• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat HIV:AIDS Pada Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Referat HIV:AIDS Pada Anak"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

REFERAT

Oktober, 2016

“HIV/AIDS Pada Anak”

Nama

: Cynthia Fidelia Montang

No. Stambuk

: N 111 16 062

Pembimbing

: dr. Kartin Akune, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA

PALU

2016

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah RNA retrovirus yang menyebabkan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), di mana terjadi kegagalan sistem imun progresif. Penyebab terbanyak adalah HIV-1. Virus ini ditransmisikan melalui hubungan seksual, darah, produk yang terkontaminasi darah dan transmisi dari ibu ke bayi baik intrapartum, perinatal, atau ASI. 10

Infeksi HIV pada anak merupakan masalah kesehatan yang sangat besar di dunia, dan berkembang dengan kecepatan yang sangat berbahaya. Pada 2006, ada kurang lebih 2,3 juta anak terinfeksi HIV di seluruh dunia. Jumlah ini diduga tetap akan meningkat dalam waktu dekat karena beberapa alasan. 1c

Saat ini, kurang dari 10% ibu hamil yang terinfeksi HIV di negara berkembang menerima profilaksis antiretroviral (ARV) untuk pencegahan penularan HIV dari ibu-ke-bayi (prevention of mother-to-child transmission) PMTCT. Serupa dengan orang dewasa, anak yang terinfeksi HIV menanggapi ART dengan baik. Tetapi, pengobatan semacam ini paling efektif apabila dimulai sebelum anak jatuh sakit (artinya, sebelum pengembangan penyakit lanjut). Tanpa ARV, pengembangan infeksi HIV sangat cepat pada bayi dan anak. Di rangkaian miskin sumber daya, kurang lebih 30% anak terinfeksi HIV yang tidak diobati meninggal sebelum ulang tahunnya yang pertama dan lebih dari 50% meninggal sebelum mereka mencapai usia dua tahun. Infeksi HIV pada anak yang tidak diobati juga mengakibatkan pertumbuhan yang tertunda dan keterbelakangan mental yang tidak dapat disembuhkan oleh ARV. Oleh karena itu penting untuk mendiagnosis bayi yang terpajan HIV sedini mungkin untuk mencegah kematian, penyakit dan penundaan pertumbuhan dan pengembangan mental. 1,3

(3)

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Virus ini menyerang organ-organ vital sistem kekebalan tubuh manusia, seperti sel T4 CD4+ makrofag, dan sel dendritik. HIV merusak sel T4 CD4+ secara langsung dan tidak langsung, sel T4 CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. AIDS (Aquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan tahap akhir dari infeksi HIV yang berupa kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus).1

Epidemiologi

Sejak ditemukannya kasus AIDS pertama di Indonesia pada tahun 1987, perkembangan jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di Indonesia datri tahun ke tahun secara kumulatif cenderung meningkat.5

Pada tahun 2006 Ditjen PP & PL Depkes RI mengadakan kegiatan estimasi populasi rawan tertular HIV dengan hasil sebagai berikut5 :

(4)

ODHA

1

Penyalahguna NAPZA suntik (IDU)

90.000

2

Non-IDU partner dari IDU

12.810

3

Wanita Penjaja Seks (WPS)

8.910

4

Pelanggan WPS

28.340

4

Pasangan pelanggan WPS

5.200

5

Laki-laki suka laki-laki

9.160

6

Waria

3.760

7

Pelanggan waria

2.230

8

Warga Binaan Pemasyarakatan

(WBP)

5.190

9

Umum

27.470

10

Total

193.070

Sumber : Departemen Kesehatan RI, 2006

Laporan Kasus HIV dan AIDS Kementerian Kesehatan RI tahun 2011 menunjukkan cara penularan tertinggi terjadi akibat hubungan seksual beresiko, diikuti penggunaan jarum suntik tidak steril; dengan jumlah pengidap AIDS terbanyak pada kategori pekerjaan ibu rumah tangga. Hal ini juga terlihat dari proporsi jumlah kasus HIV pada perempuan meningkat dari 34% (2008) menjadi 44% (2011), selain itu juga terdapat peningkatan HIV dan AIDS yang ditularkan dari ibu HIV positif ke bayinya. Jumlah kasus HIV pada anak 0-4 tahun meningkat dari 1,8% (2010) menjadi 2,6% (2011). Prevalensi kasus HIV/AIDS pada anak yang berusia antara 5-10 tahun sebanyak 26%. 2

Di Indonesia, infeksi HIV merupakan salah satu masalah kesehatan utama dan salah satu penyakit menular yang dapat mempengaruhi kematian ibu dan anak. Human Immunodeficiency Virus (HIV) telah ada di Indonesia sejak kasus pertama ditemukan yaitu pada tahun 1987. Lebih dari 90% kasus anak terinfeksi HIV, ditularkan melalui proses penularan dari ibu ke anak atau Mother To Child Hiv Transmission (MTCT). Virus HIV dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya selama kehamilan, saat persalinan dan saat menyusui. Penularan HIV dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayinya cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah perempuan HIV positif yang tertular baik dari pasangan maupun akibat perilaku yang berisiko.

(5)

Meskipun angka prevalensi dan penularan HIV dari ibu ke bayi masih terbatas, jumlah ibu hamil yang terinfeksi HIV cenderung meningkat. 2

Etiologi

Virus HIV termasuk kedalam famili Retrovirus sub famili Lentivirinae. Virus famili ini mempunyai enzim yang disebut reverse transcriptase. Enzim ini menyebabkan retrovirus mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA pejamu untuk membentuk virus DNA. Jadi setiap kali sel yang dimasuki retrovirus membelah diri, informasi genetik virus juga ikut diturunkan. 1

Virus HIV terdiri dari 2 sub-tipe, yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 bermutasi lebih cepat karena replikasi nya lebih cepat. Secara morfologi HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untai RNA, enzim reverse transcriptase dan beberapa jenis protein. Bagian selubung terdiri dari lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 berhubungan dengan reseptor Lymfosit (T4). Karena bagian luar virus merupakan lemak maka, virus ini sensitive terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari, alcohol, tetapi relatif resisten terhadap radiasi dan sinar ultraviolet. Virus HIV hidup didalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. 6

Gambar 1. Morfologi Virus HIV

Patogenesis

HIV masuk kedalam tubuh manusia. RNA virus berubah menjadi DNA intermediet/DNA pro virus dengan bantuan enzim transkriptase, dan kemudian

(6)

bergabung dengan DNA sel yang diserang. Virus HIV akan menyerang Limfosit T yang mempunyai marker permukaan seperti sel CD4+, yaitu sel yang membantu mengaktivasi sel B, killer cell, dan makrofag saat terdapat antigen target khusus. Sel CD4+ adalah reseptor pada limfosit T yang menjadi target utama HIV. HIV menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak langsung. HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T. Lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp120 dan anti gp41 berinteraksi dengan CD4+ yang akan menghambat aktivasi sel dan mempresentasikan\

Setelah HIV mengifeksi seseorang, kemudian terjadi sindrom retroviral akut semacam flu disertai viremia hebat dan akan hilang sendiri setelah 1-3 minggu. Serokonversi (perubahan antibodi negatif menjadi positif) terjadi 1-3 bulan setelah infeksi. Pada masa ini, tidak dijumpai tanda-tanda khusus, penderita HIV tampak sehat dan test HIV belum bisa mendeteksi keberadaan virus ini, tahap ini disebut juga periode jendela (window periode).Kemudian dimulailah infeksi HIV asimptomatik yaitu masa tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan CD4+ secara bertahap. Mula-mula penurunan jumlah CD4+ sekitar 30-60 sel/tahun, tetapi pada 2 tahun berikutnya penurunan menjadi cepat, 50-100 sel/tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata-rata masa dari infeksi HIV menjadi AIDS adalah 8-10 tahun, dimana jumlah CD4+ akan mencapai <200 sel/μL. Setelah masa tanpa gejala akan timbul gejala pendahuluan yang kemudian diikuti oleh infeksi oportunistik (IO). IO adalah infeksi yang mengikuti perjalanan penyakit HIV. Dengan adanya IO maka perjalanan penyakit HIV telah memasuki stadium AIDS.7

(7)

Gambar 2. Grafik hubungan antara jumlah HIV dan jumlah CD4+ 1

Keterangan gambar:

jumlah limfosit T CD4+ (sel/mm³) jumlah RNA HIV per mL plasma

Dalam tubuh ODHA (Orang Dengan HIV AIDS), partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi penderita AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap. 1

Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai menampakkan gejala akibat infeksi opurtunistik seperti penurunan berat badan, demam lama, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dan lain-lain. Virus HIV ini yang telah berhasil masuk kedalam tubuh seseorang, juga akan menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel microglia di otak, sel-sel hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjar limfa, sel-sel epitel pada usus, dan sel Langerhans di kulit. Efek dari infeksi pada sel mikroglia di otak adalah encefalopati dan pada sel epitel usus adalah diare kronis.8

1. Cara Penularan

Cara penularan HIV/AIDS yang diketahui adalah melalui 1,2 :

A. Transmisi Seksual

Penularan melalui hubungan seksual baik homoseksual maupun heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina. Risiko penularan tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Dalam beberapa penelitian menunjukkan risiko

(8)

serotype untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok berisiko tinggi terinfeksi HIV.

1) Homoseksual

Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual dengan risiko tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan mukosa rectum yang sangat tipis dan mudah sekali mengalami perlukaan pada saat berhubungan seksual secara anogenital. 2) Heteroseksual

Di Afrika dan Asia Tenggra cara penularan utama melalui hubungan heteroseksual dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.

B. Transmisi Non Seksual 1) Transmisi Parenteral

Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah terkontaminasi, seperti pengguna narkoba suntik yang menggunakan jarum suntik tercemar secara bersama-sama.

2) Produk Darah

Transmisi melalui transfusi darah karena kelalaian pemeriksaan pendonor sebelum transfusi mampu meningkatkan prevalensi kejadian HIV/AIDS

(9)

Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai risiko sebesar 50%. Penularan juga dapat terjadi melalui air susu ibu, namun tergolong dalam risiko rendah.

2. Diagnosis HIV/AIDS Pada Bayi dan Anak A. Gejala

1) Anak dengan tersangka infeksi HIV atau pasti mendapat infeksi HIV

 Gambaran klinis infeksi HIV pada anak sangat bervariasi. Beberapa anak dengan HIV-positif menunjukkan keluhan dan gejala terkait HIV yang berat pada tahun pertama kehidupannya. Anak dengan HIV-positif lainnya mungkin tetap tanpa gejala atau dengan gejala ringan selama lebih dari setahun dan bertahan hidup sampai beberapa tahun. Disebut Tersangka HIV apabila ditemukan gejala berikut, yang tidak lazim ditemukan pada anak dengan HIV Infeksi berulang: tiga atau lebih episode infeksi bakteri yang lebih berat (seperti pneumonia, meningitis, sepsis, selulitis) pada 12 bulan terakhir.

 Thrush: Eritema pseudomembran putih di langit-langit mulut, gusi dan mukosa pipi. Pasca masa neonatal, ditemukannya thrush tanpa pengobatan antibiotik, atau berlangsung lebih dari 30 hari walaupun telah diobati, atau kambuh, atau meluas melebihi bagian lidah, kemungkinan besar merupakan infeksi HIV. Juga khas apabila meluas sampai di bagian belakang kerongkongan yang menunjukkan kandidiasis esophagus

(10)

 Parotitis kronik: pembengkakan parotid uni atau bilateral selama ≥ 14 hari, dengan atau tanpa diikuti rasa nyeri atau demam. 4

Gejala yang menunjukkan kemungkinan infeksi HIV :

 Limfadenopati generalisata: terdapat pembesaran kelenjar getah bening pada dua atau lebih daerah ekstra inguinal tanpa penyebab jelas yang mendasarinya.

 Hepatomegali tanpa penyebab yang jelas: tanpa adanya infeksi virus yang bersamaan seperti sitomegalovirus.

 Demam yang menetap dan/atau berulang: demam (> 38° C) berlangsung ≥ 7 hari, atau terjadi lebih dari sekali dalam waktu 7 hari.

 Disfungsi neurologis: kerusakan neurologis yang progresif, mikrosefal, perkembangan terlambat, hipertonia atau bingung (confusion).

 Herpes zoster.

 Dermatitis HIV: Ruam yang eritematus dan papular. Ruam kulit yang khas meliputi infeksi jamur yang ekstensif pada kulit, kuku dan kulit kepala, dan molluscum contagiosum yang ekstensif.

 Penyakit paru supuratif yang kronik (chronic suppurative lung disease). 4

(11)

2) Gejala yang umum ditemukan pada anak dengan infeksi HIV, tetapi juga lazim ditemukan pada anak sakit yang bukan infeksi HIV adalah :

 Otitis media kronik: keluar cairan/nanah dari telinga dan berlangsung ≥14 hari

 Diare Persisten: berlangsung ≥ 14 hari

 Gizi kurang atau gizi buruk: berkurangnya berat badan atau menurunnya pertambahan berat badan secara perlahan tetapi pasti dibandingkan dengan pertumbuhan yang seharusnya, sebagaimana tercantum dalam KMS. Tersangka HIV terutama pada bayi berumur <6 bulan yang disusui dan gagal tumbuh. 4

3) Gejala atau kondisi yang sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV positif :

Diduga kuat infeksi HIV jika ditemukan hal berikut ini: pneumocystis pneumonia (PCP), kandidiasis esofagus, lymphoid interstitial pneumonia (LIP) atau sarkoma kaposi. Keadaan ini sangat spesifik untuk anak dengaan infeksi HIV. Fistula rekto-vaginal yang didapat pada anak perempuan juga sangat spesifik tetapi jarang. 4

B. Pola perjalanan infeksi HIV pada anak

1) Gejala klinis muncul pada umur < 2 tahun. Umumnya penularan terjadi in utero, dialami oleh 20 – 30% penderita (Rapid Progressor)

2) Gejala klinis muncul pada umur < 6 tahun. Umumnya penularan terjadi peripartum, dialami oleh 50 – 60% penderita (Typical progressor) 3) Gejala klinis baru dialami setelah berumur > 6 tahun. Bila masih

berumur < 13 tahun, penularan masih disebabkan oleh infeksi vertikal dari ibu kandung, tetapi > 13 tahun harus dipikirkan penyebab infeksi seperti pola orang dewasa. Dialami oleh 5 – 25% penderita (Slow progressor).11

(12)

C. Jumlah CD4 Pada Anak Menurut Kategori

D. Tes Diagnostik HIV/AIDS Pada Bayi dan Anak

1) Tes antibodi (Ab) HIV (ELISA atau rapid tests)

Uji antibodi HIV mendeteksi adanya antibodi HIV yang diproduksi sebagai bagian respons imun terhadap infeksi HIV. Pada anak usia >18 bulan, uji antibodi HIV dilakukan dengan cara yang sama seperti dewasa Uji antibodi HIV dilakukan usia >18 bulan karena antibodi maternal yang ditransfer secara pasif selama kehamilan, dapat terdeteksi sampai umur anak 18 bulan. 3,4

2) Tes virologis

Tes virologis untuk RNA atau DNA yang spesifik HIV merupakan metode yang paling dipercaya untuk memastikan diagnosis HIV pada

(13)

anak dengan usia < 18 bulan, dibutuhkan uji virologi HIV yang dapat memeriksa virus atau komponennya. Jika bayi muda masih mendapat ASI dan tes virologis RNA negatif, perlu diulang 6 minggu setelah anak benar-benar disapih untuk memastikan bahwa anak tidak terinfeksi HIV.3,4.

CD4+ adalah parameter terbaik untuk mengukur imunodefisiensi yang digunakan bersamaan dengan penilaian klinis. CD4+ dapat menjadi petunjuk dini progresivitas penyakit karena, nilai CD4+ menurun lebih dahulu dibandingkan kondisi klinis. Pemantauan CD4+ dapat digunakan untuk memulai pemberian ARV atau penggantian obat. Makin muda umur, makin tinggi nilai CD4+. Untuk anak <5 tahun digunakan persentase CD4+. Bila >5 tahun, persentase CD4+ dan nilai CD4+ absolut dapat digunakan. Ambang batas kadar CD4+ untuk imunodefisiensi berat pada anak > 1 tahun sesuai dengan risiko mortalitas dalam 12 bulan (5%).

Stadium Klinis WHO untuk bayi dan anak yang terinfeksi HIV 4 :

Stadium klinis 1

 Asimtomatik

 Limfadenopati generalisata persisten

Stadium klinis 2

 Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskana  Erupsi pruritik papular

(14)

Angular cheilitis

 Moluskum kontagiosum luas

 Ulserasi oral berulang

 Pembesaran kelenjar parotis persisten yang tidak dapat dijelaskan

 Eritema ginggival lineal

 Herpes zoster

 Infeksi saluran napas atas kronik atau berulang (otitis media, otorrhoea, sinusitis, tonsillitis )

 Infeksi kuku oleh fungus

Stadium klinis 3

 Malnutrisi sedang yang tidak dapat dijelaskan, tidak berespons secara adekuat terhadap terapi standara

 Diare persisten yang tidak dapat dijelaskan (14 hari atau lebih ) a  Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (lebih dari 37.5o C

intermiten atau konstan, > 1 bulan)

 Kandidosis oral persisten (di luar saat 6- 8 minggu pertama kehidupan)

Oral hairy leukoplakia

 Periodontitis/ginggivitis ulseratif nekrotikans akut

 TB kelenjar

 TB Paru

 Pneumonia bakterial yang berat dan berulang

(15)

 Penyakit paru-berhubungan dengan HIV yang kronik termasuk bronkiektasis

 Anemia yang tidak dapat dijelaskan (<8g/dl ), neutropenia (<500/mm3) atau trombositopenia (<50 000/ mm3)

Stadium klinis 4

 Malnutrisi, wasting dan stunting berat yang tidak dapat dijelaskan dan tidak berespons terhadap terapi standar

 Pneumonia pneumosistis

 Infeksi bakterial berat yang berulang (misalnya empiema, piomiositis, infeksi tulang dan sendi, meningitis, kecuali pneumonia)

 Infeksi herpes simplex kronik (orolabial atau kutaneus > 1 bulan atau viseralis di lokasi manapun)

 TB ekstrapulmonar

 Sarkoma Kaposi

 Kandidiasis esofagus (atau trakea, bronkus, atau paru)

 Toksoplasmosis susunan saraf pusat (di luar masa neonatus)

 Ensefalopati HIV

 Infeksi sitomegalovirus (CMV), retinitis atau infeksi CMV pada organ lain, dengan onset umur > 1bulan

 Kriptokokosis ekstrapulmonar termasuk meningitis

 Mikosis endemik diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)

 Kriptosporidiosis kronik (dengan diarea)

 Isosporiasis kronik

(16)

 Kardiomiopati atau nefropati yang dihubungkan dengan HIV yang simtomatik

 Limfoma sel B non-Hodgkin atau limfoma serebral

Progressive multifocal leukoencephalopathy

Tabel 1. Klasifikasi WHO Imunodefisiensi HIV Menggunakan CD4+. 4

Tabel 2. Klasifikasi Imunodefisiensi WHO Menggunakan TLC ( Total Lymphocyte Count)4

Hitung limfosit total (TLC) digunakan bila pemeriksaan CD4+ tidak tersedia untuk kriteria memulai ART (imunodefisiensi berat) pada anak dengan stadium 2. Hitung TLC tidak dapat digunakan untuk pemantauan terapi ARV. Perhitungan TLC = % limfosit x hitung total leukosit. 3

3. Tatalaksana

A. Pengobatan Antiretroviral (Antiretroviral therapy = ART)

Obat Antiretroviral (ARV) makin tersedia secara luas dan mengubah dengan cepat perawatan HIV/AIDS. Obat ARV tidak untuk menyembuhkan HIV, tetapi dapat menurunkan kesakitan dan kematian secara dramatis, serta memperbaiki kualitas hidup pada orang dewasa maupun anak. Kriteria memulai didasarkan pada kriteria klinis dan imunologis. Resistensi

(17)

terhadap obat tunggal atau ganda bisa cepat terjadi, sehingga rejimen obat tunggal merupakan kontraindikasi, Oleh karena itu minimal 3 obat merupakan baku minimum yang direkomendasikan. Obat ARV terdiri dari tiga golongan utama 4:

A. Nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitors (NRTI)

 Zidovudine (ZDV)

 Lamivudine (3TC)

 Stavudine (d4T)

 Didanosine (ddI)

 Abacavir (ABC)

B. Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI)

 Nevirapine (NVP)

 Efavirenz (EFV) C. Protease inhibitors (PI)

 Nelfinavir (NFV)

 Lopinavir/ritonavir (LPV/r)

 Saquinavir (SQV)

(18)

Pada anak umur 12–18 bulan dengan HIV (Ab) positif, dengan keluhan dan jika diduga kuat HIV berdasarkan klinis, bisa dimulai pemberian ARV. ARV pada anak yang asimptomatik tidak dianjurkan, karena meningkatkan terjadinya resistensi sejalan dengan waktu. Secara umum, anak lebih cepat memetabolis PI dan NNRTI dibandingkan dewasa, oleh sebab itu dibutuhkan dosis ekuivalen dewasa yang lebih besar untuk mencapai tingkat kecukupan obat. 4

Dosis obat harus ditingkatkan pada saat berat badan bertambah, jika tidak, akan terjadi risiko kekurangan dosis dan terjadi resistensi. Anak< 18 bulan dengan uji antihodi HIV positif dan berada dalam kondisi klinis yang berat dan tes PCR tidak tersedia hares segera mendapat terapi ARV setelah kondisi klinisnya stabil . Tes antihodi harus diulang pada usia 18 bulan. Anak < 18 bulan dengan uji PCR positif dan kondisi klinis yang berat atau tanpa gejala tetapi dengan persentase CD4+ <25°, harus mendapat ARV secepatnya. Anak > 18 bulan dengan hasil uji antibodi positif dan apakah sedang dalam kondisi klinis yang berat atau CD4 < 25° , sebaiknya juga mendapat ARV.4

Tabel 4. Kemungkinan rejimen pengobatan lini pertama untuk anak.4

(19)

Tabel 5. Definisi klinis dan CD4 untuk kegagalan ART pada anak (setelah pemberian ARV ≥ 6 bulan). 3

Obat perlu diganti dengan yang lain jika terdapat:

 Keadaan toksik, seperti : Sindrom Stevens Johnson, keracunan hati yang berat, perdarahan yang berat

 Interaksi obat (pengobatan tuberkulosis dengan rifampisin mengganggu NVP atau PI)

Rejimen pengobatan lini kedua adalah ABC ditambah ddI ditambah Protease inhibitor: LPV/r atau NFV atau SQV/r jika BB ≥ 25 kg. 4

B. Efek samping pengobatan antiretroviral dan pemantauan

Respons terhadap ARV dan efek samping pengobatan harus dipantau. Jika tersedia penghitung sel CD4, harus dilakukan setiap 3–6 bulan dan dapat mengetahui respons yang sukses terhadap pengobatan atau kegagalan, sehingga dapat memandu perubahan pengobatan. Jika hal tersebut tidak memungkinkan, parameter klinis, termasuk tahapan klinis harus digunakan. 4

Pemantauan respons setelah inisiasi ARV :

 Sesudah inisiasi ARV atau perubahan ARV. Lihat anak pada 2 dan 4 minggu setelah inisiasi/perubahan.

(20)

 Anak harus diperiksa jika terdapat masalah yang membuat pengasuh khawatir atau ada penyakit terjadi pada saat yang sama.

 Berat dan tinggi badan (setiap bulan)

 Perkembangan syaraf (setiap bulan)

 CD4 setiap 3–6 bulan

 Hb pada awal atau Ht (jika dengan ZDV/AZT) Tabel 6. Efek samping yang umum dari obat ARV. 4

(21)

C. Prevention of Mother To Children HIV Transmision

PMTCT adalah Penularan HIV dari ibu hamil ke bayi (Prevention of Mother to child HIV Transmission). Kecendrungan infeksi HIV pada perempuan dan anak meningkat oleh karenanya diperlukan berbagai upaya untuk mencegah infeksi HIV pada perempuan.11

Upaya Pencegahan Transmisi Penularan HIV dari Ibu ke Anak :

1. Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduksi 2. Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif

3. Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang dikandungnya

4. Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV positif beserta bayi dan keluarganya.11

Transmisi penularan HIV dari ibu ke anak terjadi secara vertical sehingga resiko penularanpun dapat terjadi sekitar 25-45% yang terbagi atas selama kehamilan 5-10%, pada masa persalinan 10-20% dan melalui ASI 10-15% angka penularan dari ASI menunjukan resiko yang cukup tinggi sehingga pada ibu yang tersangka HIV dapat dilakukan PMTCT dengan cara memilih pemberian nutrisi.11

Pemberian nutrisi pengganti pada ibu positif HIV jika syarat AFASS terpenuhi yang mana AFASS merupakan singkatan dari :

 Acceptable : Dapat diterima

 Feasible : Mudah dilakukan

 Affordable : Harga terjangkau

 Sustainable : Berkesinambungan

(22)

PMTCT juga dilakukan dengan memberikan ARV pada bayi baru lahir dengan ibu positif HIV. Tujuan pemberian ARV sebagai profilaksis yang mana ARV yang diberikan adalah Zidovudine 4mg/kgBB dua kali sehari dimulai dari hari satu sampai 6 minggu.11

(23)

Pencegahan dengan Kotrimoksazol terbukti sangat efektif pada bayi dan anak dengan infeksi HIV untuk menurunkan kematian yang disebabkan oleh pneumonia berat. PCP saat ini sangat jarang di negara yang memberikan pencegahan secara rutin. Indikasi pemberian kotrimoksazol :

 Semua anak yang terpapar HIV (anak yang lahir dari ibu dengan infeksi HIV) sejak umur 4-6 minggu (baik merupakan bagian maupun tidak dari program pencegahan transmisi ibu ke anak = prevention of mother-to-child transmission (PMTCT).

 Setiap anak yang diidentifikasi terinfeksi HIV dengan gejala klinis atau keluhan apapun yang mengarah pada HIV, tanpa memandang umur atau hitung CD4.4

Kotrimoksazol harus diberikan sampai :

 Anak yang terpapar HIV sampai infeksi HIV benar-benar dapat disingkirkan dan ibunya tidak lagi menyusui

 Anak yang terinfeksi HIV, bila ARV tidak tersedia

 Jika diberi ARV, kotrimoksazol hanya boleh dihentikan saat indikator klinis dan imunologis memastikan perbaikan sistem kekebalan selama 6 bulan.4

(24)

Dosis yang direkomendasikan 6–8 mg/kgBB Trimetoprim sekali dalam sehari. Bagi anak umur < 6 bulan, beri 1 tablet pediatrik (atau ¼ tablet dewasa, 20 mg Trimetoprim/100 mg sulfametoksazol). Bagi anak umur 6 bulan sampai 5 tahun beri 2 tablet pediatrik (atau ½ tablet dewasa) dan bagi anak umur 6-14 tahun, 1 tablet dewasa dan bila > 14 tahun digunakan 1 tablet dewasa. Jika anak alergi terhadap Kotrimoksazol, alternatif terbaik adalah memberi Dapson.4

E. Tatalaksana kondisi yang terkait dengan HIV

A. Tuberculosis

Apabila diagnosis TB ditegakkan, terapi TB harus dimulai lebih dahulu dan ARV diberikan 2-8 minggu setelah timbul toleransi terapi TB dan untuk menurunkan risiko IRIS (immune reconstitution inflammatory_syndrome). Pilihan ARV yang diberikan adalah AZT atau d4T + 3TC + ABC. Keuntungan dari regimen obat tersebut adalah tidak ada interaksi dengan rifampisin. Kerugiannya yaitu kombinasi ini memiliki potensi yang kurang dibandingkan 2 NR'I'I + EFV serta ABC lebih mahal dan tidak ada bentuk generik. 4

B.Pneumocystis pneumonia (PCP)

Buat diagnosis tersangka pneumonia pneumosistis pada anak dengan pneumonia berat atau sangat berat dan terdapat infiltrat interstisial bilateral pada foto toraks. Pertimbangkan kemungkinan pneumonia pneumosistis pada anak, yang diketahui atau tersangka HIV, yang tidak bereaksi terhadap pengobatan untuk pneumonia biasa. Pneumonia pneumosistis sering terjadi pada bayi dan sering menimbulkan hipoksia. Napas cepat merupakan gejala yang sering ditemukan, gangguan respiratorik tidak proporsional dengan tanda klinis, demam biasanya ringan. Umur umumnya 4–6 bulan. Segera beri Kotrimoksazol, trimetoprim (TMP) secara oral atau lebih baik secara iv dosis tinggi: 8 mg/kgBB/dosis, sulfametoksazol (SMZ) 40 mg/kgBB/dosis 3 kali sehari selama 3 minggu. Jika terjadi reaksi obat yang parah pada anak, ganti dengan pentamidin (4 mg/kgBB sekali sehari) melalui infus selama 3 minggu. 4

(25)

Gambar 3. Pneumocystis Pneumonia (PCP): tipikal ground glass appearance.4

C.Lymphoid interstitial pneumonitis (LIP)

Tersangka LIP: foto toraks menunjukkan pola interstisial retikulo-nodular bilateral, Anak seringkali tanpa gejala pada fase awal, tetapi selanjutnya terjadi batuk persisten, dengan atau tanpa kesulitan bernapas, pembengkakan parotis bilateral, limfadenopati persisten generalisata, hepatomegali dan tanda lain dari gagal jantung dan jari tabuh. Beri antibiotik Kotrimoksasol (4 mg/kg BB/kali) 2 kali sehari selama 5 hari atau Amoksisilin (25 mg/kg BB/kali) 2 kali sehari selama 5 hari. Mulai pengobatan dengan steroid, hanya jika ada temuan foto toraks yang menunjukkan lymphoid interstitial pneumonitis ditambah salah satu gejala berikut:

 Napas cepat atau sukar bernapas

 Sianosis

Pulse oxymetri menunjukkan saturasi oksigen < 90%.

Beri prednison oral, 1-2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu. Kemudian kurangi dosis selama 2-4 minggu bergantung respons terhadap pengobatan.4

Gambar 4 . Lymphocytic Interstitial Pneumonia (LIP) tipikal limfadenopati hilus dan infiltrat seperti renda 4

(26)

D. Infeksi jamur : Kandidiasis Oral dan Esofagus

Obati bercak putih di mulut (thrush) dengan larutan nistatin (100 000 unit/ml). Olesi 1–2 ml di dalam mulut sebanyak 4 kali sehari selama 7 hari. Jika tidak tersedia, olesi dengan larutan gentian violet 1%. Jika hal ini masih tidak efektif, beri gel mikonazol 2%, 5 ml 2 kali sehari, jika tersedia.

Tersangka (suspect) kandidiasis esofagus jika ditemukan kesulitan atau nyeri saat muntah atau menelan, tidak mau makan, saliva yang berlebihan atau menangis saat makan. Kondisi ini bisa terjadi dengan atau tanpa ditemukannya oral thrush. Jika tidak ditemukan thrush, beri pengobatan percobaan dengan flukonazol (3–6 mg/kgBB sekali sehari).4

E. Sarkoma Kaposi

Pertimbangkan sarkoma kaposi pada anak yang menunjukkan luka kulit yang nodular, limfadenopati yang difus dan lesi pada palatum dan konjungtiva dengan memar periorbital. Diagnosis biasanya secara klinis, tetapi dapat dipastikan dengan biopsi. Perlu juga diduga pada anak dengan diare persisten, berkurangnya berat badan, obstruksi usus, nyeri perut atau efusi pleura yang luas. Pertimbangkan merujuk untuk penanganan di rumah sakit yang lebih besar. 4

F. Meningitis Kriptokokus

Diduga kriptokokus sebagai penyebab jika terdapat gejala meningitis, seringkali subakut dengan sakit kepala kronik atau perubahan status mental. Diagnosis pasti melalui pewarnaan tinta India pada Cairan Serebro Spinal (CSS). Obati dengan amfoterisin 0.5–1.5 mg/kgBB/hari selama 14 hari, kemudian dengan flukonazol selama 8 minggu. 4

BAB III

KESIMPULAN

HIV ((Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Virus ini menyerang organ-organ vital sistem kekebalan tubuh manusia, seperti sel T4 CD4+ makrofag, dan sel dendritik. AIDS (Aquired

(27)

Immune Deficiency Syndrome) merupakan tahap akhir dari infeksi HIV yang berupa kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). Cara penularan HIV/AIDS yang diketahui adalah melalui transmisi seksual (homoseksual, heteroseksual) dan nonseksual (parenteral, produk darah serta transplasental).

Gejala atau kondisi yang sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV positif adalah ditemukannya pneumocystis pneumonia (PCP), kandidiasis esofagus, lymphoid interstitial pneumonia (LIP) atau sarkoma Kaposi. Fistula rekto-vaginal yang didapat pada anak perempuan juga sangat spesifik tetapi jarang. Tes diagnostic HIV/AIDS pada anak adalah tes antibodi (Ab) HIV (ELISA atau rapid tests) yang dilakukan pada anak dengan usia >18 bulan, sedangkan tes virologis untuk RNA atau DNA yang spesifik HIV dilakukan pada anak dengan usia < 18 bulan. Jika bayi muda masih mendapat ASI dan tes virologis RNA negatif, perlu diulang 6 minggu setelah anak benar-benar disapih untuk memastikan bahwa anak tidak terinfeksi HIV. CD4+ adalah parameter terbaik untuk mengukur imunodefisiensi yang digunakan bersamaan dengan penilaian klinis. CD4+ dapat menjadi petunjuk dini progresivitas penyakit.

Tatalaksana HIV/AIDS menggunakan ARV (Anti Retro Viral). Obat ARV tidak untuk menyembuhkan HIV, tetapi dapat menurunkan kesakitan dan kematian secara dramatis, serta memperbaiki kualitas hidup pada orang dewasa maupun anak. Kriteria memulai didasarkan pada kriteria klinis dan imunologis. Resistensi terhadap obat tunggal atau ganda bisa cepat terjadi, sehingga rejimen obat tunggal merupakan kontraindikasi, Oleh karena itu minimal 3 obat merupakan baku minimum yang direkomendasikan.

Pencegahan dilakukan dengan menggunakan kotrimoksazol. Dosis yang direkomendasikan 6-8 mg/kgBB Trimetoprim sekali dalam sehari.

Infeksi HIV pada anak yang tidak diobati juga mengakibatkan pertumbuhan yang tertunda dan keterbelakangan mental yang tidak dapat disembuhkan oleh ARV. Oleh karena itu penting untuk mendiagnosis bayi yang terpajan HIV sedini mungkin untuk mencegah kematian, penyakit dan penundaan pertumbuhan dan pengembangan mental.

(28)

DAFTAR PUSTAKA

1. Setiawan, M.Tatalaksana infeksi HIV/AIDS pada bayi dan anak. Majalah Kedokteran

2. Menkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.51 Tahun 2013 tentang Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke anak . 2013. 08-10 3. Departemen Kesehatan Repubik Indonesia. Pedoman Tatalaksana dan Anti Terapi

(29)

4. World Health Organization. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama Di Kabupaten/Kota. 2010. 224-245

5. IDAI. 2013. Pedoman Penerapan Terapi HIV Pada Anak. (cited: 2016, October 17)available from: http://www.idai.or.id/wp-content/uploads/2015/06/Pedoman-Penerapan-Terapi-HIV-pada-Anak.pdf 6. Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. Patofisiologi Edisi 6 Volume 1.

Jakarta.Penerbit EGC. 2009: hal 417-418

7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman tatalaksana infeksi HIV pada anak dan terapi antiretroviral di Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2006.

8. National Department of Health, South Africa, South African National AIDS Council. Clinical guidelines: PMTCT. South Africa: National Department of Health; 2010.

9. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL. et al. Sexually transmitted diseases: human immunodeficiency virus (HIV) infection. Dalam: Williams Obstetrics. Edisi ke-23. USA: The Mc Graw Hill Companies; 2010. 1246-53.

10. Yogev R, Chadwick EG. Acquired immunodeficiency syndrome (human immunodeficiency virus). Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. New York: Elsevier’s; 2007. 1022- 32.

Gambar

Gambar 1. Morfologi Virus HIV Patogenesis
Tabel 2. Klasifikasi Imunodefisiensi WHO Menggunakan TLC ( Total Lymphocyte Count) 4
Tabel 3. Dosis Obat ARV  4
Tabel 5. Definisi klinis dan CD4 untuk kegagalan ART  pada anak (setelah pemberian ARV ≥ 6 bulan)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui kejadian anemia pada pasien HIV/AIDS yang mendapat ARV dengan rejimen yang mengandung zidovudin dan apakah kadar CD4 psien

Untuk mengetahui apakah kadar CD4 pasien HIV/AIDS mempengaruhi terhadap kejadian Anemia pada pasien yang mendapat terapi ARV dengan rejimen yang mengandung zidovudin.

Kesimpulan --- Terdapat pengaruh pemberian rejimen ARV yang mengandung Zidovudine atau Tenofovir selama 6 bulan dibandingkan yang tidak mendapat ARV terhadap kadar

Berapapun jumlah CD4 atau apapun stad klinis WHO KO-INFEKSI HIV/TB Penyakit TB aktif, berapapun.

Ketidaktaatan kunjungan ke Poliklinik dan lama terapi ARV ≤6 bulan merupakan faktor prediktor yang berpengaruh terhadap kematian pada anak dengan infeksi HIV yang mendapat terapi

Untuk mengetahui pengaruh pemberian ARV yang mengandung tenofovir terhadap kejadian Mikroalbuminuria pada ODHA yang telah mendapat terapi ARV selama 6

Pada penelitian ini, rerata kadar CD4 Absolut pada kelompok ODHA yang mendapat terapi ARV yang tidak mengandung tenofovir adalah 44,88 sel/µL lebih tinggi daripada kelompok ODHA

Prevalensi protozoa usus bagi penderita yang tidak patuh terhadap terapi ARV adalah stadium klinis dengan gejala sedang dan berat adalah faktor risiko yang paling