa menjual lalau miliknya kepada pemilik lahan atau sebaliknya pemilik lalau bisa membeli lahan dari pemilik lahan. .

Lalau yang ditemukan di lahan yang

belum dimiliki orang maka pemilik lalau berhak memiliki pohon dan tanah tempat lalau berada. Pohon dan tanah dimiliki secara penuh oleh pemilik lalau dan memanfaatkan atau mengalihkan kepemilikan pohon dan tanah tersebut. Pemilik lalau berhak mengelola tanah dengan jarak 5 meter pada saat pertama kali menemukan lalau. Pemilik lalau bisa menambahkan luas lahan di sekitar lalau selama tidak terkena lahan milik orang lain. Jarak lebar tanah yang semula 5 meter bisa bertambah menjadi 10 meter dan maksimal 15 meter. Hak pengelolaan pada lalau

berlangsung selama lalau tersebut dipelihara dengan baik yaitu dengan membersihkan areal di sekitar dan melakukan pengambilan madu jika terdapat madu. lalau juga bisa diwariskan sehingga kepemilikannya tetap pada keturunan pemilik lalau.

Pohon dan tanah yang terdapat tikung tidaklah dimiliki oleh pemilik tikung. Pemilik

tikung berhak memiliki tikung dan sarang

lebah pada tikung. Pemilik tikung juga berhak atas pemanfaatan jalur yang dibukanya menuju ke lokasi tikung yang dia miliki. Jalur menuju lokasi tikung yang dibuka oleh pemilik tikung adalah hak pemilik tikung yang dapat dimanfaatkannya menuju lokasi tikung. Pemilik tikung tidak berhak melarang orang lain menggunakan jalur yang dibukanya tersebut. Terkait dengan hak pengelolaan pohon, pemilik tikung hanya berhak memanfaatkan dan memakai pohon tersebut.

Hak pemakaian pohon pada tikung dapat diwariskan kepada keluarga pemilik tikung.

Batas pemanfaatan pada pohon yang digunakan untuk tikung bergantung dengan keberadaan tikung yang terletak pada pohon tersebut. Jika tikung pada pohon tersebut hilang maka hak penggunaannya berhenti. Pemilik tikung bisa melanjutkan hak pemakaiannya dengan memasang kembali

tikung yang baru. Begitu juga jika tikung rusak

maka pemilik tikung harus memperbaiki atau mengganti tikung-nya agar tetap dapat mendapatkan hak untuk memanfaatkan pohon tersebut.

Uraian di atas menjelaskan bahwa pemilik repak, lalau, dan tikung mempunyai hak penuh pada sarang lebah. Pemilik repak,

lalau, dan tikung mempunyai hak atas akses,

pemanfaatan, pengelolaan, pembatasan dan pelepasan sarang lebah yang terdapat pada sumbedaya madu hutan.

Tabel 1 Posisi hak pemilik repak, lalau,

tikung pada sarang lebah

Tanda x menyatakan bahwa pemilik repak,

tikung dan lalau, mempunyai hak akses,

pemanfaatan, pengelolaan, pembatasan dan pelepasan sarang lebah yang terdapat pada repak, lalau dan tikung, Hak-hak di atas sesuai dengan yang diuraikan Ostrom tentang bundle

of rights dari pemilik (owner). Bahwa pemilik

mempunyai seluruh kolektivitas dari hak-hak dari akses, pemanfaatan, pembatasan dan Pemilik repak, lalau,

dan tikung

Hak atas akses dan pemanfaatan

x

Hak pengelolaan x

Hak pembatasan x

(18)

pelepasan sehingga dapat menjual dan menyewakan (Ostrom 1992:254). Pemilik

repak, lalau, dan tikung mempunyai hak

penuh untuk pemanfaatan, pengelolaan, pembatasan dan pelepasan sarang lebah. Pemilik repak, lalau dan tikung dapat mengambil sarang lebah dan mengalihkannya atau menjualnya. Pemilik juga bisa mengambil hasil dari sarang lebah berupa madu untuk dijual atau dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi.

Kesimpulan

Terdapat tiga jenis sumber daya madu yang terdapat di Desa Keliling Semulung yaitu repak, lalau, dan tikung. Kegiatan yang terkait dengan sumber daya madu hutan yaitu menemukan repak dan lalau, membuat tikung, melakukan perawatan repak, lalau, dan tikung, dan pengambilan madu pada ketiga sumber madu tersebut. Pada repak, pemilik repak adalah mereka yang pertama kali menemukannya baik itu berada di pohon milik orang ataupun berada di pohon yang belum dimiliki orang. Penemu repak harus membuat tanda dan menyiangi rumput di sekitar pohon yang terdapat repak. Pemilik repak harus mengambil repak ketika sudah siap panen. Pada lalau orang yang berhak memilikinya adalah orang yang pertama kali menemukannya dengan cara membuat tanda, menyiangi rumput, dan menebang pohon lain di sekitar pohon yang terdapat lalau. Pemilik lalau harus merawat dengan menyiangi rumput di sekitar pohon lalau. Lalau diambil madu pada musim panen madu oleh pemilik lalau bersama orang yang bisa memanjat lalau. Pada

tikung orang yang berhak adalah memilikinya adalah orang yang membuat tikung dan membuat jalur pada pohon-pohon yang akan dijadikan tempat untuk menaruh tikung. Pemilik tikung merawat tikung-nya dengan membersihkan tikung, mengganti tikung yang sudah rusakk dengan tikung yang baru. Pemilik tikung memanen hasil madu dari tikung bersama dengan pemilik tikung sesuai dengan kesepakatan semua pemilik tikung.

Pengelolaan tanah, pohon dan sarang lebah yang dilakukan oleh masyarakat desa Keliling Semulung disesuaikan dengan jenis sumber madu. Pada repak pemilik hanya berhak memiliki sarang lebah dan memanfaatkan pohonnya namun tidak dapat mengklaim tanah tempat repak tersebut berada. Begitu juga pada lalau yang ditemukan di tanah yang telah dimiliki orang, pemilik hanya berhak memiliki sarang lebah saja. Adapun lalau yang ditemukan di lahan yang belum dimiliki orang maka pemilik lalau berhak memiliki sarang lebah, pohon dan tanah di sekeliling pohon yang terdapat lalau seluas lahan yang mereka bersihkan yaitu 5 meter hingga 15 meter. Adapun pemilik tikung berhak memiliki sarang lebah yang berada di tikung, berhak memanfaatkan dan memiliki pohon selama masih terdapat tikung miliknya, tetapi tidak berhak memiliki tanah pada pohon yang terdapat tikung. Persamaan dari pengelolaan repak, lalau dan tikung terlihat pada pengelolaan sarang lebah yaitu pemilik repak, lalau dan tikung merupakan pemilik sarang lebah dari ketiga sumber madu tersebut.

(19)

Afiff, Suraya

2005 Tinjauan atas Konsep ‘Tenure Security’, dengan Beberapa Rujukan pada

Kasus-Kasus di Indonesia. Dalam Wacana Jurnal Ilmu Sosial Transformatif. Yogyakarta: Insist Press.

Agar, Michael H.,

1989 The Professional Stranger, An Informal Introduction To Ethnography. Florida : Academic Press

Anshari, Gusti Z dkk

2005 Aturan–aturan Tradisional : Basis Pengelolaan Taman Nasional Danau

Sentarum, Banten: Wana Aksara

Barber, Victor

1999 Menyelematkan Sisa Hutan di Indonesia dan Amerika Serikat, di terjemahkan Oleh Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Becker, C. Dustin and Elinor Ostrom

1995 Human Ecology and Resource Sustainability: The Importance of Institutional

Diversity : Annual Reviews

Creswell, John W.,

2002, Research Design, Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approachs, second edition, California : Sage Publications

Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan

2011. Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan Tahun 2011, Jakarta : Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementeriaan Kehutanan

Dove, Michael R.

1993 Smallholder Rubber and Swidden Agriculture in Borneo: A Sustainable

Adaptation to the Ecology and Economy of the Tropical, New York : Springer.

1994 Transition From Native Forest Rubbers To Hevea Brasiliensis (Euphorbiaceae)

Among Tribal Smallholders In Borneohevea Brasiliensis (Euphorbiaceae) Among Tribal Smallholders In Borneo, New York : The New York Botanical Garden

1988 Sistem Perladangan Di Indonesia, Suatu Studi Kasus Dari Kalimantan Barat, Yogyakarta: Gadjah Mada university Press

Dove, Michael R., dan Daniel M. Kammen

1997 The epistemology of sustainable resource use : mmanaging forest products,

swiddens, and high-yielding variety crops” : Spring

Emerson, Robert M., dkk

1995. Writing Ethnographic Fieldnotes, Chichago & London: The University of Chichago

Fatterman, David M.,

1989 Ethnography : Step By Step, London : Sage Publication

Ihromi, TO, ed

(20)

Jong, Wil de

2000. Micro-differences in Local Resources Management the case of honey in West

Kalimantan Indonesia,: Springer

Koentjaraningrat

2000 Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Ostrom, Elinor

1990 Crafting Irrigation Institutions: Social Capital and Development, : Indiana University

1992 Crafting Institutions for Self-Governing Irrigation Systems, San Francisco: Institute for Contemporary Studies

Peluso, Nancy Lee

2005, Seeing Property in Land Use: Local Territorialization in west Kalimantan,

Indonesia : Danish Journal of Geography

Schleger, Edella dan Elinor Ostrom

1992. “Property-Rights Regimes and Natural Resources: A Conceptual Analysis”. Dalam Land Economics. University of Wisconsin Press.

Spradley, James P.

2007 Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Kencana Wiradi, Gunawan,

2008 Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria dalam buku Dua Abad

Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Yeager, Carey

2008, Conservation of Tropical Forests and Biological Diversity In Indonesia, Jakarta : USAID Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

wika-beton.co.id Innovation and Trust INOVASI BERKELANJUTAN 13 1980 Produsen pertama Tiang Beton Sentrifugal (PC

Dengan adanya kegiatan tersebut, FKIP UT dan khususnya program studi pendidikan fisika akan memperoleh kemutakhiran informasi yang berkaitan dengan stakeholder,

Senat Universitas mengirimkan Daftar Calon Rektor kepada Pengurus Yayasan beserta risalah rapat proses seleksi dan penetapan Bakal Calon Rektor menjadi Calon Rektor dan

Sedangkan untuk pemasok luar negeri memiliki relatif sedikit kekuatan menawar yang lebih tinggi namun belum dapat dikatakan kuat dimana jumlah pemasok sangat banyak, hanya

Bentuk instrumen Produk (hasil karya penyilangan), pengamatan unjuk kerja, pengamatan sikap, tes uraian, tes pilihan ganda, tes lisan 3 X 45’ 3 X 45’ Sumber: Buku acuan

 Memberi Memberi ijin ijin utk utk melakukan melakukan praktik praktik keperawatan keperawatan profesional.

Secara umum, pada Bulan Januari 2015, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan telah melaksanakan kegiatan dengan baik sesuai dengan rencana pencapaian tahapan-tahapan

Responden yang menyatakan bahwa tidak terjadi peningkatan pendapatan merupakan responden dengan letak lokasi usaha yang berada jauh dari tempat keramaian yaitu