• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skripsi S1. Monika Besti Yolanda a, Puji Sari b

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Skripsi S1. Monika Besti Yolanda a, Puji Sari b"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi S1

PENGARUH PEMAJANAN EXTREMELY LOW FREQUENCY -

ELECTROMAGNETIC FIELD TERHADAP JUMLAH DAN MORFOLOGI

FOLIKEL SEKUNDER MENCIT SERTA EFEK KUMULATIF

ANTAR-GENERASI

Monika Besti Yolandaa, Puji Sarib

aProgram Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, bDepartemen Biologi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Abstrak

Penggunaan alat-alat listrik saat ini tidak bisa dihindari, sehingga manusia terpajan dengan

Extremely Low Frequency – Electromagnetic Field (ELF-EMF). Pemajanan ini dapat

menyebabkan gangguan perkembangan folikel ovarium. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemajanan ELF-EMF terhadap jumlah dan morfologi folikel sekunder serta untuk melihat efek kumulatif pemajanan tiap generasi. Metode penelitian yaitu eksperimental terhadap mencit betina strain Swiss Webster. Digunakan 12 pasang mencit parental yang mendapatkan empat perlakuan pemajanan. Beberapa mencit dari tiap perlakuan akan dikawinkan untuk mendapatkan mencit generasi pertama, kedua dan ketiga. Mencit lainnya akan dietanasi untuk diambil ovariumnya dan dijadikan preparat. Jumlah preparat yang digunakan yang dianalisis adalah 60 sampel. Setiap sampel diamati untuk mendapatkan jumlah folikel sekunder normal dan folikel sekunder atresia. Uji hipotesis dilakukan uji

One-Way ANOVA dan Kruskal-Wallis. Pada analisis data didapatkan perbedaan yang bermakna

pada folikel atresia sekunder berbagai tegangan di generasi F2 (p=0,002) dan F3 (p=0,027), dan dilanjutkan ke analisis Post Hoc. Didapatkan perbedaan yang bermakna antar tegangan di generasi F2 dan F3. Sementara pada analisis data folikel sekunder dan folikel atresia sekunder antar generasi tidak terdapat perbedaan bermakna. Dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh pemajanan ELF-EMF berbagai tegangan terhadap morfologi folikel sekunder ovarium. Namun, tidak didapatkan efek kumulatif tiap generasi.

Kata kunci: ELF-EMF; folikel atresia sekunder; folikel sekunder; kuat medan magnet;

tegangan

Abstract

We can hardly avoid the use of electricity tools, so human are exposed to Extremely Low Frequency – Electromagnetic Field (ELF-EMF). This exposure can affect development of ovarian follicles. Aim of this study is to determine the effects of ELF-EMF exposure on number and morphology of secondary follicles, also to see the inter-generational cumulative effects. This study use experimental design and strain Swiss Webster female mice as the subject. There are 12 pairs of parental mice who received four treatments. Some mice from each treatment will be mated to obtain the first, second and third generation of mice. Other mice’s ovaries will be taken. There are 60 samples of ovaries preparation to be observed under microscope. Hypothesis testing is done by One-Way ANOVA test and Kruskal-Wallis. There is significant differences in the secondary atresia follicles at the various voltages in the

(2)

F2 (p = 0,002) and F3 (p = 0,027). The analysis than continue to Post-Hoc analysis. There are significant differences in voltage between F2 and F3 generations, while there are no significant differences in data analysis of secondary follicles and secondary atresia follicles between generations. The conclution is there are significant effects of ELF-EMF exposure to various voltages on secondary ovarian follicles morphology. However, there are no cumulative effects in each generation.

Keywords: ELF-EMF; magnetic field strength; secondary follicles; secondary atresia

follicles; voltage

PENDAHULUAN

Manusia hampir tidak bisa menghindari pemajanan medan elektromagnetik yang dihasilkan oleh setiap alat yang menggunakan listrik. Medan elektromagnet berasal dari kombinasi medan listrik dan medan magnet dan berbentuk gelombang, yang biasanya disebut sebagai gelombang elektromagnet atau radiasi elektromagnet. Dengan kondisi seperti itu maka lingkungan baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan tempat kita tinggal selalu terpapar oleh radiasi elektromagnet yaitu jenis Extremely Low Frequency yang dihasilkan oleh peralatan yang sering kita gunakan sehari-hari, seperti komputer, televisi, telepon genggam, peralatan industri, peralatan medis dan diagnostik, dan lain-lain. Efek medan elektromagnet terhadap kesehatan manusia bergantung pada frekuensi dan intensitas dari medan tersebut. Studi epidemiologis menunjukkan bahwa medan elektromagnet berbahaya bagi organ tubuh. Terdapat hubungan antara pemajanan medan elektromagnet

dengan terjadinya leukemia, kanker otak, kanker payudara serta gangguan reproduksi.1,2

Terdapat penelitian yang dilakukan pada rodensia dan kelinci yang

menyebutkan bahwa medan

elektromagnetik yang berasal dari peralatan listrik dapat menyebabkan arus listrik lemah yang bisa menginduksi dan berpengaruh terhadap tubuh makhluk hidup. Arus listrik yang dihasilkan ini berbeda dengan arus listrik yang secara alami dihasilkan oleh otak, saraf dan jantung.3 Pemajanan ELF-EMF pada manusia dalam jangka waktu lama dapat mempengaruhi fungsi biologis manusia, salah satunya sistem reproduksi. Pemajanan ini juga dapat menyebabkan gangguan fungsi dari sistem saraf otonom yang akan mempengaruhi aktivitas hipotalamus dan Corticotropin Releasing

Factor (CRH) yang berhubungan dengan

hipofisis anterior. Selain itu juga pemajanan ini dapat juga mempengaruhi kelenjar pineal dan kadar melatonin dalam

(3)

tubuh. Kadar melatonin yang rendah akan menyebabkan berkurangnya sekresi dari hormone gonadrotopin yaitu Folicle

Stimulating Hormone (FSH) dan

Luteinizing Hormone (LH). Seperti yang

telah diketahui bahwa FSH dan LH berperan penting dalam siklus reproduksi, perkembangan folikel ovarium dan membantu pembentukan hormon steroid ovarium.4,5,6

Penelitian yang dilakukan oleh Virginia Septiani secara spesifik menyebutkan bahwa pemajanan medan elektromagnet secara kontinu dengan tegangan 3 kV pada mencit betina Strain Swiss Webster mengakibatkan penurunan jumlah folikel sekunder dan tersier yang bermakna.7

Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin melakukan penelitian apakah terdapat pengaruh pemajanan ELF-EMF dengan tegangan 3 kV, 4 kV dan 5 kV terhadap perkembangan dan morfologi folikel sekunder pada ovarium mencit betina Strain Swiss Webster, terutama terkait dengan pengaruh pengaruh hormon reproduksi dan aksis hipotalamus-hipofisis-ovarium. Tegangan yang digunakan pada penelitian ini bervariasi, tujuannya adalah untuk melihat apakah terdapat efek yang signifikan jika tegangan medan elektromagnet yang diberikan semakin meningkat. Selain itu, peneliti juga ingin melihat apakah terdapat efek

kumulatif dari pemajanan medan elektromagnet ini pada tiap generasi mencit jika pajanan ELF-EMF diberikan secara terus-menerus.

Berdasarkan permasalahan di atas, maka peneliti melakukan penelitian terhadap mencit betina Strain Swiss Webster dengan memberikan pajangan tegangan 3 kV kuat medan magnet 5,5 µT , tegangan 4 kV kuat medan magnet 5,4 µT dan tegangan 5 kV kuat medan magnet 5,3 µT pada filial 1 (generasi F1), filial 2 (generasi F2) dan filial 3 (generasi F3) dan mencit yang tidak diberikan pajanan sebagai kontrolnya.

TINJAUAN TEORITIS 1. Folikulogenesis

Folikel ovarium adalah bagian yang sangat penting dan fundamental dari ovarium. Folikel ini mengandung oosit yang nantinya akan mengalami ovulasi, mengalami pembuahan dan membentuk embrio. Folikel ovarium juga menghasilkan steroid dan hormon protein yang dibutuhkan untuk mempertahankan siklus ovarium, karakteristik seks sekunder dan persiapan uterus untuk implantasi.8  

Pembentukan folikel dan folikulogenesis telah banyak diketahui prosesnya pada berbagai spesies mamalia. Akan tetapi, perkembangan folikel tersebut menjadi atresia atau mengalami ovulasi tidak sepenuhnya dimengerti.8

(4)

Folikulogenesis diawali dengan masuknya folikel yang belum tumbuh ke dalam fase pertumbuhan, sebuah proses yang dihasilkan dari keseimbangan antara faktor inhibisi dan aktivasi.8

Sebuah folikel ovarium terdiri atas sebuah oosit yang dikelilingi oleh satu atau lebih sel folikel atau sel granulosa. Folikel ini terbentuk selama kehidupan janin, yang disebut dengan folikel primordial, yang terdiri atas sebuah oosit primer yang dibungkus selapis sel folikel gepeng. Folikel ini terdapat di lapisan superfisial daerah korteks. Sel folikel membelah melalui mitosis dan membentuk selapis sel kuboid. Sel folikel terus berproliferasi dan membentuk epitel folikel berlapis, atau lapisan granulosa, dengan sel-sel yang saling berkomunikasi melalui taut rekah. Folikel ini kini disebut folikel primer preantrum.9  

Suatu lapisan amorf tebal, yaitu zona pelusida, yang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga glikoprotein, dihasilkan dan mengelilingi oosit. Oosit dan sel folikel diyakini ikut menghasilkan zona pelusida.9  

Sewaktu folikel tumbuh, terutama karena sel-sel granulosa bertambah besar dan bertambah banyak, folikel ini berpindah ke daerah korteks yang lebih dalam. Cairan (liquor folliculi) mulai mengumpul di antara sel-sel folikel. Celah-celah kecil yang mengandung cairan ini

menyatu, dan sel-sel granulosa mengatur diri membentuk rongga yang lebih besar, yaitu antrum. Folikel ini sekarang disebut folikel sekunder atau folikel antrum.9

Di setiap siklus menstruasi, biasanya hanya satu folikel yang tumbuh lebih besar dari folikel lain dan menjadi folikel yang dominan. Folikel lainnya mengalami atresia. Folikel dominan tersebut mencapai tahap perkembangan folikel optimal dan dapat mengalami ovulasi. Folikel ini, yaitu folikel matang atau pra-ovulasi atau folikel de Graaf, sangat besar sehingga dapat menonjol dari permukaan ovarium.9,10  

Akibat akumulasi cairan, rongga folikel bertambah besar dan oosit melekat pada dinding folikel melalui suatu pedikel (tangkai) yang dibentuk sel granulosa. Karena jumlah pembelahan sel-sel granulosa folikel tidak sebanding dengan pertumbuhan folikel, lapisan granulosa ini menjadi sangat tipis. Folikel matang memiliki lapisan teka yang sangat tebal.9,10

2. Peran Hormon dalam Folikulogenesis

Terdapat dua jenis hormon yang terlibat dalam siklus umpan balik hipotalamus-hipofisis-ovarium, yaitu hormon protein dan hormon steroid. Hormon steroid diproduksi di ovarium dengan cara berbagai tahap perubahan enzimatik terhadap kolesterol.10

(5)

Hipotalamus menyekresi hormon

Gonadotrophin Releasing Hormone

(GnRH) dan mengirimkannya ke hipofisis melalui aliran darah. GnRH adalah kunci pengatur dari maturasi seksual dan fungsi reproduksi pada mamalia. Setelah berada di hipofisis, GnRH akan menstimulasi sintesis dan pelepasan dari hormon-hormon gonadotropin yaitu Follicular

Stimulating Hormone (FSH) dan

Luteinizing Hormone (LH).

Hormon-hormon gonadotropin ini akan menjalankan fungsi gonadal, berupa membantu folikulogenesis, steroidogenesis dan apoptosis. Selain pada hipofisis, gen reseptor GnRH juga diekspresikan di ekstrapituitari yaitu pada sel granulosa ovarium mencit dan manusia.10,11

Fungsi dari FSH sendiri adalah memegang peranan penting dalam perkembangan folikel antral, menginduksi mitosis sel granulosa, mengaktivasi aktivitas enzim aromatase, menginduksi pembentukan reseptor LH, dan bersama dengan LH akan menstimulasi pertumbuhan folikel preovulatori (de Graaf).11,12

3. Folikel Atresia

Kebanyakan folikel ovarium mengalami atresia, yaitu sel-sel folikel dan oositnya mati dan dihancurkan oleh sel-sel fagositik. Folikel pada berbagai tahap perkembangan (primordial, primer,

preantrum dan sekunder) dapat mengalami atresia. Proses ini ditandai dengan terhentinya mitosis dalam sel-sel granulosa, pelepasan sel-sel granulosa dari lamina basal dan kematian oosit.9

4. Medan Elektromagnet

Medan elektromagnet dapat dideskripsikan sebagai seri dari gelombang yang berosilasi pada frekuensi tertentu dan memiliki jarak yang pasti antara satu gelombang dengan gelombang berikutnya yang disebut dengan panjang gelombang.13

Medan magnet dan medan listrik sangat berkaitan satu sama lain karena ketika listrik mengalir pada medan listrik, maka akan dihasilkan juga medan magnet. Bersama-sama keduanya akan membentuk medan elektromagnet.13

Pajanan Extremely Low

Frequency-Electromagnetic Fields (ELF-EMF)

berpengaruh terhadap perubahan sistem endokrin reproduksi. Telah banyak studi yang mempelajari hubungan antara pemajanan ELF-EMF terhadap fungsi kelenjar hipofisis. Walaupun masih dalam perdebatan, akan tetapi pemajanan ELF-EMF dipercaya bisa mempengaruhi aktivitas sekresi kelenjar hipofisis pada beberapa spesies hewan. Pada beberapa percobaan tikus yang dipajankan oleh ELF-EMF selama enam minggu, hipofisis dan melatonin yang bersirkulasi berkurang kadarnya. ELF-EMF secara langsung

(6)

mempengaruhi kelenjar hipofisis dan menurukan efek biologis dari melatonin. Melatonin sendiri berperan dalam meregulasi Luteinizing Hormone Releasing

Hormone (LHRH) di hipotalamus, yang

mana nantinya akan mempengaruhi gonadotropin FSH dan LH. Hal ini selanjutnya dapat mengubah produksi dari hormon seks steroid, dan berakibat pada perubahan siklus reproduksi.4

Reproduksi dipengaruhi oleh sistem saraf dan sistem endokrin. Pada mencit betina, perubahan neuroendokrin dipercaya sebagai penyebab utama hilangnya kesuburan selain penuaan. Pada mencit betina yang dipajan ELF-EMF selama enam minggu, siklus estrusnya menjadi memanjang. Siklus estrus yang memanjang bisa menyebabkan penurunan total ovulasi selama periode suburnya dalam kehidupan.4

Pada kultur folikel tikus, pemajanan 33 Hz ELF-EMF selama lima hari mengakibatkan defek pada pertumbuhan folikel. Secara in vitro, bisa terlihat pada pemajanan ELF-EMF terjadi penghambatan pertumbuhan antrum folikel.4

Pada penelitian lain juga disebutkan bahwa pemajanan EMF menyebabkan perubahan degeneratif dari folikel ovarium. Oosit terlihat mengkerut dan zona pelusida menjadi lebih tipis pada yang terpajan EMF jika dibandingkan

dengan kelompok kontrol. Perubahan ini mungkin disebabkan oleh adanya inisiasi apoptosis pada sel folikel sebagai hasil dari apoptosis oosit. Apoptosis terjadi pada folikel yang mempunyai antrum.1

METODE PENELITIAN

Penelitian ini memakai metode eksperimental di laboratorium yang bertujuan untuk melihat pengaruh pemajanan gelombang elektromagnetik terhadap jumlah dan morfologi folikel sekunder secara in vivo. Pemajanan gelombang elektromagnetik tersebut diberikan secara bergantian dalam beberapa tegangan dan kuat medan magnet, yaitu kontrol, tegangan 3 kV dengan kuat medan magnet 5,5 µT, tegangan 4 kV dengan kuat medan magnet 5,4 µT dan tegangan 5 kV dengan kuat medan magnet 5,3 µT. Pemajanan diberikan dengan membiarkan terjadi perkawinan antar parental mencit agar menghasilkan turunan. Perkawinan mencit tersebut dilakukan hingga menghasilkan turunan tiga generasi yaitu (F1, F2 dan F3). Selanjutnya dilakukan proses pembedahan mencit yang diambil secara acak dari tiap generasi (secara acak stratifikasi).

Pemeliharaan mencit dan pemajanan medan elektromagnetik, pembedahan dan pengambilan sampel, proses pembuatan preparat dan

(7)

pengamatan terhadap morfologi dan jumlah folikel dilakukan di Departemen Biologi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan selama sepuluh bulan yaitu mulai dari bulan Januari 2012 s.d. November 2013.

Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah mencit betina strain Swiss Webster. Sampel penelitian ini berasal dari subjek yang telah memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi, lalu dipilih berdasarkan metode acak stratifikasi, yaitu mencit diambil dari masing-masing generasi (F1, F2 dan F3).

Besar sampel didapatkan dengan menggunakan rumus Federer, sehingga didapatkan jumlah sampel sebesar minimal 3 untuk masing-masing tegangan dan filial. Agar mendapatkan hasil yang lebih homogen, maka dari tiap tegangan dan filial akan diamati sebanyak 5 sampel preparat.

Cara kerja penelitian ini adalah: 1. Memperoleh mencit yang digunakan

untuk dikawinkan. Mencit yang digunakan adalah sepasang mencit jantan dan betina strain Swiss Webster 2. Memperoleh mencit generasi F1, F2

dan F3 dari hasil perkawinan mencit parental

3. Memberikan pemajanan medan elektromagnetik sebesar 3kV/5,5 µT, 4 kV/5,4 µT dan 5 kV/5,3 µT kepada

mencit yang berada di dalam kandang. Sebelumnya dilakukan terlebih dahulu pengukuran medan magnet yang akan diberikan kepada mencit dengan alat Gaussmeter.

4. Mengetanasi mencit. Beberapa mencit yang tidak dikawinkan, akan diambil dan dietanasi untuk diambil ovariumnya. Ovarium tersebut akan dijadikan sampel preparat.

5. Pembuatan parafin, tujuannya yaitu memfiksasi organ ovarium sebelum dijadikan preparat.

6. Pemotongan dan pewarnaan sediaan 7. Melakukan pengamatan preparat

ovarium yang telah dibuat.

Setelah didapatkan data jumlah folikel sekunder normal dan folikel sekunder atresia, maka selanjutnya data tersebut akan diolah dan dianalisis dengan

software SPSS version 20 for Windows.

Data jumlah folikel sekunder dan morfologi merupakan data numerik, dan diuji normalitas dan distribusinya dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Sedangkan untuk menguji hipotesis data penelitian ini digunakan uji statistic

one-way ANOVA jika distribusi data di

kelompok tersebut normal. Sedangkan jika distribusi data di kelompok tersebut tidak normal meskipun telah dilakukan transformasi, maka uji yang digunakan adalah uji Kruskal-Wallis. Apabila hasilnya menunjukkan adanya perbedaan

(8)

yang bermakna, maka uji akan dilanjutkan dengan uji Post Hoc.

HASIL

Setelah dilakukan pengamatan di bawah mikroskop, maka didapatkan jumlah folikel sekunder normal dan folikel atresia.

Gambar 1. Folikel Sekunder

Gambar 2. Folikel Atresia Sekunder Analisis data dilakukan dengan program software SPSS ver 20 for

windows. Jumlah sampel yang digunakan

sebanyak 60. Karena data berjumlah > 50, maka data diuji dengan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov. Hasil uji normalitas data folikel sekunder normal dan folikel atresia sekunder menunjukkan hampir semua data terdistribusi normal. Namun ada data yang baru terdistribusi normal setelah dilakukan transformasi, yaitu pada

folikel sekunder kelompok tegangan 3 kV generasi F2. Ada pula data yang tetap terdistribusi bukan normal walaupun telah dilakukan transformasi, yaitu pada folikel sekunder kelompok tegangan 4 kV generasi F1 dan tegangan 5 kV generasi F2 serta folikel atresia sekunder kelompok tegangan 3 kV generasi F3.

Penelitian ini akan membandingkan jumlah folikel sekunder dan folikel atresia antara kontrol, pajanan 3 kV, pajanan 4 kV, dan pajanan 5 kV pada generasi 1 (F1); kontrol, pajanan 3 kV, pajanan 4 kV, dan pajanan 5 kV pada generasi 2 (F2); serta kontrol, pajanan 3 kV, pajanan 4 kV, dan pajanan 5 kV pada generasi 3 (F3).

Analisis data menggunakan uji

one-way ANOVA jika distribusi data di

kelompok tersebut normal. Untuk kelompok yang distribusi datanya tidak normal meskipun telah ditransformasi akan menggunakan uji Kruskal-Wallis.

Dari hasil pengolahan data, maka didapatkan perbedaan yang bermakna pada folikel atresia sekunder antara kontrol, pajanan 3 kV, pajanan 4 kV, dan pajanan 5 kV pada generasi 2 (F2) dimana p = 0,002; dan antara kontrol, pajanan 3 kV, pajanan 4 kV, dan pajanan 5 kV pada generasi 3 (F3) dimana p = 0,027.

Oleh karena itu, untuk menentukan pada kelompok manakah terdapat perbedaan yang bermakna itu ada, selanjutnya dilakukan analisis Post-Hoc

(9)

dengan menggunakan analisis LSD jika menggunakan uji one-way ANOVA dan analisis Mann-Whitney jika menggunakan uji Kruskal-Wallis.

Dari hasil analisis Post-Hoc LSD folikel sekunder atresia kelompok kontrol, 3 kV, 4 kV dan 5 kV pada generasi F2 menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (p < 0,05) pada perlakuan kontrol vs 3 kV (p = 0,019), kontrol vs 4 kV (p = 0,011), 3 kV vs 5 kV (p = 0,001) dan 4 kV vs 5 kV (p = 0,001).

Dari hasil analisis Post-Hoc Mann-Whitney folikel sekunder atresia kelompok kontrol, 3 kV, 4 kV dan 5 kV pada generasi F3 menunjukkan adanya perbedaan bermakna (p < 0,05) pada perlakukan 3 kV vs 5 kV (p = 0,019) dan 4 kV vs 5 kV (p = 0,011).

Rerata/median jumlah folikel sekunder normal dan folikel atresia sekunder antara kontrol, pajanan 3 kV, pajanan 4 kV, dan pajanan 5 kV pada generasi 1 (F1), generasi 2 (F2), dan generasi 3 (F3) disajikan dalam Gambar 3 dan Gambar 4.

Gambar 3. Diagram Median Jumlah Folikel Sekunder Normal Antara Kontrol,

Pajanan 3 Kv, Pajanan 4 Kv, dan Pajanan 5 Kv pada Generasi 1 (F1), Generasi 2 (F2),

dan Generasi 3 (F3)

Gambar 4. Diagram Median Jumlah Folikel Atresia Sekunder Antara Kontrol, Pajanan 3 kV, Pajanan 4 kV, dan Pajanan 5

kV Pada Generasi 1 (F1), Generasi 2 (F2), dan Generasi 3 (F3)

Selain membandingkan jumlah folikel sekunder dan folikel atresia sekunder antara kontrol, pajanan 3 kV, pajanan 4 kV, dan pajanan 5 kV pada tiap generasi, penelitian ini juga akan membandingkan jumlah folikel sekunder dan atresia antar generasi. Hal ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat efek kumulatif pemajanan dari generasi ke generasi.

Hasil analisis data jumlah folikel sekunder dan folikel atresia sekunder pada generasi satu, dua, dan tiga untuk kelompok 3 kV, 4 kV dan 5 kV menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna.

Rerata/median jumlah folikel sekunder normal dan folikel atresia sekunder antara generasi 1 (F1), generasi 2 (F2), dan generasi 3 (F3) pada kelompok

0   1   2   3   4   F1   F2   F3   Kontrol   3  kV   4  kV   5  kV   0   0.5   1   1.5   2   2.5   F1   F2   F3   Kontrol   3  kV   4  kV   5  kV  

(10)

pajanan tertentu disajikan dalam gambar 5 dan 6.

Gambar 5. Diagram Median Jumlah Folikel Sekunder Normal Antara Generasi

1 (F1), Generasi 2 (F2), dan Generasi 3 (F3) pada Kelompok Pajanan Tertentu

Gambar 6. Diagram Median Jumlah Folikel Atresia Sekunder Antara Generasi

1 (F1), Generasi 2 (F2), dan Generasi 3 (F3) pada Kelompok Pajanan Tertentu

PEMBAHASAN

Dari hasil analisis data maka didapatkan kecenderungan folikel sekunder normal untuk menurun, berdasarkan grafik 3.

Hal di atas sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Gul A, dkk yang memajankan tikus dengan telepon genggam selama 11 jam 45 menit, namun selama berapa hari tidak disebutkan dalam penelitian tersebut. Kemudian dilakukan penghitungan jumlah folikel, dan didapatkan bahwa jumlah folikel ovarium

tikus jumlahnya 30% lebih sedikit dibandingkan jumlah folikel ovarium tikus yang tidak dipajan.14

Selain itu pada penelitian Gye MC, dkk menyebutkan bahwa pemajanan ELF-EMF pada tikus sebesar 50 Hz selama 6 minggu, akan mempengaruhi aktivitas kelenjar hipofisis dan menurunkan kadar melatonin. Dengan adanya gangguan pada kelenjar hipofisis maka akan menurunkan pula produksi hormon gonadotropin, yaitu FSH dan LH. Kadar melatonin yang rendah juga menyebabkan tidak adanya regulasi dalam pembentukan FSH dan LH. Karena kadar FSH dan LH yang rendah, berakibat pada aktivitas ovarium. Akan terjadi penghambatan pertumbuhan folikel preantral (sekunder) menjadi folikel antral (tersier, de Graaf). Kadar LH yang rendah juga menyebabkan tidak terstimulasinya ovarium untuk menghasilkan estradiol. Estradiol sendiri bermanfaat untuk mencegah sel folikel menjadi atresia. Dengan adanya kadar estradiol yang rendah, folikel menjadi terganggu pertumbuhannya dan mudah menjadi atresia.4

Selain itu, penelitian dari Sandra Cecconi, juga telah menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah folikel ovarium dengan pemajanan medan elektromagnet 33 Hz. Penurunan jumlah folikel disebabkan oleh adanya penurunan produksi estradiol dan sintesis DNA pada

0   1   2   3   4   Kontrol   3  kV   4  kV   5  kV   F1   F2   F3   0   0.5   1   1.5   2   2.5   Kontrol   3  kV   4  kV   5  kV   F1   F2   F3  

(11)

sel granulosa sehingga menyebabkan terjadinya kegagalan reproduktif disebabkan oleh kegagalan terjadinya maturasi folikel.5,15

Pada hasil analisis data folikel atresia sekunder, maka didapatkan bahwa pada berbagai tegangan, terdapat kecenderungan jumlah folikel atresia sekunder untuk meningkat, sesuai dengan gambar 4.

Hal ini dapat dijelaskan dari penelitian Leila Roushangar, dkk yang juga melakukan pemajanan EMF terhadap folikel ovarium dan mendapati bahwa sel folikel tersebut mengalami atresia. Ia menjelaskan bahwa proses folikel ini menjadi atresia disebabkan oleh proses apoptosis. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa pemajanan EMF ini akan meningkatkan proses degeneratif folikel. Nukleus oosit akan mengalami pengerutan dan akan kehilangan bentuk normalnya. Selain itu, oosit juga akan memiliki mikrovili yang lebih sedikit dan sitoplasmanya akan banyak mengandung lamella padat. Zona pelusida akan terlihat lebih sempit, dan sel granulosa menunjukkan adanya kondensasi kromatin dan memiliki badan apoptotik dan vakuola autofagi. Semua ciri-ciri di atas menunjukkan ciri-ciri folikel atresia dan sudah mencirikan proses apoptosis pada folikel. Walaupun proses yang menyebabkan terjadinya kerusakan folikel

atresia belum diketahui, namun sampai saat ini masih disebutkan bahwa kerusakan DNA yang disebabkan oleh adanya radikal bebas yang produksinya dimediasi oleh pajanan EMF merupakan penyebab dari atresia folikel ini. Radikal bebas mempunyai faktor penginduksi apoptosis.2

Selain itu juga atresia yang terjadi pada folikel mungkin berkaitan dengan seperti penelitian yang dilakuan Gye MC, dkk yang menunjukkan bahwa efek pemajanan ELF-EMF pada ovarium menyebabkan estradiol berkurang produksinya. Estradiol yang jumlahnya sedikit tidak bisa membantu mencegah terjadinya atresia pada folikel, sehingga folikel lebih mudah untuk menjadi atresia dan apoptosis.4

Hasil analisis data jumlah folikel sekunder dan folikel atresia sekunder pada generasi satu, dua, dan tiga untuk kelompok 3 kV, 4 kV dan 5 kV menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna. Hal yang sama terjadi jika dibandingkan dengan gambar 5 dan 6 memang tidak ditemukan adanya perbedaan yang bermakna. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat efek kumulatif pemajanan medan elektromagnetik terhadap jumlah dan morfologi folikel sekunder. Hal ini sesuai dengan pernyataan dalam penelitian yang juga dilakukan oleh Gye MC, dkk bahwa hal-hal yang berpengaruh pada

(12)

perkembangan folikel ovarium lebih disebabkan oleh efek termal yang dihasilkan oleh EMF dan hanya mempengaruhi secara hormonal. Perubahan hormonal ini tidak memberikan efek kumulatif terhadap keturunan berikutnya.4

Yvan Touitou, dkk melakukan penelitian untuk melihat efek pemajanan ELF-EMF terhadap produksi melatonin. Melatonin merupakan neurohormon yang diproduksi oleh kelenjar hipofisis yang selain berfungsi dalam mengatur irama sirkadian, juga memiliki fungsi dalam pengaturan reproduksi. Melatonin berfungsi dalam pengaturan sekresi LH dan menentukan kapan terjadinya lonjakan LH melalui pengaturan sekresi hormon LHRH (Luteinizing Hormone Releasing

Hormone). Akibat pemajanan ELF-EMF

akan menyebabkan terjadinya penurunan sekresi dari melatonin dan berkurangnya kadar melatonin dalam darah. Efek jangka panjang dari penurunan melatonin ini adalah penurunan kadar estradiol dan menyebabkan gangguan pada perkembangan folikel ovarium dan terbentuknya folikel atresia semakin cepat. Efek pemajanan ELF-EMF ini diteliti tidak memiliki efek kumulatif terhadap penurunan melatonin.16,17

KESIMPULAN

Pemajanan ELF-EMF tegangan 3 kV, 4 kV dan 5 kV pada mencit strain Swiss Webster mempengaruhi jumlah dan morfologi folikel sekunder ditandai dengan adanya peningkatan jumlah folikel atresia sekunder. Namun, untuk jumlah folikel sekunder normal tidak mengalami penurunan.

Selain itu, pemajanan ELF-EMF tegangan 3 kV, 4 kV dan 5 kV pada mencit strain Swiss Webster dari generasi F1, F2 dan F3 tidak terbukti adanya efek kumulatif yaitu tidak ditandai dengan semakin menurunnya jumlah folikel sekunder dan semakin meningkatnya folikel atresia sekunder dari generasi F1 hingga generasi F3.

SARAN

Perlu dilakukan penelitian terkait dengan penelitian yang telah dilakukan ini, seperti penelitian untuk melihat pengaruh pemajanan ELF-EMF terhadap kadar melatonin di dalam tubuh, pengaruh pemajanan ELF-EMF terhadap kadar hormon gonadotropin di dalam tubuh dan apakah pemajanan ELF-EMF juga menghasilkan efek yang sama pada folikel ovarium manusia, melalui penelitian menggunakan hewan coba dengan tingkatan yang lebih tinggi, misalnya non human primata.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

1. Roushangar L, Rad JS. Environmental electromagnectic field and female fertility. Iran: Tabriz University of Medical Sciences. 2012; h: 57 – 86. 2. Roushangar L, Rad JS. Ultrastructural

alterations and occurrence of apoptosis in developing follicles exposed to low frequency electromagnetic field in rat ovary. Pakistan Journal of Biological Sciences. 2007. 10 (24). h: 4413 – 4419.

3. The Consumer and Clinical Radiation Protection Bureau. Electric and magnetic fields at extremely low frequencies. J Health Canada. 2010; h: 1–2.

4. Gye MC, Park CJ. Effect of electromagnetic field exposure on the reproductive system. Clin Exp Reprod Med. 2012; 39 (1). h: 1 – 9.

5. Cecconi S, Gualtieri G, Bartolomeo AD, Troiani G, Cifone MG, Canipari R. Evaluation of the effects of extremely low frequency electromagnetic fields on mammalian follicle development. Human Reproduction. 2000. 15 (11). h: 2319 – 2325.

6. Drummond AE, Findlay JK. The role of estrogen in folliculogenesis. Mol.

Cell Endocrinol. 1999: 151. h: 57 –

64.

7. Septiani V. Pengaruh pemajanan medan elektromagnet extremely low

frequency secara kontinu terhadap

jumlah folikel ovarium mencit (Mus

musculus L) strain swiss-webster.

Jakarta: FKUI. 2009.

8. Findlay JK, Kerr JB, Britt K, Liew SH, Simpson ER, Rosairo D, dkk. Ovarian physiology: follicle development, oocyte and hormone relationships. Anim Reprod. 6: (1). 2009; h: 16 – 19.

9. Junqueira LC, Carneiro J. Basic histology text and atlas. Ed 11. USA: McGrwa-Hill’s. 2005.

10. Capellen WA. Ovarian follicle dynamics in the rat: regulation and flexibility. Belanda: Universitas Rotterdam. 1993; h: 9 – 17.

11. Singh P, Krishna A. Effects of GnRH agonist treatment on steroidogenesis and folliculogenesis in the ovary of cyclic mice. A Journal of Ovarium Research. 2010: 2. h: 1 – 13.

12. Allan CM, Jimenez YW, Marshan B, Spaliviero J. Follicle-stimulating hormone increases primordial follicle reserve in mature female hypogonadal mice. Journal of endocrinology. 2006; 188. h: 549 – 557.

13. Patermann C. Health and electromagnetic fields. European Commision Community Research. 2012; h: 1 – 4.

(14)

14. Gul A, Celebi H, Ugras S. The effect of microwave emitted by cellular phones on ovarian follicles in rats. Arch Gynecol Obstet. 2009; 280: 729 – 733.

15. Vahid HJ, Khatereh D, Esmael F, Maryam N, Mohammad F. The effects of mobile phone waves on the reproductive physiology in adult female rats. Advances in Environmental Biology. 2012; 6(10): 2735 – 2741.

16. Touitou Y, Selmaoui B. The effects of extremely low frequency magnetic fields on melatonin and cortisol, two marker rhythms of the circadian system. Dialogues Clin Neurosci. 2012; 14(4): 381 – 389.

17. Dullo P, Chaudary R. Short review of reproductive physiology of melatonin. Pak J Physiol. 2009; 5(2): 46 – 48.

Gambar

Gambar 1. Folikel Sekunder
Gambar 3. Diagram Median Jumlah  Folikel Sekunder Normal Antara Kontrol,
Gambar 5. Diagram Median Jumlah  Folikel Sekunder Normal Antara Generasi

Referensi

Dokumen terkait

Laporan Fen Wu, memperakukan untuk mengekalkan serta pembaikan Laporan Fen Wu, memperakukan untuk mengekalkan serta pembaikan Sekolah Cina telah memburukkan lagi pertikaian yang

Surat Ijin dari Pimpinan/Kepala Dinas/Instansi bagi anggota TNI/POLRI/PNS yang melakukan kegiatan usaha perdagangan8. Surat Rekomendasi dari

Tingkat kesulitan teknis menjadi faktor penghambat dalam pelaksanaan implementasi kebijakan perlindungan anak berhadapan dengan hukum di lapas kabupaten Klaten

modul ICT firmware memungkinkan komputer host untuk mengeluarkan perintah untuk akuisisi data, proses monitoring dan kontrol, dan sistem fungsi ( keamanan, waktu

Sekalipun memiliki sejumlah keterbatasan tertentu, orang dengan disabilitas tetap memiliki insting hidup, termasuk di dalamnya sexual instinct, tidak terkecuali pada orang dengan

Diketahuinya potensi suatu karakter dalam koleksi plasma nutfah dapat mempermudah pemulia dalam menentukan tetua dalam rangka perakitan klon unggul baru yang sesuai

Hasil analisis keputusan petani tebu dalam pengambilan KKP-E di Desa Bakalan Kecamatan Bululawang Kabupaten Malang menunjukkan bahwa luas lahan garapan petani tebu