46
TINDAK TUTUR ILOKUSI DALAM ARTIKEL RUBRIK NASIONAL DI
KOMPAS: TELAAH ATAS RENCANA PENGOSONGAN KOLOM AGAMA
DI KTP
M. Khoirunnada Program Studi Linguistik
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia nada_nail@yahoo.co.id
Abstract
This article purposed to describe illocutionary speech acts (assertive/representative, directive, and commissive) appeared in some articles that discuss an issue about blanking out a religious column in Citizenzenship Identity Card. The theory used in this research is Austin’s speech acts theory then specified to Searle’s illocutionary theory. The method used is analytical descriptive qualitative based on data information. Finally, this research ended by finding types of illocutionary speech acts such as assertive/representative (stating and complaining), directive (advising and requesting—impositive), and commissive (promising) while for the expressive and declarations illocutionary are not found. Keywords: illocutionary speech acts (assertive/representative, directive, commissive, expressive and declarations)
I. PENDAHULUAN
Tidak dipungkiri bahwa setiap orang membutuhkan komunikasi. Bahasa merupakan alat komunikasi yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga dapat berfungsi sebagai penyampai pesan seseorang kepada orang lain. Namun, dalam berkomunikasi tidak semua maksud dari si penutur diungkapkan lewat bahasa secara tersurat, terkadang penutur menggunakan bahasa secara tersirat untuk menyampaikan maksudnya. Maka dari itu, guna mendapatkan pemahaman yang lengkap akan maksud tersebut, seyogyanya mitra tutur tidak hanya memperhatikan sisi teksnya (kata, frasa, kalimat, atau klausa) yang digunakan oleh penutur, tetapi juga harus memperhatikan sisi konteksnya—fenomena di luar kebahasaan.
Usaha memahami makna lewat konteks merupakan salah satu dari tujuan studi pragmatik, selain studi tentang maksud penutur, studi tentang bagaimana cara menyampaikan makna yang lebih dari apa yang dituturkan, juga studi tentang bentuk ungkapan menurut jarak hubungan (Yule, 1996: 3).
Berkenaan dengan studi pragmatik di atas, penulis mencoba menganalisis tuturan-tuturan yang dituturkan oleh penjabat pemerintaan (eksekutif) dalam hal ini diwakili oleh Tjahjo Kumolo selaku Menteri Dalam Negeri mengenai rencana pengosongan kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP). Ide
positif tersebut kemudian mendapatkan beragam tanggapan dari berbagai kalangan, baik dari pejabat pemerintahan sekelas badan legislatif misalnya ada Fahri Hamzah, Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin, sampai sekaliber Wakil Presiden RI Bapak Jusuf Kalla maupun dari institusi-institusi lainnya seperti dari MUI-Majelis Ulama Indonesia dan Setara Institut. Selanjutnya, untuk lebih mengerucutkan pembahasan, maka penulis mengambil judul dalam penelitian ini
ANALISIS TINDAK TUTUR ILOKUSI
DALAM ARTIKEL RUBRIK NASIONAL DI
KOMPAS: TELAAH ATAS RENCANA
PENGOSONGAN KOLOM AGAMA DI KTP
Dalam penganalisisan data yang berupa tindak tutur tersebut, penulis akan mengklasifikasikannya ke dalam jenis-jenis tindak tutur. Dalam analisis ini penulis menggunakan teori Searle tentang jenis-jenis tindak tutur, yakni: deklarasi, representatif, ekspresif, direktif, dan komisif.
1.2. Penelitian Sejenis Yang Telah Dilakukan
Berdasarkan studi pustaka, penulis menemukan referensi penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan penulis. Studi penelitian terdahulu dijadikan perbandingan oleh penulis untuk mengetahui mengenai kajian apa saja yang sudah diteliti dengan pendekatan yang sama.
Sebelumnya telah ada penelitian mengenai analisis tindak tutur ilokusi. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Zulfira Hildana
47
R. dengan judul TINDAK TUTUR ILOKUSI
REPRESENTATIF DALAM KOMIK
SERATOES PLOES ASPIRASI KARYA
HARYADHI: SEBUAH KAJIAN
PRAGMATIK. Dalam penelitian itu Hildana
menggunakan teori tindak tutur Austin, kemudian ditambahkan dengan teori tindak tutur ilokusi (representatif) dari Searle. Hasil yang dipaparkannya, Hildana menemukan tindak tutur ilokusi representatif yaitu: menyatakan, menuntut, mengakui, melaporkan, menunjukkan, menyebutkan, memberi kesaksian.
Penelitian Hildana tersebut membantu penulis dalam melakukan penelitian ini. Dari segi kesamaannya, baik Hildana maupun penulis sama-sama menggunakan teori tindak tutur ilokusi dari Searle. Adapun perbedaannya, dalam penelitiannya, Hildana hanya mengfokuskan pada tindak tutur ilokusi representatif dengan komik sebagai objek penelitiannya, sedangkan penulis tidak hanya membatasi analisisnya dengan tindak tutur ilokusi representatif saja, tetapi juga menganalisis tindak tutur ilokusi direktif dan komisifnya. Sementara untuk objek penelitiannya, penulis menggunakan kumpulan beberapa artikel dengan judul yang berbeda-beda tetapi dengan topik pembahasan yang sama, yaitu tentang upaya pemerintah untuk mengosongkan kolom agama di KTP guna mengakomodir dan memudahkan masyarakat (beraliran kepercayaan) yang selama ini belum atau sangat susah untuk mendapatkan KTP.
1.3 Tujuan
Berbicara masalah agama memang kadang menjadi sensitif. Karena dalam budaya timur, agama seringkali diidentikkan dengan identitas masyarakatnya atau bahkan bangsa. Apalagi isu yang kemudian muncul adalah upaya pemerintah, dalam hal ini diwakili oleh Menteri Dalam Negeri (Tjahjo Kumolo), untuk mengkosongkan kolom agama di KTP.
Maka tujuan dari penelitian ini adalah pertama, untuk mengetahui respon masyarakat pada umumnya, dan pejabat pemerintah pada khususnya dalam menyikapi rencana pengosongan kolom agama di KTP. Kedua, untuk mengetahui dengan cara tindak tutur ilokusi apakah seseorang menyampaikan gagasannya atau seseorang menganggapi mengenai rencana pengosongan kolom agama di KTP tersebut.
II. TINJAUAN PUSTAKA a. Definisi Pragmatik
Geoffrey N. Leech dalam Principles of
Languages mengatakan bahwa Pragmatics can be usefully defined as the study of how utterances have meanings in situations (1983:
1). Pengertian ini mengindikasikan bahwa pemahaman akan makna tuturan sangat berkaitan dengan situasi pada saat tuturan tersebut diproduksi oleh penutur. Karena jika suatu tuturan tidak dipahami beserta konteksnya, maka tuturan tersebut hanya menyajikan sebatas makna semantisnya saja. Dengan kata lain, bahwa studi pragmatik tidak terbatas pada makna semantisnya saja, tetapi lebih dari itu. Hal yang sama juga disampaikan oleh George Yule. Yule (1996: 3) dalam bukunya yang berjudul Pragmatics dengan lebih terperinci mendefinisikan pragmatik sebagai:
a. Pragmatics is concerned with the study of meaning as communicated by a speaker (or writer) and interpreted by a listener (or reader)... Pragmatics is the study of speaker meaning.
b. This type study necessarily involves the interpretation of what people mean in a particular context and how the context influences what is said... Pragmatics is the study of contextual meaning.
c. This type of study explores how a great deal of what is unsaid is recognized as part of what is communicated... Pragmatics is the
study of how more gets
communicated than is said.
d. On the assumption of how close or distant the listener is, speakers determine how much needs to be said... Pragmatics is the study of the expression of relative distance.
Dari keempat pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pragmatik tidak hanya suatu usaha untuk memahami makna tuturan dari maksud penutur saja, tetapi tuturan tersebut juga harus dipahami lewat konteksnya. Selain itu, pragmatik berkaitan dengan bagaimana cara menyampaikan makna atau pesan tuturan lebih dari apa yang dituturkan. Dan berkenaan dengan bagaimana bentuk ungkapan atau tuturan yang ditentukan menurut jarak hubungan antara penutur dan petutur (speaker dan listener).
48
b. Definisi Tindak Tutur
Berkat seseorang yang bernama John L. Austin, kajian pragmatik mulai diperkenalkan. Kajian ini kemudian mengorbit di antara kajian ilmu-ilmu lainnya yang sudah terlebih dahulu muncul, kemudian kokoh dan stabil. Intisari pemikiran Austin dapat dipetik dari buku fenomenalnya “How to Do Things With
Words”—buku ini merupakan kumpulan
beberapa materi kuliah yang disampaikan Austin yang dibukukan oleh dua muridnya— J.O. Urmson dan G.J. Warnock (1962) setelah Austin meninggal muda {dalam usia 48 tahun}. Teori tindak tutur (speech acts) merupakan pemikiran Austin yang sangat penting selain teori konstatif dan performatif. Teori tindak tutur dapat dibedakan dalam tiga jenis tuturan—tindak tutur lokusi (locutionary
acts), tindak tutur ilokusi (illocutionary acts),
dan tindak tutur perlokusi (perlocutionary
acts).
Dalam hal ini Austin (1962: 108) menjabarkan ketiga jenis tuturan tersebut, yakni:
...we perform a locutionary act, which is roughly equivalent to uttering a certain sentence with a certain sense and reference, which again is roughly equivalent to ‘meaning’ in the traditional sense...we also perform illocutionary acts such as informing, ordering, warning, undertaking, i.e. utterances which have a certain (conventional)
force...we may also perform
perlocutionary acts: what we bring
about or achieve by saying
something, such as convincing, persuading, deterring, and even, say, surprising or misleading.
Ketiga teori tindak tutur Austin dapat disimpulkan, bahwa tindak tutur lokusi merupakan tindakan mengatakan sesuatu yang sesuai dengan makna semantisnya, maksudnya, tuturan tersebut hanya mengacu kepada makna kata, frasa, atau kalimat yang dituturkan oleh penutur saja tanpa mengikutsertakan konteksnya. Sedangkan tindak tutur ilokusi berkenaan dengan daya tindak tutur oleh penutur, seperti ‘menginformasikan’, ‘pemesanan’, ‘peringatan’, dan lain sebagainya. Adapun tindak tutur perlokusi adalah efek dari sesuatu yang diucapkan penutur kepada mitra tutur dan reaksinya. Tindak tutur ini berhubungan dengan hasil dari suatu tuturan yang diharapkan oleh penutur misalnya,
‘meyakinkan’, ‘membujuk’, ‘menghalangi’, dan bahkan, katakanlah, ‘mengejutkan’ atau ‘menyesatkan.’
c. Definisi Tindak Tutur Ilokusi
Seperti telah disinggung sebelumnya, tindak tutur ilokusi diteorikan oleh Austin selain tindak tutur lokusi dan tindak tutur perlokusi. Berbeda dengan tindak tutur lokusi yang hanya bersandar pada makna semantisnya atau istilah yang digunakan Austin adalah meaning
in the traditional sense. Tindak tutur ilokusi
mengisyaratkan lebih dari pada itu. Maksudnya tuturan tidak hanya dapat dipahami sebatas makna leksikalnya (tekstualnya) saja, melainkan harus mengikursertakan konteksnya juga. Dalam tindak tutur ilokusi tersimpan daya tuturan yang dapat berupa pernyataan, pertanyaan, tawaran, janji, perintah, peringatan, dan lain sebagainya. Sebagai contoh dalam tuturan ‘ruangan ini panas sekali.’ Secara lokusi tuturan tersebut dapat dimaknai bahwa di dalam ruangan tersebut kondisinya sangat panas. Sedangkan secara ilokusi, tuturan tersebut tidak hanya bermakna demikian, melainkan ada upaya permintaan atau perintah kepada kawan atau mitra tutur untuk melakukan sesuatu terhadap si penutur. Permintaan atau perintah tersebut dapat berupa permintaan untuk menyalakan AC, atau sekedar membuka pintu, jendela dan lain sebagainya. Adanya daya tuturan semacam inilah yang membedakan antara tindak tutur lokusi dan ilokusi. Kemudian teori ilokusinya Austin tersebut dikritik lalu dikembangkan lebih detil oleh seorang yang bernama John R. Searle dengan membagi tindak ilokusi memjadi lima—representatif (asertif), direktif, komisif, ekspresif, dan deklarasi (lihat Leech, 1983).
2.4 Tindak Tutur Ilokusi Asertif/Representatif, Direktif, Komisif, Ekspresif, dan Deklarasi
Searle memang tidak hanya mengkritik teori ilokusinya Austin, tetapi juga mengembangkan teori tersebut dengan mengklasifikasikannya ke dalam lima kategori, yakni: representatif, direktif, komisif, ekspresif dan deklarasi. Adapun kelima kategori ilokusinya Searle tersebut dirangkum oleh Leech (1983: 105-106) sebagai berikut:
a. ASSERTIVES commit s to the truth of the expressed proposition: eg stating, suggesting, boasting, complaining, claiming, reporting.
49
b. DIRECTIVES are intended to produce some effect through action
by the hearer: ordering,
commanding, requesting, advising, and recommanding are examples. c. COMMISSIVES commit s (to a
greater or lesser degree) to some future action; eg promising, vowing, offering. These tend to be convivial rather than competitive, being performed in the interests of someone other than the speaker. d. EXPRESSIVES have the function of
expressing , or making known, the speaker’s psychological attitude towards a state of affairs which the illocution presupposes ; eg
thanking, congratulating,
pardoning, blaming, praising, condoling, etc.
e. DECLARATIONS are illocutions
whose ‘successful
performance...brings about the
correspondence between the
propositional content and reality’; resigning, dismissing, christening,
naming, excommunicating,
appointing, sentencing, etc.
Dalam hal ini Leech menamai tindak tutur representatif dengan istilah asertif. Keduanya hanya berbeda dalam peristilahan saja, namun maksud dari keduanya adalah sama. Asertif merupakan tuturan untuk menyatakan kebenaran, maksudnya tuturan tersebut mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang dituturkannya. Tuturan asertif bisa berupa suatu ‘pernyataan’, ‘saran’, ‘keluhan’, ‘pelaporan’, dan lain sebagainya. Tuturan direktif sengaja ditujukan kepada mitra tutur (pendegar) supaya mitra tutur melakukan sesuatu. Tuturan direktif dapat berupa ‘perintah’, ‘permintaan’, ‘nasehat’, dan ‘rekomendasi.’ Tuturan komisif dihubungkan dengan suatu tuturan yang mengikat penutur di masa yang akan datang, seperti ‘janji’/’menjanjikan’, ‘sumpah’/’bersumpah’, dan ‘tawaran’/’menawarkan’. Sementara itu, tuturan ekspresif adalah suatu tuturan yang melukiskan perasaan psikologi penutur, misalnya ‘berterima kasih’, ‘ucapan selamat’, ‘mengampuni’, ‘menyalahkan’, ‘memuji’, dan sebagainya. Adapun tuturan deklarasi dikategorikan sebagai tuturan yang dinyatakan untuk perubahan status. Yang termasuk dalam tuturan ini misalnya ‘pengunduran diri’, ‘pembaptisan’, ‘penamaan’, ‘penunjukan’, ‘hukuman’, dan lain sebagainya.
III. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan desain studi kasus yang bersifat deskriptif-analitis (Gay et al, 2006). Pendekatan kualitatif ini lebih cocok digunakan karena data yang dianalisis bukan berupa angka dan bukan pula untuk mencari prosentase. Penelitian ini bersifat analisis karena peneliti menginterpretasikan data dengan landasan teori tertentu (dalam hal ini peneliti mengacu pada teori tindak tutur ilokusi Searle) dan kemudian data tersebut dideskripsikan dalam pembahasan.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah artikel-artikel yang diterbitkan di bulan November tahun 2014 dengan kategori artikel Nasional yang diunduh dari Kompas online. Artikel-artikel tersebut dipilih berdasarkan kesamaan topik pembahasannya yaitu mengenai rencana Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo (pemerintah) untuk mengosongkan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Dalam menganalisis data tersebut, peneliti menerapkan beberapa langkah kerja sebagai berikut:
1. Mengambil tuturan yang hanya berkenaan dengan topik penelitian— rencana pengosongan kolom agama di KTP yang terdapat di beberapa artikel tersebut.
2. Mengklasifikasikan tuturan ke dalam jenis-jenis tindak tutur (lokusi, ilokusi, dan perlokusi).
3. Mengklasifikasikan tindak tutur ilokusi tersebut ke dalam kategori-kategorinya— deklaratif, representatif/asertif, ekspresif, direktif, dan komisif.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Sesuai dengan tujuan pembuatan penelitian ini, maka penulis akan mendeskripsikan tuturan-tuturan yang dapat dikategorikan sebagai tindak tutur ilokusi (asertif/representatif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif). Namun, tidak semua kategori tindak tutur ilokusi tersebut terpenuhi, hal ini semata-mata mengacu berdasarkan data yang tersedia.
Dalam analisis tindak tutur ilokusi (asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif) terhadap data yang tersedia, maka dapat disimpulkan hasilnya sebagai berikut:
50
No Kategori Tindak Tutur (Ilokusi) Jumlah 1. Asertif/Representatif 7 2. Direktif 6 3. Komisif 1 4. Ekspresif 0 5. Deklaratif 0 Setelah proses pengklasifikasian data terpenuhi, penulis kemudian memberikan contoh tuturan beserta analisisnya secara lebih detail seperti penjelasan di bawah ini: a. Tindak Tutur Ilokusi
Asertif/Representatif 1. Pernyataan (Stating)
1) “...tak masalah dengan rencana Kementerian Dalam Negeri yang memperbolehkan pengosongan kolom agama di kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Kebijakan ini adil untuk semua warga negara Indonesia.” (Jusuf Kalla - Wakil Presiden RI)
2) "Itu kan masalah personal di agama. Kan orang cuma datang ke kelurahan, isi formulir, kalau tidak mau isi formulir (kolom agama), ya masa mau dipaksa," (Jusuf Kalla - Wakil Presiden RI) 3) "Bentuk pengakuan
itu gimana implementasinya? Apakah negara mengakui itu atau tidak, kita tidak boleh terjebak dalam diskursus seperti itu, tapi warga negara dijaga kebebasannya untuk memeluk dan mempercayai agama tertentu," (Lukman Hakim Saifuddin – Menteri Agama) 4) "Kolom agama di KTP ada pada tahun
1967. Sejak Indonesia merdeka sampai tahun 1967, di KTP tidak ada kolom agama. Karena kebijakan antikomunis (oleh) Orde Baru, semua WNI harus cantumkan (informasi) agama," (Bonar Tigor Naipospos - Wakil Ketua Umum Setara Institute)
Tuturan di atas merupakan wujud tindak tutur ilokusi asertif/representatif menyatakan (stating). Semua penutur baik no. 1 & 2 (Jusuf Kalla), no. 3 (Lukman Hakim Saifuddin) dan no. 4 (Bonar Tigor Naipospos) menyatakan persetujuan dan dukungannya terhadap langkah Menteri Dalam Negeri (Tjahyo Kumolo) yang berencana mengosongkan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi masyarakat yang tidak memeluk satu dari enam agama yang dianggap sah di Indonesia. Bahkan Jusuf Kalla atau akrab dipanggil dengan JK lebih tajam berpendapat bahwa masalah agama
merupakan urusan individu seseorang. Maka tidak ada alasan bagi pemerintah (negara) untuk memaksanya. Dengan sejuk Menag berpesan, bahwa apapun pilihan masyarakat dalam menentukan agama atau kepercayaannya, harus dihormati, dan suatu keharusan bagi negara untuk melindunginya. Sementara itu, Bonar Tigor Naipospos lebih melihat dari segi historisnya dengan memberikan penjelasan mengenai tidak adanya kolom agama di KTP sejak Indonesia merdeka sampai tahun 1967. Dan pencantuman agama di KTP merupakan propaganda Orde Baru dalam menghalau laju komunisme di Indonesia.
2. Keluhan (Complaining)
1) "Apakah orang yang di luar (penganut) enam agama itu tidak boleh punya KTP? Padahal, KTP itu macam-macam urusannya," (Tjahjo Kumolo – Menteri Dalam Negeri)
2) "Saya mendapat laporan bahwa ada warga di daerah menolak membuat KTP karena harus ditulis Islam, Kristen, Buddha, Hindu, atau Khonghucu. Lalu, bagaimana dengan mereka yang tidak punya agama dalam artian penganut kepercayaan? Bagaimana mereka mau dapat E-KTP kalau mereka tidak bisa menuliskan keyakinan mereka?" (Tjahjo Kumolo – Menteri Dalam Negeri)
3) "Sebenarnya bukan pengosongan yang dikehendaki, tapi kolomnya tetap, cuma kan di Indonesia hanya agama yang enam itu yang diatur, lalu untuk mereka yang memiliki selain enam agama ini bagaimana?" (Lukman Hakim Saifuddin – Menteri Agama)
Tuturan di atas merupakan wujud tindak tutur ilokusi asertif/representatif keluhan (complaining). Penutur no. 1 & 2 (Tjahyo Kumolo) dan no. 3 (Lukman Hakim Saifuddin) menghimbau terhadap masyarakat pada umumnya dan Ormas Islam pada khususnya yang menolak pengosongan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi masyarakat yang selain pemeluk salah satu dari enam agama yang dianggap sah di Indonesia, untuk memperhatikan kenyataan bahwa sangat banyak sekali masyarakat yang menganut aliran kepercayaan tertentu di luar enam agama tersebut. Pernyataan no. 1 dan 2 oleh Mendagri didasari oleh kenyataan yang ada, bahwa Indonesia sebagai negara yang plural mempunyai keanegaragaman budaya, adat-istiadat, ras, bahkan agama dan
51
kepercayaan. Maka, dengan demikian pembuatan KTP (E-KTP) harus dapat mengakomodir kenyataan pruralitas yang ada, salah satunya yaitu dengan dibolehkannya mengosongkan kolom agama bagi mereka yang tidak menganut satu dari enam agama yang telah diakui oleh pemerintah. Sikap senada juga dilontarkan oleh Menag dalam pernyataan no. 3 yang menyangkan kepada orang yang takut secara berlebihan terhadap rencana tersebut. Padahal maksud dari rencana itu bukan penghapusan kolom agamanya, tetapi bahwa pengisian di kolom agama tersebut bersifat tidak memaksa. Bagi masyarakat yang mempunyai agama atau keyakinan di luar dari enam agama yang telah diretui oleh pemerintah boleh tidak mengisi/mengosongkan kolom (agama) tersebut.
b. Tindak Tutur Ilokusi Direktif i. Himbauan (Advising—positive)
1) "Bagi mereka yang tidak merasa menganut enam agama itu, mereka boleh mengosongkan (kolom agama di KTP), tetapi data mereka dimasukkan ke database administrasi
kependudukan." (Ma’ruf Amin – Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia Pusat)
2) "Yang terpenting bagaimana memastikan bahwa semua orang Indonesia yang beragama beragam ini bisa dilindungi." (Bonar Tigor Naipospos - Wakil Ketua Umum Setara Institute) 3) "Dengan demikian, kami
berharap Undang-undang Perlindungan Umat Beragama harus menjadi musyawarah mufakat semua elemen dari masyarakat sehingga tidak mengatur ritual, ekspresi umat beragama." (Benny Susatyo - Anggota Dewan Nasional Setara Institute)
Tuturan di atas merupakan wujud tindak tutur ilokusi direktif himbauan (advising). Semua tuturan tersebut menyatakan dukungannya mengenai rencana pengosongan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi masyarakat yang tidak memeluk satu dari enam agama yang dianggap sah di Indonesia. Penutur no. 2 (Bonar Tigor Naipospos) menghimbau pemerintah untuk menjamin keragaman agama dan kepercayaan yang dianut masyarakat Indonesia. Bonar tidak mempermasalahkan apapun agamanya,
hal yang paling utama adalah bagaimana pemerintah dapat menjamin bahwa semua warga negara berhak diperlakukan sama, yakni mendapatkan perlindungan dari segala intimidasi dan kekerasan yang mengatasnamakan agama. Penutur no. 3 (Benny Susatyo) menambahkan pernyataannya dengan meminta kepada pemerintah untuk tidak terlalu mengatur ritual keagamaan. Beliau menganggap hal itu (ritual keagamaan) sebagai domain privat bukan domain publik. Jadi, biarlah masyarakat mengekspresikan keyakinan/kepercayaannya sendiri tanpa diintervensi oleh peraturan yang membelitnya, sejauh bentuk ekspresi keyakinan/kepercayaan tersebut tidak mengganggu masyarakat pada umumnya. Senada dengan Bonar dan Benny, Wakil Ketua MUI, KH. Ma’ruf Amin pun berpandangan demikian. Beliau memberikan himbauan untuk memberikan kebebasan kepada masyarakat yang tidak menganut salah satu dari enam agama yang diakui di Indonesia supaya diperbolehkan untuk tidak mengisi kolom agama di KTPnya.
ii. Permintaan (Requesting—impositive) 1) Kebijakan pengosongan kolom
agama bagi penganut kepercayaan tersebut lebih cocok diterapkan di negara Barat...Kolom agama di negara Timur sangat penting, yakni sebagai identitas warga negara. (Fahri Hamzah – Dewan Perwakilan Rakyat, PKS) 2) "Kita menentang hilangnya
kolom agama di dalam kartu identitas." (Fahri Hamzah – Dewan Perwakilan Rakyat, PKS) 3) "Semua diatur oleh agama. Karena itulah, (agama) enggak mungkin dihilangkan dari identitas pribadi. Bahaya pula kalau ada orang yang ingin menghilangkan itu." (Fahri Hamzah – Dewan Perwakilan Rakyat, PKS)
Tuturan di atas merupakan wujud tindak tutur ilokusi direktif permintaan/requesting (impositive—bersifat bersaing/bertanding). Semua tuturan tersebut menyatakan penolakannya terhadap pengosongan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Fahri merasa fobia dengan menganggap pengosongan kolom agama akan mempengaruhi identitas bangsa Indonesia, atau bahkan mungkin dapat menggoyahkan
52
keimanan umat beragama di Indonesia. Statemen Fahri ini menurut penulis berlebihan dan terkesan tidak memahami (istilah anak muda sekarang “gagal paham”) akan maksud dari Mendagri Tjahjo Kumolo. Pertama, dia (Fahri) tidak menghargai dengan keyakinan/kepercayaan masyarakat untuk memilih agama/keperyaannya selain dari enam agama yang telah diakuai oleh pemerintah. Padahal kita semua tahu bahwa kebebasan memilih agama/kepercayaan merupakan hak asasi manusia. Hak asasi manusia yang pada prinsipnya adalah sebagai hak dasar, hak kodrati, dan hak fundamental yang dimiliki manusia sejak berada dalam kandungan dan merupakan anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa. Maka dari itu, hak asasi manusia yang bersifat fundamental ini harus diakui, dihormati, dan dilindungi oleh negara. Kedua, yang diwacanakan oleh Mendagri sebenarnya bukan penghilangan kolom agamanya, melainkan pengkosongan kolom agama di KTP. Karena selama ini kolom agama yang ada di KTP selalu (wajib) diisi oleh semua warga negara RI, tak terkecuali bagi mereka yang beragama/berkepercayaan selain dari enam agama atau bahkan mereka yang tidak beragama sekalipun. Maka dari itu, wacana ini dirasa perlu dan diharapkan dapat mengakomodir bagi sebagian masyarakat yang tidak memeluk di antara enam agama yang telah ditetapkan oleh pemerintah supaya mengosongkan kolom tersebut, dengan kata lain tidak ada paksaan untuk mengisinya. c. Tindak Tutur Ilokusi Komisif i. Janji (Promising)
1) "Ya sudah, hanya dipikirkan jalan keluarnya. Ini kan usulan mereka, jadi kami tampung." (Tjahjo Kumolo – Menteri Dalam Negeri)
Tuturan di atas merupakan wujud tindak tutur ilokusi komisif janji (promising). Dalam hal ini, Tjahyo Kumolo berjanji akan mengakomodir pihak-pihak yang termarjinalkan (penganut aliran kepercayaan atau penganut agama selain dari enam agama yang diakui oleh pemerintah) dengan merencanakan pengosongan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk. Mendagri berusaha berlaku adil dengan menampung aspirasi dari masyarakat tersebut. Memang, sepatutnya bagi siapapun yang diamanahi sebagai pejabat pemerintah apalagi setingkat menteri, harus peka terhadap keluh kesah masyarakat yang
mana hak-haknya belum terpenuhi dengan semestinya.
V. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan
Dari hasil analisis terhadap data tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak semua kategori tindak tutur ilokusi ada atau terpenuhi dalam data yang digunakan di penelitian ini. Penulis hanya menemukan tiga dari lima jenis tindak tutur ilokusi, yakni: ilokusi asertif/representatif (hanya pernyataan/stating dan keluhan/complaining), ilokusi direktif (hanya himbauan/advising dan permintaan/impositive requesting—bersifat
bersaing/bertading), dan ilokusi komisif (hanya janji/promising). Sementara untuk tindak tutur ilokusi eksresif dan deklaratif tidak ditemukan.
Berdasarkan data tersebut, ditemukan total ada 14 tindak tutur ilokusi dengan perincian: tujuh tindak tutur asertif/representatif (empat jenis pernyataan/stating dan tiga jenis keluhan/complaining), enam tindak tutur direktif (tiga jenis himbauan/advising dan tiga jenis permintaan/requesting), dan satu tindak tutur komisif (janji/promising). Tindak tutur ilokusi asertif/representatif yang berupa ‘pernyataan’(stating) ditemukan dalam pernyataan Jusuf Kalla (Wakil Presiden RI) berjumlah dua pernyataan (pernyataan 1 dan 2), satu pernyataan dari Lukman Hakim Saifuddin (Menteri Agama) dalam pernyataan no. 3 dan dari Bonar Tigor Naipospos selaku Wakil Ketua Umum Setara Institute dalam pernyataan no. 4. Kemudian, tindak tutur ilokusi asertif/representatif yang berupa keluhan/complaining terdapat dalam dua pernyataan dari Tjahjo Kumolo selaku Menteri Dalam Negeri (pernyataan no. 1 dan 2) dan satu dari Lukman Hakim Saifuddin (pernyataan no. 3). Untuk tindak tutur direktif yang berupa himbauan/advising muncul dalam satu pernyataan dari Ma’ruf Amin selaku Wakil Ketua MUI-Majelis Ulama Indonesia Pusat (pernyataan no. 1), dari Bonar Tigor Naipospos (Wakil Ketua Umum Setara Institute) pernyataan no. 2 dan terakhir dari Benny Susatyo sebagai Anggota Dewan Nasional Setara Institute (pernyataan no. 3). Adapun tiga tindak tutur direktif lainnya berupa permintaan/requesting yang ketiga-tiganya terlontar dari mulut Fahri Hamzah selaku anggota DPR-Dewan Perwakilan Rakyat. Dan satu pernyataan terakhir yaitu tindak tutur komisif (janji/promising) yang
53
bersumber dari pernyataan Tjahjo Kumolo selaku Menteri Dalam Negeri.
4.2 Saran
Bagi para pembaca, semoga tulisan ini dapat memberikan informasi yang komprehensif mengenai isu rencana pengosongan kolom agama dalam KTP. Tulisan ini tidak hanya menyajikan analisis tuturan dari beberapa tokoh yang setuju akan rencana tersebut, tetapi juga komentar yang dilontarkan oleh kalangan yang tidak menyetujuinya.
Sedangkan bagi calon penulis atau peneliti yang akan meneliti dengan menggunakan alat analisis yang sama (tindak ilokusi), diharapkan membaca teori tersebut dengan seksama sebelum mengaplikasikannya ke dalam analisis teks (tuturan). Dalam hal ini pembacaan teori secara runtut sangat diperlukan, guna memahami keunggulan dan kelemahan masing-masing dari teori tersebut. Pemahaman akan teori menjadi penting agar teori itu dapat diterapkan dengan takaran yang pas terhadap data yang dianalisisnya.
Terakhir, besar harapan tulisan ini dapat memberikan manfaat kepada khalayak umum (baik pembaca maupun peneliti) supaya tidak lekas reaktif terhadap isu-isu yang berkembang sebelum membaca dan memahaminya sendiri dengan penuh kesadaran dan kerendahan hati.
Daftar Pustaka
Austin J.L. 1962. How to do things with
Words. New York: Oxford University
Press.
Gay, L.R. et al.2006. Educational Research:
Competencies for Analysis and
Application. 8th Ed. Pearson Education
Ltd. Ohio
Leech, Geoffrey. 1983. Principles of Pragmatics. London and New York:
Longman.
Yule, George. 1996. Pragmatics. New York: Oxford University Press.