• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HASIL PENELITIAN. yang sama. Dalam membahas Sejarah Gorontalo Utara, berdasarkan data yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III HASIL PENELITIAN. yang sama. Dalam membahas Sejarah Gorontalo Utara, berdasarkan data yang"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

HASIL PENELITIAN

3.1 Sejarah Gorontalo utara

Salah satu ciri dari kajian sejarah adalah adanya periodesasi masa sebagai manifestasi dari bentuk kajian yang memanjang dalam waktu. Pembagian periodesasi ini diantaranya dapat dilihat pada kesamaan cirri peristiwa yang terjadi dalam masa yang sama. Dalam membahas Sejarah Gorontalo Utara, berdasarkan data yang diperoleh, peneliti membagi 2 periodesasi masa yakni Periode Kerajaan dan Periode Kolonial.

3.1.1 Periode Kerajaan

Letak geografis Gorontalo bagian utara (Kabupaten Gorontalo Utara sekarang) terletak dibagian utara pulau Sulawesi-antara Bolang Mongondow, Buol dan kerajaan dikawasan teluk tomini. Peristiwa-peristiwa masa lalu Gorontalo hanya dapat dipetakan dengan pertama-tama memahami cirri-ciri sosio-kulturalnya dan pengaruhnya dengan wilayah teritorial lain di Sulawesi dan sekitarnya, serta bagaimana hal itu mempengaruhi dinamika budaya dan politik di wilayahnya. Salah satu ciri mendasar dari wilayah ini adalah peranan Limo lo Pohalaa (Persekutuan Lima Kerajaan) yang terdiri dari Gorontalo (Hulondalo) Limboto (Limoeto) Bone – Suwawa-Bintauna, Bulango selanjutkan digantikan oleh Boalemo (Baolemo) dan

(2)

terakhir Atinggola (Andagile). G.W.W.C baron van howel (dalam Hasanudin dan Basri)

Dari penjelasan diatas, bahwa sebelum masuknya kolonial di wilayah Gorontalo bahwa sudah terdapat kerajaan--kerajaan kecil yang sudah membentuk satu pemerintahan tersendiri salah satunya adalah persekutuan lima kerajaan “Limo Lo Pohalaa”.

Kerajaan-kerajaan tertua yang pernah berkuasa dikawasan Gorontalo bagian utara tersebut telah menampilkan berbagai hubungan yang saling mempengaruhi satu sama lain dalam berbagai aspek kehidupan kerajaan pada masa itu. Namun dalam hal ini peneliti akan membahas mengenai wilayah kerajaan yang berada diwilayah Gorontalo bagian utara (Kab. Gorontalo Utara sekarang) yang tergabung dalam Lima Lo Pohalaa sala satunya adalah Pohalaa Atinggola dan kerajaan-kerajaan kecil lainya yang pemerintahanya berada di wilayah kerajaan Limboto dan Gorontalo.

Berdasarkan sumber Lokal di wilayah timur Kabupaten Gorontalo Utara, dikisahkan bahwa kerajaan Atinggola dipimpin oleh Raja Gobel Blongkod yang memerintah pada tahun 1712, ibu kota kerajaanya berada di wilayah perbukitan Desa Buata yang berada di hulu Sungai Andagile. Andagile merupakan sungai yang dulunya dikenal dengan nama Iningolre (dalam Bahasa Atinggola ) yang artinya di minta. wilayah kekuasanya berada diwilayah Kerajaan Kaidipang sebagian (Desa Kayogu, Tontulow berada di seberang sungai Andagile) sedangkan di wilayah bagian

(3)

utara yaitu desa Gentuma Ilomata (Kecamatan Gentuma Raya sekarang) dan Desa di sekitar Kecamatan Atinggola seperti Monggupo, Bintana dan Pinontoyonga. Sedangkan wilayah (desa kotajin , Imana dan Oluhuta) merupakan wilayah dari kerajaan kaidipang yang dipimpin oleh Raja Korompot yang pusat pemerintahanya berada di Boroko, ini disampaikan oleh Bapak Ahmad Pulumoduyo.

Berdasarkan data yang di peroleh, peneliti mendapatkan salah satu catatan dari para pendahulu keturunan keluarga Blongkod-Pulumoduyo mengenai silsilah keluarga dari Raja Atinggola yang ditulis pada tahun 1929 (Pulumoduyo 2004,30-31). Raja Blongkod dengan istri pertama Boki Bambing kemudian menurunkan seorang putri bernama Manu. Putri manu kemudian menikah dengan seorang laki-laki Putra mahkota yang bernama Hatibae, Manu dan Hatibae dianugrahi seorang anak laki-laki bernama Gobel. Gobel kemudian mempersunting Gadis turunan Mayor Bintang Berdarah Suku Minahasa bernama Olinggina, yang masuk dan menganut agama Islam sebelum Menikah dengan sang Pangeran Gobl Blongkod. Hasil pernikahan Olinggina ini melahirkan 3 (Tiga) orang Putri dan seorang Putra masing- masing anak tertua Jubalo Blongkod, di ikuti oleh adiknya Juboki Blongkod, Juporou Blongkod dan Alimudi Blongkod. Di wilayah ini tepatnya di Desa Monggupo dan Kotajin terdapat beberapa makam keluarga Raja Blongkod yaitu Jubalo Blongkod putri dari Pangeran Gobl Blongkod, yang semasa hidup beliau di kenal oleh masyarakat setempat sebagai orang yang sakti, dan seorang pangeran Kerajaan Atinggola yang Bernama Frans Mopangka Gobel Blongkod makam tersebut berada

(4)

di Desa Kotajin sedangkan makam dari Raja Blongkod berada di Desa Donggala kecamatan Tapa Kabupaten Bonebolango, didialam sistem kerajaan ini juga terdapat seorang jogugu yang bernama Pulumoduyo (Jogugu Saboto”) yang bertugas sebagai perantara dari masyarakat ke pemerintah kerajaan dan sebaliknya, juga terdapat seorang ketua adat bate dan pengatur adat wuu.

Kata Atinggola sebelum resmi dipakai sebagai nama negri, memang melalui proses yang dibahas lewat “Jakalra”( Perkumpulan yang dihadiri oleh petua-petua negri) sebagaimana rapat atau pertemuan maka “Jakalra” menghasilkan suatu keputusan yang digali dari pokok-pokok adat dan nilai-nilai agama. Keluruhan adat dan agungnya agama yang dijunjung tinggi oleh masyarakat kerajaan atinggola itu sendiri kemudian melahirkan pegangan (Dasar) kehidupan yang tertuju pada kebesaran maha pencipta Allah S.W.T. Itulah pegangan yang dalam bahasa resmi disebut “Otinogolra” yang sekarang kita kenal Atinggola dalam artian (Otinongolra) yaitu punya Pegangan. Punya pegangan yaitu masyarakat Otinogolra (Atinggola) meiliki pengangan seperti Bahasa, Adat Istiadat,dan Budaya Tersendiri sebagai landasan hidup dan bermasyarakat yang berlandaskan Al-Quran. (lihat Pulumoduyo hal.29-31).

Selain itu bapak Ahmad pulumoduyo menuturkan, bahwa wilayah kerajaan atinggola sebelumnya berada di pingiran sungai Andagile. namun terjadi perselisihan antara pangeran kerajaan atinggola yang bernama Frans Mopangka Gobel Blongkod dengan pasukan dari kerajaan kaidipang dimana pangeran ini melewati wilayah dari

(5)

kerajaan kaidipang kemudian dihalangi oleh pasukan dari kerajaan tersebut, mendengar kabar tersebut kemudian raja Gobel Blongkod memberi pesan kepada kerajaan kaidipang dengan tujai yang artinya “Bahwa Raja dari Kerajaan Atinggola ini sedang haus Kelapa Muda yang Warnah Merah”. Pasukan dari Kerajaan kaidipang mengartikan bahwa Raja Atinggola ingin Membunuh orang, kemudian pasukan kerajaan kaidipang melaporkan kepada rajanya dan terjadi pertukaran wilayah. Dimana wilayah dari kerajaan kaidipang yang berada di seberang sungai andagile (Desa Kotajin Oluhuta dan Imana sekarang) diserahkan kepada kerajaan Atinggola sebagai gantinya Wilayah dari Kerajaan Atinggola yang berada di seberang Sungai Andagile (Desa Kayuogu, dan Tontulow) diserahkan kepada Kerajaan Kaidipang, hal ini untuk mengantisipasi supaya dikemudian hari tidak terjadi perselisihan yang akan menimbulkan konflik, hal ini dikarenakan karena, menurut sumber lokal bahwa Raja dari Kerajaan Atinggola ini suka menentang dan keras kepala, dalam penulisan sejarah Atinggola peneliti mendapat kesulitan mengenai rentang waktu kapan peristiwa terjadi terjadi

Sedangkan Dibagian Barat dari wilayah ini (,Sumalata dan Tolinggula) berdasarkan sumber lokal, bahwa wilayah tersebut merupakan kekuasaan dari Kerajaan Limboto yang dipimpin oleh raja amai, Yang tergabung dalam persekutuan lima kerajaan yang ada di Gorontalo. Hal ini dapat dilihat dari kondisi sosial masayarakat seperti adat istiadat serta budaya dari masyarakat setempat dan dari segi bahasa, secara umum menggunakan bahasa Gorontalo. Karena wilayah ini merupakan

(6)

wilayah dari kerajaan Limutu (limboto). (Wawancara dengan Bpk. Kasmir Boki 5 juli 2013)

Sebuah sumber mengatakan bahwa dalam proses terjadinya janjia u duwluwo (perdamaian antara pohala’a hulontalo dan pohala,a limutu) pada tahun 1673 yang dipelopori oleh Hohuhu (Jogugu) Bumulo dan Khatibi Da’a Eyato dari Hulontalo serta Hohuhu Popa dan Wuleya Lo Lipu Pomalo dari Limutu, di sebutkan bahwa ketika Putri Ntobango dan Putri Tili’aya kembali ke Limutu yang dikawal oleh armada laut Kerajaan Gowa dengan maksud untuk menguasai Hulontalo melalui Limutu. Ketika Armada Laut Kerajaan Gowa yang membawa 2 putri tersebut sampai di Tolinggula, bertemulah mereka dengan para penjemput dari Kerajaan Limutu. Diantaranya para penjemput tersebut ikut pula Hohuhu (Patih atau Perdana Mentri) Popa dan Wuleya Lo Lipu Pomalo. Kemudian Rombongan ini singgah di sebuah Pulau di Sumalata yang bernama Lito Hutokalo. Di Pulau Hutokalo ini, Hohuhu Popa dan Wuleya Lo Lipu Pomalo berusaha membujuk para Pemimimpin Kerajaan Gowa agar tidak menyerbu Kerajaan Hulontalo (Sumber: Janjia U Duluwo; www.hungguli.hulondhalo.com).

Sumber lain mengatakan bahwa Rombongan Putri Ntobango dan Tili‟aya terpaksa singgah di Lito Hutokalo ketika akan menuju Limutu karena ditengah laut dihadang badai kencang (Barubu), dan akhirnya sangat terpaksa rombongan tersebut harus merubah rute perjalanan mereka dengan memutar langsung menuju pelabuhan Hulontalo.

(7)

Dari kisah di atas, diperkirakan bahwa pada tahun 1600-an wilayah Tumolata (sumalata) sudah dihuni oleh beberapa keluarga (ngala’a), mengingat wilayah Tumolata pada waktu itu adalah sebuah tempat dari Pohala‟a Limutu dengan keadaan geografisnya sangat baik untuk bercocok tanam. Apalagi, diketahui pula bahwa Tumolata menjadi tujuan bagi orang-orang, baik yang berasal dari Hulontalo dan Limutu maupun wilayah kerajaan sekitarnya untuk mencari nafkah sebagai penambang emas. Karena pada waktu itu, Tumolata adalah salah satu wilayah penambangan emas di Pohala'a Limutu. Sehingga, ketika orang-orang dari Sumalata yang datang ke Limutu atau Hulontalo sering disebut “taa lontho lemba lo Tumolata” (orang dari kampung Sumalata).

Pada awalnya, Tumalata (sumalata) merupakan lokasi perkebunan milik masyarakat setempat. Suatu saat, ketika mulai melakukan penanaman jagung (milu) di sekitar lokasi Dusun Pasolo Desa Buladu sekarang, mereka menemukan beberapa batu kecil berwarna kuning yang ternyata adalah emas murni tersebar di lokasi kebun mereka. Sehingga tersebarlah berita diseluruh wilayah Gorontalo tentang penemuan biji-biji emas di Tumolata, yang menyebabkan banyaknya para pendatang dari Limutu dan wilayah untuk sekedar menjadi penambang emas (Sumber : Reistogten in de afdeeling Gorontalo, Gedaan op last der Nederlandsch Indische regering; hal 84-98; Carl Benjamin Hermann Rosenberg (Baron von); F. Muller, 1865 dalam arsip Sejarah Kec. Sumalata)

(8)

Sebuah tulisan tentang Pembentukan Gorontalo yang dikisahkan kembali oleh mantan Kepala Desa Wubudu yakni Akuba Imran (Ti Boungo) yang pernah menjadi Juru Tulis di tahun 1950 dari Kepala Kampung Deme II bernama T. A. Poneta (….. s/d 1958) mengatakan bahwa, Hohuhu Popa sempat membentuk beberapa Tim yang bertugas mensurvey seluruh wilayah Limutu. Untuk mengetahui secara pasti wilayah Sumalata maka Hohuhu Popa menugaskan Tim II yang beranggotakan 5 (lima) personil yang dikenal dengan Palima, Panggoba, Talenga, Wombuwa dan Pangulu.

Dalam melaksanakan tugas, Tim II pertama-tama menemui wilayah Deme yang selanjutnya meneruskan perjalanan sampai di Tolinggula dalam artinya „Ilotunggula‟. Dari seluruh wilayah yang telah disurvey, ternyata hampir keseluruhan digenangi oleh air (rata-rata rawa) sehingga demikian dari 5 (lima) anggota tim sepakat memberikan nama dari Deme sampai dengan Tolinggula adalah “Tumolata”, artinya rata-rata digenangi air.

Dikisahkan pula dalam perjalanan tersebut, ketika Tim II memasuki wilayah Tumolata, mereka berjalan kaki menyusuri pinggiran pantai (deme-deme mota), sampai disebuah dataran yang memanjang (u bula-bulade mota), kemudian berjalan melingkari wilayah perbukitan (lo libudu) dan menemui sebuah pantai yang dihalangi air pasang (Bubu-bubulo Taluhu Bonggi-liyo), dan seterusnya sampai ke tempat tujuan (ilotunggula).

(9)

Menurut penyampaian Bapak Akuba Imran, Raja lo Limutu akhirnya mengangkat pemimpin di wilayah Tumolata yang disebut pada masa itu dengan “Wala'o Pulu”. Dan Wala‟o Pulu yang pertama adalah Wala’o Pulu Hepu, kemudian diganti oleh Wala’o Pulu Toana dan selanjutnya terakhir Wala’o Pulu Amara, sebelum akhirnya diganti oleh Hulopango Puti yang mempunyai gelar (gara'i) „Ta Lo Kabulu‟ sebagai Marsaole pertama di Sumalata pada tahun 1889 ketika sistem pemerintahan di wilayah Gorontalo dirubah oleh Kolonial Belanda, yang dikenal dengan sistem „Rechehereeks Bestuur‟. Kapan tahun diangkatnya Wala‟o Pulu Hepu sebagai kepala wilayah di Tumolata tidak diketahui secara pasti.

Sumalata disaat pemerintahan Wala’o Pulu masih merupakan satu wilayah utuh dari Deme I sampai Tolinggula. Nanti setelah tahun 1889, ketika Sumalata menjadi sebuah Onder Distirik yang dikepalai oleh seorang Marsaole, barulah wilayah Sumalata dibagi menjadi 8 (delapan) desa „kambungu‟ yakni Deme I, Deme II, Buladu, Wubudu, Bulontio, Buloila, Biawu dan Tolinggula. Setelah masa penjajahan Jepang masuk di Sumalata, maka Tolinggula dipecah menjadi dua yakni Tolinggula Ulu dan Tolinggula Pantai. Sedang Bulontio di awal tahun 1950-an dimekarkan menjadi dua bagian, Bulontio Barat dan Bulontio Timur.

Adapun Marsaole Hulopango Puti menjabat tidak sampai 1 (satu) tahun, karena wafat ketika melaksanakan ibadah haji ke tanah suci Mekkah dan diberi Gara’i dengan sebutan „Ta Lo Kabulu‟ (yang dikabulkan doanya), mengingat niat dari beliau untuk wafat ketika menjalankan ibadah haji dan dikuburkan di tanah suci Mekkah.

(10)

Setelah Hulopango Puti wafat, ditahun itu juga Marsaole Sumalata diganti dengan Bulonggodu Dangkua yang kemudian diberi gelar adat (Pulanga) Ti Tobuto atau Ti Sobuto.(dalam arsip sejarah kec. Sumalata)

3.1.2 Periode Kolonial

Setelah menurunya kekuasaan kerajaan Gowa dan Ternate akibat penandatangan kontrak atau perjanjian dengan VOC, khusunya melalui perjanjian Bungaya 18 November 1667. Penetapan kontrak Gowa dan ternate pada intinya menguntunkan pihak VOC. Runtuhnya kekuasaan Ternate dan Gowa telah menyebapkan seluruh hak kekuasaanya terlepasa dan dibawah pengauh VOC. Dengan demikian akibat perjanjian bunggaya menyebapkan Gorontalo dan Limboto ( termasuk kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Gorontalo) termasuk dalam pengawasan VOC. Kedatangan VOC melalui Gubernur Maluku Robertus Padtrbruge pada tahun 1677 dikawasan Nusa Utara Sulawesi negri-negri di bawah pengaruh Gowa dan Ternate berusaha menguasai wilayah tersebut sebagai bagian dari penaklukanya atas gowa dan ternate. Dalam memperkuat legitimilasinya, VOC aktif melakukan ekspansi melalui kontrak atau perjanjian dengan kerajaan-kerajaan di belawah nusa utara Sulawesi dan berhasil menempatkan kekuasaanya di Gorontalo pada tahun 1677 (dalam Hasanudin dan Basri A 2012)

Dalam periode ini, situasi politik wilayah kerajaan-kerajaan Gorontalo mendapat pengaruh yang besar dari pihak kolonial hindia-belanda, hal ini terjadi

(11)

karena dikeluarkan surat keputusan tanggal 17 November 1863 kepada Gubernur Jenderal di Batavia tentang perlunya diadakan pemerintah langsung, penghapusan raja serta melepaskan seluruh perjanjian yang telah dilaksanakan oleh raja-raja di wilayah Lima lo Pohalaa. Dengan melihat pemilhan Raja berdasarkan warisan atau turun temurun, kemudian digantiakan dengan sistem demokrasi melalaui musyawarah, sehingga berdampak pada keputusan dan perjanjian yang disepakati oleh Raja terdahulu batal kecuali penganti raja tersebut berasal dari keturunanya. Perjanjian tersebut mengubah sistem politik di wilayah kerajaan Gorontalo yang tergabung dalam Lima Lo Pohalaa, di mana di terapkanya sistim pemerintahan langsung oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda diganti dengan kepala distrik. maka seluruh pemerintahan kerajaan di jalankan oleh para kepala distrik (Marsaoleh). kedudukan marsaoleh dianggap sangat penting karena memgang peranan yang legkap. ia mempunyai kedudukan sebagai penguasa teratas di dstrikna, juga sekaligus sebagai perantara antara penguasa kolonial Belanda dan rakyat. B.J Haga (dalam Hasanudin dan Basri 2012:103).

Sepanjang massa kolonial Hindia-Belanda diwilayah Gorontalo bagian utara terjadi kesewenangan (sistem kerja paksa) yang dilakukan oleh para tentara belanda dengan mempekerjakan rakyat pribumi secara paksa sehingga menimbulkan perlawan-perlawan oleh rakyat setempat. Dalam sejarah Gorontalo (dalam sejarah Gorontalo massa Kolonial, oleh Hasanudin dan Basri.A) tercatat bahwa ada beberapa perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Gorontalo terhadap kesewenangan dari

(12)

pemerintah kolonial belanda diantaranya pelawanan panipi yang dipimpin oleh Bobihoe dan perlawanan Tamuu dan Olabu.

Hal senada pula di sampaikan oleh bapak Kasmir Boki bahwa konflik ini terjadi akibat kesewenangan pemerintah kolonial belanda yang mempekerjakan rakyat pribumi sebagai tenaga penambang emas. konflik ini dipicu oleh adanya penyiksaan seorang pekerja (orang-orang cina dan rakyat setempat) yang dilakukan oleh pegawai dari pemerintah konial belanda yang dibawah pimpinan langsung herman cristian knaper, yang diutus oleh perusahaan tambang emas Noor-Celebes Mijnbou yang merupakan pemegang ijin penambangan yang berada di sumalata. pemberontakan ini kemudian mendapat perhatian khusus dari pemerintah Kolonial Belanda setelah Olabu dan Tamuu melakukan penyerangan dan melakukan pembunuhan terhadap pegawai belanda di Sumalata, mendengar berita tersebut pihak kolonial Belanda mengutus pasukan militernya dan menangkap Olabu dan Tamuu, perlawan ini terjadi pada akhir abad ke-19.

Masuknya Jepang (1942-1945) di Gorontalo (Lihat J.Apriyanto 2012, hal 87:88) secara umum dan khusunya wilayah Gorontalo Utara mengubah sistim sosial politik di kalangan masyarakat. seperti halnya pemerintahan kolonial hindia-belanda Afdeling Gorontalo terdiri atas Lima Distrik, yaitu Distrik Suwawa, Distrik Limboto, Distrik Kwandang, dan Distrik Boalemo yang masing-masing dikepalai oleh seorang Jogugu, maka pada masa pemerintahan Jepang istilah distrik dirubah menjadi gun yang masing-masing gun dipimpin oleh seorang gunco, sedangkan pada tingkat

(13)

oderdistrik yang semula dipimpin oleh seorang marsaoleh selanjutnya oleh jepang, istilah onderdistrik ini pun dirubah menjadi son yang setiap son dijabat oleh seorang sonco. di tingkat struktur pemerintah yang paling bawah seperi desa atau kelurahan, jepang juga merubahnya denan istilah ku dan masing-masing ku diangkat seoran kuco.

Dengan diadakanya perubah struktur pemerintahan di wilayah Gorontalo, hal itu menunjukan bahwa Jepang secara langsung telah mengadakan intervensi terhadap urusan-urusan intern kerumahtanggan pemerintahan walaupun berkuasa hanya berapa tahun. sebelumnya kedatangan pasukan Jepang ke wilayah Gorontalo, disambut baik oleh para tokoh-nasionalis terutama para elit lokal seperti Nani Wartabone serta tokoh -tokoh lainya dan bersedia melakukan kerja sama dengan pihak pemerintahan Jepang. Ternyata dalam perkembangan sikap kooperatif ini telah dijadikan peluang bagi Jepang untuk meujudkan hegemoninya diwilayah Gorontalo khusunya di bagian utara (Gorontalo Utara). Dari sini berbgai fenomena baru bermunculan, baik dibidang Pemerintahan ,Ekonomi, Sosial dan Politik di Gorontalo utara khusunya.

Dengan masuknya Jepang di Gorontalo utara membawa pengaruh dalam kegiatan masyarakat khusnya dalam bidang perekonomian di kecamatan sumalata yang merupakan salah satu pusat perekonomian dan perdagangan di wilayah ini yang menyebabpkan menurnya harga komoditi kopra yang kemudian berdampak pada kebangkrutan di kalangan pengusaha lokal dan beberapa daerah lain yang berada di sekitarnya.

(14)

Hal ini disebakan karena peraturan pemerintah jepang dalam mengelolah dan mengatur hasil pangan dalam pengawasan yang sangat ketat. seperti distribusi bahan makanan dari kampung ke kapumng harus mendapat ijin dari tentara Jepang. Setelah dibacakanya pengumuman pada tanggal 30 agustus 1942, salah satu isi pengumuman tersebut bahwa, pemerintahan Gorontalo akan dijalankan oleh pemerintahan militer Jepang, wekanriken di bawah pimpinan kinoshita. (Lihat J.Apriyanto 2012 hal 90).

Sebelum kedatangan VOC diwilayah ini ( Kab. Gorontalo Utara) pada tahun 1667, sudah terdapat Bangsa Barat yang melakukan ekspansi ke dunia timur khususnya wilayah Gorontalo bagian utara, yaitu Bangsa Portugis, hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa peninggalan bangsa portugis seperti terdapatnya beberapa benteng pernyataan tersebut disampaikan oleh bapak Frits Ano. . Berdasarkan sumber lokal, bahwa terdapatnya beberapa benteng peninggalan portugis yang berpungsi mempertahankan wilayahnya dari penduduk pribumi dan bangsa asing. Dari penduduk pribumi sendiri yaitu untuk mengawasi para penduduk yang berada di kawasan kerajaan limboto khusunya dan Gorontalo. Sedangkan dari Bangsa Asing seperti pasukan kolonial Belanda dan pasukan Mangindano dan Philipin yang berlayar melintasi laut Sulawesi. Benteng-benteng tersebut antara lain benteng Orange “Lalunga” dan benteng Maas.

Dari penjelasan diatas ada beberapa hal yang menurut peneliti merupakan peristiwa penting khusunya pada periode kolonial pertama, dilihat dari letak geografis wilayah ini merupakan jalur pelayaran dan perdagangan dari bagsa-bangsa

(15)

asing yang menuju laut cina seperti bangsa philiphin,suku manginano dan bebrapa kerajaan di nusantara yaitu kerajaan gowa.kedua, tersedianya sumber daya alam yang kaya wilayah ini merupakan salah satu pusat perekonomian di wilayah Gorontalo, ketiga, tersedianya sumber daya alam di gorontalo khusunya di wilayah bagian utara seperti terdapatnya beberapa perkebunan dan pertambangan emas menyebabkan datangnya bangsa asing seperti hindia-belanda untuk mengeksploitasi sumber daya alam (SDM) yang kemudian menyebabkan terjadinya perlawan oleh pepnduduk setempat akibat kesewenangan pemerintahan kolonial seperti yang dilakukan oleh tamu dan olabu terhadap pegawai kolonial Hindia-Belanda yang menyebapkan terbunuhnya salah satu pemimpin di tambang emas sumalat Herman Cristian Cnapert (Lihat Hasanudin dan Basri A.Hlm 172-174)

3.1.3 Perjuangan Pembantukan Kabupaten

a. Awal Perjuangan Pembentukan Kabupaten

Perjuangan pembentukan Kabupaten Gorontalo Utara dimulai pada Tanggal 15 hingga 17 desember 1996. di mulai dengan mengadakan musyawarah BMPDGU di kecamatan Kwandang yang di hadiri oleh tokoh-tokoh pemuka Partai politik Ormas, unsusr-unsur daerah serta pemuka-pemuka masyarakat lainya, yang melahirkan resolusi pembentukan kabutan yang dikenal dengan “Resolusi 66”.dan pada tangal 11 April 1968 BPMDGU kemudian melayangkan surat tuntutan No 14/BMPDU/.68 dengan pokok tuntutan menjadi kabupaten Gorontalo utara yang

(16)

ditujukan kepada menteri dalam negeri di Jakarta dan ketua DPRG RI di Jakarta (menurut informasi yang dihimpun komite hambatan pembentukan kabupaten pada waktu itu, karena kondisi negara yang belum stabil akibat pemberontakan PKI dan jumlah penduduk yang sedikit, sehingga pembentukan kabupaten Gorontalo Utara terhenti selama 30 tahun. (Wawancara: Ketua KPK Gorontalo Utara: Thoriq Modanggu, Juni 2013).

Pada akhir tahun 2001 perjuangan pembentukan Kabupaten Gorontalo Utara di mulai lagi dengan terbentuknya panitia pembentukan Kabupaten PANTURA (KOPDA-PG) yang di ketuai oleh Alm Drs Hamid Dunggio dan Moch Tajim Boki sebagai ketua dan sekretaris serta tokoh – tokoh masyarakat antara lain Muchtar Darise M.si (ketua ) dan Thomas Mopili SE (sekretaris) namun perjuangan ini redup pada tahapan sosialisasi di karenakan ada beberapa unsure pejabat pemerintah, serta segelincir masyarakat belum setuju mengenai pembentukan kabupaten. (Wawancara: Ketua KPK Gorontalo Utara: Thoriq Modanggu, Juni 2013).

b. Pembentukan KPK (Komite Pembentukan Kabupaten) Gorontalo Utara

Setelah perjuangan pemebntukan kabupaten terhenti kemudian Pada Tanggal 20 Desember 2003 Kabupaten Pantura mulai bangkit dengan membentuk tim kerja yang dimediasi oleh:

1. Letkol Pur. Yusuf Hunowu 2. Adnan Pakaya

(17)

4. Saymsu Tanaiyo 5. Yos Pomalingo

Dari hasil musyawarah tersebut terbentuklah tim 7 dengan formasi sebagai berikut:

1. Ketua : Husain Udit 2. Sekretaris : Aidin M Nusa 3. Bendahara : Indai Joan Sanabe

Anggota

- Djasmin Usu - Lahmudin Daud - Rahmat J Kasim - Didi Sumaga

Tim ini bertugas mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat di lima kecamatan. Pada malam hari itu tim 7 kemudian mengadakan rapat kerja yang dihadiri oleh bapak Abdul Wahab Paudi, Arifin Ibrahim untuk mempersiapkan acara halal bi halal persiapan pembentukan kabupaten Gorontalo Utara (sebelumnya Pantura), sosialisasi acara akan dilaksanakan pada tanggal 21-25 desember 2003. Setelah halal bihalal kemudian dilanjutkan dengan rapat besar yang membahas kepanitiaan pembentukan Kabupaten. Thoriq Modanggu di tunjuk sebagai pemimpin rapat yang dianggap Netral karena dari kalangan akademisi. Dengan membahas sedikit hambatan- hamabatan yang sebelumnya dalam pembentukan kab. kemudian rapat tersebut menyepakati tim Formatur yang terdiri dari berbagai unsur yang hadir untuk memilih ketua panitia pemekaran. Selanjutnya tanggal 27 desember 2003 dilaksanakan rapat

(18)

dengan Tim formatur dalam rapat adalah sebagai berikut: (wawancara dengan, Anggota KPK: Yos Pomalingo, Juli 2013)

1. Letkol Purn. Yusuf Hunowu (Tokoh Masyarakat) 2. Thariq Madanggu (Unsur Akademis )

3. Husain Udit (Tokoh Masyarakat) 4. Didi Sumaga (LSM)

5. Sophian Rahmola (Pemuda) 6. Edi Ismail (Mahasiswa) 7. Yeti Tatuil (Unsur Wanita) 8. Masni Ahmad (Tokoh Adat) 9. Adanan Pakaya (Anggrek) 10. Raymon Datau (Atinggola) 11. Syamsu Tanaiyo (Kwandang) 12. Asjer Gobel (Atinggola)

13. Ahmad Yusuf Unusa (Sumalata) 14. Raden Aliu (Atinggola)

Dari hasil rapat tersebut muncul tiga nama calon yang akan mengisi kepanitiaan ketua pemekaran antara lain Letkol purn. Yusuf Hunowu, Thariq Modanggu dan Adnan Pakaya. Dalam hasil rapat tersebut Thariq modanggu S.Ag, M.Pdi terpilih sebagai ketua Komite Pembentukan Kabupaten. (Wawancara: Ketua KPK Gorontalo Utara: Thoriq Modanggu, Juni 2013).

Dengan dibentuknya panitia pembentukan kabupaten, Perjuangan kemudian dilakukan secara terencana sejuk akomoditif komprehensif dan strategis. Pada tanggal 2 sampai 4 Januari 2004 dilaksanakan rapat-rapat awal sebagai pengisian

(19)

kepengurusan bertempat di rumahnya Dedi Sumaga Jl. Trans Sulawesi desa Moluo membahas struktur keanggotaan panitia yang sudah disiapkan oleh ketua panitia pemekaran yang menyepakati komite pembentukan kabupaten Pantura (Gorontalo Utara). Rapat ini juga membahas langkah awal KPK pantura untuk menghadapi Ahmad Pakaya sebagai BUPATI Daerah induk dan membahas mensosialisai di 5 kecamatan di pesisir Utara Gorontalo yaitu kecamatan Tolinggula sampai Atinggola.

Pada tanggal 6 januari 2004 Komite Pembentukan Kabupten Gorontalo Utara bersilahturami dengan Bupati Kabupaten Gorontalo Ahmad Hoesa Pakaya yang didampingi pejabat teras Kabupaten Gorontalo untuk melaporkan rencana startegis program komite dalam mewujudkan aspirasi masyarakat di pantai utara yang kemudian berhasil meyakinkan bupati Kabupaten Gorontalo Utara bahwa keinginan pembentukan kabupaten Gorontalo Utara murni merupakan aspirasi rakyat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat seta memperpendek rentang kendali pemerintahan yang terpusat. Komite pembentukan kabupaten juga menegaskan bahwa pembentukan perjuangan KPK tidak dikerahkan oleh para elit tetapi dimotori oleh kesadaran progresif kelompok pemuda yang menghendaki perubahan di daerahnya. hasilnya Bupati merestui agenda yang di usung oleh KPK Gorontalo Utara. (Wawancara: Ketua KPK Gorontalo Utara: Thoriq Modanggu, Juni 2013).

Dari hasil pertemuan tersebut kemudian Pada tanggal 15-19 Januari 2004 di gelar sosialisasi pembentukan Kabupaten di 5 Kecamatan. Dalam tatap muka ini

(20)

berdasarkan hasil kajian dan penelitian KPK bahwa Kabupaten Pantura (Pantai Utara) sudah layak diwujudkan dan mendapatkan respon yang positif oleh masyarakat dan perlahan-lahan berhasil diyakinkan oleh KPK Pantura.

c. Deklarasi Pembentukan Kabupaten Gorontalo Utara (Pantura)

Pada Tanggal 23 Januari 2004 dengan memanfaatkan momentum heroisme 23 Januari 1942 KPK Pantura berhasil melaksanakan deklarasi rakyat dengan satu tekat bulat untuk menjadi satu kabupaten tersendiri. Momentum bersejarah ini dihadiri oleh berbagai komponen masyarakat di lima kecamatan yang ada di pesisir pantai Utara Gorontalo. Peristiwa akbar ini diwarnai penandatanganan 500 meter spanduk oleh Gubernur Gorontalo diikuti undangan dan Tokoh Masyarakat yang berada di lapangan kwandang Desa Moluo, penandatanganan komonika bersama oleh elemen masyarakat yang menyatakan lahirnya kabupaten Pantura dan pembacaan pidato itifta oleh Prof. Dr Nani Tuloli. Deklarasi pembentukan kabupaten Pantura oleh ketua komite (Thoriq Modanggu) dan penandatangan persetujuan deklarasi pembentukan kabupaten pantura oleh wakil DPRD Kabupaten Gorontalo Abdulah Talani, Wakil Ketua DPRD Provinsi Gorontalo Muchtar Darise dan Gubernur Gorontalo Fadel Mohamad.

Pada Tanggal 26 januari 2004, KPK pantura beraudiensi dan mengajukan permohonan rekomendasi dukuran DPRD Kabupaten Gorontalo untuk membentuk Kabupaten Pantura. Pada tanggal 3 Februari 2004, KPK mempresentasikan proposal

(21)

kelayakan pembentukan kabupaten pantura pada sidang paripurna khusus DPRD Kabupaten Gorontalo, pada saat itu lahirlah keputusan DPRD Kabupaten Gorontalo No. 4 tahun 2004 tentang rekomendasi pernyataan sikap mendukung pembentukan Kabupaten Pantura.

Tindak lanjut dari deklarasi tersebut, Pada Tanggal 24 februari 2004, lahirlah Rekomendasi Bupati Kabupaten Gorontalo tentang usulan pembentukan Kabupaten Pantura yang ditujukan kepada Gubernur dan DPRD provinsi Gorontalo.

Selanjutnya, tanggal 25 februari 2004, dengan dukungan partai-partai politik DPRD Provinsi meloloskan keputusan DPRD Provinsi Gorontalo No. 1 tahun 2004 tentang rekomendasi/persetujuan pembentukan Kabupaten Pantura. Hari itu Gubernur Gorontalo menandatangani rekomendasi usulan tentang pembentukan kabupaten pantura di Provinsi Gorontalo kepada menteri dalam negeri RI. Lengkap sudah dukungan politik lembaga Legislatif dan Eksekutif terhadap aspirasi rakyat di pesisir pantai Utara Gorontalo untuk memekarkan diri menjadi satu kabupaten. Hal ini akan mempermudah usul dan aspirasi ke pusat. Oleh KPK pantura rekomendasi Legislatif dan Eksekutif Kabupaten Dan Provinsi tesebut disatukan dengan Proposal kelayakan pembentukan Kabupaten Pantura .

Tanggal 26 februari 2004, ketua komite, dewan koordinator kehormatan komite Prof. Dr. Nani Tuloli membawa dan mengajukan proposal kelayakan pembentukan kabupaten Gorontalo Utara yang dilampiri rekomendasi pemerintah dan

(22)

DPR kabupaten Provinsi Gorontalo ke komisi 2 DPR RI. Saat itu diperoleh informasi rencana kedatangan komisi 2 ke Gorontalo.

Sepekan proposal kelayakan pantura diajukan. Pada tanggal 2 Maret 2004, komisi 2 DPR RI meninjau wilayah pemekaran. sebagai tindak lanjut dari proposal tersebut kemudian Fraksi – fraksi dalam komisi 2 merespon dan dukungan positif, serta memberikan jaminan bahwa pembentukan kabupaten pantura tidak lebih 3 bulan. Dalam kunjungan tersebut perwakilan di tiap 5 lima kecamatan di wilayah pantura menyampaikan aspirasinya.

Kemudian DPRD Provinsi Gorontalo bersama pimpinan-pimpinan praksi NO Provinsi dan Rektor UNG Nelson Pomalingo. kemudian KPK menghimpun dukungan politik dari partai-partai di Provinsi Gorontalo untuk menyampaikan ke praksi – praksi di DPR RI dan juga ke DPP masing – masing partai. kemudian Tanggal 26 juni 2004, KPK Gorontalo Utara bersama-sama dengan pemerintah Kabupaten Gorontalo menerima kujungan tim kerja dari komisi 2 DPR RI untuk melihat langsung kesiapan calon pembentukan Kabupaten Gorontalo Utara. Setelah itu berbagai upaya, dan pendekatan dilakukan KPK Gorontalo Utara, pemerintah kabupaten dan pemerintah Provinsi Gorontalo kepada pemerintah pusat untuk mempercepat pembentukan kabupaten Gorontalo Utara.

Akhirnya perjuangan pembentukan kabupaten gorontalo utara selama 40 tahun memberikan hasil kepada segenap masyarakat khsunya ketua komite

(23)

pembentukn kabupaten (KPK Pantura), dengan disahkanya undang-undang tentang pembentukan Kabupaten Gorontalo pada pukul 12:05 dalam sidang marathon pada tanggal 8 desember 2006.

Tanggal 26 Desember 2006, KPK Gorontalo Utara mengadakan musyawarah besar (MUBES II) yang menghimpun aspirasi gagasan dan kehendak rakyat Gorontalo tentang arah pembangunan kabupaten Gorontalo Utara, musyawarah ini merupakan kelanjutan dari pembangunan daerah kabupaten Gorontalo utara pada tanggal 15-17 Desember 1966 yang merupakan MUBES pertama. Produk mubes pertama yaitu resolusi tuntutan menjadi kabupaten Gorontalo Utara sedangkan mubes ke 2 adalah resolusi amanah pernyataan tuntutan rakyat atau resolusi pantura serta terbentuknya komite pembentukan kabupaten pantura atau yang dikenal KPK Gorut sebagai upaya penguatan civil socaity.

Kemudian Pada tanggal 14 februari 2007, KPK Gorut melaksanakan dialog interaktif yang mengusung tema “menegaskan kembali cita – cita pembentukan Kabupaten Gorontalo Utara sekaligus penguatan komitmen untuk mewujudkan “dan disiarkan oleh RRI Gorontalo berada di rumah salah satu tokoh pejuang pembentukan Kabupaten Gorontalo Utara “Alm. Husain Urid” Ketua 1 komite pembentukan kabupaten Gorontalo Utara dan dilanjutkan ke jiarah kuburan Almarhum. (Wawancara: Ketua KPK Gorontalo Utara: Thoriq Modanggu, Juni 2013)

(24)

Selanjutnya Pada tanggal 5 Februari-26 April 2007 KPK GORUT melakukan 3 agenda yakni memprsesentasikan dan menyerahkan resolusi pantura dari KPK Gorut kepada Bupati Gorontalo, calon pejabat Bupati Gorontalo Utara DPRD Provinsi Gorontalo dan kasupit 3 direktur pejabat Negara Departemen dalam Negri RI. selain itu mengadakan dialog fokus bertema prospek dan strategi pengembangan ekonomi bersama H. Soharso Monoarfa kemudian bersama-sama pemerintah mempersiapkan peresmian dan pejabat Bupati Gorontalo Utara.

Akhirnya Pada tanggal 26 April 2007 Kabupaten Gorontalo mempersiapkan peresmian sekaligus pelantikan pejabat Bupati Gorotalo Utara (Drs H. Hamdan Datungsolang) oleh menteri Dalam Negeri At Interen. Widodo As meresmikan pembentukan Kabupaten Gorontalo Utara di Provinsi Gorontalo dan pejabat Bupati Gorontalo Utara Berdasarkan UU RI No. 11 tahun 2007 tanggal 2 Januari 2007 guna meningkatkan penyelengaaran pemerintah dan pelaksanaan pembangunan untuk kesejahteraan rakyat.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil wawancara peneliti dengan bapak Marton Abdurahman kepala KUA kecamatan kota utara Kota Gorontalo beliau menjelasakan bahwa anak yang sudah hamil akan

Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) Cabang Pembantu Gorontalo menunjukan kurangnya penerapan budaya oranisasi yang kurang baik, banyak kejadian yang menunjukan bahwa

Ini dikarenakan dalam proses pembuatan izin pemungutan hasil hutan sering terjadi kehilangan data permohonan, pencarian kembali berkas-berkas daftar laporan hasil

Kegiatan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Provinsi Gorontalo ini tidak terlepas dari kegiatan yang sejalan dengan program yang telah direncanakan baik dari struktur

Berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor KPUD Kabupaten Deli Serdang dapat dilihat bahwa jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati

2) Analisis Information : Informasi berupa laporan data petugas kebersihan,laporan pembayaran upah dan proses penempatan lokasi kerja petugas kebersihan yang akan

Tujuan dari dibentuknya komite sekolah dalam hal pendistribusian program dana BOS di MTs Tarbiyatul Banin Banat adalah sebagai penghubung antara masyarakat dengan

Kabupaten Bolaang Mongondow Utara adalah salah satu kabupaten di Sulawesi Utara yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2007 tanggal 23 Mei 2007