• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat Skizofrenia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Referat Skizofrenia"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

i

REMISI DAN REKOVERI

PADA PENDERITA SKIZOFRENIA

Oleh :

Elisabet Citra Dewi

Pembimbing :

Erikavitri Yulianti

DEPARTEMEN/SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA

FK. UNAIR/RSUD Dr. SOETOMO

SURABAYA

2015

Dibacakan di Ruang Pertemuan Loka Widya Utama Hari Senin, 16 Februari 2015, Pukul 13.00 WIB

(2)

ii

bervariasi antar indvidu yang meliputi gejala positif, gejala negatif dan gejala kognitif yang berlangsung selama 1 bulan atau lebih serta ada perubahan yang konsisten dan bermakna yang mengganggu diri dan lingkungan. Perjalanan klinis skizofrenia bersifat kronis yang dapat terbagi menjadi fase premorbid, fase prodromal, fase akut, fase stabil dan fase stabilisasi. Hasil akhir dari skizofrenia bervariasi, mulai dari rekoveri, remisi, berkelanjutan, terjadi deteorisasi hingga meninggal. Remisi adalah suatu kondisi hilang atau berkurang hingga intensitas yang sangat minimal dari gejala positif, gejala negatif dan gejala umum yang spesifik dalam jangka waktu 6 bulan. Tujuan dari penatalaksanaan remisi adalah mengurangi gejala klinis yang ada dengan mengoptimalkan tatalaksana psikofarmaka. Rekoveri merupakan suatu kondisi di mana penderita skizofrenia telah mengalami perbaikan gejala klinis, disertai pulihnya fungsi kognitif, sosial, pekerjaan dan mampu berpartisipasi penuh di lingkungan serta telah berlangsung selama 2 tahun. Penatalaksanaan rekoveri bersifat holistik dengan mengoptimalkan intervensi psikososial dan tetap mempertahankan tatalaksana psikofarmaka dengan dosis rumatan, sehingga dapat mengontrol kondisi gejala psikotik yang dialami dan memfasilitasi partisipasi penderita skizofrenia dalam perawatan psikososial.

Kata kunci : skizofrenia, remisi, rekoveri

ABSTRACT

Schizophrenia is a chronic syndrome with varying clinical manifestations such as positive symptoms, negative symptoms and cognitive symptoms occurs for at least 1 month and there is a consistent and meaningful changes that interfere themselves and the environment. The clinical course of chronic schizophrenia can be divided into premorbid, prodromal, acute, stable and stabilization phase. The outcome of schizophrenia varies, ranging from recovery, remission, deteriorated to death. Remission is a condition of decreasing or reducing to a very minimum intensity of the symptoms within 6 months duration. The aim of the management of remission is to reduce existing clinical symptoms by optimizing the pharmacotherapy. Recovery is a condition in which the schizophrenia patients have achieved remission, and accompanied by the recovery of cognitive function, social fuction, vocational function and able to fully participate in the interpersonal relationship for 2 years. The management of recovery is holistic, by optimizing the psychosocial intervention and retaining pharmacotherapy with a maintenance dose, so it can control the psychotic symptoms and facilitate patient’s participation in psychosocial care.

(3)

iii

Halaman judul ... i

Abstrak ... ii

Daftar Isi... iii

Daftar Tabel ... v

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

BAB 2 SKIZOFRENIA ... 3

2.1 Definisi ... 3

2.2 Epidemiologi ... 3

2.2.1. Epidemiologi Gangguan Skizofrenia di Dunia ... 4

2.2.2. Epidemiologi Gangguan Skizofrenia di Indonesia ... 4

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko ... 4

2.4 Gejala Klinis Skizofrenia ... 5

2.4.1. Gejala positif ... 5 2.4.2. Gejala negatif ... 5 2.5 Teori Neurokimiawi ... 6 2.6 Kriteria Diagnosis ... 7 2.6.1. Menurut PPDGJ III ... 7 2.6.2. Menurut DSM-5 ... 9 2.7 Jenis skizofrenia ... 10 2.8 Penatalaksanaan skizofrenia ... 10 2.8.1 Terapi Biologik ... 11 2.8.2 Intervensi Psikososial ... 11

BAB 3 TAHAPAN DAN PERJALANAN KLINIS GANGGUAN SKIZOFRENIA ... 13

3.1 Tahapan gangguan skizofrenia ... 13

3.1.1 Fase premorbid ... 13

3.1.2 Fase prodromal ... 13

3.1.3 Fase psikotik ... 14

3.1.4 Fase stabilisasi... 14

3.1.5 Fase stabil ... 14

3.2 Perjalanan klinis gangguan skizofrenia ... 15

3.3 Domain dari outcome ... 16

3.3.1. Domain yang dinilai secara obyektif ... 16

3.3.1.1 Clinical outcome ... 16

3.3.1.2. Functional outcome... 17

3.3.1.2.1. Fungsi sosial ... 17

3.3.1.2.2. Fungsi pekerjaan ... 17

(4)

iv

3.3.2.2. Rasa nyaman dan sejahtera ... 19

3.4. Kematian ... 19

3.5. Faktor yang berhubungan dengan prognosis ... 19

3.5.1. Faktor prognostik klinis ... 20

3.5.2. Faktor prognostik lingkungan ... 22

BAB 4 KONSEP REMISI PADA PENDERITA SKIZOFRENIA ... 24

4.1 Batasan ... 24

4.2 Prevalensi remisi ... 24

4.3 Psikometri remisi ... 24

4.3.1. Kriteria psikometri untuk mengukur remisi ... 24

4.3.2. Jenis psikometri untuk mengukur remisi ... 25

4.4. Kriteria diagnosis remisi ... 26

4.5. Klasifikasi remisi ... 26 4.6. Penatalaksanaan remisi ... 28 4.6.1. Tujuan penatalaksanaan ... 28 4.6.2. Pemilihan penatalaksanaan ... 28 4.6.2.1. Terapi psikofarmaka ... 28 4.6.2.2. Intervensi psikososial ... 30

BAB 5 KONSEP REKOVERI PADA PENDERITA SKIZOFRENIA ... 31

5.1. Batasan ... 31

5.2. Prevalensi rekoveri... 32

5.3. Psikometri rekoveri ... 32

5.3.1. Global Assestment Functioning Scale ... 32

5.3.2. WHO Dissability Asssestment Scale ... 33

5.3.3. Levenstein Klein-Pollack Scale ... 33

5.3.4. Social and Occupational Functioning scale ... 33

5.3.5. Personal and Social Performance ... 34

5.4. Kriteria diagnosis ... 34

5.5. Faktor yang mempengaruhi rekoveri ... 35

5.6. Penatalaksanaan rekoveri ... 36

5.6.1. Tujuan penatalaksanaan ... 36

5.6.2. Pemilihan penatalaksanaan ... 37

5.6.2.1. Intervensi psikososial ... 37

5.6.2.1.1. Pelatihan ketrampilan sosial ... 37

5.6.2.1.2. Cognitive behavioural therapy ... 38

5.6.2.1.3. Terapi remediasi kognitif ... 39

5.6.2.1.4. Social Cognition Training ... 40

5.6.2.2. Terapi psikofarmaka ... 40

BAB 6 RINGKASAN ... 40

(5)

v

Tabel 1 : Kriteria Remisi menurut Konsensus Remisi pada Skizofrenia ... 27 Tabel 2 : Pemilihan obat antipsikotika ... 29

(6)

REMISI DAN REKOVERI PADA PENDERITA SKIZOFRENIA

Elisabet Citra Dewi * Erikavitri Yulianti **

BAB 1 PENDAHULUAN

Skizofrenia adalah suatu bentuk gangguan jiwa berat yang mengenai 7 dari 1000 populasi orang dewasa, terutama pada kelompok usia 15-35 tahun. Gangguan ini jarang muncul pada masa anak-anak, dengan angka kejadian 4-10 kasus diantara 10.000 anak. Meskipun insidennya rendah yaitu hanya sekitar 0,03%, tetapi angka prevalensi skizofrenia cukup tinggi. Hal ini dikarenakan kronisitas dari perjalanan penyakit ini (WHO 2014).

Skizofrenia ditemukan pada seluruh lapisan masyarakat dan hampir di semua area geografis, termasuk di Indonesia. Sebuah studi menyebutkan bahwa perkiraan nilai tengah dari prevalensi skizofrenia adalah 4.6 per 1000 orang, dengan risiko terjadinya skizofrenia seumur hidup adalah sekitar 0,3% - 0,7% (American Psychiatry Association 2013).

Kronisitas gangguan skizofrenia merupakan salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penatalaksanaan. Selama bertahun-tahun, skizofrenia telah dipandang sebagai suatu penyakit kronis dengan sedikit atau tidak ada harapan untuk sembuh. Perbaikan dari gejala skizofrenia sering kali dipandang sebagai kesalahan diagnosis (Andreasen NC, Carpenter WT, Kane JM, et al. 2005). Hampir semua penderita skizofrenia kronis mengalami kekambuhan berulang kali yang mengakibatkan defisit ketrampilan personal dan vokasional (Fleischhacker WW, Eerdekens M, Karcher K et al. 2003).

* Dokter umum, peserta PPDS I Ilmu Kedokteran Jiwa Depatemen/SMF Ilmu Penyakit Jiwa FK Universitas Airlangga / RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

** Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa/Psikiater, Staf pengajar pada Depatemen/SMF Ilmu Penyakit Jiwa FK Universitas Airlangga / RSUD Dr. Soetomo Surabaya

(7)

Data di atas tidak membuat penanganan gangguan skizofrenia menjadi lebih baik. Kenyataan yang ada di lapangan menunjukan lebih dari 80% penderita skizofrenia, termasuk yang berada di Indonesia tidak diobati dan tidak tertangani dengan optimal, baik oleh keluarga maupun tim medis. Banyak penderita skizofrenia dibiarkan berada di jalan-jalan, bahkan ada pula yang dipasung oleh keluarga. Di masa depan, kondisi seperti ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah penderita skizofrenia dari waktu ke waktu (Kusumawardhani AA 2014).

Dengan kemajuan di bidang kedokteran dalam beberapa dekade terakhir, dikatakan apabila penderita skizofrenia datang berobat dalam tahun pertama setelah serangan pertama, maka kira-kira sepertiga dari populasi skizofrenia akan sembuh sempurna (full remission atau rekoveri). Sepertiga yang lain dapat kembali ke masyarakat, meskipun ada gejala sisa, sehingga penderita tersebut masih harus mendapatkan pengobatan (social rekoveri), sedangkan sepertiga sisanya, tidak dapat berfungsi di dalam masyarakat dan menuju kepada kemunduran mental (Maramis WF & Maramis AA 2009).

Hasil studi SOHO (Schizophrenia Outpatient Health Outcome) pada 6 regio di 5 benua yang melibatkan 11078 peserta, menunjukkan hasil 66,1% penderita skizofrenia mencapai remisi, dan hanya 25,4% yang mencapai rekoveri (Haro JM, Novick D, Bertsch J, et al. 2011), sedangkan hasil studi WHO menunjukan bahwa 63% dari penderita skizofrenia di negara berkembang mengalami remisi, dan hanya 16% mengalami rekoveri. Namun, di negara berkembang 37% penderita skizofrenia mengalami remisi dan 42% mengalami rekoveri. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa faktor sosial, kultural dan biologi berpengaruh secara bermakna terhadap tingkat keparahan penderita skizofrenia (Jablensky A 2000).

(8)

BAB 2 SKIZOFRENIA

2.1. Definisi

Skizofrenia adalah suatu sindroma klinis dari variabel psikopatologi yang melibatkan fungsi kognitif, emosi, persepsi dan aspek-aspek lain dari perilaku yang manifestasinya bervariasi (Sadock BJ, Sadock VA dan Kaplan HI 2007).

Skizofrenia merupakan suatu gangguan yang diakibatkan oleh abnormalitas pada salah satu atau lebih dari lima domain, yaitu delusi, halusinasi, disorganisasi dalam pikiran dan percakapan, disorganisasi atau abnormalitas perilaku (termasuk katatonik) dan adalnya gejala-gejala negatif (DSM-5 2013).

Menurut PPDGJ III, gangguan skizofrenia merupakan sindrom dengan variasi penyebab dan perjalananan penyakit yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya. Pada umumnya, ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar atau tumpul. Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian (Departemen Kesehatan RI 1993).

2.2. Epidemiologi

Dari hasil penelitian besar di Amerika Serikat, Eropa dan Australia, tentang prevalensi gangguan jiwa didapatkan penurunan dari prevalensi skizofrenia pada 1 dekade terakhir (Sadock BJ, Sadock VA dan Kaplan HI 2007).

Pada negara maju, prevalensi gangguan ini lebih besar di pusat kota yang padat daripada di pedesaan. Hal ini dapat dikarenakan individu dengan gejala skizofrenia mempunyai ketidakmampuan bersosialisasi, sehingga jatuh ke arah kelompok sosial miskin di daerah perkotaan yang kumuh. Penemuan terbaru berpendapat bahwa individu yang lahir dan dibesarkan di kota mempunyai risiko yang lebih besar untuk menderita skizofrenia. Prevalensi penderita skizofrenia pada pria dan wanita hampir seimbang, hanya saja onset pada pria lebih muda bila dibandingkan wanita. Hal ini mungkin disebabkan karena pada wanita adanya

(9)

hormon estrogen sebagai faktor proteksi. Onset pada pria adalah 10-25 tahun, sedangkan pada wanita 25-35 tahun (Sadock BJ, Sadock VA dan Kaplan HI, 2007).

2.2.1. Epidemiologi Gangguan Skizofrenia di Dunia

Sebuah studi sistematik dari 188 studi di 46 negara, menyebutkan bahwa antara tahun 1965 dan 2002, menyebutkan bahwa perkiraan nilai tengah dari prevalensi skizofrenia adalah 4.6 per 1000 orang, dengan risiko terjadinya skizofrenia seumur hidup adalah sekitar 0,3% - 0,7% (DSM-5 2013).

2.2.2. Epidemiologi Gangguan Skizofrenia di Indonesia

Berdasarkan hasil Riskesdas 2013 di Indonesia, ditemukan bahwa prevalensi psikosis tertinggi berada di Daerah Istimewa Jogjakarta dan Aceh, yaitu sebesar 2,7% pada masing-masing daerah, sedangkan prevalensi psikosis terendah di Kalimantan Barat, yaitu sebesar 0,7%. Adapun prevalensi gangguan jiwa berat nasional adalah sebesar 1,7 per mil (Badan Litbang Kemenkes RI 2013).

2.3. Etiologi dan Faktor Risiko

Etiologi dari skizofrenia belum diketahui dengan pasti, tetapi disimpulkan bahwa skizofrenia merupakan gangguan multifaktorial. Dengan berkembangnya waktu, maka etiologi skizofrenia terdiri dari berbagai macam penyebab yaitu aspek biologi (sistem neurotransmitter, anatomi dan histologi otak), psikososial dan psikoanalisis dan lain sebagainya (Saddock BJ, Saddock BJ dan Kaplan HI 2007). Beberapa faktor lain dapat menjadi faktor risiko terjadinya skizofrenia seperti lingkungan (misalnya musim waktu kelahiran), genetik. Faktor genetik mempunyai kontribusi yang kuat dalam risiko terjadinya skizofrenia, meskipun banyak juga gangguan psikotik yang terjadi tanpa adanya riwayat keluarga. Komplikasi kehamilan dan persalinan dengan hipoksia dan peningkatan usia ayah juga berhubungan dengan peningkatan risiko skizofrenia. Gangguan pada masa prenatal dan perinatal, termasuk stres, infeksi, malnutrisi, diabetes maternal dan

(10)

kondisi medis umum lain dapat berperan dalam terjadinya skizofrenia (DSM-5, 2013).

2.4. Gejala Klinis Skizofrenia

Gejala Skizofrenia secara umum dibagi menjadi tiga kategori, yaitu gejala positif, gejala negatif dan gejala kognitif (Lieberman JA, Strop TS, Perkins DO 2006).

2.4.1. Gejala positif

Gejala positif didefinisikan sebagai gejala yang timbul akibat adanya fungsi yang berlebihan dari fungsi normal otak. Gejala-gejala positif yang diperlihatkan pada penderita Skizofrenia adalah sebagai berikut (Lieberman JA, Strop TS, Perkins DO 2006; Saddock BJ, Saddock BJ dan Kaplan HI 2007):

1. Delusi atau waham. 2. Halusinasi.

3. Kekacauan alam pikir, yang dapat dilihat dari isi pembicaraannya.

4. Gaduh gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan semangat dan gembira berlebihan.

5. Merasa dirinya “orang besar”, merasa serba mampu, serba hebat dan sejenisnya.

6. Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan–akan ada ancaman terhadap dirinya.

7. Menyimpan rasa permusuhan.

2.4.2. Gejala negatif

Secara umum gejala negatif digambarkan sebagai gejala yang timbul akibat berkurangnya aktifitas yang dilakukan oleh penderita dibandingkan sebelum sakit. Aspek sindrom negatif seperti apatis, anergia, avolition, afek datar, dan anhedonia tidak spesifik untuk Skizofrenia. National Institutes of Mental Health (NIMH) mengusulkan 5 kategori umum dari gejala negatif yang meliputi :

1. Avolition adalah ketidakmampuan untuk mengawali dan mempertahankan aktifitas yang bertujuan. Avolition secara khusus

(11)

dihubungkan dengan defisit dalam perawatan diri dan higienis, secara serius mengganggu proses pendidikan dan pekerjaan.

2. Anhedonia adalah hilangnya kemampuan untuk menemukan kesenangan dari suatu aktifitas atau hubungan.

3. Afek tumpul adalah ketidakmampuan untuk mengerti atau mengenali ekspresi emosi orang lain dan ketidakmampuan untuk mengekspresikan emosi.

4. Penarikan diri secara sosial (social withdrawal) adalah ketidakpedulian untuk menjalin hubungan sosial dan keinginan yang menurun untuk bersosialisasi.

5. Alogia adalah berkurangnya komunikasi verbal dan ditemukan pada lebih dari 25% pada penderita skizofrenia. (Sadock VA, Sadock BJ dan Kaplan HI 2007; Lieberman JA, Strop TS, Perkins DO 2006)

Gejala negatif yang terjadi pada penderita skizofrenia harus dievaluasi, apakah merupakan suatu proses primer dan idiopatik atau merupakan faktor sekunder dari proses gangguan, misanya karena efek samping pengobatan, depresi dan kecemasan yang ada (Strauss GP, Harrow M dan Grossman LS. 2010).

2.5. Teori Neurokimiawi dari Skizofrenia

Dalam 4 dekade terakhir, hipotesis teori dopamin (DA) merupakan teori neurokimiawi yang berperan dalam skizofrenia. Pada skizofrenia terjadi disfungsi dopaminergik terutama pada area mesolimbik, yang menyebabkan luasnya gejala dan hendaya fungsi kognitif pada penderita skizofrenia. Selain itu, terdapat pula teori glutamatergik di mana adanya penurunan glutamat (GLU) dapat mengakibatkan timbulnya abnormalitas fungsi otak yang berhubungan dengan terjadinya skizofrenia. Akan tetapi, penurunan neurotransmiter glutamat ini juga diinduksi oleh disfungsi dari dopamin (Lieberman, Stroup, dan Perkins 2006).

Model teori DA mengakibatkan terjadinya gejala positif dan terjadinya disfungsi pada korteks prefrontal, sedangkan pada model teori GLU mengakibatkan lebih banyaknya gejala negatif dan hendaya pada fungsi neurofisiologi (Lieberman, Stroup, dan Perkins 2006).

(12)

2.6. Kriteria Diagnosis

Diagnosa dari skizofrenia dibuat berdasarkan anamnesa (autoanamnesa dan heteroanamnesa) dan pemeriksaan status mental. Belum ditemukan adanya tes laboratorium yang spesifik untuk skizofrenia (Sadock VA, Sadock BJ dan Kaplan HI 2007). Terdapat 2 rujukan kriteria diagnosis yang dipakai di Indonesia, yaitu Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III dan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder fifth edition (DSM-5).

2.6.1. Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (Departemen Kesehatan RI, 1993)

Berdasarkan PPDGJ III (1993), diagnosis skizofrenia dapat ditegakkan apabila memenuhi kriteria berikut :

Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala tersebut kurang jelas) :

a. Though echo : isi pikiran diri sendiri yang berulang atau bergema dalam kepala (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda; atau

Thought insertion or withdrawal : isi pikiran yang asing dari luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan

Thought broadcasting : isi pikirannya tersiar keluar, sehingga orang lain atau umum mengetahuinya

b. Delusion of control : waham tentang dirinya dikendalikan oleh sesuatu kekuatan tertentu dari luar; atau

Delusion of influence : waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar; atau

Delusion of passivity : waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar. (tentang ”dirinya” = secara jelas merujuk ke pergerakan tubuh/anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus);

Delusional perception : pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mujizat.

(13)

c. Halusinasi auditorik

- suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku penderita

- mendiskusikan perihal penderita di antara mereka sendiri (di antara berbagai suara yang berbicara)

- jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain).

Atau paling sedikit dua dari gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas :

e. Halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus;

f. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme;

g. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;

h. Gejala-gejala negatif, seperti sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;

Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal)

(14)

Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude) dan penarikan diri secara sosial.

2.6.2. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder fifth edition (DSM-5) (American Psychiatric Association, 2013)

Berdasarkan DSM-5 (2013), diagnosis skizofrenia dapat ditegakkan apabila memenuhi kriteria berikut :

A. Dua atau lebih dari gejala-gejala berikut yang signifikan dan berlangsung selama 1 bulan (atau kurang jika sudah berhasil diobati). Paling sedikit harus ada salah satu (1), (2), atau (3) :

1. Waham 2. Halusinasi

3. Pembicaraan yang tidak terorganisasi (misalnya asosiasi longgar atau inkoherensi)

4. Perilaku yang sangat tidak teratur atau perilaku katatonik

5. Gejala-gejala negatif (misalnya berkurangnya ekspresi emosional atau penurunan kemauan yang dapat berupa penarikan diri secara sosial) B. Sejak dimulainya onset gangguan, fungsi satu atau lebih dari bidang utama, yaitu pekerjaan, hubungan interpersonal atau perawatan diri, yang secara bermakna mengalami kemunduran (atau jika onset pada masa kanak-kanak atau remaja, terdapat kegagalan mencapai fungsi optimal di bidang hubungan interpersonal, pendidikan dan pekerjaan).

C. Gejala berlangsung paling sedikit selama 6 bulan. Periode 6 bulan ini harus mencakup 1 bulan (atau kurang jika berhasil diobati) dari gejala yang memenuhi kriteria A (gejala-gejala pada fase aktif) dan dapat mencakup gejala-gejala pada periode prodromal atau residual. Selama periode prodromal atau residual mungkin ditandai oleh gejala-gejala negatif atau oleh dua atau lebih gejala pada kriteria A dalam bentuk yang lebih ringan (misalnya keyakinan yang aneh, pengalaman yang tidak lazim).

(15)

D. Gangguan skizoafektif dan gangguan depresi atau bipolar dengan gambaran psikotik harus dapat disingkirkan karena

1. 1. tidak ada episode depresi berat atau manik yang terjadi selama fase aktif

2. 2. jika episode gangguan mood terjadi selama fase aktif, gejala-gejala tersebut berlangsung ringan selama fase aktif, prodromal dan residual.

E. Gejala-gejala yang terjadi bukan akibat yang ditimbulkan oleh suatu zat (misalnya oleh karena pengobatan atau penyalahgunaan zat) atau kondisi medis umum lainnya.

F. Jika terdapat riwayat gangguan autisme atau gangguan komunikasi dengan onset masa kanak-kanak, tambahan diagnosis skizofrenia hanya dibuat jika terdapat waham dan halusinasi yang dominan disamping gejala-gejala skizofrenia lainnya, dan berlangsung paling sedikit 1 bulan (atau kurang jika berhasil diobati).

2.7. Jenis Skizofrenia

Dalam DSM-5, subtipe skizofrenia yang meliputi paranoid, hebefrenik, katatonik, tak terinci, dan residual dihilangkan. Adapun alasan penghilangannya adalah bahwa kondisi ini tidaklah stabil dan tidak memberikan manfaat yang signifikan secara klinis serta tidak valid dan reliabel secara ilmiah (American Psychiatric Association 2013).

Berdasarkan gejala klinis yang dominan, skizofrenia dapat dibedakan menjadi 5 subtipe, yaitu subtipe paranoid, hebefrenik, katatonik, tak terinci dan residual. Pembagian subtipe skizofrenia ini masih digunakan dalam praktik klinis pada berbagai negara, termasuk di Amerika Serikat (Sadock BJ, Sadock VA & Ruiz P 2015).

2.8. Penatalaksanaan Skizofrenia

Penatalaksanaan skizofrenia secara umum dapat dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu terapi biologik dan intervensi psikososial.

(16)

2.8.1. Terapi Biologik

Terapi biologik pada skizofrenia meliputi tiga fase, yaitu fase akut, stabilisasi dan stabil atau rumatan. Fase akut ditandai dengan gejala psikotik yang berlangsung selama 4-8 minggu dan membutuhkan penatalaksanaan segera. Fokus terapi pada fase akut yaitu untuk menghilangkan gejala psikotik (Hers MI & Marder SR 2002; Jones PB & Buckley PF 2006; Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia 2011).

Setelah fase akut terkontrol, orang dengan skizofrenia (ODS) akan memasuki fase stabilisasi yang berlangsung paling sedikit 6 bulan setelah pulihnya gejala akut. Risiko kekambuhan sangat tinggi pada fase ini terutama bila obat dihentikan atau ODS terpapar dengan stresor. Selama fase stabilisasi, fokus terapi biologik adalah konsolidasi pencapaian terapetik. Dosis obat pada fase stabilisasi sama dengan pada fase akut (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia 2011).

Fase selanjutnya adalah fase stabil atau rumatan. Penyakit pada fase ini dalam keadaan remisi. Target terapi biologik pada fase ini adalah untuk mencegah kekambuhan dan memperbaiki derajat fungsi (Marder SR & Kane JM, 2005).

2.8.2 Intervensi Psikososial

Berbagai studi membuktikan bahwa intervensi psikososial bermanfaat dalam menurunkan frekuensi kekambuhan, mengurangi kebutuhan rawat inap kembali di rumah sakit, mengurangi penderitaan akibat gejala-gejala penyakitnya, meningkatkan kapasitas fungsional, memperbaiki kualitas hidup dan kehidupan berkeluarga. Intervensi psikososial bisa dimulai sedini mungkin. Namun, hendaknya disesuaikan dengan fase perjalanan penyakitnya, dengan melibatkan ODS dan keluarganya sejak awal. Melalui intervensi psikososial, ODS dan keluarga diajak untuk memahami perjalanan penyakit, perkembangan gejala, dan menyusun harapan yang lebih realistik untuk kehidupan dan masa depannya (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia 2011; Sadock BJ, Sadock VA & Ruiz P 2015).

Intervensi psikososial adalah proses yang memfasilitasi kesempatan untuk individu meraih tingkat kemandiriannya secara optimal di komunitas. (WHO

(17)

1996). Saat ini intervensi psikososial dikembangkan dengan mengadaptasi konsep dan pendekatan rekoveri, yaitu sebuah pendekatan yang melihat proses pemulihan sebagai sebuah perjalanan penyembuhan dan transformasi yang memampukan orang dengan masalah kesehatan jiwa untuk hidup secara bermakna di masyarakat berdasarkan pilihannya dan mencapai potensi yang dimilikinya (SAMHSA, 2004).

Pendekatan psikososial ditetapkan secara individual sesuai dengan kebutuhan spesifik dari masing-masing orang. Intervensi psikososial juga harus berbasis bukti dan dilaksanakan oleh petugas yang terlatih. Intervensi psikososial berbasis bukti yang dianggap efektif untuk skizofrenia adalah psikoedukasi, intervensi keluarga, terapi kognitif perilaku, pelatihan keterampilan sosial, terapi vokasional, remediasi kognitif dan dukungan kelompok sebaya (Sadock BJ, Sadock VA & Ruiz P 2015; Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia 2011).

Intervensi psikososial pada fase akut bertujuan untuk mengurangi stimulus yang berlebihan, stresor lingkungan dan peristiwa-peristiwa kehidupan. Memberikan ketenangan kepada ODS atau mengurangi keterjagaan melalui komunikasi yang baik, memberikan dukungan atau harapan, menyediakan lingkungan yang nyaman, tidak menuntut, toleran, hubungan yang bersifat suportif dengan klinikus dan tim yang memberi layanan perawatan perlu dilakukan. Pada fase ini sebaiknya pendekatan psikososial melalui komunikasi yang sederhana, jelas dan efektif, dan model komunikasi lebih bersifat langsung. (Jones PB & Buckley PF 2006; Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia 2011).

(18)

BAB 3

TAHAPAN DAN PERJALANAN KLINIS GANGGUAN SKIZOFRENIA

3.1. Tahapan Gangguan Skizofrenia

Tahapan dari gangguan skizofrenia dapat dibagi menjadi 5 fase, yang meliputi fase premorbid, fase prodromal, fase akut, fase stabil dan fase stabilisasi.

3.1.1. Fase premorbid

Fase premorbid adalah periode sebelum timbulnya gejala. Kebanyakan individu dengan kecenderungan mengalami skizofrenia akan memiliki fungsi kognitif yang lebih rendah. Fungsi kognitif yang lebih rendah ini meliputi IQ, perhatian, memori verbal, fungsi eksekutif, dan ketrampilan motorik yang berefek negatif terhadap fungsi sosial dan pendidikan. Pada fase premorbid kebanyakan dari individu yang akan menderita skizofrenia tidak dapat dibedakan dengan jelas dari individu lain pada kelompoknya (Hers MI & Marder SR 2002; Lieberman, Stroup, dan Perkins 2006).

3.1.2. Fase prodromal

Sekitar 75%-80% penderita skizofrenia akan mengalami timbulnya gejala secara bertahap sebelum onset dari psikotik. Fase ini disebut dengan fase prodromal. Penurunan dalam fungsi kognitif, fungsi sosial, dan fungsi pekerjaan dapat menjadi gejala awal perubahan dari fase premorbid menjadi fase prodromal. Gejala dari fase prodromal meliputi cukup seringnya persepsi yang salah, misalnya melihat sesuatu yang orang lain tidak bisa melihat, mendengar suara ketukan ataupun suara siulan. Fase prodromal juga meliputi perubahan dalam isi pikiran, misalnya menjadi sangat curiga dengan seseorang ataupun adanya pikiran hubungan. Penderita juga sering mengalami penurunan perhatian dan konsentrasi. Gejala-gejala ini akan menyebabkan hendaya dalam sekolah, pekerjaan atau sosial (Hers MI & Marder SR 2002; Lieberman, Stroup, dan Perkins 2006).

Periode prodromal adalah salah satu dari masalah yang menyebabkan kebingungan bagi individu, keluarga dan klinisi. Dalam pertengahan dari gejala prodromal, sulit untuk menentukan penarikan diri secara sosial adalah bagian dari

(19)

prodromal skizofrenia, salah satu tanda dari depresi, atau hanya merupakan gangguan penyesuaian sementara dari remaja atau dewasa muda (Green MF 2001).

3.1.3. Fase psikotik

Fase psikotik akut ditandai dengan episode psikotik yang nyata dengan gejala positif maupun gejala negatif. Bila fase psikotik akut berlangsung lebih dari 1 bulan maka diagnosis skizofrenia dapat ditegakkan. Spektrum dari skizofrenia yang meliputi skizofrenia, skizoafektif dan skizofreniform dimulai pada masa remaja atau dewasa muda. Onset rata-rata pada wanita adalah 29 tahun, sedangkan pada pria 25 tahun. Usia dari onset pertama bervariasi, yang dipengaruhi oleh faktor genetik. Progresifitas dari skizofrenia akan diikuti oleh fase stabilitas klinis atau perbaikan gejala klinis (Harrison G, Hopper K, Craig T, et al. 2001; Hirsch SR & Weinberger DR 2003; Sadock BJ, Sadock VA & Ruiz P 2015).

3.1.4. Fase stabilisasi

Fase stabilisasi dimulai ketika penderita menunjukkan perbaikan dalam gejala positif, negatif maupun gejala umum. Tidak ada pembatasan secara khusus antara fase akut dengan fase stabilisasi atau fase stabilisasi dengan fase stabil. Selama fase stabilisasi yang berlangsung hingga 6 bulan setelah onset dari fase akut, penderita rentan untuk relaps, sehingga tujuan utama selama fase ini adalah untuk menyediakan bantuan kepada penderita dan keluarga untuk mengusahakan sekecil mungkin kondisi stres pada penderita, mempercepat adaptasi penderita ke komunitas, dan melanjutkan pemberian antipsikotik untuk menurunkan dan menghilangkan gejala psikotik (Lieberman, Stroup, dan Perkins 2006; Hers MI & Marder SR 2002; Sadock BJ, Jones PB & Buckley PF 2006; Sadock VA & Ruiz P 2015).

3.1.5. Fase stabil

Penderita memasuki fase stabil ketika status klinis relatif datar setelah kondisi stabilisasi. Derajat dari resolusi gejala setelah episode akut sangat bervariasi. Beberapa dapat mencapai remisi sempurna dari gejala positif dan

(20)

gejala negatif, dan beberapa hanya dapat mencapai remisi tidak sempurna. Derajat penurunan kognitif bervariasi dan relatif tidak berhubungan dengan gejala psikotik. Pada beberapa penderita akan sering mengalami gejala-gejala disforik nonpsikotik, misalnya tekanan, kecemasan, depresi dan insomnia. Gradasi tingkat dari fungsi kemandirian penderita skizofrenia berkisar dari mampu secara penuh untuk hidup tanpa bergantung hingga membutuhkan banyak sekali bantuan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari (Hers MI & Marder SR 2002; Lieberman, Stroup, dan Perkins 2006; Sadock BJ, Jones PB & Buckley PF 2006; Sadock BJ, Sadock VA & Ruiz P 2015).

Tujuan dari pengobatan dari fase stabil adalah menurunkan sebisa mungkin gejala positif dan gejala negatif; mengurangi efek samping pengobatan; meningkatkan fungsi kognitif, sosial dan pekerjaan; menurunkan kerentanan penderita terhadap kondisi stres dengan meningkatkan mekanisme coping dan kemampuan untuk mengontrol afek disforik; mengedukasi penderita untuk mengenali gejala prodromal dari relaps; menurunkan angka relaps dan rawat inap berulang; melakukan edukasi kepada penderita dan keluarga tentang karakteristik skizofrenia, prognosis dan perjalanan penyakitnya (Hers MI & Marder SR 2002; Hirsch SR & Weinberger DR 2003; Lieberman, Stroup, dan Perkins 2006).

Tatalaksana pada fase stabil harus melibatkan kesatuan dari psikofarmakologi, psikososial, dan pendekatan rehabilitasi. Pendekatan pengobatan yang dilakukan sangat individual (Hers MI & Marder SR 2002; Lieberman, Stroup, dan Perkins 2006).

3.2. Perjalanan Klinis Gangguan Skizofrenia

Kebanyakan dari penderita skizofrenia akan mengalami penyakit yang kronis. Tingkat keparahan dari gejala positif, gejala negatif, gangguan kognitif dan gejala afektif sangat bervariasi, seperti halnya dengan ketidakmampuan dalam fungsi sosial dan pekerjaan. Outcome jangka panjang bervariasi, mulai dari pulih (rekoveri) hingga episode psikotik berulang dengan rekoveri di antara episode. Tidak menutup kemungkinan perjalanan penyakit akan berkembang menjadi kronis dan bertambah parah dengan berbagai variasi gradasi, kecacatan dan gejala sisa. Terdapat 2 metode yang sering digunakan untuk mengukur outcome, yaitu :

(21)

1. Menggunakan skala terstandardisasi, yaitu Disability Assestment Scale (DAS) untuk mengevaluasi fungsi sosial dan fungsi pekerjaan dan Global Assestment of Functioning (GAF) scale atau Global Assestment Scale (GAS) untuk mengevaluasi gejala dan fungsi sehari-hari penderita skizofrenia.

2. Menggunakan pola perjalanan penyakit yang diprakrasai oleh Kraeplin, meliputi: onset (insidious atau akut), pola gejala (episodik atau kronik), kekambuhan (stabil, berubah dengan cepat atau deteriorasi) dan evaluasi dari keseluruhan outcome (sembuh atau tahap akhir ringan/sedang/berat) (Green MF 2001; Lieberman, Stroup, dan Perkins 2006; American Psychiatry Association 2013; Sadock BJ, Sadock VA & Ruiz P 2015).

3.3. Domain dari Outcome

Outcome dapat ditinjau dari 2 sisi, yaitu dinilai secara obyektif dan dinilai secara subyektif.

3.3.1. Domain outcome yang dinilai secara obyektif 3.3.1.1. Clinical Outcome

Hasil klinis yang diharapkan pada pengobatan skizofrenia adalah ketiadaan dari gejala klinis, yaitu gejala positif, gejala negatif dan gejala umum lainnya. Meskipun beberapa penderita dapat mengalami remisi sempurna dari gejala, tetapi lebih banyak penderita yang hanya mengalami remisi tidak sempurna. Dari penelitian didapatkan hasil dengan pengobatan waham yang sangat kuat diyakini penderita sedikit berkurang derajat keyakinannya atau menjadi pikiran tidak memadai saja, misalnya seseorang yang meyakini bahwa makanannya diracuni, akan dapat berubah menjadi memikirkan tentang kemungkinan ia akan diracuni. Selain itu, pada penderita skizofrenia yang mengalami halusinasi auditorik yang sembuh sempurna, maka ada kalanya penderita tersebut mengalami ilusi di mana penderita akan mengalami ilusi seperti ada suara (Green MF 2001; Hers MI & Marder SR 2002).

(22)

3.3.1.2. Functional outcome

Functional outcome dari skizofrenia dinilai dari kemampuan penderita untuk melaksanakan fungsinya di dalam kehidupan sehari-hari secara luas, yang meliputi fungsi sosial, pekerjaan, dan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan (Haro JM, Novick D, Bertsch J, et al. 2011; Green MF 2001). Penderita skizofrenia dapat mengalami perbaikan fungsi. Akan tetapi, diperlukan usaha yang besar, misalnya dengan cara proses belajar secara berulang karena adanya penurunan konsentrasi (Green MF 2001; Davidson L, Schumutte T, Dinzeo T, et al. 2008; Haro JM, Novick D, Bertsch J, et al. 2011).

3.3.1.2.1. Fungsi sosial

Penderita skizofrenia sering mengalami kesulitan dalam fungsi sosial, meliputi hubungan emosi yang kurang dekat dengan keluarga, teman dan lingkungan pekerjaan. Kesulitan-kesulitan ini merupakan bagian dari indikasi gejala awal dari skizofrenia, yang disebut dengan prodromal (Green MF 2001). Seorang penderita skizofrenia dikatakan dapat berinteraksi sosial secara aktif bila mempunyai lebih dari 1 kontak sosial dalam 4 minggu terakhir atau mempunyai pasangan (Bellack AS 2006; Davidson L, Schumutte T, Dinzeo T, et al. 2008; Haro JM, Novick D, Bertsch J, et al. 2011).

3.3.1.2.2. Fungsi pekerjaan

Ada beberapa kriteria dari fungsi pekerjaan yang perlu diperhatikan pada penderita skizofrenia, yaitu pekerjaan tersebut dibayar/tidak dibayar, paruh waktu/penuh. Pada penderita skizofrenia yang masih dalam usia sekolah, fungsi pekerjaan ini diukur melalui prestasi dan hasil selama menjadi pelajar yang aktif (Haro JM, Novick D, Bertsch J, et al. 2011).

Kebanyakan penderita skizofrenia sering bekerja tanpa bayaran di rumah. Namun, 10 hingga 20 persen penderita skizofrenia dapat juga bekerja secara kompetitif; di mana pekerjaan tersebut membutuhkan proses perekrutan yang normal dan bukan bagian dari program pekerjaan yang dibuat suatu perusahaan untuk kepentingan sosial seperti pelatihan kerja pada penderita gangguan jiwa. Mencari dan mempertahankan pekerjaan adalah tantangan bagi penderita

(23)

skizofrenia. Penderita skizofrenia yang dipekerjakan pada pekerjaan normal, pada umumnya mendapat pemutusan hubungan kerja karena ketidakpuasan pihak perusahaan terhadap hasil kerja yang dilakukannya (Green MF 2001; Green MF 2006; Davidson L, Schumutte T, Dinzeo T, et al. 2008).

3.3.1.2.3. Fungsi kemandirian

Fungsi kemandirian meliputi kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa mendapatkan bantuan dari orang lain serta kemampuan untuk mengatur pengobatan, kesehatan dan keuangan tanpa supervisi yang rutin, khususnya pada penderita yang tetap tinggal dengan keluarga besarnya (Green MF 2001; Davidson L, Schumutte T, Dinzeo T, et al. 2008; Haro JM, Novick D, Bertsch J, et al. 2011).

3.3.1.3. Fungsi kognitif

Fungsi kognitif pada penderita skizofrenia terdiri dari kecepatan berbicara, perhatian dan kewaspadaan, memori kerja, pembelajaran dan memori verbal, pembelajaran dan memori visual, kemampuan menyelesaikan masalah, kemampuan memberikan alasan, kemampuan bersosialisasi dan pembelajaran. Dari beberapa penelitian disebutkan bahwa penurunan fungsi kognitif sering kali mengikuti perjalanan klinis penderita skizofrenia. Hendaya fungsi kognitif yang paling besar terdapat pada memori, perhatian dan fungsi eksekutif. Hendaya yang lebih kecil terjadi pada pembelajaran, kosa kata, dan ketrampilan persepsi visual (Lieberman, Stroup, dan Perkins 2006).

Hendaya dalam fungsi kognitif bukan merupakan hasil dari gejala skizofrenia atau karena pemberian terapi antipsikotik. Hendaya kognitif ini relatif stabil meskipun individu tersebut telah melewati fase psikotik. Penurunan fungsi kognitif pada individu dengan skizofrenia sangat dipengaruhi oleh kerentanan genetik yang dipengaruhi oleh endophenotype seseorang (Green MF 2001; Harvey PD 2006).

Adanya defisit kognitif mengakibatkan buruknya functional outcome seseorang karena berhubungan erat dengan kesulitan dalam mempertahankan pekerjaan, hubungan sosial, hidup mandiri dan keterampilan dalam melakukan

(24)

program rehabilitasi. Terdapat hubungan yang lebih bermakna antara hendaya kognitif dan functional outcome daripada hubungan antara gejala psikotik dan functional outcome. Oleh karena itu, perbaikan fungsi kognitf direkomendasikan menjadi salah satu target tatalaksana pada penderita skizofrenia (Green MF 2001; Harvey PD 2006).

3.3.2. Domain outcome yang dinilai secara subyektif 3.3.2.1. Kepuasan subyektif

Kepuasan subyektif merupakan salah satu hal yang diukur dengan berorientasi pada penderita skizofrenia itu sendiri. Seorang penderita skizofrenia mungkin dapat berfungsi dengan baik dalam sosial, pekerjaan dan aktivitas mandiri, tetapi ternyata ia belum merasa puas dengan kondisinya saat ini dan kualitas hidupnya rendah. Komponen dari kepuasan subyektif ini meliputi peningkatan kualitas hidup dan penderita skizofrenia menjadi memiliki tujuan hidup (Green MF 2001; Davidson L, Schumutte T, Dinzeo T, et al. 2008).

3.3.2.2. Rasa nyaman dan sejahtera

Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam outcome yang dinilai secara subyektif adalah perasaan nyaman dan kesejahteraan dari penderita itu sendiri. Pada penderita skizofrenia yang masih mendengar halusinasi yang bersifat perintah untuk membunuh seseorang atau bunuh diri akan merasa kurang nyaman, meskipun ia bisa mengabaikannya (Green MF 2001).

3.4. Kematian

Hal yang paling tidak diharapkan pada penanganan gangguan skizofrenia adalah kematian. Angka kematian individu laki-laki dengan skizofrenia 5 kali lebih tinggi daripada populasi umum, sedangkan pada wanita 2 kali lebih tinggi daripada populasi normal. Adapun penyebab terbanyak dari hal ini adalah bunuh diri (Brown S, Inskip H, dan Barraclough B 2000).

Risiko bunuh diri paling besar terjadi pada saat periode rekoveri setelah diagnosis skizofrenia pertama kali ditegakkan. Oleh karena itu, bagian dari tatalaksana tahap awal yang penting pada fase rekoveri dari skizofrenia episode

(25)

pertama adalah mengurangi risiko percobaan bunuh diri (Lieberman, Stroup, dan Perkins 2006).

Selain itu, penderita skizofrenia juga berisiko meninggal karena penyakit kardiovaskular, diabetes, penyakit paru dan kecelakaan (Brown S, Inskip H, dan Barraclough B 2000). Risiko ini dapat disebabkan oleh adanya kerentanan faktor genetik, hal-hal yang berkaitan dengan pola hidup, faktor sosial dan faktor lingkungan yang sebenarnya dapat dicegah (Hirsch SR & Weinberger DR 2003; Jones PB & Buckley PF 2006; Lieberman, Stroup, dan Perkins 2006).

3.5. Faktor yang berhubungan dengan prognosis

Penyebab dari heterogenitas dalam outcome jangka panjang, yaitu rekoveri hingga disabilitas tidak diketahui secara pasti. Hal ini disebabkan karena adanya faktor genetik dan pengaruh lingkungan pada tahap awal kehidupan yang berpengaruh secara bermakna terhadap perkembangan otak, sehingga beberapa individu dapat mengalami prognosis yang buruk karena tidak berespons terhadap pengobatan yang tersedia. Selain itu, perjalanan penyakit juga berhubungan dengan faktor lingkungan. Setelah terapi optimal, dukungan dari lingkungan, keluarga, masyarakat, termasuk lingkungan tempat kerja dapat membantu proses rekoveri (Lieberman, Stroup, dan Perkins 2006).

3.5.1. Faktor Prognostik Klinis

Gejala klinis berhubungan dengan prognosis yang buruk meliputi premorbid yang buruk, fungsi sosial dan fungsi sekolah yang buruk karena adanya hendaya kognitif pada masa kanak-kanak. Selain itu, onset gangguan yang mendadak pada usia yang muda, gejala negatif yang menonjol, lebih banyaknya hendaya kognitif dan jenis kelamin laki-laki juga berhubungan dengan prognosis yang buruk (Niemi LT, Suvisaari JM, Tuulio-Henriksson A, et al. 2003).

Beberapa prediktor dari faktor prognostik klinis yang baik pada skizofrenia :

1. Jenis kelamin perempuan

Pada perempuan didapatkan gejala psikopatologi lebih sedikit. Selain itu, fungsi pekerjaan dan sosial pada perempuan umumnya lebih

(26)

baik. Hal ini berdampak pada kemungkinan rekoveri yang lebih besar dan frekuensi hospitalisasi yang rendah dengan durasi lebih singkat. Dikatakan pada kepustakaan, pengaruh hormon estrogen sebagai neuroprotektif berperan pada hal tersebut (Lieberman, Stroup, dan Perkins 2006).

2. Onset pertama pada usia yang lebih tua

Onset pertama pada usia yang lebih tua memberikan kesempatan pada individu tersebut untuk membangun fungsi sosial dan keterampilan pekerjaan yang berguna ketika penyakit tersebut kambuh (Hers MI & Marder SR 2002; Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P 2015; Lieberman, Stroup, dan Perkins 2006).

3. Onset yang akut

4. Gejala negatif yang lebih minimal 5. Hendaya kognitif yang lebih minimal

Defisit kognitif yang progresif selama fase premorbid dan adanya gejala yang timbul secara bertahap dalam fase prodromal dapat mendukung penurunan fungsi secara umum pada penderita skizofrenia. Beberapa penelitian terkini membuktikan terdapat hubungan yang besar antara defisit kognitif dan tingkat dari rekoveri. Defisit kognitif tidak statis dalam perjalanan penyakit, tetapi dapat membaik, stabil atau memburuk seiring perjalanan waktu (Hers MI & Marder SR 2002; Sadock BJ, Sadock VA dan Ruiz P 2015).

6. Tidak ada riwayat faktor genetika

Adanya polimorfisme gen yang mengkode enzim terkait dengan metabolisme dopamin, catechol-O-methyltransferase berhubungan dengan gejala yang lebih parah. Selain itu, perubahan pada gen yang mengkode N-methyl-D-aspartate receptor 2A subunit dapat mempengaruhi neurotransmisi dari glutamat. (Tsai et al. 2004)

7. Adanya riwayat keluarga dengan gangguan afektif (Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P 2015).

8. Adanya intervensi pengobatan yang cepat dan kurang terjadi efek samping selama pengobatan (Jones PB & Buckley PF 2006).

(27)

3.5.2. Faktor prognostik lingkungan

Beberapa faktor lingkungan dapat mempengaruhi perkembangan otak yang meningkatkan risiko timbulnya dan keparahan dari gangguan skizofrenia, antara lain :

1. Komplikasi obstetrik perinatal

Infeksi maternal, malnutrisi berat selama kehamilan, diabetes kehamilan dan komplikasi yang berhubungan dengan hipoksia janin merupakan faktor risiko pada skizofrenia. Komplikasi obstetrik berhubungan dengan fungsi premorbid yang buruk (Koponen et al. 2004; Jones PB & Buckley PF 2006).

2. Infeksi virus pada sistem saraf pusat pada anak-anak

Infeksi virus pada sistem saraf pusat pada anak-anak akan meningkatkan risiko skizofrenia. Hal ini dikarenakan komplikasi selama masa perinatal dapat mempengaruhi perkembangan otak pada periode kritis (Jones PB & Buckley PF 2006; Sadock BJ, Sadock VA dan Ruiz P 2015)

3. Gangguan penyalahgunaan zat.

Pada penderita skizofrenia terdapat kecenderungan penyalahgunaan zat 2 kali lipat dibandingkan individu norrmal. Penggunaan alkohol yang aktif dan zat lainnya berhubungan dengan gejala positif yang lebih berat, gejala depresif yang lebih menonjol, peningkatan risiko bunuh diri dan frekuensi hospitalisasi yang lebih besar. (Margolese et al. 2004) Selain itu, penyalahgunaan zat juga dapat meningkatkan ketidakpatuhan terhadap pengobatan dan dapat menyebabkan toksisitas terhadap otak yang meningkatkan gejala psikotik (Jones PB & Buckley PF 2006; Lieberman, Stroup, dan Perkins 2006; Sadock BJ, Sadock VA dan Ruiz P 2015).

4. Faktor sosial dan ekonomi

Adanya dukungan sosial yang besar, minimalnya stresor kehidupan dan ketersediaan dukungan keluarga berhubungan dengan prognosis yang lebih baik, sehingga outcome pada negara yang sedang berkembang lebih baik daripada negara maju. Adanya stresor kehidupan berhubungan

(28)

dengan peningkatan risiko relaps pada individu skizofrenia (Monghaddam 2002; Wood L, Price J dan Morrison A 2010).

5. Internalisasi dari stigma

Internalisasi dari stigma merupakan suatu kondisi di mana seseorang dengan gangguan jiwa berat mengalami kehilangan harapan akan identitasnya. Stigmatisasi terhadap penyakit yang dideritanya dapat mengganggu pencapaian tujuan hidup seseorang karena kekambuhan gejala yang tidak dapat diperkirakan dan dapat muncul sewaktu-waktu (Yanos PT, Roe D, Markus K, et al. 2008).

Hal ini mengakibatkan adanya peningkatan isolasi sosial karena adanya kecemasan yang dirasakan oleh penderita lebih. Lebih lanjut hal tersebut akan meningkatkan risiko bunuh diri, meningkatkan terjadinya coping menghindar, penurunan compliance terhadap terapi dan compliance terhadap rehabilitasi. Ada 2 jenis coping menghindar, yaitu ignoring dan resigning. Coping ignoring akan memilih untuk tidak memikirkan stresor yang ada, sedangkan coping resigning akan memilih untuk tidak melakukan sesuatu karena beranggapan tidak ada yang bisa dilakukan (Yanos PT, Roe D, Markus K, et al. 2008).

(29)

BAB 4

KONSEP REMISI PADA PENDERITA SKIZOFRENIA

4.1. Batasan

Remisi adalah suatu kondisi hilang atau berkurangnya gejala positif, gejala negatif dan gejala umum yang spesifik hingga intensitas yang minimal, sehingga tidak lagi berhubungan secara bermakna dengan tingkah laku dan dibawah batas gejala yang digunakan untuk mendiagnosis awal dari skizofrenia serta dalam jangka waktu 6 bulan (Andreasen NC, Carpenter WT, Kane JM, et al. 2005).

Batasan waktu 6 bulan dalam kriteria remisi dibuat dengan pertimbangan dalam waktu 6 bulan diharapkan sudah masuk dalam tahap maintenance di mana kondisi klinis penderita sudah relatif stabil karena menurut teori respon perbaikan gejala klinis pengobatan skizofrenia dengan antipsikotik mulai tampak dalam waktu 2 minggu. (Harvey PD & Bellack AS 2009)

4.2. Prevalensi Remisi

Berdasarkan penelitian dari BioMed Central, hanya 31,5% pada penderita skizofrenia yang memenuhi kriteria remisi tidak sempurna pada akhir bulan keenam dan hanya 26,1% dari penderita skizofrenia yang memenuhi kriteria remisi sempurna (Mosolov SN, Potapov AV dan Ushakov UV. 2012).

4.3. Psikometri Remisi

Psikometri adalah ilmu tentang pengukuran psikologis. Domain psikometri adalah masalah pengembangan teori dan model tes serta pengembangan dasar-dasar evaluasi terhadap kualitas tes (Sadock BJ, Sadock VA & Ruiz P 2015).

4.3.1 Kriteria Psikometri untuk Mengukur Remisi

Persyaratan instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi kondisi remisi dari skizofrenia :

1. Adanya komponen waktu yang bermakna

2. Dapat diaplikasikan pada berbagai tahap episode perjalanan penyakit skizofrenia

(30)

3. Obyektif

4. Konsisten dengan test-retest reproducibility 5. Tidak tergantung kepada yang memeriksa

6. Dapat digunakan untuk mengevaluasi status longitudinal

7. Memberikan bantuan untuk pergeseran fokus dari tatalaksana fase akut ke fase maintenance untuk perawatan jangka panjang (Andreasen NC, Carpenter WT, Kane JM, et al. 2005; Sadock BJ, Sadock VA & Ruiz P 2015).

4.3.2. Jenis Psikometri Remisi

Terdapat 3 psikometri yang telah disetujui untuk digunakan dalam identifikasi remisi (Andreasen NC, Carpenter WT, Kane JM, et al. 2005) :

1. Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS)

PANSS terdiri dari 30 macam pemeriksan inventory yang menilai tidak adanya atau keparahan dari gejala skizofrenia, yang terbagi menjadi 3 subskala, yaitu gejala positif (P1-P7), gejala negatif (N1-N7) dan gejala psikopatologi umum). Pengukuran PANSS berdasarkan hasil wawancara klinis 4 tahap, ditambah informasi perilaku penderita yang didapatkan dan laporan keluarga atau perawat. Masing-masing butir pertanyaan dari setiap subskala dinilai dengan skala dengan nilai 1 (absen) hingga 7 (extreme). Instrumen PANSS dapat digunakan untuk mengukur respons terapi yang ditandai dengan menurunnya nilai total skor PANSS (Sadock BJ, Sadock VA & Ruiz P 2015).

2. Brief Psychiatric Rating Scale (BPRS)

BPRS merupakan suatu wawancara terstruktur yang berisi definisi gejala dan nilai spesifik yang didapatkan dari penilaian gejala. Penilaian dilakukan oleh penderita sendiri dan pengamatan secara klinis dari perilaku penderita (ketegangan, penarikan diri, manerisme, retardasi motorik dan ketidakkooperatifan) dan berdasarkan hasil wawancara (disorganisasi, pikiran tidak memadai, kecemasan, perasaan bersalah, perasaan kebesaran, nada perasaan yang depresif, hostility, keluhan somatik, halusinasi, perasaan curiga dan afek yang tumpul). Terdiri dari 18 skala yang dinilai dari 1 (tidak ada) hingga 7 (sangat parah) (Sadock BJ, Sadock VA & Ruiz P 2015).

(31)

3. Scale for the Assestment of Positive Symptomps (SAPS) dan Scale for the Assestment of Negative Symptomps (SANS)

SAPS terdiri dari 34 macam skala yang digunakan untuk memeriksa gejala positif pada skizofrenia, dirancang untuk digunakan bersama dengan 25 macam skala dari SANS yang digunakan untuk memeriksa gejala negatif. Penilaian dari SAPS dan SANS dibagi menjadi 3 dimensi gejala, yaitu dimensi psikotik (halusinasi dan waham), gejala negatif (penumpulan afek, alogia, avolition-apathy, dan anhedonia) dan disorganisasi (afek yang tidak sesuai, perilaku aneh, dan gangguan bentuk pikiran) (Sadock BJ, Sadock VA & Ruiz P 2015).

Dalam penilaian gejala harus diperhatikan kemungkinan apakah gejala tersebut merupakan gejala primer atau gejala sekunder, misalnya dalam gejala negatif anhedonia, dapat merupakan gejala sekunder dari pemberian neuroleptik atau penderita tersebut memiliki komorbiditas depresi atau gejala positif terkadang juga merupakan gejala sekunder, misalnya kegelisahan yang dapat merupakan gejala dari akatisia akibat pemberian neuroleptik (Harvey PD & Bellack AS 2009).

4.4. Kriteria Diagnosis Remisi

Menurut konsensus dari Kelompok studi Skizofrenia di Amerika Serikat pada tahun 2005, remisi pada skizofrenia dapat diukur dengan menggunakan Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS) atau Brief Psychiatric Rating Scale (BPRS), atau dengan kombinasi dari SAPS dan SANS. Untuk kriteria dari remisi, semua macam pertanyaan pada kriteria PANSS dan BPRS harus memiliki poin skala pengukuran ≤ 3 (ringan) selama periode 6 bulan dan SAPS dan SANS memiilki poin skala pengukuran ≤ 2 selama periode 6 bulan (Andreasen NC, Carpenter WT, Kane JM, et al. 2005).

Dalam konsensus kriteria remisi pada skizofrenia, orang dengan skizofrenia (ODS) dikatakan mencapai remisi bila 8 item PANSS, yaitu P1 (waham), P2 (pikiran yang tidak memadai yang terkonsep), P3 (perilaku halusinasi), G9 (pikiran tidak memadai), G5 (manerisme), N1 (afek yang tumpul), N4 (penarikan diri), dan N6 (kurangnya arus/spontanitas pembicaraan)

(32)

memperoleh skor kurang atau sama dengan 3, dan telah berlangsung sedikitnya 6 bulan (Andreasen NC, Carpenter WT, Kane JM, et al. 2005).

Selain itu, remisi juga dapat didefinisikan sebagai penurunan total PANSS score >20% dan atau > 1 poin pada subskala gejala positif, terutama pada item P1, P2, P3 dan P6 (Mosolov SN, Potapov AV dan Ushakov UV, 2012).

Definisi remisi juga dapat menggunakan SAPS dan SANS. Pada skala pertanyaan SAPS (item 7, halusinasi; item 20, waham; item 25, perilaku aneh; item 34 pikiran tidak memadai) mendapat skor ≤ 2 dalam kurun waktu 3 bulan. Pada skala pertanyaan SANS (item 7, penumpulan afek; item 13, alogia; item 17, avolisi-apathy; item 22 anhedonia-asosialisasi) mendapat skor ≤ 2 dalam kurun waktu 3 bulan. Semua skala pertanyaan SAPS dan SANS mendapat skor ≤ 2 dalam kurun waktu 6 bulan (Cassidy CM, Norman R, Manchanda R, et al. 2010).

Tabel 1. Kriteria Remisi berdasarkan Konsensus dari Kelompok studi Skizofrenia

Sumber : Andreasen NC, Carpenter WT, Kane JM, et al, 2005. Remission in Schizophrenia: Proposed Criteria and Rationale for Consensus. Am J Psychiatry. 2005; 162:441-449

(33)

4.5. Klasifikasi Remisi

Berdasarkan pembagian gejala klinis sisa yang ada, maka remisi dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu :

1. Remisi sebagian/tidak sempurna adalah suatu kondisi di mana telah terjadi perbaikan gejala setelah mendapatkan terapi setelah periode waktu enam bulan dan hanya sebagian kriteria yang terpenuhi.

2. Remisi sempurna adalah suatu kondisi di mana tidak ada gejala spesifik yang timbul dalam periode waktu 6 bulan (American Psychiatry Association 2013).

Berdasarkan prosesnya, maka remisi dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu

1. Remisi biologis adalah suatu kondisi berkurangnya dopamin pada daerah mesolimbik dengan pemberian obat antipsikotik dan kembalinya neurotransmiter lainnya ke nilai normal.

2. Remisi psikologis merupakan suatu bentuk penilaian kembali pengalaman terjadinya psikotik primer (Gaag MV 2006).

Remisi biologis dan remisi psikologis ini tidak saling berhubungan. Adanya remisi yang lengkap yang meliputi remisi biologis dan psikologis dapat mencegah terjadinya kekambuhan (Gaag MV 2006).

4.6. Tatalaksana Remisi 4.6.1. Tujuan Tatalaksana

Adapun tujuan dari terapi adalah mencegah terjadinya relaps, dan remisi gejala dalam jangka panjang yang dapat meningkatkan fungsi sehari-hari.

Pasien yang berada dalam kondisi remisi akan memiliki tilikan yang lebih baik mengenai gejala yang dialami, kondisi medis umum dan fungsi sehari-harinya (Mosolov SN, Potapov AV dan Ushakov UV. 2012).

4.6.2. Pemilihan Tatalaksana 4.6.2.1. Psikofarmaka

Penggunaan antipsikotika merupakan salah satu modalitas utama yang digunakan pada fase akut untuk mencapai kondisi remisi. Pemilihan psikofarmaka

(34)

ini disesuaikan dengan gejala klinis, pengalaman penderita skizofrenia dengan antipsikotika sebelumnya, misalnya respon terhadap gejala, pengalaman efek samping, dan rute pemberian obat. Dalam pemilihan obat, terapis dapat mempertimbangkan respon penderita skizofrenia termasuk respon penderita yang sifatnya subyektif, misalnya disforik-dan efek samping obat. Adanya komorbiditas dengan kondisi medik umum, potensi interaksi dengan obat lain, tingkat kepatuhan dalam pengobatan harus diperhatikan (Jones PB & Buckley PF 2006; Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia 2011).

Tabel 2. Obat Antipsikotika yang Sering Digunakan Obat antipsikotika Rentang dosis

anjuran (mg/hari) Ekivalen Klorpromazin (mg/hari) Waktu Paruh (Jam) Antipsikotika generasi I klorpromazin 300-1000 100 6 flufenazin 5-20 2 33 perfenazin 16-64 10 10 thioridazin 300-800 100 24 trifluopherazin 15-50 5 24 haloperidol 5-20 2 21 loksapin 30-100 10 4 Antipsikotika generasi II aripiprazole 10-30 75 clozapine 150-600 12 Olanzapine 10-30 33 Quetiapin 300-800 6 Risperidon 2-8 24

Sumber : Preston JD, Neal JH, Talaga MC (2010). Antipsycotic medications. Dalam : Handbook of Clinical Psychopharmacology for Therapist 6th ed. New Harbinger Publication Inc, pp 219-241, 2010.

Penggunaan obat suntik jangka panjang risperidone memberikan respon remisi yang lebih bagus daripada pencapaian dengan pengobatan terapi rutin.

(35)

Berdasarakan studi Lasser et al. 1964 dan Rossi et al. 2009, didapatkan pada pasien yang gejala klinisnya stabil, tetapi tidak mengalami remisi dalam jangka waktu 6 bulan, maka bila psikofarmaka diganti menjadi obat suntik jangka panjang risperidone, maka 20% hingga 32% pasien akan mengalami remisi pada tahun pertama. (Fleischhacker WW, Eerdekens M dan Karcher K 2003; Mosolov SN, Potapov AV dan Ushakov UV 2012)

Dari suatu studi yang mengalami remisi didapatkan bahwa 59% penderita yang mendapatkan terapi quetiapine, 32% penderita dengan aripriprazole dan 22% penderita yang diterapi dengan haloperidol. Clozapine dapat meningkatkan outcome pada individu dengan skizofrenia yang berat dan menurunkan risiko bunuh diri. (Mosolov SN, Potapov AV dan Ushakov UV 2012)

Antipsikotika generasi kedua juga lebih bermanfaat dalam menurunkan risiko relaps, meningkatkan fungsi kognitif dan mengurangi derajat keparahan psikopatologi serta durasi waktu yang lebih pendek dari respons pengobatan. (Keefe et al. 2004; Mosolov SN, Potapov AV dan Ushakov UV 2012)

4.6.2.2. Intervensi Psikososial

Terapi psikososial dan rehabilitasi adalah paling efektif ketika gejala psikotik telah terkontrol secara adekuat. Segera setelah gejala psikotik telah teratasi, maka penderita dan keluarga penderita skizofrenia segera diberikan psikoedukasi untuk segera memulai proses yang memfasilitasi kesempatan penderita meraih tingkat kemandiriannya secara optimal di komunitas agar dapat kembali berdaya guna (Mosolov SN, Potapov AV dan Ushakov UV 2012).

(36)

BAB 5

KONSEP REKOVERI PADA PENDERITA SKIZOFRENIA

5.1. Batasan

Tidak semua individu yang mengalami gejala psikotik menjadi kronis dan terjadi hendaya dalam fungsi sehari-hari. Rekoveri dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai suatu proses pemulihan. Rekoveri pada penderita dengan skizofrenia difenisikan sebagai suatu proses remisi gejala dan hendaya yang minimal dalam fungsi dengan durasi minimal 2 tahun. Batasan pemilihan waktu 2 tahun adalah karena waktu 2 tahun adalah cukup panjang untuk perbaikan klinis dari fase akut ke fase stabil yang dapat meningkatkan kualitas hidup seseorang (Lieberman RP & Kopelowicz 2005; A Robinson DG, Woerner MG, McMeniman M, et al. 2004; Harrison G, Hopper K, Craig T, et al.2001). Alasan hendaya minimal dalam pekerjaan, sosial dan hubungan dekat diperbolehkan sebagai kriteria rekoveri adalah karena banyak orang yang tidak menderita skizofrenia memiliki defisit sosial yang persisten, sehingga pasien yang mengalami rekoveri dari skizofrenia tidak dapat diharapkan untuk tidak memiliki hendaya fungsi sama sekali. Nama lain dari rekoveri adalah wellness atau pemulihan, yaitu fungsi yang normal dari hilangnya gangguan (Andreasen NC, Carpenter WT, Kane JM, et al. 2005).

Berdasarkan DSM-IV TR, rekoveri adalah kembalinya fungsi pasien ke fungsi premorbidnya. Akan tetapi, hal ini mengalami perdebatan karena pada penderita skizofrenia dengan onset pada saat remaja/dewasa muda di mana pada usia tersebut, seseorang belum dapat melakukan fungsi sosial, pekerjaan dan kehidupan secara mandiri, sehingga kembali ke fungsi premorbid berarti penderita tersebut kembali pada tingkat fungsi di bawah batas normal fungsi psikososial seorang dewasa (Lieberman RP & Kopelowicz A. 2005).

Definisi dari rekoveri tidak membutuhkan kembalinya penderita kepada kepribadian premorbidnya, tetapi menekankan pada partisipasi yang penuh dalam pekerjaan, kehidupan sosial, kehidupan yang mandiri dan tidak adanya serta stabilnya gejala klinis dari psikopatologi yang signifikan (Lieberman RP,

(37)

Kopelowicz A. 2005; Harrison G, Hopper K, Craig T, et al. 2001; Kern RS, Glynn SM, Horan WP, et al. 2009).

Keberhasilan parsial pada 3 domain fungsional merupakan indikator kemajuan yang lebih baik daripada kesuksesan penuh hanya pada 1 domain, tetapi tidak ada upaya untuk berfungsi dalam 2 domain fungsi lain. Sukses penuh pada 2 domain fungsi yang dikombinasikan dengan keberhasilan parsial dalam 1 fungsi dapat didefinisikan sebagai rekoveri (Harvey PD & Bellack AS 2009).

5.2. Prevalensi rekoveri

Dari berbagai studi, didapatkan bahwa prevalensi dari rekoveri rata-rata berkisar antara 20 persen hingga 30 persen. Hal ini tergantung dari status sosial ekonomi dari penderita di wilayah tersebut dan lamanya waktu sebelum diobati (Harvey PD & Bellack AS 2009).

5.3. Psikometri rekoveri

Penilaian fungsi umum dari penderita skizofrenia dapat menggunakan beberapa instrumen, antara lain :

1. Global Assestement Functioning Scale (GAF Scale) 2. WHO Disability Assessment Scale (DAS)

3. Levenstein Klein-Pollack scale (LKP)

4. Social and Occupational Functioning Assestment Scale (SOFAS) 5. Personal and Social Performance (PSP)

5.3.1. Global Assestement Functioning Score (GAF Score)

GAF score memberikan suatu penilaian klinis dalam mode angka dengan tingkat fungsi keseluruhan individu. Gangguan dalam psikologis, sosial dan pekerjaan/sekolah fungsi diperhitungkan, tetapi yang berkaitan dengan keterbatasan fisik atau lingkungan yang tidak diperhitungkan. Skala berkisar dari 0 (informasi yang tidak memadai) sampai 100 (fungsi superior). Dalam masing-masing kategori tersebut akan ada berbagai skor hingga skor 10.

(38)

Seseorang dikatakan mengalami recovery bila memiliki GAF score ≥ 60 dalam kurun waktu 2 tahun. (Lieberman RP & Kopelowicz A. 2005; Wunderink L, Sytema S, Nienhuis FJ, et al. 2009)

5.3.2. WHO Disability Assessment Scale (WHODAS)

WHODAS merupakan sebuah instrumen yang digunakan untuk menilai kesehatan dan disabilitas penderita. Instrumen ini dapat digunakan pada gangguan jiwa berat dan gangguan akibat penyalahguaan zat. Instrumen ini dapat digunakan pada berbagai kultur dari populasi dewasa yang digunakan untuk mengukur tingkat disabilitas secara standart pada orang dewasa. Instrumen ini menilai 6 fungsi, yaitu fungsi kognitif, keinginan untuk bermobilisasi, fungsi perawatan diri, fungsi sosial, fungsi kehidupan sehari-hari dan adanya partisipasi penderita skizofrenia di dalam aktivitas komunitas. Skor penilaian berkisar antara 0 (tidak ada disabilitas) hingga 100 (disabilitas penuh) (Sadock BJ, Sadock VA & Ruiz P 2015).

5.3.3. Levenstein Klein-Pollack scale (LKP)

LKP adalah suatu instrumen yang terdiri dari 8 pertanyaan, untuk mengukur fungsi outcome, yang terdiri dari penyesuaian pekerjaan dan sosial, tingkat dari dukungan diri, hendaya dalam kehidupan, gejala, relaps, rehospitalisasi. Hasil yang didapatkan ada 3 tingkat, yaitu:

1. Outcome umum baik, remisi atau rekoveri (LKP skor 1 atau 2) : mengindikasikan fungsi yang adekuat/hampir adekuat pada semua area 2. Hendaya sedang (Skor LKP 3-6) : mengindikasikan ada kesulitan pada beberapa area, tetapi tidak pada semua area penyesuaian

3. Outcome buruk (Skor LKP 7-8) : mengindikasikan fungsi yang buruk pada hampir semua area, termasuk adanya gejala yang persisten dan fungsi psikososial yang buruk (Strauss GP, Harrow M, Grossman LS, et al.2010).

5.3.4. Social and Occupational Functioning Assestment Scale (SOFAS)

Kelebihan SOFAS bila dibandingkan dengan GAF Scale yaitu tidak memeriksa gejala klinis dalam mengukur fungsi. Bila penderita skizofrenia

Gambar

Tabel 1. Kriteria Remisi berdasarkan Konsensus dari Kelompok studi Skizofrenia
Tabel 2. Obat Antipsikotika yang Sering Digunakan  Obat antipsikotika  Rentang dosis

Referensi

Dokumen terkait

Berbeda dengan kondisi SPL rendah ketika IOD negatif, pada IOD positif SPL rendah karena massa air yang hilang tergeser oleh angin dan arus yang mengarah ke arah barat

Mood dan emosi juga berkaitan dengan nada dan intensitas, mood merefleksikan perubahan dalam harapan yang lebih umum dari afek positif maupun negatif pada masa yang

Model evaluasi CIRO dikembangkan oleh P. Ward, M. Bird, dan N. Rackman pada tahun 1970, evaluasi ini tujuan awalnya untuk mengevaluasi pendidikan dan latihan (Diklat), akan tetapi selanjutnya berkembang dan dapat digunakan untuk mengevaluasi berbagai program baik program bersifat umum maupun yang lebih spesifik atau khusus. Model CIRO (memiliki 4 tahap evaluasi seperti singkatannya Context (C), Input (I), Reaction (R) dan Outcome (O) Jika komponen CIRO disederhanakan maka (1) Konteks (C), merupakan awal pengumpulan informasi dan data, (2) Masukkan (I) yaitu ketersediaan sumber daya (SDM, sumber daya Lingkungan, dsb), (3) Reaksi (R) merupakan penggunaan informasi dan data reaksi peserta/pengguna untuk meningkatkan dan memperbaiki proses (bersifat subyektif, sifatnya positif atau negatif), (4) Outcame (O) lebih melihat dampak atau pengaruh dari informasi dan data program tersebut.

Defisit terjadi ketika pengeluaran suatu organisasi seperti pemerintah atau individu lebih banyak daripada pendapatannya. Ketika negara membelanjakan lebih banyak uang daripada pendapatan yang diperoleh dari pendapatan negara termasuk pajak dan sumber pendapatan lainnya, maka hal ini akan menciptakan defisit anggaran. Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak selalu menggambarkan kondisi perekonomian yang buruk. Sebaliknya, defisit dapat dipandang sebagai taktik yang bertujuan untuk mengelola keuangan negara guna mencapai tujuan tertentu. Tujuan dari kebijakan defisit anggaran pemerintah adalah untuk memberikan stimulus terhadap perekonomian dengan menentukan pengeluaran yang melebihi pendapatan negara. Secara umum, kebijakan ini diterapkan secara bijaksana selama ekonomi resesi. Defisit anggaran pemerintah pada awalnya dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi pada periode waktu yang sama, namun dapat memberikan dampak positif pada periode berikutnya.