• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN AGRONOMIS DAN EKONOMIS IP 200 PADI GOGO DI LAHAN KERING MASAM KABUPATEN GUNUNG MAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN AGRONOMIS DAN EKONOMIS IP 200 PADI GOGO DI LAHAN KERING MASAM KABUPATEN GUNUNG MAS"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

376

KAJIAN AGRONOMIS DAN EKONOMIS IP 200 PADI GOGO DI LAHAN KERING MASAM KABUPATEN GUNUNG MAS

TWENTY LIANA dan SUPARMAN, NASRIATI

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah, Jl.G. Obos, km. 5,Palangka Raya 73112

E-Mail: twentyliana@yahoo.com

ABSTRACT

The main differences in the implementation of IP 200 versus conventional techniques of upland rice culture are the application of agricultural technology and the application of twice planting during growing season. This research was aimed to examine the agronomic character and economic analysis on IP 200 of upland rice, designed based on Random Completely Block Design with three replicates and varieties as treatment factors (Situ Bagendit, Situ Patenggang, Towuti, Limboto) for twice planting during growing season. The results indicated that there was significant difference between varieties for plant height, number of productive tillers, flowering, harvesting, and yield. The significant difference character between varieties on second planting is 1000 seed weight. The varietioe of Situ Bagendit have number of tillers and yield higher than the other varieties, and it has the highest of 1000 seeds weight in the second planting. The Varieties of Situ Patenggang have long flowering and harvesting, and not significant difference with Situ Bagendit for yield character. The Towuti have not significant difference for number of productive tiller with Situ Bagendit, and it is no significant different with Situ Bagendit for 1000 seed weight on second planting. The economic analysis concluded that Situ Bagendit and Situ Patenggang is profitable variety for planting.

Keywords: IP 200, Agronomic character, Economic analysis, Upland rice

ABSTRAK

Perbedaan pelaksanaan yang paling prinsip antara IP 200 dan konvensional dalam budidaya padi gogo adalah aplikasi teknologi pertanian dan penanaman yang dilakukan dalam satu musim tanam. Penelitian ini ditujukan untuk menguji keragaan agronomis dan analisis ekonomis dari hasil penanaman IP 200 padi gogo, dengan melakukan penelitian menurut Rancangan Acak Kelompok dengan tiga ulangan dengan perlakuan adalah bibit tanaman (Situ Bagendit, Situ Patenggang, Towuti, dan Limboto) untuk dua kali penanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara verietas pada karakter tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, umur berbunga, umur panen dan hasil gabah/petak. Perbedaan yang nyata antar varietas nampak pada penanaman kedua untuk karakter berat 1000 biji. Varietas Situ Bagendit memiliki karakter jumlah anakan dan hasil gabah yang tinggi disbanding varietas lainnya, dan memiliki berat 1000 biji tertinggi pada penanaman kedua. Varietas Situ Patenggang memiliki karakter tinggi tanaman tertinggi, umur tanaman berbunga dan umur panen yang lama, dan tidak berbeda nyata dengan Varietas Situ Bagendit untuk karakter hasil gabah/petak. Varietas Towuti memiliki karakter jumlah anakan produktif yang tidak berbeda nyata dengan Varietas Situ Bagendit, serta karakter berat 1000 biji dan hasil gabah/petak yang tidak berbeda nyata dengan

(2)

377

Varietas Situ Bagendit untuk penanaman kedua. Analisis ekonomi menunjukkan bahwa Varietas Situ Bagendit dan Situ Patenggang menguntungkan untuk ditanam Kata kunci: IP 200, karakter agronomi, analisis ekonomi, padi gogo

PENDAHULUAN

Lahan kering di Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk pembangunan pertanian. Namun, produktivitas umumnya rendah, terutama untuk tanaman pangan (SYAM, 2003). Kendala yang dihadapi dalam pengembangan pertanian lahan kering berupa kendala biofisik, sosial ekonomi dan kelembagaan. Berbagai kendala yang sering dihadapi adalah kondisi biofisik dan lingkungan yang rentan terhadap degradasi, infrastruktur ekonomi di wilayah lahan kering yang sangat terbatas, kurangnya teknologi tepat guna yang terjangkau oleh petani, dan kemampuan masyarakat dalam pengembangan pertanian lahan kering yang relatif terbatas (SUWARDJI dan TEJWULAN, 2009).

Pengembangan sektor pertanian lahan kering di Kalimantan Tengah masih belum maksimal, padahal 92,22% atau 15.083.194 Ha lahan pertaniannya merupakan lahan kering, dimana sekitar 1.609.140 Ha atau 10,67% mempunyai prospek untuk dikembangkan agar dapat mempercepat pembangunan daerah (ANONIM, 2009). Lahan kering tersebut cukup luas dan tersebar di semua kabupaten di Kalimantan Tengah, salah satunya di Kabupaten Gunung Mas.

Kabupaten Gunung Mas merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten Kapuas. Memiliki luas wilayah 10.804 Km2 atau 7,036% luas Kalimantan Tengah. Dimana wilayah lahan kering berada di daerah bagian utara dengan ketinggian 100-500m dpl, dengan tingkat kemiringan 8-15%. Berdasarkan kondisi iklim, kabupaten ini termasuk daerah beriklim tropis dan lembab dengan temperatur 21-23°C. Intensitas penyinaran matahari selalu tinggi dan sumber daya air yang cukup banyak, dengan hujan yang terjadi sepanjang tahun. Kondisi agroekosistem ini memungkinkan untuk dikembangkan pertanian tanaman pangan, khususnya padi gogo. Berdasarkan Data curah hujan dan hari hujan di Kabupaten Gunung Mas Tahun 2005-2007 (ANONIM, 2008) menunjukkan bahwa curah hujan dan hari hujan terjadi sepanjang tahun, dimana bulan basah berkisar antara 8-11 bulan setiap tahunnya. Artinya dengan memperhitungkan kebutuhan pokok curah hujan minimal untuk keperluan evapotraspirasi, kemungkinan daerah dengan bulan basah ≥10 bulan berpotensi untuk melakukan dua kali pertanaman padi gogo per tahun. Jika dilihat dari potensi lahan, wilayah Kabupaten Gunung Mas termasuk dataran tinggi. Daerah utara merupakan

(3)

378

daerah perbukitan, dengan ketinggian antara ± 100-500 meter dari permukaan air laut dan mempunyai tingkat kemiringan ± 8-15° serta mempunyai daerah pegunungan dengan tingkat kemiringan ± 15-25°. Daerah selatan terdiri dari dataran rendah dan rawa-rawa yang berpotensi mengalami banjir cukup besar pada musim-musim hujan, selain itu juga daerah Kabupaten Gunung Mas memiliki perairan yang meliputi danau, rawa-rawa, dan sungai (ANONIM, 2007). Selain itu, menurut ANONIM (2008) daerah pengembangan padi gogo bisa di daerah datar/bantaran sungai dan kawasan perbukitan daerah aliran sungai. Sehingga dengan kondisi lahan Kabupaten Gunung Mas di atas cocok untuk dikembangkan padi gogo.

Padi gogo adalah padi yang ditanam dan dipelihara secara kering di atas lahan yang diolah secara kering, dan tidak memerlukan pematang penahan air karena kebutuhan airnya didapat dari hujan (SASTROWINOTO, 1985). Dari total produksi padi nasional selama 5 tahun terakhir (2000-2004), padi gogo menyumbang 2.699 juta ton (5,2%), walaupun sumbangan produksi padi gogo tidak tinggi, tetapi pengembangan pertanian padi gogo relatif tidak memerlukan kelengkapan saran penunjang seperti pada padi sawah, disamping itu pengembangan padi di lahan kering dapat dikombinasikan dengan usaha pengembangan komoditas lainnya (ANONIM, 2008). Rendahnya angka hasil padi gogo diduga disebabakan oleh kurang intensifnya cara budidaya, termasuk didalamnya penggunaan varietas unggul yang berdaya hasil tinggi, tahan hama dan penyakit, dan yang toleran terhadap tanah yang bermasalah. Pada saat ini, khususnya di Indonesia, varietas unggul padi gogo masih sedikit. Pemerintah dari tahun 1965-2002 baru melepas 32 varietas padi gogo, dimana beberapa diantaranya sudah hilang dari peredaran (Gata dan Gati) (SASTROWINOTO, 1985; ANONIM, 2008).

Pertanian padi gogo yang terdapat di Kalimantan Tengah, terutama di Kabupaten Gunung Mas, masih diusahakan secara tradisional, tanpa memperhatikan pengolahan lahan, varietas, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit serta pascapanen. Akibatnya petani hanya memanen padi gogo hanya satu kali dalam setahun, dengan tingkat produktivitas yang rendah. Pengembangan teknologi budidaya padi gogo diharapkan mampu mengurangi resiko kegagalan dan rendahnya hasil panen padi gogo petani.

Pertanian padi gogo sudah lama dilakukan penduduk Kalimantan Tengah. Petani menggunakan varietas yang sama dengan jangka waktu yang lama, mengendali hama dan penyakit padinya dengan bahan-bahan di alam, pengolahan lahan yang ramah lingkungan. Diharapkan pengetahuan petani ini dapat

(4)

379

dikombinasikan dengan teknologi padi gogo yang ada, sehingga indeks pertanaman padi menjadi meningkat dari IP 100 menjadi IP 200. Perlunya peningkatan Ideks Pertanaman (IP) menjadi 200 berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pangan. Pemenuhan kebutuhan pangan yang terus tumbuh selaras dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,36% per tahun, karenanya diperlukan upaya-upaya peningkatan produksi beras sejalan dengan kebutuhan yang semakin meningkat tersebut. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan Indeks Pertanaman Padi 200 (IP Padi 200). Dasar pertimbangan IP Padi 200 adalah tersedianya varietas padi sangat genjah yang selain dapat memaksimalkan indeks pertanaman padi, juga diharapkan dapat mengatasi terjadinya pelandaian peningkatan produksi. Melalui penerapan IP Padi 200, luas tanaman padi dan luas panen akan menjadi dua kali lipat dari areal yang ditanami sekarang, sehingga produksi padi meningkat, dan lapangan pekerjaan di pedesaan berkesinambungan. Pengembangan IP Padi 200 akan berhasil jika didukung dengan masukan teknologi tepat guna serta ditunjang oleh kelancaran penyediaan dan penyaluran saprodi.

Dari paparan diatas dapat diduga bahwa produktivitas lahan kering untuk pertanaman padi gogo dapat ditingkatkan dengan menggunakan padi berumur genjah, sehingga dalam satu tahun padi gogo dapat ditanam lebih dari satu kali. Untuk mengujinya dapat dilakukan dengan mengkaji keragaan agronomis tanaman dan analisis ekonomis dari hasil penanaman IP 200 padi gogo.

BAHAN DAN METODE

Pengkajian dilaksanakan di Kabupaten Gunung Mas. Perlakuan yang digunakan adalah 4 varietas padi, terdiri dari VUB yang berumur sekitar 3-4 bulan, yaitu Situ Bagendit, Situ Patenggang, Towuti dan Limboto. Guna mencapai IP 200, maka perlu efisiensi pemanfaatan bulan lembab-basah, sehingga penanaman I dimulai bulan September-Desember 2010, dan penanaman bulan Desember-April 2011.

Rancangan lingkungan menggunakan RAK dengan perlakuan adalah varietas, dan empat ulangan. Ukuran petak 10 x 10 m, luas keseluruhan 400 m2. Jarak tanam 20 x 25 cm. Pemupukan menggunakan urea 250 kg/ha, SP-36 250 kg/ha, KCl 100 kg/ha dan pupuk kandang yang digunakan saat pertanaman kedua. Parameter yang diamati adalah: Sifat agronomis dan analisis ekonomis budidaya tanaman. Sifat agronomis yang diamati adalah persentase tumbuh tanaman umur 7 HST, umur

(5)

380

tanaman berbunga, umur panen, tinggi tanaman, jumlah anakan, berat 1000 biji, dan hasil.

Data dianalisis menggunakan proc anova dari Software SAS 9.1, jika terdapat beda nyata antar perlakuan akan diuji lanjut menggunakan uji beda nyata Duncan, pada α=0.05%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ditetapkan berdasarkan karakteristik lahan, kondisi iklim, ketersediaan SDM petani, serta kemudahan aksesibilitas maka terpilih lokasi lahan kering masam di daerah Kurun Seberang, Jl. Poros Provinsi. Kabupaten Gunung Mas memiliki luas 10.804 KM2 dimana Kecamatan Kurun yang menjadi lokasi penelitian memiliki luasan 842 KM2. Kabupaten ini memiliki rata-rata curah hujan 254 milimeter per tahun (tahun 2004). Survey yang di lakukan di lokasi penelitian melibatkan stakeholder setempat seperti Dinas Pertanian dan PPL Gunung Mas.

Berdasarkan peta zona agroklimat (Oldeman,1980), wilayah Kurun (kabupaten Gunung Mas) terletak pada zona B1 dengan jumlah bulan basah 7-9 bulan sedangkan bulan keringnya 0-3 bulan per tahun. Wilayah ini memiliki rejim kelembaban udic (lembab) dan rejim suhu isohipertermic (panas). Berdasarkan sistem lahannya, jenis tanah yang mendominasi wilayah lahan kering di Kurun Seberang berasal dari ordo Ultisols dengan great group Tropudults, Paleudults, dan Tropohumults. Gambaran umum bentuk landform di wilayah ini adalah dataran berbukit (hillocky plain) dan dataran terplanasi agak tertoreh sampai sangat tertoreh dengan bentuk wilayah agak datar sampai bergelombang dengan kelas kelerengan 1-15%.

Sifat-sifat umum jenis tanah di wilayah ini memiliki kemasaman dengan pH 4,5-5,5 (masam) dengan rejim kelembaban tanah yang termasuk ke dalam udic (lembab). Tanah ini tergolong sangat dalam dan sudah berkembang. Tekstur lapisan atas lempung berliat sedangkan lapisan bawahnya liat dan liat berpasir, dengan kondisi drainase baik (well drained). Beberapa sifat kimia tanah lainnya untuk jenis tanah ini meliputi: Kapasitas Tukar kation (KTK) rendah di semua lapisan; Kejenuhan Basa (KB) sangat rendah di semua lapisan; C organik rendah sampai sedang di lapisan atas sedangkan di lapisan bawah sangat rendah; N rendah di lapisan atas dan sangat

(6)

381

rendah di lapisan bawah; C/N bervariasi , sangat rendah sampai tinggi di di semua lapisan; P2O5 tersedia dan P2O5 total sangat rendah di semua lapisan; K2O total

rendah sampai sangat rendah di lapisan atas dan Kejenuhan Al sangat tinggi di semua lapisan.

Vegetasi yang mendominasi di lahan adalah alang-alang (Imperata cylindrica), karena itu sebelum dilakukan pengolahan tanah, lahan diaplikasikan dulu dengan herbisida, agar pertumbuhan alang-alang dapat dihambat dan tidak mengganggu bibit tanaman.Hasil survey lapangan tersebut sudah ditindak lanjuti dengan pengolahan lahan dan pembuatan petakan yang sesuai dengan juknis penelitian IP 200.

Keragaan Agronomis Tanaman

Beras, sampai saat ini masih merupakan bahan makanan pokok terpenting bagi sebagian terbesar masyarakat Indonesia. Ini disebabkan oleh nilai gengsinya yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan makanan lainnya seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan sebagainya. Selain itu, banyak di antara penduduk Indonesia masih belum merasa makan kalau belum makan nasi, walaupun sudah makan pisang atau ubi atau jenis makanan lainnya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau ada kenaikan harga beras atau kurangnya stok beras nasional akan berdampak negatif bagi kondisi social dan ekonomi masyarakat di negara ini. Bahkan harus ada organisasi pemerintah, yaitu BULOG, yang khusus menangani harga maupun stok nasional untuk bahan pangan pokok, khususnya beras. Ini menunjukkan betapa pentingnya usaha mempertahankan dan meningkatkan produksi padi di negeri ini (WANGIYANA, LAIWAN dan SANISAH. 2009). Salah satu yang dapat dilakukan untuk mendukung produksi beras adalah dengan meningkatkan indek pertanaman tiap musim tanam padi. Keberhasilan indek pertanaman padi akan berhasil jika didukung kajian keragaan agronomis tanaman. Pada kajian agronomis IP 200 padi gogo di lahan kering masam Kabupaten Gunung Mas, penanaman dilakukan dua kali dengan parameter pengamatan adalah persentase tumbuh tanaman umur 7 HST, umur tanaman berbunga, umur panen, tinggi tanaman, jumlah anakan, berat 1000 biji, hasil. Keragaan agronomis tanaman dapat dilihat pada Tabel 1.

Persentase tumbuh tanaman umur 7 HST pada penanaman pertama dan kedua menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antar semua varietas, dengan persentase tumbuh antara 68.217 – 100 %. Tanaman dengan populasi tumbuh mencapai 100% adalah varietas Situ Bagendit, Towuti dan Limboto, sedangkan Situ Patenggang memiliki daya tumbuh terendah pada penanaman pertama dan kedua.

(7)

382

Pengamatan tinggi tanaman menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antar varietas. Varietas Situ Patenggang merupakan tanaman paling tinggi dari semua varietas dengan tinggi 124.200 – 130.200cm, dan berbeda nyata dengan tiga varietas lainnya. Varietas Situ Bagendit dan Towuti merupakan tanaman dengan tinggi terendah, yaitu antara 79.654 – 88,748 cm dan 73.760 – 87.974 cm. Berkaitan dengan persentase tumbuh tanaman umur 7 HST, HOPKINS (2006) menyatakan bahwa dalam kondisi lingkungan yang menguntungkan, embrio akan melanjutkan pertumbuhan dan berkecambah. Perkecambahan akan berjalan baik jika didukung tiga hal mendasar, yaitu : Pertama, harus ada pasokan air yang cukup untuk rehydrate jaringan benih. Kedua, harus ada pasokan oksigen untuk mendukung metabolisme, terutama untuk penyediaan energy dan karbon untuk perkembangan bibit. Ketiga, suhu harus berada dalam kisaran yang memungkinkan untuk melanjutkan metabolisme dan pertumbuhan (biasanya 20° sampai 25°C, atau 68° sampai 77°F). Kisaran suhu ini sering disebut sebagai "suhu fisiologis." Jika banyak benih tidak berkecambah pada kondisi yang sudah terpenuhi, maka perlu dilihat faktor internal dalam biji, apakah sudah matang secara fisiologis. Perkecambahan pada awal bibit dianggal penting karena, perkecambahan yang terus menerus dari waktu ke waktu akan menjamin kelangsungan hidup suatu tanaman.

Tabel 1. Keragaan agronomis padi gogo pada penanaman pertama dan kedua

Keragaan Tanaman

Penanaman Pertama Penanaman Kedua

Situ Bagen dit Situ Pateng gang Tow uti Limbot o Situ Bage ndit Situ Paten ggang Towut i Limbot o Per. tum. tan. umur 7 HST 100 93.643 100 100 100 68,21 7 100 100 Tinggi tanaman 88.748 c 130.20 0a 87.9 74c 96,634 b 79.65 4c 124.2 00a 73.76 0c 105,22 6b Jlh. anakan Prod. 21,400 a 12,300 b 20,4 60a 13,70b 19,80 0a 12,70 0b 18.87 4a 13,90 b Umur tan. berbunga 67.667 b 73.667 a 68.6 67b 66.999 b 63.66 7b 72.99 9a 66.66 7b 69.667 ab Umur panen 100.66 7b 113.66 7a 98.6 67b 95.667 b 102.6 67b 116.3 33a 103.3 33b 103.66 7b Berat 1000 biji 70.900 70.600 76.3 33 73.600 75.30 0a 67.20 0c 75.33 3a 71.73 b Hsl. gabah/petak (g) 27000 a 23333. 333ab 2000 0b 18333. 333b 2300 0a 2333. 333a 23333 .333a 18333. 333b Notasi yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan beda nyata (P< 0.05)

(8)

383

Hasil analisis jumlah anakan produktif menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antar varietas. Varietas dengan anakan terbanyak pada penanaman pertama dan kedua adalah Varietas Situ Bagendit dan Varietas Towuti, dengan jumlah anakan antara 19.80 – 21.40 dan 18.87 – 20.46. Kedua varietas ini berbeda nyata dengan Varietas Situ Patenggang dan Limboto, yang memiliki jumlah anakan antara 12.30 – 12.70 dan 13.70 – 13.90. Jumlah anakan produktif yang dihasilkan padi gogo pada pengkajian IP 200 ini, menurut Manurung dan Ismunadji (1988) mendekati atau sebanding dengan jumlah anakan produktif hibrida padi sawah yaitu 10-21 batang tiap rumpun. Menurut YOSHIDA (1981) dan HOPKINS (2006) pada tanaman yang tidak tergenang, energy yang dihasilka pada proses respirasi (dimana terjadi perombakan hasil fotosintesis berupa fotosintat) akan digunakan untuk membentuk anakan, sedangkan pada sawah yang tergenang, tanaman padi membutuhkan sejumlah besar energi untuk pembentukan dan aktivitas sel aerenchym untuk memasok oksigen, akibatnya energi berkurang untuk pertumbuhan anakan tanaman, sehingga jumlah anakan menjadi sedikit bila dibandingkan dengan kondisi air yang tidak tergenang. Selain itu menurut RAHARJO dan ABIDIN (2010) keberadaan P (Phospor) tersedia yang cukup bagi tanaman di dalam tanah sangat membantu perkembangan akar tanaman, dengan berkembangnya akar tanaman maka mampu untuk menjangkau dan memanfaatkan unsur hara yang lain yang berada disekitar rumpun tanaman, sehingga dapat menambah jumlah anakan padi.

Secara teoritis, semakin banyak jumlah anakan produktif per satuan luas, maka semakin banyak jumlah malai per satuan luas, dengan bulirbulirnya yang terbentuk pada malai-malai tersebut. Namun, untuk mendapatkan hasil tinggi maka bulirbulir tersebut harus terisi penuh melalui proses fotosintesis dan laju partisi fotosintat yang tinggi selama fase pengisian biji. Bulir-bulir yang tidak terisi penuh akan menghasilkan gabah hampa. Oleh karena itu, persentase gabah hampa atau persentase gabah berisi juga merupakan komponen hasil yang utama. Menurut Soemartono. (1985), jumlah anakan produktif ditentukan oleh jumlah anakan yang tumbuh sebelum mencapai fase primordia. Namun, kemungkinan ada peluang bahwa anakan yang membentuk malai terakhir, bisa saja tidak akan menghasilkan malai yang bulir-bulirnya terisi penuh semuanya,sehingga berpeluang menghasilkan gabah hampa.

Umur tanaman berbungga menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antar varietas, varietas dengan umur berbunga cepat pada penanaman pertama adalah Varietas Situ Bagendit, Towuti dan Limboto. Pada penanaman kedua, variteas dengan umur berbunga cepat adalah Varitas Situ Bagendit dan Towuti, tidak berbeda nyata

(9)

384

dengan Limboto, dan berbeda nyata dengan Situ Patenggang. Rentang berbunga tanmaan pada penanaman pertama antara 66.999 – 73.667 hari, dan pada penanaman kedua antara 63.667 – 72.999 hari. Umur tanaman berbunga merupakan petunjuk terjadinya pollination pada tanaman, dan penentuan umur panen selanjutnya (HOPKINS, 2006)

Pengamatan umur panen menunjukkan bahwa pada penanaman pertama dan kedua, Varietas Situ Bagendit, Towuti dan Limboto merupakan varietas tanaman yang cepat panen, dengan rentang umur panen antara 95.667 – 100,667 hari dan 102.667 – 103.667 hari. Ketiga varietas ini berbeda nyata dengan varietas Situ Patenggang. SIREGAR (1981) menggolongkan umur panen padi menjadi tiga, yaitu umur panjang (125-150 hari), umur sedang (115-125 hari), dan umur genjah (100-115 hari). Jika dilihat berdasarkan umur panen, maka varietas padi yang digunakan merupakan varietas tanaman berumur genjah, sehingga memungkinkan bagi petani bisa menanam lebih dari satu kali dalam satu tahun. Sedangkan tanaman padi yang biasanya digunakan oleh petani merupakan varietas lokal yang berumur lebih dari 4 bulan.

Pengamatan berat 1000 biji pada penanaman pertama tidak berbeda nyata antar varietas, tetapi pada penanaman kedua, Varietas Situ Bagendit dan Towuti memiliki berat 1000 biji tertinggi dan berbeda nyata dengan dua veritas lainnya. Berat 1000 biji tertinggi berada antara 75.300 – 75.333 gram.

Hasil gabah per petak pada penanaman pertama menunjukkan Varietas Situ Bagendit memiliki hasil gabah tertinggi dan tidak berbeda nyata dengan hasil gabah Varietas Situ Patenggang, yaitu 27000 gram. Pada penanaman kedua, Varitas Situ Bagendit, Situ Patenggang dan Towuti berbeda nyata dengan Varietas Limboto.

Keragaan Ekonomis Tanaman

Adanya kombinasi penggunaan faktor-faktor produksi yang efisien dapat menghasilkan output yang maksimal. Jumlah output yang maksimal ini akan memberikan keuntungan yang maksimal juga kepada para petani. Usahatani padi yang telah dilaksanakan ini tidak terlepas dari biaya-biaya yang digunakan untuk memproduksi tanaman tanaman padi. Adapun biaya yang digunakan dalam usahatani ini digolongkan menjadi dua, yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap terdiri dari biaya penyusutan untuk barang-barang modal (seperti cangkul, dan semprotan). Biaya variabel adalah biaya yang dikeluarkan untuk input yang bersifat variabel (pupuk, pestisida, tenaga kerja, benih). Total penerimaan, biaya dan R/C ratio usahatani IP 200 padi gogo dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3. Pada Table 2. dan Tabel 3, biaya

(10)

385

tetap dan biaya variable untuk semua varietas sama, yaitu Rp.625.000,- dan Rp. 1.000.000, perbedaan nampak pada penerimaan masing-masing varietas.

Penerimaan berbeda karena hasil yang dicapai masing-masing varietas berbeda setiap tanamnya. Dengan harga gabah kering panen (GKP)/kg sebesar Rp. 2.500,-, maka vareitas dengan penerimaan tertinggi pada penanaman pertama adalah Situ Bagendit, sedangkan untuk penanaman kedua adalah Situ Patenggang dan Towuti.

Tabel 2. Pendapatan dan Biaya Rata-Rata Usahatani IP 200 Padi Gogo Pada Penanaman Pertama Per Hektar

Keterangan Uraian

Situ Bagendit Situ Patenggang Towuti Limboto Biaya Variabel (Rp) 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1. Benih 250.000 250.000 250.000 250.000 2. Pupuk 500.000 500.000 500.000 500.000 3. Pestisida 100.000 100.000 100.000 100.000 4. Kapur 150.000 150.000 150.000 150.000 Biaya Tetap (Rp) 625.000 625.000 625.000 625.000 1. Tenaga Kerja 375.000 375.000 375.000 375.000

2. Alat Habis Pakai 250.000 250.000 250.000 250.000

Hasil (kg/ha) 2.700 2.333,33 2.000 1.833,33 Harga (Rp) 1.500 1.500 1.500 1.500 Penerimaan (Rp) 4.050.000 3.499.995 3.000.000 2.749.995 Biaya Produksi 1.625.000 1.625.000 1.625.000 1.625.000 Pendapatan 2.425.000 1.874.995 1.375.000 1.124.995 R/C Ratio 2,49 2,15 1,85 1,69

Nilai R/C ratio diperoleh dengan membandingkan total penerimaan dengan total biaya produksi masing-masing varietas. Nilai R/C ratio tertinggi pada penanaman pertama adalah 2,49 untuk varietas Situ Bagendit. Nilai R/C sebesar 2,49 ini memberikan arti bahwa setiap pengeluaran Rp.1 maka akan menghasilkan pendapatan sebesar Rp.2.49,-. Sedangkan untuk penanaman kedua, nilai R/C ratio tertinggi ada pada varietas Situ Patenggang dan Towuti, yaitu 2.15, yang berarti bahwa pengeluaran Rp. 1 maka akan memberikan pendapatan sebesar Rp. 2.15,- Dari nilai R/C yang diperoleh dengan nilai lebih dari 1 maka dapat dikatakan bahwa usahatani padi di daerah penelitian menguntungkan untuk diteruskan. Berdasarkan analisis ekonomi pada usaha tani IP 200 padi gogo, maka varietas Situ Bagendit dan Situ Patenggang layak direkomendasikan untuk ditanam di lahan kering.

(11)

386

Tabel 3. Pendapatan dan Biaya Rata-Rata Usahatani IP 200 Padi Gogo Pada Penanaman Kedua Per Hektar

Keterangan

Uraian Situ Bagendit Situ

Patenggang Towuti Limboto Biaya Variabel (Rp) 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1. Benih 250.000 250.000 250.000 250.000 2. Pupuk 500.000 500.000 500.000 500.000 3. Pestisida 100.000 100.000 100.000 100.000 4. Kapur 150.000 150.000 150.000 150.000 Biaya Tetap (Rp) 625.000 625.000 625.000 625.000 1. Tenaga Kerja 375.00 0 375.000 375.000 375.000 2. Alat Habis Pakai 250.000 250.000 250.000 250.000

Hasil (kg/ha) 2.300 2.333,33 2.333,33 1.833,33 Harga (Rp) 1.500 1.500 1.500 1.500 Penerimaan (Rp) 3.450.000 3.499.995 3.499.995 2.749.995 Biaya Produksi 1.625.000 1.625.000 1.625.000 1.625.000 Pendapatan 1.825.000 1.874.995 1.874.995 1.124.995 R/C Ratio 2,12 2,15 2,15 1,69 KESIMPULAN

1. Terdapat perbedaan yang nyata antara verietas pada karakter tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, umur berbunga, umur panen dan hasil gabah/petak. Perbedaan yang nyata antar varietas nampak pada penanaman kedua untuk karakter berat 1000 biji.

2. Varietas Situ Bagendit memiliki karakter jumlah anakan dan hasil gabah yang tinggi disbanding varietas lainnya, dan memiliki berat 1000 biji tertinggi pada penanaman kedua.

3. Varietas Situ Patenggang memiliki karakter tinggi tanaman tertinggi, umur tanaman berbunga dan umur panen yang lama, dan tidak berbeda nyata dengan Varietas Situ Bagendit untuk karakter hasil gabah/petak.

4. Varietas Towuti memiliki karakter jumlah anakan produktif yang tidak berbeda nyata dengan Varietas Situ Bagendit, serta karakter berat 1000 biji dan hasil gabah/petak yang tidak berbeda nyata dengan Varietas Situ Bagendit untuk penanaman kedua.

(12)

387

5. Analisis ekonomi menunjukkan bahwa Varietas Situ Bagendit dan Situ Patenggang memiliki nilai R/C ratio diatas 2.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2008. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Gogo. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

Anonim, 2009. Informasi Umum Kalimantan Tengah.

http://www.kalteng.go.id/INDO/informasi umum kalimantan tengah. htm. 16 Juli 2009.

Badan Litbang Pertanian. Pedum IP 400 Padi.

Badan Pusat Statistik. 2008. Gunung Mas Dalam Angka 2008. Palangka Raya. 246 hlm

Darwanto. 2010. Analisis Efisiensi Usaha Tani Padi Di Jawa Tengah (Penerapan Analisis Frontier). Jurnal Organisasi dan Manajemen Univ. Diponegoro Semaran, 6(1) : 46 - 57

Hopkins, W. J.. 2006. Plant Development. Chelsea House Publishing. 151 p. Manurung, S.O. dan M. Ismunadji. 1988. Morfologi dan fisiologi padi. Dalam M.

Ismunadji, S. Partohardjono, M. Syam, dan A. Widjono (Ed.). Padi. Buku 1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. hlm. 55-102.

Raharjo, D. dan Z. Abidin. 2010. Kajian Keragaan Agronomis Varietas INpari 6 Pada Status Hara yang Berbeda di Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara. Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Mendukung Ketahanan Pangan dan Swasembada Beras Berkelanjutan di Sulawesi Utara. Hal. 1 -7.

Siregar, H. 1981. Budidaya Tanaman Padi di Indonesia. Sastra Hudaya, Jakarta. 317 hlm

Soemartono, S., 1985. Kajian gaya cabut sebagai metode penyaringan ketahanan terhadap kekeringan dan genetika perakaran padi lahan kering. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

SuwardjI dan Tejowulan. 2009. Pengembangan wilayah lahan kering di propinsi NTB untuk mendukung otonomi daerah. Pusat Pengkajian Lahan Kering dan Rehabilitasi Lahan. Fakultas Pertanian UNRAM. Mataram. ntb.litbang.deptan.go.id/2002/SP/pengembanganwilayah.doc. 16 Juli 2009.

Syam, A., 2003. Sistem Pengelolaan lahan kering di daerah aliran sungai bagian hulu. Jurnal Litbang Pertanian, 22(4).

(13)

388

Wangiyana, W., Z. Laiwan dan Sanisah. 2009. Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Padi Var. Cihereng dengan Teknik Budidaya “SRI (System of Rice Intensification)” Pada Berbagai Umur dan Jumlah Bibit Per Lubang Tanam. Crop Agro, 2 (1) : 70 - 79

Yoshida, S. 1981. Fundamentals of rice crop science. IRRI. Los Banos. Laguna. Philippines. 269 hal.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian di kecamatan Bululawang Kabupaten Malang mendapat kesimpulan bahwa usaha peternakan broiler dengan kepemilikan rata-rata 5.688 ekor/farm dengan jumlah

Penulis melakukan wawancara kepada kepala sekolah SDN Tawang Mas 01 Semarang, untuk mendapatkan informasi mengenai sistem yang sedang berjalan dan data-data akademik

Pemberian persembahan yang diberikan jemaat Korintus membawa keseimbangan dalam kehidupan jemaat Kristen Yahudi di Yerusalem dalam ucapan syukur kepada Allah, maksudnya adalah

S usia 23 tahun dengan kehamilan pertama atau primigravida, ibu mengatakan mengalami mual muntah pada pagi hari dan tidak nafsu makan, hal ini sesuai dengan teori

talam tergantung kepada jenis lagu yang dibawakan atau diJajikan. pada lagu imbauan dulang atau talam belum dimainkan berarti belum ada pengiring dari lagu imbauan

Sistem struktur gedung Kampus “FJR” di kota Palu direncanakan menggunakan Metode Sistem Dinding Geser dengan pembagian gaya gempa yang diterima dinding geser maksimal

Penelitian ini juga dapat digolongkan sebagai penelitian studi literatur karena dalam pembahasannya digunakan literatur-literatur yang berisikan teori-teori yang

Gambar 2, merupakan rancangan use case dari sistem yang dibangun terdiri dari empat menu yang bisa diisi datanya oleh admin lalu bisa dilihat user, yaitu menu: