• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Hutan Lindung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Hutan Lindung"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Lindung

Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah (UU No. 41 tahun 1999). Sebagaimana fungsinya maka hutan lindung memiliki arti penting bagi kehidupan manusia. Pengelolaan hutan ini perlu dilakukan dengan bijaksana dan melibatkan para pihak yang berkepentingan terhadap kawasan tersebut. Pengelolaan hutan lindung diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008. Pengelolaan hutan lindung dimaksudkan meliputi kegiatan: tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan lindung, pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan lindung, rehabilitasi dan reklamasi hutan lindung dan perlindungan hutan dan konservasi alam di hutan lindung. Pentingnya dilakukan pengelolaan kawasan lindung karena upaya pengelolaan ini bertujuan untuk:

a. Meningkatkan fungsi lindung terhadap tanah, air, iklim, tumbuhan dan satwa serta nilai sejarah dan budaya bangsa;

b. Mempertahankan keanekaragaman tumbuhan, satwa, tipe ekosistem dan keunikan alam.

Indonesia memiliki kawasan hutan lindung seluas 32,43 juta hektar dari total luas areal hutan di Indonesia, yaitu 130,85 juta hektar (Kompas 17 Juni 2007) atau ± 23 % dari luas kawasan hutan (Departemen Kehutanan, 2007). Menurut catatan Departemen Kehutanan tahun 2006, terdapat 24,78 persen dari total luas hutan lindung atau 6,27 juta hektar areal hutan lindung rusak parah, khususnya yang berbatasan atau berdekatan dengan permukiman atau lahan masyarakat. Hal ini terjadi akibat tekanan pertambahan jumlah penduduk dan rendahnya tingkat sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan hutan lindung. Kondisi ini menyebabkan degradasi lingkungan dan terancamnya fungsi hutan lindung.

(2)

Hutan lindung dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak dengan persyaratan memperoleh izin pemanfaatan antaralain: izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.

Sebagai kawasan yang dilindungi, pemerintah mengatur criteria penetapan suatu kawasan sebagai kawasan lindung yakni melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 44 Tahun 2004 Tentang Perencanaan Kehutanan, dimana kriteria penetapan hutan lindung adalah dengan memenuhi salah satu persyaratan berikut ini:

1. Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai (score) 175 (seratus tujuh puluh lima) atau lebih;

2. Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40% (empat puluh per seratus) atau lebih;

3. Kawasan hutan yang berada pada ketinggian 2000 (dua ribu) meter atau lebih di atas permukaan laut;

4. Kawasan hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi dengan lereng lapangan lebih dari 15% (lima belas per seratus);

5. Kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air;

6. Kawasan hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai.

Di Maluku, lebih khusus kota Ambon memiliki 2 (dua) hutan lindung yaitu Hutan Lindung Gunung Sirimau dan Hutan Lindung Gunung Nona. Kedua hutan ini memiliki arti penting bagi lingkungan dan masyarakat kota Ambon karena merupakan daerah resapan air yang berfungsi mengatur penyediaan kebutuhan air bagi kehidupan masyarakat. HLGN ditetapkan oleh Pemerintah sebagai kawasan lindung pada tahun 1996 berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan nomor 430/KPTS-II/1996. Sebelum ditetapkan sebagai kawasan lindung, HLGN adalah sebuah kawasan hutan yang tanpa status namun kemudian karena memiliki arti penting sebagai daerah resapan air dan memenuhi kriteria sebagai kawasan lindung maka ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung. Pada kawasan ini, terdapat 2 (dua) desa yaitu desa Amahusu dan Urimesing dimana masyarakatnya memiliki dusung-dusung sebagai bagian dari kawasan hutan yang mereka kelola untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

(3)

Keberadaan masyarakat pada kedua desa ini memiliki arti penting bagi keberadaan kawasan HLGN ini.

Pengertian Partisipasi

Di dalam masyarakat terjadi kontrol sosial yang bertujuan untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Suatu proses kontrol sosial dapat dilaksanakan dengan pelbagai cara yang pada pokoknya berkisar pada perilaku yang terbentuk dari tiap masyarakat antara lain : a. Persuasive : cara-cara tanpa kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat dalam

mencapai tujuan tertentu. Suatu masyarakat yang tidak terjadi banyak konflik maka cara-cara persuasif mungkin akan lebih efektif karena pada masyarakat itu sebagian besar kaidah dan nilai-nilai telah melembaga dalam diri para warga masyarakat sehingga pencapaian tujuan tertentu dilakukan secara persuasif.

b. Coersive : cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat dengan paksaan. Cara ini lebih sering diperlukan di dalam masyarakat yang berubah dimana kontrol sosial berfungsi untuk membentuk kaidah lama yang telah goyah. Namun cara-cara kekerasan ada batasnya karena akan melahirkan reaksi yang negatif . c. Partisipatif : Jika dicermati, makna partisipatif berbeda-beda menurut mereka

yang terlibat, misalnya antara penentu kebijakan, pelaksana di lapangan, dan masyarakat. Oleh karena itu, beberapa pakar mencoba menggolong-golongkan tingkatan partisipasi ke dalam beberapa kelompok. Misalnya Deshler dan Sock (1985) diacu dalam Selener (1997) menyebut adanya partisipasi semu (pseudo-participation) dan partisipasi sebenarnya (genuine participation). Berdasarkan ragam tipe partisipasi, Sajogyo (2002) kemudian memberi definisi partisipasi sebagai suatu proses dimana sejumlah pelaku bermitra punya pengaruh dan membagi wewenang di dalam prakarsa ”pembangunan”, termasuk mengambil keputusan atas sumberdaya. Dalam definisi ini membangun partisipasi akan mencapai puncaknya pada saat pemberdayaan. Secara lebih spesifik, FAO (1975) mengemukan bahwa partisipasi merupakan suatu proses kegiatan bersama, termasuk didalamnya keikutsertaan setiap individu dalam kelompok, tentang tanggungjawab serta konsekuensi dari

(4)

setiap tugas-tugas, baik yang sifatnya umum sampai kepada tugas-tugas yang sifatnya khusus.

Arnstein (1995) mendefenisikan partisipasi masyarakat adalah proses yang memberikan kesempatan kepada masyarakat secara individu atau kelompok, untuk mempengaruhi keputusan public, ia juga menekankan bahwa tingkat partisipasi sangat bervariasi mulai tahap manipulasi, terapi, menginformasikan, konsultasi, menentramkan (placation), kemitraan, delegasi kekuasaan hingga control masyarakat. Tingkatan tersebut dikenal dengan istilah tangga partisipasi. Dalam implementasi pendekatan partisipatif, tangga partisipasi seringkali dipandang sebagai sebuah kontinum untuk mewujudkan tingkat partisipasi yang diharapkan.

Sebagai kawasan Lindung, HLGN memiliki sumber daya hutan yang potensial dengan berbagai manfaatnya baik langsung dan tidak langsung serta melibatkan para pihak (Stakeholder) yang melaksanakan perannya terhadap kawasan tersebut. Persoalan dalam pengelolaan sumberdaya hutan ini adalah bagaimana mengatur atau memanipulasi perilaku para pihak itu melalui berbagai bentuk institusi yang akan menghasilkan tujuan bersama melalui partisipasi tersebut.

Kemitraan, kolaborasi atau koalisi merupakan konsep yang saling terkait namun masing-masing digunakan untuk menggambarkan salah satu tingkat tertentu dalam konsep partisipasi

Faktor - faktor yang berpengaruh pada partisipasi

Berbagai kegiatan yang mencerminkan partisipasi seseorang dalam organisasi dipengaruhi oleh factor individu dan factor organisasi. Segala aktivitas manusia dalam kehidupan bermasyarakat, organisasi maupun kelompok timbul sebagai resultan dari factor individu dan factor organisasi, walaupun secara pasti kekuatan kedua factor tersebut tidak dapat diketahui tanpa melalui suatu penelahan empiric yang seksama. Faktor individu sering disebut sebagai factor internal yaitu factor yang terdapat pada diri individu yang bersangkutan dan factor organisasi atau factor eksternal dapat berupa lingkungan fisik dan non fisik yang merupakan kendala maksimalitas dari segala aktivitas manusia (Tenang, 1993).

(5)

Berdasarkan tinjauan factor-faktor peubah tingkat partisipasi anggota organisasi maka factor individu yang dianggap dominan adalah (1) tingkat pengetahuannya dan (2) kondisi kehidupan masyarakat (tingkat social ekonominya). Faktor organisasi dimaksudkan sebagai karakteristik yang melekat pada organisasi tersebut antaralain : tujuan organisasi, upaya-upaya pelayanannya dan juga tingkat kemampuan anggota memahami organisasi itu (Nasoetion, 1990).

Menurut Ostrom, untuk mempertahankan sumberdaya alam menurut tekanan demografi dan ekonomi tergantung pada keberhasilan koordinasi dan partisipasi yang dilakukan.

Eksistensi individu dengan kepentingan kuat pada aksi bersama dan partisipasi akan meningkatkan harapan setiap orang untuk tingkat kerjasama yang diharapkan (Hardin, 1982 dan Olson, 1965)

Kedekatan kelompok masyarakat dengan hutan merupakan factor penting yang mempengaruhi partisipasi yang dilakukan karena hal ini berhubungan dengan pertimbangan disribusi tanggungjawab dan tipe produk hutan yang dihasilkan (Chertri dan Pandey, 1992).

Kelembagaan/Institusi

Setiap masyarakat punya institusi sendiri, baik karena kekerabatan, persamaan kepentingan, pekerjaan maupun prinsip-prinsip organisasi lainnya. Dalam suatu masyarakat, orang melakukan banyak hal bersama-sama, atas dasar ikatan yang mereka anggap penting. Bagian dari riset ini adalah menemukan institusi- institusi yang ada di masyarakat. Institusi tersebut berupa kumpulan modal sosial, rasa saling percaya, pola komunikasi dan persahabatan.

Untuk itulah maka perlu kita ketahui defenisi dari kelembagaan itu. Kelembagaan atau institusi adalah aturan main (formal dan informal) yang mengatur dan mengendalikan perilaku individu dalam masyarakat atau organisasi

Schmid (1987) mengartikan kelembagaan sebagai berikut : “Institutions

are sets of ordered relationships among people that define their rights, their exposure to the rights of others, their privileges, and their responsibilities”.

(6)

institution is collective action in control, liberation, and expansion of individual action”.

Oleh karena itu kelembagaan merupakan sistem organisasi dan kontrol masyarakat terhadap penggunaan sumberdaya. Dalam hal ini Randall (1981) memberikan batasan mengenai kelembagaan : “Institutions include laws,

constitutions (which have been called “laws about making laws”), traditions, moral and ethical structures, and “customary and accepted ways of doing things”.

Untuk merubah prilaku (behavior) masing-masing para pihak (stakeholder) sehingga dapat menghasilkan kinerja yang lebih baik perlu dilakukan perubahan terhadap unsur-unsur kelembagaan seperti yang dinyatakan oleh Pakpahan (1989) yang meliputi tiga unsur utama, yakni: 1) batas yurisdiksi (jurisdictional boundry); 2) hak kepemilikan (property rights); dan 3) aturan representasi (rules of representation). Batas yurisdiksi akan menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu masyarakat. Konsep batas yurisdiksi dapat berarti batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga, atau mengandung makna kedua-duanya. Selanjutnya konsep property atau pemilikan muncul dari konsep hak (rights) dan kewajiban (obligations) yang didefinisikan atau diatur oleh hukum, adat dan tradisi, atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Sedangkan aturan representasi mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan.

Menurut Kartodiharjo (2006), institusi adalah perangkat lunak, aturan main, keteladanan, rasa percaya, serta konsistensi kebijakan yang diterapkan di dalammnya. Para pengambil keputusan tidak dapat memperbaiki penyelenggaraan kehutanan hanya dengan melihat perangkat keras, hukum yang berlaku dan instruksi-instruksi yang terkandung dalam kebijakan. Melainkan juga sangat tergantung pada perangkat lunak sebagai bagian penting untuk menumbuhkan rasa saling percaya, patuh karena peduli yang dapat diwujudkan dalam bentuk komunikasi serta keterbukaan informasi.

Peters (2000) menyebutkan bahwa terdapat empat aliran pemikiran mengenai institusi. Pertama institusi dirumuskan dengan pendekatan normatif.

(7)

Dalam pendekatan ini logika kesesuaian dianggap menjadi dasar perilaku individu sebagai anggota dari institusi. Yang berlawanan dengan logika kesesuain tersebut adalah logika konsekuensi yang menjadi dasar teori pilihan rasional. Berdasarkan pendekatan normatif, individu-individu sebagai anggota dari suatu institusi mempunyai perilaku yang didasarkan pada standar normatif dan tidak menggunakan keputusan-keputusan untuk menguntungkan diri sendiri. Standar perilaku normatif ini kemudian dijadikan pegangan oleh institusi yang menjadi landasan nilai-nilai sosial yang berlaku untuk anggota-anggotanya.

Kedua, insitusi dirumuskan berdasarkan pilihan rasional. Dalam hal ini, institusi mengatur dan menetapkan insentif bagi anggota-anggotanya dan perilaku anggotanya tersebut ditentukan oleh struktur insentif yang tersedia. Dalam pendekatan ini nilai dan sikap anggota-anggotanya yang didasarkan atas rasionalitas tersebut dianggap tidak pernah berubah.

Ketiga, pendekatan historis. Dalam pendekatan ini, kebijakan dan aturan di dalam institusi yang ditetapkan dianggap selalu memberi pengaruh anggota-anggotanya dalam jangka panjang. Dalam kondisi ini dianggap terdapat ketergantungan antar waktu yang pada gilirannya institusi saat ini tetap akan memberi warna terhadap kebijakan-kebijakan yang ditetapkan dikemudian hari. Terjadinya kondisi “status quo” dapat dijelaskan oleh pendekatan ini.

Keempat, pendekatan empiris. Dalam pendekatan ini biasanya pertanyaan yang dijawab adalah apakah bentuk institusi yang berbeda akan dikeluarkan kebijakan yang berbeda. Pendekatan ini banyak digunakan untuk menganalisis lembaga-lembaga pemerintah. Lembaga-lembaga inilah yang dianggap sebagai institusi.

Berdasarkan keempat tersebut, dalam setiap analisis mengenai institusi, yang terpenting adalah menetapkan pendekatan mana yang akan digunakan. Untuk itulah penelitian ini menganalisis institusi berdasarkan pendekatan normatif dimana berbagai individu yang menjalankan perannya pada kawasan HLGN dianalisis perilaku dan tingkatan partisipasinya.

(8)

Heterogenitas/homogenitas dan Partisipasi

Masalah partisipasi dan aksi bersama berasal dari beberapa sumber termasuk informasi yang tidak sempurna, konflik kepentingan atau sifat itu sendiri. Saat masyarakat memiliki kelemahan informasi, koordinasi yang sulit akan mempengaruhi tujuan yang ingin dicapai. (Amy dan Ostrom, 2004). Pengaturan partisipasi dan aksi bersama meliputi ukuran beberapa potensi dimensi dari aspek heterogen termasuk etnik, kasta, agama, kekayaan, penduduk, lokasi hutan, model hutan dan model penggunaan sumber daya.

Ostrom,(2004) mengungkapkan bahwa untuk mempertahankan pembaharuan system sumber daya dalam jangka panjang seperti hutan, tindakan pengaturan aksi bersama dibutuhkan untuk membatasi penggunaan sumber daya dan melakukan berbagai macam bentuk pengelolaan sumber daya secara aktif. Heterogenitas sangat diharapkan mempengaruhi prospek kepercayaan dan tingkat divergensi kepentingan dan dengan demikian mempengaruhi prospek upaya pengumpulan data yang perlukan bagi aksi bersama dan partisipasi tersebut.

Velded (2000) secara spesifik menjelaskan lima wujud heterogenitas: (1) heterogenitas di dalam pemberian kontribusi; (2) heterogenitas politik; (3) kekayaan dan hak; (4) heterogenitas budaya; dan (5) minat ekonomi.

Baland dan Platteau (2000) memfokuskan pada sumber utama heterogenitas yang berasal dari ras, etnik atau jenis pembagian budaya dan perbedaan menurut sifat kepentingan ekonomi di antara individu.

Homogenitas juga mengikat aksi bersama dan partisipasinya. Pentingnya pembagian karakteristik social, budaya atau ekonomi dapat meningkatkan pendugaan/prediksi interaksi yang terjadi (Fearon dan Laitin, 1996). Prediksi tersebut dapat menyediakan kepercayaan dimana homogenitas dapat memfasilitasi aksi bersama yang diinginkan.

Homogenitas di beberapa dimensi sering kali bertepatan dengan heterogenitas yang lain, sebagai contoh para anggota suatu kelompok mungkin punya minat ekonomi yang sama walau berbeda secara budaya. Perbedaan budaya akan menghalangi pengembangan tingkat kepercayaan, atau dihubungkan dengan pemahaman-pemahaman yang berbeda dari isu manajemen yang ada. Individu kadang-kadang menggunakan perbedaan-perbedaan budaya sebagai dasar untuk

(9)

tidak masuk anggota tertentu untuk berbagi manfaat terhadap sumber daya tersebut meskipun terlihat membagi bersama minat ekonominya (Baland dan Platteau, 1998, 2000).

Konflik dapat memperlemah efektivitas kelompok yang mengorganisir sendiri namun hubungan antara heterogenitas dan aksi bersama serta peran partisipasinya adalah non linear dan kontingen atas factor lain. Ketidakadilan dalam kekayaan, contohnya : ketidakadilan dalam pembagian kekayaan yang berinteraksi dengan biaya dan keuntungan relative yang digabungkan dengan kerjasama dalam pengelolaan sumber daya untuk menghasilkan enam situasi berbeda (1) penggunaan terus menerus untuk kepentingan setiap orang namun tidak ada masalah, partisipasi dan aksi bersama terjadi; (2) penggunaan terus menerus untuk kepentingan tiap orang namun masalah partisipasi dan aksi bersama terjadi; (3) penggunaan terus menerus untuk kepentingan tidak seorangpun dan kerusakan bersama terjadi; (4) keuntungan terus menerus dari pengunaan yang meningkat dengan tingkat kecukupan yang tinggi oleh kaum kaya akan memaksa kaum miskin untuk mempraktekkan tindakan konservatif; (5) penggunaan terus menerus dengan keuntungan yang tidak proposional bagi kaum miskin namun partisipasi dan aksi bersama tidak dapat dilakukan dan (6) penggunaan terus menerus dengan keuntungan yang tidak proposional bagi kaum miskin namun partisipasi dan aksi bersama dapat dilakukan karena pengelolaan kekayaan tersebut membutuhkan hubungan kerjasama dengan kaum miskin dengan melibatkan aspek interaksi social atau karena institusi yang memberikan kekuatan bagi kaum miskin tersebut (Amy dan Ostrom,2004).

Bagaimana heterogenitas dan karakteristik individu serta organisasi berpengaruh terhadap kinerja partisipasi tersebut? tentunya merupakan argumen yang menarik untuk di telusuri melalui penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

FAIL BUKTI KETRAMPILAN JURUBINA BANGUNAN (BUILDING CONSTRUCTOR) TAHAP 1 - -. NAMA PELATIH SITI NUR SHAFIKAH BINTI

  National Organic Gardening Centre yang berada di Kota Coventry, Inggris dalam  publikasinya menjelaskan, pembuatan kompos pada dasarnya adalah membuat suatu kondisi

Dari semua nilai yang didapatkan gula kristal putih sampel memiliki warna cukup coklat dan tidak sesuai dengan kriteria mutu gula kristal putih yang baik.. Menurut Hartanto

Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik pada salah satu Fakultas Kedokteran Gigi di Sumatera Barat tentang keselamatan kerja di lintasan radiasi dapat dikategorikan

There are five properties, items, thingies, or whatever you would like to call them that make games sell: topic, quality, marketing and public.. relations, range of appeal, and the

Compatible crosses showed normal pollen tube (Figure 3g and 3h). Incompa- tibility reaction happened on the surface of stigma of early development of pollen tube after

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signi fi kan antara frekuensi olahraga dengan

[r]